Rencana Lazada Indonesia untuk Kanal Khusus Produk dari Marketplace Taobao

Sebagai layanan e-commerce yang sudah menjadi bagian dari Alibaba Group, pertengahan bulan September 2017 lalu Lazada Indonesia menghadirkan kanal khusus yang menjual produk murah dan beragam dari marketplace asal Tiongkok, Taobao. Selain di Lazada Indonesia, layanan khusus ini juga sudah hadir di Lazada Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand.

Kepada DailySocial CMO Lazada Indonesia Achmad Alkatiri mengungkapkan, layanan ini sengaja dihadirkan untuk merangkul lebih banyak lagi konsumen di Lazada Indonesia. Untuk koleksi sendiri cukup beragam, mulai dari fesyen, elektronik hingga aksesoris.

“50% assortment dari Koleksi Taobao adalah produk fesyen, diikuti produk elektronik dan aksesoris, peralatan olahraga, anak dan bayi kemudian produk home and living,” kata Alkatiri.

Pengiriman langsung dan bebas ongkos kirim

Untuk memastikan produk yang dipesan bisa segera tiba di rumah pembeli, proses pengantaran produk koleksi Taobao memakan waktu maksimal 14 hari, sejak konfirmasi transaksi diterima. Semua produk Koleksi Taobao langsung dikirimkan dari para penjual di Tiongkok ke salah satu hub Lazada Indonesia sebelum dikirimkan ke masing-masing konsumen dalam satu paket sekaligus.

“Dengan proses ini memberikan kemudahan bagi konsumen yang membeli berbagai macam barang dalam 1 transaksi. Karena konsumen cukup menerima satu paket berisikan berbagai macam barang tersebut, tidak perlu menunggu datangnya barang berkali-kali,” kata Alkatiri.

Hal tersebut diklaim Lazada Indonesia membedakan proses pengantaran saat ini yang dilakukan jika pembelian dalam jumlah banyak di penjual yang berbeda. Untuk pembayaran, Lazada Indonesia juga menyediakan pilihan COD (cash on delivery) di seluruh Indonesia.

Selain harga yang terjangkau dan pilihan terbilang besar jumlahnya, Lazada Indonesia memberikan layanan lebih berupa bebas ongkos kirim kepada pembeli, dengan berbelanja minimal Rp. 150,000.

“Target kita adalah untuk terus menjadi situs destinasi belanja online terlengkap dan terkemuka di Asia Tenggara dan Indonesia, dengan menghadirkan berbagai pilihan produk terbaik dengan harga yang terjangkau untuk menjawab keperluan masyarakat kita yang majemuk,” kata Alkatiri.

Tantangan baru untuk layanan e-commerce lokal

Sebelumnya DailySocial sempat menanyakan pendapat investor hingga pimpinan startup layanan e-commerce terkait dengan kehadiran Taobao di Lazada Indonesia. Semua pendapat tersebut mengerucut kepada tantangan hingga gangguan yang bakal di hadapi layanan e-commerce lokal di Indonesia.

Dengan harga yang murah, pilihan produk beragam dalam jumlah yang besar hingga pengiriman yang cepat, hingga bebas ongkos kirim, tentunya menjadi penawaran yang lebih kepada konsumen.

Seperti yang diungkapkan oleh Co-Founder dan Managing Partner Ideosource Edward Chamdani.

“Pasti akan berpengaruh karena akses seluruh merchant Taobao akan bisa di akses oleh konsumen Lazada. Jadi tergantung seberapa kuat Lazada bisa menaikkan online traffic dan reach-nya tentu akan berpengaruh terhadap layanan e-commerce lainnya. Apalagi kalau logistik (time to delivery) sudah makin cepat.”

Dengan strategi yang tepat dan lebih fokus kepada kualitas produk, menurut CEO Berrybenka Jason Lamuda bisa menjadi cara tepat untuk bisa bersaing dengan produk asal Tiongkok tersebut.

“Seperti kita ketahui, produk dari Tiongkok terkenal dengan murahnya karena mereka memproduksi barang dalam jumlah besar. Hal baiknya untuk Berrybenka, produk yang kita jual adalah pakaian yang sifatnya preferensi, bukan barang komoditas,” kata Jason.

Application Information Will Show Up Here

Strategi Layanan E-commerce Lokal Menghadapi “Serangan” Produk Asal Tiongkok

Beberapa waktu yang lalu layanan e-commerce yang saat ini telah dimiliki  Alibaba, Lazada, meluncurkan kanal khusus Taobao untuk produk fesyen, elektronik hingga keperluan anak di situs dan aplikasi Lazada. Masuknya Taobao ke Indonesia melalui Lazada, telah membuka kesempatan merchant asal negara Tiongkok tersebut untuk menjual semua produknya dengan harga murah.

