Dashbot Tambahkan Kecerdasan Buatan di Segala Jenis Mobil

Terlepas dari potensi kecanggihan mobil pintar, ada banyak faktor yang menghambat adopsinya: teknologinya tidak murah, mayoritas konsumen lebih percaya pada kendaraan biasa, belum lagi produsen harus memenuhi regulasi pemerintah. Menariknya, developer pencipta PocketChip punya solusi mudah dan murah buat menyulap mobil biasa menjadi kendaraan ‘cerdas’.

Next Thing Co. memperkenalkan Dashbot, sebuah aksesori mobil berisi kecerdasan buatan yang memungkinkan pengemudi melakukan berbagai hal: mengaktifkan musik, membuka peta, sampai mengirim pesan teks. Caranya? Cukup dengan menempelkan Dashbot di dashboard kendaraan, dan menyambungkan device ini ke smartphone via Bluetooth sebelum berkendara.

Dashbot menjanjikan kemudahan dalam penggunaan, dibekali dukungan pengelolaan playlist lagu, podcast, serta kompatibel ke berbagai layanan streaming musik (Spotify, Google Play Music, Apple Music, Soundcloud, NPR One, hingga ESPN Radio). Ia bisa merangkul semua app di satu wadah sehingga Anda tidak perlu mengaksesnya secara manual – semuanya dapat dilakukan lewat perintah suara.

Developer asal Oakland itu menyampaikan bahwa Dashbot didesain agar bisa dioperasikan sepenuhnya dengan voice. Dalam penyajian info, device akan memberikan informasi arah secara turn-by-turn, membacakan pesan secara lantang dan segera memberi tahu siapa yang sedang menelepon Anda. Jika punya pertanyaan, Anda hanya tinggal mengucapkannya saja, dan AI di Dashbot dapat beradaptasi dengan suara serta keadaan lingkungan di sekitar mobil.

Perangkat unik ini memanfaatkan rangkaian microphone beamforming dan kemampuan proses sinyal digital high-end sehingga sanggup mendengar ucapan Anda terlepas dari ramainya kondisi lalu lintas serta ketika musik sedang mengalun di volume tinggi. Untuk membuat pesan teks, Dashbot sudah dibekali engine speech-to-text terbaik, dan perangkat akan membacakan kembali pesan tersebut sebelum dikirim.

Di fitur navigasi, Dashbot juga dilengkapi sistem pencahayaan LED untuk memberikan petunjuk yang mudah dimengerti – misalnya menampilkan simbol anak panah ke kiri atau ke kanan. Dan untuk data lokasi, device menggunakan Google Maps.

Dashbot dapat dipasangkan ke segala jenis mobil, bekerja dengan dukungan app companion di smartphone (Android 5.0 atau iOS 10 atau yang lebih baru). Perangkat ditenagai kabel USB atau power port 12V (pemantik rokok di mobil), terkoneksi ke sistem audio kendaraan Anda via Bluetooth atau jack auxiliary.

Dashbot baru tersedia untuk konsumen di negara-negara tertentu saja, ditawarkan melalui Kickstarter. Harganya sangat murah, produk cuma dibanderol US$ 50.

Tak Lagi Per Kata, Google Translate Kini Terjemahkan Satu Kalimat Utuh

Akui saja, saat membaca suatu terjemahan yang buruk, Anda pasti pernah berprasangka Google Translate-lah penyebabnya. Google Translate memang menguasai segudang kosa kata dari total 103 bahasa, tapi seperti yang kita ketahui, butuh lebih dari sekadar kosa kata untuk membentuk suatu kalimat terjemahan yang sempurna.

Google sadar akan masalah ini, itulah sebabnya mereka terus melakukan riset demi riset guna menyempurnakan hasil terjemahan Google Translate. Setelah beberapa tahun, mereka akhirnya menemukan solusi yang tepat, yakni teknologi yang dijuluki Neural Machine Translation.

Sederhananya, Google Translate sudah tidak lagi mengandalkan terjemahan berbasis data. Neural Machine Translation melibatkan artificial intelligence yang menerjemahkan satu kalimat utuh, memperhatikan faktor seperti konteks dan tata bahasa, bukan kata demi kata seperti sebelumnya. Alhasil, terjemahan bisa terdengar lebih alami sekaligus akurat, seperti yang bisa dilihat pada gambar di atas.

