Niko Partners: Jumlah Penonton Esports di Asia Tenggara Capai 100 Juta Orang

Industri game di kawasan Greater Southeast Asia — mencakup Asia Tenggara dan Taiwan — diperkirakan akan bernilai US$8,3 miliar pada 2023. Salah satu faktor pertumbuhan industri game di GSEA adalah esports. Tidak heran, mengingat kebanyakan gamers di Asia memang juga tertarik dengan esports. Menurut data dari Niko Partners, di Asia, sekitar 95% dari gamer PC dan 90% pemain mobile aktif di dunia esports. Hal ini menunjukkan, industri game dan esports punya dampak besar pada satu sama lain. Sebelum ini, kami telah membahas tentang keadaan industri gaming di GSEA pada 2020. Kali ini, kami akan membahas tentang industri esports di Asia, khususnya Asia Tenggara.

Jumlah Penonton dan Pemain Esports di Asia Tenggara

Menurut data dari Niko Partners, jumlah penonton esports di Asia Timur dan Asia Tenggara mencapai 510 juta orang. Dari keseluruhan jumlah penonton, sekitar 350 juta fans esports berasal dari Tiongkok dan 160 juta orang sisanya berada di Asia Tenggara, Jepang, dan Korea Selatan.

“Kurang lebih, terdapat sekitar 100 juta penonton esports di seluruh Asia Tenggara. Dengan jumlah penonton dan pemain terbanyak kurang lebih mengikuti jumlah penduduk dan konektivitas internet di masing-masing negara,” kata Darang S. Candra, Director for Southeast Asia Research, Niko Partners. “Indonesia memiliki jumlah penonton dan pemain esports terbanyak, diikuti oleh Filipina, Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Singapura.” Jika Anda ingin mengetahui jumlah penonton esports di masing-masing negara Asia Tenggara, Anda bisa menemukan informasi itu di laporan premium dari Niko Partners.

Data populasi dan kecepatan internet di Asia Tenggara.

Dari segi populasi, lima negara di Asia Tenggara yang memiliki jumlah penduduk paling banyak adalah Indonesia, Filipina, Vietnam, Thailand, dan Myanmar. Sementara dari segi kecepatan internet, Singapura merupakan negara jaringan fixed broadband paling cepat, tidak hanya di Asia Tenggara, tapi juga di dunia. Menurut data Speedtest, kecepatan jaringan fixed broadband di Singapura mencapai 245,5 Mbps. Seperti yang bisa Anda lihat pada tabel di atas, walau Indonesia memiliki populasi paling besar, kualitas jaringan internet Tanah Air masih kalah cepat jika dibandingkan dengan kebanyakan negara-negara Asia Tenggara.

Sementara itu, menilik dari segi prestasi, Filipina menjadi negara di Asia Tenggara dengan prestasi esports terbaik. Salah satu buktinya adalah Filipina berhasil membawa pulang medali paling banyak dari cabang olahraga esports di SEA Games 2019. Ketika itu, Filipina berhasil mendapatkan tiga medali emas, satu medali perak, dan satu medali perunggu di cabang esports. Sebagai perbandingan, tim Indonesia hanya berhasil menyabet dua medali silver.

Filipina berhasil memenangkan tiga medali emas di tiga game yang berbeda, yaitu Dota 2, StarCraft II, dan Mobile Legends: Bang Bang. Belum lama ini, tim asal Filipina, Bren Esports juga berhasil memenangkan M2 World Championship. Sementara itu, pemain StarCraft II yang berhasil membawa pulang medali emas untuk Filipina adalah Caviar “EnDerr” Acampado. Dia telah menjadi pemain StarCraft II profesional sejak 2011. Sampai saat ini, dia masih aktif di skena esports StarCraft II. Pada 2021, dia sudah memenangkan dua turnamen minor, yaitu PSISTORM StarCraft League – Season 1 dan Season 2. Sementara pada 2020, dia berhasil menjadi juara dari turnamen major, DH SC2 Masters 2020 Winter: Oceania / Rest of Asia.

Filipina juga punya tim Dota 2 yang mumpuni. Selain berhasil membawa pulang medali emas di SEA Games 2019, Filipina juga punya tim profesional yang tangguh, yaitu TNC Predator. Tim tersebut memenangkan Asia Pacific Predator League 2020/21 – APAC. Pada 2020, mereka juga membawa pulang piala BTS Pro Series Season 4: Southeast Asia dan ESL One Thailand 2020: Asia. Mereka juga memenangkan MDL Chengdu Major dan ESL One Hamburg pada 2019. Tak hanya itu, mereka juga berhasil masuk ke The International selama empat tahun berturut-turut, dari 2016 sampai 2019.

TNC Predator jadi salah satu tim Dota 2 paling tangguh di Asia Tenggara. | Sumber: IGN

Di Tekken, Filipina juga punya Alexandre “AK” Laverez, pemain Tekken profesional yang memenangkan medali perak di SEA Games 2019. AK sendiri telah dikenal di skena esports Tekken global sejak 2013. Ketika itu, dia berhasil menjadi juara tiga di Tekken Tag Tournamen 2 Global Championship walau dia masih berumur 13 tahun. Selain itu, dia juga berhasil meraih posisi runner up di WEGL Super Fight Invitational dan EVO Japan 2019.

Namun, tim-tim esports Indonesia juga punya keunggulan tersendiri. Jika dibandingkan dengan organisasi esports di negara-negara Asia Tenggara lainnya, tim esports Indonesia sangat populer. Faktanya, tiga tim esports paling populer di Asia Tenggara berasal dari Indonesia, yaitu EVOS Esports, Aura Esports, dan RRQ.

Ekosistem Turnamen Esports di Asia Tenggara

Jumlah pemain dan penonton esports di sebuah kawasan hanya bisa tumbuh jika ekosistemnya memang memadai. Kabar baiknya, industri esports di Asia Tenggara memang punya potensi besar. Lisa Cosmas Hanson, Managing Partner, Niko Partners bahkan menyebutkan, Asia Tenggara berpotensi untuk menjadi pusat esports global. Salah satu buktinya adalah banyaknya turnamen esports yang digelar di Asia Tenggara.

“Pada tahun 2020, kami mencatat lebih dari 350 major tournaments digelar di wilayah Asia Tenggara. Angka tersebut tidak termasuk turnamen-turnamen amatir dan kecil,” kata Darang.

Phoenix Force dari Thailand menangkan FFWS 2021. | Sumber: The Strait Times

Total hadiah dari turnamen-turnamen esports yang diadakan di Asia Tenggara juga cukup besar. Free Fire World Series (FFWS) 2021 menjadi turnamen esports dengan total hadiah terbesar, mencapai US$2 juta. Tak hanya itu, kompetisi itu juga memecahkan rekor jumlah peak viewers. Pada puncaknya, jumlah penonton dari FFWS 2021 mencapai 5,4 juta orang. Sebagai perbandingan, League of Legends World Championship 2019 — pemegang gelar turnamen esports dengan peak viewers tertinggi sebelumnya — hanya memiliki peak viewers sebanyak 3,9 juta orang.

Selain FFWS 2021, di tahun ini, turnamen esports lain yang menawarkan hadiah besar adalah ONE Esports Singapore Major. Turnamen Dota 2 itu menawarkan total hadiah US$1 juta. Pada 2018, juga ada Dota 2 Kuala Lumpur Major, yang menawarkan total hadiah yang sama, yaitu US$1 juta.

Saat ini, di Asia Tenggara, juga telah ada liga esports yang menggunakan model franchise, yang dipercaya akan menjadi tren di masa depan. Salah satunya adalah Mobile Legends Professional League Indonesia (MPL ID). Selain itu, MPL Phillipines juga dikabarkan akan mengadopsi model franchise pada Season 8. Free Fire Master League juga sudah menggunakan sistem liga yang mirip dengan sistem franchise. Setiap tim diharuskan membayar sejumlah uang jika mereka ingin berpartisipasi dalam liga tersebut. Hanya saja, sebuah organisasi esports boleh menyertakan lebih dari tim untuk ikut serta di FFML. Dan durasi kontrak antara tim dengan penyelenggara hanya berlangsung selama satu season.

The Correlation Between Free-to-Play Games and Thriving Esports Scenes

League of Legends, Dota 2, Mobile Legends, and Free Fire are some examples of games with massively successful esports scenes. Uncoincidentally, they are also free-to-play games. Of course, this trend begs the question: why are most games with big esports ecosystems use the free-to-play model?

Esports is a clever method to generate long-term income, which does not apply in the Pay-to-Win method. Apart from the long-term business model, which we will discuss in more detail later, there are several factors that allow esports to grow rapidly in free-to-play games.

The Different Types of Video Game Monetization Models

Before discussing the correlation between free-to-play games and thriving esports scenes, let’s take a look at the various monetization models in the game industry today. Free-to-play is just one of several monetization systems used by game developers. Other models that are commonly adapted today are the pay model and subscription model.

In the pay model (sometimes referred to as single payment), players are required to pay a certain amount of money to be able to play a game. In other words, you pay for the game upfront, and the game is yours forever to play. The younger generation or today’s mobile gamers who are used to the free-to-play games may feel unfamiliar with this system. However, the pay model is actually the most common and oldest monetization methods in the gaming industry. Most AAA game developers (like Cyberpunk 2077 or GTA V, for example) and indie developers (like Stardew Valley) do use the pay model extensively.

Source: Rockstar Games

Games using the pay model are usually not too focused on esports. Of course, there are exceptions to this trend, such as most of fighting games (Street Fighter Series, Tekken Series, and so on) or sports games (FIFA, PES, NBA 2K series, and so on). Counter-Strike: Global Offensive also initially used the pay model but then was made free-to-play in 2018.

In the subscription model, players have to pay a certain amount of money every month to play the game. This model is rarely used in Indonesia and is more commonly known by western gamers. MMORPG games, like World of Warcraft or Final Fantasy XIV Online, often use the subscription model.

The subscription fees of World of Warcraft. Source: Blizzard Official Site

World of Warcraft actually integrates different monetization models at once. For example, players must first pay a certain amount of money to get access to the latest expansion, then pay again every month to continue playing. The expansion access fees are usually more expensive (around IDR 500 thousand, similar to the price of AAA games), while the monthly subscription price is much cheaper (around IDR 150 thousand per month)

The subscription model may feel similar to the Battle Passes (like the Royale Pass on PUBG Mobile or Starlight Member on Mobile Legends) in free-to-play games. However, the key difference between the two is that Battle Passes don’t restrict you from playing the game if you don’t pay the monthly fee. On the other hand, in World of Warcraft, free-to-play players can only level up characters to level 20. Subscriptions will allow players to level up to level 50, and purchasing expansions will increase the limit to level 60.

As the subscription model continues to develop, payment of fees is no longer limited to real money. In World of Warcraft, for example, you can pay the subscription fee using the “gold” you get in-game (through crafting, hunting, or trading). Of course, players will need to collect a ton of gold to be able to pay the subscription fees on a consistent basis. Therefore, players have to either sacrifice their time in-game or real-world finances to play the game.

The most modern monetization system in the gaming industry is free-to-play. As the name suggests, players don’t have to spend any money to play the game. However, if the game is free, how can the developers generate revenue to sustain the game? Well, most free-to-play games nowadays implement various types of micro-transactions.

Weapon skins are an example of a micro-transaction used by the free-to-play game, VALORANT. Source: VALORANT In-Game Store

Micro-transactions provide the option for players to purchase cosmetics with real money. In some games, micro-transaction items are usually just add-ons and do not provide any unfair advantage to the gameplay. Examples of these items are character skins in MOBA games or weapon skins in FPS games. However, some in-game micro-transactions will allow the player to get stronger or reach higher levels faster. Purchasing the double XP item in RPG games is one example. Free-to-play games that include the option to afford items with unfair advantages are called Pay-to-Win.

The micro-transaction is not only used by free-to-play games. World of Warcraft and Street Fighter V also such in-game purchases to complement their gameplay experience. 

In addition to the micro-transaction method, free-to-play games are now starting to explore new monetization methods to add to their source of income, one of them being esports.

 

Why Are Successful Esports Games Mostly Free-to-Play?

“If you don’t pay for a product, you are the product.”

A slightly different version of this quote was mentioned when the television was first booming in the public. Today, this expression became widely used, especially in the era of over-attachments to social media such as Facebook, Twitter, Instagram, etc. So, what does esports have to do with this particular quote?

As you may have already guessed, most game publishers and developers in the esports world are trying to turn average players into esports enthusiasts. The esports audience will then be used as a “product” that can be sold to investors or sponsors. This statement may sound somewhat cynical on the surface. However, from the player’s perspective, we actually do not have to experience the “exploitative” nature of other monetization methods. 

If you have read Ellavie’s article that discusses the different game industries of Japan, China, and South Korea, you may remember that the free-to-play model is actually a fairly old concept in the gaming industry. Nexon, a South Korean game publisher and developer, was the first to release a free-to-play game called QuizQuiz in 1999.

However, before today’s esports boom, monetizing free-to-play games can hinder the player’s in-game experience and, sometimes, make it severely irritating.

If you’ve been a gamer since the age of internet cafes, you might remember the infamous RF Online. If you play RF Online, you will eventually come across the Premium Service: a service you can activate by buying a voucher (with real money). Premium Service will give you the convenience of greater XP gains and more loot monsters.

RF Online, an RPG game that was popular in its time

Back then, this was one of the most common forms of monetization for free-to-play games. Indeed, RF Online can be played without needing to spend a single penny. However, your XP gain will be extremely slow, and getting good equipment is extremely difficult because your loot quality is underwhelming. Furthermore, the main attraction of RF online is its PVP element, which requires you to accumulate the highest possible level and obtain the best equipment to be able to compete with other players

Can players have super strong characters without Premium Service? Yes. However, you will need to spend more time and effort grinding the game rather than someone who simply used the Premium Service. These types of monetization systems place more priority on paid players and somewhat neglects free players, which is why I refer to them as being “exploitative”.

There is some debate about the fairness and ethics behind these systems. Fair or unfair, ethical or unethical, it is up to you to decide. In the end, RF Online is, surprisingly, still alive until this very day. Players who are still loyal to the game continue to buy the Premium Service and do not seem to have any problem with the monetization model. Back when I was in junior high school, I also played RF Online and even bought the Premium Service.

However, we can all agree that this system of income is incredibly limiting and somewhat risky for the game developers. What happens if all of the players suddenly stop buying the Premium Service?. Even worse, what if everyone stopped playing the game because they felt exploited by the Premium Service system?

Another system that is similar to RF Online’s Premium Service is the “speed up” feature in Clash of Clans (CoC). Although the two systems may look different, they inherently have the same principle: speed up the progression (character strength/troop creation/level up) for players who have in-game purchases.

During the height of its popularity, CoC had amassed tremendous income with this monetization model. According to statista, Clash of Clans had earned an income of $ 1.8 trillion USD in 2015. Unfortunately for Supercell, this figure continues to decline every year, reaching a low of $ 722 million USD in 2019.

The data is an illustration – if not evidence – of how this monetization system is not a sustainable income strategy. As I mentioned before, the system heavily depends on the player’s desire to speed up progress and buy micro-transactions. Once the game’s hype dies down, players will eventually stop playing, and the income source consequently disappears. We also briefly discussed the “pay-to-win” issue in free-to-play games if you want to know more about why monetization in this approach has its own problems. 

Developers have used many ways of incentivizing players to keep staying in the system. They might use “subtle” methods, as seen in the Vox video below. If this method fails, they might use the “frontal” method, which is essentially slowing down the free players’ progress.

On the other hand, the presence of esports has indirectly opened up new business opportunities for game developers and can even extend the lifespan of their games. One of the reasons why this can happen is that esports games are usually very accessible.

As you have seen from the title, most games with successful esports scenes are free. Because the game is free-to-play, players can access the game as long as they meet the minimum specification required to run the game (which is usually much lower than paid premium games).

We can take VALORANT, released in 2020, as an example. VALORANT can be run with only an Intel HD GPU, which is built into the processor. FIFA 21, on the other hand, is a paid game that also requires an external GPU (adding to the total cost of the game) in the form of a GeForce GTX 660 and a Radeon HD 7850.

The two games have their respective esports scene. But which of the two are more popular? As you have probably guessed, it is VALORANT. Games with easy access (free-to-play and low hardware specification requirements) have more potential in attracting new players rather than games with difficult access (paid and high hardware specification requirements). As a result, VALORANT was able to accumulate up to 478 thousand viewers on Twitch, while FIFA 21 merely reached 82 thousand viewers, according to twitchtracker.com.

There are several steps in the monetization process of free-to-play games. Low specs and free games first attract new players (with little to no effort). These players slowly become viewers or enthusiasts through watching streamers or tips and tricks contents. Tournaments and leagues can then be presented to these viewers and commercialize them in the form of sponsorships, media licenses, or other investments from external parties.

