Fokus Startup Edtech “SekolahPro” Jembatani Integrasi antara Pemerintah dan Sekolah

Berawal dari penyediaan teknologi Learning Management System (LMS), SekolahPro startup edtech yang berbasis di Pontianak kini telah berkembang menjadi one-stop solution untuk ekosistem sekolah. Founder & CEO SekolahPro Firman Cahyadi mengungkapkan, tidak hanya pada sekolah SMA dan SMK, SekolahPro juga mengembangkan inovasi pada sekolah berkebutuhan khusus dan inklusi.

“Pada awalnya, SekolahPro dirancang sebagai LMS yang fokus pada upscaling kualitas manajemen sekolah dan pembelajaran. Lalu terjadi pandemi, membuat kami menyikapi tantangan pendidikan di masa Covid-19 di wilayah provinsi Kalimantan Barat dengan berinovasi menyediakan platform edutech yang menyasar komunikasi terintegrasi antara layanan publik milik pemerintah dengan sekolah,” kata Firman.

SekolahPro juga membantu pihak sekolah menghadapi kurikulum merdeka yang disesuaikan dengan tujuannya, yaitu menciptakan pendidikan yang menyenangkan, mengejar ketertinggalan pembelajaran, dan mengembangkan potensi peserta didik.  Hingga saat ini SekolahPro telah terintegrasi di 35 sekolah, digunakan 288 guru dan 13.224 peserta didik yang tersebar di 14 kabupaten di  Kalimantan Barat.

Hingga saat ini SekolahPro juga belum memiliki rencana untuk melakukan ekspansi ke wilayah lainnya di luar Kalimantan Barat. Namun demikian tidak menutup kemungkinan daerah yang akan disasar oleh perusahaan selanjutnya adalah Papua, yang saat ini masih dalam tahap penjajakan.

“Tujuan kami memang nasional namun kami ingin memastikan ketika ingin melakukan ekspansi ke wilayah lain, dari sisi hukum dan kebijakan sudah tepat sehingga dengan mudah bisa melakukan hal yang sama. Hal ini terkait kemitraan yang terjalin dengan pemerintah setempat,” kata Firman.

Tahun ini SekolahPro memiliki rencana untuk menambah jumlah siswa dan sekolah hingga institusi pendidikan dalam ekosistem SekolahPro. Kerja sama dengan pemerintah juga akan makin digencarkan oleh SekolahPro.

Strategi monetisasi SekolahPro

Karena mitra strategis SekolahPro adalah pemerintah yang telah memiliki alokasi dana untuk pendidikan dan perluasan ekosistem yang menjadi tanggung jawab pemerintah, mereka belum pernah melakukan penggalangan dana. Strategi monetisasi lainnya yang diterapkan oleh SekolahPro adalah dengan mengenakan biaya yang sangat terjangkau kepada siswa hingga institusi pendidikan seperti yayasan hingga universitas.

“Untuk bisa memperluas layanan ke wilayah lainnya, tidak menutup kemungkinan perusahaan ke depannya akan melakukan penggalangan dana, agar proses scale-up bisa dilakukan,” kata Firman.

Mengklaim sebagai teknologi LMS yang berbeda dengan platform lainnya, SekolahPro juga terintegrasi dengan universitas untuk pendaftaran calon mahasiswa baru dan penyajian data dari sekolah secara real time yang dapat dipantau oleh pihak yang berkepentingan seperti kepala sekolah, ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), hingga Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

Integrasi serupa juga telah dilakukan oleh SekolahPro dengan SMK dan industri terkait yang selama ini membutuhkan tenaga magang atau PKL langsung dari SMK. Bukan hanya pihak sekolah yang dapat memantau jalannya proses PKL, namun industri pun dapat melihat proses PKL siswa SMK yang tergabung dalam ekosistem SekolahPro.

SekolahPro berkomitmen untuk berkontribusi aktif dalam menyediakan layanan solusi pendidikan dan manajemen sekolah agar menjadi profesional dengan membantu sekolah menyajikan data analytic yang terkoneksi dengan pemerintah daerah. Sehingga, pemerintah setempat mudah dalam melihat dan mengambil kebijakan berbasis data di setiap sekolah sekolah dibawah pengawasannya.

“Kami melihat urgensi masalah dalam sektor pendidikan publik antara pemerintah daerah dengan sekolah, seperti ekosistem sekolah yang tidak terintegrasi, manajemen sekolah yang masih manual, dan data yang tidak up-to-date. Belum lagi layanan informasi pendidikan, layanan informasi sekolah dan kampus, dan informasi dunia industri yang tidak terintegrasi di lingkungan warga Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Padahal, integrasi manajemen dan informasi sangat krusial jika kita berbicara tentang peningkatan kualitas manajemen sekolah dan pembelajaran,” kata Firman.

Ruangguru Dukung Peluncuran Sekolah Online “Alta School”

Pembatasan akibat pandemi memaksa institusi pendidikan untuk turut beradaptasi. Selama beberapa bulan terakhir, berbagai sekolah di Indonesia untuk semua jenjang, mengubah model pembelajaran dari tatap muka menjadi daring. Walaupun awalnya menyulitkan guru, siswa, dan bahkan orang tua; namun pada akhirnya ditemukan model yang cukup optimal untuk penyampaian materi secara online.

Melihat tren pembelajaran online yang kini menjadi hal yang lumrah, bahkan dipilih beberapa orang tua untuk meminimalkan risiko terkena virus, Alta School hadir sebagai sekolah online. Terkait jenjang dan standardisasi yang diterapkan setara dengan sekolah konvensional pada umumnya. Mereka menjamin, kurikulum yang disampaikan mengakomodasi kebutuhan perkembangan anak baik secara kognitif, afektif dan psikomotorik.

Didukung teknologi Ruangguru

Alta School telah membuka pendaftaran bagi peserta didik baru untuk usia 4 tahun di jenjang PAUD dan 6 tahun untuk jenjang SD. Pihaknya mengatakan, sekolah ini diluncurkan dengan memprioritaskan aspek kesiapan guru, kurikulum pendidikan, serta metode pembelajaran live teaching interaktif, dan aktivitas mandiri yang terpersonalisasi.