Google mengklaim peningkatan yang dicapai melalui Neural Machine Translation melampaui semua yang mereka lakukan selama sepuluh tahun Google Translate eksis. Seiring berjalannya waktu, teknologi ini juga akan terus berkembang dengan sendirinya demi menghasilkan terjemahan yang lebih alami lagi.

Sejauh ini Neural Machine Translation baru tersedia dalam 8 bahasa, yakni Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, Portugis, Tionghoa, Jepang, Korea dan Turki. Misi jangka panjang yang hendak dituju Google adalah menyediakan teknologi ini untuk semua bahasa yang didudukung Google Translate.

Sumber: Google Blog.

Bekerja Sama dengan Blizzard, Google Latih AI dengan Game StarCraft II

Tidak bisa dipungkiri, Google merupakan salah satu perusahaan yang paling semangat mengembangkan teknologi artificial intelligence (AI) alias AI. Lewat salah satu divisinya, DeepMind, mereka terus mengasah dan melatih keterampilan AI dalam berbagai bidang. Akan tetapi mungkin Anda penasaran, bagaimana sebenarnya cara mereka melatih AI?

Penjelasan lengkapnya yang pasti sangat teknis, tapi salah satu metodenya ternyata melibatkan video game. Yup, seperti halnya kita bisa belajar banyak dari bermain game, AI pun juga demikian. Untuk menunjukkan keseriusannya, Google mengumumkan kerja samanya dengan salah satu developer game paling tersohor, Blizzard.

Diumumkan di ajang Blizzcon 2016, kerja sama antara Google DeepMind dan Blizzard ini merupakan kabar baik bagi semua yang sedang berkutat dengan pengembangan AI maupun teknologi machine learning. Pasalnya, keduanya tengah menyiapkan API dimana mulai tahun depan para peneliti bisa melatih AI buatannya dengan game StarCraft II.

Mengapa StarCraft II? Karena pada dasarnya ini merupakan salah satu game yang paling kompleks yang pernah Blizzard buat. Menurut Google, kompleksitas yang ditawarkan StarCraft bisa menjadi jembatan bagi AI sebelum berhadapan dengan kekacauan di dunia nyata.

Mereka percaya bahwa keterampilan yang diperlukan untuk memenangi match dalam StarCraft dapat diterjemahkan menjadi keterampilan di dunia nyata. AI sederhananya harus mendemonstrasikan pengaplikasian memori secara efektif, kemampuan perencanaan jangka panjang dan kapasitas untuk mengadaptasikan rencana dengan informasi baru yang diterima.

Mengingat StarCraft II merupakan game RTS (real-time strategy), AI pun dituntut untuk membuat keputusan secara cepat dan efisien. Pada akhirnya, pencapaian yang dilakukan AI bisa diukur lewat sistem skor yang dipunyai StarCraft.

Kolaborasi ini besar kemungkinan akan melahirkan AI dalam game StarCraft II yang semakin terampil dan sulit untuk dikalahkan. Pun begitu, implikasinya pada pengembangan AI di berbagai bidang pun juga cukup besar kalau mengacu pada visi aslinya.

Sumber: DeepMind Blog.

Samsung Galaxy S8 Boyong Asisten Digital Baru Bernama Bixby?

Samsung sedang getol menggenjot pengembangan Galaxy S8 menyusul kegagalan Galaxy Note 7. Sejumlah teknologi terbaru dipersiapkan termasuk rumor soal dukungan layar 4K dan konfigurasi kamera ganda. Yang terbaru, raksasa Korea Selatan itu dikabarkan mengantongi paten baru yang berhubungan dengan teknologi asisten digital bernama Bixby. Kendati tak disebutkan untuk Galaxy S8, namun melihat pola dan juga rentang waktunya, dugaan ke arah itu lebih dapat diterima.

Dalam dokumen paten tersebut Bixby dideskripsikan sebagai piranti lunak komputer untuk manajemen informasi personal, untuk smartphone, mobile telephone, komputer portabel dan tablet yang digunakan untuk mengoperasikan sistem pengenalan suara. Dengan kata lain, Bixby memungkinkan pengguna memberikan perintah melalui input suara seperti halnya S Voice yang diadopsi smartphone Galaxy selama ini.

