Ketika Startup Harus Menutup Bisnis

Penutupan startup adalah proses yang tidak dapat dihindari ketika produk yang dihasilkan tidak mencapai product market fit, perusahaan tidak mampu pivot atau menghasilkan skema bisnis berkelanjutan untuk mendukung operasional, atau bahkan terjadi perpecahan di antara para pendiri.

Jika akhirnya startup harus menutup bisnis, langkah apa yang harus dilakukan untuk memberikan pertanggungjawaban terbaik ke investor, pegawai, dan stakeholder lainnya.

DailySocial mencoba mencari tahu bagaimana investor dan pendiri startup berbagi pengalaman ketika harus dihadapkan pada keputusan menutup startup.

Memahami alasan penutupan

Salah satu alasan mengapa kebanyakan pendiri startup enggan berbagi cerita tentang penutupan startup adalah rasa malu untuk mengakui kegagalan. Menurut Partner Y Combinator Aaron Harris, menutup bisnis merupakan proses yang sulit. Itu berarti mengakui secara terbuka bahwa Anda salah, tidak beruntung, atau tidak kompeten. Kebanyakan founder tidak memiliki cara yang tepat untuk memikirkan kapan waktu yang tepat menutup startup.

Founder juga tidak selalu dapat memilih untuk menutup. [..] Itu keputusan yang sulit dan menyakitkan. Itu adalah keputusan yang emosional dan berat.”

Partner Alpha JWC Ventures Erika Dianasari mengatakan, “Umumnya [penutupan] terjadi akibat kurang akurasi pencatatan data dan laporan usaha. Ketidakakuratan data bisa terjadi karena blank spot dalam proses operasional startup, competency issue, atau hal lain. Kurangnya akurasi data ini dalam kasus yang parah membuat founder tidak memiliki cukup waktu dan resources untuk membiayai operasional startup.”

Saat perusahaan dihadapkan pada situasi tidak ada pilihan lain untuk meneruskan bisnisnya, mereka harus melakukan pendekatan intensif dengan investor untuk menentukan langkah selanjutnya.

“Semua tentu saja bergantung pada bisnis, status pendanaan, layanan, produk, dan strateginya. Mungkin ada sejumlah kemungkinan yang dapat terjadi. Termasuk kemungkinan membuat startup tidak aktif untuk sementara waktu sampai situasinya membaik, penjualan aset atau kekayaan intelektual, reorganisasi, pivoting dan pengembalian dana, merger atau akuisisi kecil oleh orang lain atau hanya menghentikan operasi,” kata Executive Director Alpha Momentum Indonesia Kelvin Yim.

Dialog atau komunikasi yang terbuka penting dilakukan, demi mencari jalan yang tepat agar proses penutupan berjalan dengan baik dan hubungan antara investor dan pendiri startup tetap terjaga.

“Sebelum menjawab pertanyaan tentang penutupan, saya rasa kita harus kembali ke dasar hubungan antara investor dan pendiri startup. Di Alpha JWC Ventures hubungan kita didasarkan pada kepercayaan dan empati. Kita tahu bahwa kita semua melakukannya bersama-sama. Sebagai investor, kita tahu bahwa investasi startup [..] berisiko tinggi. Kita tidak bisa mengharapkan semua investasi berhasil. Oleh karena itu kami memilih pendekatan high touch untuk meningkatkan peluang sukses bagi para pendiri,” kata Co-Founder & Managing Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe.

Pertanggungjawaban

Idealnya startup berada di posisi terbaik untuk berhenti secara elegan ketika ada perjanjian yang mencakup detail penutupan: siapa yang memiliki otoritas pengambilan keputusan, bagaimana aset didistribusikan, siapa yang dibayar, dan dalam urutan apa. Hal ini biasanya tidak terlintas di pikiran kebanyakan pendiri startup saat baru mulai merintis. Ke depannya, langkah ini wajib dilakukan sebagai antisipasi skenario terburuk.

Menurut Daniel Tumiwa yang telah menutup startup adtech Adsvokat, penting untuk menjaga hubungan baik dan selalu transparan. Tidak hanya ke investor namun juga pegawai dan rekan bisnis.

Be transparent to all employees. Sebagai pemimpin harus bisa memberikan informasi jika saldo perusahaan sudah berada pada X rupiah misalnya. Saya akan menjadi orang pertama yang memberikan informasi kepada pegawai, untuk segera mencari pekerjaan baru, dan bersiap meninggalkan perusahaan,” kata Daniel.

Sementara Benny Tjia menyebutkan dirinya dihadapkan pada pilihan yang cukup berat untuk menutup Bornevia tahun 2017 lalu. Semua upaya telah dilakukan Benny dengan melibatkan pihak terkait.

“Saya jadi percaya bahwa satu-satunya alasan mengapa seorang pendiri menutup startupnya adalah jika dia menyerah dan tidak lagi ingin mengoperasikan / menjalankan perusahaan. Dalam keadaan lain apapun, itu harus menjadi pilihan terakhir. Saya pikir akan menjadi bijaksana bagi pendiri untuk duduk bersama jajaran manajemen dan investor lainnya untuk mempertimbangkan opsi lain untuk mengoptimalkan nilai pemegang saham, seperti perubahan haluan besar, kemungkinan untuk melakukan pivoting dan alternatif strategis lainnya,” ungkap Benny yang kini menjadi Principal Indogen Capital.

Di sisi lain, Benny menambahkan, banyak pihak yang bakal terdampak dari keputusan ini, termasuk investor, pegawai, dan mitra.

“Melihat ke belakang, kami sangat berterima kasih kepada pemegang saham dan para stakeholder kami yang selalu setia dan mendukung kami selama masa-masa sulit,” kata Benny.

