Langkah Awal Memvalidasi Ide Startup

Ide yang baik adalah awal untuk startup besar. Facebook, Google dan bahkan Go-Jek lahir dari ide dasar yang matang dan tentu dieksekusi dengan baik. Ada banyak ide yang bisa dihasilkan untuk sebuah bisnis startup, tapi hanya beberapa ide yang berhasil dan membuahkan hasil. Keberhasilan tentu bukan perkara ide saja, tapi ide yang valid dan ketepatan eksekusi adalah hal dasar yang paling utama.

Tips kali ini akan membahas mengenai bagaimana startup seharus mengelola ide. Sekali lagi, ide mungkin banyak, tetapi hanya beberapa yang pantas untuk dieksekusi segera. Lainnya mungkin menunggu waktu atau hanya sebuah ambisi yang eksekusinya masih harus masuk daftar tunggu.

Tulis terlebih dahulu

Sebagian besar orang kreatif memiliki cara tersendiri untuk mendapatkan ide. Ada yang keluar ruangan berjalan-jalan untuk menenangkan pikiran, ada juga yang mengurung diri di kamar sambil membaca setumpuk buku sambil menganalisis peluang apa yang bisa diciptakan. Yang paling beruntung, dalam proses melamun tiba-tiba mendapatkan ide atau gagasan awal mengenai problem yang ingin diselesaikan Intinya ide bisa datang dari mana saja.

Untuk membantu mengkurasi ide-ide terebut biasakanlah membuat catatan. Bawalah buku seukuran saku dan pena untuk berjaga-jaga barangkali ada gagasan yang muncul ketika di perjalanan. Atau jika ingin lebih sederhana aplikasi catatan di smartphone bisa jadi jalan keluar. Bentuk dan format catatan bisa menyesuaikan, tergantung kenyamanan masing-masing, bisa berupa tulisan atau rekaman suara. Catatan-catatan ini nantinya bisa jadi semacam gudang ide atau gagasan untuk bisa dibaca atau didengarkan ulang di hari-hari mendatang.

Cara paling sederhana adalah, mencatat masalah-masalah yang berpotensi untuk diselesaikan. Usahakan untuk tidak berangkat dari solusi yang spesifik, lengkap dengan fitur-fitur yang sudah disiapkan. Bisa jadi itu asumsi yang terlalu dini.

Mengevaluasi gagasan yang ada

Ketika ada waktu untuk me-review ulang gagasan-gagasan yang sudah dicatat, coba jawab pertanyaan-pertanyaan berikut untuk mengevaluasi mengenai ide dasar bisnis yang ingin dikembangkan:

  • Siapa target penggunanya? Pertanyaan ini harus dijawab dengan target yang lebih spesifik. Jangan biarkan pertanyaan ini mengambang dengan jawaban “semua orang”.
  • Masalah apa yang ingin diselesaikan? Tujuan menjawab pertanyaan ini adalah untuk membatasi asumsi berjalan terlalu jauh. Sebelum sibuk memikirkan fitur atau teknologi yang akan digunakan identifikasikan dengan pasti masalah apa yang sebernarnya ingin diselesaikan.
  • Bagaimana produk yang akan dikembangkan bisa memecahkan masalah? Setelah berhasil memahami masalah, pertanyaan ini menempatkan ide atau produk di posisi sejauh mana produk yang akan dikembangkan memberikan manfaat dan mampu menyelesaikan masalah.
  • Apa yang menjadi pembeda dan keunggulan? Di tengah industri startup yang mulai naik seperti sekarang akan sangat sulit menemukan ide yang benar-benar baru. Evaluasi selanjutnya apakah yang menjadi pembeda dibanding produk-produk yang sudah ada.

Mendalami gagasan dengan terjun langsung ke lapangan

Ada banyak cara untuk memvalidasi ide, seperti validasi menggunakan framework atau model canvas, ada juga validasi yang dilakukan dengan langsung terjun ke lapangan. Bisa merasakan langsung sebagai target pengguna atau sekedar wawancara dengan target pengguna.

Dalam wawancara tentu akan ada jawaban-jawaban yang menjadi bias. Yang perlu digarisbawahi adalah menyukai ide belum tentu menyukai produk. Terus gali jawaban dengan pertanyaan yang bernada “mengapa” untuk bisa membedakan, mana yang menyukai ide dan mana yang berharap bisa mendapatkan produk yang dikembangkan.


Sumber: Product Plan, Startupgrind

Silang Sengkarut Pajak E-Commerce di Indonesia

Ibarat kalimat, pajak e-commerce menjadi isu yang sepertinya akan selalu ada koma di dalamnya. Antara pemerintah dengan pelaku marketplace saling mengemukakan pendapatnya masing-masing, membuat isu ini jadi semakin sengkarut karena dorongan pelaku, yang ingin pemerintah lebih transparan dan terbuka dalam membuat aturan, belum memperoleh respon sejauh ini.

Secara makro, riset yang dilakukan Google dan Temasek memperkirakan nilai pasar e-commerce Asia Tenggara tahun 2017 ini mencapai sekitar $11 miliar dan bakal menjadi $88 miliar di tahun 2025. Indonesia menyumbang lebih dari 50% pangsa pasar tersebut.

Namun potensi tersebut menjadi pisau bermata dua, lantaran perkembangan teknologi yang pesat belum dibarengi regulasi yang memadai. Ada peluang sekaligus tantangan. Tak heran terjadi gonjang ganjing ketika membicarakan soal perpajakan di sektor e-commerce.

Gegar budaya

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyebut kejadian ini sebagai gegar budaya. Pemerintah belum mampu menyesuaikan diri secara cepat dengan perubahan yang terjadi. Aturan lama yang dulu dianggap sudah pas, ternyata kini jadi usang.

