Bang & Olufsen Luncurkan Gaming Headset Pertamanya, Harganya Setara Xbox Series X

Apa jadinya ketika brand audiophile sekelas Bang & Olufsen memberanikan diri untuk terjun ke ranah gaming headset? Jawabannya adalah sebuah headset nirkabel bernama Beoplay Portal. Ya, ini merupakan gaming headset perdana B&O sejak perusahaan tersebut didirikan oleh Camillo Bang dan Svend Olufsen di tahun 1925.

Kalau saya tidak bilang, saya yakin Anda tidak akan menyangka bahwa perangkat ini merupakan sebuah headset yang ditujukan untuk kalangan gamer. Desainnya sama sekali tidak ada kesan gaming-nya, dan sepintas memang langsung kelihatan sama mewahnya seperti deretan headphone lain besutan B&O.

Mulai dari konstruksi berbahan aluminium sampai kulit domba asli yang membalut bantalan memory foam-nya, hampir semua bagian dari perangkat ini tampak sekaligus terkesan premium. Di saat yang sama, B&O juga tetap memperhatikan faktor kenyamanan; bagian headband-nya dilapisi kain yang terbuat dari serat bambu, dan bobot keseluruhan perangkat juga tidak lebih dari 282 gram — termasuk ringan untuk ukuran gaming headset.

Beoplay Portal dikembangkan sebagai bagian dari program “Designed for Xbox”. Itu berarti ia harus bisa disambungkan ke console Xbox secara seamless menggunakan protokol Xbox Wireless (2,4 GHz). Kalau punya adaptor Xbox Wireless, headset ini juga dapat dihubungkan secara nirkabel ke PC.

Alternatifnya, Beoplay Portal juga menawarkan konektivitas Bluetooth 5.1, lengkap dengan dukungan codec aptX Adaptive. Koneksi via kabel pun juga didukung, baik menggunakan kabel audio 3,5 mm maupun kabel USB-C. Kalau disambungkan ke PC via USB-C, otomatis baterainya juga akan terisi.

Di balik masing-masing earcup-nya, bernaung dynamic driver dengan diameter sebesar 40 mm. Headset ini juga mengunggulkan teknologi active noise cancellation (ANC) yang bersifat adaptif, tidak ketinggalan juga dukungan Dolby Atmos demi menyajikan efek suara surround secara virtual. Untuk mengoperasikan headset ini, pengguna bisa memanfaatkan perpaduan panel sentuh di sisi luar earcup beserta sejumlah tombol dan tuas.

Satu hal yang cukup unik dari Beoplay Portal adalah fitur bernama Own Voice, yang menurut B&O memungkinkan pengguna untuk mendengar suaranya sendiri dengan jelas ketika sedang berbicara. Yang mungkin terkesan agak aneh adalah fakta bahwa headset ini mengandalkan mikrofon beam-forming yang terintegrasi ketimbang boom mic.

Dalam sekali pengecasan, baterai Beoplay Portal diperkirakan bisa bertahan selama 12 jam pemakaian kalau terhubung via Xbox Wireless dan ANC-nya menyala terus. Kalau cuma terhubung via Bluetooth, daya tahan baterainya bisa dilipatgandakan menjadi 24 jam, setara dengan yang ditawarkan kebanyakan headphone noise-cancelling — kecuali bikinan B&O yang berada di kelas tersendiri soal ini.

Di Amerika Serikat, Beoplay Portal rencananya akan dijual dengan harga $499 — ya, harga yang sama persis seperti banderol Xbox Series X itu sendiri. Gaming headset mungkin tidak seharusnya semahal ini. Namun dengan desain semewah ini, ditambah lagi konektivitas Bluetooth, mungkin Beoplay Portal lebih pantas dikelompokkan sebagai headphone noise-cancelling berkonektivitas wireless yang kebetulan juga sangat kapabel untuk keperluan gaming.

Sumber: What Hi-Fi.

