Bukalapak Is Said to Secure Funding Over 3 Trillion Rupiah

Bukalapak is said to raise $234 million (more than IDR 3.4 trillion) in a round led by Microsoft, Singapore’s GIC sovereign wealth fund and EMTEK. Quoting from a Reuters, other investors involved this round are SC Ventures, Standard Chartered’s arm investment, Naver Corp.

One of Bukalapak’s representatives said to DailySocial that this round was finalized last year, led by Microsoft and other ranks of investors. “We are also very grateful for the support given,” he said.

From the statement, the conclusion is this $234 million is the total funds raised in the series G round that took place in the past year. There are two stages in this round, from GIC, Microsoft, and EMTEK which was announced in November 2020 worth $100 million.

Furthermore, the second phase occurs in January 2021, led by Standard Chartered, followed by Naver and Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund. Standard Chartered is reported to invest $200 million in funds.

EMTEK, as one of Bukalapak’s early investors, announced $150 million earlier this month, part of which came from Naver Korea.

In the disclosure, EMTEK had two top up investments for Bukalapak. However, EMTEK’s shares have been diluted to 34.49% at present compared to the previous year due to the Series G funding round.

Previously, the news breaking that Bukalapak is currently preparing to go public on two exchanges. Bukalapak reportedly appointed Mandiri Sekuritas as its underwriter to go public in domestic, before merging with the SPAC company in the United States.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Emtek is No Longer DANA’s Largest Shareholder

In the public disclosure of fourth quarter of 2020, Emtek Group (Emtek) revealed that it is no longer the controlling shareholder of PT Elang Andalan Nusantara (EAN). Currently, Emtek only owns 49% of EAN’s shares, down from 55% in the previous quarter.

PT Kreatif Media Karya (KMK), a subsidiary of Emtek, has sold 6% of EAN’s shares to an unnamed third party, on December 30, 2020 for IDR76 billion. 

Therefore, the EAN information and its subsidiaries, including DANA and Doku, will no longer be included in Emtek’s financial reports. Previously, DANA-related information is accessible for public, including DANA user funds and total assets.

EAN is a joint venture company owned by Emtek and Alibaba. Alibaba previously owned 45% of the company shares. During 2019-2020, Alibaba (via API Hong Kong) issued debt securities for EAN worth $110 million (approximately 1.6 trillion) which had been extended from 12 months to 24 months.

KMK, in February, has issued a convertible loan for EAN worth IDR154 billion.

This April, Emtek announced a new fund worth 9 trillion Rupiah, with $150 million (2.18 trillion Rupiah) of which came from Naver Korea.

Recent updates

The loss of Emtek’s main shares in the EAN also impacts in Doku (PT Nusa Satu Inti Artha) to no longer have updates. Emtek previously owned 50% of Doku’s shares through PT Pariwara Digital Media (PDM). PDM is now consolidated under EAN.

Another update is the addition of Bukalapak shares through two stages. However, the percentage of Bukalapak shares owned by Emtek is currently (34.39%) down (diluted) compared to the previous year due to the Series G funding round. Bukalapak has at least two funding announcement, led respectively by Microsoft and Standard Chartered Bank.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Bukalapak Dikabarkan Kantongi Pendanaan Lebih dari 3 Triliun Rupiah

Bukalapak dikabarkan memperoleh pendanaan sebesar $234 juta (lebih dari 3,4 triliun Rupiah) dalam putaran yang dipimpin oleh Microsoft, GIC sovereign wealth fund Singapura, dan EMTEK. Mengutip dari laporan Reuters, investor lainnya yang masuk dalam putaran ini adalah SC Ventures, arm investment milik Standard Chartered, Naver Corp.

Perwakilan Bukalapak saat dihubungi DailySocial, menyampaikan pendanaan ini sudah dirampungkan pada tahun lalu, dipimpin oleh Microsoft dan jajaran investor lainnya. “Kami pun sangat berterima kasih kepada dukungan yang diberikan,” katanya.