Untuk menunjang kebutuhan ruang kelas online yang optimal, Alta School secara khusus menggandeng Ruangguru untuk memanfaatkan platform Learning Management System (LMS) milik mereka “Ruangkelas”. LMS Ruangkelas menyajikan beberapa kapabilitas, seperti mengatur kelas, daftar hadir, mengelola materi/tugas, diskusi kelas, hingga penilaian dan analisis perkembangan siswa.

Pada dasarnya LMS ini bisa diaplikasikan sekolah-sekolah di luar sana; hingga saat ini dari data Ruangguru disampaikan ada sekitar 12 ribu sekolah yang sudah memanfaatkannya.

Terkait kemitraan strategis antara dua pihak, perwakilan Ruangguru menyebutkan mereka tidak terlibat secara langsung dalam operasional Alta School. Meskipun demikian, berdasarkan penelusuran DailySocial.id, sejumlah pegawai Alta School di LinkedIn menyebut dirinya sebagai bagian dari Ruangguru atau menggunakan nama perusahaan “Alta School by Ruangguru”.

“Akses Ruangkelas yang dihadirkan sebagai sistem kelola belajar utama di Alta School, akan mempermudah guru dalam mengatur kegiatan belajar mengajar secara online, sehingga siswa dapat mengikuti rencana belajar yang sudah ditentukan dengan baik, untuk tetap belajar secara efektif,” ujar Head of Corporate Communication Ruangguru Anggini Setiawan.

Terapkan metode blended learning

Sejak meluncur pada bulan Juli 2021, hingga kini Alta School telah memiliki ratusan murid mulai dari jenjang PAUD A (anak usia 4 tahun), PAUD B (anak usia 5 tahun), hingga siswa SD kelas 1 s/d 3. Mengusung metode blended learning, aktivitas pembelajaran mengedepankan konsep live teaching interaktif dan adaptif dibantu dengan memaksimalkan pembelajaran visual. Live teaching di Alta School memiliki frekuensi hingga 6 kali seminggu.

“Selain itu, live teaching di Alta School juga dikombinasikan dengan aktivitas mandiri bagi siswa. Materi yang diberikan di Alta School setara dengan sekolah nasional, dan pembelajarannya setara dengan sekolah konvensional, jadwal waktu belajar juga bersifat fleksibel,” jelas Kepala Sekolah Alta School Devi Silviaty Gunawan.

Ia melanjutkan, “Pada usia dini, anak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan membutuhkan pola belajar dengan contoh konkret. Pada tahap ini pula, rasa percaya diri anak perlu mulai dibangun dengan memberikan rasa aman dan menyenangkan saat belajar.”

Secara keseluruhan aktivitas yang ditawarkan meliputi live teaching, homebase project, offline activity with parent, tutoring class, kelas add on, life skill education, learning kit serta berbagai fasilitas lainnya untuk mempersiapkan siswa dalam menghadapi tantangan abad 21.

Pembelajaran online selama pandemi

Dalam laporan World Economic Forum tercatat di seluruh dunia saat ini ada lebih dari 1,2 miliar anak di 186 negara yang terkena dampak penutupan sekolah karena pandemi.  Sepanjang tahun 2020 lalu pendidikan telah berubah secara dramatis, dengan munculnya platform e-learning, pengajaran dilakukan dari jarak jauh pada platform digital.

Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa rata-rata, siswa mampu mempertahankan materi 25-60% lebih banyak saat belajar online dibandingkan dengan hanya 8-10% secara offline di kelas [dengan asumsi alat dan media ajar disiapkan secara optimal]. Salah satu alasannya adalah, siswa dapat belajar lebih cepat secara online. Konsep e-learning membutuhkan 40-60% lebih sedikit waktu untuk belajar daripada di ruang kelas tradisional karena siswa dapat belajar dengan kecepatan mereka sendiri, kembali dan membaca ulang, melewatkan, atau mempercepat melalui konsep yang mereka pilih.

Application Information Will Show Up Here

Startup Edutech B2B Codemi Terima Pendanaan Tahap Awal dari Init-6

Startup edutech B2B Codemi mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal dengan nominal dirahasiakan dari Init-6. Codemi menjadi portofolio startup edutech kedua setelah Eduka yang dibidik oleh perusahaan investasi yang didirikan oleh Co-Founder Bukalapak Achmad Zaky tersebut.

“Kami selalu antusias dengan bidang edukasi dan pengembangan SDM. Pasca Covid-19, setiap perusahaan harus memikirkan ulang dan mengubah paradigma pengembangan SDM mereka agar bisa survive dan berkembang,” kata Zaky dalam keterangan resmi, Rabu (7/10).

Ia tertarik pada Codemi karena mereka mengerti kebutuhan perusahaan dan mampu memberikan solusi yang sangat membantu pengembangan SDM perusahaan, terutama di era pandemi.

Dalam pengumuman pendanaan ini sekaligus disampaikan Zaky telah ditunjuk menjadi komisaris di Codemi.

Fokuskan pengembangan produk

Founder & CEO Codemi Zaki Falimbany mengatakan, dana segar ini akan dimanfaatkan untuk berinovasi mengembangkan produk baru dan meningkatkan struktur keamanan. Ia ingin produk Codemi lebih adaptif terhadap kebutuhan pasar, terutama pada masa di mana training dan pengembangan SDM sulit dilaksanakan secara konvensional.

“Layanan Codemi yang berbasis cloud memungkinkan perusahaan untuk tetap mengadakan training secara online di tengah PSBB, selain lebih memudahkan karena bisa diakses secara berulang dan memungkinkan penghematan anggaran pelatihan,” tutur Zaki.

Pada saat yang bersamaan, Codemi mengumumkan tiga fitur baru untuk korporasi, yakni instructor led learning, collaborative learning, dan on the job learning. Instructor led learning adalah fitur yang memungkinkan karyawan atau mitra didampingi oleh instruktur dalam penyampaian materi, baik online maupun tatap muka secara langsung.

Sementara, collaborative learning memungkinkan karyawan mendapat kesempatan untuk bisa belajar, sehingga timbul diskusi antar pegawai dan menciptakan sesi coaching, mentoring, atau konseling. Terakhir, on the job training akan memberikan pengalaman baru buat karyawan untuk mempraktikkan materi training yang didapat secara langsung.