Let us take Riot Games’ League of Legends as an illustration. If you frequently follow Hybrid’s news, you can see the abundance of deals Riot got in 2020 alone. Riot collaborated with many popular brands in various fields ranging from fashion such as Louis Vuitton, AAPE, tech companies like Cisco, to music brands such as Universal Studios and Spotify. These brands are willing to make a deal with Riot because it has the capability to ammas an audience of 44 million people during the 2019 LoL World Championship. Therefore, it is not surprising that Riot Games decided to make esports one of the pillars of their business rather than just a marketing tool.

Riot Games’ achievements are living proof that esports is a more sustainable and profitable monetization method for free-to-play game publishers.

Dota 2 can also be another example of a game that thrives from the presence of esports. Valve sells a Battle Pass (containing various skin and cosmetics) on a yearly basis and uses 25% of the sales to increase the prize pool of The International (TI). Valve raised US$40 million from The International Battle Pass last year. Keep in mind that this is only 25%. The remaining 75% of the Battle Pass sales are going directly to Valve’s pocket. You can imagine how much Valve is profiting from the esports monetization model alone.

Making games that are free-to-play, especially when it is integrated with a healthy esports ecosystem, has been proven to be an effective business model. Esports also provides a lot of commercialization potential by building the interest of external parties to invest in the game. It can also incentivize players to buy in-game content, like Dota 2’s Battle Pass, that will support their favorite team and the overall esports ecosystem.

 

Why Are Other Monetization Systems Less Successful In Building Esports Ecosystems?

I have previously discussed the factors behind the success of competitive esports games. If you have read that article, you will also find the ease of access to the particular game is key to its esports growth.

The price of the game and minimum spec requirements are the two elements that affect the accessibility of a game. In the end, the number of players in a game will always be determined by how high the entry barrier is set by the game developer/publisher. The lower the price and the device specifications, the greater the market potential the game can amass. Referring back to the VALORANT vs. FIFA 21 argument, VALORANT is superior in terms of player numbers since the game is free, while FIFA 21 costs IDR 849,000. VALORANT can also run without an external GPU, while FIFA 21 requires the use of an external GPU.

FIFA 21 also has esports tournaments, but its growth has been severely limited due to the less affordable prices of the game and the requirement of higher PC specs than free-to-play games.

With regards to the different approaches of game developers I mentioned earlier, we can take Nintendo as a case study. The Smash Bros community frequently complained to Nintendo due to the lack of financial support they receive in Smash tournaments. On one occasion, Nintendo even expresses its unwillingness to invest in esports.

Despite Super Smash Bros having a massive following of loyal fans, Nintendo still does not want to capitalize on the esports income strategy. This notion is especially true for developers who already had success using the pay model. After all, if Nintendo already generated significant revenue from the sales of Super Smash Bros alone, why would it bother to risk investing in an esports scene?

Shuntaro Furukawa, Nintendo’s president who previously expresses his standpoint about the Super Smash Bros esports scene. Source: Time

On the other hand, developers releasing free-to-play games (which obviously cannot rely on game sales) will need an alternative source of income. Selling skins can be one way of generating revenue, but it will most likely not cover the operating cost of the game. Developers can also use the aforementioned “exploitative” monetization methods. For example, Riot Games can make a champion unlockable on a certain level, which indirectly forces players to pay to level up faster. However, these types of monetization model has been shown to not be sustainable in the long-term.

Indeed, cultivating an esports ecosystem requires significant investment and is not always guaranteed to be profitable. However, when proper and careful steps are taken, we have seen how many developers thrive solely from their esports scenes. As Riot Games CEO Nicolo Laurent once said, “We no longer see esports as just marketing, but as a business.” Nicolo also added, “we want to make sure everybody has something to win.” From Nicolo’s statements, it is clear how esports has a wider economic impact compared to micro-transactions or the pay-to-win model.

Conclusion

From this discussion, we have explored why free-to-play games, when integrated with esports, can bring many income benefits for the game developers.  Esports also have the potential to build players’ loyalty, extend the lifespan of a game, and bring commercialization interests from external parties

So, should all free-to-play games have an esports scene? Well, not exactly. After all, the game’s direction is solely dependent on the developer’s goals and focus. For example, Clash of Clans still managed to persist until today (although its popularity is declining) without the esports monetization model. Riot Games, a developer famous for its thriving esports scene, still prioritizes making high-quality games rather than focusing on esports.

I very much agree with Riot’s philosophy here. After all, esports is the product of a game. A high-quality, creative, and well-balanced game will naturally produce a competitive esports scene. Thus, developers should put more effort in perfecting their game and player experience, then an expansion to the esports scene will automatically follow.

The original article is written by Akbar Priono

ESL One Summer 2021 Segera Dimulai

ESL telah mengumumkan empat tim terakhir yang diundang langsung untuk bertanding di ESL One Summer 2021. Keempat tim tersebut adalah T1, Team Liquid, Team Nigma dan Quincy Crew. Tim-tim tersebut merupakan peserta turnamen DPC AniMajor, yang telah berakhir pada 13 Juni lalu. Walaupun bukan merupakan turnamen DPC, para peserta yang mengikuti kompetisi ini tidak main-main. Banyak sekali tim-tim yang telah lolos menuju The International yang ikut serta di ESL One Summer 2021.

Turnamen ini pertama kali diumumkan pada 25 Mei 2021 dan akan berlangsung dari tanggal 16-20 Juni 2021. Kompetisi ini bersifat online dan memiliki total hadiah sebesar US$400 ribu atau sekitar Rp5 miliar. Tim-tim yang berpartisipasi berasal dari berbagai region. Awalnya ESL menyatakan bahwa akan ada 11 tim yang diundang langsung dan 1 tim yang berasal dari closed qualifier. Namun dengan mundurnya beberapa tim dengan alasan ingin fokus dengan qualifier The International 10, maka peringkat pertama sampai ketiga pada babak qualifier dimasukkan ke dalam turnamen ini.

Para peserta didominasi oleh tim yang berasal dari Eropa. Satu-satunya peserta yang mewakilkan Asia Tenggara hanyalah T1. Kabarnya tim-tim asal Tiongkok mengalami kendala visa dan berencana menetap di Eropa sampai The International berakhir.

Beberapa tim akan bermain dengan kekuatan penuh. Pasalnya pada AniMajor sebelumnya, Team Liquid dan AS Monaco Gambit terpaksa harus bertanding dengan pemain pengganti. AS Monaco Gambit terpaksa harus mencari 2 pemain pengganti, setelah ditinggal oleh No[o]ne dan SoNNeikO, seminggu sebelum AniMajor dimulai.

Hal serupa juga dialami Team Liquid yang harus bermain bersama Sumail di AniMajor lalu, karena salah satu pemainnya, Boxi, yang berhalangan hadir. Selain bermain bersama pemain pengganti, Team Liquid juga harus beradaptasi dengan line-up mereka, yang menjadi salah satu penyebab kegagalan mereka untuk lolos ke The International 10. Kali ini Team Liquid akan bertanding dengan roster yang lengkap.

Sebaliknya, OG harus cepat beradaptasi. Pasalnya, pada tanggal 14 Juni lalu, ana mengumumkan untuk pensiun dari kancah kompetitif Dota 2. Meski memang pengganti ana tidak kalah sakti, Syed Sumail “Sumail” Hassan, OG mungkin tetap harus membiasakan diri dengan formasi baru. Namun begitu, turnamen ini bisa menjadi pemanasan dan latihan sebelum OG bertanding di The International 10.

Tim manakah yang menjadi tim favorit Anda? Anda dapat lihat secara langsung melalui twitch.tv.

Pro dan Kontra Kekuasaan Absolut Publisher Game di Dunia Esports

Jika esports adalah sebuah kerajaan, maka publisher adalah rajanya, pemegang kekuasaan absolut yang bisa menentukan hidup-mati dari ekosistem esports sebuah game. Di satu sisi, kekuasaan publisher memungkinkan mereka untuk mengembangkan ekosistem esports. Di sisi lain, publisher juga punya kuasa untuk mematikan skena esports jika mereka menganggap bisnis esports tidak menguntungkan. Berikut argumen pro dan kontra akan kekuasaan penuh yang dipegang oleh para publisher di skena esports.

Pro #1: Tidak Ada Perebutan Kekuasaan

Di Indonesia, ada empat asosiasi yang menaungi esports, yaitu Indonesia Esports Association (IESPA), Asosiasi Video Game Indonesia (AVGI), Federasi Esports Indonesia (FEI), dan Pengurus Besar Esports Indonesia (PBESI). Masing-masing asosiasi punya afiliasi sendiri-sendiri. Misalnya, IESPA telah menjadi anggota dari International Esports Federation sejak 2013 dan menjadi anggota dari Komite Olimpiade Indonesia (KOI) sejak 2018. Selain itu, mereka juga terafiliasi dengan Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI). Sementara PBESI punya hubungan erat dengan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).

Pada Agustus 2020, KONI mengakui esports sebagai cabang olahraga berprestasi. Dengan begitu, esports tak lagi masuk dalam kategori cabang olahraga rekreasi. Artinya, kuasa IESPA di kancah esports menjadi tidak seluas sebelumnya. Sebaliknya, posisi PBESI justru menjadi setara dengan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) atau Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI). Dengan begitu, di mata hukum dan undang-undang, PBESI menjadi asosiasi dengan kewenangan tertinggi untuk memajukan esports, menurut One Esports. Padahal, sebelum itu, IESPA punya peran yang cukup besar dalam mendorong atlet esports berkompetisi di kompetisi global. Mereka bahkan bertanggung jawab atas pemilihat atlet esports di SEA Games 2019.

Idealnya, asosiasi-asosiasi esports di Indonesia bisa saling bahu membahu untuk mengembangkan ekosistem esports di Tanah Air. Dari tinju — yang punya empat organsiasi di dunia– kita bisa tahu asosiasi-asosiasi dari cabang olahraga yang sama bisa hidup berdampingan. Namun, keberadaan lebih dari satu asosiasi tidak hanya memperbesar kemungkinan terjadinya konflik antar asosiasi, tapi juga tumpang tindih tanggung jawab.

Nah, jika publisher memegang kuasa penuh akan skena esports, maka konflik perebutan kekuasaan bisa dicegah. Publisher bisa memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam ekosistem esports — mulai dari pemain, tim, sampai penyelenggara turnamen — mematuhi peraturan yang mereka buat. Dengan begitu, proses pengembangan ekosistem esports bisa menjadi lebih kohesif. Tak hanya itu, ketika publisher memegang kuasa penuh, mereka juga bisa membuat skena esports menjadi lebih stabil.

Mari kita bandingkan kuasa absolut publisher di skena esports dengan sistem pemerintahan kediktatoran. Sistem pemerintahan demokrasi selalu disebut lebih baik dari kediktatoran. Namun, dalam demokrasi, pemimpin pemerintahan akan selalu berganti setiap beberapa tahun. Di Indonesia, paling maksimal, seseorang bisa menjabat sebagai presiden selama 10 tahun (alias 2 periode). Jadi, maksimal setiap 10 tahun, presiden Indonesia akan berganti.

Masalahnya, ketika ada pergantian pemimpin, biasanya, kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah juga akan berubah. Apalagi jika pemimpin yang baru berasal dari kelompok oposisi dari presiden yang lama. Hal ini pernah terjadi di DKI Jakarta. Ketika pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno memenangkan Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta pada 2017, mereka langsung mengubah beberapa kebijakan yang dibuat oleh pasangan gubernur dan wakil gubernur sebelumnya.

Pelantikan PBESI. | Sumber: Hybrid.co.id

Dalam kehidupan bernegara, perubahan kepemimpinan mungkin bisa berdampak baik. Namun, dalam skena esports, kontinyuitas adalah komoditas yang sangat penting. Bayangkan jika tahun ini, kuasa akan skena esports ada di tangan asosiasi A. Mereka memutuskan untuk membuat kompetisi esports tingkat SMA dan kuliah karena mereka merasa, regenerasi pemain esports sangat penting. Namun, pada tahun depan, kuasa akan esports beralih ke asosiasi B, yang merasa, membuat kompetisi tingkat amatir tidak ada gunanya. Mereka lalu membubarkan semua kompetisi untuk pelajar dan mahasiswa yang telah diadakan oleh asosiasi A sebelumnya. Hal ini justru akan membuat skena esports menjadi tidak stabil.

Bagi negara yang ada di bawah kepemimpinan seorang diktator, hidup atau matinya negara tersebut memang sepenuhnya tergantung pada karakter dan moral sang diktator. Begitu juga dengan esports. Ketika publisher memegang kuasa penuh, maka sukses atau gagalnya skena esports akan bergantung sepenuhnya pada publisher. Kabar baiknya, hampir semua publisher ingin ekosistem esports dari game mereka sukses. Alasannya sederhana: karena ekosistem esports akan memberikan dampak langsung pada keuangan publisher.

Pro #2: Pubisher akan Perjuangkan Skena Esports Mati-Matian

Valve mendapatkan US$130,8 juta dari penjualan Battle Pass The International 9. 25% dari total penjualan Battle Pass — sekitar US$32,7 juta — disalurkan langsung ke total hadiah TI9. Hal inilah yang membuat TI9 bisa menawarkan total hadiah sebesar US$34,3 juta. Padahal, Valve sendiri hanya menyiapkan US$1,6 juta. Hal itu berarti, Valve bisa mengantongi US$98,1 juta dari penjualan Battle Pass TI9. Padahal, Dota 2 adalah game gratis yang diluncurkan pada Juli 2013. Namun, berkat kesuksesan skena esports dari Dota 2, game itu tetap bisa menjadi tambang emas bagi Valve. Pertanyaannya, jika skena esports yang sukses bisa menghasilkan puluhan juta dollar, publisher mana yang tidak akan berjuang mati-matian untuk mengembangkan ekosistem esports dari game mereka?

Oke, The International mungkin merupakan kasus ekstrim yang tidak bisa ditiru oleh semua publisher. Namun, publisher punya beberapa opsi untuk memonetisasi skena esports dari game mereka. Misalnya, Riot Games membuat dan menjual skin dari tim yang menjadi juara League of Legends World Championship. Model monetisasi lain yang mereka gunakan adalah membuat liga League of Legends dengan model liga franchise. Artinya, jika sebuah tim ingin ikut serta dalam liga, mereka harus membayar sejumlah uang terlebih dulu. Saat ini, Riot telah menerapkan model franchise di tiga liga League of Legends, yaitu Liga Amerika Utara (LEC), Liga Eropa (LEC), dan Liga Korea Selatan (LCK). Di Indonesia, salah satu publisher yang mengadopsi model monetisasi liga franchise adalah Moonton dengan Mobile Legends Professional League (MPL).

Selain itu, esports juga bisa digunakan sebagai alat marketing, yang dapat memperpanjang lifecycle sebuah game. Ubisoft adalah contoh publisher yang sukses menjadikan esports sebagai alat marketing. Mereka meluncurkan Rainbow Six: Siege pada 2015. Satu tahun kemudian, pada 2016, jumlah pemain dari game FPS itu hanya mencapai 10 juta orang. Namun, pada 2020, angka itu meroket menjadi 55 juta pemain. Padahal, biasanya, semakin tua umur sebuah game, semakin sedikit jumlah pemainnya. Dalam kasus Ubisoft, skena esports R6 membuat game itu tetap relevan sehingga para pemain tetap setia dan tidak beralih ke game lain.

Karena sukses atau tidaknya sebuah skena esports punya dampak besar pada publisher, tentunya, mereka juga akan berjuang ekstra keras untuk memastikan skena esports dari game mereka tetap bertahan. Di Indonesia, skena esports Dota 2 dan Counter-Strike: Global Offensive sempat besar. Namun, sekarang, turnamen esports dari kedua game itu sudah jarang ditemui. Alasannya, karena gamers Indonesia lebih suka untuk memainkan mobile game dan juga tak ada publisher yang peduli dengan keberlangsungan ekosistem esports dua game tersebut di sini.

Karena skena esports yang sehat bisa menguntungkan publisher — baik secara langsung maupun tidak langsung — maka mereka pun akan berjuang ekstra keras untuk menumbuhkan dan mempertahankan ekosistem esports dari game mereka. Contohnya, ekosistem esports dari Dota 2 dan Counter-Strike: Global Offensive sempat besar di Tanah Air. Sayangnya, sekarang, tidak banyak pihak yang mengadakan kompetisi esports dari kedua game itu.

ClutchGuild yang lolos ke AOV World Cup 2018. | Sumber: Mineski

Sekarang, mari bandingkan dengan Arena of Valor. Mobile game MOBA itu juga kalah pamor jika dibandingkan dengan game-game mobile lain. Meskipun begitu, skena esports-nya masih hidup. Buktinya, Arena of Valor Premier League masih digelar. Dan total hadiah dari turnamen tersebut tidak kecil, mencapai US$350 ribu. Coba tebak siapa yang menyelenggarakan Arena of Valor Premier League? Tencent dan Garena. Hal ini menunjukkan, walau ekosistem esports tetap bisa bertahan tanpa dukungan publisher, sokongan publisher tetap akan memengaruhi sukses atau tidaknya skena esports.

