Potensi 92 Juta Pelanggan yang Ingin Dijaring Lewat Program Kemitraan

Platform marketplace Shopee akhirnya turut terjun meramaikan model bisnis online-to-offline (O2O) di Indonesia dengan merilis Mitra Shopee. Program serupa sebelumnya sudah dijalankan terlebih dulu oleh dua kompetitornya, melalui Mitra Bukalapak dan Mitra Tokopedia. Kelebihannya, Shopee telah miliki platform digital wallet-nya sendiri, ShopeePay.

Ditinjau dari fitur, ketiganya miliki cakupan yang nyaris serupa. Aplikasi dikembangkan untuk mengajak pemilik bisnis mikro –dengan warung sebagai sasaran utamanya—menjualkan beragam produk digital seperti voucher PPOB dan menjadikan e-commerce terkait sebagai kanal pemasok barang dagangan.

Layanan pembayaran digital (digital wallet) yang diterima baik oleh pengguna turut memacu penetrasi program kemitraan tersebut. Karena memungkinkan setiap transaksi –misalnya pembelian token PLN—dilakukan secara lebih cepat, sehingga memberikan pengalaman yang cukup baik bagi pelanggan bisnis mitra-mitranya.

Meluncur paling di antara platform marketplace lain, Bukalapak mengklaim telah miliki sekitar 1 juta mitra yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia, sampai di daerah tier-3. Sementara menurut AVP of New Retail Tokopedia Adi Putra, menutup tahun 2019 program Mitra Tokopedia sudah diikuti sekitar 400 ribu pebisnis mikro. Belum ada data untuk inisiatif milik Shopee karena masih tergolong baru.

Mitra Bukalapak
Sebaran Mitra Bukalapak di berbagai penjuru Indonesia / Bukalapak

Apa yang dicari dari program kemitraan?

Berdasarkan hasil riset bertajuk The Future of Southeast Asia’s Digital Financial Services yang dilakukan Google, Temasek dan Bain & Company, sekurangnya 92 juta penduduk berusia dewasa di Indonesia belum tersentuh layanan finansial atau perbankan (unbankable). Jumlah tersebut tentu sangat besar, lebih besar dari total penduduk negara-negara lain di Asia Tenggara kecuali Filipina.

Kalangan unbankable tersebut sebagian besar diasumsikan sebagai orang-orang yang tidak pernah mengakses platform jual beli online, karena pada dasarnya minimal pengguna harus memiliki akun bank untuk bisa bertransaksi di sana. Tujuan program kemitraan adalah mendistribusikan agen-agen penjualan offline yang tersebar di berbagai wilayah untuk menjadi perantara, memberikan kemudahan kepada unbankable agar mudah mendapatkan produk-produk e-commerce.

Skenario lainnya, agen tersebut dijadikan poin distribusi untuk pengiriman barang. Beberapa wilayah, khususnya di daerah pelosok, sulit dijangkau oleh layanan logistik. Beragam layanan pembayaran memungkinkan bisnis mikro yang dikelola agen menawarkan varian produk yang lebih lengkap dengan harga kulak yang relatif lebih murah.

Jadi ada tiga hal yang sebenarnya didapat oleh bisnis e-commerce dari program ini. Pertama, membantu distribusi produk dengan menjangkau populasi unbankable. Kedua, membantu perluasan pemasaran produk atau brand dengan menghadirkan representasi di daerah. Dan yang ketiga, membuka peluang rantai distribusi yang lebih efektif.

Berebut pasar dengan pebisnis digital lain?

Jelas 92 juta bukan angka yang kecil, bahkan itu adalah potensi pasar yang sangat besar mengingat jumlah tersebut datang dari kalangan usia produktif. Sayangnya peluang itu tidak hanya dipersaingkan oleh tiga unicorn e-commerce saja, ada banyak pebisnis digital lain yang kini serius garap basar O2O di Indonesia.

Payfazz saat ini sudah miliki 450 ribu orang agen. Aplikasi keuangan tersebut memudahkan pemilik UKM menawarkan berbagai produk keuangan, termasuk untuk PPOB, pembayaran tagihan, transfer dana, tarik tunai, hingga pembayaran kredit. Kontribusi PPOB saja setiap bulannya hampir menyentuh Rp1 triliun. Menurut Co-Founder & CEO Hendra Kwik, PPOB jadi layanan yang berkontribusi besar, setiap bulannya hampir sentuh nilai transaksi Rp1 triliun.

Agen Payfazz
Salah satu agen Payfazz yang juga merupakan pemilik warung / Payfazz

Selain itu masih ada GrabKios by Kudo, Netzme, Paytren dan banyak platform lain di luar ekosistem e-commerce yang tawarkan konsep serupa. Belum lagi kini aplikasi digital wallet populer untuk kalangan konsumer juga sudah sajikan fitur lengkap pembayaran lengkap – kendati beberapa terintegrasi dengan e-commerce, seperti Dana di Bukalapak dan Ovo di Tokopedia.

Persaingan memperebutkan agen pun sudah mulai terasa, dengan strategi kompetisi bisnis digital yang sering ada: perang harga. Jadi, siapa kuat dia akan menang?

Dengan perkembangan teknologi dan perluasan konektivitas, bisa dibilang keberhasilan O2O sangat bergantung pada pengalaman konsumen yang dijajakan. Ketidaknyamanan, keterlambatan atau isu-isu teknis bisa jadi menyebabkan penurunan minat terhadap layanan terkait di tengah persaingan kuat antarplatform.

Konsep O2O sebenarnya lebih luas dari sekadar kemitraan. Brand produk dunia juga banyak yang mengadaptasi pendekatan ini. Kendati pada faktanya menurut statistik, 91% brand sempat gagal menghadirkan menghadirkan pengalaman digital di toko ritel mereka.

Dari studi kasus kesuksesan para retailer seperti Amazon atau Alibaba dalam mengaplikasikan O2O, ada beberapa poin yang menjadi kunci bisnis. Pertama, pastikan inisiatif O2O memudahkan akitvasi online terjadi secara offline. Kedua, mengedepankan personalisasi pengalaman pelanggan. Dan ketiga, selalu manfaatkan perkembangan teknologi. Beberapa brand kini manfaatkan AR/VR untuk membantu meningkatkan visualisasi produk.

Starting Out as E-Commerce, Orami Transforms Into Parenting Platform

Orami, usually known as a niche e-commerce site for mom and kids products, has recently launched the “Orami Parenting” app to tighten its position as an all-in-one parenting app. The launch is held along with the 7th anniversary. The step is said to be in line with its vision to simplify the parenting stuff.

Orami’s Head of Parenting, Cynthia Tenggara told DailySocial, the presence of Orami Parenting does not mean to disregard the e-commerce business. This decision was taken due to the increasing needs of mothers instead of just shopping.

“On our internal research, they need more than that [e-commmerce], they need a support system, original content, and community. Starting there, we finally developed the application,” Cynthia said, Wednesday (12/2).

She also said, last year when she joined the Orami, it was the beginning of Orami Parenting initiative. Cynthia was the former founder & CEO of Berrykitchen which has now been acquired by Yummy Corp.

Orami’s initial business was e-commerce and has been the company’s core business since 2013. Product expansion begins with the presence of the Orami Forum in 2017, a solid foundation to be further developed as the Orami Community in 2018.