Menurutnya, masih banyak pihak yang keliru soal pemahaman soal cara berdagang online itu belum dipajaki. Kesalahpahaman ini sebenarnya masih di permukaan, belum menyentuh masalah mendasar. Yustinus berpendapat, sejatinya yang menjadi masalah dalam pajak e-commerce adalah bukan aktivitas mereka, melainkan cara memajaki dengan opsi yang paling efektif.

Dalam prakteknya, dunia e-commerce tidak sesimpel yang dipikirkan, tak sekadar berdagang secara fisik dan non fisik. Bisnis e-commerce itu sendiri ada berbagai jenis, ada yang berbentuk ritel online, marketplace, B2B, B2C, C2C, hingga kombinasinya. Ada juga yang berjualan di platform media sosial dan layanan OTT (over the top).

Usulan baru di rancangan peraturan pajak untuk layanan e-commerce / DailySocial
Usulan baru di rancangan peraturan pajak untuk layanan e-commerce / DailySocial

Kemudian soal cakupan layanannya, ada yang domestik dan lintas batas (cross border). Untuk domestik, aspek perpajakannya sama persis dengan berdagang konvensional: terutang PPN dan PPh sepanjang memenuhi syarat, tidak ada pengecualian. Ini yang kerap disalahpahami. Belum lagi wacana pemerintah yang ingin menjadikan pemain marketplace sebagai agen penyetor pajak.

Ketika pedagang menjual barang, jika omzetnya belum melebihi Rp4,8 miliar setahun (dianggap UKM), hanya bayar PPh Final 1%, di atas itu berlaku tarif umum (PPh 10%) yang dikenakan atas laba kena pajak. Pemerintah sendiri berencana menurunkan tarif PPh Final UKM tersebut menjadi 0,5%. Pihak pemain e-commerce, yang diwakili idEA, mendukung wacana ini.

Marketplace sebagai agen setor pajak

Agen penyetor pajak adalah perpanjangan tangan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengumpulkan, mendata, dan menyetor data pajak kepada pemerintah. Pemain marketplace sejauh ini masih menolak mentah-mentah bila amanat itu diberlakukan.

Isu tersebut dikhawatirkan membuat kenaikan biaya kepatuhan sebab marketplace harus menyiapkan sejumlah infrastruktur dan biaya tambahan yang relatif besar. Beban tersebut, menurut pihak idEA, tidak sebanding dengan platform media sosial yang tidak dibebani apapun.

“Makanya menurut saya masalahnya bukan dari siapa [obyek wajib pajak], melainkan bagaimana [memungut pajaknya]. Kan sekarang ributnya di siapa-nya. Si pemilik platform disuruh mungut [pajak], itu yang menurut saya wajar terjadi penolakan,” terang Yustinus kepada DailySocial.

Asosiasi melihat perlakuan yang berbeda mengenai kewajiban memiliki NPWP Virtual berpotensi membuat pelaku usaha meninggalkan model marketplace dan beralih ke media sosial sebagai lapak jualannya.

“Kita apresiasi untuk rencana menurunkan besaran persetase tarif PPh Final jadi 0,5% dari 1%. Namun untuk isu jadi agen penyetor pajak katanya mau ditugaskan ke perusahaan marketplace, jujur kita agak keberatan di situ karena semua beban jadi ada di kita padahal itu tugas DJP,” kata Ketua Bidang Pajak, Cybersecurity, Infrastruktur idEA Bima Laga kepada DailySocial.

Belum semua taat pajak

DailySocial mencoba untuk mewawancarai dua pedagang UKM yang mengembangkan bisnis berbeda dan keduanya memanfaatkan platform marketplace untuk usahanya.

Febby selama kurang lebih tiga tahun mulai usaha berdagang hijab. Awalnya dia iseng-iseng memasarkan produknya tersebut lewat Instagram. Kemudian mulai mencoba memanfaatkan marketplace Shopee sejak setahun belakangan.

Secara skala bisnis, usaha kecil-kecilannya tersebut belum bisa dikatakan besar, kadang naik dan turun. Dia pun masih mengerjakannya sendirian, kadang minta bantuan temannya untuk jadi model peraga. Dari penjelasannya, meski tidak disebutkan secara rinci, usaha Febby tergolong UKM beromzet setahun di bawah Rp4,8 miliar.

Febby mengaku belum pernah membayarkan pajak dari penghasilan yang ia dapat selama ini. Dia merasa usaha yang ia jalankan tersebut adalah sampingan, sekadar mengisi kegiatan di rumah. Lagipula, menurut dia pendapatannya tersebut tidak seberapa.

Kedua, Aziz (nama disamarkan), adalah karyawan perusahaan skala awal yang bergerak sebagai distributor barang elektronik. Perusahaan yang menaunginya tersebut memanfaatkan berbagai platform marketplace untuk menjual barang-barang, mulai dari Bukalapak, Tokopedia, Blibli, Blanja, Shopee, dan Elevenia.

Aziz membuka akun di seluruh platform tersebut atas nama perusahaannya. Ia sengaja membuka akun resmi agar mendapat kelebihan yang ditawarkan masing-masing platform dibanding akun non resmi.

Dia ambil contoh, waktu itu saat mendaftar akun resmi di Tokopedia ada sejumlah dokumen yang wajib disertakan. Mulai dari NPWP perusahaan, SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan), harus berbadan hukum, akte perusahaan, domisili, KTP pemilik usaha, dan TDP (Tanda Daftar Perusahaan).

“Karena perusahaan kami adalah distributor, Tokopedia juga minta dokumen resmi dari prinsipal yang menunjukkan bahwa kami itu hanya menyediakan barang resmi,” terang Aziz.

Karena akun perusahaan Aziz adalah toko resmi, maka perusahaan memberikan komisi dari setiap transaksi yang berhasil terjadi di dalam Tokopedia. Adapun soal perpajakan, dia mengaku setiap barang yang dijual sudah mengandung unsur pajak lantaran harga yang didapat dari prinsipal merupakan Suggested Retail Price (SRP). Setiap tahunnya pun, perusahaan rutin melaporkan hasil pendapatannya ke kantor pajak.

