Embracer Group Akuisisi Pengembang Seri Game Borderlands, Gearbox Entertainment

Gearbox Entertainment, developer sekaligus publisher yang dikenal lewat seri game Borderlands, punya pemilik baru. Mereka adalah Embracer Group, holding company asal Swedia yang dulunya dikenal dengan nama THQ Nordic AB. Lewat sebuah siaran pers, Embracer mengumumkan akuisisinya terhadap Gearbox senilai $363 juta.

Mahar yang dibicarakan kedengarannya memang sedikit untuk ukuran perusahaan dengan pengalaman sepanjang Gearbox, akan tetapi ini baru jumlah yang dibayarkan di hari pertama. Dalam enam tahun ke depan, Gearbox punya peluang untuk menerima dana tambahan dari Embracer dengan nilai maksimum $1,015 juta seandainya mereka memenuhi target yang disepakati.

Pasca merger, Gearbox bakal menjadi grup operasional milik Embracer yang ketujuh di samping THQ Nordic, Saber Interactive, Koch Media, DECA Games, Amplifier Game Invest, dan Coffee Stain Holding. Perlu dicatat, Gearbox Entertainment sendiri merupakan holding company yang didirikan di tahun 2019 sebagai induk perusahaan dari Gearbox Software dan Gearbox Publishing.

Gearbox didirikan di tahun 1999 sebagai Gearbox Software. Mereka memulai kiprahnya sebagai pengembang expansion untuk game Half-Life besutan Valve, spesifiknya Half-Life: Opposing Force di tahun 1999 dan Half-Life: Blue Shift di tahun 2001. Barulah di tahun 2005, mereka mulai menggarap IP-nya sendiri, yaitu Brothers in Arms.

Godfall, game terbaru yang dipublikasikan oleh Gearbox / Epic Games Store
Godfall, game terbaru yang dipublikasikan oleh Gearbox / Epic Games Store

Namun tidak bisa dipungkiri, karya termasyhur Gearbox adalah seri Borderlands, yang game pertamanya dirilis di tahun 2009. Borderlands 2 yang dirilis di tahun 2012 malah lebih fenomenal lagi. Hingga tahun 2019 kemarin, game tersebut masih dimainkan oleh lebih dari 1 juta orang setiap bulannya, dan sudah terjual sebanyak 22 juta kopi per Agustus 2019.

Sebulan setelahnya (September 2019), Borderlands 3 dirilis dan kembali mencatatkan rekor yang cukup fantastis: lebih dari 5 juta kopi terjual dalam lima hari pertamanya, dan itu semua secara eksklusif dari Epic Games Store saja. Kalau ditotal, franchise Borderlands secara keseluruhan sudah mendatangkan pemasukan lebih dari $1 miliar. Borderlands juga akan diadaptasikan ke film, yang sekarang sedang dikerjakan oleh sutradara Eli Roth.

Bergabungnya Gearbox otomatis akan semakin memperkaya amunisi Embracer Group. Secara keseluruhan ada 58 studio game yang berada di bawah naungan Embracer Group – Wikipedia punya catatan lengkap semua perusahaan game yang diakuisisi oleh mereka sejak tahun 2011. Mei 2020 lalu, laporan tahunan Embracer Group menyebutkan bahwa ada 118 game yang sedang dikembangkan oleh anak-anak perusahaannya, salah satunya Biomutant.

Untuk seri Borderlands sendiri, status 2K Games sebagai publisher game tersebut rupanya tidak terpengaruh oleh merger ini. Dengan kata lain, seandainya ada Borderlands 4, yang berperan sebagai publisher tetaplah 2K Games (dan Take-Two selaku induknya).

Sumber: PC Gamer dan Embracer Group.

Dimotori Veteran Blizzard, Frost Giant Studios Siap Hidupkan Kembali Genre RTS

Pada tanggal 15 Oktober lalu, Blizzard secara resmi mengumumkan bahwa mereka tidak akan mengembangkan konten baru lagi buat StarCraft II. Pembaruan minor seperti balancing masih bakal diterapkan jika diperlukan, tapi yang pasti StarCraft II tidak akan menerima expansion baru lagi ke depannya.

Tidak sedikit yang menilai pengumuman ini sebagai indikator matinya genre real-time strategy alias RTS, terutama mengingat Blizzard memang merupakan satu dari segelintir pengembang game RTS kawakan yang masih bertahan sampai sekarang. Selang lima hari setelahnya, beredar kabar bahwa sebuah perusahaan game baru bernama Frost Giant Studios sedang bersiap untuk menghidupkan kembali genre RTS.

Kalau Anda buka situs resminya, Anda bisa lihat tagline “Real-Time Strategy Returns” terpampang dengan sangat jelas di depan logo perusahaannya, padahal Frost Giant sama sekali belum punya satu pun prototipe game yang bisa mereka demonstrasikan. Lucunya, hal itu tidak mencegah ribuan orang untuk menyerbu dan membuat situs Frost Giant down sesaat.

Usut punya usut, ternyata Frost Giant Studios didirikan oleh, lagi-lagi, mantan karyawan senior Blizzard. Mereka adalah Tim Morten, eks production director untuk StarCraft II, dan Tim Campbell, eks lead campaign designer untuk Warcraft III: The Frozen Throne. Selebihnya, Frost Giant juga masih punya enam karyawan lain yang semuanya pernah bekerja di Blizzard.

Saya bilang lagi-lagi karena memang baru sebulan lalu ada sebuah studio game baru lain bernama Dreamhaven yang sempat menjadi buah bibir karena pendirinya adalah seorang veteran Blizzard. Bukan sembarang veteran malah, melainkan sang pendiri Blizzard itu sendiri, Mike Morhaime.

Jadi saat mendengar kabar tentang Frost Giant, saya langsung bertanya-tanya dalam hati mengapa Tim Morten dan Tim Campbell tidak memilih untuk bergabung bersama Mike Morhaime saja di Dreamhaven. Kepada VentureBeat, mereka menjelaskan bahwa mereka sebenarnya tahu soal rencana Mike untuk kembali menggeluti industri gaming, akan tetapi rencana tersebut belum benar-benar matang ketika mereka sudah siap untuk memulai.

Bisa disimpulkan bahwa Frost Giant didirikan lebih awal ketimbang Dreamhaven di awal tahun 2020, dan kemungkinan mereka baru berani go public sekarang setelah berhasil menggaet pendanaan dari investor. Ya, di saat Dreamhaven menempuh jalur independen, Frost Giant yang memang skala timnya lebih kecil harus bertumpu pada bantuan sejumlah investor.

