[Computex 2019] Wawancara dengan Presiden APAC dari Synology

Computex 2019 yang dilakukan di Taiwan memang mengundang banyak vendor untuk memamerkan produk-produk mereka. Namun, salah satu vendor yang enggan membuka booth pada perhelatan komputer terbesar di Asia ini adalah Synology. Mereka pun mengadakan pameran tersebut pada Taipei Far Eastern Telecom Park tersebut terletak pada kota New Taipei

Setelah melakukan tur pada pameran yang diadakan sendiri oleh Synology, kami pun diajak masuk ke dalam kantor baru mereka. Hal tersebut tentu saja berhubungan dengan janji kami untuk mewawancarai salah satu petinggi dari Synology. Kami pun langsung dihadapkan dengan Simon Hwang yang menjabat sebagai President APAC Synology.

Synology Desktop

Pada kesempatan yang sama pula, Clara Hsu selaku Synology Sales Specialist membantu kami dalam wawancara kali ini dan menterjemahkan kata-kata dari Simon. Hal tersebut tentu saja membuat kami cukup lega karena walaupun kami cukup fasih dalam berbahasa Inggris, tentu saja masih ada batasan-batasan tertentu yang akan sulit dipahami.

Wawancara yang kami lakukan beserta dua orang dari media lain memakan waktu sekitar 35 menit. Hal tersebut sudah termasuk bagian pengenalan perusahaan oleh Clara Hsu dalam bahasa Indonesia. Ternyata, tidak sedikit perusahaan di Indonesia yang menggunakan solusi dari Synology.

Synology sendiri, menurut sebuah survei, sudah menduduki peringkat pertama untuk produk NAS mereka. Beberapa penghargaan juga telah diraih oleh Synology berdasarkan pilihan pembaca sebuah majalah dan pilihan para pelaku bisnis. Hal tersebut juga tidak lepas dari solusi yang ditawarkan Synology, seperti pada saat adanya ransomware yang menjangkiti sebuah perusahaan besar.

Synology juga memiliki rencana untuk membuat kantor perwakilan di Indonesia, namun tidak untuk dalam waktu dekat ini. Hal ini karena Indonesia terlalu besar, sehingga jika hanya menaruh satu cabang saja di Jakarta, sepertinya tidak bisa mewakili seluruh daerah.

Simon Hwang - President APACSimon Hwang – President APAC

Synology memiliki banyak solusi, hanya belum banyak yang mengetahui produknya. Oleh karena itu, strategi yang ada sekarang mengadakan pelatihan-pelatihan, yang sayangnya, masih di sekitar pulau Jawa saja. Ke depannya, pelatihan akan dilakukan diluar pulau Jawa. Synology ingin menggaet partner untuk melokalisasi teknologi mereka.

Clara sendiri merupakan salah satu strategi agar Synology dikenal di Indonesia. Dengan menggaet orang lokal, tentu saja perangkat dan teknologi mereka akan bisa lebih dikenal di Indonesia. Hal tersebut juga karena adanya batasan dari komunikasi.

Synology juga mengklaim bahwa mereka lebih murah dari pesaingnya. Oleh karena itu, alokasi keuangan untuk para perusahaan akan lebih bisa dihemat dengan menggunakan solusi mereka. Solusi software yang dimiliki oleh Synology juga terjangkau dan mudah dipakai.

Kami pun merekam wawancara yang dilakukan dengan menggunakan smartphone Samsung Galaxy S10+. Berikut adalah wawancara eksklusif yang lebih lengkap yang dilakukan DailySocial dengan Simon Hwang. Yuk, mari kita simak bersama-sama video wawancara berikut ini. Video ini juga dapat langsung Anda jalankan pada kanal DailySocial TV kami.

*Foto dan video diambil dengan menggunakan smartphone Samsung Galaxy S10+

Fokus Simona Ventures Dukung “Female Founders” di Asia Pasifik

Berangkat dari pengalamannya berkecimpung di dunia teknologi sejak tahun 2011, Putri Izzati kemudian berinisiatif untuk mendirikan sebuah wadah yang bisa menampung entrepreneur perempuan di Indonesia. Bernama Simona Ventures, misi dari Putri dan tim adalah membantu pendiri startup perempuan mendapatkan dukungan menyeluruh agar bisa membangun bisnis mereka, dan tidak kalah saing dengan pendiri startup yang saat ini masih didominasi laki-laki.

Indonesia menjadi negara di Asia Tenggara yang mengalami peningkatan cukup signifikan dalam hal pertumbuhan startup, juga pasar yang paling banyak dilirik oleh perusahaan venture capital asing. Namun demikian Putri mencatat, masih sedikit jumlah pendiri startup perempuan yang mendapatkan dukungan dalam bentuk investasi hingga kesempatan lainnya dari venture capital dan pihak terkait.

“Hal tersebut yang kemudian menjadi fokus kami di Simona Ventures, yaitu memberikan dukungan dalam bentuk networking dan edukasi sehingga pada akhirnya investasi kepada mereka pendiri startup perempuan atau startup yang memiliki perempuan di jajaran C-Level,” kata Putri.

Putri menambahkan, dengan demikian nantinya bisa muncul role model perempuan yang berkecimpung dalam dunia teknologi untuk bisa menjadi panutan bagi generasi muda khususnya perempuan. Hal tersebut yang saat ini masih sangat sedikit jumlahnya bukan hanya di Indonesia namun juga secara global.

“Kalau kita lihat saat ini negara seperti Amerika Serikat sudah mulai menempatkan perempuan di jajaran C-Level mereka sehingga meminimalisir gender gap di perusahaan. Di Indonesia sendiri masih sangat belum maksimal dilakukan,” kata Putri.

Meluncurkan Simona Accelerator APAC Women Founders

Salah satu kegiatan rutin yang baru saja diumumkan oleh Simona Ventures bulan Febuari lalu untuk batch pertama dan nantinya akan menjadi kegiatan rutin yang digelar dua kali dalam satu tahun adalah APAC Women Founders. Acara yang diinisiasi oleh Simona Accelerator ini akan memilih 12 startup terbaik yang memiliki pendiri perempuan atau memiliki perempuan di jajaran C-Level atau di manajemen perusahaan.

Nantinya startup terpilih dari Asia Pasifik akan mendapatkan bantuan, dukungan hingga investasi untuk kemudian melakukan ekspansi di Indonesia. Selain itu pemenang dari kegiatan tersebut juga berhak mendapatkan mentorship dari Google dan berhak mengikuti program khusus di Korea Selatan.

“Meskipun fokus kita adalah mengundang startup Asia Pasifik untuk masuk ke Indonesia, namun bagi startup dari Indonesia yang beruntung juga bisa mendapatkan kesempatan mentoring hingga perluasan bisnis secara regional,” kata Putri.

Kategori startup yang dipilih tentu saja yang mendukung “closing the gender gap” dan memiliki pendiri perempuan. Dengan demikian bisa lebih fokus lagi bagi Simona Ventures dan partner untuk meraih tujuan akhir yaitu memberikan kesempatan lebih kepada female founders untuk mengembangkan bisnis mereka.

“Kami juga ingin memberikan dukungan setelah kegiatan tersebut berakhir. Salah satu rencana kami adalah mengembangkan program alumni, sehingga peserta baru dan lama bisa saling bertemu dan menjalin networking setelah program berakhir,” kata Putri.

The Gloomy Days of Vainglory Esport: The Pioneer that’s Left Behind

In 2014, mobile gaming wasn’t really popular like today because of many factors, one of them was technology, and even mobile gamers were discriminated by other common gamers, not being considered as gamers as most of the games were casual without a depth of a story or magnificent graphics.

Yet it didn’t stop there, there was this terrific game developer working together from different backgrounds as a team established Super Evil Megacorp (SEMC). They created a game that no one could think of that time; a mobile game with stunning graphics like games on console or PC, a real-time play MOBA game named Vainglory.

On its released date, Vainglory attracted thousands of people in a blink. That could be imagined, as the old-time mobile games only gave us some slicing fruits and endless running experience when suddenly a competitive game launched on mobile.

Vainglory: The First MOBA on Mobile

Source: vainglorygame.com
Source: vainglorygame.com

To be honest, Vainglory was not really the first MOBA on mobile, since there was another game like Heroes of Order and Chaos developed by Gameloft. One thing I agree with SEMC, however, is that Vainglory is the first MOBA mobile game featuring a unique gameplay, intuitive controls, and deep mechanics enough to make competitive MOBA players filled with curiosity; or it can be said as the first most perfect MOBA in its day.

Vainglory was released in 2014, and its first appearance was on iPhone 6 Apple product presentation. The presentation without a doubt left smartphone users open-mouthed, as it was the first mobile game having 60 FPS, graphics with details, particle effects, and complex animation.

This game became the center of attention in no time at all, even one of the famous YouTubers played it as well. PewDiePie once played Vainglory and uploaded the video of his playing the game on August 1, 2015. Quoted from one of reputable technology media, VentureBeat, Vainglory successfully reached out 1.5 million monthly active players per July 1, 2015.

This success moved SEMC’s heart to take further steps, trying to follow League of Legends and Dota 2 success by developing Vainglory esports.

The First Mobile Esports in the World and Indonesia

Source: fortune.com
Source: fortune.com

After gaining success from its first released in 2014, Vainglory started to explore the esports world a year after; in Mei 2015 to be exact. They started collaborating with various esports world’s ecosystem at once, ESL and OGN Korea were the two of them.

Quoted from Fortune, Vainglory successfully drew as many as one million audiences through a local league competition in South Korea named Korean eSports League OGN Vainglory Invitational in July 2015.