Taobao sendiri merupakan situs berbelanja yang didirikan Alibaba Group pada bulan Mei tahun 2003. Sebuah situs yang saat ini sudah menjadi salah satu main player untuk pasar elektronik komersial Tiongkok. Pada tahun 2011, Taobao telah dibagi menjadi 3 perusahaan berbeda, yaitu eTao, Taobao Mall, dan Taobao Marketplace.

Kehadiran Taobao di situs Lazada tentunya bukan menjadi hal yang mengejutkan. Masuknya Alibaba sebagai pemilik memungkinkan produk asal Tiongkok lebih mudah masuk ke Indonesia melalui Lazada. Dari pantauan DailySocial, produk yang masuk kebanyakan produk yang diminati penggemar belanja online di tanah air yang mencari harga murah dengan produk beragam asal negara Tiongkok.

DailySocial  mencoba melakukan konfirmasi ke Lazada Indonesia tentang rencana terhadap kanal Taobao ini ke depannya, namun belum mendapat balasan.

Bakal mengganggu layanan e-commerce lokal

Dengan lebih dari 760 juta produk yang terdaftar pada tahun 2013, Taobao marketplace menjadi yang paling banyak dikunjungi di Tiongkok.

Kehadiran layanan marketplace popular asal Tiongkok ini ternyata dipandang bakal memberikan efek yang cukup negatif kepada layanan e-commerce dan marketplace lokal, mengingat popularitas produk asal Tiongkok yang dikenal murah harganya dan memiliki pilihan yang sangat beragam.

Menurut CEO Berrybenka Jason Lamuda, untuk membedakan dan nantinya bisa tampil lebih unggul terhadap produk asal Tiongkok, diperlukan strategi yang cukup kuat, mulai dari kualitas hingga eksklusivitas. Agar nantinya secara organik, pembeli yang benar-benar mencari produk dengan kualitas terbaik, bisa memilih Berrybenka dengan berbagai produk yang dimiliki.

“Hadirnya produk asal Tiongkok dalam brand Taobao tentunya memberikan impact cukup besar bagi para pemain lokal atau UMKM secara keseluruhan. Seperti kita ketahui, produk dari Tiongkok terkenal dengan murahnya karena mereka memproduksi barang dalam jumlah besar. Hal baiknya untuk Berrybenka, produk yang kita jual adalah pakaian yang sifatnya preferensi, bukan barang komoditas,” kata Jason.

Berrybenka sendiri saat ini lebih mengarah kepada curated fashion. Produk yang dijual pun secara desain lebih eksklusif dan mengutamakan penjualan di channel  Berrybenka baik online maupun offline.

Mengambil pelajaran dari Amazon vs Flipkart di India

Dari sisi investor, apa yang telah dilakukan Lazada dengan menghadirkan merek popular asal Tiongkok Taobao bakal mengganggu industri e-commerce lokal nantinya.

Menurut Co-Founder dan Managing Partner Ideosource Edward Chamdani kepada DailySocial:

“Pasti akan berpengaruh karena akses seluruh merchant Taobao akan bisa di akses oleh konsumen Lazada. Jadi tergantung seberapa kuat Lazada bisa menaikkan online traffic dan reach-nya tentu akan berpengaruh terhadap layanan e-commerce lainnya. Apalagi kalau logistik (time to delivery) sudah makin cepat.”

Ditambahkan Chamdani, agar layanan e-commerce lokal bisa bersaing dan tampil lebih unggul dengan kehadiran brand asal Tiongkok ke Indonesia, bisa mengambil contoh apa yang sudah dilakukan Amazon India melawan Flipkart dan Snapdeal.

“Amazon fokus ke NPS (net promoter score) di mana layanan ke konsumen dibuat sebaik mungkin sehingga menjadi viral dengan sendirinya. Hal tersebut bisa menjadi salah satu strategi,” kata Chamdani.

Sudah menjadi hal yang “biasa”

Berbeda dengan Jason Lamuda dan Edward Chamdani, menurut Founder dan Managing Partner Convergence Ventures Adrian Li, hadirnya produk asal Tiongkok Taobao melalui Lazada tidak akan berpengaruh kepada layanan e-commerce lokal dan UMKM di Indonesia. Selama ini sudah banyak layanan e-commerce dan marketplace yang menjual secara langsung produk asal Tiongkok tersebut melalui platform masing-masing.