Edukasi itu penting

Dari kedua contoh kontras di atas bisa disimpulkan bahwa pemerintah masih memiliki jalan panjang untuk mengedukasi masyarakat sadar pajak. Di luar sana, ada banyak Febby-Febby lainnya yang berpikiran sama dan belum tentu semua perusahaan mengambil langkah serupa seperti yang dipilih perusahaan Aziz.

Oleh karenanya, pemerintah butuh solusi alternatif dengan mengubah fokus. Bukan pada apakah UKM yang memanfaatkan platform e-commerce adalah terutang pajak, melainkan cara paling efektif memajakinya.

“Cuma ada dua kemungkinan, enggak tahu dan enggak mau. Ini sama masalahnya dengan yang offline, belum tentu di situ rutin bayar pajaknya. Bisa jadi kemungkinannya mereka enggak tahu [kalau harus bayar pajak], ada juga yang tahu tapi enggak mau [bayar pajak]. Artinya behavior-nya sama saja, lalu apa yang membedakan [antara pedagang offline dengan online],” tutur Yustinus.

Lalu bagaimana cara untuk menjamin semua pedagang bayar pajak? Menurutnya, masalahnya terletak di proses registrasi NPWP. Solusi ini bisa pemerintah manfaatkan marketplace untuk mensyaratkan pendaftaran akun pedagang harus mencantumkan NPWP.

Cara tersebut sebenarnya sama saja ketika pemerintah pada saat mulai edukasi tahap awal untuk mendorong warga memiliki NPWP dan tercatat sebagai wajib pajak. Saat itu, pemerintah harus satu per satu datang ke rumah warga untuk mendaftarkan diri.

Bahkan proses edukasi masih terus dilakukan hingga kini. Bedanya, sekarang proses pendaftaran NPWP bisa dilakukan secara online, tidak perlu dengan kertas manual lagi.

“Sebenarnya enggak rumit. Pemerintah saja yang buat rumit. Sebaiknya pelaporan pajak dilakukan secara self assessment dulu mengingat proses administrasi dan infrastruktur kalau dilakukan online belum memadai. Terpenting adalah mulai dari kesadaran untuk registrasi NPWP, baru setelahnya mulai pikirkan cara memungutnya.”

Solusi berikutnya

Pemerintah selanjutnya perlu memikirkan pemecahan masalah tentang bagaimana cara memajaki yang paling efektif. Ada berbagai kasus studi yang ditempuh Korea Selatan dan Tiongkok dalam menghadapi masalah yang sama dengan Indonesia.

Korea Selatan misalnya, memungut pajak e-commerce lewat PPN dengan memanfaatkan gerbang pembayaran terintegrasi (payment gateway). Dari sana, setiap transaksi akan terekam dan pemerintah dapat lebih mudah memantaunya karena sumber pemasukan negara berasal dari sana.

Beda halnya pendekatan yang dilakukan Tiongkok. Negara tersebut memiliki rentang waktu untuk pengenaan PPN buat beberapa jenis barang yang dijual di e-commerce. Ambil contoh, barang X dikenakan pajak 2 persen selama sekian tahun, sedangkan barang XYZ dibebankan pajak sedikit lebih besar. Secara perlahan, barang-barang tersebut nilai PPN-nya jadi rata 10 persen.

Contoh PPh terhadap industri e-commerce di Korea Selatan dan Tiongkok / DailySocial
Contoh PPh terhadap industri e-commerce di Korea Selatan dan Tiongkok / DailySocial

“Yang terpenting adalah otomatisasi sistem adalah hal yang mutlak, sebab berhubungan dengan infrastruktur. Ketika orang belum teredukasi [soal pajak], tapi sudah disuruh bayar pajak, ya terang saja pada nolak semua.”

Yustinus berpendapat, kedua negara di atas memanfaatkan PPN untuk memungut pajak e-commerce karena mekanisme ini adalah solusi termudah. Memungkinkan dapat dipungut secara efektif dengan jumlah signifikan dibandingkan PPh. Maka dari itu, menurutnya pemerintah perlu pikirkan pengenaan PPN yang efektif dan bisa menarik wajib pajak baru.

Beberapa negara ASEAN memanfaatkan skema PPN final dengan tarif lebih rendah dari normal. Misalnya, India sebesar 1% (tarif normal 12,5%-15%), Thailand 4% (tarif normal 7%).

Kemudian, Vietnam tarif khusus 1% untuk individu yang menyelenggarakan bisnis e-commerce (di luar itu dikenakan tarif normal 10%), Filipina memungut 3% apabila omzet masih di bawah US$37.647 (tarif normal 12% akan diterapkan apabila omzet melebihi threshold).

Untuk pedagang di platform media sosial, menurut Yustinus, juga sebaiknya diperlakukan sama seperti marketplace. Menjadikan mereka sebagai gerbang untuk mendisiplinkan pedagang agar registrasi NPWP. Tidak bisa menjadikan platform media sosial sebagai agen penyetor pajak pula.

“Masalahnya adalah edukasi dan awareness. Kita ini mau instan, ada peluang mau diambil dan dipajaki. Ini bisa jadi kontraproduktif. Kalau sosmed sudah dipajaki, lari lagi pasti [pedagang] ke e-commerce luar negeri. Itu bisa lebih repot lagi,” tutupnya.

Associations Demand The Government to be Fair in Citing E-Commerce Taxes

Indonesia’s E-Commerce Association (idEA) demands Ministry of Finance act fairly regarding e-commerce tax regulation. It is expected to be applied in social media and other technology platforms of foreign companies.

Aulia E Marinto as idEA’s Chairman said on this matter, the government needs a clear vision of the fair treatment, including social media and other foreign platforms which presence is not even real in Indonesia.

Both platforms are making money out of Indonesia without having to pay any taxes. The distinct treatment is feared to make SME’s players left the marketplace and switch to social media.

“The regulation must be applied equally to create a balance,” said Marinto on Tuesday (1/30).