Penyelesaian akhir dan dukungan investor

Startup Anda kemungkinan besar memiliki berbagai jenis aset, mulai dari inventaris yang tidak terjual, hingga perabot kantor dan kekayaan intelektual (IP). Menjadi tanggung jawab para pendiri untuk mendapatkan nilai sebanyak mungkin dari beberapa kemungkinan tersebut. Menurut Erika, ada beberapa langkah yang wajib dilakukan pendiri setelah startup tutup.

Langkah pertama adalah memberikan informasi resmi ke semua stakeholder  terkait permodalan, usaha, dan operasional startup. Sampaikan seluruh informasi yang akurat mengenai posisi keuangan startup (kas, aset, kewajiban) dengan pemegang saham. Siapkan langkah-langkah selanjutnya untuk penyelesaian kewajiban-kewajiban dengan skala prioritas yang telah disepakati. Yang terakhir memberikan referensi pegawai ke startup yang masih aktif melakukan perekrutan.

“Walaupun tidak mudah, upayakan yang terbaik untuk meminimalisasi dampak kerugian dari seluruh pihak terkait berhentinya operasional,” kata Erika.

Hal senada diungkapkan Kelvin. Meskipun pertanggungjawaban beragam kondisinya, secara hukum startup harus mematuhi semua peraturan sebelum menghentikan operasi. Oleh karena itu, startup harus mengacu kembali ke perjanjian hukum yang telah ditandatangani. Jika tidak ada yang ditentukan di awal, terlepas dari hubungan dan kewajiban sosial, startup tidak memiliki kewajiban hukum setelah berhenti beroperasi.

“Hal ini sangat tergantung pada syarat pembayaran yang disepakati oleh kedua belah pihak. Jika ada [pilihan] kebutuhan untuk mengembalikan dana atau menganggap dana hangus sebagai kerugian. Juga sangat bergantung pada persyaratan yang disepakati selama putaran investasi,” kata Kelvin.

Terkait dukungan atau upaya terakhir investor untuk terus membantu startup yang mulai mengalami kerugian dan terlihat tanda-tanda untuk penutupan, menurut Kelvin, tidak ada jawaban yang tepat.

Menurutnya hal ini sangat tergantung pada situasi dan bisnis startup serta penilaian investor terhadap kondisi tersebut. Jika kedua belah pihak sepakat bisnis tidak akan dapat bertahan setelah meninjau semua aspek, maka tidak ada gunanya memberi dorongan.

“Proposisi bisnis selalu didasarkan pada faktor bisnis dan situasinya dan tidak boleh didasarkan pada emosi. Hanya setelah penilaian dan tinjauan situasi, sebagian besar investor akan memberikan reaksi dan tanggapan yang sesuai. Tetapi saya berasumsi bahwa itu adalah kewajiban startup untuk memberi tahu investor tentang situasi apa pun yang akan memengaruhi seluruh operasinya,” kata Kelvin.

Hal senada diungkapkan Jefrey. Menurutnya, dalam situasi sulit tersebut, dapat dilihat bagaimana investor memainkan peran besar dalam mempengaruhi hasil akhir.

“Di Alpha JWC Ventures misalnya, kami membantu para pendiri untuk memaksimalkan apa yang mereka miliki. Kami membantu mereka menemukan pembeli untuk aset mereka, mengidentifikasi dan menghargai aset tidak berwujud mereka, seperti merek, tim dan teknologi. Kami bahkan membantu pegawai mereka untuk dipekerjakan kembali di perusahaan lain. Kami mengetahui pasar, sehingga kami benar-benar dapat membantu mereka dan memfasilitasi diskusi lebih lanjut yang diperlukan untuk mendapatkan win-win solution,” kata Jefrey.

Pada akhirnya, investasi yang digelontorkan perusahaan modal ventura menjadi investasi berisiko paling tinggi. Jaga trust yang telah diberikan dan pertanggungjawabkan semua kemungkinan terburuk, jika pendiri startup terpaksa harus menutup bisnis.

Di Tengah Tren PHK, Masih Ada Optimisme Bagi Startup Indonesia

Pandemi Covid-19 di Indonesia sudah memasuki bulan kelima. Dunia usaha yang terdampak terus memutar otak untuk memastikan perusahaannya tetap beroperasi. Menurut catatan DailySocial, di Indonesia saja, setidaknya tujuh startup telah gulung tikar hingga pertengahan tahun ini.

Perusahaan-perusahaan yang bertahan masih berjuang melakukan efisiensi. Salah satunya dengan perampingan jumlah karyawan, entah itu dengan menerapkan cuti tanpa digaji (unpaid leave), pemotongan gaji, atau sampai harus memilih PHK.

Menengok dokumen spreadsheet SEAcosystem.com dan dokumen sejenis versi lokal, setiap harinya daftar pekerja startup yang di-PHK terus bertambah, meski tidak semuanya ditampilkan secara sukarela di sini. Dari sekian banyak nama-nama di sana, mayoritas divisi yang terdampak adalah pemasaran/marketing dan engineering/product/IT.

Di SEAcosystem misalnya, per kemarin (20/7), tercatat divisi marketing yang memasukkan identitasnya ke dalam database tersebut mencapai 578 orang, sebanyak 289 di antaranya datang dari Indonesia. Lalu, divisi IT/engineering ada 221 orang, 115 orang berasal Indonesia.

Fakta ini sejalan dengan laporan Startup Genome COVID-19 Impact Insights yang menyebutkan dari sekian banyak PHK yang terjadi di global, divisi yang berhubungan langsung dengan bisnis adalah yang paling pertama diefisiensi. Pekerjaan tersebut adalah Direct Sales (36% perusahaan yang mem-PHK terbanyak di divisi) dan Marketing (29%).