“Sudah banyak barang asal Tiongkok masuk ke berbagai negara. Buat saya hal tersebut tidak memberikan pengaruh kepada layanan e-commerce dan marketplace seperti Lazada hingga Tokopedia yang menjual produk tersebut.”

Adrian Li bersama Convergence Ventures selama ini cukup aktif membawa investor asal Tiongkok masuk ke Indonesia untuk menjadi investor. Hadirnya Taobao melalui Lazada justru dipandang positif olehnya.

“Saya lihat bukan hanya layanan e-commerce dan marketplace besar saja di Indonesia yang memasok produk asal Tiongkok tersebut, bisnis UMKM juga banyak yang menjual produk tersebut,” kata Adrian.

Dukungan pemerintah dan kemudahan investor berinvestasi

Pada akhirnya kesuksesan layanan e-commerce lokal bakal terwujud dengan adanya dukungan pemerintah. Tidak hanya memberikan kejelasan soal aturan dan regulasi, namun juga dalam hal ekosistem permodalan yang harus ditingkatkan lagi.

“Peran pemerintah tentu tidak bisa dihilangkan karena same level playing field dibutuhkan juga. Dengan free import duty/custom untuk produk di bawah $100 ini saja sudah berpengaruh dari traffic pengiriman yang langsung meningkat,” kata Chamdani.

Ditambahkan Chamdani, saat ini banyak investor lokal tertarik untuk investasi ke layanan e-commerce maupun perusahaan digital di Indonesia, namun belum ada instrumen yang baku dan mudah bagi mereka untuk masuk.

Keleluasan untuk melakukan initial public offering (IPO) bagi startup lokal yang saat ini dinilai sudah mampu, menurut Chamdani, juga bisa mempengaruhi posisi layanan e-commerce lokal tampil lebih unggul dibandingkan dengan pemain asing. Meskipun sudah banyak startup lokal yang mengalami pertumbuhan secara cepat dan positif, namun belum banyak yang bisa go public.

Salah satu alasannya adalah peraturan yang mengharuskan perusahaan skala kecil dan menengah wajib memiliki aset minimal Rp100 miliar sebelum masuk bursa dan maksimal pendanaan yang dapat diperolehnya hanya Rp40 miliar. OJK akan membuka pintu bagi perusahaan atau startup dengan aset di bawah Rp50 miliar untuk melakukan penawaran saham perdananya.

“Saya melihat ada 2 startup lokal yang akan IPO tahun ini namun masih melalui jalur biasa. Banyak startup lainnya belum bisa masuk ke dalam kriteria bisa IPO seperti 2 startup tersebut. Tentu akan sulit memenuhi kriteria yang cukup berat dari sisi biaya, kesanggupan untuk profitable dalam waktu 1 tahun dan syarat lainnya,” kata Chamdani.

Pada akhirnya, untuk bisa bertahan menghadapi kompetisi yang makin sengit, layanan e-commerce lokal sudah harus bisa memberikan produk dengan kualitas yang lebih baik dan tentunya membina hubungan baik dengan konsumen.

Marketplace Otomotif RajaMobil Terima Pendanaan Eksternal Perdana yang Dipimpin Ideosource

Marketplace otomotif RajaMobil mengumumkan perolehan pendanaan eksternal perdana, dengan nilai yang tidak disebutkan, dipimpin oleh Ideosource. Terlibat dalam pendanaan kali ini perusahaan modal ventura lainnya Stellar Capital, beserta beberapa nama investor individu TP Rachmat dari Triputra Group, Boy Thohir, Fatimah Kalla, dan Erick Thohir melalui Beyond Media (Mahaka Group). TP Rachmat dan Boy Thohir akan masuk ke dalam Board Advisor di RajaMobil.

Di luar nama-nama tersebut, Assa Rent, Nasmoco, dan beberapa perusahaan otomotif lainnya juga disebut berpartisipasi dalam penggalangan dana ini. RajaMobil juga mendapat dukungan konsorsium beberapa dealer mobil ternama yang tertarik menanamkan modal mereka.

“Selama dua tahun terakhir kami mengembangkan RajaMobil khusus untuk mobil baru. Karena kami fokus bermain di sektor vertikal, traksinya cukup baik sehingga dapat menarik pendanaan segar yang dipimpin Ideosource. Ini pendanaan eksternal perdana kami dan tidak menyebutnya dengan tahap awal, pra seri A, atau lainnya,” terang CEO RajaMobil Dien Wong, Rabu (6/9).