Dengan demikian, jelas bahwa Bixby adalah teknologi kecerdasan buatan yang dipersiapkan untuk perangkat-perangkat terbaru Samsung berikutnya, menggantikan S Voice assistant. Fungsinya tak berbeda dengan Google Assistant, Siri, Cortana dan juga Google Now.

Menariknya, beberapa saat yang lalu Samsung juga telah mengakuisisi sebuah startup yang mengembangkan teknologi serupa bernama Viv. Dengan demikian, kini Samsung mempunyai tiga teknologi asisten digital yang kemungkinan bakal menjalani proses seleksi sebelum dibenamkan. Atau mungkin Samsung punya rencana menggabungkan ketiganya menjadi sebuah personal asisten mutakhir demi menyaingi teknologi serupa milik para kompetitor.

Viv sendiri adalah asisten personal yang dibangun dengan teknologi kecerdasan buatan kreasi Dag Kittlaus, Adam Cheyer dan Chris Brigham. Tiga tokoh ini bukan orang asing di ranah ini, mereka adalah sosok yang berada di balik lahirnya Siri, teknologi asisten virtual yang kini dipunyai Apple. Meski lahir dari “bapak” yang sama, tetapi Viv diklaim sebagai teknologi asisten yang lebih baik dan lebih punya kemampuan ketimbang Siri.

Sumber berita PhoneArena dan header ilustrasi Galaxy S7.

Kamera Pengawas Berbekal AI Bisa Berperan dalam Pencegahan Aksi Kriminal

Tidak terhitung jumlah aksi kriminal yang tertangkap kamera pengawas. Namun semua ini tetap tidak bisa mencegah kejadian tersebut terjadi. Bagaimana seandainya ada kamera pengawas yang dapat mendeteksi seorang penyusup lalu memberikan peringatan secara real-time?

Tidak lama lagi, impian tersebut mungkin akan terwujud. Movidius, perusahaan ahli computer vision yang belum lama ini diakuisisi Intel, telah bekerja sama dengan Hikvision guna merealisasikannya. Kalau Anda tidak kenal dengan Hikvision, perusahaan ini merupakan salah satu produsen kamera pengawas terbesar sejagat.

Kata kuncinya adalah artificial intelligence alias AI. Saat AI beserta elemen-elemen pendukungnya diintegrasikan ke kamera pengawas, maka pendeteksian seorang penyusup maupun paket barang yang mencurigakan sangat mungkin untuk dilakukan. Pada kenyataannya, teknologi buatan Movidius sudah digunakan di sejumlah perangkat populer, drone DJI Phantom 4 salah satunya.

Hikvision sendiri sejauh ini sebenarnya sudah memiliki sejumlah kamera yang dapat mengidentifikasi tipe mobil, mendeteksi penyusup atau bahkan pengemudi mobil yang lupa mengenakan sabuk pengaman, dengan tingkat akurasi 99 persen. Pun demikian, prosesnya masih harus mengandalkan jaringan cloud.

Apa yang Movidius tawarkan lewat platform Myriad 2 Vision Processing Unit (VPU) sederhananya adalah kemudahan melakukan itu semua secara lokal. Dengan kata lain, teknologi analisisnya sudah ditanamkan ke dalam kamera, dan prosesnya pun bisa berlangsung di tempat secara instan.

Semua ini merupakan komposisi dasar yang diperlukan untuk mewujudkan skenario di awal tadi. Kamera pengawas selama ini telah menjadi alat bantu yang efektif dalam menemukan bukti aksi kriminal. Namun ke depannya kamera pengawas juga bisa berperan dalam pencegahan aksi kriminal.

Sumber: Movidius dan Engadget.

eBay ShopBot Siap Membantu Anda Berbelanja Lewat Facebook Messenger

Harus diakui, mencari barang di eBay bukanlah sesuatu yang mudah. Ini dikarenakan ada jutaan barang yang dijajakan oleh jumlah pedagang yang tidak kalah banyaknya. Prosesnya akan semakin memakan waktu ketika kita harus menyesuaikan berbagai faktor, budget masing-masing misalnya.

eBay tentu saja tidak mau masalah ini menjadi penghalang bagi para konsumen. Mengikuti tren yang sedang booming, mereka memperkenalkan eBay ShopBot, yang pada dasarnya merupakan sebuah asisten belanja virtual berbekal kecerdasan buatan alias AI.