More after that, an esports event named Vainglory Premiere League in September 2015 offered a total reward of US$80,000 and participated by 12 teams from four regions (North America, China, Korea, and Europe). It perpetuated Vainglory as the first and biggest mobile game esports of its time.

Vainglory itself began to be a hit in Indonesia in 2017, and it’s been known since Indonesia Games Championship 2017 and Vainglory 8 Summer Championship Jakarta. In the same year, Indonesia was just celebrated their Elite8 esport team that was managed to qualify for the international level of Vainglory 8 Spring Championship Manila. More to that, the biggest community gathering, Halcyon Gathering 2.0, was held in Indonesia in 2017 as well.

MOBA Mobile of East Asia and 5v5 Appearance

Source: vainglorygame.com
Source: vainglorygame.com

Still in 2017, Vainglory esports was on its most glorious day in Indonesia. Unfortunately, SEMC was somehow distracted from this China’s MOBA Mobile which successfully stole many of Indonesian gamers’ hearts. It was 2017 when Mobile Legends gained gamers’ and Indonesia esports industry’s attention.

The potential of Mobile Legends esports was first seen in the qualification and main event of Mobile Legends SEA Cup (MSC 2017), and it had made the venue full and packed; Gandaria City for the qualification and Mall Taman Anggrek for the Grand Final. Other than Mobile Legends, Garena Indonesia was also preparing something.

Source: revivaltv.id
Source: revivaltv.id

Garena wanted to release a global version of MOBA which had been a favorite of many people in China, Kings of Glory. It was finally released in Indonesia with a name of Mobile Arena and then changed its name to Arena of Valor in August 2017. Those games attracted the attention of many gamers because of its lower graphics on Indonesian’s smartphone, simpler gameplay, and easy to be learned by various range of groups.

Vainglory Worlds 2017, SEMC finally released Vainglory 5v5 which triggered controversy among communities. Some of them considered that 3v3 depended too much on individual skill making the game quite dull, while some others considered that 5v5 omitted main characteristic of Vainglory. Vainglory had to be faced with a dilemma because of that different opinions.

The Gloomy days of Vainglory esports in 2018

Source: gankstars.gg
Source: gankstars.gg

In 2018, MOBA Mobile and mobile esports were rising, but what about Vainglory? It’s funny how Vainglory esports was apparently dead both globally and in Indonesia.

Globally, Vainglory esports began to break down when many organizations withdrew. Teams like Gankstars, Cloud9, and TeamSoloMid even shut their Vainglory division. FlashX also spoke about this to respond to communities’ hysteria by saying that Super Evil Megacorp cut Vainglory esports’ budget, and it was the reason behind the problems.

How about Indonesia? Thanks to the third party’s support, fortunately, competitive arena of Indonesia’s Vainglory was still steady. Kaskus Battleground Season 1 filled in the Vainglory esports calendar in early 2018. In the mid-year and the end of the year, there was the Vainglory Premiere League Indonesia which was an esports league of Vainglory held online by AGe Network team, and the year was closed by Elite8 team’s endeavor at Asia level in WESG 2018 competition.

Herrboy (left) with 2 VG shoutcasters. Source: revivaltv.id
Herrboy (left) with 2 VG shoutcasters. Source: revivaltv.id

Herry ‘Herrboy’ Sudharma, as one of the shout casters and Vainglory esports actors in Indonesia, spoke up regarding the problems. He said that one of the biggest problems was the higher level of difficulty of Vainglory than other MOBA mobile, and the game required a higher smartphone specification as well. It made mobile gamers unwilling to play Vainglory which gave a domino effect to Vainglory esports.

Daniel ‘Deipno’ Lam, one of the Vainglory senior casters, also added that Vainglory was nearly dead in 2018 because SEMC seemed like taking a wrong step. Since 2017, the potential of Vainglory player base in Indonesia was clearly seen through Halcyon Gathering 2.0 which was attended by thousands of people. However, instead of putting the marketing focus in the SEA market, in Indonesia particularly, SEMC insisted to concentrate their Vainglory marketing in the United States and Europe.

Source: duniagames.co.id
Source: duniagames.co.id

In terms of players, Heinrich ‘OfficialHein’ Ramli, as an Indonesian Vainglory star player and one of the most commendable in developing Vainglory esports in Indonesia, said that it’s true that SEMC had a big role in the gloomy days of Vainglory esports. Hein, as an athlete of Vainglory and the owner of Elite8 team, said that SEMC didn’t really communicate well with the team and community, which then made Vainglory esports in Indonesia disregarded.

Vainglory Cross-platform and its Esports Future Prediction

Source: duniagames.co.id
Source: duniagames.co.id

The glory day of Vainglory was there because SEMC pushed the smartphone capability to the maximum, creating a console or PC class game that could be played in your hand. In the end of 2018, SEMC tried to recite the innovation by creating a campaign of Vainglory X, the first MOBA cross-platform that would be able to bring players from mobile, PC, or console together in a match.

On VentureBeat, CEO of SEMC Kristian Segerstrale said that multi-platform games were the future of gaming. However, it indeed brought big questions and doubts because Vainglory’s appearance on PC meant that they’d be brought to the more difficult business competition: challenging the two giants of MOBA PC, Dota 2 and League of Legends.

Herrboy once again spoke about a cross-platform prediction and the return of Vainglory’s glory in 2019 both in player base and esports. He thought that it depended on SEMC’s decision, whether they would like to raise Vainglory esports once again or not. Given that Fortnite has used this cross-platform system successfully, they successfully created a huge player base even without international esports event.

Do SEMC capable to repeat the victory in Vainglory Worlds 2017 that breaks the record of Twitch spectators. Source: redbull.com
Do SEMC capable to repeat the victory in Vainglory Worlds 2017 that breaks the record of Twitch spectators. Source: redbull.com

All in all, what SEMC would like to achieve was for Vainglory to be played by many people again. Regarding this matter, I, to be honest, am pessimistic. Why? Because first, Vainglory’s very presence on PC would make SEMC have to face the notable MOBA games themselves and the competition would be more difficult.

Second, I quite agree with the community’s opinion and what Deipno said that all this time, SEMC seemed not really showing determination in selling Vainglory, especially in Asian and SEA market. If they insisted to use cross-platform system without running an active marketing activity, then the number of Vainglory players wouldn’t have much changes.

What about esports? Seeing SEMC focusing more on the development of cross-platform, I’m not really sure that Vainglory esports would happen in 2019. Because even if the campaign of Vainglory cross-platform successfully increased a number of players, there wouldn’t be any hope to once again witness the thrill of action of the first-class Vainglory players if SEMC didn’t want to hold an esports.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian.

Fokus Bisnis dan Rencana Telunjuk di Tahun 2019

Masih menjalankan bisnis sebagai penyedia layanan rekomendasi dan perbandingan harga belanja online, PT Telunjuk Komputasi Indonesia (Telunjuk) tahun 2019 berencana untuk meluncurkan layanan baru menyasar segemen B2B. Masih dalam tahap pengembangan, jika nantinya secara resmi diluncurkan, layanan ini bisa berguna untuk perusahaan FMCG, elektronik hingga perusahaan multinasional untuk mengetahui lebih lanjut analisis hingga proses komparasi harga sesuai dengan kebijakan perusahaan.

Kepada DailySocial CEO Telunjuk Hanindia Narendrata menyebutkan, layanan tambahan ini sengaja dihadirkan oleh Telunjuk setelah adanya permintaan dari perusahaan elektronik untuk merapikan tampilan foto dan deskripsi produk di semua marketplace di Indonesia.

“Banyak perusahaan besar yang menginginkan tampilan untuk tertata dengan baik dari foto hingga informasi produk. Dari demand itulah akhirnya kami berencana untuk meluncurkan layanan khusus B2B dalam waktu dekat,” kata Hanindia.

Sementara itu layanan utama yang sejak awal sudah menjadi unggulan di Telunjuk yaitu Performance Marketing masih tetap tersedia di platform. Bukan sekadar pembanding harga biasa, Telunjuk juga big data untuk mengolah data SKU di marketplace yang ada.

“Dari sisi teknologi fokus kita adalah meningkatkan penerapan machine learning dan big data. Ke depannya kita juga berencana untuk membuka API kita, bermitra dengan startup dan perusahaan yang relevan untuk kemudian dimanfaatkan,” kata Hanindia.

Disinggung apakah Telunjuk memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana, Hanindia mengungkapkan saat ini fokus dari Telunjuk adalah memperoleh revenue. Dengan demikian diharapkan perusahaan tetap bisa menjalankan bisnis, tanpa harus melakukan penggalangan dana.

Pertengahan tahun 2015 lalu, Telunjuk memperoleh pendanaan seri A dari Venturra (sebelumnya Lippo Digital Ventures).

“Secara rutin summary berupa perkembangan dari perusahaan tetap kita bagikan kepada investor. Namun untuk saat ini Telunjuk fokus untuk memperoleh pendapatan langsung untuk perusahaan,” kata Hanindia.

Membentuk company culture dan tim yang solid

Lama tidak terdengar, Telunjuk ternyata sempat mengalami pasang surut perusahaan. Salah satu penyebabnya adalah kurang maksimalnya kolaborasi dan kurang solidnya hubungan antar pegawai. Belajar dari kesalahan yang terjadi, Hanindia kemudian mencoba untuk melakukan pendekatan yang berbeda terkait dengan proses perekrutan hingga proses adaptasi pegawai baru di perusahaan.