Dia melanjutkan pendanaan segar ini mayoritas akan digunakan untuk menggencarkan strategi pemasaran yang agresif dan mengembangkan produk agar semakin diterima masyarakat.

Jaringan investor yang rata-rata berkecimpung di dunia otomotif diharapkan menjadi amunisi bagi perusahaan untuk memperkuat posisinya di tanah air. Hal ini sekaligus mewujudkan target kontribusi penjualan ke nasional menjadi 1% dari sebelumnya 0,1%.

Sebagai gambaran, pada tahun lalu total penjualan mobil baru secara nasional mencapai kisaran Rp200 triliun. Dari angka tersebut, RajaMobil mengklaim telah menyumbang porsi 0,1% dengan menjual 1.000 unit. Dengan mengambil rerata harga mobil di angka Rp200 juta, maka RajaMobil sudah menyumbang lebih dari Rp200 miliar.

“Siapa pun yang bisa menguasai pasar digital otomotif akan merasakan hasilnya ketika perilaku pembelian mobil melalui platform digital menjadi hal umum. Pasar mobil adalah pasar yang bernilai lebih dari Rp200 triliun per tahun, pasar yang belum banyak digarap oleh pemain digital.”

Marketplace ini sebenarnya adalah perubahan strategi yang dipilih perusahaan sejak pertama kali dirintis pada 2012 lalu. RajaMobil sendiri awalnya adalah situs khusus untuk menjual mobil bekas, kemudian pivot di tahun 2015 dengan fokus menjadi marketplace mobil baru.

“Untuk mobil bekas sebenarnya masih ada di RajaMobil, tapi bentuknya adalah listing. Kami sudah tidak fokus lagi di sana. Sekarang lebih mengembangkan marketplace untuk mobil baru,” ucap Chairman RajaMobil Robert Wardhana.

Saat ini RajaMobil telah bermitra dengan 800 dealer yang memiliki lebih dari 5 ribu tenaga penjual. Selain marketplace, layanan yang tersedia di RajaMobil di antaranya sales toolkit dan CRM toolkit.

Model bisnis yang dianut masih menggunakan dealer untuk meng-handle penjualan, belum menjadikan situs sebagai media transaksi. RajaMobil pun baru bisa diakses melalui situs desktop dan mobile, belum menyediakan aplikasi.

Can Local Individual Retail Investors Invest in Indonesia’s Flourishing Tech Startups?

On August 17, 2017, Tokopedia.com, the largest eCommerce marketplace in Indonesia, announced its latest round of investment of USD 1.1 billion from Alibaba Group. month before that, Traveloka, another unicorn and top online travel booking startup, received a USD 350 million investment from Expedia. The list goes on with other startups like Go-Jek and Tiket.com, both of which secured deals with local and regional/global investment firms.

Indonesia has definitely become one of the magnets for key investments by major venture and private equity funds in quest of another country with potential growth after China and India. Indonesia, with a population of 260 million, is the largest among neighboring ASEAN countries. But with more than 16,000 islands, the world’s largest archipelago faces a more challenging logistical coverage in handling its abundant natural resources and a production age group that comprises 60% of the population.

But chances are scant for Indonesian startups to undergo a public offering once they dominate certain sectors and popular business models already favored by regional/global strategic investors. Those strategic investors are likely to have major stakes already in pre-established companies, making it difficult for Indonesian institutional and retail investors to participate.

As of now, no tech startup company is listed in the Indonesian Stock Exchange. Is this an indication of scant interest from local investors to invest in technology companies?

I would say definitely the answer is not like what we have perceived. In fact, most of Ideosource’s limited partners (investors) are from Indonesia. Our LPs are sophisticated investors, but it does not mean that retail investors are not interested. It is just not possible for them to participate due to a minimum check size of investment, length of fund period that usually spans from five to ten years before getting any return, and other aspects involving limited exposure to startup investment.

Even some of my close friends have asked me whether they are able to participate in the Ideosource fund at a smaller amount. Success stories among tech startups are ubiquitous — traditional companies and local conglomerates have set up their own initiatives and funds to dabble into tech startup investments. However, most individual retail investors have no access to participate in any of those great startup successes. They can only hear about them, wondering in awe.

How about the risks?

Nevertheless, those successful startup companies are only a handful among hundreds or even thousands of startups that have existed in Indonesia — failed companies are ubiquitous too. It is not for the fainted hearts to see some of their investments go down the drain, so it is definitely a reason to call them sophisticated investors. Traditional security and asset management companies would not dare to deal with failed companies in numbers that most VCs see as normal; moreover, most of those so-called successful startup companies are not in blue or bleeding to the bone with their marketing spending to boost revenues and user base.