Zaki menuturkan ketiga fitur di dalam learning management system ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas korporasi dan menambahkan produk pelatihan pengembangan SDM dari Codemi yang lain. Sejumlah mitra korporasi Codemi datang dari berbagai sektor, di antaranya Frisian Flag, Manulife, Ranch Market, dan OK Bank.

“Tidak hanya kemudahan aksesibilitas, layanan training Codemi juga disertai dengan fitur gamifikasi agar para peserta training lebih termotivasi dalam mengikuti pelatihan dan terdapat sistem untuk memonitor perkembangan dari masing-masing karyawan yang mengikuti pelatihan sehingga perusahaan dapat mengukur efektivitas pelatihan,” tandasnya.

Pemain edtech lama

Codemi sudah didirikan sejak tahun 2013, awalnya mereka mengusung konsep “online open course”. Kemudian di tahun 2015 mengubah haluan bisnis menjadi LMS untuk membantu bisnis adakan pelatihan untuk karyawannya. Mereka juga sempat rilis beberapa layanan sekunder, salah satunya Pitakonan, fasilitasi masyarakat dengan fitur tanya-jawab seputar kewirausahaan.

Tahun 2018, bisnis Codemi makin moncer. Kala itu Zaki mengatakan startupnya capai profitabilitas. Tidak berhenti di sana, Codemi juga lakukan penggalangan dana untuk matangkan rencana ekspansi regional.

Edtech Startup AyoBlajar is Officially Launched, Offering Online Classes and LMS

Pandemic has created opportunities among the many difficulties. Edtech is one of those opportunities. Ruangguru and Zenius were two that stood out during the Covid-19 hitting Indonesia.

Between the hegemony of the two edtechs, another new player appeared. This startup is called AyoBlajar. Operating since 2018, AyoBlajar was only registered as a company in July 2019. In fact, their application was only officially published on Friday, September 4, 2020.

In the launch event, AyoBlajar Fariz Isnaini Co-Founder & CEO said, AyoBlajar is an edtech platform that focuses on junior high and high school education levels. He reasoned that the two of them were chosen because at that level student interest began to appear.

AyoBlajar platform can be accessed on Android devices and websites. Like other edtech platforms, it relies on videos as a learning resource, test material and quizzes to hone student understanding. But beyond that, there are several things that differentiate AyoBlajar from other edtechs.

First is the Live Classes feature. This feature allows user students to attend certain classes in real time. There is also one-on-one mentoring that makes it easier for students to have further discussions about the subject matter. The AyoBlajar platform also provides a progress chart feature that allows parents to map students’ learning abilities.

However, what distinguishes AyoBlajar from other platforms is their feature called the Learning Management System (LMS). This feature is made to make it easier for schools to design teaching and learning activities online. COO & Co-Founder Audy Laksmana said, with this feature the school would not find it difficult to prepare materials or exams for their students.

“That’s why we created this Learning Management System so that schools can move the teaching and learning process from offline to online,” added Audy.

Between B2B and B2C

In terms of business model, AyoBlajar adopts two types, namely B2C and B2B. LMS aimed at schools is their B2B product. AyoBlajar set various prices for these products. According to Fariz, this was done due to the different abilities of schools. “But now we don’t charge fees to most [schools],” explained Fariz.

In fact, AyoBlajar is not the only one that has LMS products in Indonesia. Gredu, for example, has introduced itself as a platform that facilitates school teaching and learning activities online since January 2020. However, Fariz claims that the LMS in AyoBlajar offers flexibility that is not found in other platforms.

“What distinguishes our LMS from others is, our LMS has been integrated with online classes so that teachers can create and manage their own classes.”

While their B2C products are all aimed at students. The model they chose was a subscription fee. The cost is also broken down into more various depending on the features required by the user.

The path taken by AyoBlajar is somewhat different from most edtech in the country. Generally, edtech that has operated previously takes a focus between B2B and B2C. Working closely with all stakeholders in the country’s education ecosystem is the key to AyoBlajar in carrying out the two business models.

“AyoBlajar strengthens collaboration with various stakeholders who have the same vision, namely to improve education in Indonesia, with these collaborations AyoBlajar can compete in both B2B and B2C sides,” explained Fariz.

Target

AyoBlajar currently claims to have 13 thousand students and 23 schools registered on their platform. A pandemic situation that requires teaching and learning activities to be carried out online has created its own opportunities for AyoBlajar.

From a funding aspect, AyoBlajar has pocketed initial funding. However, they were reluctant to mention the nominal investment and investors who participated in the funding round.

Fariz targets their users to reach 100 thousand by the end of the year. In order to pursue this big target, AyoBlajar also offers access to subscribe to their content for free for the next month.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup Edtech AyoBlajar Diresmikan, Turut Sediakan Fitur Kelas Online dan LMS

Masa pandemi memang menyelipkan kesempatan di antara banyaknya kesulitan. Edtech adalah salah satu yang tertimpa kesempatan itu. Ruangguru dan Zenius adalah dua yang menonjol selama Covid-19 melanda Indonesia.

Di antara hegemoni kedua edtech tadi, muncul satu lagi pemain baru. Startup ini bernama AyoBlajar. Beroperasi sejak 2018, AyoBlajar baru terdaftar sebagai perusahaan pada Juli 2019. Bahkan aplikasi mereka baru resmi terbit per Jumat, 4 September 2020.

Dalam acara peluncurannya, Co-Founder & CEO AyoBlajar Fariz Isnaini mengatakan, AyoBlajar adalah platform edtech yang fokus di jenjang pendidikan SMP dan SMA. Ia beralasan keduanya dipilih karena pada jenjang itu peminatan siswa mulai terlihat.

Platform AyoBlajar dapat diakses di perangkat Android dan situs web. Seperti halnya platform edtech lain, ia mengandalkan video sebagai sumber pembelajaran, materi tes dan kuis untuk mengasah pemahaman siswa. Namun di luar itu ada beberapa hal yang membedakan AyoBlajar dengan edtech lainnya.

Pertama adalah fitur Live Classes. Fitur ini memungkinkan siswa pengguna mengikuti kelas tertentu secara real time. Ada juga one-on-one mentoring memudahkan siswa untuk berdiskusi lebih lanjut mengenai materi pelajaran. Platform AyoBlajar juga menyediakan fitur grafik perkembangan yang memungkinkan orang tua siswa memetakan kemampuan belajar siswa.