“Setelah mendapatkan funding tahun 2015 lalu, kita langsung kebut untuk mempercepat bisnis dengan merekrut banyak pegawai baru. Karena tidak dibarengi dengan proses adaptasi yang tepat dan pendekatan secara personal kepada masing-masing pegawai, ternyata mampu untuk menciptakan lingkungan yang ‘toxic’ di perusahaan,” kata Hanindia.

Sebelumnya Telunjuk sempat memiliki hampir 30 orang pegawai. Namun karena adanya persoalan dan penurunan bisnis yang cukup drastis di perusahaan, banyak kemudian pegawai yang mengundurkan diri. Saat ini Telunjuk sudah memiliki 20 tim yang solid membantu melancarkan bisnis perusahaan.

“Sebagai pemimpin ternyata penting bagi saya untuk memiliki leadership yang baik. Artinya tidak hanya melulu fokus kepada traksi dan percepatan bisnis saja, namun juga company culture dan pendekatan yang tepat kepada pegawai,” kata Hanindia.

Di tahun 2019 ini selain fokus kepada revenue, Telunjuk juga memiliki rencana untuk memperluas partnership dengan pihak yang relevan dan mengembangkan teknologi big data agar bisa dimanfaatkan oleh berbagai industri.

 

RRQ: History, Ambition, and Principles of ‘The King’

If you’re a local fans of esports, it won’t be acceptable if you haven’t heard of Rex Regum Qeon (RRQ) as it is one of the biggest and the best esports organizations in Indonesia.

What interesting is even though they started their journey from Dota 2, their newest divisions (Point Blank, Mobile Legends, and PUBG Mobile) are more popular and have accomplished a lot better.

It can be said that their Mobile Legends division, RRQ.O2, currently has a formation of star players in every role. This team becomes the best team in the world of Mobile Legends Indonesia thanks to their victory in MPL Indonesia Season 2. They are also the number one team in Southeast Asia, excluding the team from Philippines.

RRQ.O2 as MPL ID S2 champion. Source: MLBB
RRQ.O2 as MPL ID S2 champion. Source: MLBB

In Point Blank (PB), RRQ.Endeavour has a great number of achievements both at national and international level. This team was the world champion of PB in 2017. They were also the runner-up of the PB International Championship (PBIC) in 2018. At national level, RRQ.Endeavour always scares their enemies thanks to the two of their players who are the top class PB players, Nextjack and Talent.

Recently, RRQ also became the world champion of PUBG Mobile Star Challenge tournament which was held in Dubai, although it’s the RRQ Thailand-based team. RRQ.Athena is the concrete form of their effort to expand their existence in Southeast Asia.

Now we will talk about this esports team, which is the group family member of MidPlaza Holding, from their history, ambition, and principles. Therefore, we’re inviting CEO of RRQ Andrian Paulien (AP) to tell us the story of ‘The King’.

A Brief History of RRQ

Partnership launching of RRQ and ASUS ROG. Courtesy: ASUS Indonesia
Partnership launching of RRQ and ASUS ROG. Courtesy: ASUS Indonesia

As we mentioned before, RRQ is a part of MidPlaza Holding as they were established by a game publisher of MidPlaza named Qeon Interactive.

Qeon Interactive is a game publisher established in 2011. In 2013, CEO of Qeon Interactive Riki Kawano Suliawan invited Andiran Pauline (AP) to build an esports team on their own and Dota 2 was their first choice of game. While RRQ is one of the biggest team today, they were just being managed professionally since 2017.

AP said that from 2013 to 2017, Riki was the one who took responsibility of all RRQ needs. Fortunately in 2017, MidPlaza group agreed to partner with RRQ. That’s when AP was appointed to manage RRQ. When RRQ already became a professional club, they started to get many sponsor offerings since the first quarter of 2018.

Between Glory and Popularity

A debate that might often happen between RRQ’s management is the dilemma between achievement and exposure. RRQ itself, in my opinion, has successfully balanced both of them – at least compared to other big esports organizations in Indonesia.

But what is the real main mission of RRQ?

AP said that RRQ’s priority was becoming a champion. “Our orientation is becoming a champion. Focus on practicing, as it’s the manifestation of an athlete. Popularity is additional,” said AP.

He also argued that RRQ might be able to recruit various talents with high exposure, but until today, RRQ wasn’t looking for famous people as it’s not their goal. He really wants to build and maintain a winning team. Although it’s admittedly difficult to achieve because of many new great teams appearing.

That said, AP added that it didn’t mean that RRQ wasn’t trying to gain exposure through content. “We’re also creating content.”

Pursuing glory may sound cliché, if not idealist, but the fact that professional gamers’ productive age is short makes it a really common goal for professionals. Now professional gamers are usually retiring in the age of 30.

Isn’t popularity able to increase their chances to survive when they don’t have any more stage on esports? How would AP respond to that?

RRQ Endeavour as PBIC 2017 champion
RRQ Endeavour as PBIC 2017 champion. Source: Revival TV

He admitted that it’s back to each individual whether they would like to look for a stage as long as they had a chance or not, but RRQ itself offered a benefit that’s quite valuable.

The interesting part is that MidPlaza Holding group has 20 companies ready to hire retired players or people behind the stage of RRQ. “As long as they’re not asking to be a president hahaha…” said AP joking.

On the other side, AP said that RRQ always supported players to finish their study (academically) as he believed that education was really useful for their own future. It’s not always about skill, an education makes a person having a good attitude. For RRQ, education is priority.

RRQ’s welfare is the most important thing

In February 2018, there has been an uproar in the world of Dota 2 in Indonesia because of two of Dota 2 high class level players were joining RRQ. Those players are Rusman “Rusman” Hadi and Rivaldi “R7” Fatah. Rusman is a player that has been known as one of the best carry player of Indonesia, along with Muhammad “InYourDream” Rizky and Randy “Fervian” Sapoetra.

Their presence was indeed proved effective on bringing RRQ qualified to compete in GESC: Indonesia Minor. That time, this team was known as the best Dota 2 team in Indonesia because of those players. However, their good fortune didn’t last, as Kenny “Xepher” Deo, one of the best Dota 2 players in Indonesia, had to leave RRQ to join TNC Tigers (Malaysia).

Their formation began to fall apart without the shout-callers a.k.a the in-game leaders of Xepher’s class. Until today, RRQ’s Dota 2 division seems like drowning (compared to other divisions with dazzling aforementioned achievements) as they haven’t found any ‘star’ formation like before.

At that time, RRQ was actually able to keep Xepher on their team but they decided to let him go for his own better future. What is AP opinion about this?

Ega "Eggsy" Rahmaditya, FIFA of RRQ. Source: RRQ
Ega “Eggsy” Rahmaditya, FIFA of RRQ. Source: RRQ

He said that RRQ always gave a chance for their players to be better. “If he would be better on that team, why not? We’ll keep on supporting him.” After all, he said that RRQ’s welfare was the most important thing. If a player isn’t happy anymore on a certain team, their performance won’t be any good as well.

He told us that RRQ’s kinship was so strong, so they wouldn’t let any of their players being uncomfortable around the team. RRQ has never been afraid to lose a player because a player comes and goes.

RRQ’s Future Plans

Now RRQ has 8 divisions such as Dota 2, Mobile Legends, Point Blank, PUBG Mobile, PUBG, FIFA, AoV, and CS:GO. Who is the person in charge of adding new divisions of RRQ and how does the consideration work?

AP said that he and management team were the ones in charge of deciding a new division of RRQ and the consideration took place in term of needs and market trends. “We’re looking for a hit game, as we need to think about the sponsors’ needs as well. After all, the decision cannot be set apart from any business aspect.”

RRQ just held a tournament for players at the maximum age of 18 called RRQ Under 18 Tournament – RRQ Next Generation, does that mean that RRQ will also be an event organizer in the future? AP answered that RRQ hadn’t been planning to become one. Now their focus is to secure and extend the team’s achievement as it’s their core as an esports organization.

RRQ.Athena as PUBG M Star Challenge champion in Dubai. Source: PUBG Mobile
RRQ.Athena as PUBG M Star Challenge champion in Dubai. Source: PUBG Mobile

That was our talk with CEO of RRQ. For me or maybe other esports observers, following RRQ’s growth from time to time is a pleasure in itself.

What will it be of RRQ in the future? Will they still be on their tracks and fulfill their ambition to pursue and secure their achievement as ‘The King’? Or will they develop and extend to be the biggest team of Indonesia esports, given a conglomerate group backing them up?

Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian.

Indonesia’s Fighting Game Esports: Excluded yet Refused to Die

We can say that 2018 is a year of esports awakening in our homeland, and esports itself actually has a lot of game genres from MOBA (Multiplayer Online Battle Arena), FPS (First Person Shooter), Battle Royale, Sports, Fighting, CCG/TCG (Collectible Card Game / Trading Card Game), Racing, and many more.

In the unfortunate fact, this awakening is spreading uneven between all genres. MOBA is the most played games thanks to Mobile Legends and Dota 2. Fighting game is one of esports genres that one could say is still marginalized.

We’ll discuss about other genres some other time, as for this time I’ve invited Co-Founder Advance Guard Bramanto Arman, a figure of fighting games, to share his story.

Bram Arman (left). Source: Advance Guard
Bram Arman (left). Source: Advance Guard

For those who are unaware of the esports world, Advance Guard is an icon of fighting game esports in Indonesia. When many are doing MOBA, Bram with the Advance Guard are raising this genre keenly since this icon was established in 2012.

