JALA Dikabarkan Dapat Tambahan Pendanaan Putaran Seri A

Startup aquatech JALA dikabarkan mendapat tambahan dana untuk putaran seri A. Menurut data regulator, mengutip dari Alternative.pe, investor baru yang terlibat adalah The Yield Lab Asia Pacific. Sehingga saat ini total dana yang dikumpulkan perusahaan dalam putaran seri A mencapai lebih dari $16,3 juta atau setara Rp265,5 miliar.

Terkait pendanaan tambahan ini, kami sudah mencoba menghubungi pihak terkait, namun tidak mendapatkan respons sampai berita ini diterbitkan.

Pendanaan seri A JALA sudah mulai digalang tahun 2023 lalu, dengan Intudo Ventures bertindak sebagai pemimpin. SMDV, Mirova, dan Meloy Fund (Deliberate Capital) turut berpartisipasi. Kala itu nilai yang diumumkan mencapai $13,1 juta.

Seperti disampaikan sebelumnya, investasi akan dimanfaatkan untuk memperluas cakupan operasional di Sumatera, Sulawesi, dan Nusa Tenggara—tiga wilayah yang memiliki potensi unik bagi pertumbuhan industri budidaya udang. Serta, memperkuat teknologi di JALA App dengan fitur baru.

Perusahaan terakhir kali mengumumkan pendanaan pada November 2021 sebesar $6 juta. Sejumlah pemodal ventura yang fokus pada impact investment dari beberapa negara terlibat dalam putaran ini, di antaranya The Meloy Fund (dikelola Deliberate Capital dari Amerika Serikat), Real Tech Fund (dari Jepang), dan Mirova (dari Prancis).

Melalui pendekatan teknologi, JALA hadir memberikan solusi kepada para petambak di proses budidaya, operasional, pasca-panen, dan komunitas. Layanan yang diberikan meliputi  aplikasi manajemen budidaya, perangkat pengukur kualitas air, layanan distribusi, hingga pusat belajar.

Menurut data keberlanjutan yang dirilis, sejauh ini sudah ada lebih dari 186 hektar kolam dengan lebih dari 1,4 ribu pembudidaya yang memanfaatkan layanan JALA.

Peluang digitalisasi untuk efisiensi memang masih terbuka lebar. Hal  ini seperti disampaikan Co-Founder & CEO JALA Liris Maduningtyas dalam sesi diskusi di awal tahun ini.

“Jadi tingkat adopsi teknologi ke dalam industri akuatik sudah ada, namun masih perlu penetrasi lebih jauh ke dalam diri para petani. Tujuannya agar mereka benar-benar dapat manfaatnya. Sebab, teknologi itu selalu dapat mengatasi beberapa masalah, meminimalkan risiko, meminimalkan biaya rantai pasokan, dan lain-lain,” ujarnya.

Selain JALA, saat ini Indonesia sudah memiliki beberapa startup di bidang ini, termasuk unicorn eFishery. Ada juga FishLog, DELOS, dan beberapa pemain yang juga mencoba menggarap sektor maritim di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Melihat Kesiapan Industri Memasuki Era Agritech 2.0

Butuh delapan tahun bagi eFishery untuk “buka jalan” betapa seksinya industri perikanan di Indonesia sampai akhirnya merengkuh status unicorn pada tahun lalu. Pemain sejenisnya, baik yang bergerak di akuakultur dan agrikultur, ikut kecipratan rezeki karena investor mulai menengok mereka.

Pasalnya, industri pertanian, perhutanan, dan perikanan merupakan penyumbang PDB terbesar ketiga setelah manufaktur dan perdagangan, dengan persentase sebesar 12,4% pada 2022. Walau besar, industri ini punya segudang masalah, mulai dari inkonsisten kualitas produk, akses modal, fluktuasi harga, dan rantai pasok.

Didukung oleh pendekatan teknologi yang diusung startup, sisi hulu dan hilir mulai teredukasi dengan konsep baru ini. Namun, sektor ini tak lepas dari tantangan lainnya, terutama penurunan permintaan pasca-pandemi. Bagaimana startup ini mempertajam strategi mereka dalam menghadapinya?. Bagaimana juga dari sisi investor mengamati evolusi startup di sektor ini?.