Sejauh ini, Frost Giant sudah mengamankan total pendanaan sebesar US$4,7 juta dari beberapa investor. Menariknya, nama Riot Games terpampang sebagai salah satu investornya. Kalau melihat ada perwakilan Riot di dewan direksi Frost Giant, saya cukup yakin nantinya esport juga akan mendapat porsi perhatian tersendiri dari Frost Giant.

Selain menghidupkan kembali genre RTS, misi lain Frost Giant adalah menciptakan game RTS yang lebih mudah diakses oleh mereka yang bukan penggemar berat genre ini. Mereka percaya ini bisa diwujudkan dengan berbagai cara, salah satunya dengan melibatkan AI dan machine learning.

Namun yang menjadi pertanyaan lain adalah, kenapa orang-orang ini harus meninggalkan Blizzard kalau memang mereka sebegitu cintanya dengan genre RTS. Tim Morten berdalih bahwa bukan berarti Blizzard sudah tidak peduli dengan genre RTS, hanya saja memang Blizzard harus mengerahkan sumber daya di sejumlah franchise lain seperti Overwatch, Diablo, dan World of Warcraft.

Tentu bakal sangat menarik melihat perjalanan studio-studio game baru yang dimotori oleh veteran-veteran Blizzard ini ke depannya. Mereka adalah sosok yang sudah paham betul pahit-manisnya industri game development, tapi kecintaan mereka terhadap gaming pada akhirnya tetap memaksa mereka untuk terus berkarya di bidang ini.

Ciayo Undur Diri Setelah Lebih dari Empat Tahun Beroperasi

Tahun 2020 tidak bisa dimungkiri menjadi tahun yang berat bagi banyak sektor industri, termasuk untuk online media. Ciayo, platform komik digital pertama yang dikembangkan oleh pengembang lokal, mengumumkan penghentian operasional bisnisnya di tanggal 30 Juli 2020. Situs Ciayo masih akan tetap bisa diakses hingga akhir Agustus 2020.

Walaupun tidak disampaikan secara langsung alasan dibalik penutupan bisnisnya, kasus ini turut menambah daftar perusahaan yang tumbang di masa pandemi Covid-19.

Vertikal bisnis perusahaan

Ciayo Corp memulai bisnis perkembangan intelektual properti (IP) dari aplikasi komik digital Ciayo Comics pada akhir tahun 2016. Mereka pernah berkolaborasi dengan BBM dengan merilis BBM Comics yang menyediakan ratusan komik digital yang dibuat oleh para ilustrator di Indonesia, seperti seri Si Juki, Rumah Mice, Patrick Jonbray, dan Si Nopal. Sebelum akhirnya BBM undur diri di pertengahan tahun 2019.

Sekitar satu tahun yang lalu, Ciayo Comics Plus+ meluncur sebagai layanan premium dari aplikasi Ciayo Comics. Harga yang dipatok adalah Rp30 ribu+ untuk bisa mengakses konten eksklusif serta bebas iklan.

Di lini lain, Ciayo Corp juga mengoperasikan studio pengembangan game, Ciayo Games. Dalam perjalanannya, Ciayo Games berkolaborasi dengan Agate Studio untuk menghadirkan permainan saduran dari konten IP ternama di Indonesia. Selain itu, perusahaan juga sempat meluncurkan permainan mobile arcade berjudul “CHIPS: Monster Tap!” yang berhasil menjadi finalis Indonesia Game Contest oleh Google Play serta The Best Mobile Game of The Year oleh Popcon Asia 2017.

Bergerak sebagai media, Ciayo Corp juga menaungi Ciayo Blog. Portal ini membahas tren pop culture terbaru dan disebut telah menarik lebih dari 100 ribu pembaca setiap bulannya.

Di akhir tahun 2019, perusahaan mengumumkan kolaborasi dengan studio animasi Kumata Studio untuk menghadirkan konten-konten popular terbaik dari dalam dan luar negeri. Tak selang berapa lama, sebuah program loyalitas pelanggan berupa pengumpulan poin diluncurkan, memungkinkan sekitar 7 juta pengguna berkesempatan untuk memenangkan sejumlah hadiah.

Akhir kata

Tjahjadi Handaja selaku Co-founder Ciayo turut menyampaikan bahwa pihaknya telah kurang lebih 5 tahun membangun Ciayo dari nol hingga berjumlah 160 anggota tim, mulai dari jatuh bangun mempertahankan bentuk sebagai sosial media virtual, hingga akhirnya pivot dan beralih menjadi komik online. Setelah itu, melebarkan sayap ke online game juga di tahun 2016.

Beragam inovasi telah dilakukan, berbagai usaha telah dilancarkan, namun Ciayo Corp harus mengecap kenyataan pahit untuk mengusaikan bisnisnya pada titik ini. Mereka juga turut menyampaikan selamat tinggal melalui unggahan video 15 detik di media sosial Ciayo berisi kompilasi gambar serta tulisan mengucapkan terima kasih serta undur diri.

Dilansir dari SimilarWeb, trafik Ciayo mulai berkurang dari bulan April sebesar 55 ribu pengunjung hingga Juni 2020 di angka kurang lebih 40 ribu pengunjung. Dari hasil pengamatan tim DailySocial, berita terakhir yang dipublikasi di situs Ciayo adalah 4 bulan yang lalu.

GDC: 1 dari 3 Developer Harus Menunda Perilisan Game-nya Akibat Pandemi

Satu dari tiga developer harus menunda perilisan game terbaru bikinannya akibat pandemi COVID-19. Kesimpulan itu didapatkan dari survei yang dilakukan penyelenggara Game Developers Conference (GDC) terhadap hampir 2.500 tim developer yang berbeda.

Yup, bukan cuma CD Projekt Red, Sucker Punch Productions, dan developerdeveloper besar lain yang dengan terpaksa harus memundurkan peluncuran karyanya, tapi juga developer indie yang bahkan belum memiliki tim sama sekali. Dalam survei tersebut, kategori responden terbanyak (20% dari total responden) adalah developer yang bekerja seorang diri. Barulah di posisi terbanyak kedua (18%), ada tim developer dengan 500 karyawan atau lebih.

Dari semua itu, sekitar 33% mengaku tidak bisa memenuhi jadwal perilisan yang telah mereka tetapkan sebelumnya akibat pandemi. Faktor-faktor penghambatnya pun bukan cuma faktor internal seperti keterbatasan komunikasi atau keterbatasan akses terhadap perangkat development kit, melainkan juga faktor eksternal seperti proses sertifikasi dari penyedia platform (Nintendo misalnya) yang memakan waktu lebih lama ketimbang sebelum pandemi.