According to Bram, Advance Guard is a place for fighting game community to gather. Tekken community, for example, which is mostly from IndoTekken, and Street Fighter which is mostly from IndoSF.

Thanks to their hard work and persistence, several tournaments conducted by Advance Guard have successfully claimed an official certificate from CAPCOM (for Street Fighter series) and Bandai Namco (for Tekken series) as a qualification tournament at international level.

Indonesia representations who would like to compete in CAPCOM Pro Tour and Tekken World Tour have to participate in the tournament conducted by Advance Guard first.

Of course, those achievements cannot be taken lightly anymore, in fact, there’s no any other higher authority than them in the world of Indonesia’s fighting game esports.

Let’s take a look at our talks.

Source: Advance Guard
Source: Advance Guard

Esports fighting game popularity in Indonesia

As I said before, esports fighting game in Indonesia is lack of an exposure, and Bram knew it.

“The exposure is lower than any other popular games with a huge number of player base in Indonesia,” said Bram. He added that this happened because of the game’s factor.

Bram explained that esports games enthused among Indonesian players are the addictive freemium games so that players might forget oneself and shop at the in-app purchase.

“Eventually, they saw many Indonesian players playing those games and created a big event from that. The games are Mobile Legends, AoV and PUBG Mobile.”

Meanwhile, for PUBG (PC), Bram sees a place that possibly can accommodate the gamers, like various types of iCafe. Therefore, many gamers can try the game without having to buy it; they only need to pay the bill at the iCafe. It has also happened to Dota 2.

Source: Advance Guard
Source: Advance Guard

Esports fighting game popularity outside the country

If esports figthing gamepopularity in Indonesia is low, how about in the other countries?

Bram said that people in another country were also showing low interest in fighting game esports, compared to any other popular games and one of the biggest esports fighting game events in the world, EVO, also began from the same story.

They initially conducted an event for the community full of passion. As the development of esports, however, now EVO is on the same level as most esports events having their match in a stadium with festive production, and get a lot of sponsors.

Thanks to EVO’s struggles, many big EOs that didn’t even go near fighting games before began to take interest in it.

Bram then added that fighting game esports should actually be popular as people would be easier to enjoy the games even if they’re newcomers, and I personally agree. As if we compare it to a MOBA match, we wouldn’t really enjoy watching the match if we didn’t even play and understand the game itself, while fighting game is an easily watchable game even for newcomers.

Source: VG274
Source: VG274

Outside the country, fighting game esports are way bigger than here, despite its lack of popularity. Bram told us about his experience visiting REV Major, the biggest fighting game tournament in Philippines, and he saw great enthusiasm not only from players but also from audiences willing to come even if the tickets were quite pricy.

Even fighting game esports has gotten some supports from several celebrities like the wrestlers Kenny Omega and Saviour Woods, as well as the American rapper Lupe Fiasco.

Advance Guard’s struggle on keeping Indonesia’s fighting game esports alive

The question is with the lack of popularity, why Bram and Advance Guard are willing to stay and fight for this esports? Why they just don’t shift to another popular game like most Event Organizers (EOs)?

“Because our approach is different,” Bram answered straightforwardly.

“It’s a fact that other EOs are mostly commercial, so they’re looking for mature markets, while I come from and for the community. So, I’m fighting for the community to keep them alive. It’s indeed hard and difficult as we’re lacking support compared to other popular game.

Most people think that watering barren land is useless; it’s better to harvest fruit that’s there,” he said figuratively. Bram chose to keep on watering the barren land until a leaf is finally growing, and so he does because of his love to fighting games.

Source: Polygon
Source: Polygon

The result shows now how Advance Guard has its own identity and stand as the icon of fighting game esports. They started from a small scale of a community and now become the international benchmark.

That said, from the business side, Bram admitted that Advance Guard’s journey was far from other EOs who were prefer working on popular games to get more profit.

According to him, big EOs from other countries usually collaborate with those used to the field concerned and it happens in Malaysia, Philippines, and Thailand.

“That is the ideal way of working on an esports. Meanwhile here, sometimes we don’t really get along and fight over some sweets instead… Hahaha,” said Bram joking.

The things esports fighting game in Indonesia needs

What are the things that Indonesia’s fighting game esports needs?

First of all, in terms of exposure, there are still so many games and esports media that don’t cover fighting game esports events. “It tends to be covered only by some media that have their interest in fighting games. Most media would write about fighting game esports if it is a huge event. As I know, IGX (Indonesia Game Xperience) is one with the most writings about it.”

IEC Kratingdaeng 2018. Source: Advance Guard
IEC Kratingdaeng 2018. Source: Advance Guard

According to Bram, the readers of fighting game news are still segmented compared to the popular games. Whereas, on the other hand, many things can be brought up from fighting games, like national and international professional players.

Moreover, the players of fighting games from Indonesia are actually able to compete at the level of Southeast Asia. Bram told us that several times ago, Indonesia representation was taking home the trophy of BlazBlue Cross Tag Battle and BlazBlue Central Fiction competition in Philippines.

That said, to be able to successfully get achievement in Asia or even the world, Indonesia players still need a lot more practice. This achievement is yet worth a praise considering fighting game esports lacking of exposure and support.

Then how about the support for local esports organizations? Can it help develop fighting game esports? Given fighting game division of some esports organizations has not yet been much established.

Source: Advance Guard
Source: Advance Guard

“In my personal opinion, it might happen to be a boost of help; as long as there’s potential and passion from the players. Sponsors can give them a chance to compete abroad for some experience,” explained Bram.

He added, “Unavoidably, they need to compete abroad to raise their own standard.”

Recently, a fighting game player was invited to join Alter Ego and we might see the result from their teamwork later.

I then asked, what would happen if the players of fighting games also get monthly salary just as Dota 2 or Mobile Legends players? Would it help them achieve more?


Bram stated that now fighting game players had gotten their salary but just from a stream and it’s not much. “It’s a business after all. So I think we need to find a win-win solution for all.”

This condition is more suitable for those who’re still studying / a fresh graduate and have their passion in fighting games, and it won’t be as much suitable for those adult, as the career path might not be worth the pain.

The biggest problem of having a career in esports is parents’ concern and permission, as the prizes are not as high as MOBA games yet to make sure that their children would not live in despair in the future.

It is true that in the end it goes back to respective players to decide. If they are successful and can be on their own financially, they may be able to convince their parents to have a career in the esports world.

AMD Esports Fight! Championship 2018. Source: AMD
AMD Esports Fight! Championship 2018. Source: AMD

More to that, sponsors’ support for fighting game esports is indeed very valuable as well; a fighting game competition which was held by AMD (AMD eSports FIGHT! Championship 2018) is for an example.

“If all game tournaments can have similar prize pool as MOBA game tournaments, both business matter and a gap between esports stakeholders and players can be maintained. The point is that esports ecosystem needs to be in a stable condition first.”

The last thing Bram said was that fighting games need to be introduced properly for the sake of its esports’ upturn.

“I realize that Indonesia is far from that, compared to other Southeast Asia countries, like Malaysia, Thailand, or Philippines, they always have a spot for fighting games in an esports event.

For that matter as well, I would like to thank AMD who lets me and believes in me to manage their event.

Hopefully, fighting game esports’ ecosystem will gradually develop its various aspects. After all, fighting game esports is one of esports that people can enjoy because of its entertainment factor that is the most intriguing one, and has many outstanding local players,” said Bram.

That was our brief talk with Bram about fighting game esports’ ins and outs. Hopefully, the barren land managed wholeheartedly by Bram and Advance Guard as well as the community can turn into a wonderful garden where everyone can feel comfortable.

Don’t forget to like Facebook Fanpage Advance Guard for the newest information of fighting game esports.

Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian.

Esports Fighting Indonesia: Yang Terkucilkan Namun Menolak untuk Tergeletak

Tahun 2018 mungkin boleh dibilang sebagai tahun kebangkitan gairah esports di ibu pertiwi. Namun esports sendiri sebenarnya mencakup banyak sekali cabang game dari mulai MOBA (Multiplayer Online Battle Arena), FPS (First Person Shooter), Battle Royale, Sports, Fighting, CCG/TCG (Collectible Card Game / Trading Card Game), Racing, dan yang lainnya.

Sayangnya, faktanya, kebangkitan gairah esports ini tidak merata di semua game. MOBA adalah yang paling laris berkat jumlah pemain yang masif dari Mobile Legends dan Dota 2. Game Fighting adalah salah satu genre esports yang boleh dibilang masih dimarginalkan.

Lain kali, kita akan berbincang untuk genre lainnya namun kali ini saya telah mengundang salah seorang dedengkot dari cabang game fighting untuk berbagi ceritanya. Ia bernama Bramanto Arman yang merupakan Co-Founder Advance Guard.

Bram Arman (kiri). Sumber: Advance Guard
Bram Arman (kiri). Sumber: Advance Guard

Buat yang tidak terlalu familiar dengan dunia persilatan esports, ijinkan saya mengenalkannya terlebih dahulu. Advance Guard merupakan icon dari esports fighting di Indonesia. Di kala kebanyakan event organizer di Indonesia ramai-ramai menggarap MOBA, Bram bersama Advance Guard nya memang setia membesarkan genre tersebut sejak didirikan dari 2012.

Menurut cerita Bram, Advance Guard sendiri juga sebenarnya merupakan tempat berkumpulnya beberapa komunitas game fighting. Misalnya, untuk komunitas Tekken, mayoritas berasal dari IndoTekken. Sedangkan untuk Street Fighter, kebanyakan dari IndoSF.