Pertanyaan ini dibahas melalui sesi “Are agritech & aquatech ripe for Version 2.0 to scale to next level?” dalam konferensi tahunan Indonesia PE-VC Summit 2024 yang diselenggarakan oleh DealStreetAsia.

Diskusi panel ini menghadirkan empat pembicara: Anthony Tjajadi (Partner Trihill Capital), Aldi Adrian Hartanto (Managing Partner Ascent Venture Group), Liris Maduningtyas (Co-Founder & CEO JALA), Witny Tanod (Co-Founder, Chief Marketing & Corporate Affairs Gokomodo).

Agritech & Aquatech 1.0

Witny menyampaikan pada periode 1.0 ini Gokomodo merasa bersyukur karena mereka telah menemukan product market fit yang tepat sebagai landasan penting sebelum berinovasi lebih jauh. Gokomodo fokus pada pengadaan dan pengiriman agri-input atau produk dan bahan baku pertanian, seperti pupuk yang dibutuhkan para pelaku agrikultur, sehingga mereka dapat menerima produk akhir dengan tepat waktu, kualitas tinggi dan harga wajar.

“Solusi kami sudah membuat rantai pasok jadi lebih efisien dan lebih mudah diakses oleh konsumen. Dari berbagai limitasi sebelumnya, kami jadi memahami bahwa versi 1.0 Gokomodo telah memberikan nilai tambah,” ucapnya.

Tidak jauh berbeda, Liris menyampaikan pihaknya menyelesaikan satu per satu masalah di budidaya udang yang saat ini jadi fokus utama perusahaan. Meluncurkan aplikasi yang bisa membantu petani udang adalah salah satu solusi yang ditawarkan JALA.

“Jadi tingkat adopsi teknologi ke dalam industri akuatik sudah ada, namun masih perlu penetrasi lebih jauh ke dalam diri para petani. Tujuannya agar mereka benar-benar dapat manfaatnya. Sebab, teknologi itu selalu dapat mengatasi beberapa masalah, meminimalkan risiko, meminimalkan biaya rantai pasokan, dan lain-lain,” kata dia.

Dorong disrupsi lebih jauh

Baik Aldi dan Anthony sepakat bahwa aspek sains yang menjadi ‘beauty’ harus lebih digalakkan untuk keberlanjutan industri ini. Anthony mengaku dirinya sudah menggeluti industri agrikultur sejak 30 tahun lalu, namun hingga detik ini masih minim disrupsi di sisi hulunya.

“Jadi perbaiki pasokannya, perbaiki sumbernya. Mungkin kembali ke lab dan mendeteksi, menemukan pupuk baru, benih baru, pestisida baru, atau apa pun. Saya ingin lebih banyak disrupsi dan teknologi, serta lebih banyak orang yang terlibat di sisi hulu bisnis,” ujar Anthony.

Aldi juga mengingatkan, menerapkan lebih banyak teknologi di sisi hulu, banyak memberikan pengaruh pada efisiensi di keseluruhan rantai pasok. Saat itu, startup perlu memikirkan bagaimana bisa meningkatkan profitabilitasnya, misalnya dengan membuat merek baru khusus untuk produk ayam potong karena punya margin yang lebih tinggi.

“Namun sebelumnya harus mengatasi masalah pasokan. Kami prediksi model farming-as-a-service jadi tren yang kami perkirakan akan terjadi,” kata dia.

Tantangan menuju 2.0

Liris menyoroti tantangan talenta yang dibutuhkan untuk buat inovasi sains di sektor akuakultur masih sulit dicari. Lulusan pertanian masih lebih tertarik bekerja di bank atau jadi pegawai negeri sipil, ketimbang menyalurkan ilmunya di bidang yang sesuai. Di samping itu, perjalanan untuk penetrasi ke para petani agar naik level dari dasar ke lanjutan tetap dibutuhkan.

Agar perusahaan tetap efisien, JALA memanfaatkan keberadaan big data yang sumbernya diperoleh dari cara yang murah dan efisien, yakni melalui aplikasi yang diunduh para petani.

“Dengan big data, kami bisa mengumpulkan data historis dan data terkini dari petani, mengambil sampelnya untuk membuat prediksi dan proyeksi biomassa mereka tanpa perangkat keras. Jadi itu solusi termurah menurut saya. Langkah pertama bagi petani di aquatech untuk membiasakan diri dengan teknologi.”

