Digitaraya Siap Jadi Investor Strategis Passpod Saat IPO

PT Yeloo Integra Datanet (Passpod) mengumumkan rencana untuk melantai di Bursa Efek Indonesia pada akhir tahun ini. Salah satu yang mengungkapkan komitmennya untuk mendukung IPO ini adalah Digitaraya. Digitaraya, perusahaan akselerator bentukan Kibar dan Google Developers Launchpad,  bakal menjadi pembeli siaga saham Passpod.

Passpod merupakan startup yang bergerak di penyewaan modem portabel yang ditujukan untuk para wisatawan, khususnya wisatawan lokal yang bepergian ke luar negeri. Perusahaan merupakan startup binaan IDX Incubator batch awal yang mengklaim telah memiliki 58.500 pelanggan per Juni 2018. Passpod disebut telah memberikan akses modem 4G ke 68 negara tujuan (outbound).

“Minat yang tinggi dari para investor strategi ini merupakan bentuk validasi eksternal atas model bisnis Passpod. Kami memposisikan diri sebagai travel assistance selama wisatawan berada di luar negeri, dimulai dari penyediaan koneksi internet, penjualan tiket event, atraksi dan lainnya lewat aplikasi. Hal tersebut kami nilai menjadi salah satu faktor para investor strategis ketika menentukan alokasi investasinya kepada Passpod,” terang CEO Passpod Hiro Whardana.

Sementara Chief Executive Kibar Yansen Kamto menjelaskan, pertimbangan berinvestasi pada Passpod didasarkan pada model binis dan market size yang potensial. Tren berwisata ke luar negeri dari tahun ke tahun semakin bertumbuh.

Meskipun ada saham yang dialokasikan ke investor tertentu, Hiro menegaskan bahwa porsi untuk investor ritel telah dialokasikan secara proporsional. “Tidak perlu khawatir bagi investor ritel karena kami tetap membuka kesempatan untuk bisa membeli saham Passpod,” jelas Hiro.

Passpod sendiri dalam IPO ini  menargetkan perolehan dana Rp40 miliar. Nantinya dana yang didapat 70% akan digunakan untuk riset dan pengembangan. Salah satu yang direncanakan adalah melakukan pengembangan teknologi untuk bisa memudahkan konektivitas pengguna di lebih banyak negara tujuan wisata. Sedangkan 30% lainnya akan digunakan perseroan untuk modal kerja.

Passpod saat ini masih mengandalkan impor perangkat modem, namun Passpod telah mendapatkan sertifikasi dan standar yang telah ditetapkan pemerintah untuk memproduksi perangkatnya sendiri.

“Melalui proses yang lumayan panjang, pada Mei 2018 kami mendapatkan dan menjadi satu-satunya perusahaan yang mendapatkan sertifikasi TKDN dan Postel A/B,” terang Hiro.

Application Information Will Show Up Here

Papan Akselerasi BEI untuk Startup dan UKM Diterbitkan Desember 2018

Salah satu opsi agar lebih banyak lagi startup dan UKM bisa melantai di bursa saham adalah dengan menerbitkan aturan papan akselerasi. Bursa Efek Indonesia (BEI), atau Indonesia Stock Exchange (IDX), tengah merumuskan sebuah aturan baru, bagi pelaku startup dan UKM di Indonesia yaitu papan akselerasi. Tujuan akhirnya agar lebih banyak lagi penggalangan dana dimanfaatkan melalui pasar modal.

Saat ini BEI sudah memasuki tahap final dan akan melakukan diskusi akhir dengan OJK selaku regulator. Targetnya jika sudah rampung semua, aturan papan akselerasi akan dirilis pada akhir tahun 2018.

“Setelah kita membuat draft dan melemparkannya kepada pihak terkait, proses selanjutnya adalah pembicaraan lebih lanjut dengan OJK, sebelum aturan kita terbitkan,” kata Senior Manager State Owned & Regional-Owned Enterprise Privatization, Startup, SME & Foreign Listing IDX Listyorini Dian Pratiwi kepada DailySocial.

Saat ini tercatat baru tiga startup, yang didominasi kalangan fintech, yang sudah melakukan Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia. Mereka adalah Kioson, MCash dan NFC Indonesia. Meskipun sudah banyak startup di Indonesia yang memiliki potensi untuk melakukan IPO, namun masih ketatnya peraturan dari BEI dan OJK, menyulitkan mereka untuk melakukan IPO di bursa efek.