Berkat ketekunan dan jerih payah mereka di sini, beberapa turnamen garapan Advance Guard bahkan mendapatkan sertifikasi resmi dari CAPCOM (untuk Street Fighter series) dan Bandai Namco (untuk seri Tekken) sebagai turnamen kualifikasi di tingkat internasional.

Jadi, perwakilan Indonesia yang ingin bertanding untuk CAPCOM Pro Tour dan Tekken World Tour harus melalui turnamen besutan Advance Guard.

Tentu saja, prestasi Advance Guard tersebut sudah tak dapat dipandang remeh lagi. Plus, kenyataannya, memang tidak ada lagi ‘otoritas’ yang lebih tinggi selain mereka di dunia persilatan esports fighting Indonesia.

Mari kita masuk ke obrolannya.

Sumber: Advance Guard
Sumber: Advance Guard

Popularitas esports fighting di Indonesia

Seperti yang saya tuliskan di atas tadi, exposure esports fighting di Indonesia memang masih kurang. Hal ini juga dirasakan oleh Bram.

“Minim sekali dibandingkan dengan game-game mainstream yang punya player base sangat besar di Indonesia.” Ungkapnya. Menurutnya, hal ini terjadi juga berkat ada faktor game-nya itu sendiri.

Bram pun menjelaskan bahwa game-game esports yang laris di Indonesia itu memang nyatanya game freemium yang adiktif sehingga bisa membuat banyak orang ‘khilaf’ dengan in-app purchase-nya. 

“Dari situ, akhirnya mereka melihat banyak pemain Indonesia yang memainkan game tersebut dan membuat event berskala besar. Itu untuk game Mobile Legends, AoV, dan PUBG Mobile.”

Sedangkan untuk PUBG (PC), Bram melihat ada wadah yang menaungi para gamer itu, seperti berbagai jenis iCafe. Karena itulah, banyak gamer bisa mencoba game tersebut tanpa membeli; cukup perlu membayar billing di warnet (bahasa kerennya iCafe). Hal ini dirasakan sama seperti yang terjadi di Dota 2.

Sumber: Advance Guard
Sumber: Advance Guard

Popularitas esports figthing di luar Indonesia

Jika popularitas esports fighting di dalam negeri memang masih minim, bagaimana dengan di luar sana?

Bram pun mengatakan bahwa popularitas esports fighting juga masih kalah dengan game-game mainstream di sana. Ia bahkan bercerita bahwa salah satu ajang esports fighting terbesar di dunia, EVO, juga berawal dari cerita yang sama dengan Bram.

Mereka juga awalnya membuat acara untuk komunitas dan penuh dengan passion. Namun seiring berkembangnya esports, EVO sekarang sudah bisa sebanding dengan ajang esports kebanyakan yang bertanding di stadium dengan production yang hingar bingar, dan dapat dukungan banyak sponsor.

Berkat perjuangan EVO itu tadi, EO-EO besar yang sebelumnya tidak menjamah fighting pun akhirnya ikut tergoda.

Bram pun menambahkan esports fighting sebenarnya juga seharusnya bisa populer karena lebih mudah dinikmati oleh orang-orang yang tidak memainkan game tersebut. Saya pribadi setuju sekali. Pasalnya, menonton pertandingan MOBA sebenarnya juga tidak menarik jika kita sendiri tidak memainkannya.

Meski masih kalah populer, di luar sana esports fighting sudah jauh lebih besar. Ia pun bercerita pengalamannya berkunjung ke REV Major, turnamen game fighting terbesar di Filipina. Di sana, ia melihat antusiasme yang begitu tinggi tidak hanya dari para pemainnya namun juga para penonton yang rela datang meski harus membayar tiket yang harganya tidak murah.

Sumber: VG247
Sumber: VG247

Di luar sana, esports fighting juga bahkan sudah didukung oleh beberapa selebriti seperti atlit wrestling Kenny Omega dan Saviour Woods. Ada juga rapper Amerika, Lupe Fiasco.

Perjuangan Advance Guard menggarap esports fighting Indonesia

Lalu, pertanyaannya, dengan popularitas yang masih minimal, kenapa Bram dan Advance Guard masih setia dengan esports fighting? Kenapa tidak bergeser ke game-game lain yang populer seperti kebanyakan Event Organizer (EO) lainnya?

“Karena approach kita memang berbeda.” Jawab Bram lugas.

Lanjutnya, “tak bisa dipungkiri, EO lain kan umumnya komersil jadi mereka melihat pasar yang sudah matang. Kalau saya kan dari komunitas. Jadi, saya berjuang agar komunitas ini bisa survive. Memang berat sih karena bisa dibilang minim support, jika dibanding dengan game mainstream pada umumnya.”

Ia pun memberikan pengandaian seperti ini, kebanyakan orang merasa menyirami tanaman tandus itu sia-sia; lebih baik memetik buah yang sudah ada. Sedangkan Bram memilih untuk terus menyirami tanah tandus, sampai akhirnya muncul satu helai daun. Hal ini ia lakukan karena kecintaannya terhadap game-game fighting.

Sumber: Polygon
Sumber: Polygon

Hasilnya pun sekarang Advance Guard punya jati diri dan ikonik di esports fighting. Mereka yang tadinya hanya mengerjakan skala kecil dari komunitas, sekarang mereka ‘kiblat’nya standar internasional.

Meski demikian, dari sisi bisnis, Bram mengaku perjalanan Advance Guard masih jauh jika berbicara soal profit (dibanding dengan  sejumlah EO yang menggarap game-game populer tadi).

Menurut ceritanya, untuk esports fighting di luar negeri, EO-EO besar biasanya kolaborasi dengan mereka yang sudah biasa di ranah itu. Hal ini terjadi di Malaysia, Filipina, dan Thailand.

“Jadi, idealnya, inginnya seperti itu ya. Tapi kadang-kadang di sini malah jadinya rebutan kue… Hahaha,” ujar Bram sembari berseloroh.

Apa saja yang dibutuhkan oleh esports fighting di Indonesia

Lalu apa saja yang sebenarnya dibutuhkan oleh esports fighting Indonesia saat ini?

Pertama, dari sisi exposure, masih banyak media game dan esports yang minim sekali memberitakan dari ranah esports fighting. “Hanya media yang memang memiliki ketertarikan terhadap game fighting yang cenderung lebih banyak membahas. Media umumnya menuliskan berita esports fighting jika cukup besar skalanya. Sepengetahuan saya, IGX (Indonesia Game Xperience) termasuk yang banyak tulisannya dari media.”

IEC Kratingdaeng 2018. Sumber: Advance Guard
IEC Kratingdaeng 2018. Sumber: Advance Guard

Menurut Bram faktor pembaca game fighting sendiri juga masih segmented dibanding dengan game lain yang lebih populer. Padahal, di satu sisi, banyak hal yang sebenarnya bisa dibahas dari game fighting. Para pemain profesional nasional ataupun luar bisa jadi bahan artikel.

Apalagi, menurut Bram, para pemain game fighting dari Indonesia sebenarnya sudah bisa bertarung di tingkat Asia Tenggara. Bram pun bercerita bahwa beberapa waktu lalu, di Filipina, perwakilan Indonesia sempat meraih juara 1 untuk kompetisi BlazBlue Cross Tag Battle dan BlazBlue Central Fiction.

Meski demikian, Bram pun menambahkan bahwa untuk mengejar prestasi di tingkat Asia atau dunia, para pemain Indonesia masih perlu banyak belajar. Prestasi ini perlu diacungi jempol mengingat esports fighting memang masih minim exposure dan dukungan.

Lalu bagaimana dengan dukungan organisasi esports dalam negeri? Apakah hal tersebut dapat membantu perkembangan esports fighting? Apalagi mengingat belum banyak organisasi esports Indonesia yang punya divisi game fighting.

Sumber: Advance Guard
Sumber: Advance Guard

“Kalau menurut saya pribadi, bisa saja; selama ada potensi dan passion dari pemainnya. Sponsor bisa memberikan kesempatan bagi para pemain untuk bertanding di luar negeri untuk menambah pengalaman.” Jelas Bram.

Ditambah lagi, “mau tidak mau, mereka harus bertanding di luar negeri untuk menaikkan standar.”

Kebetulan, belakangan ini salah satu pemain game fighting diajak bergabung dengan Alter Ego. Jadi, hasilnya mungkin bisa dilihat dari hasil kerja sama tersebut.

Selain mendapatkan sponsor, bagaimana jika para pemain game fighting juga mendapatkan gaji bulanan layaknya para pemain Dota 2 ataupun Mobile Legends? Apakah hal tersebut bisa membantu prestasi? Saya pun bertanya.


Menurut cerita Bram, para pemain game fighting saat ini sudah mendapatkan semacam gaji namun dari streaming yang jumlahnya relatif kecil. “Tapi ini bisnis ya, saya rasa mungkin yang win-win saja buat kedua belah pihak.”

Bram pun menambahkan bahwa kondisi yang ada sekarang lebih cocok untuk mereka yang masih kuliah / fresh graduate dan sangat passion di sini. Sedangkan untuk yang sudah berumur, mereka harus berpikir matang apakah sebanding kerja keras dengan jenjang karir ke depannya jika dibandingkan dengan kerja kantoran pada umumnya.

Menurutnya, masalah terberat berkarir di esports itu dari kekhawatiran orang tua yang pasti dibandingkan dengan pekerjaan kantoran. Baru game-game MOBA yang hadiahnya ratusan juta yang bisa membuat sejumlah orang tua terbuka dengan industri esports.