Witny menambahkan, bermitra dengan ekosistem dibutuhkan untuk masuk ke tahap berikutnya 2.0, baik dengan pemerintah, akademisi, petani, investor, dan startup.

“Kami punya banyak program yang mendapat dorongan dari pemerintah sendiri untuk dorong petani milenial. Kami juga berdiskusi dengan pemerintah itu sendiri, saat membuat produk baru. Kami perlu menjadi lebih baik lagi. Jadi kami tidak bisa berdiri sendiri, tapi semuanya harus saling dukung,” pungkasnya.

Startup Aquatech JALA Kantongi Pendanaan Seri A Rp202 Miliar Dipimpin Intudo Ventures

Startup aquatech untuk industri udang JALA mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $13,1 juta (sekitar Rp202,2 miliar) dipimpin oleh Intudo Ventures, dengan partisipasi dari SMDV serta investor terdahulu, yakni Mirova dan Meloy Fund (Deliberate Capital).

Dana segar akan dimanfaatkan JALA untuk memperluas operasionalnya di Sumatera, Sulawesi, dan Nusa Tenggara—tiga wilayah yang memiliki potensi unik bagi pertumbuhan industri budidaya udang. Serta, memperkuat teknologi di JALA App dengan fitur baru.

Perusahaan terakhir kali mengumumkan pendanaan pada November 2021 sebesar $6 juta. Sejumlah pemodal ventura yang fokus pada impact investment dari beberapa negara terlibat dalam putaran ini, di antaranya The Meloy Fund (dikelola Deliberate Capital dari Amerika Serikat), Real Tech Fund (dari Jepang), dan Mirova (dari Prancis).

Menurut keterangan resmi yang disampaikan hari ini (28/11), Co-founder dan CEO JALA Liris Maduningtyas menyampaikan, inti dari misi JALA adalah membuka jalan menuju industri udang Indonesia yang berkelanjutan di masa depan. Dukungan dari Intudo dan SMDV, menjadi amunisi tambahan untuk mewujudkan misi tersebut.

“Pendanaan ini memungkinkan kami untuk menghadirkan solusi ke daerah-daerah terpencil di Indonesia dan membekali petambak setempat dengan dukungan teknologi dan pendanaan yang mereka butuhkan untuk memajukan produksi udang Indonesia,” ujarnya.

Founding Partner Intudo Ventures Patrick Yip menuturkan, sebagai produsen udang terbesar keempat di dunia, Indonesia memiliki peran penting dalam rantai pasok seafood secara global. Seiring berkembangnya industri udang di negara ini, permintaan akan solusi budidaya udang modern juga meningkat.

“Rangkaian solusi digital JALA membantu petambak menciptakan nilai ekonomi yang nyata, meningkatkan hasil budidaya, dan menetapkan arah pada praktik budidaya yang berkelanjutan—membawa udang Indonesia ke pasar global. Kami sangat mendukung JALA dalam mewujudkan misi digitalisasi dan memperkuat budidaya udang di Indonesia,” imbuh Yip.

Perkembangan JALA

JALA didirikan pada 2017 oleh Aryo Wiryawan (Chairman), yang telah menjadi petambak udang sejak tahun 2001; dan Liris Maduningtyas (CEO), yang memiliki latar belakang teknik—keduanya mendirikan JALA setelah menemukan kendala dalam memantau budidaya udang di Indonesia dan ketergantungan pada cara tradisional.

Didasarkan pada aspek pemantauan, tim JALA menyusun solusi lengkap bagi petambak udang yang tidak hanya meningkatkan aspek ekonomi budidaya udang itu sendiri melainkan juga berkontribusi bagi keberlanjutan lingkungan.

JALA menyediakan solusi end-to-end untuk menyederhanakan proses budidaya udang—meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan keberlanjutan. Para petambak dapat menganalisis budidaya berdasarkan data real time dan alat yang terintegrasi, serta pendampingan tambak, pendanaan, saprodi berkualitas, dan akses jual untuk mendistribusikan hasil panen ke pasar.

Solusinya mulai dari JALA App, yakni alat yang penting bagi petambak udang karena dapat membantu mereka memantau proses budidaya secara efektif. Aplikasi ini memungkinkan penggunanya untuk mencatat, memantau, dan menganalisis setiap aspek budidaya udang secara real time, langsung dari perangkat mobile mereka.