Seperti yang saya bilang, salah satu penghambat utamanya adalah perihal komunikasi. Ini wajar mengingat 70% dari semua responden harus menerapkan kebijakan bekerja dari rumah dan mengandalkan platform seperti Discord sebagai medium komunikasi utamanya. Seperti halnya para pekerja di industri lain, sebagian besar developer pasti merasakan betapa sulitnya melangsungkan komunikasi jarak jauh akibat banyaknya pengalih perhatian di kediaman masing-masing.

Faktor lain yang sulit dicarikan solusinya adalah terkait voice acting. Yang tadinya tinggal mengundang aktor atau aktris ke studio sekarang harus dilaksanakan dari rumah masing-masing aktor dan aktris karena studionya harus ditutup. Perlengkapan rekaman di rumah tentu saja lebih terbatas, dan sejumlah developer terpaksa harus mengirimkan perlengkapan rekaman khusus sekaligus menambah porsi kerja para audio engineer-nya.

Ghost of Tsushima yang baru saja dirilis juga mundur jauh dari jadwal aslinya / Sucker Punch Productions
Ghost of Tsushima yang baru saja dirilis juga mundur jauh dari jadwal aslinya / Sucker Punch Productions

Menariknya, pandemi COVID-19 juga akan mengubah cara developer bekerja secara permanen, dan topik ini disetujui oleh 64% dari seluruh responden. Beberapa langkah alternatif yang diambil guna menjaga produktivitas selama pandemi rupanya akan terus dipertahankan meski mereka sudah bisa kembali ke kantor masing-masing secara aman nantinya.

Salah satu responden mengatakan bahwa perusahaannya kini memperbolehkan tim ilustrator untuk bekerja dari rumah, sedangkan responden lain mengaku sudah mulai merekrut karyawan baru yang akan bekerja secara remote sepenuhnya, termasuk saat pandemi sudah berakhir nanti.

Sebelum pandemi, sebagian developer mungkin tidak mengira bahwa di luar sana ada banyak tool kolaborasi online yang dapat mereka manfaatkan untuk bekerja secara lebih efisien. Pandemi memaksa mereka untuk mencoba sejumlah opsi yang ada, dan beberapa developer pasti akan tetap menggunakannya sampai seterusnya.

Terhambat atau tidak, setidaknya kita bisa mendapat gambaran mengenai sulitnya bertahan di industri game di saat pandemi melalui survei ini. Di saat developer tidak bisa bekerja semaksimal sebelumnya, permintaan dari konsumen justru naik, terbukti dari meningkatnya penjualan console maupun hardware PC gaming.

Survei ini pun tidak lupa menanyakan mengenai perkembangan bisnis para developer selama pandemi. 31% responden mengaku bisnisnya mengalami peningkatan, sedangkan 37% bilang kondisinya sama saja. Sebaliknya, 32% sisa responden melihat ada penurunan dari bisnisnya secara keseluruhan. Nasib tiap developer tentu berbeda, demikian pula kesiapan mereka menghadapi perubahan kondisi bekerja selama pandemi.

Via: IGN.

Riot Games Ceritakan Satu Map VALORANT Butuh 5 Tahun Waktu Pembuatan

Sebagai sebuah perusahaan pengembang game, Riot Games mungkin bisa dibilang berada di posisi yang cukup unik. Alih-alih terkenal sebagai pembuat game terbaik, Riot Games justru paling terkenal sebagai perusahaan game yang besar berkat esports, sampai-sampai menjadikan esports sebagai salah satu pilar bisnis mereka. Bahkan terakhir kali sang CEO sempat berkelakar bahwa Riot Games sebenarnya adalah perusahaan musik yang menggunakan game sebagai media pemasaran.

Namun baru-baru ini Riot Games seakan berusaha mengingatkan kembali posisi mereka sebagai perusahaan pengembang game, yang membuat game mereka dengan sepenuh hati. Lewat sebuah Blog Post, mereka menceritakan bagaimana proses pembuatan Map Ascent dari game VALORANT. Satu yang menarik adalah, Riot Games ternyata mengabiskan waktu hampir 5 tahun, hanya untuk Map tersebut.

Cetak biru rancangan map Ascent sebelum masuk ke fase pembuatan di dalam Game Engine. Sumber: Riot Games
Cetak biru rancangan map Ascent sebelum masuk ke fase pembuatan di dalam Game Engine. Sumber: Riot Games

Lebih lanjut, Blog Post tersebut lalu menjelaskan bagaimana tahap demi tahap penciptaan Map Ascent. Dimulai dari fase Incubation, fase yang mana para perancang game membuat sebuah proposal yang berisikan bagaimana pengalaman visual yang ingin disajikan dan apa yang ingin dicapai untuk Map tersebut.

Dikatakan bahwa perancangan Ascent memiliki tujuan untuk membuat sebuah Map Tactical FPS tradisional yang punya tiga jalur (A, Mid, dan B). Setelah itu pembuatan masuk fase Greybox, yang bertujuan membuat Map tersebut menjadi nyata dengan menggunakan Engine game tersebut. Proses pada fase Greybox bisa cuma beberapa bulan, tapi bisa mencapai beberapa tahun. Juga, pada fase ini, Map hanya berisikan konten esensial saja, tanpa ada pemanis yang bersifat visual.

Setelahnya pengembangan masuk ke dalam fase Block-In. Pada fase ini konten visual mulai dimasukan, namun masih yang sifatnya penting saja. Misalnya, pada bagian mana gedung-gedung harus dibuat lebih tinggi atau lebih rendah, mengapa demikian. Tak hanya bersifat sebagai pemanis, konten visual pada fase Block In juga bersifat esensial, dengan memikirkan pengalaman visual yang akan diberikan.

Penampakan awal map Ascent. Sumber: Riot Games
Penampakan awal map Ascent. Sumber: Riot Games

Proses lalu ditutup dengan fase Art Production. Pada bagian ini, konten visual yang lebih detil mulai dimasukkan. Konten visual yang dimasukkan pada fase ini juga tidak selalu esensial, kadang ada yang sifatnya pemanis, agar pemain tidak merasa bosan ketika harus berkali-kali memainkan Map ini.

Setelah lima tahun, proses tersebut tentunya tidak akan berhenti. Satu contohnya pada saat update VALORANT 1.02 yang mengungkap beberapa bagian Map, agar pertandingan antara tim Attackers dengan tim Defenders tetap seimbang.

Skema “Project Financing” untuk Pengembang Game di Indonesia

Belum lama ini startup fintech yang fokus pada pembiayaan proyek (project financing) mengumumkan dukungannya untuk Touchten dalam pengembangan game bernama “Capsa Susun”. Game tersebut rencananya dirilis pada 31 Mei 2020 secara serentak untuk di Indonesia dan Vietnam melalui platform Hago; dan akan dipasarkan di seluruh Asia Tenggara.