Namun yang paling membedakan AyoBlajar dengan platform lain adalah fitur mereka bernama Learning Management System (LMS). Fitur ini dibuat untuk memudahkan pihak sekolah dalam merancang kegiatan belajar mengajar secara daring. COO & Co-Founder Audy Laksmana mengatakan, dengan fitur ini pihak sekolah tak akan sulit dalam menyusun materi atau ujian bagi siswanya.

“Makanya Learning Management System ini kita buat agar sekolah bisa memindahkan proses belajar mengajar dari offline ke online,” imbuh Audy.

Bermain di B2B dan B2C

Adapun dari aspek model bisnisnya, AyoBlajar mengadopsi dua jenis yakni B2C dan B2B. LMS yang ditujukan ke sekolah-sekolah merupakan produk B2B mereka. AyoBlajar mematok harga yang bervariasi untuk produk tersebut. Menurut Fariz hal itu dilakukan karena mengikuti kemampuan sekolah yang berbeda-beda. “Tapi kini kita tidak mengenakan biaya ke sebagian besar [sekolah],” terang Fariz.

Sejatinya, AyoBlajar bukan satu-satunya yang memiliki produk LMS di Indonesia. Gredu misalnya sudah memperkenalkan diri sebagai platform yang memfasilitasi kegiatan belajar mengajar sekolah secara daring sejak Januari 2020.  Namun Fariz mengklaim LMS di AyoBlajar menawarkan fleksibilitas yang tak ada di platform lain.

“Yang membedakan LMS kami dengan lainnya adalah, LMS kami telah terintegrasi dengan online classes sehingga guru-guru dapat membuat dan mengatur kelasnya sendiri.”

Sementara produk B2C mereka adalah semua yang ditujukan untuk siswa. Model yang mereka pilih adalah biaya berlangganan. Biaya itu juga dipecah menjadi lebih beragam tergantung dari fitur yang dibutuhkan pengguna.

Jalan yang diambil oleh AyoBlajar ini agak berbeda dengan edtech kebanyakan di dalam negeri. Umumnya edtech yang sudah beroperasi sebelumnya mengambil fokus salah satu di antara B2B dan B2C. Menggandeng erat semua stakeholder dalam ekosistem pendidikan Tanah Air menjadi kunci AyoBlajar dalam menjalankan kedua model bisnis itu.

“AyoBlajar memperkuat kolaborasi dengan berbagai stakeholders yang memiliki visi yang sama yaitu untuk memperbaiki edukasi di Indonesia, dengan kolaborasi-kolaborasi tersebut AyoBlajar dapat berkompetisi dalam sisi keduanya, B2B maupun B2C,” jelas Fariz.

Target

Saat ini AyoBlajar mengklaim sudah memiliki 13 ribu siswa dan 23 sekolah yang terdaftar ke dalam platform mereka. Situasi pandemi yang mengharuskan kegiatan belajar mengajar dilakukan secara daring memunculkan peluang tersendiri bagi AyoBlajar.

Dari aspek pendanaan, AyoBlajar telah mengantongi pendanaan awal. Namun mereka enggan menyebut nominal investasi dan investor yang berpartisipasi dalam babak pendanaan itu.

Fariz menargetkan pengguna mereka sampai 100 ribu hingga akhir tahun. Guna mengejar target besar itu, AyoBlajar juga menawarkan akses berlangganan konten mereka secara gratis hingga sebulan ke depan.

Application Information Will Show Up Here

Unduh Edtech Report 2020 dari DSResearch untuk mendapatkan ulasan mengenai lanskap startup pendidikan di Indonesia.

Tren Platform Edtech di Indonesia

Selain e-commerce, ride hailing, dan fintech; ada beberapa sektor bisnis startup yang digadang-gadang akan mendapatkan keuntungan besar di tengah berkembangnya pangsa pasar digital di Indonesia. Salah satu yang sering disebut-sebut adalah edtech (education technology). Pada dasarnya, para startup di bidang tersebut mencoba menghadirkan demokratisasi teknologi di dunia pendidikan.

Edtech di Indonesia mulai menjadi hype memasuki tahun 2015an – kendati startup seperti Zenius sudah ada sejak tahun 2004, sementara pemain besar lain seperti Ruangguru dan HarukaEdu baru debut di 2013. Popularitas platform tersebut juga mengikuti tren digital yang berkembang di masyarakat – misalnya sebaran broadband yang meluas, makin akrabnya masyarakat dengan layanan berbasis aplikasi, hingga opsi pembayaran digital yang lebih banyak.

Redaksi DailySocial selama 5 tahun terakhir telah meliput puluhan startup edtech, 65 di antaranya masih bertahan dan berkembang sampai saat ini – termasuk beberapa startup dari luar negeri yang fokus garap pasar di sini.

Berikut ini beberapa tren menarik yang dapat kami petakan di industri edtech tanah air:

Platform dan model bisnis

Ada enam jenis layanan yang ditawarkan oleh edtech di Indonesia. Pertama e-learning, menjajakan materi pembelajaran secara online. Beberapa menyajikan melalui konten interaktif, video on-demand, dan online live tutoring. Dari sudut materi, cakupannya juga beragam, mulai dari kursus untuk murid sekolah, konten belajar bahasa asing, hingga penguatan kemampuan personal seperti akuntansi dan pemrograman. Contoh startup di bidang ini meliputi Arkademi, Bahaso, Bensmart, CodeSaya, Kode.id, Ruangguru, Vokraf, Zenius.

Layanan e-learning yang ada di Indonesia paling banyak menyasar kalangan pengguna umum, dilanjutkan K-12 (setara jenjang SD, SMP, dan SMA). Beberapa juga secara spesifik menghadirkan materi yang dikemas untuk anak pra-sekolah (contoh: Playable, Titik Pintar), universitas (contoh: DQLab), dan bisnis (contoh: Ringerlaktat).

Konsep blended learning juga masih diterapkan edtech pada sub-vertikal ini sebagai langkah antisipasi terhadap kesiapan pasar; yakni dengan menyediakan program yang memadukan antara aktivitas online dan offline.

