Microsoft HoloLens 2 Kabarnya Bakal Diumumkan pada Event MWC 2019

Kalau ditanya apa kekurangan terbesar Microsoft HoloLens di samping viewing angle yang sempit, saya yakin banyak yang bakal menjawab harganya kelewat mahal. Dengan banderol paling murah $3.000, HoloLens jelas bukan produk untuk kalangan mainstream, dan Microsoft sendiri menyadari bahwa itu harus diwujudkan secara bertahap.

HoloLens tidak lain dari produk generasi pertama, jadi wajar kalau ia memiliki banyak kekurangan. Microsoft tentu sudah belajar banyak, dan untuk HoloLens 2, mereka kabarnya sudah menyiapkan solusi agar harga jualnya tidak melambung seperti pendahulunya, yakni dengan menggunakan chipset Qualcomm Snapdragon 850.

Andai benar, ini berarti HoloLens 2 punya performa yang setara dengan laptop yang berprinsip always-on. Namun tentu chipset saja baru secuil dari cerita utuhnya, dan sejauh ini hampir semua kabar yang beredar baru sebatas spekulasi.

Yang lebih menarik justru adalah rumor mengenai kapan Microsoft bakal menyingkap HoloLens 2. Laporan terbaru menunjuk tanggal 24 Februari, tepatnya pada event Mobile World Congress 2019 di kota Barcelona.

Keyakinan publik didasari oleh nama salah satu pembicara yang akan mengisi acara tersebut: Alex Kipman, sosok yang dikenal akan pengalamannya mengerjakan HoloLens generasi pertama. Sesi beliau sudah pasti akan mengangkat topik HoloLens, meski tidak ada yang berani memastikan apakah Microsoft bakal mengumumkan HoloLens 2 secara resmi ketika itu, atau sekadar memberikan teaser saja.

Sumber: VentureBeat dan Neowin.

Bukan Sembarang Smartwatch, Haier Asu Mengemas Sebuah Proyektor

Tidak seperti dua tahun yang lalu, perkembangan smartwatch saat ini bisa dikatakan stagnan. Penyebabnya ada banyak, salah satunya mungkin karena Qualcomm tak kunjung merilis generasi baru chipset Snapdragon Wear. Situasi seperti ini sejatinya punya dua implikasi: 1) pabrikan jadi malas dan melupakan segmen smartwatch sepenuhnya, atau 2) pabrikan malah memanfaatkan waktunya untuk bereksperimen dengan ide-idenya, seperti yang dilakukan oleh Haier belum lama ini.

Di ajang MWC 2018, pabrikan asal Tiongkok itu memamerkan sebuah smartwatch yang amat eksentrik. Namanya Haier Asu, tapi saya mohon jangan jadikan nama ini sebagai bahan guyonan, sebab masih ada gadget lain yang namanya lebih parah lagi dan sempat membuat heboh masyarakat tanah air di tahun 2011.

Yang tergolong eksentrik adalah integrasi sebuah proyektor di tubuh kecilnya. Proyektor ini duduk di sebelah kanan layar, bertugas menampilkan informasi ekstra yang tidak muat di layar dalam resolusi 854 x 480 pixel. Informasinya bisa nomor telepon yang pengguna inputkan, bisa data fitness tracking, atau bisa juga untuk sebatas stopwatch.

Sumber gambar: CNET
Sumber gambar: CNET

Tidak kalah unik adalah bagaimana hasil proyeksinya ini juga mendukung kontrol berbasis gesture, di mana pengguna dapat menyentuh tangannya dua kali untuk mengganti apa yang ditampilkan pada layar. Kendati demikian, saya yakin tidak sedikit yang mempertanyakan kegunaan dan kepraktisannya.

Dari sisi teknis, Asu mengemas spesifikasi yang cukup mumpuni. Ada prosesor 1,2 GHz, RAM sebesar 1 GB, sensor laju jantung, GPS, dan bahkan konektivitas 4G LTE. Layarnya sendiri yang berukuran 1,5 inci merupakan touchscreen, dengan resolusi 240 x 240 pixel. Secara keseluruhan, bodinya yang bongsor juga telah mengantongi sertifikasi ketahanan air IP65.