Alasan mengapa divisi engineering ikut terdampak juga dipaparkan. Untuk startup, PHK artinya sama dengan merusak rencana inovasi jangka panjang perusahaan. Divisi yang berhubungan di sana, seperti R&D (31%) dan Produk (32%) terkena imbasnya.

Laporan ini juga memperlihatkan sebanyak 60% startup di global sudah melakukan efisiensi, baik itu layoff atau mengurangi gaji. Secara rata-rata, di antara startup yang telah mengurangi jam kerja (full-time equivalent/FTE), 33% sudah mem-PHK karyawannya. Jumlah ini meningkat hingga 5 kali lipat dari Maret hingga Mei 2020.

Kondisi ini tercermin dari langkah efisiensi yang diambil OYO. Menurut data SEAcosystem.com, sekitar 18 orang yang bekerja di divisi marketing diefisiensi oleh perusahaan. Sisanya berada di divisi engineer, operations, dan data & analytics.

Contoh lainnya adalah Grab yang secara resmi merumahkan 5% karyawannya atau setara 360 orang. Dari laman direktori yang dibuat perusahaan, divisi terbanyak yang terkena dampak adalah operation and sales, engineer, dan UX & design. Data tersebut baru sepertiga yang di-input Grab.

Sumber: Unsplash
Sumber: Unsplash

Keputusan rasional

Partner Alpha JWC Ventures Erika Dianasari menjelaskan, kedua divisi ini paling terdampak karena punya kaitan tererat dengan kondisi industri. Keduanya berhubungan erat dengan inti startup, yakni produk atau solusi yang kemudian berkembang menjadi produk turunan atau vertikal-vertikal baru sebagai langkah lanjutan untuk terus tumbuh.

Pengembangan produk-produk tersebut otomatis membutuhkan banyak talenta dengan keahlian mumpuni. Namun pandemi mengakibatkan penurunan transaksi, yang akhirnya memaksa pimpinan startup mengambil prioritas kembali ke backbone utama (core product) perusahaan.

“Sehingga produk-produk turunan/vertikal baru, yang masih memiliki traction rendah, diputuskan harus hibernasi sampai saat yang belum ditentukan. Akhirnya inilah yang berimbas ke tim yang mengembangkan produk tersebut,” ujarnya kepada DailySocial.

Dari kacamata marketing, pengamat startup sekaligus inisiator beberapa komunitas startup Herry Fahrur Rizal memaparkan, di dalam divisi ini dikenal istilah “attention is a new currency” yang berlaku di era disrupsi. Attention adalah bagian dari model efek iklan AIDA yang merupakan singkatan dari Attention (Perhatian), Interest (Minat), Desire (Keinginan), dan Action (Aksi).

Salah satu peran agar suatu startup bisa meraih Attention tinggi dari konsumen adalah melalui peran marketing karena Attention menjadi prioritas utama. Akan tetapi, di masa pandemi ketika efisiensi adalah suatu “new normal,” maka proses marketing di medium digital menjadi strategi bisnis yang tepat untuk memperoleh perhatian tinggi tersebut.

“Jadi, jika proses marketing bisa dilakukan secara digital, apalagi dengan kanal digital perolehan Attention dari target audiens bisa terukur secara kuantitatif. Mengapa masih mempertahankan tim marketing yang gemuk? Maka perampingan tim marketing di era ini menurut saya adalah suatu keniscayaan,” terangnya.

Meski divisi marketing dirampingkan, sambung Herry, tidak berarti startup tersebut berhenti melakukan promosi yang sifatnya “bakar uang”. Mereka mengalihkan alokasinya ke kanal digital karena target audiens kini “berpusat” di sana, entah itu media sosial maupun situs online.

“Tentu saja tidak semata organik, atas nama ROI. Ada marketing campaign by design yang diskenariokan seolah-olah organik.”

Erika sependapat dengan pernyataan terakhir Herry. Dia memandang pandemi tidak hanya mengubah pola perilaku dan skala prioritas konsumen. Perusahaan juga akan memilih efisiensi biaya dan menyimpan dana tunai seoptimal mungkin agar perusahaan siap beroperasi dan memiliki amunisi yang cukup untuk bertarung (mendapatkan kembali market share) saat daya konsumen membaik.

Tetap ada talent war

Melihat kondisi ke depan, meskipun banyak talenta di divisi marketing dan IT yang dirampingkan, kemungkinan terjadinya talent war tetap ada. Salah satu alasannya adalah masih ada sektor “hijau” yang terus membuka rekrutmen baru.

“Karena talenta diberhentikan, mereka mungkin diserap oleh perusahaan besar dan meninggalkan ekosistem startup sama sekali. Untuk hub [ekosistem startup] yang belum matang di negara berkembang, [Ekosistem] mungkin akan [..] beralih ke tempat yang lebih kuat, seperti Silicon Valley, London, dan New York,” tulis laporan Startup Genome.

Herry mengatakan, talent war akan tetap terjadi karena Indonesia mengalami kekurangan talenta digital hingga 2030 mendatang. Pada dekade itu, Indonesia membutuhkan 113 juta talenta digital, tapi yang tersedia diproyeksikan hanya sekitar 104 juta orang.

Oleh karena itu, negara ini masih kekurangan sembilan juta talenta digital, baik secara kuantitas maupun kualitas.

“Perkiraan saya, ke depannya para startup atau perusahaan akan mengutamakan peran Digital Strategist di struktur lembaganya. Sementara eksekusi marketing campaign bisa dikolaborasikan dengan marketing agency tertentu,” ujarnya.

Erika memberikan pandangan yang sedikit berbeda. Pada dasarnya, talent war terjadi karena berlaku mekanisme supply vs demand. Rekrutmen dan gaji engineer memang jadi ongkos terbesar dalam pengeluaran operasional perusahaan, meskipun ini adalah bagian investasi dalam membangun produk terbaik untuk konsumen.