Headset Wireless Razer Kaira Pro Diciptakan untuk Xbox Sekaligus Perangkat Mobile

Menjelang kedatangan console next-gen tidak lama lagi, produsen periferal seperti Razer langsung tanggap merilis sejumlah produk baru. Kali ini, mereka memperkenalkan dua headset gaming wireless baru yang didedikasikan buat para konsumen Xbox Series X dan Series S, yaitu Razer Kaira dan Razer Kaira Pro.

Kedua headset ini tentu saja mengandalkan konektivitas Xbox Wireless sehingga dapat disambungkan ke console Xbox secara nirkabel tanpa bantuan dongle, atau ke PC dengan bantuan dongle Xbox Wireless Adapter. Namun khusus untuk Kaira Pro, tersedia pula opsi untuk menghubungkannya ke berbagai perangkat via Bluetooth 5.0.

Juga unik buat Kaira Pro adalah, mikrofonnya dapat dilepas-pasang, dan ketika dilepas, ada mikrofon internal yang mengambil alih secara otomatis sehingga ia dapat berfungsi layaknya headphone Bluetooth pada umumnya.

Belakangan ini memang semakin banyak headset gaming yang turut menawarkan konektivitas Bluetooth. Idenya adalah, konsumen hanya memerlukan satu headset saja untuk menemani sesi gaming sekaligus rutinitasnya yang lain (kecuali mungkin saat berolahraga), dan Kaira Pro sejatinya merupakan jawaban Razer terhadap tren tersebut.

Dalam sekali pengisian, baterai milik Kaira Pro diyakini mampu bertahan hingga 15 jam, atau sampai 20 jam kalau pencahayaan RGB-nya dimatikan. Kaira di sisi lain tidak punya lampu warna-warni sama sekali.

Di luar konektivitas, mikrofon dan pencahayaan RGB, Kaira dan Kaira Pro ibarat pinang dibelah dua. Keduanya sama-sama mengemas rangka berbahan stainless steel dan dilengkapi sederet tombol pengoperasian di earcup sebelah kiri sekaligus kanannya. Masing-masing earcup-nya yang dapat berputar juga dibekali bantalan memory foam yang dilapisi kain breathable demi mencegah telinga kepanasan meski perangkat dipakai cukup lama.

Terkait kualitas suaranya, Kaira dan Kaira Pro mengunggulkan driver TriForce Titanium berdiameter 50 mm yang sama persis seperti milik Razer BlackShark V2. Satu hal yang mungkin agak disayangkan adalah absennya active noise cancellation (ANC), termasuk pada Kaira Pro, meskipun ia sebenarnya cukup ideal untuk konteks mobile.

Di Amerika Serikat, Razer Kaira dan Kaira Pro saat ini sudah dipasarkan masing-masing dengan harga $100 dan $150.

Sumber: Razer.

HyperX Luncurkan Versi Wireless dari Salah Satu Headset Gaming Terlarisnya

Untuk urusan periferal gaming seperti mouse atau keyboard, HyperX mungkin masih kalah pamor dari merek lain seperti Razer maupun Logitech. Namun kalau yang dibahas adalah headset, HyperX kerap menjadi brand pilihan berkat sejumlah penawarannya yang sangat kompetitif, baik dari segi harga maupun kualitas.

Salah satu headset gaming terlarisnya adalah Cloud II, yang disebut telah terjual sebanyak hampir empat juta unit sejak pertama kali diperkenalkan di tahun 2015. Lima tahun berselang, HyperX sudah menyiapkan penerusnya; bukan Cloud III, melainkan Cloud II Wireless.

Sesuai namanya, yang baru dari headset ini tentu saja adalah konektivitas nirkabelnya. Cloud II Wireless mengandalkan bantuan dongle USB seukuran flash disk untuk menyambung ke PC, PlayStation, ataupun Nintendo Switch. Sangat disayangkan tidak ada Bluetooth sebagai opsi ketika ingin mendengarkan musik via smartphone, tapi setidaknya Cloud II Wireless menjanjikan proses pairing yang instan, dengan jangkauan maksimum hingga 20 meter.