Pro #3: Peraturan yang Pasti

Soal regulasi, baik penyelenggara turnamen (TO) maupun publisher sebenarnya sama-sama bisa membuat peraturan dalam sebuah skena esports. Hanya saja, publisher punya power yang lebih kuat untuk menegakkan peraturan yang mereka buat karena mereka memang memiliki akses langsung ke game yang diadu. Misalnya, jika ada pemain esports yang berbuat curang dalam kompetisi resmi PUBG Mobile, Tencent punya akses untuk melakukan ban pada ID pemain dari game. Sementara itu, jika hal yang sama terjadi di turnamen dari pihak ketiga, pihak TO hanya akan bisa melarang pemain mengikuti turnamen-turnamen yang mereka buat di masa depan.

Contoh lainnya, salah satu ekosistem esports di Indonesia yang besar tanpa dukungan publisher adalah Pro Evolution Soccer. Skena esports PES bisa tumbuh berkat Liga1PES dan juga Indonesia Football e-League (IFeL). Masing-masing kompetisi punya peraturan masing-masin. Namun, Liga1PES tidak akan bisa ikut campur dalam regulasi yang dibuat oleh IFeL dan begitu juga sebaliknya. Sementara itu, publisher akan bisa membuat regulasi yang harus dipatuhi oleh semua TO yang tertarik untuk membuat turnamen esports dari game mereka.

Head of Indonesia Football e-League, Putra Sutopo. | Sumber: Dokumentasi resmi IFeL

Memang, kekuasaan absolut publisher ini bisa disalahgunakan. Namun, mengacu pada poin pro #2, publisher tidak akan membuat regulasi yang tidak adil. Karena, hal ini bisa membuat tim dan pemain profesional enggan ikut serta atau bahkan membuat para fans marah. Jadi, kemungkinan besar, publisher akan mencoba untuk membuat regulasi yang memang kondusif untuk pertumbuhan ekosistem esports.

Kontra #1: Bisa Mematikan Ekosistem Esports Kapan Pun

Esports memang bisa menjadi sumber pemasukan baru bagi publisher. Hanya saja membuat ekosistem esports yang menguntungkan bukanlah perkara gampang. Terkadang, publisher harus menginvestasikan uang yang tidak sedikit dalam waktu lama demi mengembangkan ekosistem esports dari game buatan mereka. Karena itu, jangan heran jika ada publisher yang memutuskan untuk berhenti menyokong ekosistem esports dari game mereka ketika mereka menganggap, competitive gaming tidak menguntungkan. Blizzard Entertainment adalah salah satu publisher yang melakukan hal ini.

Blizzard merilis Heroes of the Storm pada 2015. Di tahun yang sama, Blizzard menggandeng organisasi esports tingkat universitas, Tespa, untuk menggelar kompetisi HoTS untuk para mahasiswa, Heroes of the Dorm. Blizzard menyediakan hadiah berupa beasiswa senilai US$25 ribu untuk tim yang bisa menjadi juara. Satu tahun kemudian, pada 2016, Blizzard mengadakan kompetisi HoTS untuk profesional. Tidak tanggung-tanggung, mereka membuat turnamen dengan skala global. Turnamen itu dinamai Heroes of the Storm Global Championship (HGC). Skena esports HoTS pun cukup sukses. Buktinya, sejumlah organisasi esports ternama ikut turut serta, seperti Gen.G dari Korea Selatan dan Fnatic dari Inggris.

Namun, pada Desember 2018, Blizzard memutuskan untuk berhenti mendukung skena esports HoTS. Alasannya, karena mereka menganggap, investasi di competitive gaming tidak menguntungkan. Masalahnya, ketika itu, Blizzard tidak menginformasikan rencana mereka untuk berhenti menyokong skena esports HoTS pada para tim atau pemain. Alhasil, pelatih dan pemain profesional HoTS mendadak kehilangan pekerjaan mereka. Organisasi profesional juga mengalami kerugian karena mereka sudah terlanjur membuat tim untuk HoTS. Kabar baiknya, para fans HoTS berhasil mempertahankan skena dari game MOBA tersebut. Walau tentu saja, skala turnamen yang diadakan menjadi jauh lebih kecil.

Keputusan Blizzard untuk menghentikan turnamen HoTS secara sepihak merupakan salah satu dampak negatif yang mungkin muncul karena publisher memegang kekuasaan absolut di dunia esports. Dan hal ini mendorong politikus Korea Selatan untuk membuat regulasi baru. Pada Mei 2021, anggota kongres dari Partai Demokrat Korea, Dong-su Yoo mengajukan regulasi bernama Heroes of the Storm Law. Regulasi tersebut ditujukan untuk memastikan tidak ada pihak penyelengggara turnamen — baik publisher atau TO — yang mendadak membatalkan kompetisi tanpa mengabarkan hal itu pada semua pihak terkait. Melalui HoTS Law, Yoo berharap, jika publisher atau perusahaan distributor game berencana untuk berhenti mengadakan kompetisi esports, mereka akan memberitahukan hal tersebut pada tim dan pemain beberapa sebelum rencana itu direalisasikan, menurut laporan Naver Sports.

“Dalam esports, jika publisher game tak lagi mendukung skena esports, banyak pihak yang akan terkena dampaknya, termasuk organisasi esports, pemain profesional, caster, penonton, dan berbagai pihak lain,” kata Yoo, seperti dikutip dari The Esports Observer. Dia menyebutkan, kebanyakan pemain esports merupakan remaja atau berumur 20-an, yang merupakan masa penting dalam menentukan dan membangun karir profesoinal mereka. Kematian ekosistem esports secara mendadak bisa memengaruhi karir mereka. “Harus ada regulasi yang melindungi mereka,” ujar Yoo.

Kontra #2: Publisher yang Tak Tertarik dengan Esports

Jika Blizzard memutuskan untuk menyetop kompetisi HoTS setelah menyokong ekosistemnya selama sekitar tiga tahun, Nintendo sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan untuk membangun ekosistem esports dari Super Smash Bros. Padahal, ekosistem esports dari Super Smash Bros. cukup berkembang. Buktinya, ada kompetisi tahunan dari Super Smash Bros., Smash Summit, yang diadakan sejak 2015. Tak hanya itu, Super Smash Bros. juga masuk dalam EVO, kompetisi esports paling bergengsi untuk fighting game. Meskipun begitu, Nintendo tetap tak tertarik untuk menyokong ekosistem esports Super Smash Bros.

Memang, Nintendo masih memberikan bantuan pada komunitas Super Smash Bros., seperti bantuan logistik, tapi, mereka tidak memberikan bantuan finansial sma sekali. Alhasil, total hadiah dari turnamen-turnamen Super Smash Bros. jauh lebih kecil dari kebanyakan kompetisi esports lainnya. Sebagai perbandingan, Smash Summit 5 — kompetisi Super Smash Bros. dengan total hadiah terbesar — hanya menawarkan hadiah sebesar US$83,7 ribu. Sementara itu, MPL — yang hanya mencakup Indonesia — mempunya total hadiah sebesar US$150 ribu. Dan Riot menyediakan US$2,25 juta untuk League of Legends World Championship.

Keputusan Nintendo ini membuat sejumlah pemain profesional Super Smash Bros. meradang. Karena itu, pada 2020, President Nintendo, Shuntaro Furukawa, memberikan alasan di balik keputusan Nintendo untuk tidak mendukung ekosistem esports Super Smash Bros. Dia menjelaskan, perusahaan lebih ingin agar Super Smash Bros. bisa dinikmati oleh semua orang, baik gamer hardcore maupun kasual. Mereka tidak ingin menonjolkan perbedaan kemampuan antara pemain Super Smash Bros. profesional dengan pemain kasual. Memang, selama ini, Super Smash Bros. lebih dikenal sebagai fighting game yang fun dan bukannya fighting game yang serius.

Esports, yang menyediakan panggung bagi para gamers untuk bertanding dan memperebutkan hadiah di hadapan penonton, memang bisa menunjukkan daya tarik dari video game,” kata Furukawa pada Nikkei, seperti diterjemahkan oleh Kotaku. “Kami bukannya tidak mendukung esports. Kami ingin bisa berpartisipasi dalam berbagai event sehingga game-game kami bisa dinikmati semua orang, terlepas pengalaman, gender, atau umur. Kekuatan kami, apa yang membedakan kami dari perusahaan lain, adalah pandangan ini dan bukannya besar total hadiah turnamen.”

Kontra #3: Turunnya Legitimasi Turnamen Pihak Ketiga

The International adalah Piala Dunia-nya para pemain Dota 2. The be-all and end-all. Hal ini tidak aneh, mengingat TI memang menawarkan hadiah yang paling besar, tidak hanya jika dibandingkan dengan turnamen Dota 2 lainnya, tapi jika dibandingkan dengan semua kompetisi esports dalam satu tahun. Tim yang menjuarai TI sudah pasti akan menjadi tim dengan total hadiah terbesar dalam satu tahun.

Bagi Valve, tingginya hype TI memang kabar baik. Namun, bagi penyelenggara turnamen pihak ketiga, hal ini justru bisa menjadi masalah. Pasalnya, total hadiah TI yang terlalu besar justru membuat kompetisi Dota 2 lainnya terlihat tidak signifikan. Hal ini bisa membuat para tim atau pemain papan atas enggan untuk ikut serta dalam turnamen yang diadakan oleh pihak ketiga. Dan jika tidak ada pemain atau tim elit yang berlaga, pihak penyelenggara akan kesulitan untuk menarik perhatian penonton.

Selain dari segi total hadiah, turnamen dari penyelenggara pihak ketiga juga biasanya kesulitan untuk menyaingi turnamen resmi dari publisher dari segi prestige. Ketika Anda menonton The International atau PUBG Mobile Global Championship, Anda tahu bahwa tim-tim yang bertanding di turnamen itu merupakan tim terbaik. Karena, untuk bisa berlaga di TI atau PMGC, sebuah tim harus melalui “babak penyisihan”, seperti turnamen tingkat nasional atau regional. Hal ini menunjukkan, kompetisi resmi dari publisher biasanya memiliki jenjang yang jelas. Dari kompetisi tingkat nasional, lalu naik ke tingkat regional, sebelum masuk ke level global.

Astralis dan The Liquid yang memenangkan Intel Grand Slam Season 1 dan 2. | Sumber: Dexerto

Sementara itu, tidak semua kompetisi dari TO pihak ketiga bisa sekomprehensif itu. Selain itu, membuat kompetisi esports yang berjenjang, seperti yang dilakukan oleh para publisher, memakan biaya yang tidak sedikit. Tidak banyak perusahaan yang mau untuk menyiapkan dana dan tenaga demi membuat kompetisi esports dengan jenjang panjang. Salah satu perusahaan non-publisher yang bisa melakukan itu adalah Intel, yang mengadakan Intel Grand Slam dengan bantuan dari ESL Gaming. Intel Grand Slam menawarkan hadiah US$1 juta untuk tim CS:GO yang berhasil memenangkan 4 turnamen S-Tier dalam periode 10 kompetisi.

Keberadaan Intel Grand Slam memang membuktikan bahwa pihak ketiga pun bisa membuat kompetisi yang berkelanjutan. Hanya saja, ada berapa banyak perusahaan yang mampu dan mau melakukan hal itu? Intel ada di posisi unik. Mereka tidak hanya punya dana yang memadai, mereka juga merupakan merek endemik esports. Pada 2020, pemasukan Intel mencapai US$77,87 miliar. Sementara itu, pendapatan NVIDIA pada tahun fiskal 2021 adalah US$16,68 miliar, Sony US$10,7 miliar, dan Lenovo Group US$50,7 miliar.

Kesimpulan

Power corrupts, and absolute power corrupts absolutely. Dalam kehidupan bernegara, seseorang yang memegang kekuasaan penuh kemungkinan besar memang akan tergoda untuk mengambil keputusan yang menguntungkan dirinya atau kelompoknya. Dan dalam dunia esports, publisher — sebagai pemegang kuasa absolut — juga punya potensi untuk berbuat semena-mena. Hal ini dibuktikan oleh Blizzard yang secara sepihak menyetop kompetisi Heroes of the Storm. Namun, hal itu bukan berarti semua publisher akan melakukan hal itu.

Pasalnya, sebagai perusahaan, publisher pasti akan mencoba untuk mendapatkan untung sebanyak-banyaknya. Dan esports bisa menjadi sumber pemasukan baru. Hanya saja, untuk bisa mendapatkan untung dari esports, publisher harus terlebih dulu membangun ekosistem yang solid. Dan publisher tidak bisa melakukan hal itu sendiri. Mereka membutuhkan bantuan dari tim, pemain, dan penyelenggara turnamen esports. Jadi, walau publisher bisa membuat keputusan sesukanya, mereka harus mengambil langkah yang menguntungkan semua pihak yang terlibat jika mereka ingin mendapatkan untung dari esports.

Sumber header: Win.gg

Daftar Turnamen Esports Terpopuler Bulan April 2021

Memasuki bulan Mei, Hybrid.co.id kembali membuat daftar turnamen esports terpopuler selama April 2021. Dari lima kompetisi yang masuk dalam daftar kali ini, tiga di antaranya juga masuk daftar turnamen paling populer di Maret 2021. Namun, game esports yang populer pada April cukup berbeda dari bulan sebelumnya. Jika pada bulan Maret, Free Fire berjaya, pada April, justru League of Legends yang menjadi sorotan utama.

Berikut lima turnamen esports terpopuler sepanjang April 2021, menurut data dari Esports Charts.

5. ONE Esports Singapore Major 2021

Dengan peak viewers mencapai 605 ribu orang, ONE Esports Singapore Major 2021 duduk di peringkat lima dalam daftar turnamen esports terpopuler di April 2021. Jumlah peak viewers tersebut tercapai pada babak final yang mempertemukan Evil Geniuses dengan Invictus Gaming. Sebelum bertanding dengan EG di babak final, IG sempat kalah dari tim asal Amerika Serikat itu, membuat mereka terdepak dari Upper Bracket. Jadi, ketika IG kembali bertemu dengan EG di babak final, tidak heran jika atmosfer di antara keduanya terasa menegangkan.

Daftar pertandingan terpopuler di ONE Esports Singapore Major. | Sumber: Esports Charts

Pemenang dari babak final turnamen Major ini ditentukan dengan format Best of Five. EG meraih kemenangan di dua pertandingan pertama. Namun, IG berhasil membalikkan keadaan dan mengalahkan EG pada pertandingan ketiga. IG juga memenangkan dua pertandingan setelah itu. Dengan begitu, IG berhasil keluar sebagai juara dari ONE Esports Singapore Major 2021 dengan skor 3-2. Sejak diselenggarakan pada 25 Maret 2021 hingga 4 April 2021, turnamen Dota 2 Major ini berhasil mendapatkan 20,6 juta jam hours watched. Sementara jumlah penonton rata-rata dari turnamen tersebut adalah 197 ribu orang.

4. PUBG Mobile Pro League Season 3 2021 Indonesia

PUBG Mobile Pro League Indonesia (PMPL) 2021 Season 3 duduk di peringkat empat dalam daftar turnamen esports terpopuler untuk bulan April 2021. Dari bulan Maret 2021, PMPL ID S3 naik satu peringkat dari peringkat lima. Tentu saja, kenaikan peringkat diiring dengan meningkatnya jumlah peak viewers. Pada Maret 2021, jumla peak viewers PMPL ID S3 hanya mencapai 532 ribu orang. Sementara pada April 2021, angka itu naik menjadi 628 ribu orang.

Pertandingan terpopuler sepanjang PMPL ID S3. | Sumber: Esports Charts

Pertandingan yang berhasil menarik paling banyak penonton pada PMPL ID S3 adalah babak final hari ke-3, Ronde 18. Sementara itu, Ronde 17 di hari yang sama menjadi pertandingan terpopuler ke-2, dengan peak viewers mencapai 584 ribu orang. Geek Fam berhasil menjadi juara dari PMPL ID S3 dan akan maju ke PMPL Southeast Asia (SEA). Sementara itu, gelar runner up dimenangkan oleh Bigetron Red Aliens. Sebagai juara 2, Bigetron RA juga berhak akan tiket ke PMPL SEA. Namun, tiket tersebut diberikan ke Aura Esports, yang duduk di juara tiga. Alasannya, Bigetron RA sudah mendapatkan undangan untuk bertanding di PMPL SEA karena jadi juara dari musim sebelumnya.

3. LCK Spring 2021

League of Legends Champions Korea (LCK) Spring 2021 menjadi turnamen esports terpopuler ketiga dengan peak viewers 674 ribu orang. Menariknya, pertandingan paling populer dari LCK Spring 2021 bukanlah babak final. Pertandingan yang berhasil menarik 674 ribu orang penonton tersebut adalah pertandingan antara T1 dengan Gen.G pada babak semifinal hari ke-2. Meskipun begitu, babak final yang mempertemukan Damwon Gaming (DWG) Kia dengan Gen.G, juga menarik cukup banyak penonton. Jumlah peak viewers dari pertandingan itu mencapai 616 ribu orang.