Dari pernyataan tersebut, disimpulkan bahwa putaran sebesar $234 juta ini adalah total dana yang diperoleh dalam putaran seri G yang berlangsung pada tahun lalu. Ada dua tahapan dalam putaran ini, pertama dari GIC, Microsoft, dan EMTEK yang diumumkan pada November 2020 senilai $100 juta.

Kemudian, tahap kedua terjadi pada Januari 2021, dipimpin oleh Standard Chartered, diikuti Naver dan Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund. Dikabarkan Standard Chartered menyuntikkan dana senilai $200 juta.

EMTEK, yang merupakan salah satu investor Bukalapak sejak awal, mengumumkan perolehan dana sebesar $150 juta pada awal bulan ini, yang sebagian di antaranya datang dari Naver Korea.

Dalam keterbukaan informasi, EMTEK sempat melakukan top up investasi sebanyak dua kali untuk Bukalapak. Akan tetapi, saham EMTEK terdilusi menjadi 34,49% pada saat ini dibandingkan tahun sebelumnya akibat putaran pendanaan Seri G tersebut.

Sebelumnya juga tersiar kabar, Bukalapak yang saat ini tengah bersiap untuk melantai di dua bursa. Bukalapak dikabarkan menunjuk Mandiri Sekuritas sebagai underwriter-nya untuk melantai di dalam negeri, sebelum melakukan merger dengan perusahaan SPAC di Amerika Serikat.

Application Information Will Show Up Here

Emtek Tidak Lagi Jadi Pengendali Induk DANA

Dalam keterbukaannya ke publik untuk periode kuartal keempat 2020, Emtek Group (Emtek) mengungkapkan sudah tidak lagi menjadi pemegang saham pengendali untuk PT Elang Andalan Nusantara (EAN). Saat ini Emtek hanya memiliki 49% saham EAN, turun dibandingkan 55% di kuartal sebelumnya.

PT Kreatif Media Karya (KMK), anak perusahaan Emtek, telah menjual 6% saham EAN ke pihak ketiga yang tidak disebutkan namanya, pada tanggal 30 Desember 2020 senilai Rp 76 miliar.

Dengan langkah ini, informasi soal EAN dan anak perusahaannya, termasuk DANA dan Doku, tidak lagi dicantumkan di laporan keuangan Emtek. Sebelumnya publik bisa melihat informasi terkait DANA, termasuk dana pengguna DANA dan jumlah asetnya.

EAN adalah perusahaan patungan yang sahamnya dimiliki Emtek dan Alibaba. Alibaba sebelumnya memiliki 45% saham perusahaan. Sepanjang tahun 2019-2020, Alibaba (melalui API Hong Kong) telah menerbitkan surat utang untuk EAN senilai $110 juta (sekitar 1,6 triliun) yang telah diperpanjang masa berlakunya dari 12 bulan ke 24 bulan.

KMK, di bulan Februari, juga telah menerbitkan pinjaman yang dapat dikonversi untuk EAN senilai Rp154 miliar.

Emtek sendiri di bulan April ini mengumumkan perolehan dana baru senilai 9 triliun Rupiah, dengan $150 juta (2,18 triliun Rupiah) di antaranya berasal dari Naver Korea.

Pembaruan lain

Termasuk dampak dari hilangnya sifat pengendali Emtek di EAN adalah tidak lagi diinfokannya pembaruan tentang Doku (PT Nusa Satu Inti Artha). Emtek sebelumnya memiliki 50% saham Doku melalui PT Pariwara Digital Media (PDM). PDM kini dikonsolidasikan di bawah EAN.

Pembaruan lain adalah penambahan saham Bukalapak di dua tahapan. Meskipun demikian, persentase jumlah saham Bukalapak yang dimiliki Emtek saat ini (34,39%) turun (terdilusi) dibanding tahun sebelumnya akibat putaran pendanaan Seri G. Bukalapak setidaknya dua kali mengumumkan perolehan pendanaan sepanjang 2020-2021 yang masing-masing dipimpin Microsoft dan Standard Chartered Bank.