Founder & CEO Likuid Projects Kenneth Tali mengatakan, mekanisme project financing untuk proyek game seperti ini menjadi pertama kalinya di Indonesia (dengan platform lokal). Menurutnya, pengembang game tanah air saat ini sebagian besar masih mengandalkan modal dari bootstrapping atau institusi saja.

Seperti diketahui sebelumnya, platform Likuid Projects memungkinkan masyarakat dapat turut berkontribusi pada pembiayaan sebuah proyek – atau dikenal dengan istilah crowdfunding. Model serupa sebenarnya sudah berjalan dengan cukup mulus di platform internasional seperti Kickstarter.

Dana total yang ditargetkan untuk proyek Touchten senilai 780 juta Rupiah. Hingga tulisan ini diterbitkan, sudah terkumpul sekitar 309 juta Rupiah dari 32 pemberi dana, atau yang disebut dengan “kolaborator”.

Co-Founder & CEO Touchten Rokimas Soeharyo mengungkapkan, “Permainan kartu Capsa Susun ini sudah tidak asing lagi bagi orang Indonesia dan juga masyarakat Vietnam, Malaysia, serta  Singapura. Oleh karena itu kami yakin untuk mengajak publik berkolaborasi di proyek ini dan mewujudkan mobile game asli buatan anak Indonesia ini.”

Mekanisme bagi hasil

Kampanye pembiayaan akan dibuka dalam waktu 60 hari atau dua bulan. Apabila dana yang ditargetkan tidak terkumpul, Likuid Projects akan mengembalikan 100% dana yang sudah masuk kepada kolaborator.  Adapun sumber revenue bagi kolaborator adalah 30% pendapatan Touchten dari in-app purchase dan pemasangan iklan.

Porsi ini kemudian setara dengan 15% imbal hasil pembiayaan per tahun. Kolaborator berhak mendapatkan revenue hingga satu tahun ke depan setelah kampanye pembiayaan ditutup, dengan periode pembagian revenue setiap tiga bulan sekali. Selain kesempatan ROI, para kolaborator juga akan mendapatkan konten eksklusif dan berbagai promo – menyesuaikan besaran investasi yang diberikan.

Dana yang terkumpul nantinya juga akan dialokasikan untuk 3 hal, yakni pengembangan game (10%), pemasaran (20%), dan iterasi pemeliharaan selama satu tahun (70%).

Pengembang game indie cukup akrab dengan konsep tersebut

Dari data yang dikumpulkan Imanitas Game, setidaknya dari tahun 2013 hingga awal tahun 2020 ini sudah ada sekitar 21 proyek game pengembang lokal yang didanai melalui crowdfunding, khususnya di Kickstarter (17) dan Indiegogo (4). Total dana yang dikumpulkan mencapai 7,1 miliar Rupiah dengan pendanaan tertinggi mencapai 860 juta Rupiah ditorehkan Semisoft melalui “Legrand Legacy” pada tahun 2017 lalu.

Jumlah proyek crowdfuniding yang dilakukan studio game lokal di Kickstarter dan Indiegogo / Imanitasgame
Jumlah proyek crowdfuniding yang dilakukan studio game lokal di Kickstarter dan Indiegogo / Imanitasgame

Model seperti ini memang menjadi angin segar, khususnya bagi para pengembang game indie, alih-alih model pendanaan melalui angel investor atau venture capital yang melibatkan entitas perusahaan secara penuh. Apalagi jika ada platform lokal, tentu akan jauh lebih memudahkan.

Namun pertanyaannya mungkin bakalan soal: “apakah penikmat game di Indonesia bisa mengapresiasi karya dengan cara itu?”, “apakah model investasi seperti ini bisa diterima di sini?”.

Kami menghubungi Everidea Interactive sebagai salah satu pengembang game lokal lulusan “Google Indie Games Accelerator 2018“. CEO Hendra Araji menyampaikan opininya, model project financing ini sangat cocok untuk validasi produk. Ketika pengembang memasang sebuah kampanye dengan “pitching” yang dibuat, pengguna akan mendapatkan akses awal dari game tersebut.

“Jadi memang yang utama tujuan utamanya, selain mendapatkan uang, adalah mendapatkan validasi pasar. Nah hasilnya udah di-build nih, pasar udah ada; mereka akan melakukan crowdfunding, nyumbang buat publisher buat mengembangkan game itu. Namun sejujurnya banyak pengembang yang emang punya problem mengenai dana yang dibutuhkan (ternyata lebih besar) ataupun bagaimana mengelola dana yang sudah didapat dari crowdfunding,” ujarnya.

Hendra mengungkapkan, di Indonesia sebenarnya sudah ada beberapa contoh sukses menggalang melalui platform crowdfunding. Namun satu tahun terakhir sudah lebih jarang studio yang melakukannya, menurutnya mereka mulai tertarik untuk galang investasi dari perusahaan (venture capital). Terkait adanya platform penggalangan dana lokal ia juga mengapresiasi, karena akan lebih mempermudah dari sisi pembayaran, pemberlakuan aturan (misal pajak), dan lain-lain.

“Sekarang kan industri game lagi naik banget karena pandemi ini, jadi seharusnya para platform crowdfunding lokal bisa melihat peluang ini. Menjadikan ini jadi kesempatan untuk bisa menjalin kerja sama dengan indie game developer. Terutama mungkin memang yang sudah terbukti itu kebanyakan indie game yang memang merilis gamenya untuk pasar luar negeri ya, dibandingkan pasar market Indonesia,” imbuh Hendra.

Juga dilakukan institusi ventura

Sebelumnya mekanisme project financing di Indonesia juga sudah berjalan untuk industri kreatif lain, salah satunya perfilman. Ideosource Entertainment menjadi salah satu pemodal ventura yang sudah mempraktikkan skema tersebut. Kebetulan Ideosource juga merupakan salah satu investor di balik Touchten.

Kepada DailySocial, Managing Partner Ideosource Andi Boediman berpendapat, model tersebut sangat mungkin direplikasi untuk pembiayaan proyek game di Indonesia. Karena model bisnisnya hampir serupa dengan konten kreatif lain seperti film. Pihaknya pun mengaku, punya ketertarikan untuk berinvestasi ke berbagai proyek-proyek game. Rencana ini paling cepat direalisasikan tahun depan, menanti pandemi Covid-19 berlalu.

Agate Gaet CIAYO Pelopori Gim Visual Novel Pertama di Indonesia

Agate selaku studio pengembang gim melakukan gebrakan dengan meluncurkan gim berbalut visual novel. Alasan konten permainan ini diciptakan salah satunya untuk memberi pilihan yang lebih beragam untuk pemain dari kalangan perempuan, mengingat jumlahnya yang sangat tinggi di Indonesia.

Agate bekerja sama dengan CIAYO, platform komik berbasis web, dalam menciptakan platform gim visual novel. Dalam proyek ini, Agate yang menggarap gim, sementara CAIYO yang mengembangkan intellectual property (IP). Hasilnya adalah aplikasi Memories yang memuat sejumlah judul gim visual novel.

Kepada DailySocial, CEO Agate Arief Widhiyasa menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang memutuskan mereka membuat Memories. Pertama adalah besarnya potensi pasar. Potensi pasar yang ia maksud adalah jumlah gamer di Indonesia yang ternyata didominasi oleh perempuan.

“Sebenarnya saat ini 66% gamer di Indonesia adalah perempuan tapi tidak banyak game khusus untuk mereka,” ujar Arief.

Dalam sebuah riset, gamer perempuan, khususnya di kelas casual game, memang tercatat mencapai 66%. Persentase cukup mewakili seberapa besar potensi yang bisa dipetik oleh para pengembang untuk meramu gim yang lebih ramah untuk selera perempuan.

Alasan berikutnya menurut Arief adalah nihilnya platform gim yang menitikberatkan storytelling yang interaktif juga imersif. Sekalipun ada gim bergaya seperti itu, semuanya adalah ciptaan pengembang luar negeri dengan muatan cerita yang belum tentu sejalan dengan selera pasar di sini.

Memories yang saat ini baru bisa diperoleh di PlayStore sudah ada sekitar 15 judul gim visual novel di dalamnya. Ada yang ceritanya bergenre romantis, misteri hingga chat story. Chat story artinya penuturan cerita dibalut dalam tampilan aplikasi percakapan. Selain itu ada juga Dilan 1990 dan Dilan 1991 ciptaan Pidi Baiq yang menjadi judul andalan di platform ini.

Bungkus demikian dinilai lebih efektif dalam menyampaikan cerita dan membuat pengguna berlama-lama membaca. “Seperti kita tahu tingkat literasi kita kan peringkat kedua dari bawah,” imbuh Arief.

Memories saat ini sudah diunduh oleh 500 ribu kali di PlayStore. Dengan sifatnya yang gratis, gim ini juga menyediakan fitur-fitur tambahan yang berbentuk in-game purchases dengan kisaran Rp9.000 hingga Rp300.000.

Arief berharap aplikasi ini dapat berjalan dalam waktu panjang sehingga mampu menstimulasi minat baca yang akhirnya menghasilkan bacaan yang menarik untuk pembaca, wadah bagi penulis cerita, dan para pengembang gim. Agate pun berencana menggelar lomba berhadiah bernilai Rp100 juta untuk para penulis guna menggairahkan gim visual novel ini.

“Ke depan kita akan membuat ini sebagai platform terbuka untuk semua penulis sehingga nanti semua orang bisa membuat game di atas platfrom kita,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Bertemu Developer Game Indonesia Lulusan Google IGA 2019 di Singapura (+ Video)

Google kembali menggelar acara kelulusan program Indie Games Accelerator 2019 pada awal Desember kemarin bagi pengembang game terpilih yang telah masuk program akselerator tersebut. Setelah mendapatkan bimbingan dengan total durasi 6 bulan, kini para game developer tersebut bisa membagikan ilmu mereka secara internal atau pun bersama komunitas di negara masing-masing. 

Program IGA merupakan inisiatif Google untuk memberikan ruang bagi para pengembang indie di wilayah Asia, Middle East & Africa serta Amerika Latin untuk mendapatkan mentorship dalam mengembangkan perusahaan dan game mereka. IGA merupakan bagian dari program Launchpad Accelerator yang bekerja sama secara intens dengan Google Play. 

Tahun 2019 ini ada 1700 developer game yang mendaftar dan hanya 30 yang terpilih dari 27 negara untuk ikut program IGA 2019. IGA ditujukan untuk memberikan pengetahuan bagi para pengembang game, baik itu dari mentorship dari mentor-mentor terpilih maupun dari pengetahuan akan tools atau perangkat yang disediakan Google agar bisa dimaksimalkan oleh pengembang game. Google ingin pengembang game bisa mencapai sukses jangka pendek maupun panjang dengan program ini. DIharapkan para pengembang developer yang ikut juga bisa ikut andil dalam ekosistem game developer di negara mereka berada. 

 

IGA 2019

Indonesia termasuk yang ‘mengirimkan’ wakil terpilih mereka untuk program IGA tahun 2019. Ada dua pengembang game asal Indonesia yang ikut yaitu Nightspade dan Maentrus Digital Lab. IGA 2019 juga menjadi tahun spesial bagi pengembang wilayah LATAM karena tahun ini adalah tahun pertama pintu bagi pengembang asal negara ini bisa ikut mendaftarkan diri dan terpilih untuk ikut program. 

Fasilitas yang didapatkan peserta antara lain adalah undangan untuk ikut bootcamp selama 2 hari penuh di kantor Google Singapura, mentorship yang terpersonalisasi, peluang untuk di-showcase di Google Play, dukungan credit $20.000 di Google Cloud Platform dan Firebase + dukungan training dan support, 1 smartphone Google Pixel, undangan ke acara Google Play Time 2019 di Singapura, delegate pass untuk Google I/O 2019 dan undangan
training Unity.

Acara kelulusan sendiri tahun ini diadakan kembali di kantor Google Singapura yang juga merupakan kantor pusat untuk wilayah Asia Pasifik. DailySocial juga turut diundang untuk menghadiri acara IGA 2019. Kami tidak hanya ikut menyaksikan acara kelulusan tetapi juga berbincang dengan perwakilan dari pengembang game asal Indonesia plus mentor yang juga berasal dari Indonesia. Tidak hanya itu, saya dan perwakilan media yang ikut juga diberikan beberapa penjelasan tentang program IGA dan mengapa Google ‘ngotot’ untuk turun langsung membantu para pengembang game dalam mengembangkan karya mereka. 

Tentang IGA 2019, apa yang menarik?

Ini kali pertama saya mengikuti acara IGA yang diselenggarakan oleh Google. Waktu angkatan pertama, tim saya yang mengikuti acaranya. Tapi ini bukan kali pertama saya mengikuti atau menghadiri acara Google yang terkait developer aplikasi. Google memang memiliki beberapa program untuk para pengembang aplikasi, dan IGA sendiri masuk dalam program Launchpad Accelerator yang biasanya ditujukan untuk para pengembang aplikasi non games. Keputusan Google untuk mengadakan mentorship untuk para pengembang aplikasi memang cukup menarik. 

Yang pertama adalah niatan Google untuk turun langsung mengembangkan toko aplikasi mereka terutama yang berhubungan dengan aplikasi. Dukungan tim dari Google Play tentunya memberikan harapan bagi para pengembang aplikasi game, terutama yang masih indie dan masih butuh bantuan untuk mendapatkan mentorship yang bisa jadi tidak bisa mereka dapatkan dengan usaha sendiri. 