T1 muncul dalam 3 dari 4 pertandingan terpopuler di LCK Spring 2021. | Sumber: Esports Charts

LCK Spring 2021 dimenangkan oleh DWG KIA setelah mereka mengalahkan Gen.G dengan skor telak: 3-0. Sementara itu, tim Hanwha Life Esports berhasil meraih gelar juara tiga, dan T1 juara empat. Walau hanya menjadi juara empat, T1 terbukti sukses menarik banyak penonton. Buktinya, pertandingan terpopuler ketiga di LCK Spring 2021 adalah pertandingan antara T1 dan DRX di babak quarter finals hari ke-2. Jumlah peak viewers dari pertandingan itu mempunyai 599 ribu orang. Sementara itu, secara total, LCK Spring 2021 mendapatkan hours watched sebanyak 67,6 juta jam dengan jumlah rata-rata viewers sebanyak 232 ribu orang.

2. LEC Spring 2021

Posisi kedua dari daftar turnamen esports paling populer untuk April 2021 kembali diisi oleh kompetisi League of Legends. Dengan peak viewers mencapai 831 ribu orang, League of Legends European Championship (LEC) Spring 2021 berhasil mengalahkan LCK Spring 2021. Sepanjang turnamen berlangsung, LEC Spring 2021 telah mendapatkan 44,3 juta hours watched dan 310 ribu average viewers. Dengan begitu, LEC Spring 2021 berhasil mencetak rekor baru dalam hal hours watched, average minute audience (AMA), dan peak viewers.

Pertandingan terpopuler di LEC Spring 2021. | Sumber: Esports Charts

Babak grand final dari LEC Spring 2021 mempertemukan MAD Lions dengan Rogue. Pertandingan tersebut sukses menjadi pertandingan paling populer dari LEC Spring 2021. Sementara itu, pertandingan antara G2 Esports dan Rogue di semifinal hari ke-2 menjadi pertandingan terpopuler ke-2. Jumlah peak viewers dari pertandingan itu mencapai 690 ribu orang. Pertandingan antara G2 dan MAD Lions pada semifinal hari pertama juga menarik banyak penonton, dengan jumlah peak viewers mencapai 661 ribu orang.

Satu hal yang mengejutkan dari LEC Spring 2021 adalah kalahnya G2 Esports. Selama ini, tim asal Jerman itu dianggap sebagai raja di kompetisi League of Legends Eropa. Meskipun begitu, G2 bukan satu-satunya tim besar yang kalah dari tim-tim yang lebih baru.

1. MPL ID Season 7

Dimulai pada Februari 2021, Mobile Legends Professional League Indonesia Season 7 masih menarik perhatian penonton pada bulan April 2021. Faktanya, turnamen Mobile Legends ini justru naik peringkat. Pada Maret 2021, MPL ID S7 merupakan liga esports terpopuler kedua. Pada bulan April, mereka berhasil naik ke peringkat pertama.

Pada Maret 2021, pertandingan El Clasico antara RRQ dan EVOS Esports menjadi pertandingan paling populer. Jumlah peak viewers dari pertandingan tersebut mencapai 1,18 juta orang. Sementara jumlah peak viewers dari MPL ID S7 pada April justru naik menjadi 1,47 juta orang. Menariknya, sama seperti pada Maret, di bulan April, pertandingan yang berhasil menarik paling banyak penonton adalah pertandingan antara RRQ Hoshi dan EVOS Legends.

Data soal MPL ID S7. | Sumber: Esports Charts

Sementara itu, dari segi hours watched, MPL ID S7 berhasil mendapatkan 54,5 juta jam, dua kali lipat dari total hours watched pada Maret 2021. Seperti yang disebutkan oleh Esports Charts, RRQ merupakan tim paling populer di MPL kali ini. Jumlah penonton rata-rata dari RRQ adalah 508 ribu orang. Namun, EVOS, yang berhasil menjuarai MPL musim ini, juga tidak kalah populer. Empat dari lima pertandingan terpopuler sepanjang Season 7 melibatkan EVOS. Jumlah rata-rata penonton dari EVOS adalah 496 ribu orang.

Disclosure: Esports Charts adalah Partner dari Hybrid.co.id.

Mampukah Esports Berkembang Tanpa Dukungan Langsung dari Sang Publisher?

Perkembangan esports sedang begitu digembar-gemborkan belakangan ini, terutama ketika pandemi menyerang. Banyak publikasi ataupun lembaga riset yang memproyeksikan masa depan esports. Newzoo misalnya, memproyeksikan angka pemasukan esports akan mencapai US$1,084 miliar pada tahun 2021 ini dengan perkiraan jumlah penonton mencapai 474 juta orang.

Memang benar esports sedang berkembang pesat. Tetapi ada satu pola dalam perkembangan esports yang mungkin bisa jadi masalah. Hal tersebut adalah bentuk ketergantungan dengan pihak pertama alias developer atau publisher game esports terkait.

Bermula dari hal tersebut, muncul tanda tanya tersendiri. Apakah esports bisa berkembang tanpa dukungan developer ataupun publisher game? Dalam artikel ini tim redaksi Hybrid mencoba mengupasnya dari sudut pandang global yang lalu dikerucutkan ke sudut pandang lokal.

 

Alkisah Sebuah Game Bernama Heroes of The Storm

Video milik Akshon Esports menjadi pengantar saya dalam membahas topik ini. Pada salah satu videonya, Akshon Esports membahas Heroes of the Storm, sebuah game MOBA yang di-develop dan di-publish oleh Blizzard Entertainment.

Kisah Heroes of the Storm menarik untuk diulas karena beberapa hal. Pertama, Heroes of the Storm sendiri yang memang punya konsep baru nan segar di ranah MOBA dengan menghilangkan sistem item dan sistem level individual.

Kedua, Heroes of the Storm sempat jaya sebagai esports sampai akhirnya Blizzard melepas dukungannya sehingga skena esports game tersebut jadi hampir hancur luluh lantah.

Sekarang, mari saya ceritakan bagaimana Heroes of the Storm hadir ke pasaran. Walaupun Warcraft III (besutan Blizzard) bisa dibilang moyangnya game MOBA seperti Dota 2 dan League of Legends, namun uniknya Blizzard malah ketinggalan masuk ke pasar MOBA.

League of Legends rilis di tahun 2009. Dota 2 rilis di tahun 2013. Heroes of the Storm baru dirilis Blizzard tahun 2015 ketika sudah ada banyak iterasi genre MOBA yang datang dan pergi. Walau terlambat muncul, Heroes of the Storm membawa konsep yang segar.

Seperti yang saya sebut sebelumnya, Heroes of the Storm tidak memiliki item. Sebagai gantinya, Blizzard membuat sistem Talent yang bisa diambil pada level tertentu dan bersifat memperkuat atau menambah skill tertentu. Sistem talent menjadi inovasi yang besar bagi genre MOBA, bahkan sampai ditiru oleh Dota 2.

Heroes of the Storm juga tidak memiliki level individual. Pada MOBA, masing-masing pemain biasanya punya level karakter masing-masing saat bertanding. HoTS tidak, level karakter dikumpulkan secara kolektif oleh tim. Semakin sering sebuah tim memenangkan peperangan, maka semakin cepat juga naik levelnya.

Keunikan terakhir yang ditawarkan oleh HoTS adalah variasi map dengan objektif memenangkan pertandingan yang juga beragam. Dalam MOBA umumnya, objektif permainan cuma satu: mendesak musuh, menghancurkan tower demi tower sampai salah satu tim bisa menghancurkan bangunan inti milik musuh. HoTS berbeda.

Tujuan utamanya tetap menghancurkan bangunan inti. Namun, cara untuk mencapainya berbeda-beda. Pada satu map Anda harus merebut area tertentu agar bisa berubah menjadi naga; yang bisa membantu menghancurkan bangunan inti.

Pada map lain, Anda harus mengumpulkan biji tanaman untuk berubah menjadi monster; yang juga akan membantu Anda menghancurkan bangunan inti. Bahkan, Anda bisa juga tidak perlu menghancurkan tower demi tower untuk bisa hancurkan bangunan inti.

Berkat keunikan yang ditawarkan, Heroes of the Storm muncul menjadi MOBA yang punya penggemarnya tersendiri. Terlebih, Heroes of the Storm juga menawarkan karakter-karakter dari semesta Blizzard yang memang sudah banyak dikenal pemain, seperti Arthas dari World of Warcraft, Sarah Kerrigan dari StarCraft, Tyrael dari Diablo, Genji dari Overwatch, bahkan trio viking dari game jadul The Lost Vikings.

Perkembangan tersebut disambut positif juga oleh Blizzard dengan menghadirkan skena esports profesional yang menjanjikan karir. Pada masanya, esports Heroes of the Storm juga menjadi salah satu pionir.

Kala itu tepatnya tahun 2015, Blizzard menghadirkan turnamen bertajuk Heroes of the Dorm. Turnamen tersebut merupakan turnamen antar universitas yang berhadiah beasiswa bagi para pemenangnya. Heroes of the Dorm juga terbilang menjadi salah satu tayangan esports pertama yang hadir di saluran televisi ESPN pada masa itu.

Setelah Heroes of the Dorm hadir dan cukup sukses, Blizzard pun mencoba meningkatkan skala kompetisi game Heroes of the Storm dengan menghadirkan Heroes Global Championship (HGC). HGC merupakan sebuah sirkuit turnamen yang hadir di beberapa negara seperti Australia/New Zealand, China, Europe, Korea, Latin America, North America, dan Southeast Asia.

Kehadiran HGC memberikan menjadi angin segar bagi para pemain kompetitif karena memberi janji karir di masa depan. Kehadiran HGC juga berhasil menarik minat tim-tim esports profesional seperti Dignitas, Fnatic, Tempo Storm, dan Gen.G.

HGC berjalan secara rutin setiap tahun sejak tahun 2016, membuat tim dan para pemain merasa cukup percaya diri untuk terus melanjutkan perjuangannya di skena Heroes of the Storm. Namun pada 2018, satu berita mengejutkan datang dari Blizzard.

Melalui sebuah blog post yang terbit tanggal 13 Desember 2018, Blizzard mengumumkan penarikan mundur semua dukungan terhadap esports Heroes of the Storm. Blizzard tidak akan melanjutkan seri kompetisi HoTS yang artinya tidak akan ada Heroes of the Dorm dan Heroes Global Championship di tahun 2019.

Walaupun Blizzard tak lagi mendukung esports HoTS, mereka masih terus mengembangkan, memberikan update, perbaikan, serta konten baru untuk Heroes of the Storm.

Tanpa dukungan investasi dari Blizzard, esports Heroes of the Storm menjadi penuh ketidakpastian. Para pemain bisa saja ikut turnamen-turnamen pihak ketiga. Namun, turnamen pihak ketiga cenderung terbatas jumlah hadiahnya. Tanpa hadiah ataupun jaminan finansial yang pasti, pemain jadi tak punya alasan lagi untuk terus berkompetisi di Heroes of the Storm.

Beberapa pemain mulai pindah game agar dapat menyambung hidup. Rich, pemain tim Gen.G divisi Heroes of the Storm contohnya. Ia pindah ke League of Legends pasca kejadian tersebut. Ada juga Psalm, mantan pemain Tempo Storm yang sempat transisi ke skena Fortnite dan mendapat posisi runner-up di Fortnite World Cup 2019.

Lalu bagaimana kabar pemain yang tidak memutuskan untuk pindah? Dalam keadaan mati suri, inisiatif komunitas ternyata menjadi fenomena yang patut diacungi jempol dalam skena Heroes of the Storm, terutama di Amerika Serikat. Pihak ketiga bernama HeroesHearth muncul menjadi “pahlawan” bagi skena kompetitif HoTS di Amerika Serikat.

HeroesHearth mengawali perjuangannya menjaga esports HoTS terus berdenyut lewat turnamen invitational berhadiah US$5000. Setelahnya mereka juga menghadirkan turnamen bertajuk Fight Night, pertandingan kecil-kecilan dengan hadiah ratusan US$ saja. Skena bentukan komunitas tersebut terus berkembang sampai akhirnya kini menjadi Community Clash League (CCL).

Community Clash League tergolong berjalan cukup rapih dan terstruktur, walaupun sebenarnya hanya dijalankan oleh komunitas. Hadiah yang ditawarkan pun juga cukup menarik.

Lewat donasi dari komunitas, CCL Season 2 tahun 2020 kemarin berhasil menyajikan US$33.600 sebagai prize pool. Angka tersebut adalah angka yang cukup besar, apalagi mengingat CCL adalah turnamen tingkat komunitas.

Kisah hubungan Blizzard, Heroes of the Storm, dan komunitasnya menunjukkan bagaimana perkembangan esports bisa hancur dalam satu jentikkan jari. Pesta esports yang dinikmati oleh pemain-pemainnya habis begitu saja setelah Blizzard Entertainment memutuskan menarik dukungannya.

Esports Heroes of the Storm mungkin masih bertahan untuk sementara waktu berkat dukungan dari komunitas. Namun, apakah mereka masih bisa terus berjalan sampai beberapa tahun ke depan?

Setelah melihat kasus relasi esports dan publisher di ranah Heroes of the Storm luar negeri, sekarang mari kita mencoba melihat kasus seperti demikian di ranah lokal.

 

Kisah Serupa Dari Ranah League of Legends Indonesia

Dari ranah lokal, satu game yang punya cerita mirip sekali dengan kisah Heroes of the Storm di atas mungkin adalah League of Legends di Indonesia. Riot Games boleh bangga dengan esports League of Legends yang ditonton jutaan orang dan mencatatkan puluhan juta jam total watch hours di seluruh dunia. Terlepas jutaan orang penonton yang dicatatkan, League of Legends sendiri terbilang kurang punya nama di Indonesia

Esports League of Legends sempat mekar merona ketika Garena Indonesia masih menjalankan tugasnya sebagai publisher lokal. Tahun 2013 silam, League of Legends baru saja rilis di Indonesia lewat Garena. Pada masa awal perilisan tersebut, komunitas mendapat perhatian yang istimewa lewat bebagai inisiatif yang dilakukan.

Ada liga komunitas bertajuk Teemo Cup, inisiatif kompetisi tingkat kampus, sampai liga tingkat profesional bertajuk Leauge of Legends Garuda Series (LGS). Cerita lebih lengkapnya bisa Anda baca pada artikel saya yang membahas potensi Wild Rift yang juga sedikit menyenggol cerita perkembangan League of Legends di Indonesia.

Sumber: Flickr LoL Esports Indonesia

Lewat inisiatif yang dilakukan Garena, League of Legends sempat mendapat status pionir dalam beberapa hal di esports Indonesia. LGS bisa dibilang sebagai salah satu kompetisi esports pertama yang berformat liga di Indonesia. Tak hanya berformat liga, LGS juga berjalan secara profesional dan dikabarkan memberi kompensasi mingguan bagi tim dan pemain. Selain itu saya juga ingat betul betapa megahnya LGS 2016 yang diselenggarakan di Balai Sarbini, yang merupakan salah satu event esports offline pertama yang saya liput kala itu.

Tetapi layaknya apa yang terjadi pada Heroes of the Storm, pesta esports League of Legends di Indonesia langsung usai saat Garena Indonesia mengumumkan pengunduran dirinya di tahun 2019. Sudah inisiatif esports-nya hilang, server lokal Indonesia game League of Legends pun hilang. Walaupun begitu, server dan esports League of Legends kini sebetulnya masih ada, walau lingkupnya jadi melebar ke tingkat Asia Tenggara.

Pasca kehilangan Garena, League of Legends di Indonesia menolak untuk tergeletak dengan segala dukungan dari komunitas. Puncak kegetolan komunitas terlihat di tahun 2019 lalu, ketika komunitas berhasil mengadakan acara nobar Worlds secara mandiri dengan sedikit/minim bantuan dari pihak Garena.

Kini esports League of Legends terbilang mati suri. Apalagi game penggantinya juga sudah hadir, yaitu Wild Rift yang tersaji di mobile device. Namun Edi Kusuma atau Edel selaku founder Hasagi, media yang mengayomi komunitas League of Legends di Indonesia, merasa bahwa esports sebenarnya tetap bisa berkembang walau tanpa bantuan dari publisher.

“Kalau ditanya bisa berkembang atau tidak, jawabannya bisa saja. Bagaimanapun esports sendiri tumbuh dari komunitas. Tapi lebih baik jika ada publisher yang ikut campur tangan dalam hal ini. Bantuan publisher, terutama dari sisi finansial, akan membantu memperkenalkan esports secara lebih luas serta menjangkau lebih banyak orang. Karenanya menurut saya publisher dan komunitas adalah dua aspek terpenting dalam pertumbuhan esports sebuah game.”

Setelahnya Edel juga menjelaskan kenapa publisher memang teramat penting bagi pertumbuhan esports sebuah game. Menurutnya peran terbesar publisher adalah mendukung dari segi finansial. “Ada banyak dukungan yang bisa diberikan publisher tapi yang pertama dan paling utama tentu adalah dalam hal finansial.” Ucapnya.

“Kita bisa lihat Overwatch sebagai contoh. Sebelum AKG Games ada, semua aktivitas seputar Overwatch itu digagas oleh komunitas. Inisiatif tersebut bagus, tapi masih jauh dari kata sempurna. Komunitas terbatas dari banyak hal, terutama dalam hal menyediakan panggung kompetitif bergengsi.” Lanjut Edel menjelaskan.

Menutup obrolan, saya juga menanyakan pendapat Edel soal pihak yang berperan menjaga kehidupan sebuah game tanpa kehadiran publisher dan pendapatnya soal bisnis esports yang berisiko apabila semuanya digantungkan kepada publisher.

Dalam soal pihak yang berperan, Edel berpendapat bahwa satu-satunya yang berperan adalah pemainnya sendiri.

“Dota 2 adalah contoh nyata yang bisa kita ambil. Dulu sempat ramai turnamen, tapi sekarang sudah nyaris tidak ada. Tetapi apakah esports Dota 2 berarti mati? Jelas tidak. Dota 2 masih hidup sampai sekarang walau jarang ada turnamen. Pemain Dota 2 di Indonesia juga masih getol menjadi pendukung sebagai fans. Namun saya yakin kalau ada yang bisa mengadakan turnamen Dota 2 pasti akan banyak yang ikut serta.” Tuturnya.

Sumber: HASAGI

Terkait pertanyaan kedua, Edel pun menjawab.

“Bagi kita, game/esports itu mungkin adalah passion. Tapi sejujurnya, esports tetaplah bisnis. Kalau ditanya berisiko atau tidak, menurut saya memang bisnis di esports masih sangat berisiko. Seperti yang kita lihat, kebanyakan investor atau sponsor di esports sekarang berasal dari perusahaan besar. Perusahaan kecil yang dananya terbatas tentu harus berpikir dua kali ketika ingin berinvestasi di esports. Bagaimanapun, esports adalah bisnis yang mahal menurut saya.” Ucap Edel.

Saat ini, sudah banyak pemain profesional League of Legends memilh pindah ke ranah Wild Rift karena adanya dukungan dari Riot Games yang mengadakan kompetisi resmi bertajuk Wild Rift Icon Series.

Bagiamana dengan esports League of Legends di PC? Entahlah. Indonesia sebenarnya masih punya kesempatan bersaing di laga Pacific Championship Series (PCS) apabila ingin menembus tingkat dunia. Tetapi saya sendiri setuju dengan apa yang dikatakan Edel, modal untuk berjuang di esports itu tidak murah.

Sebagai pemain, Anda mungkin harus rela tidak digaji sampai beberapa tahun, setidaknya sampai bisa tembus PCS. Ditambah, persaingannya juga amatlah ketat, bahkan pada level Asia Tenggara dan Asia Pasifik saja.

 

Serupa Tapi Tak Sama, Kisah Rainbow Six Siege di Indonesia

Rainbow Six Siege mungkin memang tidak pernah mendapatkan dukungan penuh yang bersifat langsung dari sang publisher yaitu Ubisoft sendiri. Namun perubahan sistem kompetisi Rainbow Six Siege secara internasional bisa dibilang sebagai bentuk perubahan dukungan Ubisoft terhadap komunitas.

Pada awalnya, esports Rainbow Six Siege dibuat menggunakan sistem terbuka. Siapapun bisa berkompetisi untuk mendaki hingga ke puncak kejayaan di esports Rainbow Six Siege lewat gelaran Rainbow Six Pro League yang diadakan oleh ESL.

Berkat sistem terbuka tersebut, Indonesia juga sempat kebagian sorotan bertanding di tingkat Rainbow Six Pro League. Pada masanya, Team Scrypt adalah tim Indonesia yang berhasil mencapai ke tingkat yang cukup tinggi di skena kompetisi Rainbow Six Siege. Team Scrypt sempat menembus ke main event dari ESL Pro League Season 7 APAC yang diadakan di Sydney, Australia.

Tetapi semua kesempatan tersebut hilang setelah Ubisoft memutuskan untuk mengubah sistem kompetisi Rainbow Six pada bulan Mei 2020 lalu. Liga kasta utama Rainbow Six yang dahulu ramah bagi tim komunitas, kini menjadi lebih tertutup. Pro League yang dahulu menjadi wadah berlatih dan berkompetisi bagi tim untuk dapat naik tingkat pun hilang dan digantikan dengan kualifikasi yang hanya terlaksana sesekali saja.

Lebih lanjut, Bobby Rachmadi Putra selaku founder dari komunitas R6 resmi di Indonesia pun menceritakan.

“Kalau bicara dukungan publisher bagi Rainbow Six di Indonesia, sejauh ini gue melihat memang Ubisoft tetap menjalin hubungan yang baik kepada komunitas. Contohnya dari komunitas R6 IDN terhadap aktivitas R6 di regional APAC. Ubisoft menunjuk beberapa key opinion leader dari negara dengan peminat game R6S terbesar di kawasan APAC untuk memberi feedback atas planning mereka untuk menjalankan event di asia.” Jawab Bobby membuka pembahasan.

“Selain itu, Ubisoft juga memberikan beberapa freebies seperti in-game codes dan special merch atau bahkan cash reward kepada leader/influencer di negara tersebut. Sebagai timbal baliknya, sosok-sosok penting tersebut akan dimintai data, opini, kritik, keluah, serta situasi dan kondisi perkembangan esports serta komunitas game R6 di negara-negara terkait.” Tambah Bobby.

Selain dari sisi komunitas secara umum, saya juga bertanya kepada Bobby soal dukungan Ubisoft terhadap esports R6 di Indonesia atau di Asia Tenggara. Walaupun ada R6 APAC League, namun liga tersebut tetap tergolong liga kawasan besar yang biasanya menjadi tingkat lanjutan bagi beberapa skena esports lain.

“Memang kalau dari segi esports, saat ini Ubisoft belum memberi dukungan secara langsung. Sebagai gantinya Ubisoft menghadirkan liga Rainbow Six Siege regional atau di negara tertentu yang memang sudah terlihat potensi besarnya, misalnya seperti di Korea Selatan dan Jepang. Untuk negara seperti Indonesia yang belum terlihat jelas potensinya masih akan melalui komunitas seperti R6 IDN terlebih dahulu.” Tutur Bobby.

Sumber: Ubisoft

“Namun ada alasan tersendiri kenapa Ubisoft melakukan hal tersebut. Salah satunya adalah karena Ubisoft mengembangkan esports R6S di seluruh dunia. Maka dari itu sejauh ini gue melihat Ubisoft memang mengembangkan secara perlahan agar terkelola dengan baik dan berkembang dengan jelas.” Bobby menambahkan.

Sampai saat ini, komunitas R6S di Indonesia sendiri sebenarnya masih cukup aktif, terutama di dalam server chat Discord. Komunitas masih secara aktif berinteraksi dan bermain bersama pada beberapa waktu. Namun turnamen esports R6S di lokal Indonesia terbilang mati suri, walau masih ada turnamen-turnamen tingkat regional.

 

Hearthstone Indonesia yang Kini diasuh Publisher Pihak Ketiga

Game berikutnya yang menarik untuk dibahas adalah Hearthstone. Secara umum, esports Hearthstone sebenarnya berjalan cukup aktif terutama di negara-negara barat.

Di Indonesia, walau pemainnya mungkin tidak banyak, tetapi pemain profesional dari Indonesia bisa bersaing di tingkat nternasional. Salah satunya ada Hendry “Jothree” Handisurya. Pemain tersebut merupakan salah satu atlet Hearthstone andalan Indonesia. Ia bahkan sempat mendapat medali perak pada esports sebagai cabang eksibisi di Asian Games 2018.

Hearthstone pada awalnya tidak mendapatkan dukungan apapun dari sang publisher di Indonesia. Namun pada tahun 2019, AKG Games hadir menjadi rekan Blizzard untuk pasar Indonesia.

Saat Jothree memenangkan medali perak di Asian Games | Sumber: Facebook

Jothree pun sedikit menjelaskan bagaimana AKG Games sejauh ini ternyata sudah cukup mendukung perkembangan esports Hearthstone di Indonesia.

“Sejauh ini mereka cukup berusaha dengan baik. Beberapa contohnya terlihat dari turnamen AKG Elite Series, Fireside Gathering, SEA Showmatch, yang sebetulnya secara konsep sudah lebih bagus ketimbang sebelumnya. Namun karena mereka statusnya adalah third party, maka mereka jadi enggak punya kuasa untuk menyediakan apa yang betul-betul dibutuhin oleh komunitas. Misal contohnya adalah menyediaan in-game tournament, platform bahasa Indonesia, kemudahan pembayaran untuk Battle Net Balance, ataupun membuat game-nya jadi lebih low-spec untuk mobile.” Jawab Jothree secara lengkap.

Selain itu, Jothree juga bercerita soal perjuangan komunitas Hearthstone sebelum kehadiran AKG Games di Indonesia.

“Kalau ditanya siapa yang menjaga keberlangsungan esports tanpa kehadiran publisher, jelas jawabannya adalah pemain game tersebut yang benar-benar suka dengan game-nya. Dalam kasus Hearthstone, gue merasakan komunitas kami sangat solid sebelum AKG Games ada. Kami juga mati-matian menjaga kehidupan komunitas bahkan kadang sampai keluar uang dari kantong sendiri.” Tuturnya.

Setelah kisah perkembangan esports Hearthstone, mari kita berlanjut ke kasus berikutnya yaitu cerita perkembangan esports game fighting di Indonesia.

 

Nasib Fighting Game Community di Indonesia dari Sudut Pandang Tekken 7

League of Legends dan Rainbow Six Siege tergolong cukup beruntung karena masih sempat mengecap dukungan dari publisher terhadap komunitas dan esports, walau sifatnya sementara atau sedikit saja dampaknya.

Tetapi di luar dari itu, ada beberapa game kompetitif di Indonesia yang justru lebih nahas lagi. Salah satunya adalah komunitas game fighting. Komunitas tersebut sebenarnya punya cukup banyak penggemar, namun posisi mereka hampir tidak tersentuh oleh sang developer/publisher. Tekken 7 adalah salah satu bagian dari game fighting.

Pada tahun 2018 lalu, Yabes Elia selaku Chief Editor Hybrid.co.id sempat ngobrol banyak dengan Bram Arman membahas soal perkembangan game fighting di Indonesia.

Bram Arman (kiri). Source: Advance Guard
Bram Arman (kiri). Source: Advance Guard

Dalam pembahasan tersebut Bram menjelaskan keunikkan komunitas game fighting. Pada game genre lain, kita bisa melihat bagaimaan esports game tersebut berkembang berkat peran aktif dari sang developer atau publisher. Namun perkembangan esports game fighting justru berbeda, komunitas justru lebih berperan aktif di sini.

Salah satu contoh nyata atas hal tersebut adalah Evolution Championship Series. EVO yang merupakan turnamen game fighting tingkat dunia tersebut sebenarnya merupakan turnamen yang digagas oleh komunitas.

Publisher justru cenderung tidak mengambil peran yang begitu besar dalam mengembangkan esports game fighting. Walaupun memang, Capcom punya Capcom Pro Tour (CPT) sebagai turnamen resmi. Bandai Namco juga punya Tekken World Tour (TWT) sebagai turnamen resmi.

Namun tetap saja komunitas cenderung lebih mengakui legitimasi EVO ketimbang turnamen lainnya. Ibaratnya, pro player fighting game belum bisa dianggap juara dunia kalau belum menang EVO walaupun dia memenangkan CPT atau TWT.

Lebih lanjut saya juga mencoba berbicang dengan Ronald Rivaldo untuk mengetahui soal perkembangan skena Tekken 7. Ronald Rivaldo sendiri merupakan ketua dari tim Tekken 7 bernama DRivals. Selain sebagai tim, DRivals belakangan juga tergolong cukup aktif dalam menjaga denyut komunitas game fighting lewat berbagai aktivitas yang mereka lakukan.

Dalam hal dukungan publisher terhadap komunitas, Aldo pun menceritakan.

“Dukungan publisher Tekken yaitu Bandai Namco di skena lokal hampir enggak ada, apalagi semenjak pandemi seperti sekarang. Dulu kala pada tahun 2017 dan 2018 masih sempat ada turnamen bagian dari Tekken World Tour di Indonesia. Pada tahun 2020 ini, turnamen bagian dari TWT juga seharusnya hadir kembali di Indonesia. Tetapi berhubung ada pandemi maka event pun terpaksa dibatalkan.”

DRivals - ESL Indonesia Championship
DRivals di ESL Indonesia Championship | Sumber: Dokumentasi DRivals

Dari sisi Tekken, Bandai Namco selaku developer dan publisher memang memberi lisensi kepada turnamen lokal sebagai bagian dari TWT. Pada tahun 2020 lalu, turnamen IFGC MAX yang rencananya diselenggarakan di Indonesia seharusnya menjadi bagian dari rangkaian TWT sebagai Challenger Event.

Tapi apa mau dikata. Pandemi COVID-19 menyeruak, larangan berkumpul pun diberlakukan sehingga membuat turnamen offline dibatalkan.

Walaupun Bandai Namco memberi lisensi untuk turnamen-turnamen lokal, namun seperti yang dikatakan oleh Rivaldo, Bandai Namco terbilang tidak pernah memberi dukungan secara langsung ke skena lokal dalam hal esports.

Menariknya, terlepas dari adanya dukungan publisher atau tidak, esports fighting game tetap hadir di skena lokal walaupun tingkat penyelenggaraannya masih tingkat komunitas. Seperti yang ditulis oleh Yabes Elia, Fighting Game bisa dibilang terkucilkan namun menolak untuk tergeletak.

Hybrid.co.id juga termasuk menjadi salah satu yang berusaha untuk mendorong komunitas fighting game agar tetap hidup bara api semangat kompetisinya. Hybrid Cup Series: Play on PC Fighting Game yang terselenggara awal tahun 2020 lalu jadi salah satu bukti bahwa bara semangat kompetisi di antara pemain fighting game masih tetap ada walau tanpa dukungan publisher sekalipun.

Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Saya juga mempertanyakan soal posisi esports sebagai bisnis yang berisiko karena terlalu tergantung dengan satu pihak. Menjawab soal hal tersebut, Rivaldo juga sedikit menceritakan apa yang jadi tujuannya bersama Drivals.

“Kalau bicaranya bisnis, jujur kami belum memikirkan hal tersebut karena sadar bahwa market fighting game masih sangat kecil di Indonesia. Saat ini yang kami lakukan adalah mencoba meningkatkan pamor fighting games, terutama Tekken, agar lebih dikenal masyarakat awam di Indonesia. Untuk mencapai hal tersebut, kami menccoba mengadakan turnamen-turnamen baik offline atau online, melakukan streaming di YouTube ataupun melakukan pertandingan persahabatan antar daerah atau antar negara. Harapannya adalah suatu hari nanti komunitas fighting game terutama Tekken bisa menjadi daya tarik bagi sponsor.” Tutur Rivaldo.

Perjuangan komunitas game fighting memang menjadi keunikan tersendiri karena kegigihan dari para anggotanya. Dalam kasus Drivals, kita bisa melihat sendiri bagaimana mereka bahkan tetap gigih menyiarkan keseruan fighting game ke khalayak luas walaupun Bandai Namco hampir tak sedikitpun meliriknya.

 

Pro Evolution Soccer yang Berkembang Lewat Dukungan Asosiasi Sepak Bola

Pada saat membahas alasan kenapa suatu game tidak selalu sukses berkembang sebagai esports, saya juga menggunakan fighting game dan Pro Evolution Soccer sebagai contoh. Kala itu dua narasumber saya yaitu Bram Arman dan Valentinus Sanusi setuju, bahwa alasan kurang berkembangnya esports game mereka adalah karena publisher Jepang yang cenderung lambat geraknya dalam mengembangkan esports.

Menariknya, kedua game tersebut juga sama-sama punya penggemar yang gigih di ranah lokal. Dalam Pro Evolution Soccer, contoh kasus kegigihan yang berbuah manis bagi perkembangan esports-nya mungkin adalah kisah Indonesia Football e-League.

Sumber: Dokumentasi resmi IFeL

Posisi PES dan IFel sendiri memang cukup unik. Liga IFel bukan sekadar turnamen game PES biasa. Pertandingan di dalam liga IFel menggunakan jersey, pemain-pemain, bahkan stadion dari tim Liga 1 Indonesia di dalam game Pro Evolution Soccer yang dipertandingkan.

Tapi bagaimana bisa IFeL menyediakan semua aset digital tersebut ketika Konami sendiri sebenarnya belum menyediakan player pack/stadion pack dari tim Liga1 Indonesia? Jawabannya adalah modifikasi. Dalam artikel saya yang menggali lebih dalam seputar IFeL pada saat peluncurannya, Putra Sutopo selaku Head of IFeL mengatakan bahwa Konami selaku developer/publisher game PES tidak memberlakukan larangan terhadap penggunaan custom mod.