Namanya juga mengindikasikan kalau headset ini tetap mempertahankan banyak keunggulan pendahulunya, terutama dari segi desain. Konstruksi berbahan aluminium tetap menjadi unggulan, demikian pula bantalan memory foam yang tebal di bagian kepala sekaligus telinga.

Singkat cerita, kalau Anda suka dengan ergonomi yang ditawarkan Cloud II, sudah seharusnya Anda cocok dengan Cloud II Wireless, apalagi mengingat bobot perangkat ini tergolong ringan di angka 300 gram. Perihal pengoperasian, Cloud II Wireless menyimpan sebuah kenop volume di earcup sebelah kanan, serta dua tombol di earcup sebelah kiri; satu tombol power, satu lagi untuk mute/unmute mikrofonnya.

Indikator LED untuk status mute sekaligus baterai yang tersisa juga hadir sebagai pelengkap. Baterainya sendiri diklaim mampu bertahan sampai 30 jam dalam sekali pengisian, dan perangkat tetap bisa digunakan seperti biasa selagi di-charge menggunakan kabel USB-C.

HyperX Cloud II Wireless

Terkait kualitas suaranya, Cloud II Wireless mengemas driver berdiameter 53 mm dengan respon frekuensi 15 – 20.000 Hz. Berdasarkan ulasan-ulasan yang beredar di internet, rupanya cukup banyak yang memuji kualitas suara dari headset ini. Berhubung ini merupakan headset gaming, fitur emulasi suara surround 7.1 juga tersedia sebagai standar, dan bisa diaktifkan atau dinonaktifkan kapan saja.

Sepintas memang kesannya tidak ada banyak perubahan yang dibawa oleh HyperX Cloud II Wireless, tapi itu semestinya sudah bisa kita tebak dari namanya. Di Amerika Serikat, perangkat ini rencananya akan dipasarkan mulai 20 November 2020 seharga $150. Sebagai perbandingan, Razer BlackShark V2 Pro yang dirilis bulan dibanderol seharga $180.

Sumber: Business Wire.

Berkat Satu Aksesori, Nuraphone Langsung Menjelma Menjadi Headset Gaming

Diperkenalkan pertama kali lewat Kickstarter sekitar empat tahun silam, Nuraphone merupakan headphone wireless seharga $399 yang sangat unik karena dua hal. Yang pertama, desainnya sangat nyeleneh karena di dalam masing-masing earcup-nya terdapat sebuah earbud. Kedua, ia sangat fleksibel karena dapat beradaptasi secara otomatis dengan pendengaran tiap-tiap pengguna.

Fleksibilitas rupanya selalu menjadi tema utama yang diusung Nuraphone, dan itu dibuktikan lebih lanjut lewat kehadiran sebuah aksesori baru untuknya, yakni sebuah mikrofon untuk keperluan gaming. Nuraphone sendiri sejatinya tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi headset gaming, dan itulah mengapa saya menyebutnya sebagai perangkat yang sangat fleksibel.

Nuraphone sebenarnya sudah punya mikrofon terintegrasi, yang juga berfungsi untuk mewujudkan fitur active noise cancellation (ANC) miliknya. Namun berhubung Nuraphone mengandalkan konektivitas Bluetooth, ia jelas tidak cocok untuk mendampingi pengguna ketika sedang bermain game di PC atau console.

Nuraphone sebenarnya bisa saja disambungkan ke perangkat-perangkat tersebut menggunakan kabel audio 3,5 mm standar, tapi dalam skenario ini mikrofonnya otomatis tidak berfungsi. Itulah mengapa pengembangnya pada akhirnya menciptakan aksesori mikrofon baru ini.

Dihargai $50, mikrofon ini menyambung lewat konektor khusus yang terletak di earcup sebelah kanan Nuraphone. Unit mikrofonnya sendiri menjadi satu dengan kabel audio 3,5 mm, menjamin kompatibilitasnya dengan PC, PS4, Xbox One, atau perangkat apapun yang memiliki jack 3,5 mm. Di tengah kabelnya, ada tuas mute beserta volume slider.