This community has thousands of members come from various areas in 75 cities. They are majorly located in Greater Jakarta, Bandung, Surabaya and Yogyakarta.

Orami Parenting

Orami Parenting is a community-based parenting application. In this space, parents can have an online discussion via chat with fellow parents with the same interest.

There are online consulting classes to gather them with experts in ​​childcare and have direct interaction through the online chat platform provided.

In addition, users can read various articles related to parenting in various formats including writing, visual, audio and video; gain special access to enjoy promos at various merchants and partners; and shop on the Orami e-commerce site.

“All the features we’ve been working on are always through the inspiration from mothers as our users.”

Cynthia also explained, the team isn’t focused on the monetization strategy in the application, at this time. Although, it’s quite possible in the future.

“We are now focusing on making an impact related to parenting, how to acquire more mothers to join and have a good support system.”

This application allows Orami to expand coverage throughout Indonesia. Also, there are partners from outside Java island for parents’ needs. This benefit is expected to have more impact due to no ‘privilege’ impression between members who live in big cities with the others.

“We also create a community based on domicile, therefore, if there’s a group of mothers in Papua, we can create a separate group.”

The complete business plan

Cynthia also revealed the future plans for feature development, one of which is to facilitate the search for babysitters. Moreover, the forum used by community members to share information with each other, including babysitter recommendations.

Furthermore, it is the wholesale shopping feature in order to get a much cheaper price. “We are currently developing because shopping with the community offers a much cheaper price. The main feature is based on internal research and the aspirations of mothers.”

This year, Chyntia is targeting to increase the number of app downloads to 150 thousand downloads. The new Orami Parenting app has officially introduced today, (12/2).

Orami's CEO, Ferry Tenka / Orami
Orami’s CEO, Ferry Tenka / Orami

Separately, regarding the e-commerce services, Orami’s CEO, Ferry Tenka is targeting to gradually expand shipping coverage for more users can have access to their services. About 70% -80% of Orami Commerce orders come from Java.

The company is to open a warehouse located in Medan as user penetration is getting high. Currently, Orami has two warehouses located in Bekasi and Surabaya for shipping around the area.

In addition, Orami has its own fleet of one-day-delivery service, however, it only applies to short-distance shipments. When the delivery goes too far, it will be handled by a third party courier company.

“We have just launched a warehouse in Surabaya, aiming to serve buyers from Eastern Indonesia. This year we plan to add another warehouse in Medan, “Ferry said.

Orami currently has around 30 to 40 thousand product SKUs provided by 400-500 brands. There are nine categories of products, ranging from children’s fashion, gears, diapers, children’s food, baby gear, baby travel gear, also children’s milk and nutrition.

Last year, the transaction volume is estimated at 400 thousand. It’s targeting all the company’s business strategies to be able to realize the ambition to process 1 million transactions this year.

The Orami site is said to have been visited by five million unique visitors each month. Of that number, around 700 thousand of them have registered. Moreover, 500 thousand of them already transact in Orami.

“Our target is trying to expand the unique visitor range. There are 20 million mothers who have children under the age of seven as our target users,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Berawal dari Situs E-commerce, Orami Kini Menjadi Platform Parenting

Orami yang sebelumnya lebih dikenal dengan situs e-commerce niche untuk produk ibu dan anak, baru saja merilis aplikasi “Orami Parenting” untuk mengokohkan posisinya sebagai all-in-one parenting app. Peluncuran ini bertepatan dengan hari jadinya yang ketujuh. Langkah yang diambil sejalan dengan visinya ingin menyederhanakan pola asuh (simplifying parenting).

Kepada DailySocial, Head of Orami Parenting Cynthia Tenggara menegaskan, bukan berarti kehadiran Orami Parenting tidak mengindahkan bisnis e-commerce. Keputusan ini diambil karena sejalan dengan berjalannya waktu, kebutuhan ibu bukan hanya soal belanja saja.

“Setelah kita riset internal, mereka butuh lebih dari itu [e-commmerce], mereka butuh support system, konten yang original dan komunitas. Berawal dari situ akhirnya kita kembangkan aplikasi,” ujar Cynthia, Rabu (12/2).

Dia juga menyebut, bergabungnya dirinya ke Orami pada awal tahun lalu adalah penanda dimulainya Orami Parenting diinisiasi. Sebelumnya, Cynthia adalah founder & CEO Berrykitchen yang kini sudah diakuisisi Yummy Corp.

Bisnis awal Orami adalah e-commerce dan menjadi backbone perusahaan sejak tahun 2013 beroperasi. Perluasan produk dimulai hadirnya Forum Orami di 2017, yang menjadi bekal untuk diperkuat menjadi Orami Community di 2018.

Anggota komunitas ini tersebar di 75 kota dengan jumlah puluhan ribu. Mayoritas berlokasi di Jabodetabek, Bandung, Surabaya dan Yogyakarta.

Orami Parenting merupakan aplikasi parenting berbasis komunitas. Di sana para orang tua dapat berdiskusi via chat dengan sesama orang tua lainnnya dengan minat yang sama secara online.

Ada kelas konsultasi online yang mempertemukan mereka dengan para ahli di bidang pengasuhan anak dan berinteraksi langsung melalui kanal chat online yang telah disediakan.

Selain itu, pengguna dapat membaca beragam artikel terkait parenting dalam berbagai format ada tulisan, visual, audio dan video; mendapatkan akses khusus untuk menikmati promo diskon di berbagai merchant dan mitra; dan berbelanja di situs e-ecommerce Orami itu sendiri.

“Seluruh pengembangan fitur selalu kami kerjakan dengan selalu melihat inspirasi dari ibu-ibu sebagai pengguna kita.”

Cynthia juga menerangkan, untuk saat ini pihaknya belum fokus pada strategi monetisasi pada aplikasinya tersebut. Meski tidak menutup kemungkinan ke depannya.

“Sekarang yang kami fokuskan adalah memperdalam dampak yang bisa kita berikan terkait parenting, bagaimana bisa semakin banyak ibu-ibu yang bergabung dan punya support system yang bagus.”

Aplikasi ini memungkinkan Orami untuk perluas jangkauan pengguna hingga ke seluruh Indonesia. Ditambah ada rekanan merchant dari luar Pulau Jawa yang bisa dimanfaatkan untuk orang tua. Kelebihan ini diharapkan bisa membawa dampak yang lebih karena tidak ada kesan ‘privilege’ antara anggota yang tinggal di kota besar dengan yang tidak.

“Kita juga membuat komunitas based on domisili, sehingga kalau ada ibu-ibu di Papua yang sudah ada banyak anggotanya, bisa kita buatkan grup tersendiri.”

Rencana bisnis keseluruhan

Cynthia turut mengungkapkan rencana pengembangan fitur ke depan, salah satunya untuk memudahkan pencarian babysitter. Karena sebelumnya forum chat yang dipakai anggota komunitas banyak yang saling berbagi informasi, termasuk soal rekomendasi babysitter.

Berikutnya adalah fitur belanja secara borongan untuk mendapat harga produk yang jauh lebih murah. “Itu sedang kita kembangkan karena kalau belanja bareng komunitas harganya bisa jauh lebih murah. Intinya fitur berdasarkan riset internal dan aspirasi para ibu.”

Cynthia menargetkan dalam tahun ini pihaknya dapat menambah jumlah unduhan aplikasi menjadi 150 ribu pengunduh. Aplikasi Orami Parenting baru secara resmi diperkenalkan pada hari ini, (12/2).