“Dengan melakukan IPO, semua masyarakat Indonesia pun bisa ikut memberikan modal kepada startup dan UKM Indonesia, pada akhirnya bukan hanya layanan fintech saja yang melakukan IPO, tapi startup kategori lainnya.”

Bertambahnya investor lokal

Kegiatan penggalangan dana yang saat ini masih banyak dilakukan oleh startup, banyak menarik perhatian investor asing. Disinggung apakah nantinya investor asing akan mendominasi permodalan kepada startup di Indonesia, Listyorini menegaskan, saat ini BEI mencatat, jumlah investor lokal lebih banyak dibandingkan dengan investor asing.

“Kita mencatat hampir 60% investasi datang dari investor lokal, adanya pemberitaan yang menyebutkan investor asing lebih banyak jumlahnya dibandingkan investor lokal tidak benar,” kata Listyorini.

Listyorini melanjutkan, melalui papan akselerasi diharapkan bisa mendorong lebih banyak lagi startup dan UKM untuk melantai di bursa. Bukan hanya perusahaan yang berbasis digital, namun juga UKM yang masih konvensional juga bisa bergabung di pasar modal.

aCommerce Aims for IPO in 2020

aCommerce, along with the fifth anniversary, revealed the plan to release an initial public offering (IPO) by 2020. Later, the fund raised from IPO will be focused on unified data platform development to tighten aCommerce position as a data management partner for top-tier brands in Southeast Asia.

Looking back to when aCommerce first established in 2013 in Thailand, providing an integrated solution as an e-commerce channel (retail solution, marketing, and distribution). In the last five years, the Bangkok-based company has intensified expansion. Aside from Thailand, they’re also expanding to Indonesia, the Philippines, Singapore, and Malaysia.

Trusted by brands as big as Unilever, L’Oreal, and HP has made aCommerce grow rapidly, from startup to enterprise. In its fifth year, the company claims to advance by 750%, supporting more than 260 top-tier global brands. Through its service, aCommerce managed to handle 13.19 million orders, with over 1200 employees in 5 offices and 15 logistics center.

Data becomes one of the focus for development in aCommerce. Previously, they also released the data-driven demand generation, such as ecommerceIQ, ReviewIQ, BrandIQ, ChannelIQ, and CustomerIQ. The objective is to help brand optimizing its e-commerce.

“The number of customers data which currently ‘floating’ is big. The data should be able to be used by everyone for optimization, but nobody has it integrated into one platform,” Paul Srivorakul, aCommerce’s Group CEO and Co-Founder, said.

He added, “With the capital raised through IPO, aCommerce plans a mission to manage the information and plays a role as a data partner for brands. Our main objective is for brands to come and collect the centralized data of a customer, and finally be able to offer customized products or services for each group targeted.”

The mission goes along with a survey conducted by ecommerceIQ. In its result, 25,8% of brands are looking for digital talents with data analytic expertise to support the business strategy. Moreover, data management can be optimized with technology, and aCommerce wants to be involved.

Currently, aCommerce has raised a total funding of $96.5 million (worth IDR 1.4 trillion) from some investors include Emerald Media by KKR, BlueSky, DKSH, InspireVentures, Sinarmas, and NTT Docomo. The latest one was acquired at the end of 2017 in Series B round.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

aCommerce Rencanakan IPO Tahun 2020

Bersamaan dengan perayaan ulang tahun kelima, aCommerce mengungkapkan rencana merilis penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO) di tahun 2020 mendatang. Nantinya dana yang didapat dari IPO akan difokuskan untuk pengembangan unified data platform sehingga menguatkan posisi aCommerce sebagai data management partner bagi brand terkemuka di Asia Tengara.

Menilik sejenak ke belakang, aCommerce dimulai pada tahun 2013 di Thailand, menyediakan solusi terpadu berupa kanal e-commerce (solusi ritel, pemasaran, dan distribusi). Dalam lima tahun terakhir, perusahaan bermarkas pusat di Bangkok tersebut terus menggencarkan ekspansi. Selain Thailand, sampai saat ini sudah menguatkan kehadirannya di Indonesia, Filipina, Singapura dan Malaysia.