Yang agak mengejutkan, Asu bukan sebatas produk konsep yang biasanya bertujuan untuk memperlihatkan visi industri ke depan. Haier rupanya sudah berencana untuk memasarkannya di Tiongkok mulai kuartal berikutnya.

Sumber: CNET dan The Verge.

Huawei Buktikan Bahwa AI Milik Smartphone Juga Bisa Mengemudikan Mobil dengan Sendirinya

Sehebat apa kapabilitas artificial intelligence (AI) yang terdapat pada smartphone saat ini? Seperti yang kita tahu, tren ini belakangan mulai populer sejak Apple mengklaim iPhone X memiliki komponen neural engine pada chipset-nya. Tidak lama setelahnya, Huawei yang juga merancang chipset-nya sendiri bilang bahwa seri Mate 10 turut dilengkapi komponen serupa.

Huawei punya cara unik untuk mendemonstrasikan kapabilitas AI yang mereka sematkan pada smartphone buatannya. Di ajang MWC 2018 di kota Barcelona, mereka mengajak sejumlah jurnalis untuk mengendarai Porsche Panamera yang ‘disopiri’ oleh Mate 10 Pro, tanpa ada seorang pun di balik lingkar kemudi mobil tersebut.

Sumber gambar: USAToday
Sumber gambar: USAToday

Mobilnya sendiri tentu sudah dimodifikasi dengan sistem kemudi otomatis, termasuk sebuah kamera yang diletakkan di bagian atap. Mate 10 Pro di sini bertindak sebagai ‘otak’ mobil, mengolah informasi yang diterimanya dari kamera itu tadi, lalu mengirimkan instruksi ke sistem robotik pada mobil.

Huawei bilang bahwa AI milik Mate 10 Pro dapat mengenali lebih dari 1.000 objek yang berbeda, mulai dari anjing dan kucing, sampai bola dan sepeda. Ketika objek-objek itu terdeteksi, ponsel akan mengirimkan instruksi supaya mobil bisa mengerem atau menghindarinya. Andai objeknya tidak dikenali, AI tetap bisa dilatih berkat kapabilitas deep learning.

Pada awal demonstrasi, mobil hanya berjalan dalam kecepatan sekitar 10 km/jam saja selagi AI mendeteksi dan mempelajari sejumlah objek yang ada di sekitar. Setelahnya, mobil mulai melaju secepat 50 km/jam selagi bermanuver dengan tepat (menyesuaikan dengan input penumpang melalui sebuah aplikasi) ketika ada objek di rutenya.

Proyek ini Huawei sebut dengan istilah “RoadReader”, dan mereka rupanya hanya butuh waktu sekitar lima minggu untuk mengerjakannya. Pada umumnya, kapabilitas seperti ini hanya bisa diwujudkan dengan bantuan chip khusus macam yang dibuat oleh Nvidia, akan tetapi Huawei berhasil membuktikan bahwa chipset smartphone saja sudah punya potensi yang cukup mendekati.

Sumber: 1, 2, 3.

Lenovo Yoga 730 dan Yoga 530 Hadirkan Performa Lebih Baik dalam Desain Lebih Ringkas

Ada event Mobile World Congress, ada laptop hybrid baru dari Lenovo. Selama tiga tahun berturut-turut, Lenovo tidak pernah absen menyingkap model anyar dari lini Yoga-nya, dan tahun ini pun Lenovo Yoga 730 beserta Yoga 530 resmi diperkenalkan.

Keduanya sama-sama mengusung desain yang lebih ringkas untuk semua varian dibanding pendahulunya. Untuk Yoga 730, bobotnya berhasil dipangkas sekitar 13 persen: varian 13 incinya seberat 1,12 kg dan varian 15 incinya 1,89 kg. Yoga 530 yang berukuran 14 inci pun juga ikut menyusut, kini dengan tebal bodi 17,6 mm dan bobot 1,6 kg.

Lenovo Yoga 530

Hal itu sama sekali tidak berpengaruh negatif terhadap performa. Pada kenyataannya, baik Yoga 730 dan Yoga 530 kini sama-sama mengemas prosesor Intel generasi kedelapan yang menjanjikan lonjakan kinerja cukup drastis. GPU opsional Nvidia GeForce GTX 1050 masih tersedia buat Yoga 730 15 inci, dan resolusi layarnya pun masih sama (sampai 4K untuk kedua varian Yoga 730, dan full-HD untuk Yoga 530).