Sumber: Instagram @ifel.id

Tetapi sebagai gantinya, IFeL menggandeng tim Liga 1 Indonesia untuk mendapatkan izin penggunaan kekayaan intelektual milik tim (logo, jersey, serta stadion) ke dalam custom mod pada pertandingan game PES di liga IFeL.

Maka dari itu Putra menjelaskan berdasarkan pandangannya, bahwa campur tangan developer/publisher tidak selamanya selalu bisa membawa skena esports suatu game maju.

“Tergantung kebijakan dan peraturan dari publisher. Dalam kasus IFeL, memang kami belum dapat dukungan official dari Konami, tetapi Konami tidak memiliki peraturan mengenai hak cipta yang rumit dalam hal penggunaan unofficial patch. Berbeda dengan EA dalam mengurus FIFA. Mereka cenderung punya peraturan yang lebih ketat perihal hak cipta.” Tutur Putra.

Dalam kasus IFeL, kebebasan mengotak atik aset game Pro Evolution Soccer memang bisa dibilang jadi faktor yang membuat skena esports-nya jadi maju. Dalam kata lain, Konami yang tidak secara aktif memberi dukungan serta mengurusi game-nya di berbagai wilayah di dunia justru membuka peluang tersendiri.

Lebih lanjut, Putra Sutopo pun menceritakan bagaimana Liga 1 Indonesia dan PSSI menjadi motor penggerak terbesar bagi perkembangan esports PES dari sisi IFeL.

“Kalau dalam kasus IFeL, sosok yang berperan untuk membuat liga tetap berjalan tentunya adalah PSSI. Bagaimanapun, kami juga menggunakan identitas klub Liga 1 dan Liga 2 Indonesia yang penggunaannya diatur oleh PSSI. Tetapi di luar itu, tentunya juga adalah investor eksternal yang memungkinkan kami menjalankan semua rangkaian acara IFeL, tim IT yang telah membuat patch Liga 1 dan Liga 2, juga pastinya dukungan dari manajemen klub serta fans sepak bola di Indonesia.”

IFeL yang merupakan liga esports pihak ketiga terbilang sudah berkembang dengan cukup pesat sejak dari pertama kali diluncurkan tahun 2020 lalu. Musim 2020 lalu IFeL hanya mempertandingkan 10 tim yang berasal dari klub sepak bola Liga 1 Indonesia. Musim ini, IFeL menambahkan 12 tim lagi untuk turut bertanding di IFeL Liga 2.

Kisah perkembangan skena esports PES lewat liga IFeL sebagai contoh memberi cerita yang berbeda lagi. IFeL menunjukkan bagaimana skena esports suatu game masih bisa tetap berkembang walau tanpa dukungan publisher sekalipun. Dalam kasus IFeL, Putra Sutopo dan bagian komunitas bergerak aktif untuk terus memajukan esports PES.

Tetapi pada sisi lain, IFeL juga jadi menarik karena di belakangnya ada juga dukungan dari asosiasi sepak bola Indonesia yang memungkinkan kehadiran liga sepak bola virtual di Indonesia.

 

Dota 2 yang Tetap Penuh Dengan Para Penggemar Esports

Dalam kasus perkembangan esports tanpa dukungan publisher, kisah Dota 2 di Indonesia juga cukup unik untuk dibahas. Secara dukungan, sang developer/publisher yaitu Valve sebenarnya tidak pernah sedikitpun memberi dukungan dari segi esports untuk ranah lokal. Valve hanya memberikan dukungan esports secara internasional lewat gelaran The International ataupun rangkaian turnamen Major yang diadakan.

Walaupun demikian, Dota 2 tetap tumbuh subur secara organik di tanah air Indonesia. Pada masanya, mungkin sekitar 2016 – 2018, Dota 2 adalah game pilihan bagi para pelaku esports di Indonesia.

Jumlah pemain bejibun, banyak pemain terinspirasi kisah Dendi yang membuatnya juga jadi ingin menjadi pemain profesional Dota 2. Turnamen pun banyak jumlahnya. Tim esports profesional pun hampir semuanya punya divisi Dota 2.

Pada masanya, salah satu yang juga mendorong perkembangan esports Dota 2 di Indonesia adalah investasi pihak ketiga. Salah satu investasi pihak ketiga terbesar terhadap esports Dota 2 mungkin adalah Telkomsel lewat turnamen Indonesia Games Championship di tahun 2017. Pada zaman itu, mungkin hanya IGC 2017 yang bisa mengumpulkan semua talenta esports Dota 2 terbaik ke dalam satu panggung.

BOOM Esports Dota 2 di IGC 2017. Sumber: IGC

Namun semua dukungan pihak ketiga terhadap perkembangan Dota 2 berubah ketika game mobile menyerbu pasar. Tahun 2017 mungkin bisa dibilang adalah titik baliknya, ketika Mobile Legends Bang-Bang pertama kali menghadirkan esports di Indonesia lewat gelaran MSC.

Setelah Mobile Legends bersinar, pihak ketiga yang tadinya mencoba berinvestasi di Dota 2 pun mulai pindah ke MOBA di mobile tersebut. Alasannya sederhana, karena MLBB kala itu berhasil memukau khalayak Indonesia dengan banyaknya jumlah penonton dan pengunjung turnamennya.

Perubahan dukungan pihak ketiga terhadap perkembangan Dota 2 cukup terasa dari tahun 2017 ke tahun 2018. Dari sisi IGC sebagai contohnya, jumlah hadiah untuk turnamen Dota 2 menurun dari Rp500 juta di tahun 2017 menjadi Rp150 juta di tahun 2018, bahkan sampai akhirnya IGC tak lagi mempertandingkan Dota 2 di tahun 2020. Seiringan dengan hal tersebut, turnamen Dota 2 juga berangsur menurun jumlahnya sampai akhirnya kini menjadi hampir mati suri.

Namun patut dicatat bahwa Dota 2 sebenarnya tidak bisa dibilang sepenuhnya mati total di Indonesia. Komunitasnya sebenarnya masih cukup hidup membincangkan soal esports ataupun seputar gamenya itu sendiri.

Penikmat esports-nya juga masih ada dan terbilang tetap setia mengikuti perkembangannya. Salah satu bukti atas hal tersebut mungkin bisa kita lihat dari channel YouTube WxC Indonesia yang secara rutin menayangkan pertandingan Dota 2 yang berjalan secara internasional dengan komentar bahasa Indonesia.

Hingga saat ini, channel WxC Indonesia sendiri bahkan sudah mencatatkan 70 ribu lebih subscriber. Jumlah penikmat pertandingan esports Dota 2 bahkan tergolong masih cukup bayak orangnya. Dalam satu kesempatan, pertandingan DPC Europe yang mempertandingkan OG bahkan mencatatkan 153 ribu lebih total views. Sebuah angka yang sebenarnya cukup lumayan walaupun keadaan komunitasnya seperti demikian.

Kisah perkembangan Dota 2 di Indonesia memang teramat unik. Kisahnya menjadi unik karena Dota 2 bisa tumbuh menjadi cukup besar walau sebenarnya berkembang secara organik.

Posisi Dota 2 yang dianggap sebagai pionir MOBA oleh gamer Indonesia mungkin jadi salah satu alasannya. Karena bagaimanapun, pada masa itu kehadiran Dota 2 tergolong lebih duluan kalau kita bandingkan dengan kehadiran League of Legends di Indonesia.

Posisi Dota 2 di zaman sekarang juga jadi tambah unik lagi. Pada satu sisi, esports game-nya di kancah lokal terbilang sudah mati suri. Tapi pada sisi lain, para penggemar esports serta komunitasnya tergolong masih hidup dan masih cukup keras menggemari esports Dota 2.

Jadi dalam kasus ini, Valve sebenarnya punya andil juga atas hidupnya komunitas dan penggemar esports Dota 2 di Indonesia. Hal tersebut saya katakan karena Valve sebenarnya masih menyokong perkembangan esports Dota, walau skalanya hanya regional (SEA dan sebagainya) dan internasional saja.

 

CS:GO yang Tak Sempat Berkembang Karena Game Berbayar

Counter-Strike merupakan game lain yang di-develop serta dirilis oleh Valve. Karena sama-sama game besutan Valve, maka perlakuannya pun kurang lebih serupa dengan Dota 2. Sepanjang perkembangannya, Counter Strike juga berkembang seperti Dota 2, berkembang secara organik tanpa ada bantuan Valve di ranah lokal.

Popularitas Counter-Strike di Indonesia malah terjadi jauh sebelum Counter-Strike: Global Offensive ada. Masa kejayaan bisa dibilang terjadi di awal tahun 2000an. Pada masa itu, CS berkembang lewat warnet-warnet. Dari warnet, CS berkembang ke berbagai lini di esports yang bahkan masih langgeng sampai sekarang di Indonesia.

NXL contohnya, yang bermula dari tim warnet menurut cerita Richard Permana sang CEO. Lalu ada juga Liga Jakarta, salah satu kompetisi perdana yang membuat tercetusnya kehadirann WCG yang merupakan salah satu event esports terbesar di zaman itu menurut kisah dari Eddy Lim selaku CEO dari Liga Game.

Sumber: Dokumentasi Eddy Lim

Pada masa keemasannya, tim-tim asal Indonesia juga tercatat mencetakkan prestasi yang luar biasa di tingkat Internasional. Pada tahun 2003 misalnya, ada tim XCN yang berhasil mencapai babak utama WCG 2003 yang diadakan di Seoul, Korea Selatan. Pada tahun setelahnya baru NXL yang mencuat, menjadi wakil Indonesia untuk gelaran WCG tahun 2008. Pembahasan lebih lengkap atas hal tersebut sudah sempat saya bahas dalam artikel seputar sejarah esports Counter-Strike di Indonesia.

Tetapi menariknya, perkembangan esports CS:GO justru terbilang melambat ketika CS:GO rilis di pasaran. Namun memang ada satu perbedaan fundamental antara CS 1.6 dengan CS:GO. Perbedaannya adalah CS 1.6 yang bersifat free to play sementara CS:GO yang mengharuskan pemainnya untuk membayar sejumlah uang untuk bisa main. Soal kausalitas antara game gratis dengan kesuksesannya sebagai esports juga sudah sempat saya bahas dalam kesempatan yang berbeda.

Karena game-nya berbayar, banyak gamer yang tidak terlalu tahu dengan CS:GO sehingga membuat game CS:GO sendiri cenderung kurang berkembang di pasar Indonesia. Richard Permana yang sudah kurang lebih 15 tahun menekuni CS 1.6 dan CS:GO juga mengakui, bahwa memang esports suatu game akan sulit berkembang apabila tanpa dukungan dari sang publihser.

“Dari sudut pandang sebagai pemain, game esports yang tak ada dukungan publisher akan sulit sekali berkembang. Saya sebagai pemain juga jadi harus usaha ekstra keras untuk bisa mencapai prestasi yang jauh sekali.” Tuturnnya.

Sumber: NXL

Richard lalu menjelaskan maksud dukungan publisher yang ia maksud. “Dukungan publisher itu penting sekali menurut saya. Seperti yang kita saksikan pada game seperti PUBG Mobile, MLBB, dan Free Fire yang berkembang begitu masif. Banyak perkembangan terjadi di ekosistem esports game tersebut berkat dari apa yang dikerjakan oleh publiher-nya di Indonesia. Selain itu, menurut saya beberapa bentuk dukungan publisher yang diperlukan dari sisi player sendiri adalah sirkuit nasional yang terstruktur, serta jalur ke tingkat internasional yang juga jelas.”

Apa yang dikatakan Richard ada benarnya juga. Tanpa sirkuit kompetisi lokal yang jelas, pemain akan kesulitan mencari lawan bertandingnya. Tanpa lawan tanding, pemain akan jadi sulit berkembang untuk bisa bertanding ke tingkat yang lebih tinggi lagi.

Bukti dukungan publisher ke skena lokal yang berbuah prestasi bisa kita lihat sendiri pada tiga game yang disebut Richard tadi. Pada MLBB, Indonesia menjadi kekuatan yang dominan di tingkat Asia Tenggara bahkan sampai jadi juara dunia pada M1 2019. Pada PUBG Mobile, juga ada Bigetron RA yang berkembang pesat berkat turnamen rutin yang diadakan oleh Tencent selaku sang publisher. Begitu juga dengan Free Fire lewat liga esports yang mereka adakan demi mengembangkan talenta esports Indonesia.

Sementara itu bagaimana dengan CS:GO sendiri? Turnamennya saja sangat minim sekali di Indonesia. Ditambah lagi, kesempatan untuk bisa tembus ke tingkat internasional juga sangat kecil sekali karena jumlah seeding yang sangat sedikit dari di tingkat internasional.

Sumber: Dokumentasi Eddy Lim

Jadi tanpa wadah tanding di kancah lokal, kesempatan yang kecil sekali bagi tim asal Asia, jadi beberapa faktor alasan kenapa esports CS:GO tidak berkembang di skena lokal. Belum lagi lawannya di tingkat internasional nanti adalah tim-tim asal Eropa, Amerika, CIS, dan Amerika Latin yang nafasnya adalah game CS:GO itu sendiri.

Kisah CS:GO di Indonesia mungkin bisa dibilang sebagai kisah paling nahas dari perkembangan esports yang tidak didukung oleh sang publisher. Walaupun sempat berjaya pada CS 1.6 karena free-to-play, tetapi CS:GO yang terlambat mengubahnya jadi game gratis kehilangan momentumnya untuk para pemain di Indonesia.

 

Penutup

Setelah melihat cerita berbagai game esports di Indonesia yang bergulir tanpa dukungan langsung sang publisher, memang komunitas yang gigih bisa dibilang jadi salah satu alasan kenapa suatu game masih bisa bertahan di Indonesia ataupun negara lainnya.

Hal tersebut bisa kita lihat di hampir semua cerita. Cuma memang, tidak semua kegigihan komunitas tersalurkan ke dalam bentuk turnamen mandiri.

Pada Dota 2, bentuk dukungan komunitas terhadap esports Dota 2 bisa terlihat dari bagaimana mereka lebih memilih menonton pertandingan di channel berbahasa Indonesia ketimbang channel internasional. Dalam kasus R6 misalnya, bentuk kegigihan mereka terlihat dengan usaha Bobby menjaga R6 IDN untuk tetap aktif.

Lalu pada sisi lain, investasi pihak ketiga dan dukungan badan pemerintahan ternyata jadi faktor yang diluar dugaan melihat dari perkembangan esports PES dan hadirnya liga IFeL di Indonesia.

Menutup pembahasan ini, jadi mampukah esports berkembang tanpa dukungan langsung dari sang publisher di ranah lokal?

Jawabannya bisa jadi selalu iya.

Tapi kalau ditanya lagi sampai mana perkembangannya? jawabannya akan selalu terbatas dengan jumlah massa-nya, kegigihan, serta modal yang mau dikeluarkan untuk terus menjaga agar komunitas suatu game tetap aktif terutama dari sisi esports.

Bagaimana Etnis dan Budaya Memengaruhi Kemampuan Bermain Game Esports

Pemain esports profesional, Lee “Fearless” Eui-seok menceritakan pengalamannya terkait rasisme yang dia alami selama dia tinggal di Amerika Serikat melalui sebuah video singkat. Lee merupakan pemain Overwatch League asal Korea Selatan. Dia sempat bermain untuk Shanghai Dragons sebelum dia pindah ke Dallas Fuel yang bermarkas di Texas, Amerika Serikat.

“Tinggal di sini sebagai orang Asia itu menakutkan,” kata Lee, seperti dikutip dari The Washington Post. “Banyak orang yang sengaja mencari masalah dengan kami. Setiap mereka melihat kami, mereka selalu mendatangi kami. Bahkan ada orang yang batuk ke arah kami. Kali ini adalah pertama kalinya saya merasakan rasisme. Dan rasisme di sini… cukup parah. Mereka mencoba menakut-nakuti kami — banyak dari mereka mencoba untuk membuat kami takut.”

Padahal di AS, ada banyak pemain esports yang berasal dari Asia, khususnya Korea Selatan. Menurut Yahoo, lebih dari setengah pemain di Overwatch League berasal dari Korea Selatan. Selain Korea Selatan, Tiongkok menjadi negara Asia lain yang banyak menelurkan pemain esports berbakat.

 

Kenapa Banyak Gamer Profesional yang Berasal dari Asia?

Jumlah gamers profesional yang muncul di satu negara tergantung pada seberapa besar komunitas gamers di negara tersebut. Semakin banyak jumlah gamers di sebuah negara, semakin besar pula kesempatan negara itu punya pemain-pemain esports berbakat. Begitu juga dengan Korea Selatan dan Tiongkok. Mereka bukannya punya susunan genetik khusus yang membuat warganya punya Actions Per Minute (APM) yang tinggi. Hanya saja, budaya di kedua negara itu memang mendukung pertumbuhan industri gaming.