Model layanan edtech berikutnya adalah Learning Management System (LMS). Berbeda dengan e-learning, LMS lebih didesain untuk membantu merencanakan kegiatan pembelajaran. Sebelumnya banyak digunakan di tingkat institusi, namun seiring perkembangannya juga didesain untuk kalangan personal. Beberapa platform LMS hanya menyediakan sistem manajemen administrasi kegiatan belajar mengajar, lainnya turut menyajikan marketplace materi pembelajaran.

Dari produk startup lokal yang ada, LMS dikembangkan untuk mengakomodasi beberapa pangsa pasar, meliputi bisnis (contoh: Codemi, HarukaEdu, RuangKerja), jenjang K-12 (contoh: Kelase, Mejakita, Pintro), universitas (contoh: Ngampooz), dan umum (contoh: ZumiApp).

Edtech Indonesia

Berikutnya adalah Software as a Services (SaaS), sebagai aplikasi on-demand yang membantu institusi pendidikan melakukan transformasi dengan mendigitalkan proses bisnis yang ada di dalamnya; misalnya terkait administrasi, tata kelola perpustakaan, presensi, dan sebagainya. Sejauh ini SaaS yang dikreasikan startup lokal menyasar jenjang K-12. Alasannya cukup masuk akal, sektor lain seperti bisnis atau universitas umumnya bisa mengembangkan secara mandiri dengan tim IT yang dimiliki, sementara K-12 di Indonesia sangat jarang memiliki SDM untuk itu. Contoh layanan SaaS untuk pendidikan meliputi AIMSIS, Gredu, Infradigital, SekolahPintar dll.

Layanan lainnya adalah direktori, yang berisi berbagai informasi seputar kebutuhan pendidikan – misalnya daftar rekomendasi universitas atau lainnya. Kemudian fintech, secara khusus mereka memberikan bantuan pembiayaan pendidikan. Dan yang terakhir e-library, menampung secara digital sumber bacaan atau referensi untuk menunjang kegiatan pembelajaran.

Pendanaan startup edtech

Dalam tiga tahun terakhir, DSResearch mencatat ada 11 transaksi yang diumumkan (disclosed) oleh startup edtech di Indonesia. Ruangguru dan HarukaEdu menjadi dua yang paling banyak mendapatkan suntikan dana investor, saat ini keduanya telah menutup putaran seri C. Ruangguru sendiri telah dikonfirmasi memiliki valuasi di atas US$100 juta melalui pendanaan terakhirnya senilai 2 triliun Rupiah.

Pengumuman Startup Tahapan Investor
Maret 2020 Pahamify Seed Funding Y Combinator
Januari 2020 Hacktiv8 Pre-Series A East Ventures, Sovereign’s Capital, SMDV, Skystar Capital, Convergence Ventures, RMKB Ventures, Prasetia Dwidharma, Everhaus
Januari 2020 Gredu Pre-Series A Vertex Venture
Januari 2020 Arkademi Seed Funding SOSV
Desember 2019 Ruangguru Series C General Atlantic, GGV Capital, EV Growth, UOB Venture Management
November 2019 HarukaEdu Series C SIG, AppWorks, GDP Venture, Gunung Sewu
Oktober 2019 Zenius Education Series A Northstar Group
Februari 2019 InfraDigital Seed Funding Appworks Ventures, Fenox Ventures
Desember 2018 Squline Series A Investidea Ventures
Mei 2018 Ruangguru Grant MIT Solve
Juli 2017 Ruangguru Series B UOB Venture Management

Sementara startup lain masih banyak yang berkutat pada pendanaan awal. Kuartal ketiga tahun lalu Zenius Education akhirnya menemukan investor yang tepat. Mereka meminang dana modal dari pemodal ventura yang juga berinvestasi (awal) ke startup decacorn Gojek, Northstar Group.

Menilik besaran pangsa pasar

Ruangguru menjadi salah satu startup edtech lokal dengan pertumbuhan paling signifikan. Layanan utama mereka, video on-demand dan online tutoring, difokuskan untuk pelajar setingkat SD sampai SMA — mereka juga merilis Skill Academy untuk merangkul pangsa pasar di luar itu.

Untuk jumlah pelajar di Indonesia sendiri, berdasarkan data Kemendikbud per tahun ajaran 2019/2020 ada sekitar 50,6 juta siswa/i. Sebanyak 57,9% merupakan tingkat dasar, 19,9% tingkat menengah, 9,9% tingkat atas, dan 12,1% tingkat kejuruan.

Pasar Edtech Indonesia

Konsep online tutoring sebenarnya juga coba mendisrupsi model bisnis yang sudah tervalidasi baik sebelumnya. Di pendekatan tradisional, berbagai lembaga pendidikan non-formal seperti kursus atau bimbingan belajar banyak diminati oleh pelajar dan orang tuanya – terlebih dalam rangka menyiapkan diri sebelum Ujian Nasional.

Proyeksi kami, trennya masih akan terus meningkat. Ditambah pandemi yang mulai memaksa para pelajar untuk terbiasa dengan pendidikan jarak jauh. Model-model yang ditawarkan edtech makin relevan untuk diaplikasikan. Peluang baru, seperti adanya kolaborasi pemerintah dengan platform digital untuk penyelenggaraan Kartu Prakerja, juga menjadi “lampu hijau” terbukanya regulasi dengan konsep pembaruan dalam pendidikan nasional.


DSResearch segera merilis laporan bertajuk “Edtech Report 2020” yang mengulas detail mengenai dinamika industri teknologi pendidikan di Indonesia. Untuk mendapatkan pembaruan informasi, pastikan Anda sudah berlangganan newsletter DSPatch melalui: https://dspatch.dailysocial.id.

ProSpark Provides Edtech Solution in B2B Segment

Founded in 2018, ProSpark offers a Learning Management System (LMS) that allows companies to train, certify, transfer knowledge, and collaborate. In particular targeting B2B segment by providing a learning management system to improve staff comprehension.

ProSpark’s CEO and Co-founder, Alfa Bumhira, told DailySocial that the platform was designed to provide access and medium to help educate and empower people with necessary skill sets in support of their careers. Aside from Indonesia, ProSpark is also present in Singapore and the Philippines.

“Our vision and mission are rooted in helping people. The ProSpark Founders have both lived in the United States for a long time, and we have witnessed what positive investments in human resources can do towards a company and a country’s development.”