Yang baru adalah ketersediaan aksesori stylus dengan tingkat sensitivitas 4.096. Juga tidak kalah unik adalah integrasi asisten virtual Amazon Alexa pada Yoga 730. Ini berarti Yoga 730 mengemas dua asisten sekaligus, yakni Cortana dan Alexa, yang penggunaannya tinggal menyesuaikan selera dan kebutuhan konsumen.

Lenovo Yoga 730

Soal baterai, Lenovo bilang bahwa daya tahannya lebih baik lagi daripada sebelumnya. Dengan konfigurasi layar 1080p, Yoga 730 bisa bertahan selama 11,5 jam penggunaan pada varian 13 incinya, atau 11 jam pada varian 15 inci. Namun yang lebih penting adalah fitur Rapid Charge, di mana Yoga 730 13 inci dan Yoga 530 bisa di-charge selama 15 menit saja untuk memberikan waktu penggunaan selama sekitar 2 jam.

Di Eropa dan sekitarnya, Lenovo bakal memasarkan Yoga 730 mulai bulan April dengan harga mulai 999 euro (13 inci) dan 1.099 euro (15 inci), sudah termasuk stylus aktif itu tadi. Yoga 530 bakal menyusul di bulan Juli dengan banderol mulai 549 euro.

Sumber: Lenovo.

Nyaris Tidak Ber-Bezel, Smartphone Konsep Vivo Apex Pamerkan Sejumlah Teknologi Inovatif

Di event CES bulan lalu, Vivo sempat mencuri perhatian lewat sebuah smartphone yang mengemas sensor sidik jari di dalam layar. Tidak lama setelahnya, Vivo langsung melepasnya ke pasar Tiongkok sebagai X20 Plus UD. Spesifikasinya memang bukan yang terbaik, tapi setidaknya ponsel ini berhasil mewujudkan visi industri yang terbentuk sejak beberapa tahun silam.

Dari situ Vivo terus mengembangkan ide-idenya, sampai akhirnya lahir sebuah smartphone konsep bernama Vivo Apex, yang dipamerkan baru-baru ini pada ajang MWC 2018. Fitur andalan Apex dideskripsikan Vivo sebagai “Half-Screen In-Display Fingerprint Scanning Technology”.

Ini merupakan kelanjutan dari teknologi sensor sidik jari dalam layar yang diperkenalkan X20 Plus UD. Kalau di X20 Plus UD pengguna harus menempatkan jarinya di atas satu titik pada layar, di Apex areanya jauh lebih besar. Tidak benar-benar separuh layar seperti klaim Vivo, tapi mungkin sepertiga kalau menurut reporter The Verge yang mencobanya.

Terlepas dari itu, area yang lebih besar jelas bakal lebih memudahkan bagi pengguna. Yang tadinya hanya berupa satu penampang kecil di bawah layar, di tombol power, atau di belakang kini telah berevolusi menjadi sepertiga area bawah layar. Andai diperlukan proteksi ekstra, pengguna juga bisa membuka ponsel menggunakan dua jari sekaligus.

Vivo Apex

Daya tarik Apex rupanya belum berhenti sampai di situ saja. Penampilannya sungguh menawan dengan bezel bagian atas, kiri dan kanan yang nyaris tidak terlihat, dan hanya menyisakan secuil bezel saja di bagian bawah. Sepintas desainnya tampak mirip seperti Xiaomi Mi Mix, dan insting kita bakal berpikir bahwa kamera depannya juga diposisikan di bezel bagian bawah tersebut.

Dugaan kita salah. Vivo dengan cerdiknya menyembunyikan kamera depan ini di belakang layar, yang akan muncul dari bagian atas layaknya periskop ketika dibutuhkan – kurang lebih mirip seperti yang diterapkan pada laptop Huawei MateBook X Pro yang juga diumumkan baru-baru ini. Langkah yang diambil Vivo ini sejatinya bisa menjadi solusi atas notch kontroversial milik iPhone X dan angle kamera yang jelek semisal posisinya di bawah layar.