CEO Orami Ferry Tenka / Orami
CEO Orami Ferry Tenka / Orami

Secara terpisah, untuk layanan e-commerce-nya, CEO Orami Ferry Tenka menargetkan untuk perluas cakupan pengiriman secara bertahap agar semakin banyak pengguna yang bisa menikmati layanannya. Pesanan yang datang ke Orami Commerce sekitar 70%-80% datang dari dalam Pulau Jawa.

Perusahaan akan membuka gudang yang berlokasi di Medan, karena di sana memiliki penetrasi pengguna dengan pertumbuhan yang tinggi. Saat ini Orami memiliki dua gudang yang berlokasi di Bekasi dan Surabaya untuk melayani pengiriman sekitar sana.

Di samping itu, Orami punya armada sendiri untuk pengiriman sehari sampai, tapi hanya berlaku untuk pengiriman jarak dekat. Apabila di luar jangkauan, akan ditangani oleh pihak ketiga perusahaan kurir.

“Gudang di Surabaya baru kita launch, tujuannya untuk melayani pembeli dari Indonesia Timur. Tahun ini kita baru berencana tambah satu gudang di Medan,” ujar Ferry.

Orami memiliki sekitar 30 ribu sampai 40 ribu SKU produk yang disediakan oleh 400-500 brand. Ada sembilan kategori produk yang dijual, mulai dari fesyen anak, gears, popok, makanan anak, perlengkapan bayi, perlengkapan bepergian bayi, hingga susu dan nutrisi anak.

Volume transaksi yang diproses pada tahun lalu diperkirakan sebanyak 400 ribu. Ia menargetkan seluruh strategi bisnis yang dijalankan perusahaan dapat merealisasikan ambisi untuk memproses 1 juta transaksi sepanjang tahun ini.

Situs Orami disebutkan telah dikunjungi oleh lima juta unique visitor setiap bulannya. Dari angka tersebut, sekitar 700 ribu di antaranya sudah melakukan registrasi. Lalu 500 ribu di dalamnya sudah bertransaksi di Orami.

“Target kita sedang mencoba perluas range unique visitor kita. Di luar sana, ada 20 juta ibu-ibu yang punya anak usia di bawah tujuh tahun yang menjadi target pengguna kita,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Optimisme Blibli Masuk Ranah Offline Melalui BlibliMart

Pekan lalu (28/1) Blibli meresmikan toko offline BlibliMart, sebuah upaya untuk mengukuhkan posisinya sebagai online superstore dengan memperkuat strategi omnichannel. Alasan kuat perusahaan untuk terjun ke ranah ini, tak lain untuk memenangkan kompetisi pasar di industri ritel.

Kepada DailySocial, SVP of Trade Partnership Blibli Francisca Krisantia Nugraha menerangkan, konsumen di pasar ritel didominasi oleh kaum milenial yang sudah terbiasa berbelanja dan bertransaksi online secara cashless.

Studi Nielsen menunjukkan, jumlah konsumen yang berbelanja online meningkat 29% pada tahun 2018 dibandingkan dua tahun sebelumnya. Mayoritas konsumen ini didominasi oleh milenial. Menyisakan segmen minoritas yang memilih untuk tidak belanja online.

Kekosongan ini diterjemahkan oleh Blibli dengan merilis toko offline BlibliMart, agar dapat menjangkau semua tipe konsumen. Sekaligus melengkapi strategi omnichannel  Blibli agar lebih komprehensif secara end-to-end, memastikan diri sebagai online superstore bisa memenangkan kompetisi pasar di industri ritel.

“Penerapan strategi omnichannel yang menyinergikan kanal online dan offline menjadi semakin penting untuk diterapkan oleh perusahaan ritel di masa depan, penting untuk menjawab perubahan perilaku konsumen,” tutur Francisca.

“Memiliki kanal penjualan online dan offline penting untuk menyediakan segala keperluan mereka kapan pun dan di mana pun,” sambung dia.

Sebelum terjun ke toko offline, Blibli sejauh ini memperluas kehadiran omnichannel melalui konsep ritel baru, seperti fitur Click & Collect yang sudah dirilis resmi pada tahun lalu.

Toko perdana BlibliMart berlokasi di Jakarta, tepatnya di Gedung Sarana Jaya, Jakarta Pusat dengan jam operasional dari pukul 8 pagi sampai 6 sore. Di sini tidak menerima pembayaran tunai alias cashless dan cashierless.

Didukung sepenuhnya oleh GoPay sebagai metode pembayarannya. Cukup Scan & Go dengan menggunakan aplikasi Blibli untuk memindai barcode harga di kemasan produk. Lalu membayar seluruh keranjang belanjanya dengan GoPay.

BlibliMart sendiri adalah kategori groceries di Blibli yang hadir sejak tahun 2018. Kategori ini terkuat kedua, setelah produk elektronik, dari segi tingkat pesanan dan GMV.

Ada delapan sub kategori yang dijual di dalam aplikasi, mulai dari minuman, makanan ringan, perawatan rumah tangga, perawatan kulit tubuh, kebutuhan ibu dan anak, makanan beku dan makanan segar.

Namun pada toko offline-nya, ada penambahan produk yang disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan seperti produk kesehatan dan kecantikan, Galeri Indonesia, mainan anak, otomotif, aksesoris elektronik, dan gadget. Artinya lebih dari separuh kategori di aplikasi Blibli, masuk ke toko offline.

Francisca menegaskan perusahaan tidak akan merilis aplikasi terpisah. Dikarenakan BlibliMart adalah layanan yang terintegrasi ke dalam ekosistem Blibli. Ia memanfaatkan seluruh infrastruktur fisik, sistem TI dan fitur-fitur yang ada di aplikasi, termasuk gudang, fleet Blibli Express Service untuk mendukung pengiriman cepat di hari yang sama.

“Keseluruhan ekosistem ini penting dalam mendukung pengoperasian dan perkembangan BlibliMart.”

Dia belum bersedia memberikan penjelasan lebih jauh lokasi berikutnya yang akan dipilih untuk toko offline-nya tersebut.

Diyakini tingkat pesanan di BlibliMart dapat tumbuh tiga kali lipat dan GMV naik 2,5 kali lipat pada tahun ini. Target ini juga didukung dengan perluasan jumlah produk senilai dua kali lipat. Tahun lalu, BlibliMart mencatat pertumbuhan order sebesar 313% dan GMV 227%. Pertumbuhan didukung oleh kenaikan volume produk senilai 300%.

Pengembangan berikutnya untuk BlibliMart

Toko offline BlibliMart adalah bagian dari strategi BlibliMart untuk tahun ini yang menyinergikan tiga pendekatan utama. Ketiganya yakni memperkuat manajemen rantai pasokan, menyediakan layanan inovatif sesuai kebutuhan pelanggan dan memperluas kehadiran omnichannel dengan konsep ritel baru.

Bila diterjemahkan lebih dalam, ketiganya dijawab dengan tiga langkah bisnis. Pertama, memperkuat manajemen rantai pasokan dengan mempererat hubungan dengan perusahaan FMCG dan mendekatkan produk kepada pelanggan. Francisca menyebut tahun ini Blibli akan menambah gudang menjadi 21 unit, serta hub dan mobile hub menjadi 43 unit untuk mempercepat pengiriman.