There is no precedence in Indonesia to a public company like Amazon, which had been in the red for 20 years until mid-2016. Amazon investors understood Amazon would need to invest big and re-invest all of its retained earnings to reach a certain stage where they dominate the market putting a (very) high barrier of entry in the sector. As a result:

“Had the average Joe decided to save $5,000 and spend it on Amazon’s stock when it first hit the public markets 20 years ago, they be worth at least $2.4 million today.”

Ideosource is no different during our early years of fund setup. We had failed startups in our list too, and most of those startups failed after not finding the follow-on investors — the ecosystem was not there. So since then, we decided to ensure our startups are cockroaches (resilient creatures) able to stay alive for longer time despite slower follow-on investment process.

It may not be justifiable from the winner-takes-all-type investment thesis, which values only one winner through buying traffic, transaction, and customers. Instead, we look into companies with passionate founders who do not believe in the “blitzkrieg” type of model, most of them believe in winning the space by being a resilient creature, because they are happy doing what they have been doing building the companies from the ground up, creating a strong team, strong culture internally and able to win the customers in the long-term by being trusted and all out to serve.

As a consequence, we have been more selective in our startup investments, but fortunately any investment we made during and after 2015 have flourished and are in a very good stage, primed for next stage exponential growth. We also learned to provide investment with enough runway for them to reach certain numbers attractive for follow-on investors to come in.

Can the risks be mitigated?

The nature of startup investment locally in Indonesia has improved a lot, Ideosource case above is just an example from our internal experience, and other venture capitals even angel investors have matured and have been exposed quite long also having met hundreds of startups and often mingle during startup events giving a much sharper decision on who are investable. Same thing with startups quality now have improved year on year getting into a stage whereby choices are wider and we know the risk to invest on the best among those pool is actually quite save, at least from the eye of an experience and exposed investors. Probably similar to Amazon investors in the early IPO days able to understand and realize Jeff Bezos’ long term goal and they stick to support its vision.

VC investment model can work well in the hand of an experience investment committee and it has to be in quantities to compensate for failed startups, many people have heard the one success or jack-pot investment will provide return and profit for the rest of nine investments or even the whole fund. As in Ideosource Fund I, one financial technology (fintech) startup provided 80x return, normalized to around 8x return as a fund. Although not as a spray and pray model and more of a specific investment thesis, the statistic proved to be true.

So is investing in Indonesian tech startups attractive?

Yes.

And, does it mean that public and individual retail investors can participate freely investing on their own? The answer is better to be “no”, simply due to several factors discussed before:

  1. Liquidity and Investment Size: a five to ten years investment period is common with a minimum check size of $50k to $250k. It may work for angels but probably not for retail and public investors.
  2. Handling the Risks: even sophisticated investors rely on venture capital firms to manage their investment simply to manage the risks. They know that those venture capitals via its investment management team will take care of portfolio screening and due diligence, diversification, and mentoring.
  3. Mentoring: this is one of the most sought after value most startups look for from their institutional and angel investors. They want to speed up the process without:
    • too much trial and error getting advise from veterans, and
    • to be introduced to the right channel and network
    • to get shared resources for back-office administration, accounting, taxation, legal, working space and many others.

How about liquidity issue?

Underwriters, brokers, clearing house, custodian, appraisers, legal firms, trustees and administrators are all part of the ecosystem surrounding the stock exchange to ensure offering and transaction are smooth without glitch and legitimate. However, we certainly know that to list a company publicly assisted by those parties in the ecosystem and to maintain it in the stock exchange are relatively expensive, moreover for smaller cap companies.

The crowdfunding site Kickstarter has radically changed the way creative ventures can raise money in the Internet age. In 2014, 3.3 million people around the world contributed more than $500 million — roughly $1,000 a minute — to finance more than 22,000 projects.

Other equity based crowdfunding startups have also emerged with attractive offering combining researched data and seasoned investor communities such as funnel.com, funderbeam.com, crowdfunder.com and many others.

Can crowdfunding sites be as popular to retail and public investors as the stock-exchange? probably yes if liquidity is there.

We see extreme cases now happening in cryptocurrency trend of raising money via Initial Coin Offering (ICO). The crypto-coin provides instant liquidity, easily tradable via blockchain platform. It is an extreme approach due to many ICOs are not based on real tangible assets, but at the end only a few will sustain its value due to many of them not supported by the right business model suitable for token trading.