Vivo Apex

Kamera depan bukan satu-satunya komponen yang ‘hilang’ dari wajah Apex, earpiece speaker pun juga. Sebagai gantinya, Apex bakal menggetarkan seluruh layarnya agar bisa bertindak seperti speaker. Cara ini berbeda dari Xiaomi Mi Mix yang mengandalkan teknik piezoelektrik, yang cara kerjanya kurang lebih sama seperti teknologi bone conduction.

Semua ini terdengar begitu menarik, tapi sayangnya Vivo tidak punya rencana untuk memasarkan Apex. Mereka menegaskan bahwa Apex murni sebatas konsep saja. Kendati demikian, ini tidak menutup kemungkinan bagi mereka untuk menerapkan setidaknya satu ide yang diusung Apex ke salah satu produk mereka selanjutnya, utamanya sensor sidik jari pada sepertiga area layar itu tadi.

Sumber: The Verge.

Beberapa Bulan Lagi, Google Assistant Bakal Tersedia dalam Bahasa Indonesia

Awalnya hanya tersedia di smartphone, Google Assistant kini sudah merambah banyak perangkat, bahkan sempat melahirkan kategori produk baru. Langkah alami selanjutnya tentu saja adalah merambah lebih banyak konsumen, dengan cara menghadirkannya ke lebih banyak negara.

Google Assistant sebenarnya sudah bisa diakses di Indonesia, akan tetapi pengguna masih diharuskan memakai bahasa Inggris (atau tujuh bahasa lain yang didukung). Idealnya, Assistant juga harus mendukung bahasa ibu para konsumennya, dan inilah misi yang tengah dikejar Google.

Kalau semuanya berjalan sesuai rencana, Google Assistant ditargetkan bakal tersedia dalam lebih dari 30 bahasa pada akhir tahun nanti. Prosesnya akan dijalankan secara bertahap, di mana dalam beberapa bulan ke depan, Google bakal menghadirkan Assistant dalam berbagai bahasa (termasuk bahasa Indonesia) di ponsel Android atau iPhone, lalu menyusul di perangkat-perangkat lainnya.

Tidak kalah menarik adalah kapabilitas multilingual yang juga akan dirilis tahun ini. Ini berarti Assistant dapat mendengar dan merespon dalam beberapa bahasa yang berbeda tanpa harus diutak-atik dulu pengaturannya. Pada awalnya, fitur multilingual ini baru akan mendukung bahasa Inggris, Perancis dan Jerman terlebih dulu.

Google Assistant pun sudah bisa diakses dari dashboard mobil berkat integrasinya pada Android Auto / Google
Google Assistant pun sudah bisa diakses dari dashboard mobil berkat integrasinya pada Android Auto / Google

Dalam waktu dekat, Google juga akan merilis fitur reminder berbasis lokasi pada smart speaker, dengan cara kerja yang persis seperti di smartphone. Jadi, Anda bisa meminta Assistant untuk membuat reminder menggunakan smart speaker, lalu ketika berada di lokasi, Assistant di ponsel akan mengingatkan Anda.

Fitur lainnya yang juga akan hadir dalam beberapa minggu ke depan adalah Routines, meski sayangnya baru di Amerika Serikat saja. Fitur ini pada dasarnya memungkinkan Assistant untuk menjalankan sejumlah tugas sekaligus hanya dengan satu instruksi saja.

Contohnya, semisal pengguna mengucapkan “Hey Google, I’m home,” Assistant akan merespon dengan menyalakan lampu, mengirim notifikasi reminder, memutar musik favorit pengguna, dan masih banyak lagi. Pada awalnya, ada enam tipe Routines yang tersedia, yang diracik untuk kebutuhan di pagi hari, di perjalanan, dan setibanya kembali di rumah pada malam hari.

Terakhir, Google juga mengumumkan sebuah program bernama Assistant Mobile OEM di ajang MWC 2018. Program ini sejatinya memungkinkan mitra-mitra Google seperti LG, Sony dan Xiaomi untuk membubuhkan integrasi Google Assistant yang lebih mendalam pada perangkat-perangkat besutannya masing-masing.

Sumber: Google.