Idenya adalah, Anda cuma butuh satu perangkat saja untuk semua kegiatan. Ketika hendak keluar dari rumah, Nuraphone siap menemani sebagai headphone wireless yang dilengkapi ANC. Lalu ketika hendak bermain FIFA 21 bersama kawan-kawan, tinggal tancapkan mikrofonnya, dan sambungkan kabelnya ke PC atau console.

Pengembang Nuraphone tentu bukan yang pertama kali mengeksekusi ide seperti ini. Belum lama ini, Bose meluncurkan headset gaming pertamanya, dan perangkat itu sejatinya tidak lebih dari headphone QuietComfort 35 II versi Bluetooth yang dibundel bersama boom mic yang dapat dilepas-pasang.

Sumber: Tom’s Hardware.

Razer Rilis Trio Periferal Wireless Baru: DeathAdder V2 Pro, BlackShark V2 Pro, dan BlackWidow V3 Pro

Seorang gamer kompetitif pada umumnya akan menghindari periferal wireless dengan alasan performanya kurang bisa diandalkan, terutama perihal latency. Namun dalam beberapa tahun terakhir ini, kita sudah melihat satu demi satu produsen periferal sibuk mengembangkan teknologi wireless-nya sendiri, semua dengan tujuan mengurangi latency sebanyak mungkin sehingga perangkat dapat diandalkan di ranah kompetitif.

Di saat suatu produsen sudah siap dengan teknologi wireless besutannya sendiri, kita tidak perlu heran apabila mereka langsung menerapkan teknologi tersebut pada produk-produk andalannya. Razer adalah salah satunya. Sejauh ini, sejumlah periferal bikinan mereka yang populer sudah dibuatkan versi wireless-nya yang mengemas teknologi Razer HyperSpeed, dan hari ini mereka menambah lagi anggota keluarga gaming gear nirkabelnya.

Tidak tanggung-tanggung, Razer memperkenalkan tiga periferal wireless baru sekaligus: Razer DeathAdder V2 Pro, Razer BlackShark V2 Pro, dan Razer BlackWidow V3 Pro. Namun ketimbang sebatas menyematkan konektivitas wireless begitu saja ke perangkat yang sudah ada, Razer turut merevisi sejumlah aspek dari masing-masing produk.

Razer DeathAdder V2 Pro

Untuk DeathAdder V2 Pro, bisa kita lihat bahwa desainnya nyaris identik dengan DeathAdder V2. Namun kalau kita amati lebih lanjut, samping kiri dan kanannya kini dilapisi karet bertekstur yang jauh lebih luas daripada milik versi berkabelnya. Bobotnya memang bertambah sedikit dari 82 gram menjadi 88 gram, tapi ini tetap sangat ringan untuk ukuran mouse wireless yang mengemas baterai rechargeable, dan yang tidak mengadopsi desain bolong-bolong.

Bicara soal baterai, DeathAdder V2 Pro sanggup beroperasi hingga 70 jam sebelum perlu diisi ulang. Untuk pemakaian kasual dengan koneksi Bluetooth, daya tahan baterainya malah bisa mencapai angka 120 jam. Selagi tersambung kabel, perangkat tetap bisa digunakan seperti biasa.

Sensor yang digunakan DeathAdder V2 Pro sama persis seperti versi standarnya, yakni sensor Focus+ dengan sensitivitas maksimum 20.000 DPI. Yang berubah adalah optical switch-nya, yang Razer bilang merupakan generasi kedua, walaupun ketahanannya tetap tercatat di angka 70 juta klik.

Razer DeathAdder V2 Pro saat ini sudah dipasarkan seharga $130, nyaris dua kali lipat versi standarnya. Satu hal yang membuat saya penasaran adalah, kenapa namanya bukan “DeathAdder V2 Ultimate”? Well, bisa jadi karena ia hadir setelah Razer Naga Pro.