A few smart crowdfunding sites now offer extended liquidity via ICO or token creation for easy secondary trading of those crowdfunded assets they have funded, and it is almost like a small private ICO with real assets being appraised and appreciated or depreciated according to the performance of the company. And the ownership of assets that have been tokenized can be traded easily by selling the token/coin to other traders, and this can happen without disturbing the underlying contract of the asset itself.

Conclusion

I truly believe that tech startup investment can be offered to Indonesian retail and public investors as in the case of traditional stock exchanges, perhaps via secondary board implementing a combination of positive factors offered by traditional stock exchanges but agile and efficient as in the new era of cryptocurrency. The key is an ecosystem inviting relevant parties and regulators to contribute according to their roles and responsibilities to ensure checks, re-checks and balances are happening during the process with reasonable costs and ease of participating.


This guest post is written by Edward Ismawan Chamdani, Ideosource Venture Capital’s Co-Founder and Managing Partner.

It’s initially published at Medium and has been republished with permission.

Pengembang Sport Wearable TuringSense Kembali Dapatkan Pendanaan dari Ideosource

Sebagai lanjutan dari seed funding senilai $3 juta yang telah diterima, pengembang sport wearable TuringSense kembali membukukan pre-series A awal bulan ini. Nilainya sama dengan pendanaan sebelumnya, yakni $3 juta (40 miliar rupiah), sehingga kini pengembang produk bermerek PIVOT tersebut telah mengantongi nilai investasi $6 juta. Pendanaan kali ini dipimpin oleh Ideosource (berpartisipasi juga dalam seed funding), didukung oleh The Core Group dan Fenox Venture Capital.

Dihubungi DailySocial, Vice President of Product and Marketing TuringSense Chris Lim mengatakan bahwa saat ini belum ada debut baru yang diluncurkan bersamaan dengan pendanaan yang didapat. Ditargetkan akan ada peluncuran (fitur atau produk) yang akan diumumkan pada bulan Agustus mendatang. Pendanaan yang didapat akan turut difokuskan untuk secara agresif memperluas pangsa pasar penawaran produk PIVOT yang telah dimatangkannya.

[Baca juga: Dua Pendiri Berkebangsaan Indonesia Menghasilkan PIVOT]

Produk PIVOT dibangun dengan beberapa kecanggihan teknologi berbasis wearable, IoT, biomekanik dan analisis data mendalam. Hal ini memanfaatkan temuan para ilmuan yang juga menjadi founder TuringSense. Di fase awal, PIVOT diuji coba untuk atlet tenis, dengan perangkat yang dipasang alat tersebut mampu merekam gerakan tubuh pemain tenis dan menganalisisnya.

Perangkat PIVOT untuk permainan Tenis / TuringSense
Perangkat PIVOT untuk permainan Tenis / TuringSense

Terdiri dari tiga sensor utama, yakni Accelerometer, Gyroscope dan Magnetometer, saat ini PIVOT sudah jauh berkembang dan mulai merambah pasar olahraga secara umum. Salah satu yang sudah mulai ditawarkan ialah untuk cabang olahraga sepakbola dan bulu tangkis. Beberapa kerja sama juga dijalin, salah satunya bersama Sport Surgery Clinic di Dublin dan Stanford Neuroscience, hasilnya ialah pengembangan teknologi berbasis game untuk rehabilitasi pasien.

Kerja sama dengan Sports Surgery Clinic juga membawakan produk baru TuringSense, yakni VU. Perangkat nirkabel biomekanik yang lebih kecil untuk memberikan umpan balik performa secara real time dalam kegiatan altetis.

[Baca juga: Mengintip Rencana-Rencana TuringSense Pasca Perolehan Pendanaan Awal]

Menurut pengamat industri, peningkatan pasar global untuk produk berbasis wearable akan mencapai $14 miliar. Salah satu pendorongnya adalah fakta bahwa perangkan wearable memiliki peran pelaporan data dan terhubung dengan ponsel pintar.

CEO TuringSense Joe Chamdani menggambarkan laju peningkatan konsumen wearable seperti pengguna GPS. Apa yang membuat GPS “lepas landas” adalah pengenalan petunjuk arah yang tepat. Pola seperti itu yang juga ingin dibawa ke PIVOT, tidak hanya memberikan data, namun juga petunjuk untuk membimbing konsumen dalam berolahraga.