ProSpark business in Indonesia

ProSpark platform
ProSpark platform

Today, ProSpark has served several corporate clients, among which are Bank Sahabat Sampoerna & SLU Insurance. The company also has 3 key partners and currently in the process of finalizing 2 new strategic partnerships that will help expand its market footprint in Indonesia (to be announced soon).

ProSpark targets multiple industries across varying sectors, seeing the increasingly high demand in the digital learning space. They also have a local team and partnership network in Surabaya, Bogor, and Bandung with a plan for further expansions into other cities.

The implemented business model is subscription-based on user license and content fee. In terms of LMS license, it is based on a yearly or multiple-year subscription B2B model, and the content fee is based on the module types. ProSpark claims to have a unique value proposition and leading features as their core strengths in terms of LMS simplicity, easy integration, flexible customization that are user-friendly and learner centric.

“We believe in Indonesia’s social and economic future, and we are positive that ProSpark can play a significant role to support positive transformation that is happening in every sector,” Bumhira said.

In Indonesia, there are also other edutech startups targeting business sectors. A similar example to ProSpark is HarukaEdu’s product, CorporateEDU. There are also other platforms in the market that focuses on supporting employees’ individual capacity building, including Skill Academy from Ruangguru and also Vokraf.

Business plans after pre-seed funding

(left-right) Adi Wibowo Adisaputro Angel Investor, Subash Gopinathan COO & Co-Founder ProSpark, Maria Natashia Investment Manager @ Prasetia Dwidharma, Alfa Bumhira CEO & Co-Founder ProSpark, Michael Soerijadji Agaeti Ventures Partner, Gregorius Arya Sena Agaeti Ventures
(left-right) Adi Wibowo Adisaputro (Angel Investor), Subash Gopinathan (COO & Co-Founder of ProSpark), Maria Natashia (Investment Manager at Prasetia Dwidharma), Alfa Bumhira (CEO & Co-Founder at ProSpark), Michael Soerijadji (Partner at Agaeti Ventures Partner), Gregorius Arya Sena (Agaeti Ventures)

In order to accelerate business development, ProSpark has secured pre-seed funding led by Agaeti Ventures. Prasetia Dwidharma and angel investor, Adi Adisaputro, also participated in this round.

ProSpark plans to use the funds to expand its commercial footprint and strengthen its position in the market. The company is also working on plans for regional expansion across SE Asia in the future.

“Funding will be channeled to develop our technology infrastructure for both our team in the Philippines and Indonesia. We also to invest some of it to expand commercial coverage in our key market, Indonesia,” he added.

As the demand increased while COVID-19 quarantine period and Work From Home (WFH) system announced by the government, ProSpark offers digital learning solution for companies to provide their employees.

“During the COVID-19 outbreak, a lot of direct training has been canceled, and the companies and organizations have been looking for cheaper and more efficient ways to train people for a long time. Thus, ProSpark provides a ready-made experience that allows companies to train their employees anywhere, anytime through the ProSpark website and application,” Bumhira concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

ProSpark Hadirkan Solusi Edutech di Segmen B2B

Didirikan pada tahun 2018, ProSpark dikembangkan menjadi Learning Management System (LMS) yang memungkinkan perusahaan untuk melatih, melakukan sertifikasi, transfer pengetahuan, dan berkolaboras;  baik di lingkup internal maupun eksternal. Secara khusus menargetkan segmen B2B, dengan memberikan sistem manajemen pembelajaran untuk peningkatan kompetensi staf.

Kepada DailySocial CEO & Co-Founder ProSpark Alfa Bumhira mengungkapkan, platformnya didirikan atas dasar memberikan akses dan sarana untuk membantu mendidik dan memberdayakan orang-orang dengan keterampilan yang dibutuhkan agar bisa meningkatkan karier mereka. Selain di Indonesia, ProSpark juga telah hadir di Singapura dan Filipina.

“Visi dan misi kami berakar pada membantu orang. Para Pendiri ProSpark keduanya tinggal di Amerika Serikat dalam waktu yang lama, dan kami telah menyaksikan apa yang dapat dilakukan investasi positif kepada sumber daya manusia terhadap pengembangan perusahaan atau negara.”

Bisnis ProSpark di Indonesia

Platform ProSpark
Platform ProSpark

Saat ini ProSpark telah memiliki beberapa klien dari kalangan korporasi, di antaranya adalah Bank Sahabat Sampoerna & Asuransi SLU. Perusahaan juga telah menjalin kemitraan dengan 3 mitra kunci, dan saat ini sedang dalam proses untuk menyelesaikan 2 kemitraan strategis baru, yang nantinya akan membantu memperluas langkah perusahaan di Indonesia (kesepakatan akan segera diumumkan).

ProSpark menargetkan banyak sektor industri, dilihat dari besarnya permintaan yang meningkat di ruang pembelajaran digital. Mereka juga telah memiliki tim lokal dan juga jaringan kemitraan yang juga mencakup Surabaya, Bogor, dan Bandung dengan tujuan memperluas ke kota-kota lain.

Model bisnis yang diterapkan didasarkan pada lisensi dan biaya konten. Untuk lisensi LMS, model berbasis langganan tahunan B2B atau multi-tahun, dan untuk kontennya didasarkan pada jenis modul. ProSpark mengklaim memiliki nilai proposisi yang unik yang menjadi kekuatan mereka terutama dalam kesederhanaan LMS, integrasi yang mudah, peningkatan fleksibel yang memenuhi inti dari kebutuhan pengguna.

“Kami sangat percaya (positif) tentang masa depan Indonesia secara ekonomi dan sosial, dan kami percaya ProSpark dapat berperan untuk mendukung transformasi positif yang sedang berlangsung di berbagai sektor,” kata Alfa.

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa layanan edutech yang menargetkan kalangan bisnis. Misalnya yang serupa ProSpark ada HarukaEdu melalui produk CorporateEDU. Sementara untuk pengembangan kompetensi staf secara mandiri, banyak juga platform yang sudah beredar di pasaran, termasuk Skill Academy dari Ruangguru dan juga Vokraf.