Kedua, menghadirkan fitur inovatif yang sesuai kebutuhan pelanggan, misalnya merilis fitur pengiriman otomatis untuk pelanggan. Rencananya pada kuartal pertama ini, seluruh gudang Blibli di Jabodetabek akan menawarkan layanan tersebut. Kemudian, fitur berlangganan produk yang bakal di rilis pada periode yang bersamaan.

Terakhir, memperluas kehadiran omnichannel melalui konsep ritel baru yang sudah dijawab dengan merilis Click & Collect dan toko offline BlibliMart.

Application Information Will Show Up Here

Penerapan Strategi “Omnichannel” di Bukalapak dan Tokopedia untuk Tingkatkan Pengalaman Pengguna

Hingga tahun 2023 mendatang, Market Research Future memprediksi pasar platform ritel omnichannel global tumbuh hingga US$11,1 miliar. Dalam 2-3 tahun ke depan, faktor pendorong utamanya peningkatan adopsi layanan e-commerce dan meningkatnya penggunaan smartphone/tablet untuk transaksi jual-beli.

Menurut Chief Strategy Officer Bukalapak Teddy Oetomo, strategi omnichannel di layanan e-commerce dan marketplace dilakukan untuk membuahkan diversifikasi di berbagai lini produk dan program, baik secara online maupun offline.

“Kami ingin menyebut Bukalapak sebagai technology commerce, di mana seluruh kegiatan dagang di platform dan program yang dijalankan memanfaatkan teknologi inovatif sebagai akselerator bisnis para UKM. Namun yang terpenting adalah, apapun bentuknya, Bukalapak akan terus berkomitmen pada visinya  menjadi perusahaan yang mampu memberdayakan UKM Indonesia dan penggerak perekonomian bangsa,” kata Teddy.

Salah satu contoh program online-to-offline mereka adalah Mitra Bukalapak. Perusahaan mencoba merangkul agen individual dan warung tradisional agar  memanfaatkan teknologi dan fitur yang dimiliki Bukalapak, sehingga mereka mendapatkan nilai tambah.

Hal senada juga diungkapkan Head of Brand Tokopedia Nirmala Rahmawati, sesuai dengan DNA perusahaan yaitu “focus on consumer” diharapkan bisa memberikan pengalaman terbaik bagi lebih dari 90 juta pengguna bulanan aktif.

“Kami terus berupaya memahami masyarakat dalam menggunakan berbagai fitur dan layanan kami. Brand harus bisa menggunakan berbagai alat dan solusi untuk membangun pengalaman pelanggan yang mudah dan berkesan di berbagai platform.”

Strategi konten cross-channel

Seiring masifnya pemanfaatan teknologi, pasar global telah melihat perubahan besar dalam perilaku konsumen, termasuk Indonesia. Akibatnya, sebagian besar industri menghadapi tantangan baru untuk memenuhi tersebut. Kebutuhan masyarakat yang berbeda-beda membutuhkan pendekatan dan perspektif kreatif baru untuk menyelesaikan masalah.

Strategi omnichannel juga sering dikaitkan dengan distribusi konten secara cross-channel demi meningkatkan pengalaman pengguna. Hal tersebut mencakup integrasi dari pesan yang ingin dikomunikasikan melalui medium digital dan non-digital.

“Dengan mempelajari perilaku konsumen berdasarkan analisis data menggunakan AI dan machine learningkami dapat mempersonalisasi setiap pesan yang dikirim melalui berbagai kanal untuk memastikan relevansi bagi pengguna Tokopedia. Langkah ini sangat penting dalam menciptakan brand experience yang bermakna. Selain itu, informasi tersebut juga membantu kami menyampaikan berbagai pesan lewat beragam kanal yang sesuai dengan preferensi pengguna kami, sehingga kami dapat mengubah perilaku konsumen untuk melakukan pembelian lewat platform Tokopedia,” kata Nirmala.

Saat ini Tokopedia mengklaim telah memiliki lebih dari 250 juta produk terdaftar dengan harga transparan yang dipasarkan oleh lebih dari 7,2 juta pedagang. Selain itu, mereka juga memiliki 35 produk digital yang melayani berbagai kebutuhan masyarakat Indonesia. Dengan begitu banyak produk dan fitur yang tersedia di Tokopedia untuk memenuhi berbagai jenis kebutuhan konsumen, maka diperlukan pengalaman omnichannel yang semulus mungkin.

Menurut Business Delopment Manager MoEngage Divya Jagwani, brick and mortar telah menjadi pelopor untuk industri ritel sejak dulu, namun dalam beberapa tahun terakhir model pembelian telah bergeser untuk pengguna dan sekarang penjualan online nilainya setara atau bahkan lebih tinggi dibandingkan penjualan secara offline. Salah satu alasannya adalah, makin bertambahnya jumlah konsumen yang mencari kenyamanan sekaligus jaminan yang pasti atas produk yang mereka beli.

“Saya percaya untuk saat ini tidak ada banyak perbedaan di toko offline atau online. Harapan konsumen adalah agar toko offline bisa menjadi perpanjangan dari toko online yang menawarkan pengalaman yang sama kepada mereka di seluruh channel dan sebaliknya,” kata Divya.

Secara khusus pendekatan secara online bisa menargetkan konsumen yang tepat, sesuai dengan segmentasi dan produk yang ditawarkan oleh brand. Contohnya pada penempatan iklan digital seperti display dan video, serta penggunaan homepage banner di berbagai platform digital.

Di sisi lain pendekatan secara offline memungkinkan konsumen untuk melihat dan merasakan secara langsung barang yang menarik minat mereka. Contohnya adalah menggunakan iklan TV, beberapa penempatan billboard dan kegiatan pemasaran out-of-home lainnya seperti , seperti titik spot iklan di MRT Jakarta. Untuk itu dibutuhkan biaya yang cukup besar ketika strategi omnichannel mulai dilakukan.

“Poin yang paling penting untuk bisa dipahami oleh brand adalah, konsumen tidak melihat perbedaan antara situs, smartphone, toko offline, email atau SMS. Bagi mereka, penting bagi brand untuk mengenal mereka, tidak peduli channel apa atau cara komunikasi apa yang dipilih untuk bisa lebih personal. Dengan begitu banyaknya data yang dimiliki brand saat ini, mereka seharusnya tidak lagi memasarkan kepada pelanggan dengan mengirim buletin dan kampanye promosi biasa, tetapi menambah nilai pada kehidupan mereka sehari-hari melalui komunikasi di seluruh channel,” kata Divya.

Personalisasi dan penggunaan data

Personalisasi adalah jantung dan faktor penting dalam dunia digital saat ini. Dikenal sebagai “brand intimacy”, kemampuan untuk menghasilkan emosi positif dengan pelanggan diklaim bisa membantu brand mendorong penjualan dan loyalitas pelanggan.

Pada tahun ini diprediksi makin banyak brand yang mencoba untuk “memanusiakan” titik kontak di seluruh channel yang mereka miliki dengan tujuan membangun hubungan emosional yang kuat. Untuk itu bagi brand yang masih menjalankan bisnis secara konvensional sudah harus mulai mengadopsi teknologi, penjualan langsung ke konsumen dan meningkatkan hiper-personalisasi, analisis perilaku pelanggan, dan kemampuan pembelajaran mesin oleh AI.