Dua pendiri asal Indonesia Joseph Chamdani VP Research and Development (kiri) bersama Chris Lim VP Product and Marketing (kanan) TuringSense
Dua pendiri asal Indonesia Joseph Chamdani VP Research and Development (kiri) bersama Chris Lim VP Product and Marketing (kanan) TuringSense

Hal menarik lainnya, investor TuringSense dari awal juga berasal dari Indonesia. Sejak pendanaan awal Ideosource berpartisipasi penuh. Di kesempatan sebelumnya, Managing Partner Ideosource Andi S. Boediman mengatakan pihaknya meyakini solusi inovatif TuringSense memiliki potensi besar dalam berbagai hal, termasuk potensinya dalam pasar Internet of Things (IoT). Andi juga mengatakan bahwa produk PIVOT yang dimiliki TuringSense akan banyak diminati di pasar Asia, karena di pasar ini solusi untuk kebutuhan olahraga dan kesehatan cukup berkembang dan diminati masyarakat.

Startup Pengembang Wearable TuringSense Kantongi Pendanaan Senilai 3 Juta Dollar

TuringSense, startup pengembang teknologi wearable untuk olahraga asal Silicon Valley yang juga digawangi researcher Indonesia, mengumumkan bahwa pihaknya telah memperoleh seed funding senilai $3 juta (atau lebih dari 41 miliar Rupiah). Dalam putaran pendanaan ini terdapat beberapa venture capital yang berpartisipasi, seperti Angel Plus, ChinaRock Capital, Ideosource, SV Tech Ventures, dan Zen Water Capital. Dalam rilis yang diterbitkan TuringSense juga disebutkan bahwa beberapa pengusaha dan angel investor terlibat.

Dalam wawancara khusus dengan dua petinggi TuringSense Joseph Chamdani dan Chris Lim beberapa waktu lalu, DailySocial banyak mengulik tentang solusi yang dikembangkan startup tersebut. Produk wearable bernama PIVOT adalah produk yang saat ini tengah dimatangkan. PIVOT dirancang dengan menggabungkan kecanggihan teknologi biomekanik, sensor dan kecerdasan buatan untuk membantu atlet tenis belajar teknik bermain yang benar, menghindari cedera, dan melakukan analisis permainan.

Pendanaan yang diperoleh akan dimanfaatkan TurinSense untuk memperluas pusat pengembangan serta menguatkan strategi pemasaran dan penjualan produk PIVOT. TuringSense juga mengatakan bahwa diraihnya pendanaan ini juga akan dijadikan sebagai salah satu modal untuk memperluas cakupan produk yang dimiliki.

Disampaikan Co-Founder dan CEO TuringSense Limin He, pendanaan ini merupakan salah satu indikasi yang baik, artinya produk multi-sensor yang dikembangkan dianggap berpotensi di pasar oleh banyak pihak.

“Dana ini memberikan kami kekuatan finansial untuk memajukan tujuan kami merevolusi cara olahraga dimainkan, dipraktikkan dan dilatih dengan mengubah metode latihan yang memungkinkan sang atlet mempelajari teknik secara lebih detil sembari mengurangi terjadinya risiko cidera,” ujar Limin He.

Managing Partner Ideosource Andi S. Boediman mengatakan pihaknya meyakini solusi inovatif TuringSense memiliki potensi besar dalam berbagai hal, termasuk potensinya dalam pasar Internet of Things (IoT). Andi juga mengatakan bahwa produk PIVOT yang dimiliki TuringSense akan banyak diminati di pasar Asia, karena di pasar ini solusi untuk kebutuhan olahraga dan kesehatan cukup berkembang dan diminati masyarakat.

Andi menambahkan minat TuringSense untuk membuka lebih banyak pusat pengembangan dapat disinergikan dengan komunitas pengembang game di Asia yang saat ini begitu bertumbuh di pasar dunia. Dalam wawancara DailySocial dengan Joseph Chamdani yang menjadi CTO TuringSense, dikatakan bahwa TuringSense akan membuka pusat pengembangan di wilayah Asia, khususnya di Indonesia.

Bhinneka Umumkan Perolehan Pendanaan 300 Miliar Rupiah dari Ideosource

Layanan e-commerce Bhinneka mengumumkan perolehan pendanaan senilai 300 miliar Rupiah yang diperoleh dari Ideosource. Pasca pendanaan ini, dua Managing Partner Ideosource, Andi S. Boediman dan Edward Ismawan, akan bergabung ke dalam jajaran Direktur (Level C) Bhinneka di bidang pemasaran dan pengembangan bisnis. Mereka juga merekrut sejumlah orang penting di dunia teknologi Indonesia untuk memperkuat jajaran timnya.

Pendanaan ini merupakan pendanaan terbesar yang pernah dikucurkan Ideosource. Bhinneka akan menggunakan dana segar yang diperoleh untuk meningkatkan pemasaran dan menjadi pemain dominan di lebih banyak kategori produk.