Fungsi tersebut menyajikan data yang lengkap dan pelacakan progres, membantu petambak mengambil keputusan tepat dengan cepat. Melalui layanan credit scoring tambak dari JALA, petambak juga dapat membuktikan kredibilitas mereka dan memperoleh akses pilihan pendanaan yang terjangkau.

Bagi petambak di segala skala, JALA menyediakan layanan akses panen untuk membantu mendistribusikan produk mereka ke pasar. Petambak dapat terlibat dalam sistem yang membawa hasil panen mereka ke pasar, lengkap dengan pilihan pembayaran yang cepat dan aman. JALA juga menyediakan pendampingan tambak berupa bimbingan dan dukungan langsung dalam mengatasi tantangan sehari-hari di tambak.

Diklaim JALA telah dipercaya oleh lebih dari 20.000 pengguna. Melalui JALA App, perusahaan telah memantau udang di lebih dari 35.300 kolam, membantu petambak memanen udang dalam jumlah yang besar.

Ke depannya, JALA App akan dilengkapi dengan prediksi performa budidaya, kualitas air, dan penyakit udang yang lebih mendalam serta automasi input data, seperti data berat udang dan pakan. JALA juga bekerja sama dengan Conservation International untuk membangun Climate Smart Shrimp pertama sebagai upaya intensifikasi gabungan dengan restorasi mangrove untuk tambak udang tradisional.

Application Information Will Show Up Here

JALA Tech Announces 85.7 Billion Rupiah Funding

Aquatech startup JALA Tech announced $6 million funding or equivalent to 85.7 billion Rupiah. A number of global venture capitalists focusing on impact investment were involved in this round, including The Meloy Fund (managed by US based company, Deliberate Capital), Real Tech Fund (Japan), and Mirova (France).

Previously, JALA has also been supported by a number of investors, including Hatch Blue and 500 Startups since 2019.

In an official statement, JALA Tech’s Co-Founder & CEO, Liris Maduningtyas said, “We are delighted to receive this fresh funding, which will play an important role in helping us achieve our goal of developing new ways to improve the industry and its impact on society.”

In a general note, JALA develops technology in the form of hardware and software to help farmers boost up production. Some of these include water quality measuring tools, micro bubble generators, business recording applications and analytic tools. These devices can be connected and operated through applications with the Internet of Things (IoT) capabilities.

One of JALA’s target markets is shrimp farmers. It is said that Indonesia is one of the 5 largest shrimp producers in the world along with China, Ecuador, India and Vietnam. To date, many problems related to shrimp farming remain unresolved, such as pollution caused by the release of agricultural wastes in rivers and seas, disease outbreaks and mortality, inefficient value chains, low added value for farmers, and traceability of products that are poor limited, and transparency.

“JALA aims to contribute to solving some of these problems to make the shrimp value chain more sustainable, transparent, efficient and fair,” he said.

Regional expansion

Previously, in mid-2020, JALA had stated its intention to enter the regional market. It is started with a branch office in Thailand. Liris said that the company has expanded its business to Thailand, Malaysia, Vietnam, and Ecuador since 2019. However, it is still limited to a business agreement between the company with the B2B and B2C clients in the country.

As of July 2020, the company said, JALA’s user base have now reached more than 6 thousand farmers and over 100 IoT hardware devices are used.

In fact, this achievement blows a fresh air for the local cultivation industry. With technology and digital-based innovations, it is expected that the existing potential can be more optimized. Apart from JALA, other startups have also introduced innovations in the aquaculture sector, one of which is eFishery with its flagship product, automatic fish feed. With better investor support, eFishery is now entering the funding and online grocery business aiming to provide solutions from upstream to downstream.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

JALA Tech Umumkan Perolehan Pendanaan 85,7 Miliar Rupiah

Startup pengembang perangkat teknologi akuakultur JALA Tech mengumumkan perolehan pendanaan senilai $6 juta atau setara 85,7 miliar Rupiah. Sejumlah pemodal ventura yang fokus pada impact investment dari beberapa negara terlibat dalam putaran ini, di antaranya The Meloy Fund (dikelola Deliberate Capital dari Amerika Serikat), Real Tech Fund (dari Jepang), dan Mirova (dari Prancis).