IGA 2019

Vineet Tanwar, Manager, Business Development Google Play menyebutkan dalam salah satu presentasi di IGA 2019, di toko aplikasi mereka alias Google Play bahkan kini ada sudut atau corner khusus untuk para pengembang indie, namanya Indie COrner (g.co/playindie). Area ini berisi judul-judul game dari pengembang indie, di-update oleh Google secara berkala. 

Yang kedua adalah ditambahnya wilayah LATAM ke dalam program IGA untuk tahun kedua ini. Wilayah LATAM sendiri memang dikenal sebagai market game yang cukup menarik untuk pasar mobile gaming. Bahkan untuk pengembang game dari Indonesia. Saya ingat beberapa tahun lalu ada pengembang aplikasi lokal yang pengguna game mereka lebih banyak dari pasar LATAM alih-laih dari ranah lokal. Jumlah pengembang game yang ikut dalam program IGA 2019 kali ini juga cukup banyak, jauh lebih banyak dari negara lain. 

Pihak Google mengatakan saat sesi tanya jawab, hal ini dikarenakan program baru pertama kali terbuka untuk pengembang wilayah ini jadi pengembang aplikasi yang ikut serta cukup membludak. 

IGA 2019

Data statistik dari Newzoo dan McKinsey yang dikutip dalam presentasi di acara menampilkan perbandingan populasi dan pangsa pasar game, LATAM memiliki populasi 656 juta dengan gamers sebanyak 252 juta orang sedangkan SEA 626 juta orang dengan gamers sebanyak 181 juta. Ini adalah gambaran kasar pangsa pasar game, tentu saja pengembang kemudian harus menelaah pasar gaming mobile jika ingin berkembang di Play Store. 

Di waktu presentasi berbeda, Kunal Soni, Director, Business Development Google Play Apps & Games – SEA, India & AU menampilkan beberapa data tentang pasar gaming, terutama untuk mobile gaming

IGA 2019

Penetrasi smartphone di SEA diprediksikan terus meningkat dari 353 juta pengguna di tahun 2019 menjadi 372 juta dan untuk LATAM dari 273 juta di tahun 2019 menjadi 287 juta di tahun 2020 (data dari Canalyst dan eMarketer). 

Kunil juga mengutip data dari Newzoo yang menyebutkan bahwa pasar  gaming mobile saat ini sebesar 54,9 miliar dollar dan akan bertumbuh menjadi 79.7 miliar dollar pada tahun 2020. 

IGA 2019

Sedangkan untuk mobile gaming revenue, Kunil mengutip laporan Newzoo menyebutkan bahwa pendapatan dari game di SEA meningkat dari $3.2 miliar di tahun 2019 diprediksi menjadi $6.1 miliar di tahun 2020. Sedangkan untuk pasar LATAM, $2.2 miliar di tahun 2019 diprediksi menjadi $3.5 miliar di tahun 2020. 

IGA 2019

IGA2019

Google sendiri menyebutkan saat ini ada 2.5 miliar perangkat aktif Android dan 2 miliar lebih pengguna aktif Google Play. Untuk unduhan, Google Play melihat ada 115 miliar lebih unduhan dalam 12 bulan terakhir. 

Beberapa tools yang dipersiapkan Google untuk mendukung perkembangan game di platform mereka antara lain custom listing pages, pre-reg rewards dan Google Play Instant, juga dukungan pengembangan seperti Android Bundles. 

Kunil juga tidak lupa menyingung tentang perihal cara pembayaran, baik itu dengan operator, gift cards ataupun mobile wallet. Termasuk tentang bagaimana fasilitas pembayaran ini tersedia untuk wilayah SEA ataupun LATAM. Lengkapnya bisa dilihat di foto berikut:

IGA 2019

Pendapat developer lokal

Dari kehadiran saya di acara, bisa terdengar jelas bahwa salah satu hal yang paling membantu para developer game yang ikut program adalah mentor. Anda bisa melihat daftar mentor lengkap di sini.

IGA 2019

Saya mendengar ‘curhatan’ para perwakilan developer dari berbagai negara, termasuk juga mengobrol santai dengan dua perwakilan developer lokal yang ikut acara ini, Garibaldi Mukti CEO dari Nightspade dan Reza Febri Nanda, CTO Maentrus Digital Lab. Dan dari sini saya bisa melihat bagaimana para pengembang ini sangat antusias dengan para fasilitas mentorship yang diberikan. Tidak hanya orangnya (beberapa diantaranya adalah orang dengan nama besar studio game terkenal) tetapi juga dari materinya. 

Sami Kizilbash – Developer Relations Google menjelaskan dalam presentasi di acara tentang desain kurukuilum dari IGA 2019. Mulai dari mengembangkan game dan mendesainnya, mengembangkan bisnis, monetisasi dan user economics, melakukan test game yang telah dikembangkan sampai dengan membangun perusahaan sebagai studio game yang bisa berkembang terus. Dari kurikulum ini pengembang bisa mendapatkan cakupan yang cukup luas untuk mulai mengenbangkan game atau memperbaiki game yang telah/tengah dilkembangkan. 

IGA 2019

Google juga mendesain bahwa para mentor yang ada sesuai dengan tantangan yang dihadapi oleh para peserta, bahkan para game studio juga bisa request untuk mentornya sehingga bisa mendapatkan masukan atau ilmu yang benar-benar dibutuhkan. 

Selain kurikulum yang didesain untuk fokus pada keberhasilan peserta, ada satu hal yang cukup disebut oleh banyak peserta sebagai salah satu manfaat yang berkesan bagi peserta, yaitu OKR atau Objectives and Key Results. Semacam sebuah panduan untuk para peserta agar bisa menentukan objective dan key results dari produk/usaha yang dikembangkan, berfokus pada pengembangan tim serta mampu memprioritaskan hasil dengan timeline tertentu. 

IGA 2019

OKR ini juga disebut saat saya berbincang dengan peserta asal Indonesia. Dengan diarahkan dalam workshop mereka jadi bisa menjalankan proses mengembangkan game dengan lebih baik karena jelas proses dan timeline-nya termasuk objective dan hasil yang ingin dicapai. 

IGA 2019

Contoh yang paling menarik adalah dari Garibaldi – Nightspade yang menceritakan bahwa saat mengikuti program ini mereka tengah mengerjakan sebuah game. Namun ketika workshop berlangsung ternyata proses yang mereka jalankan tidak sepenuhnya benar. Maka Nightspade mencoba untuk tetap mengembangkan game yang telah dijalankan tetapi di sisi lain mengembangkan game lain dengan hasil pelajaran yang mereka dapatkan di IGA. Hasilnya, ternyata game baru yang dikembangkan dengan materi dari workshop lebih berhasil. 

