Riset Populix: Layanan Telekonsultasi Diminati Masyarakat Indonesia untuk Penanganan Kesehatan Mental

Platform telekonsultasi merupakan salah satu channel yang banyak digunakan sejumlah orang di Indonesia dalam mengakses layanan kesehatan mental. Hal ini dipaparkan dalam laporan “Indonesia’s Mental Health State and Access to Medical Assistance” yang diterbitkan oleh startup platform riset pasar Populix.

Dalam rangka Hari Kesehatan Mental Sedunia 2022, Populix mengadakan survei dengan jumlah responden 1.005; terdiri dari laki-laki dan perempuan di segmen usia mulai dari 18 hingga 54 tahun di Indonesia.

Dalam temuannya, layanan kesehatan mental diakses melalui sejumlah cara antara lain konsultasi dengan pskiater/psikolog di fasilitas kesehatan terdekat (61%), memakai aplikasi telekonsultasi (54%), bergabung dengan grup komunitas yang fokus pada kesehatan mental (38%), dan berbicara dengan pemuka agama (36%).

Sebanyak 87% responden mengaku memakai aplikasi untuk telekonsultasi layanan kesehatan mental karena mudah diakses, sebanyak 76% mengaku dapat dipakai di mana dan kapan saja, 63% memilih karena biaya terjangkau, alasan keamanan informasi terjamin (61%), dan mencari solusi tepat (40%).

Adapun, sebanyak 46% responden tersebut menghabiskan biaya kurang dari Rp100 ribu untuk menggunakan telekonsultasi layanan kesehatan mental, diikuti biaya berkisar Rp100 ribu-Rp250 ribu (42%), Rp250 ribu-Rp400 ribu (97%), dan di atas Rp400 ribu (5%).

Dua faktor utama pemicu gangguan kesehatan mental ini di antaranya adalah masalah finansial (59%) dan merasa kesepian (46%). Selain itu, alasan lain yang memicu adalah faktor tekanan pekerjaan (37%) dan trauma masa lalu (28%).

Sebelumnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan pandemi Covid-19 telah memperburuk kondisi kesehatan mental dunia serta menciptakan krisis global yang berdampak pada kesehata mental jangka pendek dan jangka panjang. Gangguan kesehatan mental merupakan salah satu isu kesehatan yang mendapat banyak perhatian besar di dunia.

Mengacu laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, sebanyak 19 juta penduduk di Indonesia di segmen usia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, sedangkan lebih dari 12 jtua penduduk di usia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.

“Berbagai masalah seperti kondisi perekonomian yang tidak menentu, rasa kesepian setelah sekian lama menjalan pembatasan sosial, tuntuan pekerjaan, hingga masalah hubungan yang timbul di masa-masa ini, turut memengaruhi kesehatan mental banyak orang,” ungkap Co-founder dan COO Populix Eileen Kamtawijoyo dalam keterangan resminya.

Startup fokus di mental wellness

Perkembangan informasi tak dimungkiri ikut memicu peningkatan awareness terhadap pentingnya kesehatan mental di Indonesia. Masyarakat menjadi lebih mudah untuk mengakses layanan kesehatan mental secara virtual dengan semakin berkembangnya platform penyedia layanan serupa.

Sejumlah Venture Capital (VC) terkemuka juga mulai melirik startup yang  fokus terhadap mental wellbeing, seperti Riliv, Bicarakan.id, Ami, hingga Maxi . Menariknya, layanan yang ditawarkan tak hanya untuk individual saja, tetapi ada yang fokus pada segmen pasar pekerja profesional.

Bagi Co-founder Ami Justin Kim, pertumbuhan ekonomi yang cepat di Indonesia berpotensi memicu peningkatan stres di sebagian tempat kerja. Adapun, pekerja di Asia adalah pekerja paling stres di dunia dengan akses buruk terhadap sumber daya manajemen stres.

Kini muncul generasi baru karyawan yang lebih berorientasi pada nilai dibandingkan generasi pendahulu mereka. Generasi baru ini mencari lingkungan kehidupan kerja yang benar-benar holistik, otentik, dan seimbang.

Platform Riset Pasar Populix Dapatkan Pendanaan Awal 14 Miliar Rupiah

Startup pengembang platform survei konsumen Populix baru membukukan pendanaan awal senilai $1 juta atau setara 14 miliar Rupiah. Putaran investasi dipimpin oleh Intudo Ventures dengan keterlibatan Gobi Partner dan investor sebelumnya di pre-seed, yakni Pegasus Tech Ventures.

Kepada DailySocial, Co-Founder & COO Populix Eileen Kamtawijoyo menyampaikan, dana yang didapat akan difokuskan untuk perekrutan pegawai, pengembangan fitur, dan optimasi pemasaran.

Populix debut pada awal tahun 2018, didesain sebagai consumer insights platform yang membangun basis data responden dari kalangan masyarakat umum di seluruh Indonesia. Tujuannya untuk membantu bisnis agar mudah mendapatkan  data melalui survei yang  akurat, terpercaya, dan real-time.

Eileen juga menyampaikan, sepanjang tahun pertama beroperasi, Populix telah menyelesaikan sekitar 70 riset pasar, didukung 27 bisnis dari berbagai sektor dan ukuran. Tidak hanya di Jabodetabek, saat ini sebaran responden mereka juga sudah meliputi berbagai kota besar di Indonesia, termasuk Medan, Makassar, Yogyakarta, Semarang, hingga Sorong.

Tahun 2020, akan banyak hal yang direncanakan perusahaan, termasuk merilis aplikasi mobile untuk memudahkan partisipasi responden mereka.

“Tahun ini kami merekrut CTO baru, sehingga pengembangan fitur-fitur Populix akan semakin cepat. Yang terbaru, kami telah merilis fitur researcher dasboard, memudahkan brand (sebagai pembuat survei) memantau hasil secara real-time,” ujar Eileen.

Dari sisi pengguna, Populix menawarkan kepada siapa saja untuk menjadi responden survei. Setiap pertanyaan yang dijawab akan menghasilkan poin yang dapat ditukarkan dengan uang tunai. Model bisnis serupa juga dimiliki startup lain, seperti Jakpat, Nusaresearch, Toluna, Yougov, Kantar, dan iPanel.

Solusi Populix Hadirkan Kemudahan untuk Kelola Riset dan Survei

Di saat teknologi mulai merambah ke semua aspek kehidupan manusia, solusi-solusi unik berbasis teknologi semakin banyak bermunculan. Termasuk salah satunya Populix, startup yang memudahkan penggunanya untuk mendapatkan responden survei dan riset.

Populix juga menawarkan jasa untuk mendesain kuesioner riset dan menganalisis data dari hasil riset. Pihak Populix menceritakan bahwa layanan mereka merupakan end-to-end service bagi mereka yang ingin belanja riset dan menggunakan teknologi untuk membuat semua proses lebih sederhana.

Di sisi lain, di sisi responden Populix membuka kesempatan bagi mereka yang ingin bergabung di sistem Populix. Mereka diwajibkan menjawab beberapa pertanyaan dasar seperti umur, domisili, industri, pekerjaan dan lain-lain. Setelah itu pihak Populix akan melakukan verifikasi data dengan berbagai cara, salah satunya dengan mencocokan data melalui media sosial.

Ketika data sudah selesai dihimpun dan diverifikasi. Tahap selanjutnya jika ada periset yang ingin mendapatkan data riset atau survei pihak Populix akan memilah data sesuai kriteria yang diinginkan dan menghubungi responden yang masuk dalam kriteria via email. Mereka yang mengikuti survei selanjutnya akan diganjar dengan reward yang sesuai.

“Kalau dari segi periset, periset dapat langsung berdiskusi dengan tim Business Development Populix.  Setelah menerima research brief-nya, kami akan langsung memberikan proposal beserta quotation. Setelah disetujui, klien tinggal menunggu hingga hasil riset tersebut selesai,” terang Founder Populix Eileen Kamtawijoyo.

 Masalah utama yang coba diselesaikan

Populix memang belum lama diluncurkan. Dari keterangan Eileen mereka baru meluncurkan Populix 5 bulan silam. Ada permasalahan mendasar yang coba dijawab dengan solusi yang mereka sediakan yakni soal kualitas, biaya, dan waktu. Populix tidak mengubah konsep keseluruhan riset, tapi lebih ke mempersingkat proses riset dengan menggunakan teknologi. Memangkas waktu, biaya namun dengan kualitas yang terjaga.

“Populix tentunya bisa diterima di masyarakat, walaupun memang industri riset ini pemainnya sudah senior-senior dan klien yang sudah terbiasa dengan ‘the status quo’ jadi memerlukan waktu untuk mengedukasi layanan ataupun produk seperti Populix. Saat ini, kami menjalankan proyek-proyek yang nantinya dapat digunakan sebagai ‘case study‘ yang dibawa untuk menarik klien lainnya,” ungkap Eileen.

Populix memang masih harus bergelut dengan edukasi masyarakat dan terus mensosialisasikan layanan mereka ke khalayak untuk menambah database responden mereka. Namun mereka tetap optimis. Tahun ini mereka menargetkan untuk terus bisa mengembangkan portofolio klien mereka untuk bisa lebih dipercaya oleh pengguna riset di Indonesia.