Application Information Will Show Up Here

Naver Pours 2.18 Trillion Rupiah to EMTEK, Opportunity for Digital Business Synery

PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. (EMTEK) announced the Capital Increase without Pre-emptive Rights (PMTHMETD) by issuing 4.75 billion new shares with a nominal value of Rp20, – per share. At the Exercise price of Rp1,954 per share, the company’s ownership sheet was purchased by Naver Crop., H Hodings Inc., and several institutions from Indonesia, including Allianz Life, Ashmore Asset Management, Manulife Aset Manajemen, Batavia Prosperindo, Elbara Perkasa, and Syailendra Capital.

The total value of this corporate action is around IDR9.29 trillion. In the release, the fundsis said to be used for investment and working capital in the company and its subsidiaries.

Specifically, Naver, as a technology giant from South Korea, has invested in the media conglomerate worth $150 million or equivalent to 2.18 trillion Rupiah. The company announced to the local media. It is interesting, because the two companies shared similar business, technology and digital media.

Naver said that this equity funding was aimed to advance the company’s operations in Southeast Asia. With the support from EMTEK, they expect to find new growth opportunities in the region, including Indonesia.

Currently, both Naver and EMTEK hold shares in Indonesia’s Bukalapak. Naver enter the list of the e-commerce unicorn investors through the Asia Growth Fund in early 2019, a managed fund initiated with Mirae Asset.

Through its investment arm, LINE Ventures, they also invest heavily in digital startups in Southeast Asia. Some of its portfolios operating in Indonesia include Grab, Carousell, iPrice, Warung Pintar, IDN Media, Zuzu, HappyFresh, and Amartha.

In his statement, Naver’s Head of Corporate Development & Investment, Lee Jung-an said that this partnership would create synergies in various areas. With a big vision to bring the business model of Asian companies to the global stage

In terms of market capitalization, EMTEK is one of the 10 largest companies in Indonesia. Its main business unit is media across multiple channels, including television, OTT platforms, and various online news outlets. Apart from Bukalapak, they also have a sizable stake in the DANA payment platform, the PropertyGuru proptech platform, and the OTA Reservasi.com. EMTEK also supports East Ventures’ managed funds, to focus on investing in Indonesia’s early stage startups.

Measuring synergy

In its home country, Naver becomes the market leader for search engine platforms. Meanwhile, there are three obvious businesses in Indonesia, LINE Messenger, Webtoon, and V Live.

LINE has the strongest user base among other units. However, its prestige has started to fade lately along with the dominance of other service users such as WhatsApp, Telegram, or Facebook Messenger. In terms of messaging application, EMTEK had its own bad experience when it started the BBM platform – which was finally shutdown in May 2019.

On the online media platform, both have quite good experience – especially when EMTEK leading the local VOD market through Vidio, at least, the application has often reached the top ranks in terms of traction in the last few months. Naver has capabilities through the Webtoon and V Live platforms which could be complementary to the existing integrated services. This is related to the advertising business which is one of the bricck and mortar of the two companies.

In addition, since 2019, Naver started to work seriously on fintech by establishing NAVER Financial. This business is in line with DANA, which continues to be promoted as an alternative to digital payments and a “super” app for various financial needs.

Meanwhile, for digital commerce, through Bukalapak, both have to think about the right steps to keep the platform at the top of the competition. Shopee with the support of Sea Group, and the Tokopedia-Gojek merger, deserves attention. Especially if you have the ambition [in the future] to bring the regional expansion business.

From the existing business model, there are some parts available for synergy between EMTEK and Naver. The birth of new services or applications from the synergy of the two companies will improve the quality of the digital media ecosystem in Indonesia amidst the ever-heating business competition.

To date, MNC Group has become EMTEK’s competitor. Apart from operating the media business, the corporation led by Hary Tanoesoedibjo has various other similar lines, including fintech and e-commerce businesses. In fact, their OTT platform is currently on the move to the US stock exchange through the SPAC channel which has recently been hotly discussed.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Naver Kucurkan Investasi 2,18 Triliun Rupiah ke EMTEK, Buka Peluang Sinergi Bisnis Digital

PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. (EMTEK) mengumumkan telah melaksanakan Penambahan Modal Tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (PMTHMETD) dengan menerbitkan 4,75 miliar lembar saham baru bernominal Rp20,- per saham. Pada harga pelaksanaan Rp1.954,- per saham, lembar kepemilikan perusahaan tersebut dibeli oleh Naver Crop., H Hodings Inc., dan beberapa institusi dari Indonesia seperti Allianz Life, Ashmore Asset Management, Manulife Aset Manajemen, Batavia Prosperindo, Elbara Perkasa, dan Syailendra Capital.

Nilai yang berhasil dibukukan dari aksi korporasi ini sekitar Rp9,29 triliun. Dalam rilisnya diungkapkan, dana yang diterima perseroan akan digunakan untuk investasi dan modal kerja di perusahaan dan anak usahanya.

Secara lebih spesifik Naver selaku raksasa teknologi asal Korea Selatan memberikan investasi ke konglomerasi media tersebut senilai $150 juta atau setara 2,18 triliun Rupiah. Hal ini yang disampaikan perusahaan kepada media setempat. Menjadi menarik, karena kedua perusahaan memiliki irisan bisnis yang sama, yakni teknologi dan media digital.

Pihak Naver mengatakan, bagi mereka pendanaan ekuitas ini ditujukan untuk memperkuat operasional perusahaan di Asia Tenggara. Bersama-sama dengan kekuatan yang dimiliki EMTEK, harapannya dapat menemukan peluang pertumbuhan baru di wilayah regional, termasuk Indonesia.

Saat ini, Naver dan EMTEK sama-sama memegang saham Bukalapak di Indonesia. Naver mulai masuk ke jajaran investor unicorn e-commerce tersebut lewat Asia Growth Fund pada awal 2019, dana kelolaan yang diprakarsainya bersama Mirae Asset.

Lewat unit ventura anak perusahaannya LINE Ventures, mereka juga banyak investasi ke startup digital di Asia Tenggara. Beberapa portofolionya yang beroperasi di Indonesia termasuk Grab, Carousell, iPrice, Warung Pintar, IDN Media, Zuzu, HappyFresh, dan Amartha.

Dalam keterangannya, Head of Corporate Development & Investment Naver Lee Jung-an mengatakan bahwa kemitraan ini akan menciptakan sinergi di berbagai area. Dengan visi besarnya membawa model bisnis perusahaan Asia ke panggung global.

Ditinjau dari kapitalisasi pasar yang dimiliki, EMTEK menjadi salah satu dari 10 perusahaan paling besar di Indonesia. Unit bisnis utamanya adalah media di banyak kanal, termasuk televisi, platform OTT, dan berbagai pemberitaan online. Selain Bukalapak, mereka juga memiliki kepemilikan yang cukup besar di platform pembayaran DANA, platform proptech PropertyGuru, dan layanan OTA Reservasi.com. EMTEK turut mendukung dana kelolaan East Ventures, untuk difokuskan berinvestasi pada startup tahap awal di Indonesia.

Menakar sinergi yang akan dibentuk

Di negara asalnya Naver menjadi pemimpin pasar untuk platform mesin pencari. Sementara beberapa bisnisny di Indonesia sejauh ini yang cukup kentara ada tiga, yakni LINE Messenger, Webtoon, dan V Live.

LINE memiliki basis pengguna yang paling kuat di antara unit lainnya. Meski demikian, bisa dibilang pamornya mulai meredup pada akhir-akhir ini seiring dengan dominasi pengguna layanan lain seperti WhatsApp, Telegram, atau Facebook Messenger. Di lini aplikasi pesan, EMTEK sendiri juga memiliki pengalaman yang kurang bagus ketika menakhodai platform BBM – yang akhirnya ditutup per Mei 2019.