Razer BlackShark V2 Pro

 

Sesuai namanya, perangkat ini merupakan versi nirkabel dari headset gaming bernama sama yang Razer luncurkan Agustus lalu. Saya tidak melihat ada perubahan dari segi desain, tapi lagi-lagi Razer sudah merevisi jeroannya. Driver yang digunakan tetap driver TriForce Titanium berdiameter 50 mm, akan tetapi BlackShark V2 Pro turut mengemas satu speaker chamber ekstra.

Bukan cuma itu, mikrofon milik BlackShark V2 Pro juga lebih besar (9,9 mm) daripada milik versi berkabelnya, dan Razer mengklaim ini dapat meningkatkan kemampuannya mengabaikan suara-suara di sekitar yang mengganggu. Sama seperti di versi standarnya, mikrofonnya dapat dilepas saat sedang tidak dibutuhkan.

Hal lain yang mungkin juga bakal terasa berbeda adalah terkait kenyamanannya. BlackShark V2 Pro lebih berat 58 gram daripada BlackShark V2. Tidak mengejutkan mengingat ia harus mengusung modul baterai, dan kabar baiknya, baterai ini bisa tahan sampai 24 jam pemakaian.

Razer BlackShark V2 Pro sekarang telah dijual dengan banderol $180, selisih $70 dibanding versi standarnya. Harga yang cukup masuk akal untuk headset gaming pertama yang dibekali konektivitas Razer HyperSpeed, yang secara teknis mendukung transmisi audio dengan kualitas lossless.

Razer BlackWidow V3 Pro

Namanya mungkin agak menipu, akan tetapi BlackWidow V3 Pro merupakan versi wireless dari BlackWidow Elite yang dirilis dua tahun silam. Satu fakta yang agak mengejutkan adalah, ini merupakan keyboard gaming wireless pertama dari Razer – kecuali Anda menghitung Razer Turret, yang secara spesifik ditujukan bagi pengguna Xbox One.

Layout yang digunakan oleh BlackWidow V3 Pro sama persis seperti BlackWidow Elite, dengan tiga tombol multimedia dan kenop untuk mengatur volume. Kendati demikian, pencahayaan RGB di BlackWidow V3 Pro bisa menyala lebih terang berkat kemasan switch yang transparan. Masing-masing keycap-nya juga diklaim lebih tangguh berkat penggunaan material Doubleshot ABS.

Switch-nya sendiri merupakan switch mekanis dengan dua varian yang berbeda – Green yang clicky, atau Yellow yang linear – bukan optical switch seperti milik seri Razer Huntsman. Seperti halnya DeathAdder V2 Pro tadi, keyboard ini juga dapat disambungkan via dongle Razer HyperSpeed atau Bluetooth. Dalam sekali pengisian, baterainya tahan sampai 200 jam, tapi ini tentu tergantung seberapa terang lampu RGB-nya menyala.

Buat yang tertarik meminang Razer BlackWidow V3 Pro, silakan siapkan modal sebesar $230. Agak mahal memang, tapi setidaknya Anda masih dapat wrist rest yang empuk demi kenyamanan ekstra.

Sumber: Razer.

SteelSeries Perkenalkan Arctis 9, Headset Nirkabel untuk PC dan PS5

SteelSeries memperkenalkan headset gaming nirkabel baru, yaitu Arctis 9. Headset ini kompatibel dengan PC dan PlayStatoin 4. SteelSeries juga menjamin bahwa headset tersebut akan bisa digunakan pada PlayStation 5. Dilengkapi dengan konektivias Bluetooth dan 2,4GHz, Anda akan bisa menghubungkan Arctis 9 ke smartphone dan PS4/PC Anda. Ya, Arctis 9 memang memiliki desain dan fitur yang hampir sama dengan SteelSeries Artics 9X. Hanya saja, Arctis 9X ditujukan untuk pemilik Xbox One.