She admitted that the discussion on E-commerce tax regulation (RPMK) has been held several times by Directorate General of Taxation (DJP) and Fiscal Policy Agency (BKF) since last November.

However, the discussion is just a socialization of the taxation concept on e-commerce engaged in marketplace model, not the PMK Draft. Until recently, the association has not received any information regarding RPMK draft.

“We heard that the RMPK [Ministry of Finance Regulation (PMK) on the Tax Procedure for Electronic-based or e-commerce players] is getting released, but we have not received any draft. When it’s [draft] arrived, we can give further feedback.”

As idEA’s Head of Tax, Cybersecurity and Infrastructure, Bima Laga added that his team has heard the e-commerce regulation (PMK) will be issued at the end of this month or the beginning of February 2018.

“It [PMK] is said to be issued on January 31st or February 1st this year. Therefore, we demand public evaluation by holding this [press conference],” he explained.

He continued, demanding government’s guarantee to maintain level playing of field (same treatment), not only between online and offline SMEs but also among informal (social media) and formal (corporate) marketplace.

The marketplace is said to play a role in facilitating and assisting DJP to increase the number of new taxpayers, including tax deposits and online data transactions to the Central Bureau of Statistics (BPS).

“They are still looking for a way [citing tax from social media]. If there is no way, we’re ready to give inputs. Instead of issuing imbalance regulation, the price is not paid off,” he stated.

Selected as the taxpayer agent

In addition, the new regulation will require marketplace model as the taxpayer agent because it considered having implications for increasing compliance cost. As for Bima Laga, this regulation will take the marketplace at the burdened position to cut, deposit and report the final PPh.

The rise of compliance cost needs to get government’s attention because it can make a significant increase in taxpayer’s compliance. To fulfill the duty, the marketplace must prepare a number of infrastructures and additional cost.

To be illustrated, an SME’s seller from X marketplace is making a transaction worth Rp10 thousand. Whether he is not a Taxpayer Entrepreneur (PKP), there will be 0,5% tax cut. It will be reported and counted by the marketplace. What if there are issues with returns and others?

In this case, SME’s player of the marketplace will bear all risks. Whether the marketplace as a corporate, there will be no issue. It will be diverted to the seller.

“Marketplace initially used as wapu (compulsory collection) until finally become the tax agent. We are now collecting data and DJP function is our burden. There are lots of technical rules in being taxpayer agent, we do pity the sellers,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Asosiasi Minta Pemerintah Adil Mengutip Pajak E-Commerce

Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) meminta Kementerian Keuangan untuk berlaku adil terhadap pelaku e-commerce terkait mengutip pajak yang akan segera diterapkan. Hal ini diharapkan berlaku juga untuk platform media sosial dan platform teknologi lain yang berasal dari perusahaan asing.

Ketua Umum idEA Aulia E Marinto menuturkan perlakuan adil ini perlu didetilkan oleh pemerintah, termasuk untuk platform media sosial dan platform asal luar negeri lainnya yang bahkan kehadirannya tidak nyata ada di Indonesia.

Kedua platform tersebut memperoleh penghasilan dari Indonesia dan sampai saat ini tidak dibebani kewajiban pajak apapun. Dikhawatirkan perlakukan yang berbeda ini membuat pelaku UKM meninggalkan model marketplace dan beralih ke media sosial.

“Peraturan yang sama itu mutlak dijalankan supaya terjadi keseimbangan,” ujar Aulia, Selasa (30/1).

Aulia mengaku, diskusi mengenai RPMK Pajak E-commerce sudah beberapa kali diadakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) sejak November tahun lalu.

Namun diskusi tersebut baru berupa sosialisasi konsep pengenaan pajak pada layanan e-commerce yang berbisnis di model marketplace, bukan berupa draft PMK yang dimaksud. Hingga kini, asosiasi mengaku belum menerima draft soal isi RPMK tersebut.

“Yang kita dengar RPMK [Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Tata Cara Perpajakan Pelaku Usaha Perdagangan Berbasis Elektronik] ini mau keluar, tapi sampai sekarang kita belum terima draftnya. Kalau kami sudah terima [draft], kami bisa beri masukan lebih lanjut.”

Ketua Bidang Pajak, Cybersecurity, dan Infrastruktur idEA Bima Laga menambahkan pihaknya mendengar isu PMK pajak e-commerce akan diterbitkan pada akhir bulan ini atau awal Februari 2018.

“Katanya [PMK] akan terbit 31 Januari atau 1 Februari 2018. Makanya kami minta diuji publik, dengan mengadakan ini [konferensi pers],” terang Bima.

Bima melanjutkan, pihaknya juga meminta jaminan pemerintah untuk menjaga level playing of field (perlakuan sama), tak hanya antar pelaku UKM online dan offline, tapi juga antar marketplace informal (media sosial) dan marketplace formal (sudah berbadan hukum).

Disebutkan marketplace mendapat tugas agar turut berperan dalam memfasilitasi dan membantu DJP dalam meningkatkan jumlah wajib pajak baru, termasuk di dalamnya menyetorkan pajak dan memberikan data transaksi secara online ke Badan Pusat Statistik (BPS).

“Mereka sendiri mengaku masih mencari cara [mengutip pajak dari media sosial]. Kalau memang belum menemukan cara, kami siap beri masukan. Daripada aturan diterbitkan jadi memberatkan sepihak, harga yang harus dibayar terlalu mahal dikorbankan,” pungkas Bima.

Ditunjuk jadi agen penyetor pajak

Selain itu, dalam aturan terbaru ini nantinya pemerintah akan mewajibkan model marketplace sebagai agen penyetor pajak karena dinilai memiliki implikasi meningkatkan compliance cost atau biaya kepatuhan. Menurut Bima, kebijakan ini akan menempatkan marketplace pada posisi dibebani kewajiban untuk memotong, menyetor dan melaporkan PPh final.