Meski begitu, Bram pun mengatakan, akhirnya memang kembali lagi ke masing-masing pemainnya. Jika dia bisa sukses dan tak bergantung orang tua, mereka bisa menyakinkan keluarga untuk bisa berkarir di sini.

AMD Esports Fight! Sumber: AMD
AMD Esports Fight! Championship 2018. Sumber: AMD

Selain 2 hal tadi, dukungan sponsor ke esports fighting tentu juga sangat berharga; misalnya seperti AMD yang sempat menggelar kompetisi untuk game fighting (AMD eSports FIGHT! Championship 2018).

“Kalau semua turnamen game bisa menyamai prize pool yang ditawarkan oleh turnamen game MOBA, tentunya dari sisi bisnis dan kesenjangan antara para pelaku esports bisa terjaga. Jadi, ekosistem esports itu perlu stabil dulu.”

Terakhir, menurut Bram, yang dibutuhkan juga oleh esports fighting adalah pengenalan game fighting itu sendiri.

“Saya melihat Indonesia masih jauh dari itu jika dibanding dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia, Thailand, ataupun Filipina. Setidaknya, di sana, event esports selalu ada spot untuk game fighting.

Karena itu juga, saya ingin berterima kasih pada AMD yang telah memberikan kepercayaannya kepada saya untuk menjalankan event mereka.

Harapannya, ekosistem esports fighting terus pelan-pelan berkembang dari berbagai aspek. Toh, esports fighting itu adalah salah satu esports yang punya faktor entertainment yang paling menarik dan punya banyak pemain nasional yang berprestasi di luar sana.” Tutup Bram.

Itu tadi obrolan singkat kami bersama Bram tentang seluk beluk esports fighting. Semoga saja tanah tandus yang sepenuh hati digarap Bram dan kawan-kawannya dari Advance Guard dan komunitas game fighting bisa berubah jadi taman indah yang bisa dinikmati semua orang ya!

Oh iya, jangan lupa like Facebook Fanpage Advance Guard ya untuk info-info terbaru seputar esports fighting.

Mengupas Tuntas Gelaran Esports bersama Senior EO Esports Indonesia

Jika sebelumnya kita telah mengupas tentang organisasi esports bersama owner BOOM ID, kali ini, kita akan berbicara tentang serba-serbi event organizer untuk esports.

Saya telah menghubungi Tribekti Nasima yang merupakan salah satu dedengkot di lingkup EO esports Indonesia. Bekti adalah orang yang berada di balik megahnya gelaran LGS (League of Legends Garuda Series) dan Glorious Arena saat ia menjadi Garena Esports Manager untuk League of Legends (LoL) di Indonesia.

LGS sendiri merupakan liga LoL paling bergengsi di Indonesia yang digarap langsung oleh Garena. Pemenang dari LGS akan bertanding lagi ke level yang lebih tinggi di tingkat Asia Tenggara. Sayangnya, LGS ini sekarang sudah dihilangkan.

GPL Spring 2018. Sumber: Garena
GPL Spring 2018. Sumber: Garena

Buat yang belum terlalu familiar dengan esports Indonesia, faktanya, LGS merupakan pionir dari gelaran kompetitif yang epik di Indonesia. Meski memang bukan yang pertama di Indonesia, banyak EO esports lainnya menjadikan LGS pada era Bekti sebagai patokan proyek mereka.

Saat ini, ia sudah pindah ke Mineski Event Team (MET) sebagai Head of Operation.

Mari kita langsung masuk ke perbincangan saya bersama Bekti.

Yang paling penting dari sebuah event esports?

Saya pun langsung to-the-point untuk menanyakan pendapatnya tentang hal yang paling krusial dari sebuah gelaran. Menurutnya, “yang paling penting itu bisa diikutin. Jadi ada ceritanya. Jadi tahu siapa saja yang bertanding di sana.”

Maksudnya, event esports yang baik adalah yang punya cerita yang mudah diingat. Tanpa aspek naratif yang kuat, gelaran kompetitif tidak akan menarik sebagai sebuah hiburan/entertainment dan akan mudah terlupakan.

Bekti yang memang menjadikan LoL dan Riot Games (developer dan publisher-nya) sebagai ‘kiblat’nya menggarap event pun memberikan contoh soal aspek cerita tadi.

Gelaran kompetisi League of Legends di dunia itu memang lebih mudah untuk diikuti karena sistemnya. Seperti yang saya tuliskan tadi sebelumnya, pemenang dari liga Indonesia akan bertarung ke liga Asia Tenggara. Kemudian, pemenang dari tingkat Asia Tenggara tadi berhak melangkah lebih lanjut ke tingkat dunia a.k.a World Championship.

Sistem yang sama ini digunakan di banyak kawasan lainnya. Jadi, sistemnya memang mirip dengan yang digunakan FIFA di Piala Dunia. Tim-tim yang ingin beraksi di kancah internasional harus bisa menang di tingkat regional.

Oleh karena itu, tim-tim yang bertarung di World Championship telah memiliki latar belakang ceritanya masing-masing. Bagaimana perjuangan mereka, yang tak jarang dramatis, di tingkat regional, membuat tim-tim peserta memiliki karakteristik yang kuat.

Itu tadi elemen paling penting dari sebuah gelaran kompetitif menurut Bekti dan saya sangat setuju dengannya.

Aspek produksi di gelaran esports

Tribekti Nasima. Dokumentasi: Mutiara Donna Visca
Tribekti Nasima. Dokumentasi: Mutiara Donna Visca

Selain aspek naratif tadi, saya pun bertanya kepada Bekti tentang salah satu aspek penting juga yang tak boleh terlewatkan oleh para penyelenggara event esports; yaitu produksi.

Aspek produksi yang dimaksud di sini adalah soal panggung, pencahayaan, acara dan yang lain-lainnya yang dibutuhkan agar event dapat berlangsung.

Menurut Bekti sendiri aspek produksi sebenarnya sangat bergantung dari budget alias anggaran. “Kalau anggarannya kecil, memang susah untuk buat yang megah.”

“Namun,” lanjut Bekti “tantangan bagi para project manager adalah bagaimana membuat produksi maksimal dengan budget minimal.” Ia pun bercerita bahwa acara esports League of Legends, seperti World Championship, itu memang modalnya besar karena tujuan mereka buat event bukan untuk mencari margin (keutungan) dari event tersebut. Di Indonesia sendiri, menurutnya, kesulitannya memang ada di budget tadi karena marginnya saja memang sudah tipis.

Buat yang belum terlalu paham tentang gelaran esports dari League of Legends, ijinkan saya menjelaskan sedikit. Event esports dari League of Legends memang diselenggarakan dan diorganisir langsung oleh Riot Games, developer-nya, atau publisher game-nya seperti Garena di Indonesia (sebelum diganti sistemnya) ataupun Tencent di Tiongkok.

Sumber: es.me
Sumber: es.me

Jadi, karena memang bukan pihak ketiga yang menyelenggarakan, event tersebut tidak dibuat untuk mencari keuntungan materi. Tujuan mereka mengadakan event tersebut memang sebagai salah satu bentuk marketing dan branding untuk agar para pemain lamanya tetap setia ataupun menarik para pemain baru.

Selain itu, event esports yang dikontrol langsung oleh publisher-nya memang bisa lebih leluasa dalam menentukan kualitas seperti apa yang diinginkan. Namun demikian, sistem ini juga bisa dibilang memiliki kekurangan. Jika semua game membuat acaranya sendiri, para penyelenggara event esports pihak ketiga jadi tidak kebagian proyek.

Itulah perbedaan terbesar antara event esports League of Legends dengan kebanyakan game lainnya, baik di Indonesia ataupun di tingkat internasional. Riot, Tencent, Garena, ataupun para pemegang lisensi League of Legends lainnya memang punya divisi esports-nya masing-masing.

Sumber: LoL Esports
Sumber: LoL Esports

Meski demikian yang paling penting dari aspek produksi, bagi Bekti, adalah bagaimana caranya agar aspek produksi tersebut dapat membuat satu turnamen begitu berkesan.

Hal ini bisa tercapai berkat desain panggung yang megah, pertunjukkan di luar kompetisinya, ataupun yang lainnya. Memang, tak jarang event esports bisa sangat berkesan gara-gara pertandingannya seperti hasil pertandingan yang dramatis ataupun tim kuda hitam yang bisa menjadi juara di turnamen tersebut. Namun seorang project manager yang hebat tetap akan berusaha membuat turnamen tetap memorable tanpa menggantungkan nasib pada orang lain.

Aspek publikasi event esports

Berhubung memang saya cukup lama bermain di industri media dan sebelumnya pernah menangani publikasi untuk beberapa event esports di Indonesia, saya pun melihat masalah minimnya aspek publikasi di banyak event esports di Indonesia.

Bekti pun setuju dengan saya. Namun Bekti mengatakan bahwa memang semua EO (event organizer) di Indonesia masih belum sempurna di semua aspek. “Mereka (EO di Indonesia) punya kekuatan dan kelemahan masing-masing.”

Ia pun melanjutkan bahwa industri esports di Indonesia sendiri memang masih muda. Karena itu, mungkin para penyelenggara gelaran esports di Indonesia masih perlu belajar dari event yang pernah dibuat. “Dari 1-3 event kan jadi bisa dievaluasi. Setelah beberapa waktu, mungkin headcount-nya juga bisa dipenuhi (tambah personil).”

Sumber: ESL
Sumber: ESL

Karena memang banyak EO yang masih ‘muda’ di Indonesia, Bekti melanjutkan, masuknya ESL ke Indonesia (berkongsi dengan Salim Group) akan berdampak positif buat industri esports tanah air karena para penyelenggara tadi dapat memiliki patokan (benchmark) baru yang dapat dikejar.