Dia berpendapat, alih-alih harus menempuh “prisoners dilemma” dalam memperebutkan talenta, perusahaan bisa melakukan managed services terkait tech & product development, memberikan value proposition reward yang tepat sesuai aspirasi talenta, atau menciptakan talenta baru dengan program internal development yang efektif.

“Pada intinya, total reward tidak selalu mengacu ke aspek cash atau gaji bersih,” tandasnya.

Sumber: Unsplash
Sumber: Unsplash

Rekrutmen tetap terbuka

Temuan lainnya didapat dari laporan Bonza yang berjudul “Covid-19: Balancing between Economy and Health”. Sepanjang Mei kemarin, sejumlah startup membuka rekrutmen seperti Lazada, Shopee, Home Credit, Cermati, Amazon, TikTok, LINE, Tunaiku, Alodokter, Zalora, Xendit, HappFresh, dan masih banyak lagi.

Mayoritas startup tersebut bergerak di industri yang memang sedang “hijau”, sehingga praktek supply vs demand tetap berlaku.

Laporan itu juga mencatat ada lebih dari lima juta layoff di multi industri, baik tech dan non-tech di Indonesia. Sejumlah startup yang masuk dalam daftar adalah Traveloka (100 karyawan), RedDoorz (250 karyawan), Akulaku (100 karyawan), Stoqo (250 karyawan), dan Airy (100 karyawan).

Tokopedia termasuk salah satu perusahaan yang saaat ini berada di posisi aman di tengah pandemi. Juru bicara Tokopedia memastikan perusahaan tidak mengambil langkah PHK. Gaji pokok tetap dibayarkan sesuai peraturan perundangan.

“Kami percaya bahwa talenta terbaik adalah sumber daya utama yang dibutuhkan dalam membangun produk terbaik dan bermanfaat bagi masyarakat.”

Secara umum, menurut pantauan DailySocial, Tokopedia tidak lagi merekrut karyawan baru secara jor-joran. Meskipun demikian masih ada posisi yang dibuka secara terbatas, misalnya Product Manager untuk TopAds dan New Retail.

Posisi yang menguntungkan di tengah pandemi ini memacu Tokopedia untuk terus meningkatkan kemampuannya dalam berinovasi. Perusahaan kini mendorong kampanye yang lebih sesuai dengan kondisi sekarang, seperti mengajak usaha mikro untuk go digital demi mendorong pemulihan ekonomi negara yang terdampak.

“Kami mendukung gerakan nasional Bangga Buatan Indonesia dan melihat berbagai upaya adaptasi yang dilakukan para pegiat usaha lokal demi mempertahankan bisnis di tengah pandemi, seperti pengusaha fesyen, gerai kopi, dan bazar buku online.”

Pandangan Investor tentang Kesenjangan Pendanaan Awal di Industri Startup Indonesia

Popularitas bisnis digital di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan membawa berkah bagi para investor. Pada 2018, Menristekdikti Mohamad Nasir sempat menyebutkan terdapat 956 startup di Indonesia dalam empat tahun terakhir.

Meroketnya industri startup turut mendorong iklim investasi. Startup bergerak cepat dalam mengembangkan inovasi yang memicu Venture Capital (VC) untuk berinvestasi dengan harapan return besar dan boom, industri VC tumbuh subur di Indonesia. Deal investasi semakin banyak, cuan ikut meningkat.

Sampai saat ini, ada banyak VC yang aktif memberikan pendanaan di Indonesia. Fokusnya beragam, mulai dari fokus pada pendanaan tahap awal (early stage) hingga penggalangan dana putaran akhir (later stage), seperti yang diterima Gojek dan Tokopedia.

Tidak ada yang menyangka model bisnis yang dijalankan keduanya berhasil merebut pasar di Tanah Air. Keduanya kini memiliki kesamaan, yakni sama-sama mengantongi valuasi tinggi yang mengantarkannya pada status unicorn dan memperoleh investasi yang terbilang sebagai pendanaan terbesar di Indonesia untuk saat ini.

Tahun lalu Tokopedia memperoleh pendanaan yang dipimpin Softbank dan Alibaba senilai $1,1 miliar atau setara Rp16 triliun. Sementara, Gojek dikabarkan bakal mendapatkan pendanaan seri F senilai $3 miliar dalam waktu dekat. Sebuah angka fantastis yang tidak pernah terpikirkan ketika keduanya merintis bisnis.

Semakin ke sini, ekosistem startup semakin terbentuk. Hal ini memicu sejumlah VC mulai aktif berinvestasi di Indonesia, termasuk kemunculan VC baru, seperti Venturra Discovery. Ekosistem startup kita juga banyak dimotori oleh kehadiran program inkubator dan akselerator.

Bukan berarti iklim investasi sepi-sepi saja pada masa-masa awal ekosistem startup terbangun. Co-founder dan CEO DailySocial Rama Mamuaya mengungkap, investasi startup pada 2014 ke belakang sangat aktif.

Ia mencontohkan e-commerce fashion wanita Berrybenka mendapat pendanaan seri B senilai $5 juta dari TransCosmos dan Gree Ventures. Angka $5 juta terbilang sangat besar untuk ukuran industri yang baru berkembang saat itu. Jika bicara kondisi sekarang, investasi $5 juta sudah sangat mungkin diperoleh startup sebagai pendanaan tahap awal.

Ada sejumlah faktor mengapa para investor kini mulai mengucurkan pendanaan seed dalam jumlah besar. Bisa jadi karena industri yang semakin matang hingga berubahnya mindset investor dalam berinvestasi di industri startup.