Peningkatan biaya kepatuhan perlu mendapat perhatian pemerintah karena dapat mempengaruhi kepatuhan wajib pajak jadi naik relatif signifikan. Lantaran untuk melaksanakan kewajiban tersebut marketplace harus menyiapkan sejumlah infrastruktur dan biaya tambahan.

Bila diilustrasikan, ada transaksi dari penjual UKM dari marketplace X senilai Rp10 ribu. Jika dia bukan Pengusaha Kena Pajak (PKP), artinya dipotong dulu PPh 0,5%. Kemudian dilaporkan dan dihitung oleh perusahaan marketplace. Sementara ada isu kalau terjadi retur dan lain sebagainya?.

Dalam hal ini yang menanggung semuanya adalah pelaku UKM dari marketplace itu sendiri. Kalau marketplace sebagai korporasinya, tidak ada isu pajak. Justru akan kasihan ke penjual UKM.

“Wacana awalnya marketplace dijadikan sebagai wapu (wajib pungut) kemudian akhirnya jadi agen penyetor pajak. Jadi kita yang sekarang collect data, fungsi DJP dibebankan ke kita. Ada banyak sekali aturan teknis yang terjadi saat kami menjadi agen penyetor pajak, yang kasihan adalah penjual UKM,” pungkas Bima.

Roadmap E-Commerce: Asosiasi Soroti Isu Perpajakan

Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) menyoroti isu tentang persamaan perlakuan perpajakan antara pemain asing dan lokal, termuat dalam Peraturan Presiden No.74/2017 tentang Roadmap E-commerce. Sebagai langkah awal untuk mengatasi isu tersebut, asosiasi akan melakukan kajian bersama tim Pelaksana dan Project Management Office (PMO) e-commerce untuk menentukan patokan.

Patokan (benchmark) perlu dibuat agar aturan yang dilahirkan tidak memberatkan pemain lokal ataupun menguntungkan asing. Contohnya yang dilakukan pemerintah Tiongkok untuk meringankan beban pajak pemain e-commerce hanya diberlakukan bila mereka fokus pengembangan UKM lokal.

Mengingat isu ini cukup sensitif dan bersinggungan dengan aturan-aturan sebelumnya yang sudah berlaku, pihak idEA mendorong agar seluruh stakeholder saling sinkron satu sama lain.

“Di Indonesia hal ini [pajak e-commerce] belum ada dan tidak gampang untuk mengubah aturan, khususnya tentang perpajakan. Makanya kami butuh benchmark dan perlu lakukan kajian bersama tim PMO, mudah-mudahan kita bisa sama-sama merumuskan,” terang Ketua Bidang Pajak, Infrastruktur dan Cyber Security idEA Bima Laga, Rabu (16/8).

Dalam Perpres Roadmap E-Commerce, hanya disebutkan pada Februari 2018 pemerintah, dalam hal ini Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, merealisasikan inisiasi persamaan perlakuan perpajakan atas pelaku e-commerce asing dan lokal sesuai ketentuan yang berlaku.

Tidak hanya soal persamaan perlakukan dan insentif untuk investor, dalam aturan juga disebutkan inisiasi penyederhanaan pemenuhan kewajiban perpajakan. Inisiasi ini menyebutkan arahan kepada pemerintah untuk menyederhanakan tata cara perpajakan bagi pelaku usaha e-commerce dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun.

Pekerjaan berat

Ketua Umum idEA Aulia E. Marinto melanjutkan terbitnya aturan ini menjadi awalan untuk melanjutkan pekerjaan berikutnya mewujudkan Indonesia sebagai ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara senilai US$130 miliar pada 2020.

“Kita bekerja saja. Harus dicoba dan optimis untuk mencapai itu,” terang Aulia.

Meski begitu, prediksi tersebut bisa saja direvisi. Pasalnya angka tersebut masih sebatas proyeksi saja.

“Kita fokusnya potensi itu belum tereksplorasi. Yang sekarang [data valid] saja belum terungkap. Soal angka itu bisa revisi lagi. Tapi mengatakan angka itu sudah menggambarkan potensi, that’s good.”

Untuk itu dia mendorong seluruh pihak saling sinkron satu sama lain, agar aturan turunan yang dilahirkan dari perpres tidak merugikan salah satu pihak saja.

Kenduri Nasional E-UKM Digelar di Yogyakarta, Tingkatkan Implementasi Teknologi dalam Kewirausahaan

Berdasarkan temuan riset kerja sama BPS dan Bekraf, pada kisaran tahun 2010-2015 diperoleh data bahwa nilai produk industri kreatif meningkat rata-rata 10,14% per tahun. Jumlah tersebut menyumbang ekonomi nasional sekitar 7,66%. Dengan tren pertumbuhan tersebut ditargetkan pada tahun 2019 industri kreatif setidaknya akan menyerap tenaga kerja sekitar 17 juta orang dengan nilai ekspor sekitar Rp282 triliun lebih.

Di sisi lain, menurut data BPS, jumlah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berjumlah 56,5 juta (2016). Sayangnya, meski terkesan besar secara jumlah, angka itu sebenarnya memasukkan pengusaha mikro seperti petani, nelayan, pedagang asongan, hingga usaha sektor informal lainnya.

Setelah pada hari lalu (25/04) diluncurkan Panaya.id sebagai platform untuk promosi melalui kanal fansbase artis, hari ini (26/04) di Yogyakarta dalam rangkaian acara yang sama diadakan acara Kenduri Nasional E-UKM. E-UKM adalah sebutan bagi para UKM yang telah memanfaatkan kanal digital (marketplace, online store dan media sosial) sebagai sarana promosi dan publikasi produk dan jasa kreatif.

Sedangkan tema “kenduri” digunakan karena semangat kenduri adalah semangat bekerja sama, berpadu, dan menyatukan langkah untuk mencapai hasil yang terbaik.