PC bang banyak ditemukan di Korea Selatan. | Sumber: Wikipedia

Korea Selatan adalah negara yang padat. Jadi, jumlah tanah lapang yang bisa digunakan oleh anak-anak dan remaja untuk bermain bola atau olahraga lainnya terbatas. Sebaliknya, warnet — yang disebut PC bangs — justru menjamur. Seperti yang disebutkan oleh InvenGlobal, di Korea Selatan, dalam satu bangunan, terkadang ada lebih dari satu PC bang. Selain itu, biaya untuk bermain di PC bang juga terjangkau. Alhasil, banyak anak-anak SMA yang bermain game untuk melepas penat.

Tak hanya itu, keterbatasan lahan juga memengaruhi pertumbuhan bisnis di Korea Selatan. Karena lahan terbatas, maka perusahaan di Korea Selatan biasanya fokus pada industri dengan teknologi canggih yang membutuhkan pekerja dengan edukasi tinggi. Jadi, jangan heran jika 70% lulusan SMA di Korea Selatan memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas. Dan hal ini menumbuhkan budaya kompetitif di tengah masyarakat Korea Selatan, termasuk di kalangan para siswa SMA.

Tak hanya itu, nilai seorang murid bahkan bisa menentukan lingkaran pergaulannya. Pasalnya, di Korea Selatan, murid-murid yang ada di level yang sama akan cenderung berkumpul bersama. Satu hal yang unik, walau para murid membentuk kelompok pertemanan sendiri-sendiri, mereka juga saling bersaing dengan satu sama lain. Perilaku kompetitif ini juga tercermin dalam diri para gamers. Walau seorang gamer di Korea Selatan mengatakan bahwa dia tidak peduli pada rank, pada akhirnya, dia tetap akan berusaha untuk bisa menjadi juara. Dan budaya kompetitif inilah yang mengasah kemampuan para pemain esports profesional asal Korea Selatan.

Bahkan setelah menjadi atlet esports profesional sekalipun, semangat kompetitif seorang gamer Korea Selatan tak padam. Dan mereka tidak hanya bersaing dengan atlet esports dari tim lawan, tapi juga dengan rekan satu tim mereka sendiri. Para pemain esports Korea Selatan juga punya dedikasi tinggi. Jika dibandingkan dengan tim dari kawasan lain, tim Korea Selatan biasanya rela untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk berlatih. Semua faktor inilah yang menjadi alasan mengapa ada banyak pemain profesional berbakat yang datang dari Korea Selatan.

Gamers Tiongkok biasanya kompetitif. | Sumber: Asia Times

Budaya gaming di Tiongkok sedikit mirip dengan budaya gaming di Korea Selatan. Gamers di kedua negara itu sama-sama menganggap bermain game sebagai kegiatan sosial dan punya semangat kompetisi yang tinggi. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Quantic Foundry dan Niko Partners, gamers asal Tiongkok cenderung lebih kompetitif dari gamers asal Amerika Serikat. Dari survei yang dirilis pada awal 2019 itu, diketahui bahwa salah satu motivasi utama bagi gamers Tiongkok untuk bermain game adalah Completion, yaitu ketika mereka harus mengumpulkan poin/trofi dan menyelesaikan berbagai task/quest. Faktor lain yang memotivasi gamers Tiongkok adalah kompetisi.

Hal lain yang membedakan gamer Tiongkok dengan gamer AS adalah motivasi gamers Tiongkok cenderung tidak berubah, meski umur mereka bertambah. Di AS, semakin berumur seorang gamer, minatnya untuk bersaing dengan pemain lain juga akan turun. Sementara di Tiongkok, umur gamer tak punya dampak signifikan pada semangat mereka untuk berkompetisi, seperti yang disebutkan oleh VentureBeat.

 

Bagaimana dengan Stereotipe di Indonesia?

Indonesia juga punya budaya gaming yang khas. Hal ini juga memunculkan tren tertentu di kalangan pemain esports profesional. Salah satunya, di awal era kemunculan esports pada tahun 2000-an, kebanyakan pemain esports PC adalah warga keturunan Tionghoa. Menurut pengamatan Editor in Chief Hybrid.co.id, Yabes Elia, yang sudah melanglang buana di dunia jurnalisme gaming selama ratusan belasan tahun, tren ini muncul karena gaya asuh orangtua dari keluarga Tionghoa yang unik. Biasanya, mereka cenderung lebih suka jika anak mereka diam di rumah. Dan untuk itu, mereka rela memfasilitasi anak mereka dengan PC atau konsol. Alhasil, anak-anak dari keluarga keturunan Tionghoa sudah familier dengan game sejak mereka kecil. Jadi, tidak heran jika ketika mereka beranjak dewasa, mereka tertarik untuk menjadi pemain profesional.

Sekarang, tren ini sudah mulai berubah. Game tak lagi menjadi hobi mewah yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Perubahan tren ini terjadi berkat kemunculan mobile game. Jika dibandingkan dengan PC atau konsol, harga smartphone lebih murah. Jadi, jumlah orang yang bisa membeli smartphone pun jauh lebih banyak. Buktinya, secara global, penjualan Sony PlayStation 4 hanya mencapai 112,3 juta unit. Sementara menurut Katadata, jumlah pengguna smartphone di Indonesia pada 2019 mencapai 63% dari total populasi, atau sekitar 170 juta orang. Karena smartphone bisa didapatkan dengan lebih mudah, jumlah gamers di Indonesia pun meroket. Alhasil, semakin banyak orang-orang yang punya kesempatan untuk menjadi pemain esports.

Penetrasi smartphone di Indonesia. | Sumber: Kata Data

Salah satu tren yang ada di Indonesia saat ini adalah kebanyakan pemain  esports profesional berasal dari pulau luar Jawa. Sebelum ini, kami bahkan sempat membahas bahwa sejak Mobile Legends Professional League Season 1 sampai Season 4, selalu ada pemain asal Pontianak yang jadi juara. Sekali lagi, tren ini muncul bukan karena orang-orang dari Sumatera, Kalimanta, Sulawesi, Maluku, atau Papua susunan genetik khusus yang membuat mereka menjadi lebih jago dalam bermain game dari gamers asal Jawa.

Tren tersebut muncul karena faktor lingkungan. Pembangunan infrastruktur di Indonesia cenderung fokus pada pulau Jawa. Alhasil, Jawa dipenuhi dengan berbagai tempat hiburan, mulai dari mall sampai kedai kopi kekinian. Buktinya, jumlah mall di Pulau Jawa jauh lebih banyak dari pusat perbelanjaan di luar Jawa. Menurut data Badan Pusat Statistik, ada 650 pusat perbelanjaan di Indonesia pada 2019. Dan Jawa punya 395 pusat perbelanjaan, lebih dari setengah total mall di Indonesia. Sebagai perbandingan, Sumatera hanya punya 113 pusat perbelanjaan, Bali dan Nusa Tenggara 30 mall, Kalimantan 42 mall, serta Papua dan Maluku 20 mall.

Persebaran mall di Indonesia. | Sumber: BPS

Tak hanya itu, tujuh mall terbesar di Indonesia, semuanya terletak di Pulau Jawa. Sebanyak empat mall terbesar ada di Jakarta, dua lainnya ada di Surabaya, dan yang terakhir ada di Yogyakarta. Berikut data tujuh mall terbesar di Indonesia berdasarkan pada total luas lantai yang disewakan (NLA), menurut data dari Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI).

1. Mal Pakuwon – Surabaya
2. Tunjungan Plaza – Surabaya
3. Summarecon Kelapa Gading – Jakarta
4. Grand Indonesia – Jakarta
5. Mal Taman Anggrek – Jakarta
6. Central Park – Jakarta
7. Hartono Mall – Yogyakarta

Lalu apa korelasi antara jumlah mall di sebuah pulau dengan kemampuan para gamers yang tinggal di pulau tersebut? Sederhana saja. Karena jumlah mall di luar Jawa terbatas, hal itu berarti tempat hiburan yang bisa dijangkau oleh masyarakat di sana juga terbatas, apalagi untuk remaja yang hanya berbekal uang saku dari orangtua. Jadi, tidak aneh jika mereka menghabiskan lebih banyak waktu luang mereka untuk bermain game. Seperti kata pepatah, bisa karena terbiasa. Ketika seseorang menghabiskan lebih banyak waktunya untuk bermain game, tentunya kemampuannya pun jadi lebih baik.

Tren terkait etnis tidak hanya muncul di kalangan pemain profesional, tapi juga  di level pemilik organisasi esports. Di Indonesia, kebanyakan pemilik organisasi esports adalah keturunan Tionghoa. Hal ini masih ada kaitannya dengan fakta bahwa pada awal kemunculan esports, sebagian besar pemain profesional merupakan keturunan Tionghoa. Biasanya, salah satu alasan seseorang membuat organisasi esports adalah karena dia memang punya passion di dunia competitive gaming, seperti Gary Ongko, pemilik dari BOOM Esports. Motivasi lain seseorang membuat organisasi esports adalah karena dia pernah menjadi atlet esports, contohnya Richard Permana dari NXL.

 

Apa Pentingnya Membahas Rasisme di Esports?

Jika dibandingkan dengan olahraga tradisional, esports lebih inklusif. Pasalnya, esports tidak mengadu kekuatan fisik. Jadi, idealnya, hampir semua orang bisa ikut serta dalam esports. Sayangnya, esports masih belum bebas dari diskriminasi, baik yang didasarkan atas ras maupun gender. Belum lama ini, Gabriel “NTX” Garcia, pemain PUBG Mobile Pro League (PMPL) di Brasil terkena larangan bermain selama satu tahun karena membuat komentar rasis. Dia adalah pemain PMPL Brasil kedua yang terkena hukuman karena membuat komentar rasis. Sebelum itu, Lucas “Goodzin” Martins melakukan kesalahan yang sama.

Diskriminasi karena ras juga dialami oleh pemain Asia, seperti yang terjadi pada Lee “Fearless” Eui-seok. Sayangnya, perlakuan rasis juga bisa terjadi dalam turnamen. Misalnya, di turnamen Dota 2 Minor pada 2018. Dalam pertandingan antara tim asal Amerika Utara, Complexity Gaming dan tim asal Tiongkok, Royal Never Give-Up, pemain Complexity, Andrei “skem” Ong membuat komentar rasis, memanggil pemain RNG dengan sebutan “Ching chong”. Hal ini mendorong ImbaTV — platform streaming yang menyiarkan turnamen DreamLeague di Tiongkok — untuk protes pada DreamHack dan Valve.

Komentar rasis dari Kuku. | Sumber: The Esports Observer

Komentar rasis juga terkadang muncul dari sesama pemain esports Asia. Beberapa hari setelah kasus Ong, pemain TNC asal Filipina, Carlo “Kuku” Palad membuat komentar serupa, lapor The Esports Observer. Palad lalu dikenakan sanksi oleh TNC, yang membuat pernyataan resmi terkait hal itu di Weibo dan Facebook.

Rasisme adalah masalah yang harus diatasi. Pasalnya, ia bisa menyebabkan banyak masalah, baik pada individual yang menjadi korban rasisme ataupun sebuah komunitas. Bagi orang-orang yang menjadi korban, rasisme bisa membuat mereka merasa marah dan bahkan depresi. Selain itu, mereka juga akan selalu khawatir mereka akan diserang, baik secara verbal dan fisik. Dan hal ini bisa berdampak buruk pada komunitas, seperti merusak kepercayaan antar anggota komunitas.

Di dunia esports, rasisme tak hanya merugikan orang-orang yang menjadi target diskriminasi, tapi juga pihak publisher. Pasalnya, perilaku para gamers — apalagi pemain profesional — bisa menjadi cerminan dari reputasi sebuah game. Tak tertutup kemungkinan, komunitas yang toxic membuat orang-orang enggan untuk mencoba bermain sebuah game. Selain itu, jika publisher tidak menangani masalah rasisme dengan serius, hal ini bisa membuat para pemain melakukan protes. Mereka juga bisa memutuskan untuk tidak mendukung sebuah publisher dengan tidak membeli item dalam game, yang akan menyebabkan penurunan pemasukan publisher.

 

Kesimpulan

Di dunia olahraga tradisional, sempat muncul mitos yang menyebutkan bahwa orang-orang berkulit hitam memang punya susunan genetik yang unik, memungkinkan mereka unggul di bidang olahraga. Teori ini dipercaya oleh masyarakat Amerika Serikat pada 1991. Namun, pada 1971, sosiolog AS keturunan Afirka, Harry Edwards mengungkap bahwa kepercayaan ras memengaruhi kemampuan fisik seseorang merupakan teori yang rasis.

Sementara berdasarkan studi, kemampuan olahraga seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh susunan genetik mereka, tapi juga faktor lingkungan. Dan hal ini terbukti di dunia esports. Korea Selatan menelurkan banyak pemain esports berbakat karena keadaan di negara itu memang mendukung budaya gaming yang kompetitif. Sementara di Indonesia, gamers di luar Jawa cenderung lebih jago karena kemungkinan, mereka memang menginvestasikan lebih banyak waktunya untuk berlatih.

Analisa Wakil Indonesia di Dota Pro Circuit SEA Season 2

Seluruh tim Dota 2 kembali bertarung ke wilayah masing-masing di Dota Pro Circuit 2021 Season 2 seusai ONE Esports Singapore Major yang berhasil dimenangkan oleh Invictus Gaming. Terdapat berbagai wakil Indonesia baik organisasi asal Indonesia maupun pemain yang memutuskan berkarir di tim luar negeri berjuang baik di upper divisions dan lower divisions DPC 2021.

Kali ini kami berbincang bersama Adit “AVILLE” Rosenda yang sebelumnya dikenal sebagai pemain Dota 2 dari EVOS Esports dan kini menjadi shoutcaster Dota 2 di channel YouTube pribadinya. Ia memberikan analisa mengenai perubahan yang dilakukan oleh 2 tim esports Indonesia yakni BOOM Esports dan Army Geniuses. Selain itu juga ada T1 dan 496 Gaming yang mengisi roster mereka dengan pemain Indonesia.

 

BOOM Esports

boomdreamocel-1-1024x576
Sumber: ONE Esports

Menjadi satu-satunya, tim Dota 2 Indonesia di DPC 2021 Upper Divisions Season 1, BOOM Esports meraih hasil yang kurang maksimal dan gagal lolos ke ONE Esports Singapore Major. Mereka harus puas berada di peringkat 5 dengan rekor 4 kemenangan dan 3 kali kalah. Perjalanan BOOM bersama Andrew “Drew” Halim yang baru direkrut untuk menggantikan Randy “Dreamocel” Sapoetra bahkan harus terhenti di tengah jalan dan digantikan Nuengnara “23Savage” Teeramahanon, mantan pemain Fnatic sampai akhir musim DPC Season 1.

Kabar baiknya, BOOM masih bertarung di DPC Upper Divisions untuk musim kedua. Drew akhirnya resmi dilepas dari tim dan 23Savage akhirnya menjadi pemain T1. Dreamocel akhirnya kembali ke BOOM untuk mengisi posisi carry. Sebelumnya, ia bergabung ke Zero Two bersama Muhammad “inYourdreaM” Rizky namun meraih hasil kurang memuaskan dengan berada di peringkat 6 DPC Season 1 lower divisions. Kembalinya Dreamocel ke BOOM berjalan cukup baik dengan meraih juara ketiga Predator League 2020/21.

aville1
Adit “AVILLE” Rosenda. Sumber: joinDOTA

AVILLE: “Kembalinya Dreamocel ke BOOM menjadi win-win solution bagi kedua pihak. Keluarnya Dreamocel setelah lebih dari 3 tahun di BOOM menjadi evaluasi dan refleksi yang ia lakukan. Secara performa individu, ia lebih meningkat dibanding sebelumnya dengan berhasil menembus 10 ribu MMR. Tidak hanya itu, ia juga kembali mendapat kesempatan untuk bisa lolos ke major dan The International.

Sedangkan BOOM mendapatkan versi terbaik dari Dreamocel dari sebelum ia keluar mengingat ia mendapat pengalaman berharga bisa bermain dengan pemain dari berbagai negara yang berbeda dan juga kemampuan individu yang lebih baik. Secara tim, BOOM masih bertumpu di Mikoto yang terlihat permainannya yang stabil di Predator League 2020/21 walau pemain lain juga tidak kalah bagus. Persaingan mereka ke major masih sama seperti musim sebelumnya dengan nama-nama besar seperti Fnatic, T1, TNC Predator, dan OB Neon Esports yang sering mereka hadapi.”