Bekti pun menambahkan kadang event esports bahkan tak perlu publikasi tapi bisa populer. Ditambah lagi, beberapa sponsor juga sudah mulai berpikir soal kualitas. Namun demikian, Bekti juga tidak begitu saja menihilkan aspek publikasi itu tadi.

LoL merupakan salah satu game yang punya aspek publikasi hebat karena cerita rangkaian turnamen mereka yang relatif lebih mudah diikuti (karena digarap langsung oleh publisher dan punya jenjang kompetisi yang rapih). Namun demikian, hal ini juga sebenarnya dapat dilakukan di game-game lainnya Bekti pun berargumen.

Ia pun mencontohkan kompetisi Dota 2 yang lebih banyak digarap oleh pihak ketiga. Dalam hal ini, jurnalis atau medianya yang harus lebih pandai merajut cerita dari berbagai kompetisi tadi.

Masukan untuk para penyelenggara event esports

MPL Indonesia Season 1. Sumber: MLBB
MPL Indonesia Season 1. Sumber: MLBB

Saya pun menanyakan saran apa yang bisa diberikan oleh Bekti sebagai salah seorang yang senior di bidang ini. Menurutnya, ada 2 hal yang bisa dilakukan.

Pertama, menjaga dan memulainya dari komunitasnya masing-masing. Ia pun mencontohkan Advance Guard yang merupakan EO sekaligus komunitas yang spesialis menggarap game-game fighting di Indonesia. Meski memang masih kalah popularitasnya (karena genre game-nya), Advance Guard tidak bisa dibilang EO kecil karena turnamen mereka juga biasa ditunjuk oleh Capcom dan Bandai Namco menjadi turnamen kualifikasi Indonesia untuk Street Fighter ataupun Tekken ke jenjang turnamen yang lebih tinggi alias tingkat internasional.

Di PES (Pro Evolution Soccer) dan FIFA juga mirip seperti itu yang mengandalkan komunitas.

Dengan memperkuat jaringan komunitas, menurut Bekti, mereka-mereka yang ingin mengadakan turnamen untuk game-nya mau tidak mau harus melibatkan komunitas itu tadi.

Sumber: AMD
Sumber: AMD Indonesia

Hal kedua yang bisa dilakukan adalah terus mencari dan berpegang pada kekuatannya masing-masing. Misalnya, EO yang kuat di media bisa terus mengembangkan medianya. Komunitas tadi juga dapat dilihat sebagai kekuatan yang mungkin tak dapat ditawarkan oleh EO lainnya.

Selain itu, contoh lainnya, jika memang belum pernah eksekusi event Dota 2, ya jangan diambil. Pasalnya, meski memang mudah dibayangkan, akan ada hal-hal kecil yang terlupakan jika tidak biasa.

Terakhir, saya pun menanyakan hal ini sebagai penutup.

Menurutnya, hal apa yang biasanya menyebabkan satu gelaran esports jadi kacau? “Antara kebanyakan kaki tangan atau kebanyakan kepala.” Jawabnya.

Maksudnya, kebanyakan kaki tangan di sini adalah soal terlalu banyak menggunakan sub-vendor yang biasanya dilakukan untuk menghemat anggaran. Hal tersebut biasanya akan mengakibatkan koodinasi yang sulit.

Sedangkan kebanyakan kepala artinya terlalu banyak stakeholder yang jadinya terlalu banyak kepentingan sehingga sulit untuk fokus pada 1 tujuan.

Itu tadi secuil perbincangan saya dengan Bekti. Semoga hal ini bermanfaat bagi Anda yang penasaran ikut menggarap esports di dalam negeri.

Untuk Bekti, sukses terus ya bersama Mineski Event Team ataupun di tempat-tempat lainnya! Thanks untuk waktu dan insight-nya!

Wawancara Bersama Owner BOOM ID Tentang Pahit Manis Organisasi Esports

Dengan menjamurnya dan ‘latah’ esports di Indonesia, banyak orang beramai-ramai terjun ke industri ini; dari yang mulai jadi event organizer, media, ataupun tim esports.

Meski begitu, nyatanya, memang tidak mudah meraba industri baru ini jika tak ada teladan yang bisa diikuti. Karena itu, kami mengajak mereka-mereka yang sudah lebih dulu terjun untuk berbagi pengalamannya.

Kali ini, kita akan berbicara soal tim esports dan saya telah menghubungi Gary Ongko Putera yang merupakan owner sekaligus founder dari BOOM ID untuk menceritakan insight-nya.

Sebelumnya, buat yang tidak familiar dengan BOOM ID, organisasi esports ini adalah salah satu yang terbesar di Indonesia yang didirikan tahun 2016.

Sumber: BOOM ID
Sumber: BOOM ID

Saat artikel ini ditulis, mereka juga masih menjadi organisasi dengan divisi/tim game terbanyak mulai dari Dota 2, CS:GO, Mobile Legends, Point Blank, PUBG, PUGB Mobile, Vainglory, Hearthstone, dan FIFA Online. Mereka bahkan punya 3 tim untuk game Mobile Legends, 2 di Indonesia dan 1 di Singapura.

Selain itu mereka juga bisa dibilang paling konsisten performanya, dari aspek prestasi, di dunia persilatan Dota 2 dan CS:GO Indonesia.

Inilah perbincangan saya dan Gary.

Sumber: Duniaku
Sumber: Duniaku.net

Sejarah BOOM ID

Saya pun menanyakan cerita bagaimana dulu BOOM ID terbentuk. Gary pun bercerita bahwa saat ia masih SD atau SMP setiap hari main ke warnet. Dari sana, ia bermimpi untuk memiliki organisasi seperti Fnatic.

“Emang dari dulu patokannya Fnatic. Menurut gua, mereka salah satu organisasi paling keren.” Ungkapnya.

Dari impian itu, satu saat ia mendapatkan kesempatan karena tim CS:GO Kanaya ingin melepaskan diri dari manajemen dan mencari tempat berlabuh baru. “Kebetulan cocok. Jadi, mulailah BOOM ID.”

Kala itu, ada 4 pemain yang berasal dari Kanaya yaitu hazard, mindfreak, asteriskk, dan MaverickZz ditambah 1 pemain dari Recca Esports, 6fingers. Saat itu Ari Kurniawan, yang sekarang jadi COO Capcorn, manajer dari Kanaya Gaming juga ikut hijrah jadi manajer BOOM ID.

Gary (kiri) dan Owljan (kanan). Sumber: Owljan
Gary (kiri) dan Owljan (kanan). Sumber: Owljan

Ari pun mengenalkan Owljan untuk jadi graphic designer BOOM ID. Dari Owljan, ia pun mengenalkan BOOM ID ke tim Dota 2 yang mantan pemain Supernova. Maka bergabunglah InYourDream, Dreamocel, SaintDeLucaz, Varizh, dan SnowbaLL yang jadi susunan pemain pertama divisi Dota 2 BOOM ID.

Dari 2 divisi itu pun BOOM ID pelan-pelan berkembang besar sampai jadi sekarang ini. Beberapa divisi mereka juga sebenarnya baru saja direkrut di 2018 ini, seperti Hearthstone, FIFA Online, dan Point Blank.

BOOM Jr yang merupakan salah satu tim Mobile Legends BOOM juga baru direkrut sesaat setelah tim tersebut lolos ke MLBB Professional League (MPL) Indonesia Season 2. Sebelumnya, tim tersebut bernama Chronos Agent.

Tantangan Organisasi Esports

Saya pun menanyakan tantangan-tantangan yang harus ia hadapi sebagai pemilik tim esports.

“Kesulitannya… hmmm banyak sih. Kita sekarang punya anggota 50+. Jadi, setiap hari pasti ada susahnya. Entah result (prestasi) yang kurang memuaskan, (masalah) internal, cari sponsor, cari talent, cari coach yang mau tinggal di Indonesia, masalah internet dan yang lain-lainnya.”

Ia pun menambahkan beberapa cerita yang spesifik tentang kesulitan yang pernah ia rasakan. “Dulu pernah juga pakai provider internet yang kurang bagus. Jadi setiap nyari Grab atau Gojek ke BC selalu di-cancel. Pernah kebanjiran juga jadi harus angkat PC ke atas meja supaya ga konslet. Pernah mati lampu saat bertanding. Pernah gagal ikut 2 kualifikasi regional Asia Tenggara karena jadwal yang saling bertabrakan.”

“Netizen itu kesulitan juga sih yang harus dihadapi hahaha…” Katanya tertawa.

Tentang modal awal

Lalu bagaimana soal modal awalnya untuk membuat tim ini? Apakah ada kesulitan sendiri soal ini?

Gary pun bercerita bahwa ia harus meninggalkan perusahaan orang tuanya untuk fokus ke BOOM.

“Hahaha… Lumayan tegang ngomongnya (waktu itu). Tapi karena sudah passion dan pas S2 di Amerika juga sudah dipikirkan masak-masak business plan nya, jadinya untung lumayan smooth dan didukung (orang tua).” Kenang Gary.

Sekarang, BOOM ID memang telah mendapatkan banyak sponsor namun ia juga mengatakan bahwa punya sponsor itu tidak selalu menyenangkan. “Beberapa brand kadang-kadang memberikan janji yang muluk-muluk namun setelah dibantu semuanya berubah.”

Dari pengalaman itu, Gary juga memberikan pesan untuk para owner baru untuk benar-benar cari tahu brand yang menawarkan diri jadi sponsor.