Dengan adanya acara Kenduri Nasional yang berlangsung dua hari dari tanggal 26-27 April 2017 di Hotel Grand Tjokro Jogja, diharapkan UKM dapat saling bertemu, baik dengan sesama UKM maupun dengan pihak-pihak pendukung seperti penyedia platform & teknologi untuk mempercepat perkembangan UKM di Indonesia, sehingga UKM dapat memperoleh inspirasi, semangat, & jaringan baru.

Sebagai narasumber dalam acara tersebut, hadir pakar branding Subiakto Priosoedarsono, mentor usaha Jaya Setiabudi, CEO Marketplace Riyeke Ustadiyanto, pemilik Vanilla Hijab yang beromzet miliaran Atina, pakar Google Sales Edgart Hartono dan Robby Marolop, serta beberapa pemateri lainnya. Fokus materi adalah pada penyampaian kiat dari usaha yang sudah mereka jalankan, sehingga mampu menghasilkan banyak produk unggulan.

Riyeke Ustadiyanto, yang juga salah penggagas acara Kenduri Nasional E-UKM ini mengatakan, acara ini merupakan upaya bersama dari banyak pihak, untuk menjembatani kebutuhan UKM agar bisa maju bersama di dunia digital.

“Kami sedang menyiapkan tools automation UKM, yakni semacam sarana agar para UKM ini bisa langsung mudah berjualan ke dunia global melalui sarana digital. Hanya dengan bergabung, men-display produk, begitu ada pesanan dan sudah terbayar, barang langsung terkirim melalui jaringan logistik yang sudah terverifikasi. Mudah, cepat, menyenangkan, semua senang,” terang Riyeke.

Aulia E Marinto, ketua umum asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) yang turut menginisiasi acara ini mengatakan bahwa untuk mengembangkan dan memperkuat ekonomi digital, kita harus merangkul semua pihak, termasuk para pengusaha UKM di daerah.

“Pemerintah dan idEA bisa menjembatani hubungan baik tersebut dengan menyiapkan ekosistem yang mendukung kesiapan semua pihak, utamanya untuk mendorong UKM agar mampu jadi pengusaha E-UKM yang bukan saja siap dan komit tetapi juga berkualitas,” ujar Aulia.

Inisiasi Panaya Sebagai Dukungan Artis Indonesia Membangun Ekonomi Rakyat

Jika membahas tentang sektor UMKM di Indonesia, secara kasat mata saat ini terlihat pertumbuhan yang mulai signifikan, didukung oleh banyak faktor, salah satunya akses modal yang makin banyak dan proses digital yang memudahkan. Namun jika menelisik lebih lanjut, dengan membandingkan rasio dengan sebaran UMKM di negara lain, menurut data dari Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) jumlah wirausaha Indonesia baru mencapai 3,1 persen dari jumlah penduduk. Lebih rendah jika dibandingkan negara seperti Malaysia (5%), Tiongkok (10%), Singapura (7%), Jepang (11%) maupun Amerika Serikat (12%).

Kendati demikian banyak hal yang membuat berbagai kalangan optimis dengan peningkatan rasio UMKM di Indonesia. Salah satunya didukung oleh laju perdagangan online yang signifikan. Kominfo memprediksikan bahwa nilai bisnis e-commerce akan mencapai Rp1.710 triliun pada 2020 mendatang. Selain didukung konsumen digital yang makin mapan, hal ini juga banyak melibatkan manuver kalangan pengusaha kecil menengah di masyarakat.

Panaya.id sebagai salah satu sinergi memajukan UMKM lewat digital

Namun Bekraf menganggap perlu adanya sinergi dengan berbagai pihak tatkala berbicara memajukan UMKM. Eekonomi kreatif, yang berbasis modal kreativitas sumber daya manusia, berpeluang mendorong daya saing bangsa di masa depan.

“Bekraf mendorong pertumbuhan industri kreatif sebagai tulang punggung ekonomi kreatif dan inilah cita-cita kami bersama, kami mengharapkan adanya perubahan paradigma dari para pelaku industri. E-commerce merupakan salah satu infrastruktur ekonomi kreatif yang diharapkan dapat melakukan akselerasi pertumbuhan penjualan produk-produk kreatif anak bangsa Indonesia, baik di pasar domestik maupun pasar global,” ujar Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Sungkari.

Hal tersebut direalisasikan dengan kerja sama yang dijalin bersama Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA), para artis, dan pelaku UMKM Indonesia. Salah satu perwujudan dari sinergi tersebut ialah inisiasi platform Ekonomi Rakyat Digital bernama Panaya. Panaya didesain menjadi platform yang membantu UKM dalam menggunakan media sosial para artis sebagai alat menjalankan bisnisnya.

Panaya sendiri secara resmi bisa digunakan pada tanggal 9 Mei 2017 mendatang.

“Kami bergembira dengan sambutan positif untuk mendukung program pemerintah dan idEA untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan digital. Melalui platform Panaya.id ini para artis akan membantu produk lokal agar dapat menjangkau seluruh Nusantara. Para artis juga mengajak puluhan juta follower-nya untuk menjadi peritel dengan syarat yang sangat sederhana,” ungkap CEO Panaya.id Hero Tjokroardi.

Melalui saluran follower dan fans para artis, didukung penuh oleh pemerintah, dan dibantu penyebarannya melalui jaringan e-commerce anggota idEA, diharapkan ke depan akan muncul pengusaha UMKM yang siap jadi e-UKM murni. Jika hal tersebut bisa diberdayakan, angka wirausahawan sukses Indonesia akan terus naik. Ujungnya, akan memperkuat ekonomi nasional secara keseluruhan.

Fokuskan Akselerasi Ekonomi Digital, IESE 2017 Kembali Digelar

Tahun 2017 Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) bakal menggelar kegiatan Indonesia E-Commerce Summit dan Expo (IESE) pada bulan Mei mendatang. Perhelatan rutin yang telah digelar kedua kalinya nanti, akan memfokuskan kepada penerapan serta implementasi dari roadmap plan e-commerce yang lahir dari kegiatan IESE 2016 silam.