 

T1

800px-Xepher_WePlay_Bukovel_Minor
Kenny “Xepher” Deo Sumber: WePlay

Menghadirkan duet pemain support asal Indonesia yakni Kenny “Xepher” Deo dan Matthew “Whitemon” Filemon, T1 meraih hasil memuaskan dengan berhasil melangkah ke ONE Esports Singapore Major dan bertarung dari babak wild card. Langkah mengejutkan dilakukan oleh T1 dengan memutuskan melepas Souliya “JaCkky” Khoomphetsavong, pemain carry mereka dari tim dan akhirnya digantikan 23Savage menjelang major.

Sayangnya perjalanan T1 di major tidak berjalan mulus bahkan sebelum major dimulai. Carlo “KuKu” Palad, pemain offlaner T1 tidak bisa terbang ke major dan akhirnya digantikan oleh Lee “Forev” Sang Don yang pernah bermain di T1. Debut 23Savage di T1 berjalan sangat buruk dengan hanya meraih hasil 1 kemenangan dari 5 pertandingan yang dijalani.

AVILLE : “Kehadiran 23Savage yang menggantikan Jackky tidak banyak mengubah gaya permainan T1. Kedua pemain sangat mirip permainannya terutama ketika di early dan mid game namun berbeda ketika sudah memasuki late game. Jackky memiliki tipikal yang agresif sedangkan 23 lebih bermain sedikit santai dan cenderung berhati-hati.

Saat di major kemarin, permainan 23Savage juga tidak begitu terlihat karena mereka kehilangan sosok Kuku yang juga kapten tim. Begitu pula dengan Xepher dan Whitemon yang meski memiliki pengalaman menghadapi tim Dota tier 1 sebelumnya namun terlihat mereka terkadang kehilangan arah dan pergerakan yang aneh tanpa kehadiran Kuku.

Sama seperti BOOM, peluang untuk lolos ke major bakal berlangsung ketat mengingat juga ada patch 7.29 yang baru saja hadir. Siapapun tim yang bisa memanfaatkan dengan baik patch ini, mereka yang memiliki peluang besar untuk lolos ke major berikutnya.”

 

Army Geniuses

154786799_253037652948635_6841858337861087034_n
Sumber: Army Geniuses

Sukses meraih peringkat 5 di klasemen akhir, Army Geniuses yang merupakan organisasi esports Dota 2 Indonesia kembali bertarung di DPC League Lower Division musim kedua. Menariknya, AG mempertahankan seluruh pemain mereka di musim sebelumnya. AG juga aktif mengikuti turnamen luar negeri setelah DPC League musim pertama usai.

Hasil beragam didapatkan oleh AG selama mengikuti turnamen. Mereka tidak pernah mendapat hasil 4 besar di turnamen yang mereka jalani dengan pencapaian tertinggi mereka ketika meraih 6 besar di WCAA Spring Festival Cup. Pengalaman yang mereka ikuti di berbagai turnamen menjadi persiapan berharga bagi Tri Daya “Mamang Daya” Pamungkas dan kawan-kawan sebelum bertarung untuk memperebutkan slot ke Upper Divisions.

AVILLE : “Performa mereka tentu lebih meningkat dibandingkan DPC musim sebelumnya dengan pengalaman dan ilmu yang didapatkan baik saat masih bertarung di musim pertama lower divisions dan keikutsertaan mereka di berbagai turnamen akhir-akhir ini.

Namun melihat hasil yang diraih, peluang mereka untuk lolos ke upper divisions terbilang cukup berat karena mereka menghadapi lawan-lawan yang lebih diunggulkan seperti MG Trust, SMG, dan Galaxy Racer namun untuk bisa kembali mendapat di lower divisions, mereka masih ada peluang.”

 

496 Gaming

drew-farewell-640x360
Andrew “Drew” Halim Sumber: Reality Rift

Berisikan seluruh pemain Vietnam, 496 Gaming harus turun ke lower divisions DPC Season 2 setelah berada di peringkat 7 klasemen akhir di Upper Division Season 1. Perubahan pemain mereka dengan mendatangkan Drew, pemain asal Indonesia yang terakhir bermain di BOOM Esports. Kehadiran Drew menggeser Nguyen “Datbb” Thanh Dat yang sebelumnya bermain sebagai carry kini beralih menjadi offlaner. Debut Drew bersama 496 Gaming di Predator Gaming 2020/21 berlangsung kurang mulus setelah harus puas meraih 6 besar.

AVILLE: “Keputusan 496 Gaming mendatangkan Drew terbilang wajar karena saat ini susah mencari carry papan atas di region SEA terlebih lagi ia berada di 20 besar top MMR di server SEA. Meski Drew bersama 4 pemain asal Vietnam, menurut saya komunikasinya dengan rekan tim tidak menjadi masalah karena komunikasi Dota lebih memakai bahasa yang mudah dipahami seperti let’s push, get back, atau smoke.

Hanya saja Drew beberapa kali masih ada miss koordinasi dengan tim saat terutama ketika takluk melawan South Built Esports yang merupakan lawan perdana mereka di DPC League Lower Divisions Season 2. Secara individu, Drew bermain baik dengan laning stage yang berhasil ia menangkan namun harus memperbaiki untuk pertandingan berikutnya. Berbicara peluang, sama seperti AG peluang 496 untuk kembali ke upper divisions terbilang berat karena harus menghadapi tim-tim unggulan di lower divisions.”

Kabar Esports Dota 2 Dari Jumlah Penonton Singapore Major 2021

ONE Esports Dota 2 Singapore Major 2021 telah usai digelar tanggal 4 April 2021 kemarin. Invictus Gaming asal Tiongkok berhasil menang gemilang melawan Evil Geniuses asal Amerika Serikat dengan skor 3-2. Terlepas dari pertandingannya yang berjalan dengan sangat sengit, satu hal lain yang cukup mengundang rasa penasaran mungkin adalah bagaimana jumlah penonton esports Dota 2 sendiri dari ONE Esports Singapore Major 2021 kemarin.

Pasalnya Dota 2 kerap dianggap sebagai “dead game” walaupun komunitasnya masih cukup hidup, Valve masih aktif mengembangkan game-nya, bahkan masih mewadahi keinginan berkompetisi para pemainnya melalui esports. Sekarang, mari coba kita menilik kondisi esports Dota 2 berdasarkan dari data viewership Singapore Major yang saya ambil dari fitur pro milik Esports Charts.

Mengutip dari blog Esports Charts, mereka mengatakan Dota 2 Singapore Major sebagai salah satu pertandingan Major terbaik di sepanjang perjalanan esports Dota 2. Pernyataan tersebut tidak salah karena Dota 2 Singapore Major 2021 berhasil mencetak beberapa rekor jika dibandingkan dengan turnamen Dota 2 Major sebelumnya.

Sumber Gambar - Esports Charts Pro Version
Sumber Gambar – Esports Charts Pro Version

Secara umum, ONE Esports Dota 2 Singapore Major berhasil mencatatkan 605 ribu lebih peak viewers dengan sekitar 195 ribu lebih average viewers. Dari 105 jam total tayangan mengudara, Dota 2 Singapore Major 2021 berhasil mencatatkan sekitar 20 juta lebih total watch hours.

Seperti yang dikatakan sebelumnya, ONE Esports Dota 2 Singapore Major 2021 berhasil mencetak rekor apabila dibandingkan dengan turnamen Dota 2 Major sebelumnya. ONE Esports Dota 2 Singapore Major mencetak rekor sebagai turnamen dengan jumlah peak viewers dan total watch hours terbanyak kedua sepanjang sejarah perjalanan turnamen Dota 2 Major diadakan.

Sumber Gambar - Esports Charts Blog.
Sumber Gambar – Esports Charts Blog

Pemegang peringkat pertama masih Kiev Major 2017 yang mencatatkan 842 ribu lebih peak viewers dengan 29 juta lebih total watch hours. Selain itu, Dota 2 Singapore Major 2021 juga mencatatkan rekor sebagai turnamen Dota 2 Major terlama sepanjang sejarah dengan total 105 jam tayangan mengudara. Sebelum Singapore Major 2021, pemegang rekor tayangan terlama adalah EPICENTER XL yang mencatatkan total 94 jam tayangan mengudara.

Lalu bagaimana dengan jumlah penonton esports Dota 2 di Indonesia sendiri? Apabila mengutip dari tulisan blog milik Esports Charts, terlihat bahwa mereka tidak hanya mencatatkan tayangan official saja, tetapi juga termasuk tayangan komunitas. Pasalnya walau PGL selaku penyelenggara Singapore Major 2021 hanya menyediakan tayangan berbahasa Inggris, Russia, Portugis, Spanyol dan Tiongkok saja, namun Esports Charts masih tetap merekam tayangan bahasa lainnya.

Sumber Gambar - Esports Charts Pro Version
Sumber Gambar – Esports Charts Pro Version

Berhubung dua bahasa Inggris dan Rusia memiliki tayangan official, jadi tidak heran kalau keduanya berhasil mencatatkan jumlah penonton paling banyak. Bahasa Inggris mengisi peringkat 1 dengan 303 ribu lebih peak viewers sementara bahasa Rusia mengisi peringkat 2 dengan 177 ribu lebih peak viewers. Apabila dibandingkan dengan catatan peak viewers tersebut, jumlah penonton tayangan pertandingan Singapore Major 2021 berbahasa Indonesia jadi terasa kerdil karena hanya mencatatkan 12 ribu lebih peak viewers saja.

Catatan tersebut bisa jadi tidak sepenuhnya salah. Untuk menelaah lebih jauh, saya menggunakan channel YouTube Ligagame sebagai sampel. Ligagame bisa dibilang sebagai salah satu channel yang getol menayangkan pertandingan-pertandingan Dota 2 dengan shoutcasters bahasa Indonesia. Ligagame pun turut menayangkan pertandingan Dota 2 Singapore Major 2021. Mengutip dari channel YouTube, tayangan babak final Singapore Major 2021 hanya mencatatkan 68 ribu lebih views saja.

Patut diingat bahwa jumlah “views” dengan jumlah “peak viewers” itu berbeda. Peak viewers merupakan catatan jumlah orang paling banyak yang hadir ke dalam stream saat sedang berjalan. Sementara views merupakan total orang yang melihat sebuah video. Melihat dari perbandingan jumlah views dengan jumlah peak viewers tersebut, maka catatan peak viewers tayangan berbahasa Indonesia milik Esports Charts seharusnya tidak meleset terlalu jauh.

Namun demikian, sedikitnya jumlah penonton tersebut juga sebenarnya bukan tanpa alasan. Salah satu alasan yang paling mungkin adalah karena ketidakhadiran tim Indonesia di dalam turnamen tersebut. Harapan tim Indonesia menuju ke Singapore Major 2021 memang sudah kandas, terutama setelah BOOM Esports kesulitan menantang keras tim-tim yang ada di DPC SEA Regional League – Upper Division.

Dalam artikel blog, Esports Charts juga menjelaskan bahwa ketidakhadiran NAVI juga jadi salah satu alasan kenapa jumlah penonton Rusia jadi tidak sebanyak seperti biasanya.

Setelah Dota 2 Singapore Major 2021 selesai, musim kompetisi Dota 2 tahun 2021 akan kembali berlanjut ke babak Regional League Season 2. Berhubung BOOM Esports finish di peringkat 5 dari total 8 tim peserta, Mikoto dan kawan-kawan masih bertahan di Upper Division untuk Season 2 ini. Dengan kembalinya Dreamocel ke dalam line-up, mampukah BOOM Esports menembus sampai ke Dota 2 Major berikutnya nanti?

*Disclosure: Esports Charts adalah Partner dari Hybrid.co.id.

Garena World 2021 Telah Digelar, PS5 Jadi Konsol Resmi NBA 2K League

Minggu lalu, PlayStation mengumumkan bahwa PlayStation 5 akan menjadi konsol resmi dari NBA 2K League. Selain itu, Garena World 2021 juga baru selesai digelar. Sementara ESIC bekerja sama dengan FBI untuk menyelesaikan masalah match fixing di skena esports CS:GO di Amerika Utara.

Garena World 2021 Gunakan AR untuk Pengalaman yang Lebih Realistis

Garena World 2021 diselenggarakan pada 3-4 April 2021 di Thailand. Tahun ini, acara game dan esports terbesar di Asia Tenggara itu akan diadakan secara online. Menggunakan augmented reality dan berbagai teknologi fans engagement lain, Garena akan berusaha untuk membuat “Dunia Virtual Interaktif”. Para pengunjung dari Thailand bisa mengikuti berbagai mini game untuk memenangkan token yang bisa ditukar dengan hadiah dalam game Arena of Valor (AOV), Free Fire, FIFA Online 4, Call of Duty: Mobile, dan Fairy Tail: Forces Unite! Selain itu, mereka juga bisa menukar token tersebut dengan hadiah nyata. Hadiah itu akan dikirimkan ke rumah mereka secara gratis, lapor IGN.

Persiapan Garena World 2021. | Sumber: IGN
Persiapan Garena World 2021. | Sumber: IGN

Seperti biasa, Garena World 2021 juga akan menampilkan berbagai turnamen esports. Kali ini, ada empat game yang Garena yang diadu, yaitu AOV, Free Fire, FIFA Online 4, dan Call of Duty: Mobile – Garena. Secara keseluruhan, ada 39 tim dari 9 kawasan yang berbeda yang berlaga di kompetisi-kompetisi tersebut. Sementara total hadiah yang ditawarkan mencapai US$660 ribu atau sekitar Rp9,6 miliar.

PlayStation 5 Jadi Konsol Resmi untuk NBA 2K League

PlayStation 5 menjadi konsol resmi untuk NBA 2K League. Hal ini diumumkan ole VP, Global Competitive Gaming, PlayStation, Steven Roberts dalam situs resmi PlayStation. Kerja sama ini akan dimulai pada bulan Mei 2021. Ke depan, tim dan pemain dari NBA 2K League akan menggunakan PlayStation 5 saat bertanding di berbagai kompetisi. Selain itu, PlayStation juga akan mengadakan turnamen esports untuk para fans.

“Dengan bangga kami mengumumkan, turnamen online untuk fans akan diadakan pada minggu depan untuk pertama kalinya,” ujar Roberts, pada 2 April 2021. “Mulai sekarang, semua pemilik PS5 di Amerika Serikat bisa mendaftarkan diri di turnamen Three for All Showdown Qualifier, yang akan diadakan pada 5-6 April 2021.” Pemenang dari turnamen itu akan ikut serta dalam pertandingan 3-on-3 bersama influencers Troydan dan PoorBoySin di kompetisi NBA 2KL Three for All Showdown, yang bakal diadakan pada 9-10 April 2021.

Team Nigma Pindah Markas ke Abu Dhabi

Team Nigma baru saja mengumumkan bahwa mereka punya markas baru di Abu Dhabi, ibukota dari Uni Emirat Arab. Mereka melakukan hal ini sebagai bagian dari kerja sama baru dengan twofour54, organisasi yang disokong oleh pemerintah Abu Dhabi. Selama lima tahun ke depan, Team Nigma akan berlatih di tempat pelatihan khusus. Tujuan Team Nigma pindah ke Abu Dhabi adalah untuk mendorong pertumbuhan industri game dan esports di Timur Tengah.

Team Nigma merupakan salah satu tim populer di Dota 2. | Sumber: ONE Esports
Team Nigma merupakan salah satu tim populer di Dota 2. | Sumber: ONE Esports

“Kami tidak sabar untuk mendukung tim yang berisi para superstars lokal ini,” kata James Hart, Director of Strategic Partnership, twofour54, menurut laporan Clutch Points. “Team Nigma akan membuka berbagai lowongan pekerjaan baru di sektor esports di Abu Dhabi. Dan mereka juga akan menjadi inspirasi bagi para talenta lokal dengan menunjukkan apa yang bisa seseorang capai jika mereka mendedikasikan diri dan bekerja keras di industri esports.”

ESIC Kerja Sama dengan FBI untuk Atasi Match Fixing di Skena CS:GO Amerika Utara

Tahun lalu, polisi Australia bekerja sama dengan Esports Integrity Commission (ESIC) untuk menangkap pelaku match fixing di skena Counter-Strike: Global Offensive. Namun, ternyata, masalah match fixing dan judi ilegal di CS:GO lebih serius dari yang diduga. Untuk menyelesaikan masalah match fixing di skena CS:GO Amerika Utara, FBI pun dilibatkan. Hal ini diungkapkan oleh Ian Smith, Commissioner dari Esports Integrity Commission (ESIC) dalam wawancara dengan YouTuber slash32. Dia menjelaskan, ESIC dan FBI tengah mengadakan investigasi yang melibatkan sejumlah pemain CS:GO soal match fixing di MDL Amerika Utara.

“Kasus ini merupakan contoh dari match fixing klasik — para pemain tidak berinisiatif untuk sengaja kalah, tapi mereka disogok oleh sindikat judi demi menentukan hasil pertandingan,” kata Smith, seperti dikutip dari Kotaku. “Dan masalah ini telah muncul sejak lama, serta jauh lebih terorganisasi. Jadi, untuk menyelesaikan masalah tersebut, kami bekerja sama dengan penegak hukum dan FBI, yang belum lama ini membuka unit investigasi baru terkait perjudian olahraga.”