Visi yang eBay tetapkan dengan ShopBot adalah kemudahan berbelanja seperti halnya meminta rekomendasi dari seorang teman yang memahami selera Anda. AI merupakan pilihan yang tepat dalam konteks ini, dimana keterampilan ShopBot dalam memberikan rekomendasi terpersonalisasi akan semakin matang seiring bertambah banyaknya konsumen yang menggunakannya.

Sementara baru tersedia di Facebook Messenger, kemungkinan eBay ShopBot nantinya juga bakal mampir ke platform lain / eBay
Sementara baru tersedia di Facebook Messenger, kemungkinan eBay ShopBot nantinya juga bakal mampir ke platform lain / eBay

Untuk sekarang, ShopBot bisa diakses melalui Facebook Messenger – tidak menutup kemungkinan nantinya ia juga bakal tersedia di Telegram, Line dan lain sebagainya. Pengguna kemudian bisa bercakap-cakap seperti biasa via teks atau suara, atau bisa juga dengan mengunggah gambar dan mempersilakan ShopBot untuk mencarikan produk yang sesuai.

Dalam prosesnya, ShopBot akan memberikan sejumlah pertanyaan untuk mempersempit cakupan produk menjadi lebih spesifik, memberikan opsi kategori produk kepada pengguna sehingga hasilnya bisa lebih disesuaikan dengan permintaan, dan pastinya lebih optimal ketimbang melakukan pencarian biasa di situs atau aplikasi eBay.

Anda sering berburu barang di eBay? Silakan cari eBay ShopBot di Messenger, atau bisa juga dengan mengunjungi situs resminya. Perlu dicatat, eBay sejauh ini masih melabelinya “beta”, yang berarti Anda masih harus maklum dengan sejumlah kekurangannya dalam memberikan rekomendasi atau sekadar memahami maksud Anda.

Sumber: eBay.

SoundHound Umumkan Speaker Pintar Penantang Amazon Echo dan Google Home

Kemunculan Google Home menandai era baru persaingan wireless speaker pintar bertenaga artificial intelligence yang dimulai oleh Amazon Echo. Namun sebentar lagi akan ada penantang baru dari nama yang tidak kalah terkenal, yaitu SoundHound.

Ya, perusahaan pembuat aplikasi penebak judul lagu tersebut telah bekerja sama dengan pabrikan audio Boombotix guna menciptakan sebuah wireless speaker yang dibekali kecerdasan asisten virtual-nya, Hound. Dijuluki Hurricane, ia merupakan penantang yang ideal buat Amazon Echo maupun Google Home.

Seperti kedua speaker tersebut, pengoperasian Hurricane banyak mengandalkan perintah suara, dimana pengguna akan bercakap-cakap dengan Hound menggunakan bahasa yang alami. Anda penasaran dengan lagu-lagu baru? Cukup ucapkan “OK Hound, let’s hear something new,” dan speaker akan memutar playlist sesuai dengan permintaan Anda.

Amazon Echo punya Alexa, Google Home punya Google Assistant, dan Boombotix Hurricane punya Hound / Business Wire
Amazon Echo punya Alexa, Google Home punya Google Assistant, dan Boombotix Hurricane punya Hound / Business Wire

Selain memutar musik, Hound juga bisa memberikan informasi seputar ramalan cuaca, berita terkini, status penerbangan, dan masih banyak lagi, termasuk halnya pencarian restoran di area sekitar berkat integrasi Yelp. Anda tidak perlu meragukan akurasi dan kecepatan Hound dalam mendengar dan memahami percakapan, sebab industri sudah membuktikannya – Samsung memanfaatkan platform di balik Hound untuk lini perangkat smart home-nya.

Meski AI memegang peranan penting dalam Hurricane, kinerja audio masih menjadi fokus utama SoundHound dan Boombotix. Speaker ini dibekali sepasang full-range driver dan sebuah subwoofer aktif berdaya 10 watt. Dimensinya yang ringkas turut didukung oleh kehadiran baterai internal, yang berarti pengguna bisa memakainya di mana saja tanpa perlu dicolokkan ke stop-kontak.

Boombotix Hurricane saat ini sudah bisa dipesan melalui Kickstarter seharga $129. Harga retail-nya diperkirakan berkisar $199.

Sumber: Business Wire.

