Cooklab Jajakan Bahan Makanan Siap Masak Lewat Aplikasi Digital

Meskipun pertumbuhan plaform penyedia bahan makanan “ready to cook” sempat mengalami penurunan kuantitas selama beberapa tahun terakhir, namun tidak menyurutkan minat penggiat startup untuk menyediakan layanan serupa.

Nama BlackGarlic sempat familiar beberapa tahun lalu di kalangan pecinta kuliner, namun saat ini platform tersebut sudah tidak lagi beroperasi. BerryKitchen yang juga menawarkan layanan serupa dan katering online sejak tahun 2012, lalu diakuisisi oleh Yummy Corp tahun 2019. Kini adalah startup baru yang coba bermain di sana, namanya adalah Cooklab.

Kepada Dailysocial, Kartika Baswara (co-founder) menerangkan, platform Cooklab yang didirikannya bersama rekannya, Clarence Eldy, memiliki model bisnis yang terletak pada penjualan paket masak melalui kanal e-commerce dan aplikasi. Paket masak yang dijual sudah termasuk bahan sesuai takaran, menu card, dan juga video resep. Ke depannya, mereka ingin mengeksplorasi kesempatan bekerja sama dengan penyedia bahan masak lokal, untuk membuat menu kolaborasi.

“Saya dan partner sudah memulai bisnis di bidang fresh product sejak Oktober 2019. Pada saat itu, kami menyuplai sayur dan buah ke restoran dan kafe di Bali. Semua sourcing-nya kami dapatkan dari petani lokal, dan sampai akhirnya bulan Maret 2020, kami berhasil bekerja sama dengan lebih dari 10 restoran dan 150 petani sebagai mitra,” kata Kartika.

Pandemi dan dampaknya untuk bisnis

Saat pandemi, Cooklab kemudian mulai melancarkan aksi strategis dengan melakukan pivot. Menyadari bahwa tidak bisa meneruskan menyuplai ke restoran seperti biasanya akibat terdampak efek pandemi, mereka kemudian melihat tren masak di rumah yang cukup meningkat selama masa karantina mandiri.

“Kami berpikir bahwa akan sangat memudahkan ya, kalau orang mau masak tapi semua kebutuhan sudah menjadi satu paket. Karena sudah sesuai takaran, jadi tidak ada yang tersisa. Dari sana, kami memulai untuk membuka cabang di Surabaya pada bulan Agustus, dan ekspansi ke Jakarta pada bulan Oktober ini. Cooklab sendiri memiliki kantor pusat di Jakarta,” kata Kartika.

Langkah tersebut ternyata memberikan hasil yang positif. Ia mengklaim saat ini mengalami pertumbuhan bisnis yang sangat pesat di Surabaya. Salah satu alasannya adalah, karena belum banyak pemain (startup digital F&B) masuk ke pasar Surabaya. Sehingga masyarakat di sana tertarik untuk mencoba.

“Menariknya pada saat itu, DM Instagram kami lumayan banyak dipenuhi oleh orang Jakarta yang juga ingin mencoba. Karena hal tersebut, kami memutuskan untuk buka cabang di Jakarta lebih awal dari rencana semula yaitu bulan Januari 2021,” kata Kartika.

Untuk pelanggan di Surabaya, terdapat sekitar 85 pengguna yang sudah mencoba produk Cooklab untuk 2 bulan terakhir. Sementara untuk untuk di Jakarta, karena belum diluncurkan, masih seputar teman dan keluarga saja pelanggannya. Setiap pengguna Cooklab mencatat, biasanya berjumlah antara 2-3 pesanan. Kisarannya sekitar 220 paket masak yang sudah terjual di Surabaya.

Rencana penggalangan dana

Tim Cooklab
Tim Cooklab

Disinggung apa yang membedakan Cooklab dengan pemain serupa lainnya, Kartika menegaskan, Cooklab menyediakan paket masak yang sudah sesuai takaran sehingga membuat penggunanya bisa masak tanpa ada waste. Cooklab juga memiliki video masak yang didemokan langsung oleh juru masak profesional.

Saat ini mereka masih berupaya fokus kepada “survival mode” atau mengakali agar bisnis bisa bertahan. Selain menyukseskan ekspansi, target selanjutnya adalah memulai kegiatan penggalangan dana di pertengahan bulan November 2020 mendatang.

“Pasti kami merasakan lebih banyak orang yang berhati-hati dalam berinvestasi, dan itu wajar. Namun, kami tetap optimis untuk bisa menutup fundraising di akhir Januari 2021 sebagai seed round kami,” kata Kartika.

Application Information Will Show Up Here

Cerita DapurGo, Startup Katering Online di Yogyakarta

Transformasi digital di era pandemi seperti sekarang ini adalah sebuah kewajiban. Teknologi, selain bisa memudahkan juga bisa mengangkat daya saing sebuah bisnis. DapurGo adalah salah satu yang membuktikannya.

Bermula sebagai bisnis katering “konvensional” pada tahun 2018, DapurGo mulai menerapkan teknologi digital untuk pemesanannya. Implementasi tersebut membuat DapurGo kini mampu mengirimkan 2500 kotak makan siang dan malam setiap harinya untuk melayani pelanggan di wilayah Yogyakarta.

DapurGo adalah startup yang digagas oleh Pirli Wahyu dan Eka Setyawati. Dengan pendanaan awal yang didapatkan dari beberapa investor mereka mulai melakukan peningkatan pengalaman pengguna dan penetrasi pasar agar bisa mendapatkan lebih banyak pengguna.

“Kami sadar saat ini sudah banyak kompetitor sehingga peta persaingan di Industri ini cukup ketat. Namun yang membedakan kami dengan yang lainnya adalah affordability dan quality. Karena kami mencoba memberikan makanan terbaik dengna harga yang tetap ekonomis kepada kalangan mahasiswa dan karyawan kantoran. Kami juga berupaya memberikan customer experience yang baik, dengan memilih membangun dapur dan memiliki kuasa penuh terhadap kualitas makanan yang disajikan,” terang Eka.

Sejak pertama berdiri hingga sekarang, DapurGo beroperasi di wilayah Provinsi Yogyakarta dengan pelanggan yang datang dari kalangan mahasiswa, pekerja kantoran, hingga penghuni indekos. Mereka juga memiliki dapur independen yang berada di daerah Godean, Sleman, dan Yogyakarta.

Digitalisasi untuk mudahkan pengguna

Implementasi teknologi di DapurGo paling terlihat dari sisi kehadiran situs web mereka. Di sana dipaparkan informasi seputar menu, customer service, hingga informasi mengenai promo-promo yang sedang berlaku.

Melayani lebih dari 2000 pengguna DapurGo mengandalkan pilihan menu yang berganti setiap minggunya. Sehingga pelanggan yang mengambil pilihan berlangganan tidak bosan dan tetap mendapatkan makanan yang berkualitas. Untuk saat ini, sebagai bisnis katering DapurGo akan berbagi “kue” dengan bisnis makanan lain yang mulai memanfaatkan teknologi dengan mengandalkan layanan pesan antar dari layanan seperti GoFood maupun GrabFood.

DapurGo sendiri memilih menggunakan pengantaran pribadi untuk lebih melakukan efisiensi. Sehingga makanan yang di antar bisa tepat waktu (untuk makan siang dan makan malam) dan kualitas makanan yang diantarkan tetap terjaga.

Sebelumnya, di Yogyakarta untuk pasar katering online atau layanan pesan antar juga ada makandiantar.com. Waktu itu (medio 2014-2015) karena pasar dianggap masih sepi, mereka memutuskan untuk “boyongan” ke Jakarta dengan nama Kulina, dan hingga sekarang masih eksis sebagai salah satu layanan katering online. Selain itu sempat ada nama-nama seperti owl-kitchen (layanan sudah tidak bisa diakses) dan PesanSaja (berubah menjadi layanan COD untuk oleh-oleh).

Pasar makanan dulu dan sekarang tentu berbeda. Budaya yang ditumbuhkan oleh GoFood dan GrabFood tidak bisa dimungkiri menjadi salah satu faktornya. Masyarakat sekarang jadi lebih percaya dan beberapa nyaman dengan membeli makanan via online. Belum lagi integrasi dengan berbagai macam pilihan pembayaran tentu menjadi salah keunggulan dalam bertransaksi.

“Tantangan yang kami hadapi saat ini ialah lokasi dapur kami yang berada di lokasi pemukiman serta agak sedikit jauh dari perkotaan, sehingga setiap harinya kami perlu menghitung dan memprediksi waktu tempuh kurir tiba di lokasi pengantaran tepat waktu agar makanan yang disajikan tetap fresh sehingga enak untuk disantap. Selebihnya masih relatif sama seperti halnya perusahaan rintisan lainnya dalam menjalankan bisnisnya,” lanjut Eka.

Kini dengan pengalamannya dan apa yang telah dicapai selama ini DapurGo berencana untuk melakukan penggalangan dana baru untuk bisa mendukung rencana mereka melakukan penambahan dapur baru di titik strategis di Yogyakarta dan ekspansi ke pasar baru seperti Jakarta, Banten, dan sekitarnya.

Cerita Burgreens, Pionir Restoran Makanan Vegan di Indonesia

Dulu, untuk menemukan restoran khusus makanan vegan di Indonesia masih sulit, bahkan Jakarta sekalipun. Alternatif yang ada pada saat itu adalah mengunjungi restoran Cina. Kesulitan tersebut akhirnya menginspirasi Helga Angelina Tjahjadi dan Max Mandias untuk mendirikan Burgreens. Kebetulan keduanya adalah konsumen makanan vegan.

Burgreens merupakan restoran makanan vegan yang dirancang khusus untuk lidah orang Asia. Meski menunya terfragmentasi, menariknya basis pelanggannya terbesar bukan vegetarian, melainkan orang-orang yang sadar terhadap kesehatan dan memilih untuk mengurangi konsumsi daging untuk alasan kesehatan dan lingkungan.

Tidak hanya menjadi restoran, visi dan misi dari Burgreens itu sebenarnya adalah gerakan sadar sosial bahwa makanan yang dipilih itu berasal dari alam dan petani lokal organik. “Sebagian besar bahan makan kami diambil dari petani lokal, salah satunya Yayasan Usaha Mulia dan BSP,” terang Marketing Manager Burgreens Irene Tjhai kepada DailySocial.

Bentuk bisnis Burgreens adalah ritel offline dengan 10 gerai yang tersebar di Jakarta, Bandung, dan Tangerang. Menu yang dikembangkan mulai dari makanan berat, paket katering harian, makanan beku, snack, minuman hingga makanan untuk anak.

Dalam perjalanannya, Burgreens telah menerima investasi dari ANGIN sebanyak dua kali, pada 2016 dan 2017 dengan nominal yang dirahasiakan. Perkembangan perusahaan yang pesat, akhirnya membuat Angin tertarik untuk top up masuk ke putaran terbaru.

Menurut pemberitaan di DealStreetAsia, dikabarkan Burgreens telah mengantongi pendanaan pra Seri A dari ANGIN dan Teja Ventures. Ketika dikonfirmasi ulang oleh DailySocial, Irene hanya mengatakan bahwa sebenarnya putaran tersebut masih berlangsung dan perusahaan akan mengumumkannya secara resmi.

Mulai manfaatkan teknologi digital

Irene menjelaskan sejauh ini perusahaan baru memanfaatkan kehadiran teknologi digital yang disediakan oleh mitra logistik untuk pengiriman pesanan ke konsumen. Situsnya sendiri baru menyajikan informasi mengenai menu dan direktori gerai.

Perusahaan berencana untuk merilis secara resmi aplikasinya sendiri pada dua bulan mendatang. Persiapannya sudah dilakukan sejak tahun lalu. Di dalamnya akan tersedia pilihan menu makanan sesuai preferensi lidah masing-masing, biasanya ada yang anti gluten, hanya mau vegan saja, dan sebagainya.

“Tadinya pilihan seperti itu tidak bisa jika dipesan melalui aplikasi kurir online. Tapi nanti kita bisa rincikan semua permintaan konsumen melalui aplikasi kita dan dikirim oleh kurir internal kita. Selain itu kita juga mau sediakan informasi lengkap terkait makanan organik dalam berbahasa Indonesia.”

Meski belum diresmikan, namun aplikasi ini sudah bisa diakses di Play Store.

Terpukul karena pandemi

Karena perusahaan termasuk pemain kuliner offline, secara langsung ikut terguncang karena pandemi yang saat ini masih berlangsung. Mayoritas gerainya harus ditutup pada awal PSBB diberlakukan. Meski demikian, Irene mengaku perusahaan bertekad untuk tidak mengurangi karyawan dan gaji.

“Saat PSBB, masih ada gerai kami yang tetap dibuka. Menariknya karyawan kami punya solidaritas tinggi jadi mereka memberlakukan share shift, karyawan yang kerja di gerai yang ditutup bisa kerja di gerai yang buka secara bergantian.”

Perusahaan juga terbantu dengan diberlakukannya diskon sewa dari pengelola mal. “Jujur kalau itu enggak ada, kita bakal struggling banget.”

Dalam unggahan di akun media sosial Helga pada lima bulan lalu, dia menyebutkan pandemi berdampak pada menurunnya penjualan hingga 30%. Tak hanya itu harga bahan baku yang naik tajam, penurunan jumlah kunjungan ke gerai, masalah cashflow, dan keterlambatan pembiayaan yang tidak terduga.

“Hari-hari kami dipenuhi oleh pengambilan keputusan yang mendadak. [..] Kami akan mengambil beberapa keputusan yang sangat sulit dan menghancurkan hati: melepaskan anggota baru kami yang seharusnya bekerja di gerai baru kami dan menutup beberapa toko kami,” tulisnya.

Akhirnya, seiring pelonggaran PSBB oleh pemerintah setempat pada awal Juni kemarin, Burgreens kembali membuka gerai yang berdiri sendiri (stand alone) dan menerima makan di tempat (dine-in) dan takeway.

Untuk memesan makanan, konsumen tidak perlu mengunjungi kasir, cukup memindai kode QR untuk memesan menu. Saat pembayaran pun sudah non tunai, konsumen memindai kode QRIS dari nota yang bisa digunakan oleh beragam aplikasi uang elektronik, seperti Gopay, Ovo, dan Dana.

Application Information Will Show Up Here

Platform Digital PURA Mudahkan Masyarakat Dapatkan Bahan Makanan Alami

Gaya hidup sehat terus tumbuh dalam benak masyarakat saat ini. Olahraga dan asupan gizi yang masuk ke dalam tubuh merupakan dua variabel utama dalam menjalankan gaya hidup sehat. Variabel terakhir relatif lebih sulit karena bahan makanan alami berkualitas belum cukup aksesibel.

Hal ini mendasari keputusan Monica Liando dan Johan S. Hermawan mendirikan Pura pada 2017, sebuah startup new retail yang menyediakan produk garam dan bumbu masak alami. Beberapa tahun sebelumnya, Monica sendiri sempat mendera penyakit yang mengharuskannya mengonsumsi bahan pangan alami. Namun saat itu ketersediaan bahan pangan seperti itu di Indonesia masih terbilang langka.

“Melalui PURA kami ingin menjadi jawaban untuk membantu masyarakat yang mengedepankan gaya hidup sehat dalam mencari merek natural yang trustable dan berkualitas,” ucap Monica yang juga memegang peran Marketing Strategist PURA.

Alasan memilih garam dan bumbu

PURA diambil dari kata “pure” yang berarti murni. Monica beralasan, garam dan bumbu adalah dua benda yang keberadaannya tak tergantikan dalam setiap masakan. Tak terkecuali untuk produk makanan sehat. Masalahnya stigma bahwa produk makanan sehat tak pernah cukup sedap cukup santer di kuping masyarakat.

PURA ingin membalikkan stigma itu tanpa mengorbankan kualitas kandungan bahan makanannya. Selain itu produk ini ditujukan untuk membantu orang-orang membuat masakan sehat mereka sendiri dengan mudah. Sebab tak jarang makanan sehat sekaligus nikmat hanya bisa disantap di rumah-rumah makan.

Adapun produk yang dijual meliput food powder, food seasoning, hingga garam Himalaya. Komposisi dari produk itu disebut tak mengandung karbohidrat, lemak, kalori, ataupun gula.

Mengikuti tren gaya hidup sehat

about-photo

PURA menjalankan bisnisnya secara direct to consumer dengan memanfaatkan kanal penjualan e-commerce dan distribusi di sejumlah pasar swalayan di kota-kota besar Indonesia. Mereka yang menjadi target PURA adalah masyarakat yang sudah sadar akan gaya hidup sehat.

Monica percaya PURA kian relevan dengan situasi sekarang karena mereka trennya memang berkembang demikian. Tren ini tidak hanya terjadi di negara-negara besar, tapi juga Indonesia. Ini cocok dengan data yang dicatat sejumlah lembaga.

Salah satu indikator tren gaya hidup sehat itu adalah bertambahnya petani yang mengelola pertanian organik dan gerai produk organik di pasar swalayan serta rumah makan. Hal itu diucapkan langsung oleh Direktur Kerja Sama Pengembangan Ekspor Kementerian Perdagangan, Marolop Nainggolan.

Tentang kompetisi dan tantangan

Tren ini juga berarti ada pertumbuhan pemain bahan makan alami seperti PURA. Menghadapi hal itu mereka yakin bisa keluar sebagai pemenang karena produk mereka mengikuti standar keamanan pangan dan rutin diuji ke laboratorium.

Monica menambahkan yang membedakan mereka dengan pemain serupa adalah edukasi yang kuat kepada konsumen tentang pentingnya hidup sehat khususnya melalui asupan makanan. “Sehingga kami juga mengkampanyekan bahwa menjadi pembeli juga harus kritis agar mereka bisa mengetahui sendiri apakah suatu produk benar-benar sehat dan berkualitas,” imbuhnya.

Sebagai peserta angkatan teranyar Gojek Xcelerate, PURA punya pekerjaan rumah untuk meningkatkan pemanfaatan teknologi. Monica mengatakan hal itu akan diatasi dengan digital marketing yang kuat. “Karena melalui digital marketing kami dapat memasarkan kepada target market kami di mana dan kapan saja.”

Monica mengakui bahwa setelah program akselerasi dengan Gojek kemarin mereka jadi lebih terbuka dengan opsi pendanaan. Menurut dia selama ini PURA beroperasi dengan dana mereka sendiri. Mereka berancang-ancang melakukan kerja sama strategis dan pengumpulan dana di tahun ini.

“Oleh karena itu, selain fokus pada pemasaran digital kami juga akan memperbesar area distribusi agar lebih mudah dijangkau oleh target market kami,” pungkas Monica.

Traveloka Buat Platform Khusus Direktori Restoran “Manamana”

Sejak awal tahun ini, Traveloka mulai rilis layanan terbaru yang bergerak di direktori restoran, dinamai Manamana.

Platform ini menyediakan seluruh informasi terkait restoran, kafe, warung, atau tempat makan lainnya. Baik dari jenis makanan, menu, jam operasional, harga, lokasi, kontak, fasilitas, dan metode pembayaran yang disediakan. Dilengkapi pula dengan artikel pendukung sebagai referensi.

Pihak Traveloka belum bersedia memberikan komentarnya terkait produk barunya tersebut.

Sebagai direktori, proposisi Manamana kemungkinan besar akan dipersonalisasi agar bisa memberikan rekomendasi yang sesuai dengan selera konsumen. Dibantu pula dengan konten yang bisa memberikan inspirasi para pengguna ketika mereka ada di destinasi wisata.

Hal ini belum bisa dijawab oleh Traveloka Eats, meski informasi yang dipaparkan tidak jauh berbeda, fokus yang disasar adalah menawarkan potongan harga.

Traveloka Eats menawarkan harga promosi dari restoran yang sudah tergabung ke dalam merchant-nya berdasarkan lokasi terdekat konsumen. Untuk melekatkan konsumen, Traveloka menyediakan poin loyalitas khusus yang dapat ditukar.

Kehadiran Manamana, otomatis meramaikan dinamika pemain direktori restoran seperti Zomato, Qraved, dan Pergikuliner. Kendati tampilan masih sederhana dan direktori restoran yang terhubung belum sebanyak kompetitor, tapi Manamana punya kekuatan terhubung di platform Traveloka yang membuka lebih banyak kesempatan bisnis ke depannya.

Melihat dari kiprah Zomato, sebagai pemimpin pasar, semakin melengkapi direktorinya dengan berbagai fitur. Mereka menyediakan program berlangganan untuk konsumen yang ingin mendapat potongan harga dari merchant Zomato.

Perusahaan juga membuat konten video original yang membahas terkait wellness, resep makanan, ulasan makanan, dan sebagainya yang disadur dari berbagai sumber.

Industri kuliner memang selalu menarik untuk digeluti karena tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Mengutip data yang dihimpun Badan Ekonomi Kreatif dan Badan Pusat Statistik menunjukkan kontribusi sektor kuliner terhadap unit usaha ekonomi kreatif telah mencapai 41% atau Rp410 triliun pada 2017, tertinggi diantara 15 subsektor lainnya.

Pertumbuhan industri kuliner juga cukup stabil dalam beberapa tahun terakhir. Sektor ini menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar hingga 8,8 juta orang dan sekarang terdapat 5,5 juta pelaku industri kuliner.

Dari sisi pemodal pun dari modal ventura, mereka semakin melirik potensi dari sektor ini karena masih banyak bisnis F&B tradisional yang berpotensi untuk dikembangkan lebih jauh. Fore dan Kopi Kenangan sering menjadi contoh untuk melihat bagaimana kedai kopi bisa memanfaatkan platform digital untuk pacu bisnis. Alhasil, ini menciptakan suatu model bisnis baru dengan segmen yang dikenal sebagai new economy.

Greenly Practices the New Retail Concept for Healthy Food Products Market

The new retail concept is getting popular among businessmen. The tech-based operation is quite fit to speed up offline business’ growth. Greenly, a fast-casual F&B retail network offering various healthy food and beverages has adopted the approach.

Greenly was founded by Liana Gonta Widjaja and Edrick Joe Soetanto. Liana is a Bachelor of Science from the University of California majoring in nutritional science, dietetics, who has begun her career as a nutritionist. Erick is a serial entrepreneur who also graduated from the University of California.

The healthy food business debuted in January 2019 in Surabaya, with 5 outlets. One is located in the mall with a restaurant and cafe concept, while the other 4 branches serve orders as cloud kitchen – taking orders through on-demand applications such as GoFood or GrabFood.

In a year, Greenly claims to have managed growth up to five times with hundreds of orders every day.

“Our business model is new retail with an online to offline (O2O) approach, we adopt a multi-channel sales pattern in distributing products. Using this strategy, Greenly not only has a physical store in a shopping center like traditional retail but also operates a cloud kitchen and sales through online platforms,” Greenly’s Director & Co-founder Edrick Joe Soetanto said.

Entering its second year Greenly managed to secure seed funding led by East Ventures. The fresh funds received will be used for product innovation, technology development and expanding its network in Surabaya, including other cities.

Optimizing technology to leverage business

Furthermore, Soetanto said the new retail strategy with the O2O approach is what distinguishes the business from other conventional services and other similar businesses.

Greenly also developed a system with some leading features in order to be more effective, developed, and loved by its customers. The stuff being implemented are including supply chain management, POS, accounting and taxation systems, HRIS and payroll, also third-party delivery systems, user loyalty, and pick-up orders.

“The current technology has supported Greenly run business and serve customers in maximum effort. The development of backend technology helps us manage the supply chain efficiently, particularly since we manage fresh & perishable products with a very short extent. With the development of infrastructure technologies such as demand forecasting, inventory management, and logistics optimization, we can maximize production output, manage resource capacity effectively, track inventory accurately, minimize waste, and optimize distribution,” Soetanto added.

He also mentioned that technology integration and supply chain efficiency enable them to cut into the minimum operational cost, therefore we can offer products at affordable prices.

Integration with delivery services of third parties through the cloud kitchen concept is claimed to have succeeded in making dozens of Greenly customers comfortable.

Today, for the first three months of 2020, they are targeting to open 3 new outlets in Pakuwon Mall and Tunjungan Plaza, Surabaya. The first outlet in Jakarta will also be launched, located in the Senopati area. This year, Greenly is to focus on product development, technological innovation, customer growth, and expansion both in Jakarta, Surabaya, and other cities.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Greenly Adopsi Konsep “New Retail” untuk Jual Produk Makanan Sehat

Konsep new retail tampaknya mulai banyak dilirik oleh pebisnis. Potensi pemanfaatan teknologi dirasa cocok untuk bisa membantu “bisnis offline” melanjut lebih kencang. Pendekatan tersebut kini juga diadopsi Greenly, jaringan ritel fast casual F&B yang menawarkan aneka makanan dan minuman sehat.

Greenly didirikan oleh Liana Gonta Widjaja dan Edrick Joe Soetanto. Liana adalah seorang Bachelor of Science dari University of California di bidang nutritional science, dietetics dan juga telah menjalani karier sebagai ahli nutrisi  kesehatan. Sedangkan Edrick adalah seorang serial entrepenuer yang juga lulusan University of California.

Bisnis makanan sehat tersebut pertama beroperasi pada Januari 2019 di Surabaya, dengan 5 outlet. Satu outlet berada di mall dengan konsep restoran dan cafe, sementara 4 cabang lainnya melayani pesan antara dengan konsep cloud kitchen — menerima pesanan melalui aplikasi on-demand seperti GoFood atau GrabFood.

Selama satu tahun perjalanannya, Greenly mengklaim telah berhasil mengalami pertumbuhan hingga lima kali lipat dengan ratusan pesanan tiap harinya.

“Bisnis model kami adalah new retail dengan pendekatan online to offline (O2O), kami mengadopsi pola penjualan multi-kanal dalam mendistribusikan produk. Dengan strategi ini, Greenly tidak hanya memiliki toko fisik di pusat perbelanjaan layaknya ritel tradisional, namun juga mengoperasikan cloud kitchen dan penjualan via platform online,” terang Director & Co-founder Greenly Edrick Joe Soetanto.

Memasuki tahun keduanya Greenly berhasil mendapatkan pendanaan tahap awal yang dipimpin oleh East Ventures. Dana segar yang didapat rencananya akan digunakan perusahaan untuk inovasi produk, pengembangan teknologi dan memperluas jaringannya di Surabaya, termasuk juga ekspansi di kota-kota lainnya.

Memaksimalkan teknologi untuk perkuat bisnis

Lebih jauh Edrick bercerita, bahwa strategi  new retail dengan pendekatan O2O  menjadikan mereka berbeda dengan layanan konvensional dan bisnis sejenis lainnya.

Greenly juga mengembangkan sistem dengan sejumlah fitur yang dibutuhkan agar mereka bisa lebih efektif, berkembang, sekaligus dicintai pelanggannya. Yang diimplementasikan mulai dari manajemen supply chain, POS, sistem akuntansi dan perpajakan, HRIS dan payrol, hingga sistem pengantaran pihak ketiga, loyalitas pengguna dan pick-up order.

“Teknologi yang kami pergunakan membantu Greenly menjalankan bisnis dan melayani pelanggan dengan lebih optimal. Pengembangan teknologi backend membantu kami dalam mengatur supply chain dengan lebih efisien, terlebih karena kami mengelola produk fresh & perishable dengan shelf life yang sangat singkat. Dengan pengembangan teknologi infrastruktur seperti demand forecasting, inventory management hingga logistic optimization, kami dapat memaksimalkan output produksi, mengatur kapasitas sumber daya secara efektif, melacak inventaris secara akurat, meminimalkan waste, hingga mengoptimalkan distribusi,” lanjut Edrick.

Ia juga menerangkan bahwa integrasi teknologi dan efisiensi supply chain membuat mereka bisa memangkas biaya operasional ke level minimum sehingga kami dapat menawarkan harga terjangkau untuk produk-produknya.

Integrasi dengan layanan pesan antar pihak ketiga melalui konsep cloud kitchen yang dibangun juga diklaim berhasil membuat nyaman puluhan ribu pelanggan Greenly.

Kini untuk tiga bulan pertama di tahun 2020 mereka menargetkan untuk membuka 3 gerai baru di Pakuwon Mall dan Tunjungan Plaza, Surabaya. Gerai pertama di Jakarta juga akan diresmikan, tepatnya di kawasan Senopati. Sepanjang tahun ini Greenly akan fokus pada pengembangan produk, inovasi teknologi, pertumbuhan pelanggan, dan ekspansi baik di Jakarta, Surabaya, juga kota-kota lainnya.

A Singapore Based Startup Eatsy to Arrive in Jakarta, Promoting a Queue Booking App in Restaurants

Eatsy, a Singapore based startup stated itself as a “dining mobile app” announced to arrive soon in Jakarta. The firm was getting seed round from East Venture in January 2019 worth of $550 thousand.

The Eatsy app is to help users in booking queues and food in the restaurant. Therefore, when customers arrived, they don’t have to wait longer to queue for seating and ordering food.

“Using Eatsy, not only saving time but customers can also order their food peacefully. The restaurant, particularly those with small space but high demand, can cut the queue service and manage the order well,” Eatsy‘s Founder & CEO, Shaun Heng said.

To date, their team has reached hundreds of restaurants in Indonesia to join their system. They also have partnered up with Ovo for the payment system.

Meanwhile, to indulge restaurant merchants with the best experience, Eatsy also take Moka (also one of East Venture’s portfolio) for the point of sales service. The collaboration allows all orders to be integrated into a system. Meanwhile, Moka’s merchants will automatically be registered into the Eatsy app, including their menus.

In Singapore, Eatsy currently has partnered up with 400 merchants, the solution is said to increase sales by 1.5 times up.

“We’re glad to deliver Eatsy in Jakarta, furthermore, we aim to expand to the other first-tier cities in Southeast Asia,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Startup Asal Singapura Eatsy Siap Hadir di Jakarta, Tawarkan Aplikasi Pemesanan Antrean di Restoran

Eatsy, startup asal Singapura yang memosisikan diri sebagai “dining mobile app” mengumumkan kesiapan untuk segera beroperasi di Jakarta. Startup ini sebelumnya didukung East Ventures dalam seed round pada Januari 2019 lalu, dengan nilai $550 ribu.

Aplikasi Eatsy membantu pengguna untuk memesan antrean dan makanan di restoran. Sehingga saat sampai, tidak perlu lagi menunggu lama untuk antre tempat duduk dan memesan hidangan.

“Dengan Eatsy, pelanggan tidak hanya menghemat waktu, mereka juga bebas memilih makanan dengan tenang. Restoran, terutama yang hanya memiliki tempat kecil dan yang sedang diminati, dapat mengurangi antrean dan mengatur alur pemesanan dengan baik,” terang Founder & CEO Eatsy Shaun Heng.

Pihak Eatsy sejauh ini sudah menjaring ratusan restoran di Indonesia untuk bergabung dalam sistem mereka. Mereka juga menjajaki kerja sama dengan Ovo untuk sistem pembayarannya.

Sementara untuk memanjakan para merchant restoran dengan pengalaman terbaik, Eatsy juga menggandeng Moka (yang juga merupakan portofolio East Ventures) untuk layanan point of sales. Kolaborasi tersebut juga memungkinkan seluruh pesanan terintegrasi ke dalam sistem. Sementara itu merchant Moka juga akan otomatis terdaftar dalam aplikasi Eatsy, lengkap dengan informasi menu yang mereka miliki.

Saat ini di Singapura Eatsy sudah memiliki 400 rekanan merchant, solusi yang ditawarkan diklaim berhasil mendongkrak penjualan hingga 1,5 kali lipat.

“Kami sangat senang dapat menghadirkan Eatsy di Jakarta, dan ke depannya kami berharap Eatsy juga dapat hadir di kota-kota besar lainnya di Asia Tenggara,” tutup Shaun.

Application Information Will Show Up Here

Goola Receives 71 Billion Rupiah from Alpha JWC Ventures, to Implement “New Retail” Concept

Alpha JWC Ventures today (8/16) announced investment to Goola, a startup focused on traditional beverages. It was worth up to $5 million or equivalent to 71 billion Rupiah. They provide various beverages, such as doger ice, green bean ice, and many more. Targeting young adult, they’re using “grab-and-go” concept for serving and packaging.

Goola was founded in 2018 by two founders, Kevin Susanto and Gibran Rakabuming. Gibran is well-known as President Joko Widodo’s son and a businessman in the culinary industry. They are currently open five outlets in Jakarta, to develop 100 more after receiving funding until 2020 – in Indonesia also the neighbor cities.

“Goola was first established as a conventional culinary business, then we realize that this can grow bigger once we transformed and start using technology in daily operation,” Susanto said.

“New Retail” Implementation

In addition to the outlets, fresh money will be focused on the new retail implementation. It’ll be realized through the application – the developing process is currently internal.

Goola app design is to maximize online transaction experience no queue, loyalty program, and others. This app also helps to analyze consumer’s habit to constantly improve the services and products.

“The use of technology is one thing, for me, the most important is the ingredients. Our challenge is to take Goola and these local beverages into the global market,” he said.

Susanto added, “If there is any other competitor arise, it will be our market validation. Competitors are the motivation we need to realize Goola mission faster, for they will help us to educate the market on relevant products.”

Prior to the business, Alpha JWC Ventures had first invested on Kopi Kenangan. The key is similar, they are to develop a new retail concept in selling cups of coffee to young adults.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian