Kai Sulap Kacamata Biasa Menjadi Kacamata Pintar Bertenaga AI

Di saat tren kacamata berkamera terus menjamur berkat Spectacles serta alternatif lain yang modular seperti PogoCam dan Blincam, sebuah startup bernama Glimpse Wearables lebih tertarik untuk menjadikan kacamata sebagai extension dari smartphone. Buah pemikiran mereka? Kai, sebuah modul kecil yang dapat mengubah kacamata biasa menjadi kacamata pintar.

Namun jangan bayangkan kacamata pintar yang dimaksud memiliki display dan kamera macam Google Glass. Dari depan, Kai bahkan sama sekali tidak kelihatan; ia menancap pada ujung tangkai kacamata, lalu duduk manis di belakang telinga Anda tanpa mengundang perhatian dan lirikan tajam dari orang-orang di sekitar penggunanya.

Tanpa layar dan kamera, Kai berfokus pada satu fitur saja, yakni asisten virtual berbasis artificial intelligence. Jadi tanpa perlu mengakses smartphone, Anda sudah bisa berinteraksi dengan asisten virtual yang responsif sekaligus cerdas, yang ditenagai oleh platform AI Houndify besutan SoundHound.

Kai dirancang agar tidak mengganggu penglihatan dan bisa nyaman dipakai dalam durasi yang lama / Glimpse Wearables
Kai dirancang agar tidak mengganggu penglihatan dan bisa nyaman dipakai dalam durasi yang lama / Glimpse Wearables

Dengan Kai dan Houndify, pengguna dapat mengakses beragam informasi menggunakan perintah suara. Mereka bahkan bisa memesan Uber kalau perlu, atau mengontrol perangkat smart home yang kompatibel hanya dengan beberapa frasa saja. Panduan navigasi juga tersedia, begitu pula dengan notifikasi event kalender dan reminder.

Kai mengandalkan teknologi bone conduction untuk mengirimkan suara ke telinga tanpa perlu berada di dalam kanal telinga Anda. Hal ini juga berarti Anda bisa mendengar suara di sekitar tanpa gangguan sedikit pun. Material silikon yang digunakan memastikan agar kulit di belakang telinga tidak iritasi.

Saat ini Kai sedang ditawarkan melalui situs crowdfunding Kickstarter seharga $130 – lebih murah $70 dari estimasi harga retail-nya. Paket penjualannya sudah mencakup sebuah kacamata opsional dengan lensa jernih.

Tanpa Bantuan Caption, AI Facebook Dapat Mencari Gambar Berdasarkan Objek di Dalamnya

Berkat perkembangan pesat teknologi kecerdasan buatan alias AI, April tahun kemarin Facebook berhasil meluncurkan fitur yang dapat membantu kaum tuna netra memahami isi Facebook, khususnya jutaan foto yang diunggah ke jejaring sosial tersebut. Kini, Facebook malah telah sukses memodifikasi platform AI yang sama untuk mempermudah pencarian gambar.

Apa yang Facebook lakukan sederhananya adalah melatih AI buatannya mengenali objek dalam gambar dengan memperlihatkan jutaan foto beserta caption-nya masing-masing. Pada akhirnya, AI yang dijuluki Lumos tersebut sanggup mengenali beragam objek dalam gambar tanpa harus ada caption maupun tag yang menyertai.

Semua ini kemudian diterjemahkan ke algoritma pencarian gambar di Facebook. Jadi semisal Anda mencari dengan kata kunci “Yosemite National Park”, Facebook pun sanggup menampilkan beberapa gambar yang relevan meski tidak ada caption-nya sama sekali.

Facebook juga memastikan kalau hasil pencarian gambarnya akan bervariasi dan bukan gambar yang sama tapi diambil dari sudut yang berbeda begitu saja. Singkat cerita, hasil pencarian gambar di Facebook akan lebih relevan sekaligus memuaskan dibanding sebelumnya.

Tujuan akhir yang ingin dicapai Facebook adalah mengaplikasikan teknologi serupa ke segudang video yang penggunanya unggah. Saat sudah tiba di titik itu, kita pada dasarnya dapat menemukan momen yang tepat dari suatu video hanya dengan bermodalkan kata kunci saja. Namun untuk sekarang, fitur pencarian gambar yang lebih istimewa ini baru tersedia untuk pengguna di AS saja.

Sumber: TechCrunch dan Facebook. Gambar header: Pixabay.

SoundHound Raih Pendanaan Sebesar $75 Juta untuk Berfokus pada Pengembangan AI

Melihat keberadaan asisten virtual pada perangkat di pasaran, hampir semua yang populer berasal dari raksasa teknologi macam Apple atau Google. Jadi kesimpulannya, hanya perusahaan besar yang bisa mengembangkan teknologi kecerdasan buatannya sendiri, benarkah begitu? Tidak juga.

SoundHound adalah bukti nyatanya. Sejak Maret tahun kemarin, perusahaan yang dikenal akan aplikasi penebak judul lagunya tersebut telah mempunyai asisten virtual bertenaga AI bernama Hound. Hound pun perlahan juga mulai merambah perangkat, dimulai dari speaker nyentrik bernama Boombotix Hurricane.

SoundHound juga tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyerah. Mereka belum lama ini malah menerima pendanaan senilai $75 juta dari sejumlah investor untuk mengembangkan Hound dan platform di baliknya lebih matang lagi. Alasannya, SoundHound sangat yakin perintah suara bakal menjadi medium interaksi dengan perangkat yang dominan ke depannya.

Dua dari investor-investor tersebut juga bukan perusahaan kacangan, melainkan nama sekelas Samsung dan Nvidia. Seperti yang kita tahu, kedua pabrikan ini memang sudah cukup lama menunjukkan ketertarikannya pada integrasi kecerdasan buatan dalam wujud asisten virtual.

Pendanaan ini akan dimanfaatkan SoundHound untuk menarik lebih banyak konsumen dan memperluas jangkauan pengoperasiannya ke Eropa dan Asia. Sejumlah kelebihan AI besutan SoundHound adalah proses pengenalan kata/frasa dan pemahaman konteks secara real-time (tidak menunggu pengguna selesai berbicara terlebih dulu), serta integrasi dengan aplikasi atau perangkat tanpa ‘mengisolasi’ data pengguna yang dikumpulkannya sendiri.

Sumber: Bloomberg.

Amazon, Apple, Google, Facebook, IBM dan Microsoft Bekerja Sama dalam Penelitian Pengembangan AI

Alexa, Siri, Google Assistant dan Cortana terus bersaing memperebutkan gelar asisten virtual terbaik buat konsumen. Namun terlepas dari persaingan tersebut, ternyata perusahaan-perusahaan pengembangnya malah bekerja sama untuk melakukan penelitian mendalam di bidang yang menjadi kunci dari ini semua, yaitu kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI).

Pada bulan September tahun kemarin, dibentuk sebuah tim peneliti gabungan bernama Partnership on AI. Anggotanya tidak main-main, mencakup para ahli dari Amazon, Apple, Google, Facebook, IBM dan Microsoft. Tujuannya tidak lain dari memformulasikan praktek-praktek terbaik di bidang pengembangan AI sekaligus menjadi platform diskusi dan keterlibatan yang terbuka.

Sepintas terdengar aneh kalau Apple mau menjadi bagian dari platform terbuka seperti ini, sebab perusahaan pimpinan Tim Cook tersebut dikenal sangat tertutup. Namun mengingat AI tergolong masih baru dan Apple tidak bisa merekrut semua ahli di bidang ini, mau tidak mau mereka harus membuka pintunya dan terlibat dalam kolaborasi besar semacam ini.

Siri sendiri bisa dibilang sedikit tertinggal jika dibandingkan dengan Google Assistant misalnya. Itulah mengapa Apple telah melakukan upaya-upaya khusus untuk meningkatkan kualitas Siri, salah satu yang paling menonjol adalah ketika mereka merekrut ahli AI asal Carnegie Mellon University, Professor Russ Salakhutdinov.

Apple perlahan juga membuka dirinya di bidang pengembangan AI ini dengan mempersilakan sang profesor untuk memublikasikan hasil studinya. Apple sendiri ternyata juga merupakan salah satu anggota pendiri Partnership on AI, dan telah terlibat sejak sebelum tim gabungan tersebut dibentuk – hanya saja statusnya sebagai anggota baru diumumkan secara resmi belum lama ini.

Sumber: Bloomberg dan Partnership on AI.

Adobe Demonstrasikan Asisten Virtual ala Siri untuk Mengedit Foto

Tahun demi tahun, asisten virtual dan kecerdasan buatan terus berkembang pesat. Kemajuan ini membuat Siri, Google Assistant, Cortana, Alexa dan lainnya menjadi semakin relevan dalam kegiatan sehari-hari, contoh yang paling gampang adalah meminta mereka untuk memesankan Uber.

Namun pernahkah Anda membayangkan meminta bantuan mereka untuk mengedit suatu foto? Semisal Anda ingin mengubah rasio foto menjadi kotak, Anda tinggal bilang dan Siri pun akan langsung mengerjakannya sesuai permintaan. Tak usah dibayangkan lebih lanjut, sebab Adobe sedang sibuk mengembangkan teknologi semacam ini.

Jadi ketimbang harus mengutak-atik berbagai macam slider dan kenop, Anda tinggal bilang fotonya ingin diedit seperti apa. Adobe mengklaim teknologi voice recognition yang mereka rancang sanggup memahami instruksi yang diucapkan dalam bahasa sehari-hari, ya kira-kira sama seperti Siri atau Google Assistant.

Dari video demonstrasinya di bawah, sejauh ini mungkin baru penyuntingan standar yang bisa dilakukan macam cropping atau rotate, tetapi ke depannya asisten virtual Adobe ini pastinya juga bisa melakukan editing yang lebih kompleks.

Saya membayangkan nantinya ketika teknologi ini sudah benar-benar matang, saya hanya perlu mengucapkan instruksi semacam “buat foto ini jadi lebih terang”, dan sang asisten pun akan mengutak-atik parameter seperti exposure, highlight, shadow dan lainnya secara otomatis untuk membuat foto tak cuma lebih cerah, namun tetap mempertahankan estetikanya.

Sumber: PetaPixel.

Mattel Ciptakan Speaker Bertenaga Kecerdasan Buatan untuk Anak-Anak

Di titik ini Anda pastinya sudah tidak bisa meragukan popularitas speaker bertenaga kecerdasan buatan (AI) macam Amazon Echo dan Google Home. Ke depannya pabrikan-pabrikan lain pasti menyusul, tapi sebelum itu, ada Mattel yang lebih dulu memperkenalkan speaker serupa khusus untuk anak-anak.

Dijuluki Aristotle, ia merupakan perpaduan sebuah speaker Bluetooth dan kamera. Misi utama yang diusungnya adalah menjadi pengawas bayi sekaligus teman bermain dan belajar anak-anak. Ia dapat mengenali anak yang berbeda berdasarkan suaranya, memberikan instruksi sekaligus berinteraksi dengan mereka.

Aristotle ditenagai oleh tiga AI yang berbeda: buatan Mattel sendiri, Microsoft Cognitive Services (dan tidak lama lagi Cortana), dan buatan perusahaan bernama Silk Labs. Nama Aristotle sendiri mengindikasikan kalau ia mempunyai karakter bijaksana seperti sang filsuf asal Yunani yang menginspirasi namanya.

Aristotle memadukan AI, computer vision, voice recognition dan otomatisasi sehari-harinya. Contoh, saat ia mendeteksi bayi yang menangis, ia dapat mengirimkan notifikasi ke orang tua atau memutar lagu tidur dengan sendirinya. Semua ini bisa diatur melalui aplikasi pendampingnya di ponsel.

Dihadapkan dengan balita, Aristotle akan memfasilitasi mereka dalam mempelajari alfabet maupun membacakan cerita. Kepada anak yang lebih besar lagi, Aristotle akan membantu mereka dalam mengerjakan PR maupun menyajikan hiburan. Terakhir, bersama para remaja, Aristotle bisa melakukan interaksi yang lebih kompleks sekaligus mendampingi mereka belajar bahasa asing.

Dalam mengembangkan Aristotle, Mattel tidak mau setengah-setengah dalam hal keamanan dan privasi. Semua data yang masuk dan keluar akan dienkripsi, dan untuk mencegah serangan DDoS atau ancaman lain dari para hacker, pengguna harus melakukan pairing manual setiap kali hendak menyambungkan ponsel dengan Aristotle.

Sejatinya ada banyak sekali yang bisa dilakukan Mattel Aristotle, termasuk mengontrol perangkat smart home atau IoT yang kompatibel. Perangkat ini rencananya akan dipasarkan mulai musim panas mendatang seharga $299.

Sumber: PC World dan PR Newswire.

Susul Samsung, Nokia Siapkan Asisten Virtual Bernama Viki?

Kompetisi antara Apple, Google, Microsoft, Amazon dan Samsung tak hanya terjadi di ranah perangkat dan piranti lunak. Kelimanya juga terlibat dalam persaingan sengit dalam mengembangkan teknologi kecerdasan buatan lewat asisten virtual masing-masing. Apple misalnya punya Siri, Google punya Now dan sekarang bahkan sudah meluncurkan Assistant, Microsoft punya Cortana, Amazon dengan Alexa-nya dan Samsung baru saja mengakuisisi Viv.

Tapi persaingan itu berpotensi tak berhenti di lima perusahaan tersebut, pasalnya sebuah perusahaan ternama lainnya disebut-sebut bakal ikut terjun ke kancah yang sama. Perusahaan yang dimaksud adalah Nokia, merk legendaris yang baru saja menjalani kelahiran kembali dalam wujud Nokia 6.

Screen-Shot-2017-01-09-at-17.24.48

Kabar ini dihembuskan oleh GSMInfo yang membeberkan dokumen paten yang diajukan oleh Nokia. Dalam deskripsi yang dicantumkan, piranti lunak bernama Viki yang menciptakan dan memonitor digital asisten berbasis mobile dan web yang bekerja dengan mengombinasikan sumber-sumber data dalam satu percakapan dan interface berbasis suara.

Masih terlalu dini untuk membuat kesimpulan ke mana arah yang ingin dituju oleh Nokia dengan asisten virtual Viki. Ada kemungkinan Nokia akan memberikan paten ini ke HMD Global untuk kemudian ditanamkan ke dalam flagship mereka yang disebut-sebut bakal diumumkan di ajang MWC 2017. Tapi, ada juga kemungkinan Nokia hanya akan menggunakan teknologi ini eksklusif untuk produk mereka lainnya di luar dari kesepakatan dengan HMD Global.

Sumber berita MSpoweruser dan gambar header Pixabay.

Mark Zuckerberg dan Impiannya Menjadi Tony Stark

Penggemar Iron Man pasti tidak asing lagi dengan Jarvis. Di film dan komik, asisten digital ini berkali-kali menyelamatkan nyawa Tony Stark dan Pepper Potts, tidak heran jika banyak orang diam-diam berimajinasi memiliki AI sepertinya buat membantu mereka di berbagai skenario. Di dunia nyata sendiri, ternyata CEO Facebook merupakan sosok yang paling mendekati Tony Stark.