Presiden Barack Obama Berikan Pandangannya Mengenai Kecerdasan Buatan

Setelah VR dan IoT, tidak sulit menebak hal apa selanjutnya yang menjadi perhatian para raksasa di ranah teknologi: Microsft belum lama mendirikan AI and Research Group, AI Google kini bisa belajar dari memori secara independen, Samsung mengakuisisi Viv (dibangun oleh pencipta Siri), bahkan Gedung Putih baru-baru ini merilis laporan soal masa depan kecerdasan buatan.

Di sana, Executive Office of the President menjabarkan beragam analisis mengenai AI; dari mulai bagaimana ia bisa menjadi solusi masalah tenaga kerja, bagaimana kita tahu bahwa zaman kecerdasan buatan telah dimulai, ancaman keamanan cyber dan penanggulangannya, sampai etika penggunaannya. Dan dalam wawancara bersama Wired, Presiden Barack Obama juga memberikan pandangannya mengenai artificial intelligence.

Menurut sang presiden Amerika Serikat ke-44 ini, gambaran khalayak umum terhadap kecerdasan buatan banyak diwarnai oleh kisah-kisah fiksi ilmiah populer: komputer menjadi lebih pintar dari manusia, membuat kita ‘gemuk dan bahagia’ atau mengekang kita seperti dalam The Matrix. Ini merupakan pandangan mengenai AI secara umum. Dari diskusi Obama bersama tim penasihat sains, era tersebut masih berada jauh di depan.

Imajinasi memang penting, memicu kita berpikir serta berdiskusi soal pilihan dan kehendak bebas. Tapi buat sekarang, kecerdasan buatan yang berkembang merupakan AI-AO terspesialisasi, dibangun dengan menggunakan algoritma-algoritma kompleks buat mengerjakan tugas-tugas rumit. Dan faktanya, artificial intelligence sudah sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari – dari mulai di bidang pengobatan, transportasi, pabrikasi, sampai sistem distribusi listrik.

“Jika dimanfaatkan dengan benar, AI dapat mendatangkan kesejahteraan serta peluang baru,” tutur Presiden Obama. “Namun hal tersebut juga akan mendatangkan dampak negatif dan kita harus menemukan cara untuk menanggulanginya; misalnya saja kehadiran AI bisa menghilangkan lapangan pekerjaan, menciptakan ketidaksetaraan, sampai pengurangan gaji.”

Tentu saja, implementasi AI melahirkan kendala yang tidak kalah pelik: moral. Andaikan AI dibubuhkan pada kendaraan self-driving, lalu terjadi kecelakaan yang tidak bisa dihindari, apakah kecerdasan buatan akan memilih untuk mengorbankan penumpang dan menyelamatkan pejalan kaki, atau sebaliknya? Respons spontan dan rasa terkejut ialah beberapa contoh aspek pembeda antara kita dengan mesin, membuat manusia jadi dinamis.

Presiden Obama menjelaskan bahwa ketika teknologi mulai matang, tantangan terberatnya adalah menciptakan struktur peraturan. Menurutnya, pemerintah harus punya peran di sana. Bukan hanya untuk ‘memaksa’, namun juga menerapkan regulasi agar merata. Karena jika tidak, AI berpotensi merugikan pihak atau individu tertentu.

Tambahan: ZDNet. Gambar: Flickr, The White House.

Indiana Pacers Manfaatkan AI untuk Persingkat Waktu Antrean Stand Makanan di dalam Stadion

Tidak ada satupun manusia yang suka mengantre, apalagi kalau itu terjadi di tengah-tengah mereka sedang menonton gelaran akbar seperti pertandingan NBA. Di dalam stadion berkapasitas ribuan orang seperti itu, mengantre membeli burger atau minuman, atau bahkan mengantre di kamar mandi bisa memakan waktu yang sangat lama.

Namun di mata salah satu tim NBA, Indiana Pacers, problem tersebut bisa diselesaikan dengan bantuan artificial intelligence (AI). Mereka menggandeng sebuah startup bernama WaitTime demi mempersingkat waktu antrean dan membuat pengunjung jadi lebih cepat mendapatkan jajanan yang mereka mau.

Teknologi WaitTime melibatkan sejumlah kamera yang ditempatkan di beberapa titik sekaligus, lalu mengambil 10 gambar setiap detiknya. Software rancangannya yang ditenagai oleh AI kemudian akan menerjemahkan foto-foto tersebut menjadi informasi untuk ditampilkan di sejumlah monitor yang tersebar di dalam stadion, atau melalui aplikasi Pacers di smartphone.