Arctis 9 memiliki baterai yang bisa digunakan hingga 20 jam. Pada ear cup sebelah kanan, Anda akan menemukan port Micro USB untuk mengisi baterai dari headset tersebut. Di sini, juga terdapat 3,5mm jack yang bisa Anda gunakan untuk menghubungkan Arctis 9 dengan kabel jika Anda mau.

Kebanyakan tombol pada Arctic 9 terdapat di ear cup sebelah kanan. Di sini, terdapat tombol untuk menyalakan headset, tombol untuk mematikan mikrofon, dan juga volume dial utama, yang berfungsi untuk menyesuaikan volume audio di game dan chat secara bersamaan.

SteelSeries Arctis 9
SteelSeries Arctis 9.

Sementara pada ear cup sebelah kiri, terdapat volume dial untuk menyesuaikan volume dari audio game dan chat secara terpisah. Di sini, Anda juga dapat menemukan mikrofon yang dapat ditarik. Ketika Anda menekan tombol mute, lampu indikator pada mikrofon akan menyala. Dengan begitu, Anda tidak perlu bingung apakah mikrofon headset dalam keadaan menyala atau mati. SteelSeries Arctis 9 dihargai US$200 atau sekitar Rp2,9 juta.

Baik Sony maupun Microsoft mengungkap bahwa mereka akan meluncurkan konsol next-gen mereka pada November 2020. Jadi, tidak heran jika perusahaan pembuat aksesori gaming berlomba-lomba untuk memperkenalkan headset baru yang kompatibel dengan konsol tersebut. Sama seperti Turtle Beach, SteelSeries biasanya meluncurkan headset yang berbeda untuk PS5 dan Xbox Series X. Namun, juga ada merek headset lain yang lebih memliih untuk menyediakan satu headset untuk kedua konsol next-gen itu.

Di tengah pandemi, semakin banyak orang yang menghabiskan waktu untuk bermain game. Hal ini mendorong mereka untuk membeli perangkat gaming. Menurut laporan Newzoo, Gen X pun ternyata menunjukkan ketertarikan untuk membeli aksesori gaming.

Sumber: The Verge, Engadget

Turtle Beach Luncurkan Generasi Baru Headset Gaming Wireless-nya

Sekitar tiga tahun yang lalu, Turtle Beach meluncurkan headset wireless pertama yang berlisensi resmi Xbox dan PlayStation, yaitu Stealth 700 dan 600. Keduanya sekarang sudah punya penerus, yakni Stealth 700 Gen 2 dan Stealth 600 Gen 2.

Timing peluncurannya tentu tidak mengejutkan. Microsoft telah mengumumkan bahwa Xbox Series X akan tersedia mulai bulan November 2020, dan kedua headset gaming baru ini memang dirancang supaya kompatibel dengan console next-gen tersebut. Seperti generasi sebelumnya, baik Stealth 700 Gen 2 maupun Stealth 600 Gen 2 juga tersedia dalam varian lain yang kompatibel dengan PS4 ataupun PS5.

Lalu apa saja yang baru dari kedua headset ini? Desainnya baru, meski memang tidak terlalu jauh berbeda dari generasi pertamanya. Mikrofon yang terpasang di earcup sebelah kiri lagi-lagi dapat dilipat kalau sedang tidak digunakan (dan otomatis di-mute dalam posisi terlipat). Bedanya mikrofonnya kini terlipat mengikuti kontur bodi sehingga kelihatan lebih seamless.

Deretan tombol pengoperasiannya kini diposisikan semua di earcup sebelah kiri, demikian pula port USB-C, yang tentu saja absen pada generasi pertamanya. Kedua perangkat sama-sama mengandalkan driver berdiameter 50 mm, akan tetapi driver milik Stealth 700 Gen 2 punya respon frekuensi sedikit lebih tinggi (20 – 22.000 Hz).

Perbedaan selanjutnya berkaitan dengan aspek kenyamanan. Stealth 700 Gen 2 datang membawa bantalan memory foam yang dilengkapi gel pendingin, sedangkan Stealth 600 Gen 2 hanya mengandalkan lapisan kain yang breathable. Konstruksi headband milik Stealth 700 Gen 2 juga melibatkan bahan logam demi menyajikan ketahanan yang lebih baik.