Huawei MateBook X Pro Buktikan Laptop Juga Siap Adopsi Tren Layar Penuh

Semenjak Samsung merilis Galaxy S8, layar penuh terus menjadi tren di industri smartphone sepanjang tahun lalu. Kini tidak cuma smartphone flagship yang dilengkapi layar dengan bezel sangat minim, kelas menengah ke bawah pun juga. Untuk tahun 2018, tampaknya tren yang sama bakal meluas ke segmen laptop.

Hal ini dibuktikan oleh Huawei MateBook X Pro, yang diumumkan baru-baru ini di ajang Mobile World Congress. Suksesor MateBook X ini bahkan memiliki bezel layar yang lebih tipis lagi, cuma 4 mm di kiri, kanan dan atasnya, sedangkan di bawah agak lebih tebal sedikit. Huawei bilang bahwa rasio layar ke bodinya mencapai angka 91%.

Huawei memang bukan yang pertama membuat gebrakan seperti ini, Dell sebenarnya sudah memulainya sejak tahun 2015 lalu, dan tahun ini pun mereka juga merilis versi baru dengan bezel yang lebih tipis lagi. Kendati demikian, laptop besutan Dell itu masih menyisakan bezel yang cukup tebal di bagian bawah.

Huawei MateBook X Pro

Ini dikarenakan bagian tersebut dihuni oleh webcam. Di MateBook X Pro, yang ada hanyalah label “Huawei” itu sendiri. Lalu di mana webcam-nya? Huawei dengan cerdik menyembunyikannya di bawah satu tombol keyboard yang terletak di tengah, di antara tombol “F6” dan “F7”, yang akan muncul hanya saat diperlukan saja, sehingga pengguna bisa lebih percaya diri terkait privasinya.

Layarnya sendiri merupakan touchscreen, dengan bentang diagonal 13,9 inci dan resolusi 3000 x 2000 pixel, plus dukungan spektrum warna sRGB 100% serta lapisan kaca Gorilla Glass. Kinerjanya ditunjang oleh prosesor Intel Core i7-8550U atau i5-8250U, GPU Nvidia GeForce MX150 2 GB, RAM 8 GB atau 16 GB, serta SSD 256 GB atau 512 GB tipe PCIe.

Huawei MateBook X Pro

MateBook X Pro mengemas baterai berkapasitas 57,4 Wh, yang diklaim dapat bertahan sampai sekitar 12 jam ketika dipakai untuk menonton video. Charging-nya mengandalkan port USB-C; MateBook X Pro punya dua port USB-C (satu di antaranya Thunderbolt 3), plus satu port USB standar. Sebagai pemanis, ada sensor sidik jari yang terintegrasi ke tombol power-nya.

Semuanya dikemas dalam bodi yang sangat ringkas, dengan tebal cuma 14,6 mm dan bobot 1,33 kg. Rencananya MateBook X Pro bakal dipasarkan mulai musim semi ini di Eropa dengan harga mulai 1.499 euro, atau kurang lebih sekitar 25,2 juta rupiah.

Sumber: The Verge dan Huawei.

Smartphone Noa N7 Andalkan Dua Kamera dan Mode untuk Memotret dalam Resolusi 80 Megapixel

Kalau boleh jujur, baru kali ini saya tahu ada merek smartphone bernama Noa. Mayoritas handset besutan brand asal Kroasia itu duduk di segmen menengah dan entry-level, dan kebanyakan menjiplak desain sejumlah smartphone ternama – lihat saja smartphone bernama Noa N10 di situsnya, yang dari depan tampak seperti hasil kloning iPhone X.

Kendati demikian, masih ada satu smartphone yang cukup menarik perhatian. Namanya Noa N7, dan desainnya lagi-lagi mencontoh salah satu smartphone flagship, yaitu Samsung Galaxy S7, lengkap sampai ke layar yang sedikit melengkung di sisi kiri dan kanannya. Namun sebelum Anda mulai mencemoohnya, coba perhatikan bagian belakangnya.

Oke, ada dua kamera, lalu kenapa? Dua kamera ini masing-masing ditenagai oleh sensor 1/2,8 inci Sony IMX298 beresolusi 16 megapixel. Akan tetapi yang lebih istimewa, N7 menyimpan mode pemotretan khusus untuk mengambil gambar dalam resolusi setinggi 80 megapixel.