Seperti kita ketahui Bhinneka saat ini sedang memperluas bisnisnya sebagai sebuah marketplace. Tak hanya melulu soal produk elektronik, mereka kini tak ubahnya menjadi marketplace umum, seperti halnya Lazada atau MatahariMall. Mereka juga menghidupkan kembali segmen B2B dengan merekrut Heriyadi Janwar dari Microsoft sebagai VP Corporate Sales.

Tokoh teknologi lain yang juga bergabung di jajaran pimpinan Bhinneka adalah mantan Presdir IBM Indonesia Betty Alisjahbana yang menjadi Chairman dan mantan Direktur Central Retail Corporation dan MAP Indonesia Christian Van Schoote sebagai COO. Secara total Bhinneka saat ini memiliki 630 karyawan.

Dalam jangka panjang, Bhinneka memiliki visi utama menjadi perusahaan e-commerce pertama di Indonesia (pasca dotcom bubble) yang melakukan penawaran saham perdana (IPO).

Andi dalam pernyataannya menyebutkan, “Bhinneka memiliki brand yang kuat dan terkenal di Indonesia sebagai perusahaan O2O (online-to-offline) di kategori produk 3C (Computer/IT, Communication Technology, dan Consumer Electronics) dimana mereka memiliki toko online dan juga offline. Sebagai pelopor di industri e-commerce Indonesia, Bhinneka memiliki pengalaman kuat dalam melayani konsumen, bisnis, dan pemerintah di Indonesia. Kami percaya hal itu memberikan mereka keunggulan dalam memahami dan memenangkan pasar.”

Memperkuat inisiatif O2O

CEO Bhinneka Hendrik Tio mengisyaratkan peningkatan inisiatif Online-to-Offline (O2O) untuk memperluas bisnisnya di Indonesia dengan membangun lebih banyak kantor fisik di berbagai kota di Indonesia. Saat ini Bhinneka memiliki kantor di Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, dan Bandung. Hendrik mengatakan, “Saat ini bisnis online Bhinneka sedikit lebih besar daripada bisnis offline-nya. Namun kami percaya kedua channel ini akan terus saling melengkapi.”

“Kami menyediakan brand yang kuat dengan pelayanan yang berkualitas, baik itu pelayanan sebelum pembelian maupun pelayanan purnajual. Semua penjual dan produk juga harus melewati proses pemilihan,” lanjutnya.

Selain O2O, Bhinneka akan fokus di pengembangan aplikasi mobile dan pemasaran melalui media sosial.

“Saat ini, industri e-commerce dibangun berdasarkan pemasaran dan proses subsidi, dan hal ini membuat ruang untuk melakukan kesalahan jadi sangat kecil. Jadi kami harus sangat pintar dalam menjalankan aktivitas pemasaran. Selain itu, perekrutan menjadi lebih sulit dengan banyaknya pemain internet baru. Talenta menjadi lebih susah ditemukan dan menjadi lebih mahal. Bhinneka tidak hanya memberikan gaji dan tempat bekerja yang nyaman, namun juga opsi saham bagi karyawan,” ujar Hendrik.

Stockbit Closes Seed Funding from Ideosource

Stock analysis platform Stockbit announced an undisclosed seed funding that it received from Ideosource. The team claimed that the money will go to product development (including mobile app), marketing expansion, and talent recruitment. Continue reading Stockbit Closes Seed Funding from Ideosource

Platform Analisis Saham Stockbit Peroleh Pendanaan Tahap Awal Dari Ideosource

Layanan analisis saham Stockbit memperoleh pendanaan dan segera meluncurkan aplikasi mobile / DailySocial

Platform analisis saham Stockbit mengumumkan mereka telah memperoleh pendanaan tahap awal (seed funding) dari Ideosource dalam jumlah yang tak disebutkan. Pendanaan ini akan digunakan untuk pengembangan produk (termasuk aplikasi mobile), mendorong pemasaran, dan perekrutan.

Continue reading Platform Analisis Saham Stockbit Peroleh Pendanaan Tahap Awal Dari Ideosource

eFishery Announced Pre-Series A Investment from Aqua-Spark and Ideosource

Internet of Things (IoT)-based startup eFishery closed an undisclosed Pre-Series A funding from Holland-based Aqua-Spark and Ideosource. The funding will go to team expansion, enhance software platform, and national-scale distribution. Continue reading eFishery Announced Pre-Series A Investment from Aqua-Spark and Ideosource