Buat yang berencana memakai headset gaming-nya untuk mendengarkan musik di smartphone, Stealth 700 Gen 2 juga merupakan pilihan yang lebih pas mengingat model inilah yang dibekali konektivitas Bluetooth. Dalam sekali pengisian, baterainya diyakini cukup untuk 20 jam pemakaian, sedangkan Stealth 600 Gen 2 sampai 15 jam.

Meski membawa sejumlah penyempurnaan, harga kedua headset rupanya sama persis seperti pendahulunya: Stealth 700 Gen 2 dibanderol $150, sedangkan Stealth 600 Gen seharga $100. Khusus untuk varian yang kompatibel dengan PlayStation, konsumen juga bisa memakainya dengan Nintendo Switch.

Sumber: Turtle Beach.

Razer BlackShark V2 Padukan Desain Klasik ala Headset Pilot Helikopter dengan Sejumlah Fitur Modern

Razer punya headset gaming baru, atau lebih tepatnya versi baru dari salah satu headset lawasnya. BlackShark V2 merupakan penerus langsung dari headset bernama sama yang Razer luncurkan sekitar 8 tahun silam, dan kalau Anda ingat dengan perangkat tersebut, bisa kita lihat bahwa Razer masih mempertahankan desain ala headset pilot helikopter pada BlackShark V2.

Desainnya tentu sudah disempurnakan. Dari segi visual, saya pribadi lebih suka generasi pertamanya yang kelihatan klasik, akan tetapi versi barunya ini sepintas terkesan lebih nyaman berkat bantalan kepala yang lebih tebal. Rangkanya terbuat dari bahan stainless steel, dan bobotnya cukup ringan di angka 262 gram.

Lapisan breathable yang membalut bantalan memory foam-nya diyakini dapat meminimalkan panas di sekitar telinga. BlackShark V2 tidak dilengkapi fitur active noise cancelling (ANC), tapi earcup-nya yang besar setidaknya bisa memberikan isolasi suara secara pasif. Satu hal yang paling saya suka dari desainnya adalah adanya kenop untuk mengatur volume di earcup sebelah kiri.

Terkait kualitas suara, BlackShark V2 mengandalkan driver TriForce Titanium berdiameter 50 mm rancangan Razer sendiri. Namanya merujuk pada tuning yang dilakukan secara terpisah di tiap-tiap rentang frekuensi (low, mid, high), dan menurut Razer desain semacam ini mampu bertindak seperti tiga unit driver yang terpisah.

Hadir sebagai pelengkap tentu saja adalah dukungan THX Spatial Audio seperti sejumlah headset Razer yang lain. Pun demikian, yang baru di sini adalah fitur spesifik bernama THX Game Profiles, yang dirancang untuk mengoptimalkan audio di tiap-tiap game yang berbeda. Sejauh ini, Razer bilang sejauh ini sudah ada 18 judul permainan kompetitif yang didukung oleh fitur ini.

THX Game Profiles sendiri dapat diaktifkan dengan dua mode yang berbeda: Environmental Mode atau Competitive Mode. Environmental dirancang untuk meningkatkan kesan immersive yang timbul, kedengarannya cocok untuk permainan singleplayer yang santai macam Red Dead Redemption 2, sedangkan Competitive dimaksudkan untuk positioning suara yang lebih akurat.

Untuk input-nya, BlackShark V2 datang membawa mikrofon tipe cardioid yang dapat dilepas-pasang. Karakter suara yang ditangkap mikrofonnya ini bisa diatur lebih lanjut via software, sebab BlackShark V2 turut dilengkapi sound card USB dalam paket penjualannya. Sayangnya komponen ini cuma kompatibel dengan PC, dan untuk perangkat lain BlackShark V2 cuma bisa disambungkan via jack 3,5 mm.