Meningkatnya nilai pendanaan seed dan perubahan mindset investor

Fenomena kesenjangan (gap) pada pendanaan tahap awal (pre-seed, seed, dan seri A) sebetulnya tidak mampir begitu saja. Pasar Amerika Serikat (AS) yang merupakan kiblat industri digital dunia juga sempat mengalaminya. Mengingat pasar digital AS dimulai sejak era 1999, tren pendanaan tahap awal VC di AS baru booming pada 2006.

Seperti dikutip dari artikel “Why Has Seed Investing Declined? And What Does This Mean for the Future?”, pendanaan tahap awal di AS sempat mengalami kemerosotan. Hal ini bukan disebabkan oleh kemauan VC untuk berinvestasi dalam jumlah kecil, melainkan perkembangan teknologi yang membuat biaya untuk meluncurkan dan mengembangkan produk startup semakin murah.

Bagaimana di Indonesia? Fenomena gap ini disebut mulai terjadi sejak dua-tiga tahun belakangan. Ada yang menyebutkan gap pendanaan tahap awal membuat para VC kini berinvestasi dalam jumlah kecil dengan nilai berkisar $100 ribu-$500 ribu. Ada juga yang mengatakan bahwa sesungguhnya gap ini paling dirasakan pada pendanaan seri A.

Saat ini, belum ada data yang dapat menunjukkan tren penurunan nilai pendanaan seed selama tiga-empat tahun terakhir. Hal ini karena sejumlah kesepakatan memang sengaja tidak umumkan agar startup dapat fokus untuk membangun produk dan terhindar dari publisitas pasar. Alhasil data yang tersedia saat ini hanya menampilkan jumlah deal untuk pendanaan seed dalam tiga tahun terakhir.

Namun, dari segi jumlah deal, pertumbuhan pendanaan tahap awal tidak terlalu signifikan. Startup Report DailySocial mencatat jumlah pendanaan seed (tidak termasuk pre-seed) mengalami naik-turun, antara lain 28 deal (2016) lalu naik menjadi 32 deal (2017), dan turun drastis ke 21 deal (2018). Sementara, pendanaan seri A mengalami penurunan drastis sebanyak 19 deal (2018) dari 29 deal (2017).

Investasi startup tahap awal dan series A di Indonesia
Jumlah deal pendanaan startup tahap awal dan series A di Indonesia

Berdasarkan wawancara DailySocial dengan sejumlah VC di Indonesia, beberapa di antaranya mengakui adanya gap tersebut. Head of Investment MDI Ventures Aldi Adrian Hartanto menilai stage wise untuk pendanaan seed mulai menjadi masalah karena perolehan dana investasi yang dikelola VC semakin meningkat.

Sebagai contoh saja, dalam dua tahun terakhir, ada beberapa startup yang telah memperoleh penggalangan dana tahap awal dengan nilai besar. Contohnya, Ajaib mendapat suntikan dana sebesar $2,1 juta (Rp29,6 miliar). Adalagi platform agregator logistik Shipper yang menerima investasi awal $5 juta (Rp70,1 miliar).

Nah, karena tren ini, Aldi menilai tidak masuk akal apabila VC memberikan investasi dalam jumlah kecil lagi. Alih-alih menahan pendanaan seed, industri VC justru meningkatkan besaran investasinya. Kondisi ini juga membuat sejumlah VC beralih fokus pada startup di growth round karena pengalamannya terbukti dan risikonya kecil.

“Karena banyak kekosongan [investasi] di seed, kondisi ini akhirnya memaksa startup yang masih berada di tahap itu untuk sekalian saja menggalang dana dalam nilai yang lebih besar,” ungkap Aldi beberapa waktu lalu.

Nilai pendanaan seed yang diumumkan dalam 5 tahun terakhir
Deretan pendanaan seed yang diumumkan dalam 5 tahun terakhir

Fenomena ini berkebalikan dengan kondisi di 2014 ke belakang di mana saat itu belum ada sektor bisnis yang menunjukkan dominasinya. Pertumbuhan industri baru berkembang dan startup masih mencari model bisnis yang tepat. Masuk akal jika investor belum berani berinvestasi di later stage karena berisiko gagal.

Seiring berjalan waktu, industri startup di Tanah Air semakin matang. Dominasi mulai ditunjukkan oleh keberhasilan sejumlah pelaku startup dalam menjalankan bisnis e-commerce, ride-hailing, dan online travel. Seleksi alam pun terjadi di mana ada banyak startup yang gagal dan investor memilih jalur exit lewat merger dan akuisisi.

Kini, investor mengalami perubahan mindset di mana startup yang ingin menggalang pendanaan awal harus memiliki rencana traction dan monetisasi yang jelas. Dengan kata lain, investor semakin selektif dalam berinvestasi.

Menurutnya, perusahaan VC kini cenderung konservatif. Hipotesisnya tak lagi sebatas pada visi dan misi para founder, tetapi termasuk bagaimana startup memiliki rencana monetisasi yang jelas dalam beberapa tahun ke depan, cara untuk scale up untuk pengembangan bisnis, dan tidak hanya fokus dalam mencari pendanaan saja.

Ia menilai akan sangat berbahaya bagi investor apabila menaruh uang di awal dalam nilai besar pada sebuah startup hanya bermodalkan produk, tanpa tahu rencana monetisasi untuk menuju profitabilitas.

Sebagaimana kita tahu, pendanaan tahap awal atau biasa disebut seed mengacu pada penanaman modal di awal untuk mendukung bisnis sebuah startup sampai dapat menghasilkan uang sendiri atau sampai penggalangan dana berikutnya. Startup tahap awal biasanya belum memiliki traction.

Partner Venturra Discovery Raditya Pramana juga menilai bahwa tidak tepat apabila startup menggalang investasi besar di awal dengan traction yang nihil. Menurutnya ada banyak yang harus dilakukan startup untuk mencapai sebuah valuasi.