Di platform online media, keduanya memiliki pengalaman yang cukup baik – terlebih saat ini EMTEK tengah memimpin pasar VOD lokal melalui Vidio, setidaknya ditinjau dari traksi aplikasi mereka sering menempati peringkat teratas dalam beberapa bulan terakhir. Naver memiliki kapabilitas melalui platform Webtoon dan V Live yang bisa saja menjadi komplementer untuk layanan yang ada jika diintegrasikan. Ini juga berkaitan dengan bisnis advertising yang menjadi salah satu tulang-punggung kedua perusahaan.

Selain itu, per tahun 2019 kemarin Naver juga mulai serius menggarap fintech dengan mendirikan NAVER Financial. Bisnis ini sejalan dengan DANA yang juga terus digenjot penetrasinya sebagai alternatif pembayaran digital dan aplikasi “super” untuk berbagai kebutuhan finansial.

Sementara untuk perdagangan digital, melalui Bukalapak, keduanya memang harus memikirkan langkah jitu untuk tetap membawa platform di puncak klasemen persaingan. Shopee dengan kekuatan yang dimiliki Sea Group, plus rencana merger Tokopedia-Gojek patut menjadi perhatian. Terlebih jika memiliki ambisi [di masa mendatang] untuk membawa bisnis ekspansi regional.

Ditinjau dari model bisnis yang dimiliki, banyak irisan yang bisa disinergikan antara EMTEK dan Naver. Lahirnya layanan atau aplikasi baru dari sinergi kedua perusahaan juga akan meningkatkan kualitas ekosistem digital media di Indonesia di tengah kompetisi bisnis yang terus memanas.

Sejauh ini, MNC Group menjadi kompetitor EMTEK. Selain mengoperasikan bisnis media, korporasi yang dipimpin taipan Hary Tanoesoedibjo tersebut juga memiliki berbagai lini serupa lainnya, termasuk bisnis fintech dan e-commerce. Bahkan platform OTT mereka tengah melenggang ke bursa Amerika Serikat melalui jalur SPAC yang baru-baru ini ramai diperbincangkan.

Indonesia’s Battle of Video Streaming Platforms

There are many video streaming service platforms running the business in Indonesia, whether it’s local, regional, or global-sized. Although it’s considered niche, particularly targeting the young generation, their position is getting steady in the market.

The pioneer in this service, Netflix, might be the most premium player among the others, starts acquiring local content creators to lead the Indonesian market. What happened with Netflix, can be the blueprint for similar services.

Streaming platform in Indonesia

The regional players with a long history in Indonesia are Hooq and Iflix. Both have local affiliations to help coverage to this growing market share.

Since the beginning, Hooq that is focused on providing content from Hollywood, Asia, and Indonesia, has done some transformations, including the additional linear channel [cable TV], local listing, and Indonesian original content. A similar strategy is applied by Iflix. Although with a similar business model, both platforms are claimed to have a significant distinction.

“Since its debut to this day, Iflix has been through some transformations. Starts from the exclusive content to the Indonesian old movies. We’re now focused on providing Indonesian original content as well from other countries in Asia. It’s no longer focused on Hollywood products, this concept is expected to acquire a broader segment from the middle to lower class,” Iflix’ Executive Director, Cam Walker.

Related to the free linear channel and local listing in the platform, Cam thought the strategy is effective to create an alternative entertainment for users. The free streaming option is said to be a certain charm for the target market.

“By providing free streaming, they can directly increase the number of new users who are eventually willing to pay. This concept is quite effective.”

video streamign platform

Hooq on the other side, that is used to have the most Indonesian movies and series, starts adding up categories from their linear channels. They also provided some channels of cable TV to be available in Indonesia. Those channels are deliberately provided on Hooq based on demand and partnerships.

Hooq Indonesia’s Country Head, Guntur Siboro said that Hooq is still aiming to provide Indonesia’s original content and stay open for partnerships with related parties to expand and acquire users.

Similar to Hooq and Iflix, Vidio, a streaming platform under Emtek Group, starts showing Indonesia’s original content. The main distinction is in the premium sports content as users demand.