Razer BlackShark V2 saat ini telah dipasarkan seharga $100. Kalau itu terlalu mahal, Razer juga menyediakan BlackShark V2 X yang dihargai $30 lebih murah di Amerika Serikat. Desain keduanya cukup identik, hanya saja BlackShark V2 X tidak dilengkapi lapisan bantalan yang breathable seperti versi standarnya, dan kabelnya juga terbuat dari bahan karet biasa ketimbang yang sangat fleksibel (SpeedFlex) seperti di BlackShark V2.

Beberapa fitur versi standarnya juga sudah dipangkas. Yang paling utama, BlackShark V2 X tidak dilengkapi sound card USB, dan ia hanya menawarkan fitur virtual surround 7.1 generik ketimbang THX Spatial Audio. Unit driver-nya pun agak sedikit berbeda, tetap TriForce tapi tanpa balutan titanium.

Sumber: Razer.

Logitech Pro X Wireless Padukan Koneksi Rendah Latency dan Kinerja Mic yang Andal

Logitech punya banyak headset gaming, tapi salah satu yang paling unggul baru hadir tahun lalu, yakni Pro X yang dibekali teknologi pengolahan input audio mutakhir besutan Blue, perusahaan yang sudah malang-melintang di industri mikrofon sejak tahun 1995, dan yang sekarang sudah menjadi anak perusahaan Logitech.

Kalau ditanya apa kekurangan Pro X, mungkin sebagian besar konsumennya akan menjawab absennya konektivitas wireless. Keluhan mereka akhirnya terjawab hari ini. Logitech baru saja meluncurkan versi wireless dari Pro X, dan kalau Anda mengikuti perkembangan Logitech dalam satu atau dua tahun terakhir, tentu saja Anda tahu Pro X Wireless ini datang membawa embel-embel Lightspeed.

Sekadar mengingatkan, Lightspeed merujuk pada teknologi wireless racikan Logitech yang diyakini punya latency sangat rendah sekaligus koneksi yang amat stabil – ya asalkan Anda tidak berada lebih jauh dari 13 meter dari PC atau laptop tempat dongle USB-nya menancap – dibanding koneksi wireless 2.4 GHz pada umumnya. Lightspeed selama ini baru tersedia di keyboard dan mouse saja, dan Pro X menjadi debut perdananya di kategori headset.

Logitech tak lupa menjelaskan bagaimana Lightspeed juga berpengaruh positif terhadap efisiensi daya. Dalam sekali pengisian, baterai milik Pro X Wireless diyakini mampu bertahan sampai 20 jam pemakaian. Tentunya angka itu bisa berubah kalau pengguna juga aktif mengubah-ubah volumenya.

Bicara soal mengubah volume, Pro X Wireless dilengkapi kenop volume di earcup sebelah kirinya, di dekat port USB-C dan colokan 3,5 mm tempat mikrofonnya bernaung. Mikrofonnya ini bisa dilepas seandainya pengguna sedang ingin memakai headset hanya untuk mendengarkan musik saja, dan seperti yang saya bilang di awal, kompatibel dengan teknologi Blue VO!CE yang menjadi bagian dari software Logitech G Hub.

Selebihnya, Pro X Wireless tetap mempertahankan semua keunggulan versi berkabelnya, mulai dari konstruksi aluminium dan stainless steel yang premium sekaligus kokoh, serta driver 50 mm yang mendukung fitur surround 7.1 channel DTS Headphone:X 2.0 untuk menyajikan positioning secara presisi.

Terkait ergonomi, Pro X Wireless tetap hadir membawa dua set bantalan telinga yang bisa digonta-ganti seperti versi standarnya; satu yang berbalut kulit sintetis, dan satu lagi berlapis velour. Bobotnya secara keseluruhan cuma berkisar 370 gram.

Logitech Pro X Wireless rencananya akan dipasarkan mulai bulan Agustus. Di Amerika Serikat, harganya dipatok $200, cukup mahal dan terpaut $70 dari Pro X biasa yang sejatinya berfitur sama minus koneksi wireless.

Sumber: Logitech.