Mode ini sepertinya memanfaatkan perpaduan kedua sensor itu tadi beserta teknik pixel shifting. Pasalnya, dalam video demonstrasinya di bawah tampak bahwa smartphone perlu didudukkan di atas tripod supaya hasilnya bisa maksimal.

Terlepas dari itu, spesifikasi di balik bodi berbahan keramiknya tergolong lumayan. Ada layar 5,7 inci beresolusi 1440 x 720, dengan rasio kekinian 18:9. Chipset yang menenagainya adalah MediaTek MT6750, dengan prosesor octa-core 1,5 GHz, plus dukungan RAM sebesar 4 GB dan storage internal 64 GB (lengkap dengan slot SD card).

N7 turut menawarkan fitur face unlock menggunakan kamera depan 16 megapixel-nya, sedangkan baterainya memiliki kapasitas 3.300 mAh. Yang patut mendapat aplaus, N7 sudah menjalankan OS Android 8.0 Oreo di saat Nougat masih menjadi versi yang terpopuler.

Noa rencananya bakal memamerkan N7 di hadapan pengunjung Mobile World Congress pada akhir bulan nanti. Setelahnya, perangkat bakal dijual seharga 250 euro, atau kurang lebih sekitar Rp 4,2 juta, meski sangat kecil kemungkinannya untuk menembus pasar Indonesia yang sudah begitu sesak dan memerlukan strategi lebih jitu ketimbang sekadar mode pemotretan 80 megapixel.

Sumber: DPReview.

Meizu Kembangkan Teknologi yang Dapat Mengisi Baterai Ponsel Hingga Penuh dalam 20 Menit

Seandainya Anda diharuskan untuk memilih satu saja teknologi charging untuk ponsel Anda, mana yang Anda pilih, wireless charging atau fast charging? Bagi saya, sebelum teknologi wireless charging jarak jauh bisa dinikmati secara massal, saya lebih memilih fast charging, apalagi kalau cara kerjanya seperti yang Meizu kembangkan berikut ini.

Di event MWC 2017 pekan kemarin, pabrikan asal Tiongkok tersebut mengungkap teknologi yang mereka juluki Super mCharge. Teknologi ini pada dasarnya mirip seperti Quick Charge 3.0 besutan Qualcomm atau TurboPower garapan Motorola, hanya saja kinerjanya jauh lebih cepat, sanggup mengisi baterai berkapasitas 3.000 mAh hingga penuh dalam waktu kurang dari 20 menit.

Secara teknis, Super mCharge mampu meneruskan energi sebesar 55 watt dalam tegangan 11 volt dan arus 5 ampere, jauh di atas TurboPower dengan 28,5 watt dan Quick Charge 3.0 dengan 18 W. 20 menit itu juga tergolong sangat singkat, dimana pada prakteknya Anda bisa mengisi baterai ponsel hingga penuh selagi Anda bersiap untuk pergi (mandi, ganti baju, dan lain-lain).

Meizu tentunya tidak lupa dengan faktor keamanan., apalagi mengingat baterai merupakan penyebab utama insiden meledaknya Note 7. Berdasarkan klaim Meizu, baterai yang menggunakan teknologi Super mCharge ini hanya akan mencapai suhu setinggi 39 derajat Celsius saja, lebih rendah dari Quick Charge 3.0 di angka 44 derajat.

Untuk merealisasikannya, Meizu juga akan menggunakan kabel USB dengan chip khusus yang lebih efisien sekaligus lebih aman. Sejauh ini belum ada informasi terkait ponsel apa yang akan mengadopsi teknologi ini, tapi kemungkinan besar Meizu akan mengimplementasikannya pada smartphone flagship berikutnya.

Sumber: The Verge dan Meizu.

Peugeot Ungkap Mobil Konsep yang Memiliki Insting

Lima tahun yang lalu, mungkin tidak ada yang mengira kalau perkembangan industri otomotif bakal menjadi bahasan di event teknologi tahunan seperti CES. Namun sekarang, pabrikan mobil bahkan tidak segan memamerkan inovasinya di ajang yang lebih spesifik lagi, seperti Mobile World Congress yang baru saja selesai digelar. Pabrikan yang saya maksud adalah Peugeot.