However, the fact that it’s occasional, Vidio wouldn’t be focused on sports alone.

“We also have more benefits under the Emtek Group ecosystem, which also includes two of Indonesia’s biggest TV stations [SCTV and Indosiar]. Thus, we can show what’s dear to the Indonesian population into the platform. Not only TV series but also variety shows and the music programs,” Vidio’s Chief of Content, Tina Arwin said.

Trend and the future

Indonesian market that has yet to mature makes it difficult to determine the leading platform in Indonesia. Not only Hooq and Iflix but also Vidio has to compete with many platforms that offer competitive prices or affordable subscriptions.

In the future, Tina Arwin sought there will be more Indonesia’s original content to be shown on various platforms. While the Hollywood content is still a monopoly game for US-based platforms, such as Netflix and Amazon Prime Video.

A similar answer said by Cam Walker. As he observed from Iflix point of view that is focused on providing Indonesia’s original content, this is such an effective way to gain more users who are mostly in the middle to the low economy. While for the premium segment, still go with Netflix subscriptions or Cable TV.

Another highlight that is predicted to happen in the next few years is the M&A of some platforms. Recently, Iflix has secured investment from MNC Group, while in August MNC Group also launched its own streaming platform. When the competition gets ugly, the M&A potential will be very wide open.

Eventually, all depend on the marketing strategy, partnerships, and high-quality original content to acquire more users. Even though this segment is still open for fresh ideas, the complex industry constellation makes it hard for the new local player to compete.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Persaingan Platform “Video Streaming” di Indonesia

Ada banyak platform video streaming service yang beroperasi di Indonesia, baik yang beroperasi secara lokal, regional, maupun global. Meskipun kehadiran mereka masih tergolong niche, khususnya menyasar kalangan muda, positioning mereka cukup kuat di target pasar tersebut.

Pelopor layanan ini, Netflix, meski terbilang paling premium di antara semua layanan, mulai merangkul kreator konten lokal demi menjangkau pasar Indonesia. Apa yang dilakukan Netflix bisa dibilang menjadi blue print bagi layanan serupa untuk merangkul pasar ini.

Platform streaming di Indonesia

Platform regional yang sudah lama beredar di Indonesia adalah Hooq dan Iflix. Keduanya memiliki afiliasi lokal untuk membantu merebut pangsa pasar yang mulai tumbuh ini.

Sejak awal berdiri, Hooq yang fokus menghadirkan konten asal Hollywood, Asia hingga Indonesia, telah melakukan berbagai transformasi, termasuk di dalamnya tambahan linear channel [televisi kabel], local listing, hingga konten original Indonesia. Cara serupa juga diterapkan Iflix. Meskipun memiliki kesamaan dari sisi model bisnis, kedua platform tersebut mengklaim memiliki perbedaan yang signifikan.

“Sejak awal berdiri hingga saat ini, Iflix telah mengalami beberapa transformasi. Mulai dari tayangan eksklusif hingga konten film bioskop lawas Indonesia. Kini fokus kami adalah menghadirkan konten original Indonesia dan negara lainnya di Asia. Tidak lagi fokus kepada produk Hollywood, dengan konsep ini diharapkan bisa merangkul lebih banyak segmentasi menengah ke bawah untuk menggunakan Iflix,” kata Executive Director Iflix Cam Walker.

Terkait linear channel dan local listing yang gratis dalam platform, menurut Cam strategi tersebut cukup efektif untuk menghadirkan alternatif hiburan untuk pengguna. Pilihan menonton secara gratis disebutkan masih menjadi daya tarik tersendiri bagi target pengguna.

“Dengan menghadirkan tayangan secara gratis, secara langsung bisa menambah jumlah pengguna baru yang pada akhirnya bersedia membayar. Konsep seperti ini cukup efektif kami terapkan.