Kepada media hari ini, CEO Blanja yang juga menjabat sebagai ketua umum idEA Aulia Marinto menyebutkan, IESE 2017 yang akan digelar pada tanggal 9-11 Mei 2017 di ICE BSD, diharapkan bisa merangkul lebih banyak pelaku pelaku UKM, penggiat startup, stakeholder hingga regulator untuk bersama menemukan solusi dari semua permasalah yang ada.

“idEA sebagai satu-satunya asosiasi e-commerce di Indonesia tentunya berharap bisa menjadi kegiatan positif yang bisa membantu ekosistem e-commerce di Indonesia.”

Memajukan ekosistem digital ekonomi Indonesia

Terdapat 5 pilar yang akan dibahas secara tuntas oleh idEA dalam kegiatan IESE 2017 mendatang. Masing-masing poin tersebut memiliki impact dan tentunya berkaitan satu dan lainnya. Di antaranya adalah akselerasi growth digital ekonomi, merangkul lebih banyak penjual offline ke online, mempromosikan usaha lokal menjadi global, perhatian khusus terkait logistik hingga pembahasan yang cukup sensitif saat ini, yaitu talenta.

“Semua permasalahan yang ada akan di bahas tuntas bersama semua pihak terkait. Kita juga akan mengundang regulator dan Bekraf untuk mempercepat proses akselerasi serta mengimplementasikan hasil dari kegiatan selama tiga hari tersebut,” kata Aulia.

Saat ini idEA mengklaim telah memiliki sekitar 300 perusahaan dari kategori online ritel, marketplace, daily deals, classified ads, price comparison, travel, sistem pembayaran, logistik dan beberapa partner strategis terkait.

“Diharapkan nantinya produk yang masih offline bisa bekerja sama dengan perusahaan online, sehingga bisa memperbesar kemungkinan memperoleh pembeli lebih luas lagi. Sebaliknya online retailer yang memiliki inventory online juga bisa memanfaatkan kehadiran toko offline untuk memperbanyak produk yang dijual. Inilah kerja sama yang saling menguntungkan yang akan memajukan ekosistem digital ekonomi Indonesia di masa depan,” tutup Aulia.


Disclosure: DailySocial merupakan media partner pagelaran Indonesia E-Commerce Summit dan Expo (IESE) 2017.

idEA dan Kemenkominfo Sosialisasikan “Safe Harbour Policy”

Dalam Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2016 yang diterbitkan akhir tahun 2016 lalu, secara jelas tertulis mengenai aturan untuk penyelenggara e-commerce, baik penyedia platform e-commerce yang bersifat user generated content (UGC) maupun pedagang (merchant) atau yang disebut Safe Harbour Policy.

Meskipun bentuknya masih dalam bentuk Surat Edaran, pemerintah melalui Kementerian Kominfo belum bersedia untuk membuat Peraturan Menteri serta memberikan sanksi atau hukuman kepada pelaku dalam hal ini penjual yang secara ‘nakal’ mengunggah konten (barang/jasa) yang dilarang di platform e-commerce atau marketplace.

“Saya melihat tidak bisa secara langsung dibuat Peraturan Mentri terkait dengan Safe Harbour Policy ini, karena dinamika layanan e-commerce yang kerap berubah. Peraturan Menteri sifatnya adalah mutlak dan jelas, sehingga agak sulit diterbitkannya Peraturan Menteri segera. Dengan adanya Surat Edaran diharapkan bisa menjadi langkah awal,” kata Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara kepada media hari ini.

Surat Edaran ini berusaha memberikan rasa aman dan memberikan jaminan bagi pengguna layanan e-commerce (UGC). Surat edaran ini secara spesifik mengatur kewajiban dan tanggung jawab penyedia platform layanan e-commerce dan merchant dalam mengunggah konten dagangan produk atau jasa mereka.

“Dengan Surat Edaran ini secara langsung bisa ditetapkan batasan tanggung jawab secara jelas, sehingga pihak layanan e-commerce seperti Tokopedia tidak lagi menjadi pihak yang bertanggung jawab, ketika ada penjual yang menjual barang atau jasa yang tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku,” kata CEO Tokopedia William Tanuwijaya selaku Pengawas Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA)

Penyedia platform diwajibkan menyediakan sarana pelaporan, melakukan tindakan terhadap aduan, hingga memperhatikan jangka waktu penghapusan dan/atau pemblokiran terhadap pelaporan konten (penjual) yang dilarang.

“Dengan adanya Surat Edaran ini adalah satu langkah untuk edukasi kepada seluruh stakeholder di Indonesia, sehingga kalau misalnya ada masalah, tidak perlu dipanggil secara offline para pendiri dari layanan e-commerce ke kantor polisi atau pihak terkait lainnya, namun ada prosedur online yang bisa ditempuh terlebih dahulu,” kata William.

Sosialiasi dan edukasi kepada anggota idEA

Sebagai asosiasi yang menjadi wadah para pelaku layanan e-commerce di Indonesia, idEA bertanggung jawab untuk melakukan sosialisasi kepada anggota untuk selalu memperhatikan konten yang tidak sesuai dengan ketentuan serta membuat pilihan laporan di masing-masing platform. Aulia E. Marinto selaku CEO Blanja sekaligus Ketua Umum idEA menghimbau pelaku layanan e-commerce lebih agresif melakukan sosialisasi dan edukasi.

“Dengan adanya Surat Edaran ini artinya sudah ada pintu untuk melaporkan jika adanya barang-barang yang dijual dengan memanfaatkan platform terkait tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku dan berisiko membahayakan. Nantinya laporan tersebut bisa diteruskan kepada pihak terkait [Polisi, BPOM] untuk kemudian ditindaklanjuti,” kata Aulia.

Aulia kembali menegaskan karena sifatnya adalah laporan, idEA maupun Kementerian Kominfo tidak bisa langsung memberikan sanksi atau hukuman kepada penjual nakal tersebut. Masing-masing layanan e-commerce berhak untuk menerapkan prosedur masing-masing mulai dari memberi peringatan hingga penurunan konten.