Kepercayaan brand besar sekelas Univeler, L’Oreal, hingga HP membuat aCommerce bertumbuh pesat, dari startup menjadi enterprise. Di tahun kelima, perusahaan mengklaim telah mengalami pertumbuhan hingga 750%, melayani lebih dari 260 brand global terkemuka. Melalui solusinya, aCommerce berhasil melayani 13,19 juta pesanan, didukung lebih dari 1200 karyawan di 5 kantor dan 15 pusat logistik.

Data memang menjadi salah satu fokus pengembangan di aCommerce. Sebelumnya mereka juga telah merilis produk berbasis data-driven demand generation, seperti ecommerceIQ, ReviewIQ, BrandIQ, ChannelIQ, dan CustomerIQ. Tujuannya untuk membantu brand mengoptimalkan bisnis e-commerce mereka.

“Jumlah data pelanggan yang saat ini sedang ‘melayang di udara’ sangat besar. Sebenarnya data ini bisa digunakan semua orang untuk dioptimalkan, tapi belum ada yang mengintegrasikan di satu platform,” ujar Group CEO dan Co-Founder aCommerce Paul Srivorakul.

Paul melanjutkan, “Dengan kapital yang dikumpulkan melalui IPO, aCommerce memiliki misi untuk mengelola bongkahan informasi tersebut dan berperan sebagai data partner bagi para brand . Tujuan utama kami adalah agar brand dapat datang ke kami untuk mendapatkan data yang tersentralisasi tentang seorang pelanggan dan pada akhirnya mampu menawarkan produk atau jasa yang terkustomisasi untuk masing-masing grup yang mereka targetkan.”

Misi tersebut sejalan dengan survei yang pernah dilakukan ecommerceIQ. Dalam temuannya dinyatakan 25,8% brand mencari talenta digital dengan kemampuan analisis data untuk membantu menguatkan strategi bisnis. Sementara pengelolaan data bisa dioptimasi dengan teknologi, dan aCommerce ingin masuk ke dalamnya.

Saat ini aCommerce sudah membukukan total pendanaan senilai $96,5 juta (atau senilai 1.4 triliun Rupiah) dari beberapa investor, termasuk Emerald Media milik KKR, BlueSky, DKSH, Inspire Ventures, Sinarmas dan NTT Docomo. Pendanaan terakhir didapat akhir 2017 lalu dalam putaran seri B.

Inisiasi Startup untuk “Go Public”, Bekraf Rilis Platform “GoStartupIndonesia”

Bekraf, didukung Bursa Efek Indonesia (BEI), meluncurkan platform GoStartupIndonesia (GSI) untuk mendorong startup maju sebagai perusahaan terbuka di bursa. GSI merupakan tindaklanjut dari Nota Kesepahaman antara Bekraf dan BEI pada April 2018 tentang program IDX Incubator.

Kepala Bekraf Triawan Munaf menjelaskan pada tahap awal founder startup lebih fokus pada aspek teknis dibandingkan dengan aspek manajerial, administrasi dan keuangan. Oleh karena itu, GSI akan mendorong literasi finansial untuk startup, sehingga arah dan pengembangan bisnis startup sudah dirancang sejak awal.

“GSI merupakan suatu semangat dan gerakan bersama untuk mempercepat pertumbuhan ekosistem yang kondusif bagi startup di Indonesia, khususnya pada sektor ekonomi kreatif di berbagai tingkatan siklus usaha rintisannya,” ujar Triawan, Kamis (6/9).

Menjadi startup unicorn seperti Go-Jek, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak adalah impian setiap startup. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direplika oleh startup lain karena butuh modal yang kuat.

GSI dengan program akselerator CreaX (Creative Exchange for Startup) mencoba untuk memberikan alternatif tujuan kepada startup dengan cara lebih realistis dan dapat direplikasikan, caranya dengan solusi akses permodalan bagi startup melalui go public.

Program akselerator CreaX

CreaX bertujuan untuk bantu startup scale up dengan mentoring dan kompetisi pitching. Bekraf akan mencari startup yang berpotensi lewat roadshow ke beberapa kota besar, seperti Medan, Surabaya, Denpasar, Yogyakarta, Makassar, Bandung, dan Jakarta yang akan dimulai pada akhir bulan ini.

Pemenang kompetisi pitching akan berkesempatan untuk mengikuti program inkubator dan mentoring pada Supercamp. Tujuannya untuk mempersiapkan para finalis dari masing-masing kota untuk menghadapi final pitching yang akan dihelat pada Indonesian Capital Day, tanggal 14 November 2018 di Surabaya.