“Di Indonesia, pendanaan seed $1 juta itu normal, kan valuasi jadi naik. Pasar makin kompetitif, semakin banyak orang ingin menaruh uang dalam jumlah besar. Yang utama itu orang mau mengambil uang dalam jumlah besar dengan valuasi besar,” ujarnya.

Pria yang karib disapa Adit ini menilai gap pendanaan tahap awal mulai berangsur mengecil sejalan dengan kemunculan VC baru yang fokus untuk mengisi kekosongan pendanaan seed di Indonesia.

Dampaknya bagi industri VC dan startup

Mindset investor tetap mengacu pada cuan. Memberikan investasi awal dalam jumlah besar tentu berisiko. Tetapi ada keuntungan yang dapat dirasakan bagi investor dan startup. Kami mencatat beberapa poin penting dari para VC terkait dampaknya bagi ekosistem startup di Indonesia.

Partner Alpha JWC Erika Dianasari menilai berkurangnya pendanaan VC pada seed justru membuka pintu bagi angel investor untuk berinvestasi di Indonesia. Di sisi lain, tren pendanaan awal yang lebih besar justru dapat memperkuat fondasi para founder startup untuk lebih giat dalam membangun bisnisnya.

“Hal lain menjadi poin penting, seleksi alam akan terjadi antara pemain berkualitas dan bisnis yang solid. Ketika investor lihat potensi besar startup, kenapa tidak kita investasi lebih? Dengan begitu tim dapat fokus membangun milestone sambil membebaskan founder dari distraksi lain,” jelasnya kepada DailySocial.

Sementara menurut Aldi, tren pendanaan tahap awal dengan nilai besar memberikan nilai tambah bagi startup untuk memiliki kesempatan meraih pertumbuhan awal lebih cepat dari sebelumnya. Dengan pendanaan ini, startup dapat memaksimalkan pengembangan produk demi menggaet traction dan mempercepat pencapaian valuasi.

Soal pencapaian valuasi memang tidak bisa kita bandingkan pada lima tahun ke belakang. Startup masih kesulitan untuk membuahkan traction karena sejumlah faktor, seperti ekosistem digital di Indonesia yang belum matang, infrastruktur yang masih minim, hingga rendahnya awareness masyarakat terhadap layanan digital kala itu.

“Startup dapat berkembang menjadi lebih cepat karena mereka didukung oleh pendanaan yang besar. Hal ini tentu bagus [bagi industri startup], tetapi bisa berdampak buruk karena dapat menciptakan gelembung [ekonomi]. Ini sebaiknya dihindari agar [pendanaan] seed bisa balance lagi,” ucap Aldi.

Sementara itu, Adit menilai tingginya penggalangan dana untuk seed dapat mendorong industri VC. Menurutnya, semakin tinggi investasi yang dikucurkan, akan semakin besar juga fee yang dikantongi VC. Artinya, keuntungan ini dapat dimanfatkan perusahaan untuk melakukan ekspansi tim, serta membangun kapabilitas dan defensibilitas sebuah VC.

Ia mencontohkan, penggalangan dana sebesar $10 juta dan $100 juta tentu akan berbeda pengelolaannya, demikian juga fee yang diterima. Bayangkan jika VC mendapat dua persen fee atau $2 juta per tahun dari $100 juta, tentu ini lebih menguntungkan bagi pengembangan bisnis VC.

“Sebagai investor, kalau beli barang karena kualitas bagus tapi untung kecil buat apa? Nah, kalau saya bayar mahal sekarang [investasi di seed], tidak apa deh karena valuasinya bakal besar,” papar Adit.

Di sisi lain, Adit memprediksi tren pendanaan seed dalam ticket size yang lebih besar akan terus berlanjut sampai terjadi market correction yang masif. Menurutnya, jika market correction di pasar saham terjadi, hal ini akan berdampak pada valuasi startup yang didanainya dan membuat private market seperti VC ikut jatuh.

Dari paparan di atas, kita dapat sepakat bahwa pendanaan tahap awal di Indonesia masih cukup aktif meskipun tidak tumbuh secara signifikan. Bahwasannya juga, VC sudah mengubah mindset berinvestasi sejalan dengan perkembangan industri dan lanskap bisnis digital di Indonesia.

Peluang investasi di Indonesia menjadi tak terbatas mengingat VC tak lagi menyuntik pendanaan pada startup yang mengembangkan produk murni teknologi. Kini, VC juga sudah mulai masuk ke startup tech enabler dengan model bisnis konvensional, seperti coffee chain dan warung tradisional.

Meminjam sebuah istilah, tren “pendanaan seed masa kini adalah seri A di masa lalu, dan pre-seed adalah seed lama” di Indonesia sebetulnya kini telah dimulai.

Marsya Nabila berkontribusi dalam pembuatan artikel in-depth ini.

Tekanan Kerja dan Kesehatan Mental di Kehidupan Startup

Startup sering dipandang sebagai segmen industri dengan ritme cepat. Pemain di dalamnya dituntut bertumbuh dan berkembang secara eksponensial. Atas nama inovasi, kreativitas dipacu sedemikian rupa. Eksplorasi terhadap ide atau fitur baru menjadi keharusan demi menjaga loyalitas pengguna yang serba dinamis.

Di sela-sela kreativitas dan inovasi yang berpacu, ada sisi lain yang menjadi perhatian, termasuk kelelahan mental. Tidak hanya burnout karena pekerjaan berlebih, tetapi juga gangguan kesehatan mental lain karena tuntutan pekerjaan yang serba cepat.

Menurut studi yang dilakukan Michael A. Freeman, M.D dan tim mengenai hubungan antara kewirausahaan dan kesehatan mental, disebutkan bahwa jika para pekerja lapangan (seperti buruh) sangat rentan terhadap kelelahan fisik, para pekerja kreatif dan pebisnis dihadapkan pada kelelahan mental. Dari penelitian tersebut ditemukan 72% pebisnis, baik secara langsung atau tidak langsung terpengaruh gangguan kesehatan mental.

MH

Gangguan kesehatan mental mungkin jadi topik yang belum banyak dibicarakan di Indonesia, namun bagi pekerja startup, baik founder maupun karyawan pemahaman mengenai kesehatan mental harus mulai dipahami. Yang dikhawatirkan, alih-alih bertumbuh cepat startup malah justru “berantakan”.

Tak hanya founder, hampir setiap elemen memiliki tekanan pekerjaan masing-masing dengan tingkat yang beragam.

Menurut Dilla (bukan nama sebenarnya), seorang karyawan salah satu layanan e-commerce besar, mengungkapkan bahwa tekanan atau stres pernah menghampirinya ketika deadline menumpuk, meeting tak berkesudahan, dan perdebatan tak berujung dengan divisi lain terjadi dalam satu waktu. Posisinya sebagai Quality Assurance Customer Operation membuatnya bertanggung jawab pada kualitas CSR (Customer Service Representative) yang ada.

Meskipun demikian, ia merasa sangat beruntung karena lingkungan dan teman kerja memberikan dukungan yang positif. Tempatnya bekerja menyediakan konsultasi dengan psikolog untuk meringankan tekanan yang ada. Dilla menyebut teman kerja memberikan efek paling besar dalam berkurangnya stres. Komunikasi yang baik dan keterbukaan memungkinkannya untuk mengurai dan mencari sumber masalah untuk diselesaikan bersama.

Menurut Yayan Adipraja, Project Manager Qiscus, tekanan atau stres yang ada harus disikapi dengan positif.  Yayan memiliki tanggung jawab mengatur proyek agar sesuai timeline dan mengelola tim pengembang. Hal ini membuatnya harus segera melupakan tekanan dan harus kembali ke track.

“Kalau menurut saya tekanan yang pernah diterima ya ada sebab akibatnya. [Untuk itu] harus segera diselesaikan dan berlari cepat mengejar deadline karena timeline yang sudah dibuat kurang melihat interupsi-interupsi lain yang mungkin hadir,” terang Yayan.

Dinamika kerja di startup dan perusahaan teknologi yang tergolong cepat dan sarat dengan inovasi menjadi salah satu faktor yang bisa menambah tekanan kerja. Bukan hanya performa yang baik, pegawai startup juga dituntut untuk bisa mengerjakan semua pekerjaan lebih cepat dan tepat. Untuk bisa membuat semua tugas yang dibebankan menjadi lebih ringan, dukungan dan kepercayaan dari atasan hingga rekan kerja menjadi penunjang lingkungan kerja yang positif, hal tersebut yang dirasakan oleh PR Specialist Ovo a.

“Karena dukungan dari perusahaan dan rekan kerja menjadikan kami lebih mudah untuk melakukan pekerjaan atau deadline yang ada. Lingkungan kerja yang positif sangat membantu pegawai untuk lebih nyaman dan tentunya betah dengan pekerjaan mereka.”

Beberapa jenis gangguan kesehatan mental

Langkah paling awal untuk menghindari gangguan kesehatan mental adalah mengenali jenis-jenisnya dan berusaha untuk mendeteksinya dari awal. Beberapa jenis gangguan kesehatan mental yang umumnya terjadi pada pebisnis antara lain ADHD (Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder), sebuah kondisi menyebabkan seseorang sulit memusatkan perhatian dan memiliki perilaku implusif dan hiperaktif, baik itu anak-anak maupun orang dewasa.

Selanjutnya ada yang dikenal sebagai anxiety atau kecemasan, pada dasarnya stress anxiety tidak selalu pertanda buruk. Dalam jangka pendek, kondisi tersebut dapat menjadi simbol sesorang termotivasi terhadap sebuah hal dan membuatnya menjadi orang dengan persiapan matang. Namun, jika kecemasan berlanjut dari waktu ke waktu dan mengganggu aktivitas sehari-hari, mungkin sudah saatnya untuk mencari bantuan profesional karena jenis dan penyebab kecemasan berlebih adalah beragam.

Selanjutnya ada juga yang dikenal sebagai depresi, jenis gangguan kesehatan mental yang ditandai dengan perasaan sedih yang intens, termasuk juga perasaan tak berdaya, putus asa, dan sejenisnya. Gangguan yang juga dikenal dengan nama depressive disorder ini juga memiliki banyak jenis dan beragam penyebabnya, salah satunya adalah fase hidup yang sulit dan trauma.

Tekanan seperti ini paling banyak ditemui di jajaran C-Level, mulai dari CEO, CMO, COO hingga CTO. Peranan mereka sebagai pimpinan sekaligus Co-Founder, mewajibkan mereka untuk bisa memimpin masing-masing divisi, menciptakan inovasi sekaligus memikirkan roadmap dan rencana bisnis startup ke depannya. Tekanan tersebut makin sulit dihilangkan ketika pekerjaan dan tanggung jawab semakin menuntut mereka yang masuk dalam jajaran C-Level, untuk bisa mengarahkan perusahaan ke arah yang positif. Tekanan untuk gagal dan kehilangan dana untuk menjalankan bisnis juga menjadi trauma yang mereka hadapi setiap harinya.

Salah satu Co-Founder startup yang menceritakan suka-duka selama menjalankan bisnis startup kepada DailySocial menyebutkan, tekanan untuk fundraising, hingga perbaikan dan peluncuran produk, kerap membuat mereka kehilangan waktu istirahat, sehingga depresi dan anxiety mulai muncul ke permukaan.

“Ketika Anda menjadi CEO atau masuk dalam jajaran C-Level lainnya, tidak ada kata ‘istirahat’. Pilihannya adalah terus bekerja atau berhenti sekalian.”

Dari kaca mata venture capital, stress level ini tidak bisa dihilangkan, namun bisa dikendalikan dengan leadership dan kultur perusahaan yang sehat. Principal Alpha JWC Erika Dianasari mengungkapkan, “alignment” adalah kata wajib di startup. Arahan founder, prioritas jangka pendek / menengah, fokus penggunaan sumberdaya (capital dan orang), metrik utama yang perlu dicapai, siapa memegang apa, harus senantiasa disinergikan dari Founder sampai ke bawah dan sebaliknya.

Bagaimana objective utama startup bisa diturunkan dari Objectives & Key Results (OKR) akan terefleksi ke rencana bulanan, mingguan, sampai ke bagaimana tim mengelola workstream harian mereka.

Mencegah gangguan kesehatan mental

Untuk masalah kesehatan mental, tidak ada yang lebih tepat selain berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater profesional. Selain bisa memberikan pemahaman mengenai gangguan yang dimiliki, mereka pasti memiliki beragam cara untuk meredakan atau menyembuhkan, karena setiap orang memiliki penanganan yang berbeda-beda tergantung kasus yang dihadapi.

Dalam konteks menghindari, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah pemahaman mengenai work-life balance. Founder yang paham mengenai konsep ini selain menerapkan untuk diri sendiri diharapkan juga untuk membangun suasana kerja yang seimbang bagi para pekerjanya.

Work-life balance merupakan aspek yang penting dari sebuah lingkungan kerja yang sehat. Menjaga keseimbangan kehidupan dan pekerjaan akan berdampak pada berkurangnya risiko stres. Caranya bisa beragam, seperti menyeimbangkan antara kerja dan bermain, kerja dengan bepergian, dan semacamnya.


Yenny Yusra terlibat dalam penulisan artikel ini

Kolaborasi Startup dan Korporasi Bisa Buka Peluang Baru

Tren bekerja di startup kini memang tengah naik daun di Indonesia. Startup bahkan menjadi salah satu pilihan utama untuk berkarier bagi anak muda masa kini. Sebut saja Go-Jek dan Tokopedia yang kini telah menjadi salah satu tujuan utama.

Ada banyak privilege yang dapat dinikmati saat bekerja di startup dibandingkan di korporasi. Selain fleksibel, startup juga membuka banyak peluang dan kreativitas untuk bisa menciptakan solusi atas berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Kendati demikian, baik startup dan korporasi juga memiliki tantangannya masing-masing. Bagi startup, tantangan untuk masuk ke pasar dirasa sulit karena berbagai keterbatasan. Sedangkan korporasi juga dituntut untuk selalu berinovasi dan mengikuti tren bisnis yang terus berubah.

Lalu, apa yang menjadi benang merah bagi keduanya?

Pada diskusi bertajuk “The Possibility of Collaboration Between Established Company and Startup”, CEO Bizcom Indonesia, Sendra Wong, mengungkapkan bahwa kolaborasi antara startup dan korporasi sangat diperlukan saat ini. Para pelaku bisnis perlu melihat kolaborasi sebagai perspektif baru dalam mendorong perusahaannya.

“Bekerja di startup dan korporasi sama-sama punya tantangan. Kalau berkolaborasi, keduanya bisa saling melengkapi dan memperoleh keuntungan,” ujar Sendra ditemui saat diskusi di Investor Gathering ke-17 yang dihelat Bizcom Indonesia di Jakarta, Kamis (26/7/).

Bentuk kolaborasi ini dapat mengacu pada keuntungan bersama atau mutual benefit. Ia mencontohkan bagaimana akhirnya transportasi konvensional berkolaborasi dengan penyedia layanan ride-sharing setelah sebelumnya sempat berkonflik panjang.

Lewat kolaborasi, startup penyedia ride-sharing dapat memperoleh keuntungan dari sisi reputasi hingga data milik perusahaan transportasi konvensional. Sebaliknya, perusahaan konvensional dapat memanfaatkan teknologi startup untuk mengoptimalkan bisnis mereka.

Lebih lanjut, sebetulnya ada banyak opsi bagi perusahaan korporasi untuk meningkatkan bisnisnya, misalnya merger atau akuisisi perusahaan lain sebagai strategi tepat ketimbang harus membentuk perusahaan baru dari nol.

Namun, Direksi Holding Jababeka Group, Sutedja Sidarta Darmono justru menilai berkolaborasi dengan startup membuka potensi lebih besar ketimbang memilih strategi merger atau akuisisi. Selain lebih efisien karena menghemat biaya, kolaborasi ini dapat menciptakan ekosistem baru.

“Contoh saja, kami sedang membangun township, banyak effort yang kami taruh pada proyek ini dengan high technology. Tapi ini bisa jadi ekosistem bagus untuk startup, karena bisa berkolaborasi dan mereka bisa berkembang,” ungkapnya pada kesempatan sama.

Menurut Division Head E2Pay, Ariyo Nugroho, kolaborasi ini dapat menguntungkan startup dari sisi SDM. Pasalnya, korporasi memiliki sumber daya manusia (SDM) dan modal yang lebih memadai.

“Sebagai startup, kita sebetulnya tidak punya luxury seperti perusahaan. Kita bahkan tidak bisa compete dengan salary. Ini menekankan pentingnya kolaborasi,” ujar Ariyo.

Sementara, Principal Alpha JWC, Erika Dianasari menambahkan, ketimbang menggunakan strategi build or buy, kolaborasi bisa menjadi langkah krusial bagi bisnis meski akan ada banyak distraksi.

“Bagi saya, talent atau human capital itu penting dan jadi aset bagi perusahaan. Startup pasti menemui challenge dan task untuk bisa menguasai pasar. Kolaborasi antar SDM bisa saling menguntungkan dan menghasilkan karya yang bagus.”