“Kami berupaya melakukan personalisasi untuk setiap pengguna Tokopedia berdasarkan berbagai data yang kami kumpulkan saat pengguna berinteraksi dengan platform kami. Seluruh langkah ini kami lakukan dengan tujuan untuk membangun hubungan yang kuat dengan pelanggan kami dan mempermudah masyarakat Indonesia untuk memulai dan menemukan apa pun lewat Tokopedia,” kata Nirmala.

Untuk itu penting bagi brand mulai mengelola dengan baik data yang mereka miliki, untuk mendorong kegiatan pemasaran secara digital. Data ini memungkinkan brand untuk membangun algoritma AI dan machine learning yang secara progresif mempelajari lebih lanjut tentang pengguna, menyajikan analisis yang bermakna dan dapat ditindaklanjuti untuk brand yang pada gilirannya bisa memberikan pengalaman pengguna secara personal.

“Penting untuk memahami data dikumpulkan. Tidak cukup hanya melacak data pengguna, tetapi menyusun dan menemukan wawasan yang bermakna serta dapat ditindaklanjuti. Penting bagi brand untuk kemudian menggunakan data ini untuk mencapai komunikasi dengan pelanggan pada waktu yang tepat, melalui channel yang tepat dengan pesan yang tepat untuk mereka,¨tutup Divya.

Pertimbangan Menentukan Gaji Founder Startup Menurut Co-Founder Bukalapak Fajrin Rasyid

Selain fokus mengembangkan bisnis, Co-Founder & President Bukalapak Fajrin Rasyid cukup aktif memberikan kiat pengembangan bisnis digital, baik sebagai pemateri di berbagai acara maupun melalui blog pribadinya. Ulasan terbaru yang ia tulis di laman Medium memberikan tips menarik seputar penentuan gaji founder startup yang ideal.

DailySocial berkesempatan untuk berbincang langsung dengan Fajrin untuk mendalami topik tersebut. Menurutnya, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan sebagai takaran gaji ideal seorang founder, meliputi latar belakang pendidikan, pengalaman hingga kondisi startup.

“Secara umum latarbelakang pendidikan dan pengalaman dari sisi kandidat yang menentukan, namun juga dipengaruhi oleh sisi startup itu sendiri (tahapan startup, kondisi keuangan). Seorang kandidat yang sama bisa jadi akan ditawarkan gaji yang berbeda di dua startup yang berada di tahap berbeda,” terang Fajrin.

Kondisi keuangan startup

Secara langsung Fajrin menegaskan kondisi keuangan perusahaan mempengaruhi penentuan besar kecilnya gaji seorang founder atau CEO. Untuk startup baru idealnya harus memiliki sebuah patokan atau UMR untuk semua karyawan. Khusus untuk CEO, paling tidak bisa berada di atasnya. Nantinya jika startup mengalami pertumbuhan yang positif tentunya bisa disesuaikan lagi.

Ia turut mencatat dua poin penting yang wajib diperhatikan. Pertama, sebuah perusahaan pasti memiliki komponen gaji karyawan. Targetkan agar keuangan startup segera membaik sehingga dapat segera menggaji founder. Apabila startup tidak pernah mungkin menggaji founder, barangkali perlu dipikirkan kembali model bisnis startup tersebut, jangan-jangan memang tidak sustainable. Bagaimana mungkin startup akan sustainable atau memperoleh keuntungan jika membayar gaji saja tidak bisa?

Poin penting lainnya ada di laporan keuangan, harus tetap menuliskan komponen gaji founder di dalam laporan laba rugi. Namun, di dalam neraca, idealnya dapat memasukkan kembali komponen tersebut ke dalam perusahaan sebagai tambahan modal. Hal ini memiliki beberapa manfaat, yakni laporan laba rugi yang lebih sesuai dengan kenyataan, serta gambaran akan modal utuh yang founder keluarkan untuk membangun startup tersebut. Apabila nantinya startup memiliki dana cukup untuk menggaji, tambahan modal ini dapat dihentikan.

Benchmark

Co-Founder Bukalapak Fajrin Rasyid dan CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin saat menyambut kunjungan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di kantornya / Bukalapak
Co-Founder Bukalapak Fajrin Rasyid dan CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin saat menyambut kunjungan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di kantornya / Bukalapak

Poin menarik yang juga menarik disebutkan oleh Fajrin adalah persoalan benchmark atau patokan. Karena setiap startup itu unik, menjadikan proses penentuan tersebut tidak bisa disamakan. Dalam hal ini Fajrin memberikan contoh jika startup berada di tahap seed dan mengetahui bahwa rata-rata startup di tahap tersebut menggaji founder sebesar 10–15 juta Rupiah, maka rasanya terlalu berat bagi apabila ingin menggaji founder sebesar 40 juta Rupiah.

“Jika dibandingkan dengan kondisi di luar negeri seperti Amerika Serikat menurut saya perlu penyesuaian. Karena biaya hidup di tiap negara berbeda-beda. Gaji 3000 dolar di AS mungkin cukup bagi founder startup di tahap seed, tetapi bisa jadi terlalu besar bagi startup di tahap yang sama di Indonesia,” kata Fajrin.

Ia juga menambahkan apabila startup sudah memiliki investor, maka investor tersebut — terlebih jika ia sudah berinvestasi di banyak startup — dapat memberikan data benchmark terkait hal ini. Pada akhirnya jika startup sudah memiliki investor, maka sebaiknya keputusan akan gaji founder tidak lagi hanya diambil oleh CEO, tetapi juga atas persetujuan investor.

Hal lain terkait benchmark yang juga bisa menjadi pertimbangan adalah dengan bertanya hal ini: Apabila saya resign atau posisi saya digantikan oleh seorang profesional, berapa biaya yang kira-kira saya mau bayarkan untuk menggaji orang tersebut? Belum tentu biaya untuk menggaji orang tersebut sama dengan menggaji founder, tetapi setidaknya ini memberikan gambaran akan batas atas.

“Menurut saya, semestinya untuk komponen gaji pokok iya sama. Namun barangkali bagi founder atau CEO ekspatriat ada komponen semacam tunjangan kepindahan atau rumah untuk meng-cover kebutuhan perpindahan dari negara asal,” kata Fajrin.

Perlunya penentuan gaji founder

Di akhir ulasannya Fajrin menjelaskan alasan mengapa seorang founder startup perlu memiliki gaji yang ideal. Salah satunya pemimpin startup bekerja secara day to day. Founder digaji atas pekerjaan yang dia lakukan. Itulah mengapa, apabila ada lebih dari satu founder, tidak harus semuanya digaji dengan angka yang sama. Founder dapat digaji berbeda tergantung dari ruang lingkup pekerjaan dan tanggung jawabnya.

“Hal tersebut juga berlaku dengan co-founder lainnya, pada prinsipnya sama (mempertimbangkan kondisi startup). Yang membedakan adalah tanggung jawab dan beban kerja masing-masing. Tentunya hal ini perlu didiskusikan secara bersama di level pemegang saham,” kata Fajrin.

Intinya adalah gaji yang ditetapkan kepada pendiri startup idealnya tidak terlalu besar, namun lebih kepada bagaimana jika kondisi startup ideal profitable. Salah satu mindset yang dapat dipegang adalah keinginan membangun startup untuk jangka panjang.