Pemenang kompetisi GSI juga berkesempatan mengikuti program lebih lanjut dan terhubung dengan komunitas startup dan investor global dengan kompetisi pitching di level global.

Triawan melanjutkan, untuk menciptakan ekosistem yang kondusif dan lengkap, GSI sedang mengembangkan situs resmi sebagai one stop services untuk startup yang akan memfasilitasi kebutuhan dari hulu ke hilir.

Dalam situs ini, startup berkesempatan untuk terhubung dengan ekosistem startup Indonesia. Selain update berita, acara, pelatihan, dan kesempatan kerja bagi startup, terdapat pula forum diskusi yang bisa diakses oleh startup, komunitas, mentor, dan investor.

Platform GSI juga fokus untuk mendorong tumbuhnya jumlah investor lokal untuk berinvestasi pada startup lokal dengan prospek yang baik melalui Investor Relation Unit. Triawan sadar betul tidak hanya startup yang harus diedukasi, investor pun juga menjadi perhatian dari GSI, mengingat investasi pada sektor riil.

Dia berharap platform ini dapat meningkatkan jumlah investor yang berinvestasi dan bertransaksi di pasar modal dan semakin banyak startup yang akan go public di BEI.

Triawan mengestimasi startup lulusan dari CreaX dapat mulai melantai pada setahun ke depan. Hal ini disebabkan regulasi baru yang dikeluarkan OJK yang memudahkan startup kelas UKM bisa menggunakan papan akselerasi, daripada pakai papan pengembangan yang dinilai masih memberatkan.

“Mungkin bisa setahun lagi, tahun depan. Dengan regulasi yang baru dari OJK bisa. Semoga dengan mulai melantai di bursa, investor lokal banyak yang masuk Kami ingin investor dalam negeri bisa ikut serta,” pungkas Triawan.

Passpod Siapkan IPO, Rencananya Sebelum Akhir Tahun

Layanan penyewaan modem Wi-Fi Passpod (PT Yelooo Integra Datanet) mengumumkan rencana untuk melantai ke Bursa Efek Indonesia yang diharapkan bisa terlaksana sebelum akhir tahun ini. Sebagai langkah awal, Passpod telah menggelar mini expose secara tertutup pada hari Kamis (23/8). Diharapkan IPO ini bisa menggalang dana bagi perusahaan hingga 40 miliar Rupiah.

Masuknya Passpod ke lantai bursa akan menandai semakin banyaknya perusahaan berbasis teknologi yang go public. Sebelumnya tercatat Kioson, M Cash, dan NFC Indonesia yang telah menjual sahamnya ke publik sejak akhir tahun lalu.

Passpod sendiri merupakan perusahaan rintisan binaan IDX Incubator, sebuah usaha BEI untuk mendorong lebih banyak startup untuk masuk bursa. Sebelum IPO, Passpod beroperasi secara bootstrap dan belum pernah mencari pendanaan dari VC. Dana yang diperoleh rencananya diperuntukkan untuk pengembangan bisnis dan teknologi.

Sebagai layanan penyewaan modem Wi-Fi, Passpod memberikan akses modem 4G ke 68 negara tujuan (outbound). Di Indonesia, pemain serupa Passpod yang turut mewarnai industri pariwisata adalah Wi2Fly dan JavaMifi.

Passpod mengklaim sebagai satu-satunya layanan di segmen ini yang telah memperoleh sertifikasi TKDN dan Postel A/B. Passpod juga sepanjang tahun ini telah bermitra dengan Blibli, Alfamart, dan Garuda Indonesia untuk kemudahan penyewaan dan pengembalian modem.

Selain bisnis penyewaan modem, Passpod telah merambah sektor travel yang lebih luas dengan mengembangkan aplikasi yang tak hanya mempermudah proses pemesanan modem, tetapi juga memberikan informasi dan kemudahan pembelian tiket atraksi secara online di lokasi tujuan wisata.

 “Saat ini kami optimis dengan kondisi finansial yang sehat dan stabil Passpod bisa menjadi salah satu emiten pilihan investor ritel di Indonesia. Terlebih, sejak berdirinya Passpod, jumlah pelanggan naik sebesar 700 persen atau total 58.500 pelanggan per Juni 2018,” ujar CEO Passpod Hiro Whardana.