Dalam kesempatan itu, Peugeot mengungkap Peugeot Instinct Concept, buah pemikiran mereka akan sebuah mobil masa depan. Pemilihan nama “Instinct” bukan tanpa alasan; mobil konsep ini memang memiliki insting dan sanggup memahami keinginan sekaligus mood penumpangnya.

Peugeot Instinct Concept dilengkapi dua mode kemudi manual dan dua mode kemudi otomatis / Peugeot
Peugeot Instinct Concept dilengkapi dua mode kemudi manual dan dua mode kemudi otomatis / Peugeot

Saya katakan penumpang karena mobil ini telah dibekali sistem kemudi otomatis. Secara total ada empat mode kemudi yang ditawarkan: dua manual (Drive Boost atau Drive Relax) dan dua otomatis (Autonomous Sharp atau Autonomous Soft). Masing-masing mode dapat diaktifkan secara manual, atau otomatis berdasarkan insting mobil itu tadi.

Rahasianya terletak pada integrasi platform berbasis cloud Samsung Artik, yang memungkinkan mobil untuk mengambil data dari perangkat terkoneksi. Contohnya, seusai sesi fitness di gym, Instinct Concept akan membaca data yang dikumpulkan oleh smartwatch Anda, lalu dengan sendirinya mengaktifkan mode Autonomous Soft sehingga Anda bisa bersantai karena ia tahu Anda sudah kecapaian.

Peugeot Instinct Concept sanggup mengambil data dari perangkat terkoneksi berkat integrasi platform Samsung Artik / Peugeot
Peugeot Instinct Concept sanggup mengambil data dari perangkat terkoneksi berkat integrasi platform Samsung Artik / Peugeot

Keesokan harinya, ketika Anda sedang dalam perjalanan ke tempat kerja, Instinct Concept akan kembali membaca data di smartwatch dan mengambil kesimpulan bahwa sesi olahraga kemarin masih belum cukup untuk mencapai target mingguan. Alhasil, ia akan menyarankan Anda untuk parkir sedikit lebih jauh dari lokasi biasanya supaya Anda bisa menyempatkan ber-jogging.

Ini baru sebagian contoh dari potensi yang dimiliki Instinct Concept. Pasalnya, smartwatch bukan satu-satunya perangkat terkoneksi yang dapat ia baca datanya. Semisal Anda punya kulkas canggih yang tersambung ke jaringan cloud, bukan tidak mungkin Instinct Concept dapat mengetahui bahwa stok bahan makanan Anda sudah menipis, lalu menyarankan dan menyajikan rute menuju supermarket terdekat.

Setir, panel instrumen beserta pedal gas dan rem akan masuk ke dalam ketika mode kemudi otomatis diaktifkan / Peugeot
Setir, panel instrumen beserta pedal gas dan rem akan ditarik masuk ke dalam ketika mode kemudi otomatis diaktifkan / Peugeot

Peugeot Instinct Concept juga tidak melupakan aspek kebebasan; kebebasan bagi pemilik mobil untuk membuat keputusan tanpa harus dibatasi oleh sistem serba otomatis yang ditawarkan. Contoh yang paling gampang, selagi dalam mode kemudi otomatis, pengguna tetap bisa mengendalikan atau memilih rute alternatif via layar sentuh yang tertanam di tengah dashboard.

Bicara soal dashboard, Peugeot telah merancang interior yang responsif untuk Instinct Concept. Responsif maksudnya dapat beradaptasi dengan mode kemudi; jadi saat mode kemudi otomatis diaktifkan, setir, panel instrumen beserta pedal gas dan remnya akan ditarik masuk ke dalam demi menyajikan ruang yang lebih lapang di dalam kabin.

Tentu saja ini semua baru sebatas konsep, tapi tetap saja merupakan konsep yang sangat menarik, apalagi jika Peugeot berhasil mengimplementasikannya menjadi mobil untuk konsumen umum dalam beberapa tahun ke depan. Selagi menunggu, kita tonton saja koleksi video Peugeot Instinct Concept berikut ini.

Sumber: Peugeot dan Wired.