Rencana ProSpark usai mengantongi pendanaan

(ki-ka) Adi Wibowo Adisaputro Angel Investor, Subash Gopinathan COO & Co-Founder ProSpark, Maria Natashia Investment Manager @ Prasetia Dwidharma, Alfa Bumhira CEO & Co-Founder ProSpark, Michael Soerijadji Agaeti Ventures Partner, Gregorius Arya Sena Agaeti Ventures
(ki-ka) Adi Wibowo Adisaputro Angel Investor, Subash Gopinathan COO & Co-Founder ProSpark, Maria Natashia Investment Manager @ Prasetia Dwidharma, Alfa Bumhira CEO & Co-Founder ProSpark, Michael Soerijadji Agaeti Ventures Partner, Gregorius Arya Sena Agaeti Ventures

Untuk mempercepat pertumbuhan bisnis, ProSpark telah mengantongi pendanaan tahapan pre-seed yang dipimpin oleh Agaeti Ventures. Prasetia Dwidharma dan angel investor Adi Adisaputro juga terlibat dalam tahapan pendanaan ini.

ProSpark berencana untuk menggunakan dana tersebut untuk memperluas jejak komersialnya dan memperkuat posisinya di pasar. Perusahaan juga sedang menyiapkan rencana masa depan untuk ekspansi regional di seluruh Asia Tenggara.

“Dana akan digunakan untuk memperluas infrastruktur teknologi kami karena kedua tim teknologi kami berada di Filipina dan Indonesia. Kami akan menginvestasikan sebagian dana untuk memperluas jejak komersial kami di target pasar utama kami, Indonesia,” kata Alfa.

Melihat besarnya permintaan selama masa karantina penyebaran virus COVID-19 dan Work From Home (WFH) yang dianjurkan oleh pemerintah, ProSpark menawarkan solusi belajar secara digital kepada perusahaan agar bisa dimanfaatkan oleh pegawai.

“Saat ini dengan kondisi penyebaran virus COVID-19, banyak pelatihan langsung dibatalkan, dan juga untuk waktu yang lama perusahaan dan organisasi telah mencari cara yang lebih murah dan lebih efisien untuk melatih orang. Jadi ProSpark menyediakan pengalaman siap pakai yang memungkinkan perusahaan untuk melatih pegawai mereka di mana saja, kapan saja melalui situs dan aplikasi ProSpark,” kata Alfa.

Application Information Will Show Up Here

Umumkan Pacific Championship Series, Riot Gabungkan LMS dan LST

Ekosistem esports League of Legends besar secara internasional, hampir tidak diragukan lagi. Terakhir kali, Riot sempat melaporkan bahwa laga final Worlds 2019 ditonton 21,8 juta orang penonton Average-Minute-Audience. Namun demikian, satu yang mungkin terlewat dari ekosistem League of Legends adalah pasar Asia Tenggara, Hong Kong dan Taiwan yang masih kurang maksimal.

Demi menggarap lebih serius ekosistem esports League of Legends di Hong Kong, Taiwan dan SEA (disebut juga GSEA alias Greater SEA), Riot Games mengumumkan akan menyelenggarakan LoL Pacific Championship Series (PCS). Ini akan jadi liga antar-regional dan multi-kota, karena diikuti oleh tim-tim berpengalaman dari Hong Kong dan Taiwan dari liga LMS, serta pendatang baru penuh potensi dari regional SEA yang datang dari LST.

PCS diselenggarakan lewat kerja sama Riot Games dengan pihlstak Fun Plus Esports selaku penyelenggara, dan Garena sebagai penerbit League di area Asia Tenggara. Chris Tran selaku Riot Games SEA Head of Esports sempat menceritakan pandangannya terhadap PCS. “Tim, pada dasarnya adalah jiwa dari suatu liga. Kami bangga bisa bekerja sama dengan tim terbaik yang dahulu bermain di LMS (liga regional Taiwan, Hong Kong, Macau), organisasi esports terbaik di Asia Tenggara, dan akhirnya meluncurkan PCS.” Cakap Chris.

Sumber: Esports Insider
Sumber: Esports Insider

“Fokus kami adalah bekerja bersama dengan tim untuk menumbuhkan fan-base tim dan meningkatkan kemampuan kompetitif mereka sambil membuka kesempatan-kesempatan bisnis secara finansial.” Untuk memastikan keberlanjutan PCS, tim peserta dipilih dan diseleksi secara seksama selama berbulan-bulan. Proses dilakukan mengikuti kebijakan operasional liga Riot Games. “Kami telah mengundang tim dari organisasi dengan kemampuan finansial yang bertanggung jawab dan punya pemahaman bersama dalam pengembangan fan-base.” Chris menambahkan.

Saat ini sudah ada 9 tim yang dipastikan bergabung ke dalam PCS. Masih ada sisa satu slot tim ke-10 yang akan dimumumkan tahun baru mendatang. Berikut tim peserta serta profil singkatnya.

  • ahq eSports Club (Taipei) – Berdiri sejak September 2012, ahq adalah salah satu tim dengan banyak penggemar di regionalnya. Mendapatkan kesuksesan prestasi secara kompetitif di berbagai titel esports, termasuk AOV. Mereka juga sempat beberapa kali mewakili regional LMS di beberapa kompetisi tingkat dunia.
  • Alpha Esports (Taipei) – Memulai debut pada season 9 LMS dengan roster baru, Alpha mencoba membuat namanya di PCS 2020 nanti.
  • G-Rex Gaming (Hong Kong) – Dimiliki Emperor Entertainment Group, G-Rex Gaming adalah salah satu perusahaan entertainment yang dihormati di Hong Kong. Walau pengalaman mereka masih muda di dunia esports, namun G-Rex sempat mewakili LMS di Worlds 2018.
  • Hong Kong Attitude (Hong Kong) – Berdiri sejak 2013, HKA kerap dianggap sebagai organisasi esports top di region Hongkong, dan telah berkali-kali mewakili di pertandingan tingkat internasional, termasuk Worlds 2019.
  • J Team (Taipei) – Memulai debut di LMS Summer Split 2016, tim ini secara konsisten menempatkan diri sebagai salah satu tim papan atas di regional. Performa mereka teramat apik di 2019, memenangkan LMS Summer Split, dan mendapatkan tempat di Worlds 2019. J Team merupakan organisasi esports yang dimiliki oleh musisi ternama Taiwan, Jay Chou.
  • Liyab Esports (Manila) – Dalam jangka waktu yang singkat, Liyab berhasil menjadi wajah esports Filipina. Walau mengalami rebrand (sebelumnya bernama Mineski) dan perubahan nama, jiwa tim ini tetaplah tim Filipina yang haus akan pengakuan di kancah regional.
  • Nova Esports (Bangkok) – Di kancah mobile esports, Nova telah memenangkan beragam kompetisi internasional selama beberapa tahun belakangan. Mereka berkomitmen untuk membawa DNA mereka sebagai juara ke dalam PCS. Dengan kultur dan playstyle yang unik, mereka berencana untuk menaklukan jagoan lama di kancah profesional League of Legends.
  • Resurgence (Singapore) – Terbentuk tahun 2017, Resurgence yang merupakan organisasi esports asal Singapura punya visi untuk mengangkat derajat skena esports Asia Tenggara di mata dunia.
  • Talon (Hong Kong) – Merupakan organisasi esports yang punya taring di beberapa titel esports, di beberapa regional, termasuk Hong Kong, Taiwan, South Korea, dan Thailand. Mereka sudah menatap kompetisi di PCS dan berkomitmen untuk memberikan fan-experience yang menggembirakan.
Sumber: Riot Games Official Worlds 2019 Documentation.
Hong Kong Attitude, salah satu tim yang sempat menyedot perhatian di gelaran Worlds 2019. Sumber: Riot Games Official Worlds 2019 Documentation