“Dengan adanya Safe Harbour Policy ini setidaknya kami dari pelaku industri merasa lebih nyaman untuk mengembangkan industri, sehingga kami bisa fokus untuk berinovasi dengan beragam layanan,” kata Aulia.

Saat ini Surat Edaran belum mengatur bagi pemain user generated content (UGC) asing seperti Facebook, Twitter dan Instagram. Platform tersebut tidak bersifat lokal sehingga masih belum bisa disertakan dalam Surat Edaran yang ada saat ini. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan bakal dibuat aturan lebih jelas untuk platform UGC asing tersebut.

Paket Kebijakan Ekonomi XIV dan Urgensi Aturan untuk Industri E-Commerce

Bisnis e-commerce atau perdagangan digital yang dijalani Lazada, Berrybenka, Zalora, Bhinneka, atau lainnya adalah bisnis yang memiliki potensi besar. Pemerintah pun harus turun tangan untuk mengatur dan membuat regulasi, yang kemudian dituangkan ke dalam Paket Kebijakan Ekonomi XIV yang baru saja terbit. Namun, pernahkah di benak Anda muncul pertanyaan mengapa hanya sektor e-commerce saja yang diatur pemerintah, sedangkan bisnis digital sendiri ada banyak jenisnya?

Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Aulia Ersyah Marinto memberikan suaranya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dia bilang, masyarakat harus memandang sektor e-commerce sebagai sesuatu yang sifatnya transaksi online yang menjadi payung utama dari seluruh industri pendukung, mulai dari logistik, pembayaran, UKM sebagai penyuplai, pembuat aplikasi, infrastruktur, dan lainnya.

“E-commerce itu masih istilah umum saja, tidak tertentu hanya menjadi model bisnis pemain tertentu yang sudah besar saja berjualan fesyen atau elektronik saja. Dalam peta jalan e-commerce, adalah transaksi online yang melibatkan banyak pihak,” terangnya saat dihubungi DailySocial, Jumat (11/11).

Dia melanjutkan, keanekaragaman industri dalam ekosistem e-commmerce juga tercermin dalam anggota yang terdaftar di idEA. Dari total anggota 285 perusahaan, itu terdiri atas berbagai ranah bisnis. Mulai dari perbankan, infrastruktur, iklan baris, logistik, marketplace, ritel online, payment gateway, travel, dan lainnya.

Aulia mengatakan, “E-commerce jadi perlu didorong oleh pemerintah sebagai langkah percepatan pertumbuhan ekonomi digital. Maka dari itu lahirlah Paket Kebijakan Ekonomi XIV.”

Pemerintah ingin tangkap potensi valuasi bisnis digital $10 miliar di 2020

Dikutip dari Antara, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menegaskan bahwa Indonesia memang memerlukan peta jalan e-commerce untuk dapat memperluas dan meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat secara efisien dan terkoneksi secara global. Ini untuk mendukung visi yang dimiliki pemerintah yang ingin menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kapasitas ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara pada 2020.

Indonesia sendiri saat ini adalah salah satu negara dengan pengguna internet terbesar di dunia yang jumlahnya mencapai 93,4 juta orang dan memiliki pengguna smartphone mencapai 71 juta. Potensi besar inilah yang menjadi alasan pemerintah untuk menciptakan 1.000 technopreneurs dengan valuasi bisnis sebesar $10 miliar dan nilai industri e-commerce mencapai $130 miliar di tahun 2020.

“Peta jalan e-commerce sekaligus dapat mendorong kreasi, inovasi, dan inovasi kegiatan ekonomi baru di kalangan generasi muda. Pemerintah merasa perlu menerbitkan Peraturan Presiden tentang peta jalan tersebut,” ujar Darmin, kemarin (10/11).

Ada delapan fokus utama kebijakan dari peta jalan e-commerce

Dalam Perpres tentang Peta Jalan E-Commerce ini ada delapan fokus utama kebijakan yang menjadi perhatian pemerintah, yaitu pendanaan, perpajakan, perlindungan konsumen, pendidikan SDM, logistik, infrastruktur komunikasi, keamanan siber, dan project management office (PMO).

[Baca juga: Ringkasan Peta Jalan E-Commerce Indonesia]

Untuk perpajakan, pemerintah akan memberikan insentif pengurangan pajak bagi investor lokal yang berinvestasi di startup, menyederhanakan izin bagi startup e-commerce yang omzetnya di bawah Rp4,8 miliar dengan PPh final 1%.

“Kita khawatir kalau enggak diatur pajak ini, malah susah. Tapi kalau dibilang pajaknya mengikuti standar yang berlaku, sampai dengan omzetnya capai Rp4,8 miliar ya kenanya 1%,” terang Darmin, dikutip dari Bisnis.

Peta jalan juga merinci pendanaan untuk mempermudah dan memperluas akses e-commerce dengan beberapa skema. Contohnya, KUR untuk tenant pengembangan platform, hibah dari pemerintah untuk inkubator bisnis bimbingan, dan dana Universal Service Obligation (USO) untuk UMKM digital dan startup e-commerce.

Di samping itu juga akan mengatur perihal angel capital yang diperlukan startup saat masih tahap merugi, seed capital dari Bapak Angkat, dan crowdfunding yang dananya dihimpun dari kelompok tertentu.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menambahkan pemerintah masih mengkaji perihal besaran dana bantuan pemerintah dan bentuk dukungan yang bakal diberikan oleh pemerintah untuk startup yang potensial. Bentuknya bisa berupa subsidi atau hibah.

“Atau bisa kombinasi dari keduanya. Sumber dananya dari APBN atau dari PNBP. Ini sedang disiapkan,” ucapnya.

Dia menjanjikan 31 inisiatif yang merupakan pokok turunan dari delapan poin utama paket kebijakan, aturannya ditargetkan dapat rampung pada Januari 2017.