Application Information Will Show Up Here

GO-JEK Konfirmasi Kehadiran GO-Ventures

Setelah sebelumnya beredar kabar tentang GO-Ventures, sebuah unit permodalan dari GO-JEK, beberapa waktu lalu CEO GO-JEK, Nadiem Makarim, memberikan konfirmasi terkait rencana tersebut. Menurut sumber yang kami peroleh, Head of Go-Ventures adalah mantan eksekutif Redmart yang lama berkecimpung di industri investment banking, khususnya di Singapura.

Disebutkan oleh Nadiem, saat ini GO-Ventures tengah dipersiapkan dan akan segera diresmikan. GO-Ventures menargetkan pendanaan untuk startup di Asia Tenggara, mengedepankan kerja sama strategis dengan bisnis GO-JEK.

Hingga saat ini GO-JEK setidaknya telah berinvestasi di startup teknologi kesehatan HaloDoc dan startup teknologi kesehatan PasarPolis. Selain itu mereka juga telah mengakuisisi sejumlah layanan fintech.

Kehadiran GO-Ventures turut menabuh kembali genderang persaingan bersama rivalnya, Grab. Beberapa waktu lalu Grab sudah lebih dulu mengumumkan Grab Ventures. Vertikal industri yang disasar Grab Ventures meliputi online payments, finance, shopping, logistic dan food delivery.

Application Information Will Show Up Here

Mendorong Startup Melantai di Bursa Saham

Indonesia saat ini memiliki empat startup teknologi yang memiliki valuasi di atas satu miliar dollar (lebih dari 14 triliun Rupiah menurut kurs hari ini). Mereka adalah Go-Jek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak. Meskipun demikian, keempatnya belum ada yang go public di bursa saham, khususnya Bursa Efek Indonesia.

Jagartha Advisors, sebuah layanan independent wealth management melihat hal ini didorong beberapa faktor.

Peraturan masih ketat

Saat ini tercatat baru tiga startup yang didominasi dari kalangan fintech yang sudah melakukan Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia. Mereka adalah Kios, MCash dan NFC Indonesia. Meskipun sudah banyak startup di Indonesia yang memiliki potensi untuk melakukan IPO, namun masih ketatnya peraturan dari BEI dan OJK, menyulitkan mereka untuk melakukan IPO di bursa efek.

“Saya melihat salah satu alasan rendahnya minat startup untuk melantai adalah karena saat ini Indonesia masih mengacu kepada dua papan, yaitu papan utama (mainboard) dan papan pengembangan (development). Untuk papan utama persyaratannya cukup sulit untuk bisa dipenuhi oleh startup yang terbilang masih kecil skala perusahaannya,” kata Co-Founder dan Managing Partner Jagartha Advisors Ari Adil.

Ketiga startup yang sudah masuk dalam bursa tersebut saat ini juga masih tergolong dalam papan pengembangan dan belum bisa terdaftar di papan utama. Untuk itu Ari melihat, rencana bursa untuk melihat kembali peraturan yang ada dan rencana untuk menerbitkan papan akselerasi menjadi solusi yang tepat untuk startup dan UKM.

Sebagai informasi, performa saham Kioson dan M Cash cukup memuaskan sejak mereka melakukan IPO akhir tahun lalu. Kapitalisasi pasar kedua perusahaan kini sudah di atas 2 triliun Rupiah.

Co-Founder dan Managing Partner Jagartha Advisors Ari Adil
Co-Founder dan Managing Partner Jagartha Advisors Ari Adil

“Manajemen Bursa Efek Indonesia (BEI) mengatakan akan membuka satu papan akselerasi bagi emiten mungkin sekitar akhir tahun 2018. Jika nantinya diluncurkan, startup bisa mendapatkan tambahan modal alternatif dari IPO tersebut,” kata Ari.

Saat ini fenomena sharing economy yang ditawarkan oleh startup “Unicorn” di Indonesia disinyalir menjadi faktor pemicu utama masuknya dana investasi asing yang fantastis. Baik GO-JEK, Tokopedia, Bukalapak, maupun Traveloka memaksimalkan konsep one stop solution dalam satu aplikasi. Menurut Ari, mereka (startup unicorn) tidak memiliki aset seperti perusahaan konvensional pada umumnya.