Sebelumnya JALA juga telah didukung sejumlah investor, termasuk Hatch Blue dan 500 Startups sejak tahun 2019 lalu.

Dalam keterangan resminya, Co-Founder & CEO JALA Tech Liris Maduningtyas mengatakan, “Kami senang menerima pendanaan baru ini, yang akan berperan penting dalam membantu kami mencapai tujuan dalam mengembangkan cara baru untuk meningkatkan industri dan dampaknya terhadap masyarakat.”

Seperti diketahui, JALA mengembangkan teknologi berupa perangkat keras dan lunak untuk membantu petambak meningkatkan produksinya. Beberapa di antaranya alat pengukur kualitas air, pembuat gelembung mikro, aplikasi pencatatan bisnis hingga analisis. Perangkat-perangkat tersebut dapat terhubung dan dioperasikan melalui aplikasi dengan kapabilitas Internet of Things (IoT) yang dimiliki.

Salah satu target pasar produk JALA adalah petambak udang. Disampaikan, Indonesia satu dari 5 produsen udang terbesar di dunia bersama Tiongkok, Ekuador, India, dan Vietnam. Sampai saat ini, banyak masalah yang terkait dengan budidaya udang masih belum terselesaikan, seperti polusi yang disebabkan oleh pelepasan limbah pertanian di sungai dan laut, wabah penyakit dan kematian, rantai nilai yang tidak efisien, nilai tambah yang rendah bagi petani, dan ketertelusuran produk yang terbatas, dan transparansi.

“JALA bertujuan untuk berkontribusi dalam memecahkan beberapa masalah ini untuk membuat rantai nilai udang lebih berkelanjutan, transparan, efisien, dan adil,” ungkapnya.

Lancarkan ekspansi regional

Sebelumnya pada pertengahan tahun 2020 lalu, JALA telah memantapkan niatnya untuk masuk ke pasar regional. Diawali dengan membuka kantor cabang di Thailand. Disampaikan Liris, sejak tahun 2019 perusahaan sudah ekspansi bisnis ke Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Ekuador. Tapi itu masih sebatas ada kesepakatan bisnis antara perusahaan dengan klien B2B maupun B2C di negara tersebut.

Per Juli 2020 perusahaan menyampaikan, pengguna solusi JALA kini sudah mencapai lebih dari 6 ribu petambak dan lebih dari 100 perangkat hardware IoT dipakai.

Tentu prestasi ini menjadi angin segar untuk industri budidaya lokal. Dengan adanya inovasi berbasis teknologi dan digital, diharapkan potensi yang ada dapat terdorong lebih optimal. Selain JALA, inovasi di bidang pertambakan juga telah dihadirkan startup lain, salah satunya eFishery dengan produk andalannya pakan ikan otomatis. Dengan dukungan investor yang cukup baik, eFishery kini juga masuk ke bisnis pendanaan dan online grocery dengan harapan dapat memberikan solusi dari hulu ke hilir.

Application Information Will Show Up Here

Jala Bersiap Ekspansi ke Thailand Tahun Depan

Jala Tech, startup aquatech untuk petambak udang, mengungkapkan bersiap untuk ekspansi kantor cabang ke Thailand pada tahun depan. Negara itu termasuk satu dari enam negara penghasil udang terbesar di dunia.

CEO Jala Liris Maduningtyas menjelaskan, sebenarnya sejak tahun lalu perusahaan sudah ekspansi bisnis ke Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Ekuador. Tapi itu masih sebatas ada kesepakatan bisnis antara perusahaan dengan klien B2B maupun B2C di negara tersebut.

Untuk negara di Asia Tenggara, solusi dari Jala berbasis IoT digunakan oleh petambak udang di sana; sementara di Ekuador memanfaatkan solusi aplikasi analitik dari Jala.

Keempat negara ini, bersama Indonesia, Tiongkok dan India, termasuk enam negara di dunia penghasil udang terbesar di dunia. Oleh karenanya, ekspansi ke negara-negara tersebut adalah bagian dari rencana bisnis perusahaan sekaligus menjelaskan kenapa melirik ke sana.

“Belum ada kantor representative di negara tersebut. Ke depannya ekspansi pertama ke Thailand tahun 2021 dengan buka cabang, juga hiring local talent untuk market penetration,” kata Liris kepada DailySocial, Jumat (10/7).