Mungkin Anda sudah tahu, Mark Zuckerberg beberapa waktu lalu memublikasikan beberapa video demonstrasi kecerdasan buatan yang ia namai seperti sang asisten Iron Man. Tentu saja kreasinya itu bukan diciptakan untuk Mark sematkan di jubah eksoskeleton yang diam-diam ia buat. Implementasinya lebih ‘casual‘: di tahun 2016 ini, Mark menantang dirinya untuk membangun AI di rumah.

Sang chairman Facebook mengakui, perjalanan pengembangan AI yang ideal masih sangat jauh, meski teknologi saat ini memungkinkan terealisasinya sejumlah terobosan besar. Dan upaya menciptakan sistem home automation ini juga membuat Mark mempelajari lebih banyak hal, termasuk lebih memahami teknologi internal Facebook yang dimanfaatkan para teknisi.

Buat sekarang, Mark bisa berinteraksi dengan Jarvis menggunakan smartphone dan komputer. Lewat AI, ia dapat mengendalikan banyak pernak-pernik di rumah, misalnya lampu, thermostat, perabotan, bahkan mengakses sistem hiburan seperti musik dan keamaman. AI tersebut mampu menganalisis pola dan minat penghuni rumah, lalu pelan-pelan bisa mengetahui kata-kata serta konsep baru – bahkan dapat membantu Mark dan Priscilla menghibur buah hatinya, Max.

Jarvis memanfaatkan kombinasi sejumlah teknik pembangun AI seperti teknologi proses bahasa, sistem pengenal wajah dan suara, dan ‘reinforcemwent learning‘; ditulis di Python, PHP dan Objective C. Sebelum mulai menggarap Jarvis, Mark pertama-tama harus menyambungkan segala sistem (pintu, lampu, pengaturan suhu ruang, sampai sistem audio) di rumahnya ke server, lalu melengkapinya dengan menyiapkan user interface (messenger bot, app, dan kamera).

Bagi Mark, membuat AI bisa mengenali wajah manusia adalah salah satu tantangan terbesarnya. Pasalnya, mesin lebih susah membedakan wajah dua individu ketimbang dua objek berbeda. Untung saja kemampuan pengenal wajah Facebook semakin canggih, dan untuk menyempurnakan fungsinya, Mark memasang beberapa kamera buat mengambil gambar dari sudut berbeda, lalu memerintahkan mereka melakukan pengawasan secara terus-menerus.

Selanjutnya, Mark punya agenda untuk membangun aplikasi Android, memasang terminal suara Jarvis di lebih banyak ruang, serta mengoneksikan lebih banyak perabotan. Ia juga ingin mengeksplorasi kemampuan self-learning sehingga Jarvis bisa belajar secara mandiri tanpa perlu perintah spesifik.

Sumber: Facebook.

Uber Dirikan Lab Khusus Pengembangan Artificial Intelligence

Armada mobil tanpa sopir Uber telah resmi beroperasi. Untuk sekarang, mobil-mobil tersebut masih harus didampingi oleh seorang engineer dan co-pilot. Namun ke depannya, saat teknologinya sudah matang dan regulasi setempat sudah mengizinkan, mobil-mobil tersebut hanya akan diisi oleh penumpang saja.

Uber nampaknya ingin impian ini bisa terealisasi sesegera mungkin. Mereka baru-baru ini mengakuisisi sebuah startup bernama Geometric Intelligence yang ahli di bidang artificial intelligence (AI) dan membentuk sebuah divisi baru bernama Uber AI Labs. Tim beranggotakan 15 orang ini akan berkolaborasi langsung dengan tim yang tergabung dalam Uber Advanced Technologies Center guna menyempurnakan armada mobil kemudi otomatisnya.

Selain mematangkan sistem kemudi otomatis, apa yang dikerjakan oleh Uber AI Labs ini nantinya juga akan diterapkan ke berbagai hal; seperti mencegah dan menanggulangi kasus penipuan, menyaring informasi dari rambu-rambu lalu lintas dan membantu kinerja tim Uber yang sedang menggarap sistem pemetaan digitalnya sendiri.