Tim Dota 2 BOOM ID. Sumber: BOOM ID
Tim Dota 2 BOOM ID. Sumber: BOOM ID

Jadi, dari cerita tadi, sebenarnya masalah yang dihadapi oleh organisasi esports tak jauh berbeda dengan masalah perusahaan kebanyakan.

Masalah prestasi yang tak sesuai harapan adalah masalah KPI di perusahaan profit. Masalah internal pemain juga bisa disebut masalah SDM. Masalah internet dan teknis lainnya juga tak jarang dihadapi oleh perusahaan lainnya. Sedangkan masalah sponsor juga bisa diartikan masalah kesepakatan bisnis.

Namun demikian, meski bisa dibilang masalah yang dihadapi senada, kemampuan manajemen yang baik juga perlu diimbangi dengan pengetahuan esports yang memadai untuk mengatur sebuah organisasi esports.

Dari obrolan saya dan Gary, saya juga baru mengetahui ternyata owner BOOM ID ini bahkan lulusan S1 dan S2 dari US. Gelar S1 nya pun ganda (double degree) antara Ekonomi dan Psikologi. Untuk S2 nya, Gary mengaku mengambil jurusan Ekonomi.

“Jenius gua despite kerusuhan gua…  wakakkakaa.” Seloroh Gary.

Mungkin juga, karena latar belakang akademis Gary tadilah, ia berhasil membawa BOOM ID jadi sebesar ini sekarang.

Jadi, buat Anda yang masih meremehkan gamer, yang katanya malas, bodoh, dan tidak berpendidikan, saya akan bawa Gary ketemu Anda… Hehe…

Tentang regenerasi pemain

Satu hal yang sebenarnya menjadi perbincangan di kalangan manajemen tim esports Indonesia adalah soal minimnya regenerasi pemain di tanah air, khususnya di Dota 2 dan CS:GO.

Sumber: BOOM ID
Sumber: BOOM ID

Bagaimana menurut pendapat Gary?

Menurutnya soal regenerasi itu tergantung dari minat organisasi tersebut apakah serius memberikan insentif ke pemain untuk naik ke tingkat pro.

Ia pun tidak melihat regenerasi jadi masalah di Indonesia. “Dengan makin banyaknya organisasi di Indonesia, harusnya regenerasi talent (pemain) aman.”

Gary pun memberikan contoh bahwa sekarang organisasi-organisasi esports besar juga ramai-ramai buat tim CS:GO. Ia pun menyebutkan yang spesifik tentang organisasi esports PG Barracx yang sekarang punya PG Godlike dan PG Orca yang merupakan divisi baru dengan pemain-pemain muda.

Menurutnya, pandangan kaum awam dan masyarat generasi tua yang menjadi kunci terakhir tentang regenerasi ini. “Karena banyak pemain yang tidak diijinkan untuk mengejar ambisi menjadi pemain profesional sama orang tuanya. Padahal, dari segi gaji, lumayan banget jadi pro player.”

Berbicara soal gaji, memang berapa sih sebenarnya gaji yang bisa didapatkan oleh pemain baru?

Menurutnya, kisaran gaji yang bisa didapatkan oleh pemain baru di Indonesia bisa berkisar antara Rp3-4 juta rata-ratanya. “Semua tergantung prestasi sih kalau di BOOM. Kurang tahu kalau untuk tim-tim lainnya.”

BOOM ID saat juara IGC 2018. Sumber: BOOM ID
Tim Dota 2 BOOM ID saat juara IGC 2018. Sumber: BOOM ID

Keuntungan memiliki tim Esports

Setelah kita berbicara cukup panjang soal tantangan, bagaimana soal keuntungannya?

Dari sisi emosional, Gary mengaku bangga ketika timnya menang meski merasa sedikit kesal juga saat kalah. Gary memang benar-benar peduli dengan performa tim-timnya di sana.

Selain soal kemenangan tadi, ia juga merasa ada kepuasan sendiri jika banyak pemain yang berkembang setelah mereka bergabung dengan BOOM ID.

Ia juga senang ketika bisa melihat para pemainnya kerja keras selama latihan. “Rewarding aja bisa melihat pemain yang sangat peduli dengan pekerjaannya sebagai pro gamer.”

Bagaimana soal keuntungan materiil?

Ia mengaku bisa mendapatkan keuntungan materiil dari sponsor, hadiah turnamen, penjualan merchandise, dan streaming incentives.

Saat ini, Gary pun mengaku sebenarnya BOOM ID sudah profit (mendapatkan laba) namun ia justru menggunakan keutungan tersebut untuk melebarkan sayapnya alias expand.

Dari semua jenis pemasukan tadi, Gary mengatakan bahwa pemasukan dari sponsor yang cukup besar. Sebaliknya, hadiah turnamen di Indonesia tidak dirasa cukup besar.

Merchandise BOOM ID. Sumber: BOOM ID
Merchandise BOOM ID. Sumber: BOOM ID

“Paling PO jersey yang lumayan. Tapi ga bisa sering-sering haha…”

Itu tadi perbincangan singkat saya dengan Gary Ongko, yang empunya BOOM ID. Semoga perbincangan kami dapat bermanfaat bagi Anda yang tertarik untuk membuat tim esports.

Thanks juga buat Gary yang sudah menyempatkan waktunya dan berbagi cerita. Semoga kawan-kawan kita di BOOM ID bisa terus berkembang dari waktu ke waktu ya!

Rencana Lazada Indonesia untuk Kanal Khusus Produk dari Marketplace Taobao

Sebagai layanan e-commerce yang sudah menjadi bagian dari Alibaba Group, pertengahan bulan September 2017 lalu Lazada Indonesia menghadirkan kanal khusus yang menjual produk murah dan beragam dari marketplace asal Tiongkok, Taobao. Selain di Lazada Indonesia, layanan khusus ini juga sudah hadir di Lazada Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand.

Kepada DailySocial CMO Lazada Indonesia Achmad Alkatiri mengungkapkan, layanan ini sengaja dihadirkan untuk merangkul lebih banyak lagi konsumen di Lazada Indonesia. Untuk koleksi sendiri cukup beragam, mulai dari fesyen, elektronik hingga aksesoris.

“50% assortment dari Koleksi Taobao adalah produk fesyen, diikuti produk elektronik dan aksesoris, peralatan olahraga, anak dan bayi kemudian produk home and living,” kata Alkatiri.

Pengiriman langsung dan bebas ongkos kirim

Untuk memastikan produk yang dipesan bisa segera tiba di rumah pembeli, proses pengantaran produk koleksi Taobao memakan waktu maksimal 14 hari, sejak konfirmasi transaksi diterima. Semua produk Koleksi Taobao langsung dikirimkan dari para penjual di Tiongkok ke salah satu hub Lazada Indonesia sebelum dikirimkan ke masing-masing konsumen dalam satu paket sekaligus.

“Dengan proses ini memberikan kemudahan bagi konsumen yang membeli berbagai macam barang dalam 1 transaksi. Karena konsumen cukup menerima satu paket berisikan berbagai macam barang tersebut, tidak perlu menunggu datangnya barang berkali-kali,” kata Alkatiri.

Hal tersebut diklaim Lazada Indonesia membedakan proses pengantaran saat ini yang dilakukan jika pembelian dalam jumlah banyak di penjual yang berbeda. Untuk pembayaran, Lazada Indonesia juga menyediakan pilihan COD (cash on delivery) di seluruh Indonesia.

Selain harga yang terjangkau dan pilihan terbilang besar jumlahnya, Lazada Indonesia memberikan layanan lebih berupa bebas ongkos kirim kepada pembeli, dengan berbelanja minimal Rp. 150,000.

“Target kita adalah untuk terus menjadi situs destinasi belanja online terlengkap dan terkemuka di Asia Tenggara dan Indonesia, dengan menghadirkan berbagai pilihan produk terbaik dengan harga yang terjangkau untuk menjawab keperluan masyarakat kita yang majemuk,” kata Alkatiri.

Tantangan baru untuk layanan e-commerce lokal

Sebelumnya DailySocial sempat menanyakan pendapat investor hingga pimpinan startup layanan e-commerce terkait dengan kehadiran Taobao di Lazada Indonesia. Semua pendapat tersebut mengerucut kepada tantangan hingga gangguan yang bakal di hadapi layanan e-commerce lokal di Indonesia.

Dengan harga yang murah, pilihan produk beragam dalam jumlah yang besar hingga pengiriman yang cepat, hingga bebas ongkos kirim, tentunya menjadi penawaran yang lebih kepada konsumen.

Seperti yang diungkapkan oleh Co-Founder dan Managing Partner Ideosource Edward Chamdani.

“Pasti akan berpengaruh karena akses seluruh merchant Taobao akan bisa di akses oleh konsumen Lazada. Jadi tergantung seberapa kuat Lazada bisa menaikkan online traffic dan reach-nya tentu akan berpengaruh terhadap layanan e-commerce lainnya. Apalagi kalau logistik (time to delivery) sudah makin cepat.”

Dengan strategi yang tepat dan lebih fokus kepada kualitas produk, menurut CEO Berrybenka Jason Lamuda bisa menjadi cara tepat untuk bisa bersaing dengan produk asal Tiongkok tersebut.

“Seperti kita ketahui, produk dari Tiongkok terkenal dengan murahnya karena mereka memproduksi barang dalam jumlah besar. Hal baiknya untuk Berrybenka, produk yang kita jual adalah pakaian yang sifatnya preferensi, bukan barang komoditas,” kata Jason.

Application Information Will Show Up Here