Di tengah pandemi ini, lanjutnya, perusahaan berinovasi dengan mengembangkan layanan penjualan hasil panen kepada konsumen. Solusi ini termasuk bagian dari perhatian perusahaan dalam membantu petani udang yang terdampak agar tetap mengembangkan usahanya.

Kendati, dari sisi bisnis keseluruhan, dia mengaku bahwa sebenarnya pandemi juga turut memengaruhi kinerja perusahaan.

Liris menuturkan layanan trading ini akan terus dikembangkan, tidak hanya ada selama pandemi saja. Rencananya akan ditambahkan dengan intervensi solusi digital. Selama ini bisnis utama Jala masih bergerak di analisis data berbasis aplikasi dan IoT.

Tim Jala / Jala
Tim Jala / Jala

“Tentunya ada banyak isu di lapangan yang memengaruhi industri udang secara keseluruhan. Kami terus berinovasi untuk memitigasi dampak pandemi ini. Meskipun berdampak dari sisi bisnis, kami tetap bertahan dengan mempertahankan target bulanan, meskipun growth tidak seperti diharapkan,” tutupnya.

Dia mengaku, pengguna solusi Jala kini sudah mencapai lebih dari 6 ribu petani dan lebih dari 100 perangkat hardware IoT dipakai.

Pada September 2019, perusahaan mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal sebesar Rp8 miliar dari 500 Startups.

Startup Agrotech JALA Terima Pendanaan 8 Miliar Rupiah dari 500 Startups

JALA Tech, startup yang menghadirkan solusi teknologi untuk mengoptimalkan produktivitas petani udang di Indonesia berhasil mengamankan pendanaan putaran awal dari 500 Startups sebesar Rp8 miliar. Selanjutnya, startup yang juga lulusan program Hatch Aquaculture Accelerator ini merencanakan untuk diversifikasi produk mereka dengan mengembangkan sejumlah produk baru.

CEO JALA Liris Maduningtyas kepada DailySocial menceritakan, saat ini mereka menyediakan platform budidaya untuk petambak udang. Mereka mengembangkan layanan untuk memantau kualitas air secara real time, memprediksi pertumbuhan udang, dan estimasi hasil budidaya.

Saat ini JALA juga tengah mengembangkan dan memproduksi perangkat IoT (Internet of Things) untuk monitoring kualitas air. Semua solusi yang ditawarkan kepada pengguna/pemilik tambak dalam skema berlangganan.

“Untuk pendanaan, selain untuk hiring resources untuk mengembangkan produk kami dan memasarkannya, kita juga gunakan untuk memproduksi alat IoT. Setelah pendanaan, kita melakukan pengembangan dan produksi alat, pemasaran ke seluruh Indonesia, terutama Lampung, Jawa, Bali, dan Lombok,” jelas Liris.

Sementara itu pihak 500 Startups melalui Managing Partner of 500 Startups Khailee Ng menjelaskan bahwa mereka melihat peluang yang cukup besar bagi JALA untuk membantu meningkatkan produktivitas para petani udang. Terutama untuk memenuhi permintaan yang terus tumbuh.

“Semua orang tahu tentang kelas menengah yang tengah berkembang, terutama di sini, di Indonesia. Mereka berkembang lebih cepat daripada apa yang bisa diberikan petani kepada mereka. Inilah sebabnya kami berinvestasi dalam startup agrotech terkemuka seperti JALA. Kami perlu memanfatkan teknologi hingga [menumbuhkan] 100x produktivitas petani yang ada untuk memberi makan dunia,” terang Khailee Ng.

Untuk saat ini startup yang berkantor di Yogyakarta tengah fokus pada petumbuhan bisnis dan layanannya. Beberapa fokus mereka saat ini antara lain, pertumbuhan pasar, retention rate, dan beberapa target yang tengah dicapai. Sedangkan untuk target, JALA menargetkan untuk bisa digunakan di kolam-kolam tambak udang di Asia Tenggara.

“Saat ini target JALA adalah 20 ribu kolam tambak udang di Asia Tenggara menggunakan teknologi dan solusi dari JALA, kemudian mengembangkan beberapa produk lain untuk membantu petambak udang,” jelas liris.