“Startup tersebut menyediakan aplikasi yang bermanfaat bukan hanya bagi pengguna tetapi bagi mereka yang memiliki aset seperti motor, mobil, produk, dan kehadiran startup ini mampu menjembatani gap di antara ini,” kata Ari.

Investor lokal harus jadi “raja”

Maraknya investor asing yang mendanai banyak startup di Indonesia merupakan hal yang positif untuk mempercepat pertumbuhan startup. Namun demikian, fenomena tersebut belum diimbangi dengan jumlah investor lokal dari venture capital hingga kalangan individu untuk berinvestasi. Hal tersebut yang menurut Ari, kurang untuk dikembangkan potensinya untuk investor lokal.

“Saya melihatnya sebenarnya orang Indonesia ingin berinvestasi di GO-JEK atau Traveloka, namun selama ini belum ada pasar atau peluang untuk melakukan kegiatan tersebut. Dengan adanya papan akselerasi untuk startup, merupakan akses untuk masyarakat Indonesia berinvestasi di startup indonesia melalui IPO,” kata Ari.

Masalah akses tersebut yang masih menjadi penghambat kegiatan melakukan investasi. Peluang bagi para investor lokal untuk berinvestasi pada startup unicorn Indonesia masih tersedia. Terlebih jika startup tersebut memutuskan untuk melantai di bursa saham Indonesia. Peran, dukungan, dan kolaborasi dari banyak pihak termasuk swasta dan pemerintah sangat dibutuhkan guna mencetak investor lokal yang menjadi “raja” sepenuhnya bagi startup-startup unicorn asal Indonesia.

“Digital Exchange Hub” NFC Indonesia Siap “Go Public”, Targetkan Raup Dana Segar Hingga Rp333,3 Miliar

NFC Indonesia, perusahaan yang bergerak di bidang digital exchange hub, menargetkan dapat meraup dana antara Rp250 miliar sampai 333,3 miliar dari rencana melantai di Bursa Efek Indonesia pada Juli 2018 mendatang. NFC akan menjadi perusahaan digital ketiga yang melantai dan tercatat sebagai perusahaan terbuka di Indonesia.

Besaran dana segar yang diharapkan dapat diraup perseroan setara dengan 25% saham baru yang dilepas dari modal disetor. Harga per sahamnya berkisar antara Rp1.500 sampai Rp2.000 per saham. Dana tersebut rencananya akan digunakan untuk modal kerja (60%), beragam investasi digital termasuk perkembangan TI (30%), dan investasi pada sumber daya manusia (10%).

Perseroan menunjuk Kresna Sekuritas, Trimegah Sekuritas, dan Sinarmas Sekuritas sebagai penjamin pelaksana emisi saham. Tak hanya itu, perseroan juga telah mempersiapkan anchor investor untuk membeli saham NFC Indonesia yang berasal dari dalam dan luar negeri. Hanya saja, perseroan memberi porsi yang lebih besar untuk investor lokal (60%) ketimbang asing (40%).

“Kami menempatkan IPO sebagai strategi awal untuk mempercepat perkembangan usaha perseroan menjadi digital exchange hub terbesar di Indonesia. Bertujuan agar perseroan dapat berperan penting dalam keseharian gaya hidup masyarakat Indonesia yang tech-savvy,” ucap Presiden Direktur NFC Abraham Theofilus, Jumat (8/6).

Masa book building akan dimulai efektif pada hari ini sampai 22 Juni 2018. Sementara jadwal listing di BEI rencananya akan diselenggarakan pada 10 Juli 2018.

NFC Indonesia merupakan anak usaha M Cash Integrasi dengan kepemilikan saham 25%. Pemilik saham lainnya termasuk Kresna Jubileum Indonesia (35%), Nusantara Teknologi Perkasa (25%), Kresna Graha Investama (10%), dan 1 Inti Dot Com (10%).

Unit usaha NFC Indonesia

Menurut laporan keuangannya, NFC sudah mencatatkan pendapatan sebesar Rp95,55 miliar pada 2017 atau tumbuh 119,63% bila dibandingkan tahun sebelumnya. Laba bersih tercatat sebesar Rp65 miliar, melonjak dibanding dua tahun sebelumnya yang mencatat kerugian sebesar Rp224 miliar.

Bisnis NFC selama ini dikontribusikan NFCXC, sebuah marketplace pulsa real time untuk usaha digital. Perseroan juga baru mengembangkan layanan OTT OONA TV untuk usaha media dan hiburan.