Berbekal informasi tersebut, pengunjung setidaknya jadi punya gambaran mengenai seberapa banyak orang yang sedang mengantre untuk membeli taco, berapa lama mereka harus menunggu untuk memesan milkshake, atau berapa banyak orang yang sudah meninggalkan antrean kamar mandi.

Salah satu monitor WaitTime di stadion Pacers yang sedang menampilkan informasi secara real-time / WaitTime
Salah satu monitor WaitTime di stadion Pacers yang sedang menampilkan informasi secara real-time / WaitTime

Semua ini di-update secara real-time, dan tim internal Pacers sendiri juga bisa mengambil tindakan preventif seperti mengutus vendor perorangan pada area dengan antrean terpanjang. Data-data mendetail ini pada dasarnya bisa dimanfaatkan untuk mengoptimalkan pengalaman pengunjung selama berada di arena.

Komitmen Pacers patut menerima pujian. Pasalnya, tarif yang ditetapkan WaitTime tidaklah murah. Mereka harus membayar $150.000 di depan, plus biaya bulanan sebesar $9.000. Namun untuk menutup ongkos bulanan tersebut, Pacers diberi opsi untuk menjual space pada monitor milik WaitTime kepada para pengiklan.

Pada akhirnya, semua ini akan berdampak positif terhadap para fans sekaligus Indiana Pacers sendiri. Saat Anda tidak perlu terlalu lama mengantre untuk membeli makanan dan minuman, otomatis Anda bisa menikmati pertandingan lebih lama, dan kemungkinan besar tertarik untuk datang kembali pada pertandingan berikutnya, yang berarti lebih banyak pemasukan buat Pacers.

Sumber: Bloomberg. Gambar header: NBA.

Samsung Akuisisi Viv, Kreasi Baru Para Perancang Siri

Perkembangan dan juga integrasi teknologi kecerdasan buatan belakangan kian menarik untuk diikuti. Sejumlah perusahaan dari yang sekaliber Apple, Google, dan Amazon hingga yang berstatus pemain kelas ringan seperti Prisma Labs secara agresif mendorong adopsi teknologi ini ke dalam produk yang mereka hasilkan.

Di antara sekian nama, sebuah saja Google Assistant, Siri, Cortana dan Alexa, ada satu nama yang mulai mendapatkan perhatian, yaitu Viv. Seperti halnya asisten virtual tersebut, Viv dibangun dengan teknologi kecerdasan buatan yang dikembangkan oleh Dag Kittlaus, Adam Cheyer dan Chris Brigham.

Tiga tokoh ini bukan orang asing di ranah ini, mereka adalah sosok yang berada di balik lahirnya Siri, teknologi asisten virtual yang kini dipunyai Apple. Meski lahir dari “bapak” yang sama, tetapi Viv diklaim sebagai teknologi asisten yang lebih baik dan lebih punya kemampuan ketimbang Siri.

Hanya saja nasib kedua asisten ini tampaknya tak jauh berbeda. Seperti halnya Siri, Viv juga segera berpindah kepemilikan setelah raksasa Korea Selatan, Samsung disebut setuju untuk membeli perusahaan yang mengembangkannya.

Tidak diketahui secara pasti berapa mahar yang harus digelontorkan oleh Samsung untuk mengikat Viv. Sebagai perbandingan, di tahun 2010 silam ketika para pentolan Siri menerima pinangan Apple, mereka mengantongi mahar sebesar $200 juta.

Untuk sementara ini, Viv masih akan beroperasi sebagai perusahaan independen sembari mengabdikan karyanya untuk Samsung. Bagi Samsung, akusisi ini menjadi amunisi tambahan untuk terus mengokohkan dominasi mereka di pasar mobile.

Terlebih setelah Google resmi menghadirkan duo smartphone Pixel yang dipersenjatai fitur kecerdasan buatan Google Assistant yang lebih powerful dari Google Now. Teknologi ini juga secara eksklusif hadir di perangkat Pixel, sehingga bergabungnya Viv akan mengurangi ketergantungan Samsung terhadap Google.

Sumber berita Techcrunch dan gambar header Futuristgerd.