Sementara itu Hooq, yang sebelumnya memiliki konten film dan serial televisi Indonesia paling banyak, mulai menambah pilihan baru dari linear channel mereka. Salah satunya adalah memindahkan beberapa channel yang tersedia di layanan TV kabel yang sudah tersedia di Indonesia. Channel pilihan tersebut sengaja dihadirkan Hooq berdasarkan demand dan jalinan kemitraan.

Menurut Country Head Hooq Indonesia Guntur Siboro, saat ini Hooq masih terus berupaya untuk menghadirkan konten original Indonesia dan membuka berbagai kemitraan dengan pihak terkait untuk memperluas dan menambah jumlah pengguna Hooq.

Serupa dengan Hooq dan Iflix, Vidio, platform streaming yang dikembangkan Emtek Group, mulai banyak menampilkan konten original Indonesia. Perbedaan signifikan Vidio berada pada konten olahraga premium yang diminati pengguna.

Namun karena sifatnya yang musiman, Vidio tidak mau terpaku ke konten olahraga saja.

“Kami juga memiliki keuntungan lebih karena masuk dalam ekosistem Emtek Group yang di dalamnya terdapat dua stasiun televisi besar di Indonesia [SCTV dan Indosiar]. Dengan demikian kami bisa menampilkan program televisi yang menjadi favorit masyarakat Indonesia ke dalam platform. Bukan hanya serial televisi dan sinetron, melainkan juga variety show hingga program musik lainnya,” kata Chief Content Vidio Tina Arwin.

Tren dan masa depan

Masih belum mature-nya pasar Indonesia menyulitkan untuk bisa mengetahui siapa platform unggulan di Indonesia. Baik Hooq, Iflix, maupun Vidio harus bersaing dengan berbagai platform yang menawarkan harga berlangganan cukup miring dan terbilang terjangkau.

Ke depannya Tina Arwin melihat akan lebih banyak lagi konten original Indonesia yang bakal dihadirkan oleh berbagai platform. Sementara konten Hollywood masih menjadi monopoli platform asal Amerika Serikat, seperti Netflix dan Amazon Prime Video.

Pernyataan serupa disebutkan Cam Walker. Dilihat dari kacamata Iflix yang cukup fokus menghadirkan konten original Indonesia, cara-cara seperti ini diklaim cukup ampuh menarik lebih banyak pengguna baru yang kebanyakan berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Sementara segmen premium cenderung masih memilih untuk berlangganan Netflix atau televisi berlangganan.

Hal menarik lainnya yang diprediksi bakal terjadi beberapa tahun ke depan adalah terjadinya aksi M&A beberapa platform. Baru-baru ini Iflix mendapatkan suntikan dana dari MNC Group, sedangkan bulan Agustus lalu MNC Group juga meluncurkan platform streaming sendiri. Jika persaingan makin sengit, potensi M&A makin terbuka.

Pada akhirnya semua akan kembali ke strategi pemasaran, dukungan kemitraan, dan konten original berkualitas untuk menarik lebih banyak pengguna. Meski tidak menutup peluang hadirnya ide-ide segar di segmen ini, konstelasi industri yang kompleks cukup menyulitkan pemain lokal baru untuk bersaing.

Bukalapak Announces Series F Funding, Now Valued at 35 Trillion Rupiah

Today (10/4) Shinhan GIB announced investment to Bukalapak’s series F. There’s no information of the number raised from the South Korean Bank in the release. In fact, Bukalapak has closed this round at over $2.5 billion (equivalent to 35 trillion Rupiah). Emtek as the previous investor is said to be involved.

The valuation is quite interesting compared to the other unicorns. Says Ovo, the e-wallet app is said to reach $2.9 billion. While the closest rival, Tokopedia, exceeded $7 billion valuation post-Alibaba and Softbank funding in the late-2018.

The fresh money is to be used in the long-term business plan and strategy for financial inclusion and retail business transformation in Indonesia. This has brought fresh air to the Achmad Zaky – founded company, post the layoff rumor.

The company also said that Bukalapak currently has over 70 million users. It includes more than 4 million sellers and 2 million partners/agents (shops) from all over the country.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here