Application Information Will Show Up Here

Kunci Kesuksesan Ekspansi Regional adalah Penguatan Fondasi Bisnis Dalam Negeri

Ekspansi regional adalah suatu ambisi yang selalu ingin dicapai para founder startup. Namun, negara ini begitu luas dan menjadi incaran para pemain luar yang ingin masuk. Maka, kunci utama yang harus dilakukan sebelum mewujudkannya yakni memperkuat fondasi bisnis dalam negeri sebagai pemain dominan.

Topik ini dibahas dalam salah satu sesi Indonesia PE-VC Summit 2020 di Jakarta pekan lalu (15/1). Menghadirkan para panelis Hendrik Susanto (Traveloka), Winston Utomo (IDN Media), Ashish Saboo (General Atlantic), Jeffrey Yuwono (Sorabel) dan dimoderatori oleh Melisa Irene (East Ventures).

“Kita harus mendapatkan keuntungan di Indonesia sebelum mencari tempat lain atau mencari mesin (pertumbuhan bisnis) lalu mengakselerasinya? Menurut saya, pertumbuhan dari dalam negeri (lebih kami utamakan),” kata Co-Founder & CEO Sorabel Jeffrey Yuwono.

Menurutnya, Sorabel sudah mendekati posisi profitabilitas dan sedang dalam proses eksperimen ke sejumlah negara sebelum merealisasikan ambisinya tersebut pada tahun depan. Diklaim pertumbuhan bisnis Sorabel sepanjang tahun 2019 tumbuh hingga 3,5 kali lipat dibanding tahun sebelumnya.

“Indonesia adalah pasar besar dengan banyak peluang, pertanyaannya hanyalah apakah kamu bersedia menempatkan ekspansi regional di sisi teratas (dibandingkan Indonesia)?,” tambah dia.

Chief Investment Officer of Traveloka Hendrik Susanto menambahkan, perluasan bisnis ke pasar yang berbeda di Asia Tenggara menjadi target yang menarik buat startup Indonesia. Akan tetapi, yang perlu ditekankan adalah membangun posisi yang kuat di dalam negeri.

Menjadi pemain yang dominan di Indonesia memudahkan Traveloka terutama saat membangun kebiasaan traveling para penggunanya. Seluruh insight tersebut menjadi kekuatan perusahaan untuk berkembang di regional.

“Menurut kami ini, (ekspansi) adalah sifat dari bisnis kami. Traveloka ekspansi pertama kali ke Malaysia, lalu Thailand, Vietnam, kami hanya ekspansi ketika kami menemukan formula bagaimana bisa (sukses),” ucap Hendrik.

Traveloka bisa menjadi salah satu contoh paling relevan buat startup lokal. Mereka tergolong startup lokal paling awal yang ekspansi ke Asia Tenggara pada 2015, sementara di saat yang bersamaan startup luar berbondong-bondong masuk ke Indonesia.

Akan tetapi, bukan menjadi jaminan meski sukses di Indonesia dapat menuai hal yang sama di negara lain. Managing Director General Atlantic Ashish Saboo menyebutkan kunci utama yang harus dipegang adalah menyesuaikan produk sesuai kebutuhan masyarakat di negara tersebut.

“Produk kamu dan layanan kamu perlu disesuaikan dengan berbagai kebutuhan pasar yang berbeda. Anda harus mulai dari awal (untuk itu),” terang Saboo.

General Atlantic adalah investor terbaru untuk Ruangguru. Mereka adalah perusahaan investasi yang tergolong memiliki minat tinggi terhadap startup edtech, portofolio-nya datang dari berbagai negara.

Sementara itu, IDN Media melakukan pendekatan yang berbeda. Mereka memilih untuk hyperlocal daripada memilih ekspansi regional. Founder & CEO IDN Winston Utomo menjelaskan pada tahun lalu perusahaan mengembangkan kantor hyperlokal di 10 lokasi untuk membuat konten yang hyperlocal sesuai kebutuhan pembaca di daerah masing-masing.

Strategi ini dilatarbelakangi oleh pangkal masalah, ternyata konten informasi yang disediakan oleh media mainstream terpusat mengenai Jakarta saja. Padahal, informasi tersebut tidak dibutuhkan oleh pembaca di Medan, misalnya.

“Bagaimana kita bisa menyediakan konten yang serelevan mungkin untuk tiap pembaca kita, caranya dengan hyperlocal dan UGC adalah kekuatan kami. Ini bukan soal personalisasi konten, tapi menyediakan suplai konten yang berkualitas tinggi dan relevan sesuai kebutuhan pembaca,” kata Winston.

Eksperimen Sorabel

Tampilan situs Yabel
Tampilan situs Yabel

Di saat yang sama, Jeffrey juga menjelaskan saat ini perusahaan sedang dalam proses eksperimen di Filipina (dengan merek Yabel), Malaysia dan Vietnam untuk melihat respons pasar sebelum mereka benar-benar terjun langsung. Dalam pipeline, Sorabel juga incar eksperimen di Taiwan, Australia dan Timur Tengah.

“Kami ingin mencari tahu negara mana yang akan kita pilih dan fokuskan, cara apa yang benar, bagaimana kami bisa belajar cukup ketika scale up bisnis, kami cukup yakin itu bisa bekerja.”

Oleh karena itu, pendekatan yang dipakai adalah melakukan rangkaian eksperimen dengan modal minim. Berbeda jauh dengan yang biasa dipakai perusahaan kebanyakan, menaruh banyak investasi di tahap awal.

“Pada dasarnya kami membangun kecerdasan tanpa menghabiskan uang karena saya pikir pembelajaran ini jauh lebih berharga pada tahap (pendanaan) ini daripada menghabiskan semua. [..] Kapital itu berharga untuk masa-masa seperti ini,” pungkasnya.

Sempurnakan Integrasi “Digital Supply Chain”, Bizzy Tutup Sementara Layanan Marketplace

Bizzy menutup sementara layanan marketplace b2b tertanda mulai bulan ini. Katalog produk dihapus dari situs dan layanan pembelian untuk konsumen korporat ditiadakan untuk sementara waktu. Ini adalah bisnis pertama yang dirintis Bizzy sejak perusahaan berdiri sejak 2015, sebelum ekspansi ke layanan lainnya.

Kepada DailySocial, CEO Bizzy Group Andrew Mawikere menjelaskan, penutupan ini hanya bersifat sementara. Pihaknya berencana membuka kembali pada kuartal IV 2020 dengan berbagai penyempurnaan sistem backend.

“Kita nggak tutup. Tapi in terms of priority development bakal hadir lagi di kuartal IV ini. Kita mau fokus ke area yang perkembangannya jauh lebih cepat dan secara potensi jauh lebih besar,” ujarnya, Rabu (15/1).

Dia melanjutkan, keputusan ini diambil karena perusahaan ingin menyempurnakan integrasi sistem back-end marketplace, terutama rantai pasok digital agar semakin seamless saat digunakan konsumen korporat. Tampilan UI/UX juga akan disempurnakan.

Rantai pasok digital ini sebenarnya sudah dibangun oleh Bizzy untuk layanan Tokosmart, hanya saja peruntukkannya buat konsumen toko kelontong. “Kalau dilihat digital supply chain, Tokosmart itu juga sama-sama procurement activity. Bedanya hanya target segmen, ini lebih UMKM sementara Bizzy Marketpalce buat perusahaan menengah ke atas.”