Untuk sementara, kompetisi PCS akan diselenggarakan secara online. “Memberi kesempatan kepada fans untuk menikmati kompetisi secara langsung adalah hal yang penting bagi kami. Namun kami masih mencari kesempatan untuk mewujudkan hal ini.” ucap Kevin Pai, CEO FunPlus Esports. Liga akan berjalan menggunakan format best-of-one, dengan double elimination saat Season Finals nanti.

PCS akan mulai bertanding pada 8 Februari 2020 mendatang, dan akan ditayangkan dengan menggunakan bahasa Inggris, Mandarin, dan Thailand. Lebih lanjut, informasi seputar jadwal dan sebagainya akan hadir di laman resmi PCS yang akan diluncurkan jelang liga dimulai. Untuk informasi lebih lanjut, Anda dapat mengikuti Facebook Page resmi LoL Pacific Championship Series.

Sumber header: LoL Pacific Championship Series Official Page

Melihat Tren E-Learning sebagai Komoditas Bisnis

E-learning bukan sebuah hal yang baru. Saat ini varian platform belajar itu sudah begitu banyak, pun demikian dengan startup atau perusahaan yang mencoba membisniskanya. Penetrasinya yang tidak se-booming teknologi lainnya –misalnya e-commerce ataupun layanan online lainnya—membuat banyak yang mengira bahwa platform ini kurang “sexy” untuk dijadikan sebagai sebuah revenue stream.

Menurut hasil penelitian dari elearningindusry.com, negara dengan tingkat pertumbuhan adopsi e-learning adalah India (55%), disusuk Tiongkok (52%), Malaysia (41%), dan Romania (28%). Indonesia sendiri berada di urutan ke 8 dengan pertumbuhan sebesar 25% setiap tahunnya. Angka ini lebih besar dari rata-rata Asia Tenggara sebesar 17,3%.

2

Terdapat sebuah pergeseran unik dari bisnis di sektor pendidikan ini, e-learning mulai mengarah ke kalangan B2B (Business-to-Business). Sebagai contoh, instansi publik di Amerika Serikat 77% memanfaatkan e-learning untuk program pelatihan korporasi demi meningkatkan keterampilan pekerjanya. Di sisi industri, pangsa pasar online corporate training meningkat 13% per tahun.

[Baca juga: Riset DailySocial tentang Pengguna Kursus Online di Indonesia]

Perusahaan dari skala kecil, menengah, hingga besar mulai memandang pentingnya dan keuntungan dari adanya e-learning. Menurut data dan statistik dari The 2014 Training Industry Report, sebesar 29% perusahaan secara global  baik kecil, menengah, dan besar berminat membeli perangkat lunak dan jasa e-learning. Selain itu, sebesar 41% perusahaan berminat untuk membeli jasa Learning Management System (LMS).

Di Indonesia sendiri bisnis e-learning mulai berkembang. Berbagai bentuk layanan disuguhkan. Salah satunya yang menyediakan berupa SaaS adalah Squline. Pihaknya menyediakan jasa pendidikan bahasa asing secara online berbasis Learning Management System (LMS) dengan memanfaatkan teknologi seperti video call, materi dan tugas-tugas online, penjadwalan belajar, evaluasi dari pengajar serta laporan belajar untuk murid.

Menanggapi dengan tren e-learning yang sekilas tampak “loyo”, CEO Squline Tomy Yunus mengungkapkan:

“Kami melihat dan menganalisis data serta statistik yang ada terkait bisnis e-learning di Indonesia secara seksama dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan laporan, survei, dan penelitian telah menunjukkan bahwa industri e-learning tidak melambat. Faktanya semakin banyak individu, perusahaan dan institusi beralih ke e-learning karena mereka menyadari keefektifan dan kenyamanannya.”

[Baca juga: Startup Pendidikan Squline Fokus Tambah Pengguna Korporasi]

Terkait dengan model B2B yang kini berkembang di sektor ini, Tommy turut menceritakan, “Untuk bisnis, kami telah bekerja sama dengan beberapa perusahaan besar di Indonesia seperti asuransi, migas, retail, institusi pendidikan dan pelatihan, hingga BUMN. Oleh karena itu, kami menargetkan perluasan pasar business to business (B2B) sebesar 13% per tahun sesuai dengan tren pasar e-learning untuk perusahaan secara global.”

5

Dari testimoni pengguna Squline sendiri, sistem belajar secara online dianggap sebagai cara efektif bagi murid-murid. Hal ini juga didukung berdasarkan data bahwa belajar melalui e-learning membutuhkan waktu 40-60% lebih sedikit dibandingkan sistem belajar offline. Selain itu, dengan metode e-learning peserta menjadi lebih efektif belajar dengan menguasai hampir 5x lebih banyak materi dibandingkan dengan kelas offline dengan durasi waktu belajar yang sama.