Namun mungkin Anda penasaran kenapa harus Geometric Intelligence yang dipilih Uber. Well, startup ini menarik karena riset mereka terhadap AI dilakukan dengan melibatkan sejumlah metode sekaligus. Singkat cerita, AI yang mereka kembangkan bisa belajar secara lebih efisien meski sumber datanya terbatas.

Uber AI Labs ini sekaligus menjadi bukti bahwa artificial intelligence merupakan salah satu highlight dunia teknologi di tahun 2016 ini. Uber hanyalah satu dari seabrek nama-nama besar yang berfokus pada pengembangan AI; di antaranya adalah Google, Facebook, Amazon, Apple, Nvidia dan masih banyak lagi.

Sumber: New York Times dan Uber.

Studi Universitas Stanford: Robot Tak Akan Membahayakan Manusia

Ada banyak kisah fiksi yang mengangkat tema mengenai efek samping perkembangan kecerdasan buatan: The Matrix, Terminator, sampai Ex Machina. Semuanya membuat kita berpikir, apakah mungkin di satu titik di masa depan, kemajauan teknologi malah berbalik dan membahayakan manusia? Sudah ada beberapa contohnya, tapi menurut Universitas Stanford, kita tak perlu cemas.

Berniat untuk mengulik ranah itu lebih dalam, Stanford menyelenggarakan proyek bertajuk One Hundred Year Study on Artificial Intelligence. Sesuai namanya, ia adalah sebuah proses studi panjang demi menghasilkan data dan laporan lengkap tentang bagaimana kecerdasan buatan akan memengaruhi aspek kehidupan kita – melampaui gambaran AI di film, kekhawatiran para ahli, serta keinginan orang memperoleh asisten pribadi yang super-pintar.

Bagian pertama laporan tersebut sudah dirilis, diberi judul ‘Artificial Intelligence and Life in 2030’. Berisi 28.000 kata, bab pembuka itu merupakan rangkuman dari pengkajian kemajuan AI di sebuah kota di Amerika sepuluh tahun lagi, prosesnya dilakukan selama setahun. Di sana, para ilmuwan menggarisbawahi bahwa hal-hal yang banyak orang takutkan tidak akan terjadi, karena hal itu tidak realistis.

Berdasarkan pemaparan tersebut, AI akan dimanfaatkan di berbagai sektor, seperti transportasi, medis, edukasi hingga ranah pekerjaan. Studi memperlihatkan kesamaan antara pengembangan AI dengan adopsi smartphone modern. Ia memang bukanlah kebutuhan pokok, namun Anda mungkin sulit membayangkan hidup tanpa ditemani perangkat bergerak.

Menurut para peneliti, transportasi merupakan salah satu bidang pertama yang segera mengadopsi kecerdasan buatan. Nantinya, publik akan mulai bertanya-tanya apakah AI dapat diandalkan untuk mengoperasikan kendaraan secara optimal serta menjaga keselamatan para penumpang. Dalam beberapa tahun lagi, kendaraan tanpa pengemudi akan jadi hal yang lumrah. Interaksi antara manusia dan mesin inilah yang memengaruhi persepsi awal publik tentang AI.

Selanjutnya, kecerdasan buatan di ranah medis pelan-pelan akan membantu dokter serta pakar kesehatan mengumpulkan data berjumlah besar. Robot juga bisa mempermudah proses pengiriman pasokan obat, meskipun manusia tetap dibutuhkan buat mendistribusikannya ke lokasi yang spesifik.

Setelah itu, AI dapat digunakan di bidang keamanan publik, walaupun implementasinya terbilang cukup kompleks. Contohnya: dengannya penegak hukum bisa mengawasi keadaaan sosial media atau menganalisis kerumunan massa untuk mengantisipasi terjadinya sebuah event publik berskala besar.

Laporan ini ditutup oleh pernyataan bahwa para peneliti tidak melihat adanya potensi bahaya dari pemanfaatan kecerdasan buatan di waktu dekat.

Sumber: Fast Company. Gambar header: Flickr.