Perubahan bisnis Bizzy Marketplace sebenarnya punya semangat yang kurang lebih sama dengan Tokosmart, yakni memotong rantai sub distributor dan grosir dengan teknologi agar proses pengadaan lebih efisien dan transparan.

Dia mencontohkan, salah satu konsumen korporat Bizzy adalah Alfamart dan Indomaret. Dalam pengadaan barang, dengan penyempurnaan sistem, diharapkan mereka bisa langsung beli pasokan dari perusahaan distributor yang sudah bermitra dengan Bizzy.

“Mereka butuh beli barang-barang dari prinsipal, tapi window pembeliannya nggak pakai UI Tokosmart karena lebih UMKM. Makanya UI/UX Bizzy Commerce akan kita revamp lagi.”

Dalam pengembangan Bizzy Marketplace, ada 14 kategori yang disediakan untuk korporat dari berbagai industri. Tidak hanya menjual perlengkapan kantor saja, ada dekorasi dan elektronik rumah tangga, elektronik industri, furnitur perabotan, MRO, otomotif dan transportasi, peralatan horeca, dan masih banyak lagi.

Rencana penguatan ekosistem Bizzy

Bizzy Group tidak hanya bermain di ranah marketplace b2b, tapi meluas dari hulu ke hilir. Ada Bizzy Consolidation, Bizzy Logistics, dan Bizzy Distribution. Adapun Tokosmart termasuk dalam bagian yang terakhir.

Tokosmart adalah aplikasi pengadaan untuk konsumen toko kelontong agar lebih mudah mengisi stok barang. Semangat yang ditawarkan lewat Tokosmart adalah kemudahan pemilik toko membeli barang yang dijual langsung oleh perusahaan distributor yang ditunjuk resmi oleh brand prinsipal.

“Yang membuat kami berbeda adalah kami bekerja sama dengan prinsipal agar pasokan barang di pasar dari sisi harga tidak rusak. Brand sangat menjaga harga karena berkaitan erat dengan brand equity.”

Layanan ini sudah diresmikan sejak Mei 2019, terhitung hingga akhir tahun lalu telah meraup 46 ribu pemilik toko kelontong yang tersebar di 29 kota di seluruh Indonesia. Andrew menargetkan dapat meningkatkan jumlah konsumen hingga 100 ribu toko sampai akhir tahun ini.

market-stall-4659219_1280

Kategori produk juga diperluas tidak hanya untuk brand prinsipal dari FMCG saja, tapi juga obat over the counter (bebas dijual tanpa resep dokter), personal care, alat tulis, dan sebagainya.

“Karena platform digital supply chain yang kita bangun ini, solusinya tidak hanya applicable buat FMCG saja, tapi buat brand prinsipal lainnya dari kategori yang lain.”

Guna ekosistem lainnya, Bizzy segera merilis Truckway dan Bizzy Field Force (BFF) untuk melengkapi Bizzy Logistics. Semua layanan ini berbasis aplikasi digital namun tujuan penggunannya punya target masing-masing.

Misalnya buat Truckway digunakan oleh pelaku logistik atau distributor yang punya armada bus untuk permudah perencanaan rute pengantaran barang ke toko kelontong agar lebih efisien.

Sedangkan BFF untuk bantu tenaga pemasar dari perusahaan distribusi saat site visit ke toko kelontong mana saja yang harus didatangi dan barang apa yang bisa mereka jual. Kedua aplikasi ini sudah bisa diunduh di Google Play dan App Store, namun belum diresmikan karena masih dalam tahap iterasi dan pengembangan.

“Karena ujung-ujungnya kita mau bantu prinsipal memasok barang secara efisien ke konsumen minus one. Nah itu butuh perusahaan distribusi yang kebanyakan masih tradisional dalam menjalankan bisnisnya, jadi nggak efisien.”

Dari keseluruhan rencana bisnis Bizzy yang akan dilakukan tahun ini, juga akan menyentuh unsur finansial untuk bantu toko kelontong permudah dapat modal usaha. Andrew mengatakan pada kuartal III ini, perusahaan akan bekerja sama dengan perbankan untuk merealisasikannya.

“Kita ingin gaet bank yang benar-benar fokus ke pembiayaan UMKM karena punya bunga yang kompetitif dan bisa dorong pemilik toko berkembang. Nanti ada algoritma transaksi mereka di Bizzy untuk menentukan mana yang layak secara profil risiko untuk diberikan kredit usaha.”

Saat ini transaksi di Tokosmart menggunakan opsi bayar tunai, bank transfer, kredit yang dapat dibayar dua minggu kemudian, dan LinkAja. “Bulan depan (Februari) mau tambah opsi dengan pemain digital wallet yang lain seperti Ovo dan GoPay,” tutup Andrew.

aCommerce Tahun Ini Fokus Kantongi Profit dan Lancarkan “Strategi 2.0”

Platform e-commerce enabler asal Thailand aCommerce mengumumkan telah mendapatkan pendanaan baru senilai $15 juta (sekitar 205 miliar Rupiah menurut kurs hari ini) dari Indies Capital Partners. Sebelumnya aCommerce telah mengumpulkan total $103,8 juta dalam pendanaan selama 7 putaran. Pendanaan terakhir mereka diperoleh pada 22 Juli 2019 dari putaran Seri C.

Sepanjang tahun 2019, perusahaan mengklaim telah mencapai profit di pasar Thailand, yang dianggap sebagai pasarnya yang paling matang. Selain itu mereka juga menyebutkan peningkatan bisnis utama hingga 60%.

Kepada DailySocial, Group CEO dan Co-Founder aCommerce Paul Srivorakul mengungkapkan, dana segar yang diperoleh merupakan prestasi tersendiri bagi perusahaan dan menandakan bahwa kepercayaan investor berlanjut untuk mendukung visi dan misi perusahaan.

“Ini benar-benar tonggak sejarah bagi aCommerce, dan kami berharap dapat bekerja sama dengan tim Indies dan mendapatkan manfaat dari nilai tambah dan keahlian mereka, terutama di pasar seperti Indonesia,” kata Paul.

Perusahaan juga ingin mengembangkan bisnis dan fokus kepada negara di Asia Tenggara, di luar pasar Indonesia. Indonesia diklaim menjadi negara di Asia Tenggara yang memiliki potensi besar, naum masih banyak tantangan yang dihadapi.

Menurut Paul, dengan strategi yang tepat, pasar Indonesia yang terbilang cukup fragmented bisa menjadi peluang tersendiri bagi platform seperti aCommerce.

“Indonesia adalah pasar besar dan menarik dengan potensi besar, tetapi masih banyak subsidi yang terjadi, terutama di [sektor] e-commerce. Ini berarti perusahaan harus berinvestasi lebih banyak dan membutuhkan waktu yang lebih lama bagi perusahaan untuk mencapai break even atau sulit mendapat keuntungan,” kata Paul.

“Strategi 2.0” aCommerce

Tahun 2020 juga menjadi awal dilancarkannya “Strategi 2.0” aCommerce. Rencana strategis baru ini diharapkan bisa memberikan nilai lebih besar kepada klien, mempercepat jalur menuju profitabilitas pada tahun 2020, dan memposisikan perusahaan untuk pertumbuhan berkelanjutan jangka panjang sebagai perusahaan e-commerce enabler terkemuka di Asia Tenggara.