Sebagai digital exchange hub, NFC memanfaatkan API untuk menghubungkan perseroan dan mengoperasikan big data dari berbagai lini usaha. Abraham menerangkan NFCXC merupakan solusi real time untuk mengatasi masalah distribusi pulsa di pasar tradisional.

Saat ini distribusi pulsa seringkali mengalami ketimpangan antara ketersediaan pasokan dengan jumlah permintaan di pasar. Ini dikarenakan mekanisme distribusi yang bersifat mingguan dan berbasis wilayah. Diharapkan kehadiran NFCXC membuat likuiditas pulsa di pasar akan terjamin.

“NFCXC juga membuka akses bagi seluruh agen dan dealer untuk mendapatkan informasi harga pulsa secara transparan. Sebagai salah satu upaya untuk menegaskan posisi kami di industri ini, NFCXC akan berperan sebagai pelopor di pasar digital yang menyediakan solusi guna memperbaiki inefisiensi di pasar pulsa tradisional Indonesia.”

Ke depannya, NFC akan menambah unit bisnis digital lainnya agar semakin lengkap dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Ada sejumlah unit bisnis yang akan dirilis perseroan, seperti bursa iklan digital, bursa platform komunikasi, bursa digital, dan sistem pembayaran.

M17 Tunda IPO di Bursa Saham New York

M17, perusahaan hasil merger layanan kencan online Paktor dan layanan live streaming 17, menunda IPO-nya di Bursa Saham New York (NYSE). Belum jelas alasan mengapa IPO-nya ditunda, tetapi hingga tulisan ini diturunkan belum ada pergerakan saham YQ yang ditetapkan dengan harga awal $8 per lembar.

Di Indonesia Paktor menjadi salah satu layanan kencan online terdepan sebagai alternatif Tinder. Menurut data Oktober 2017, dari hampir 20 juta pengguna Paktor, sekitar 3,5 juta di antaranya adalah pengguna di Indonesia dengan rasio pengguna laki-laki dan perempuan yang relatif seimbang.

Untuk layanan live streaming dan hiburan, 17 mendapatkan persaingan keras dari Bigo dan Tik Tok.

Tahun 2018 menjadi tahun yang bergejolak bagi bisnis M17. Di satu sisi mereka mencatatkan pertumbuhan penerimaan yang baik. Meskipun demikian, nilainya belum bisa menutupi kerugian perusahaan yang besar. Kedua perusahaan, sebelum merger, telah memperoleh pendanaan puluhan juta dollar dari para investor, termasuk MNC Group Indonesia. Saat ini valuasi pasar M17 disebut mencapai $608 juta.

Meskipun pendapatan terus naik, tapi kerugian terus bertambah. Sumber: Simply Wall St
Meskipun pendapatan terus naik, tapi kerugian terus bertambah. Sumber: Simply Wall St

Dilansir dari TechCrunch, di tiga bulan pertama 2018 M17 telah mencatat kerugian $24,8 juta, padahal menurut keterbukaannya perusahaan hanya memiliki $31,4 juta dalam bentuk tunai atau ekuivalennya.

Tanpa IPO, yang berharap meraup dana segar $115 juta, sulit membayangkan kelangsungan hidup M17 hingga akhir tahun. Roadshow yang dilakukan untuk mempromosikan penggalangan dana melalui IPO ini disebutkan hanya berhasil mengamankan sekitar $60 juta yang berarti sekitar separuh dari target awal.

Mencari dana segar

IPO menjadi salah satu cara perusahaan, termasuk startup teknologi, untuk mencari dana segar, baik untuk ekspansi perusahaan maupun exit para investor awal. Di Indonesia tahun lalu sudah ada kisah dua startup teknologi yang berhasil melakukan IPO, yaitu Kioson dan MCash. Sampai hari ini, saham keduanya masih diperdagangkan di atas harga penetapan awal, artinya kepercayaan investor masih cukup baik. Tahun ini diperkirakan akan ada beberapa startup teknologi yang mencoba peruntungannya di lantai bursa.

Tentu saja go public tidak selalu berujung manis. Kisah Zynga dan Groupon, yang bahkan hingga hari ini belum bisa kembali ke harga awal saat listing, bisa menjadi pelajaran bagaimana hype sesaat tidak menjamin kesuksesan terus-menerus bisa tidak dibarengi dengan fundamental model bisnis yang solid.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here