Materi tentang leadership juga mendapatkan feedback dari peserta dengan cukup signifikan. Mereka diajarkan untuk membangun sebuah perusahaan yang bisa berkelanjutan. Apalagi game developer terdiri dari berbagai tim dengan keahlian yang berbeda-beda, butuh kepemimpinan yang baik untuk menyatukannya menjadi satu game yang baik. 

Google juga mengatakan bahwa leadership ini penting karena para peserta diajakuntuk membangun perusahaan bukan hanya sebuah produk (game). product.

IGA 2019

Key takeaways

Indie Games Accelerator bisa jadi salah satu pilihan bagi pengembang game indie yang ingin mencari program akselerator. Diselenggarakan oleh ‘empunya’ toko aplikasi alias Play Store yang ada di Android. Memang jumlah peserta dan yang lolos seleksi cukup jauh perbandingannya. Dengan kata lain persaingannya akan cukup ketat. Namun Google membagi pengembang ini adalah berbagai wilayah, jadi kalau memang kualitasnya baik dan memang pengembang game-nya memiliki peluang untuk berkembang dan tentu saja masuk persyaratan yang telah ditentukan Google, para pengembang developer punya peluang untuk ikut program ini. 

Saya melihat bahwa tidak hanya nama besar Google yang menarik dari program ini tetapi para mentor yang bisa membagi pengalaman pengembangan game mereka baik bisnis atau produk, dan satu lagi yang juga penting adalah tools dari Google. Bukan hanya tools yang bersifat teknis seperti cloud platform atau firebase tetapi juga tentunya tools yang berhubungan dengan Play Store. Proses A/B test, bagaimana caranya mengumpulkan data, optimasi ukuran file (APK), penggunaan baterai secara optimal adalah beberapa hal yang penting untuk diperhatikan bagi game developer mobile

Tools lain seperti OKR dan leadership membantu para game developer indie untuk tidak hanya fokus membuat game yang baik tetapi juga belajar proses yang benar serta mengembangkan perusahaannya untuk menjadi studio yang berkembang. 

IGA 2019

Sayang memang saya tidak menanyakan secara spesifik bagaimana kualifikasi indie yang dijalankan Google. Karena dari peserta IGA 2019 ini memang cukup beragam dan tidak hanya berisi game developer kecil beranggotakan di bawah 5 orang atau mereka yang belum pernah atau sedang mengembangkan game. Ada juga studio yang gamenya telah diunduh oleh jutaan pengguna, ada pula game developer yang telah mengembangkan game untuk waktu yang cukup lama. 

Dalam laman resmi mereka juga tidak disebutkan batasan ukuran besarnya studio game atau game developer yang bisa ikut. Namun lebih pada game studio atau developer yang memang membutuhkan bantuan untuk mengembangkan game dengan lebih baik. Toh kalau memang sudah bukan ‘indie’ lagi, game developer biasanya sudah bisa jalan mandiri dalam mengembangkan perusahaan mereka. 

Sebagai pelengkap, berikut video suasana acara kelulusan IGA 2019 dan wanacara singkat saya dengan perwakilan Nightspade dan Maentrus Digital Lab, serta salah satu mentor dari Indonesia.

Siasat Studio Gim Lokal dan Ekosistem di Tengah Pesatnya Esports di Indonesia

Esports menghadirkan model bisnis baru dalam permainan digital. Popularitasnya melejit kencang, menjadikan gim yang awalnya hanya sebagai kanal hiburan, kini bisa dijadikan pilihan karier profesional. Tak ayal, salah satu hasil riset mengemukakan kapitalisasi pasar esports akan mencapai $1,7 triliun di tahun 2022 mendatang.

“Asia Tenggara tidak hanya menjadi tempat berkembangnya industri game, kawasan ini juga menjadi pusat dari esports secara global,” ujar Lisa Cosmas Hanson selaku Managing Partner Niko Partners.

Berbicara Asia Tenggara, maka tidak bisa terlepas dari Indonesia. Melihat perkembangannya sejauh ini, ekosistem esports lokal mulai terbentuk dengan baik. Banyak “startup esports” bermunculan, banyak di antaranya telah mendapatkan dukungan finansial dari investor dan/atau brand pendukung.

Di tengah pembicaraan tentang esports lantas muncul sebuah pertanyaan, “Bagaimana game developer/studio lokal menghadapi tren ini? Apakah dipandang sebagai kesempatan atau sebaliknya, justru menjadi tantangan berat karena penikmat gim sudah naik kelas?”

Adapt or die?

Adapt or Die
Quote populer dari Charles Darwin mengenai pentingnya melakukan adaptasi / LeadershipQuote

Di bisnis teknologi, banyak pelajaran kegagalan yang bisa dipelajari tentang kemauan pengembang produk untuk beradaptasi dengan pasar. Sebut saja popularitas Nokia yang merosot tajam di tengah perkembangan Android dan iOS; atau penutupan satu per satu platform sosial yang dimiliki Yahoo di tengah meningkatnya pengguna media sosial. Kejadian seperti itu tentu tidak diinginkan oleh pebisnis, termasuk para pemilik studio gim lokal.

Kami mencoba berbincang dengan beberapa pihak, salah satunya Co-Founder & COO Anantarupa Studios Diana Paskarina. Seiring tenarnya esports, mereka memilih untuk mengadaptasi perkembangan pasar. Realisasinya, saat ini mereka tengah mengembangkan gim esports dengan genre MOBA (Multiplayer Online Battle Arena) berjudul “Lokapala”. Saat ini sudah masuk pra-registrasi dan akan meluncur penuh di awal tahun 2020.

Diana turut memberikan tanggapan mengenai ekosistem produk gim di Indonesia, “Melihat esports yang sangat besar dan masih terus berkembang, kami melihat ini tentunya sebagai potensi. Walaupun pada kenyataannya sampai saat ini produk gim, tidak hanya esports, masih didominasi pemain asing, namun pasar terus berkembang dan kebutuhan konten gim baru sangat tinggi.”

Studio lainnya, yakni Agate, juga memiliki rencana yang sama. Dalam waktu dekat mereka akan meluncurkan produk yang sesuai dengan kriteria esports. Mereka juga melihat esports sebagai peluang yang baik, karena membantu mempromosikan produk-produk gim itu sendiri ke khalayak luas. Dan membantu mempromosikan bahwa gim bisa menjadi kegiatan produktif.

“Ada beberapa gim yang saat ini sedang digarap dan direncanakan untuk dapat dikompetisikan di esports. Namun kami belum bisa menceritakan lebih detail karena masih tahap pengembangan. Kami juga akan segera meluncurkan gim esports manager untuk tingkat global. Gim ini sudah mendapatkan penghargaan Big Indie Pitch Game Developer Conference 2018 di San Francisco,” terang PR Manager Agate Studio Alwine Brahmana.

Di kancah regional, Garena menjadi salah satu tolok ukur perusahaan yang telah sukses berbaur di era esports. Melalui beberapa produk andalannya, salah satunya Free Fire, perusahaan berbasis di Singapura tersebut berhasil membukukan pendapatan setara $1 miliar.

Katalisator ekosistem

Federasi Esports Indonesia
Acara peluncuran Federasi Esports Indonesia / Hybrid

Setelah sebelumnya berdiri Indonesia Esports Association (IESPA), pada Juli 2019 lalu Menkominfo Rudiantara meresmikan Asosiasi Olahraga Video Games Indonesia (AVGI). Kemudian awal Oktober 2019 kemarin Federasi Esports Indonesia (FEI) juga dikenalkan ke publik. Dengan visi untuk memajukan esports nasional, masing-masing miliki misi berbeda. FEI misalnya, mereka mulai menyoroti standardisasi kontrak pekerja esports.

“Federasi hadir menjawab permasalahan para pelaku esports khususnya di level paling bawah, yaitu player, caster, media. Mereka sejauh ini belum ada yang menaungi. Selama ini mungkin mereka perlu ada perbaikan tapi mau ke mana mereka meminta bantuan? Mau dibantu seperti apa? Hal ini yang menurut saya yang perlu dibenahi dan yang menjadi peran utama FEI,” terang Ketua Umum FEI yang juga merupakan CEO RRQ Andrian Pauline Husen.

Pembentukan organisasi-organisasi tersebut –yang melibatkan stakeholders dan pelaku bisnis—dapat menjadi katalisator pertumbuhan ekosistem esports di Indonesia, sekaligus jadi langkah preventif.

Sebelum dilebur dengan Kementerian Pariwisata, Bekraf pernah menjadi badan pemerintahan yang turut memberikan dorongan untuk pengembang gim lokal berkiprah lebih. Selain mengadakan acara nasional seperti Game Prime, mereka turut membawa para kreator ke acara di tingkat nasional, seperti Game Connection America dan Tokyo Game Show.

Menuju perjalanan panjang esports Indonesia

Piala Presiden Esports
Acara konferensi pers Piala Presiden untuk ajang esports / Hybrid

Di tingkatan atlet dan perusahaan yang menaungi, perkembangan esports begitu terasa. Hingga pemodal ventura pun mulai memberikan porsi tersendiri untuk menyalurkan dana kelolaannya ke sana. Sementara bagi para pengembang gim lokal, saat ini masih menjadi fase yang sangat awal untuk mulai berkecimpung ke esports.

Ada banyak sinergi yang bisa dilakukan agar pertumbuhan bisa terjadi secara menyeluruh. Misalnya, pemerintah punya program seperti Piala Presiden untuk Esports untuk menemukan bakat-bakat yang akan diperlombakan ke ajang seperti SEA Games, ketika produk dari studio lokal tadi sudah selesai dikembangkan, selayaknya mendapatkan porsi untuk dijadikan salah satu objek dalam kompetisi.

Atau melalui berbagai asosiasi yang sudah didirikan, para pengembang, pebisnis esports, dan brand mulai merumuskan roadmap terpadu, mengelaborasikan sumber daya dan kapabilitas yang dimiliki masing-masing. Karena pada dasarnya setiap elemen dalam ekosistem akan memiliki peran sentral untuk perjalanan pajang esports Indonesia ke depan.

TouchTen Umumkan Pendanaan Baru, Mulai Fokus Kembangkan Produk Game untuk Segmen Perempuan

Startup pengembang mobile game TouchTen belum lama ini mengabarkan telah mendapatkan pendanaan baru dengan nilai yang tidak disebutkan. Prasetia Dwidharma, Sheila Tiwan (CEO Carsurin), dan Indra Leonardi (Kingfoto Group) menjadi investor baru di putaran ini. Investor sebelumnya CUEBIC Inc. juga turut terlibat dalam pendanaan ini.

Selain melanjutkan inovasi produk, salah satu fokus bisnis tim TouchTen adalah mengembangkan game untuk menjangkau pasar  gamer perempuan. Dinilai segmen pasar ini masih sering dilupakan oleh pengembang, sedangkan potensinya cukup besar.

Dalam sambutannya, Co-Founder & CEO TouchTen Roki Soeharyo mengatakan, “Selama ini game sering dianggap sebagai hobi untuk laki-laki saja, tapi dunia sudah berubah. Saat ini setengah dari pemain mobile game adalah perempuan. Meskipun data menunjukkan kurangnya konten game yang menarik bagi mereka, namun lebih banyak perempuan bermain game daripada sebelumnya.”

“Hal inilah yang membuat tim TouchTen semakin bersemangat untuk membawa kegembiraan bagi para pemain yang kurang mendapatkan perhatian secara global, melalui permainan yang juga kami sukai,” lanjut Roki.

Tahun ini pendapatan dan basis pengguna game TouchTen diklaim telah tumbuh 238% dan 93% dibanding tahun sebelumnya. Salah satu strateginya dengan mengembangkan game berdasarkan momentum di pasar.

Sebagai contoh salah satu game yang telah diluncurkan beberapa waktu lalu. Memadukan konsep puzzle game dengan tema pecinta hewan peliharaan, dipasarkan untuk pengguna di Ameria Serikat dan Eropa. Tim juga sedang mengerjakan proyek lain, khusus untuk pasar Indonesia yang dijadwalkan akan dirilis pada akhir 2019.

“TouchTen memiliki banyak pengalaman dalam mengembangkan mobile game. Prasetia bersemangat untuk bergabung kali ini, karena kami percaya TouchTen adalah tim yang sempurna untuk menangani pangsa pasar gamer perempuan berskala internasional. Yang paling menarik perhatian kami adalah karena TouchTen sangat dilandasi oleh data dalam mengembangkan game mereka,” sambut CEO Prasetia Dwidharma Arya Setiadharma.

TouchTen sudah berdiri sejak tahun 2009, selain Roki salah satu pemrakarsanya adalah Anton Soeharyo yang tak lain adalah kakak kandungnya – kini ia fokus mengembangkan platform PlayGame.com memanfaatkan blockchain untuk bantu pengembang game menghadirkan model permainan interaktif. Ada juga co-founder lain yakni Dede Indrapurna yang saat ini menjabat jadi COO TouchTen.

Ideosource, CyberAgent Capital, GREE Ventures, dan 500 Startups adalah beberapa investor yang pernah berpartisipasi pada putaran sebelumnya.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here