“Kami menjalankan strategi aCommerce 2.0 untuk fokus pada peluang margin yang lebih tinggi seperti merek Perusahaan, solusi End-to-End, dan channel Direct-to-Consumer (DTC). Tantangan lain yang kami temui adalah small basket size, expensive delivery network hingga merekrut dan mempertahankan bakat muda dan undang-undang perburuhan,” kata Paul.

Untuk bisa memberikan layanan lebih baik, sepanjang tahun 2019 perusahaan tidak secara agresif melakukan akuisisi klien dan fokus ke existing client. Mayoritas pertumbuhan aCommerce di Indonesia berasal dari merek global, seperti Samsung, Adidas, dan Loreal untuk menawarkan layanan langsung ke konsumen melalui layanan online, media sosial, dan omnichannel.

Tahun ini perusahaan berencana melanjutkan strategi penjualan yang sama dan fokus untuk mendaftarkan merek perusahaan yang serius dan memiliki komitmen untuk berinvestasi dan mengembangkan bisnis Direct-to-Consumer mereka.

“Dengan fondasi yang kami tetapkan untuk menjadi perusahaan jangka panjang yang berkelanjutan tahun lalu, melalui ‘aCommerce 2.0’, tujuan kami tahun ini adalah untuk terus memberikan nilai layanan yang lebih baik kepada klien perusahaan kami dan mencapai profitabilitas grup,” tutup Paul.

Rachmat Kaimuddin and Bukalapak’s Ambition to be a Sustainable Company

Succession becomes a rare thing among startup stories, especially Indonesian unicorns. However, Bukalapak aware that it’s necessary to have new leader in order to level-up.

In the process of becoming a sustainable company, Rachmat Kaimuddin is appointed by the Founders to head the marketplace at the time it’s turning 10 years.

He has a professional background with expertise as a leader across industries. Recently, he was the Director of Financial and Planning in Bukopin.

Kaimuddin debuted as a Senior Associate in one of the management consulting firms, Boston Consulting Group. M Fajrin Rasyid had his time at the place before starting Bukalapak with Achmad Zaky and Nugroho Herucahyono.

During a short interview with DailySocial, Rachmat said that leading a tech business hasn’t been his career objective. He aims for something that allows him a chance to create a direct social impact.

” There is an opportunity that happens to be in line with my goals, I don’t think it’ll come twice. This is not a matter of Bukalapak [because of a technology company] is cool or a unicorn, but as a company that can create a lot of impacts and I see that myself can contribute and the opportunity [to do that] is there,” he said, on Fri (1/10).

The bigger picture is, Rachmat was appointed to run three things. It’s to make sure Bukalapak becomes a sustainable organization, made of strong resources, and benefit all the stakeholders, also to expand SMEs in domestic and global coverage, online and offline, through technology and innovation.

Also, creating a place for the nation’s talents to learn, work, and benefit the country. Thus, Bukalapak can continue its journey as a company that can last more than a century, the chance is only 0.0045% in global.

“I came to a well-made organization, more mature for governance, risk compliance, company infrastructure that should’ve built as well. These implicit things are what they [founders and shareholders] expect from me.

Under Kaimuddin’s leadership, he ensures to preserve the company’s vision and mission. Also, Bukalapak’s founders still actively maintain their responsibility.

Along with Fajrin as Bukalapak’s President, they’ve divided some tasks. Rachmat will be in charge of the company’s overall. Fajrin, on the other hand, has responsibility for external relations, governance, compliance, and legal stuff.

Transferring experience into Bukalapak

A symbolic act of Achmad Zaky handover to Rachmat Kaimuddin
A symbolic act of Achmad Zaky handover to Rachmat Kaimuddin / Bukalapak

Bukalapak is no longer a startup. Entering its 10th anniversary, the company has reached a milestone with over 70 million users and 420 million in-app visits per month. There are five million merchants and three million Mitra Bukalapak have joined the platform.

In terms of financial records, it is well-maintained with valuation reaching up to $2.5 billion. Per 12 December 2019, the company noted an increasing year-on-year transaction of 30%, it also marks the highest transaction of all time.

The overall performance should’ve appreciated, it shows more people are making a living off of Bukalapak. By all means, to survive the next stage, Bukalapak must build up the infrastructure and aim for a sustainable business, without denying the core of startups as the company’s DNA.

Besides, unicorn doesn’t happen to all startups, it’s indeed a national asset. There’s a moral obligation to be succeeded and make your country proud.

Kaimuddin himself has a background in engineering and finance. Lots of things have been taught and able to escort him as the company leader. Engineers taught logic, to simplify the complexity.

In fact, he learned to analyze the problem first before judging something’s difficult to avoid early insecurity. Meanwhile, the science of finance is not just a matter of calculating numbers, the common thread is to make effective business decisions for companies.

“As basic insights, I can [lead] whatever the business is, I have moved between industries so far with kinds of job roles, thank God I can survive and always be able to support.”

The basic knowledge also helps him, particularly when running the banking business. It helps his comprehension of risk and compliance well enough to transfer the knowledge into Bukalapak.

“The risk was meant for brakes, a sign that when you decided to run fast, make sure the brakes didn’t fail. This company wants to speed up, with experience in governance risk and compliance, I can help it.”

It also comes with his experience while in charge of the real sector, service & manufacture, he has deep thought on the supply chain and production side.

“I will transfer these experiences to Bukalapak. Basic logic and leadership too, through this white and thinning hair I wish I can be of more help [in Bukalapak].”

The leadership style he offers in the previous company and in Bukalapak has its similarities. He stands for an open egalitarian concept, not to place himself as a high-positioned leader but as a peer instead, and through open communication.

“Fortunately, the communication here is very fluid, I have applied this to the team in my previous company, freedom of expression, assuming it has good intentions for the organization, I just continue what has been formed.”

The next strategy

Bukalapak's C-Suite level in the 10th year anniversary / Bukalapak
Bukalapak’s C-Suite level in the 10th year anniversary / Bukalapak

He believes that Bukalapak, under his leadership, is to become a sustainable company and be able to make a significant profit and business growth until we no longer need fundraising. It’s contrary to what is happening right now, with the concept of sustainability.

In his opinion, it is likely to happen whether we can create the right business model. Growth of revenue and income can be higher than the growth in costs and expenses. When the curve passed it, Bukalapak’s dream to become a sustainable company will do come true.

“We’ll find which one can produce and to-be-pushed. Many companies can grow the business and become profitable, what I see is not something that is impossible [for technology companies].”

However, becoming a sustainable company doesn’t mean we have to perform layoff. He ensured what happen last year won’t be repeated. Previously, there was an internal arrangement resulting in the must-taken decision. Currently, Bukalapak employs around 2,100 people.

“I think we’re done. 2019 has its ups and downs, this year we are being more optimistic, it’s just the beginning of this year and it’s still a long way.”

He continued, the e-commerce competitive map doesn’t scare him. Each has its own market share, including Bukalapak. In terms of statistics, only five percent of micro and small businesses have digital access.

As the number increases, there will be new values, markets, and products to sell. Everything we have in mind is not to happen all at once. “We pray. What we’ve seen and right in mind, we’re on it, through the right calculation and mature planning.”

“I always say that we have to be the best version of ourselves. We can’t be other people. Bukalapak was born 10 years ago for a purpose, we must continue to grow in a better direction every day in order to serve our users,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian