Hypefast Reportedly Secures Additional Funding, Entering the Centaur List

Hypefast online retail group startup reportedly secures an additional $5.5 million funding (over 78 billion Rupiah). According to DailySocial.id sources, this round was participated by Monk’s Hill Ventures, Jungle Ventures, Strive, Amand Ventures, and several others. Those investors previously participated in a $14 million series A round in July 2021.

Through this funding, Hypefast is going strong into the ranks of the next centaur (aspiring unicorn) startup in Indonesia. Centaur is a term for startups that have reached a valuation of over $100 million and under $1 billion. One of these valuations is measured based on the total funding obtained from investors.

Hypefast is yet to officially confirm the two rounds of fresh funding. Until this news was published, the company’s representatives have not responded.

As a retail company, Hypefast’s focus is slightly different. They invest and acquire startups that focus on “digital & e-commerce native brands” with potential to be developed into global brands.

Aside from capital support, Hypefast helps brand owners gain marketing, production and operational support, to use data to help business analysis. Thus, the brand can grow significantly in a short time.

The brand categories Hypefast have acquired come from fashion, beauty, health, and lifestyle – which are produced, marketed, and sold directly to consumers through various online channels, such as each brand’s website, social media, marketplace platform, and Buiboo offline store.

To date, Hypefast has managed more than 20 brands in its network with a total team of more than 150 people in Southeast Asia. Some of these brands are BohoPanna, Letter in Pine, Monomom, Soleram, Sabine and Heem, Nona, Wearstatuquo, Motiviga, Nyonya Nursing Wear, Sideline Label, Nona Rara Batik, and Bonnels.

Hypefast previously targeted to bring local brands to the global market in a more effective and scalable way by the end of 2022. “Currently our focus is on preparing infrastructure and access, therefore, it can be a long-term solution,” said Hypefast’ Founder and CEO, Achmad Alkatiri in an official statement.

New economy startup momentum

According to CBInsights, D2C startup funding performance has decreased globally in 2020. One of the reasons is the pandemic. However, in Indonesia, it is gaining momentum, due to the presence of a massive generation of young entrepreneurs.

Marketing creativity through digital channels, such as social media, allows brand developers to get attention and profit from the local market. The strategies vary, some collaborate to present limited products with well-known influencers, create viral marketing strategies, and others.

Another important factor is the high interest of consumers to shop on online platforms. According to e-Conomy 2020, Indonesia’s e-commerce GMV reached $32 billion, the largest in the region.

In addition, according to a survey conducted by Facebook, there is a tendency for consumers in Indonesia to buy new brand products, which is the highest percentage compared to neighboring countries in Southeast Asia. This makes market competition more dynamic, compared to a customer base that is loyal to only certain products.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Hypefast Dilaporkan Kantongi Pendanaan Tambahan, Masuk ke Jajaran Centaur

Startup grup ritel online Hypefast dilaporkan mengantongi tambahan dana segar sebesar $5,5 juta (lebih dari 78 miliar Rupiah). Menurut sumber DailySocial.id, putaran ini diikuti oleh Monk’s Hill Ventures, Jungle Ventures, Strive, Amand Ventures, dan beberapa lainnya. Jajaran investor tersebut sebelumnya berpartisipasi dalam putaran seri A sebesar $14 juta pada Juli 2021.

Dengan pendanaan ini, mengokohkan Hypefast ke dalam jajaran startup centaur (aspiring unicorn) berikutnya di Indonesia. Centaur adalah sebutan untuk startup yang telah mencapai valuasi lebih dari $100 juta dan di bawah $1 miliar. Valuasi ini salah satunya diukur berdasarkan total pendanaan yang didapat dari investor.

Hypefast belum memberikan konfirmasinya secara resmi terkait dua putaran dana segar ini. Hingga berita ini diturunkan, belum ada respons yang diberikan dari perwakilan perusahaan.

Sebagai perusahaan ritel, fokus Hypefast sedikit berbeda dengan kebanyakan. Mereka berinvestasi dan mengakuisisi startup yang memiliki fokus pada “digital & e-commerce native brands” yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi brand global.

Selain dukungan kapital, Hypefast membantu pemilik merek mendapat dukungan pemasaran, produksi dan operasi, hingga pemanfaatan data untuk membantu analisis bisnis. Dengan demikian, brand dapat tumbuh secara signifikan dalam waktu yang singkat.

Kategori brand yang diakuisisi Hypefast datang dari fesyen, kecantikan, kesehatan, dan gaya hidup -yang diproduksi, dipasarkan, dan dijual langsung ke konsumen melalui berbagai kanal online, seperti website masing-masing brand, media sosial, platform marketplace, dan toko offline Buiboo.

Sejauh ini Hypefast telah mengelola lebih dari 20 brand di dalam jaringannya dengan total tim lebih dari 150 orang di Asia Tenggara. Beberapa brand tersebut adalah BohoPanna, Letter in Pine, Monomom, Soleram, Sabine and Heem, Nona, Wearstatuquo, Motiviga, Nyonya Nursing Wear, Sideline Label, Nona Rara Batik, dan Bonnels

Hypefast sebelumnya menargetkan dapat membawa brand lokal ke pasar global dengan cara yang lebih efektif dan scalable pada akhir 2022 mendatang. “Saat ini fokus kami mempersiapkan infrastruktur dan akses sehingga bisa menjadi solusi jangka panjang,” kata Founder dan CEO Hypefast Achmad Alkatiri dalam keterangan resmi.

Momentum startup new economy di Indonesia

Menurut data CBInsights, secara global performa pendanaan startup D2C mengalami penurunan di tahun 2020. Salah satunya diakibatkan oleh pandemi. Namun di Indonesia tengah mendapatkan momentum, lantaran kehadiran generasi pengusaha muda yang cukup marak.

Kreativitas pemasaran melalui kanal digital, seperti media sosial, membuat para pengembang brand mendapat perhatian dan meraup untung dari pasar lokal. Strateginya bermacam-macam, ada yang berkolaborasi untuk menghadirkan produk limited bersama influencer ternama, membuat strategi pemasaran viral, dan lain-lain.

Faktor penting lainnya adalah tingginya minat konsumen untuk berbelanja di platform online. Menurut e-Conomy 2020, GMV e-commerce Indonesia mencapai $32 miliar, terbesar di regional.

Di samping itu menurut survei yang dilakukan Facebook, ada kecenderungan konsumen di Indonesia untuk membeli produk keluaran brand baru adalah tertinggi secara persentase dibandingkan negara tetangga di Asia Tenggara. Ini menjadikan kompetisi pasar menjadi lebih dinamis, dibanding dengan basis konsumen yang loyal terhadap produk tertentu saja.

Startup Kuliner Kokikit Hadir dengan Konsep “Chef as a Services”

Besarnya peluang memanfaatkan sumber daya koki profesional menjadi alasan platform chef as a services Kokikit diluncurkan. Para konsumen dapat menikmati signature dish dari para juru masak dalam bentuk ready meal yang dikemas secara praktis dengan biaya yang lebih efisien.

Didirikan oleh CEO Andry Suhaili bersama co-founder lainnya yaitu CTO Sebastian Wijaya, CMO Donald D. Kusumo, Chef Culinary Officer Hendro Soejadi, dan Chief Content Officer Untung Pranoto; Kokikit ingin menghadirkan pilihan koki-koki profesional untuk para konsumen (perorangan, restoran, hotel) tanpa harus memiliki atau mempekerjakan koki itu sendiri.

“Visi kami adalah mempopulerkan cita rasa Indonesia ke seluruh dunia, agar saudara-saudara kita yang tinggal di luar negeri dapat membuka restoran Indonesia dengan rasa dan kualitas terbaik lewat Recipe Kit dari Kokikit,” kata Andry.

Berbeda dengan layanan cloud kitchen atau ghost kitchen yang saat ini makin marak kehadirannya, Kokikit tidak membutuhkan investasi properti dan peralatan dapur untuk melayani konsumen dari berbagai kota. Seluruh makanan Kokikit adalah hasil kreasi seorang koki profesional.

“Pemain ready meal serupa juga belum memanfaatkan teknologi sebagai strategi utama. Mereka masih mengandalkan metode konvensional dan pasar modern ritel dan dalam bentuk frozen. Kokikit memiliki produk frozen dan tahan suhu ruang (shelf-stable food atau ambient food),” imbuh Andry.

Meal Kit dan Recipe Kit

Para chef profesional Kokikit / Kokikit

Secara khusus Kokikit adalah produsen Meals Ready to Eat (MRE) dalam bentuk Meal Kit (full meal) dan Recipe Kit (daging saja). Meal Kit ditujukan untuk perorangan (end user) yang tidak mau repot masak atau mengotori dapur. Sementara Recipe Kit ditujukan untuk restoran agar mereka bisa menambahkan menu dengan mudah; dan hotel-hotel yang tidak memiliki dapur.

Seluruh produk adalah kreasi tim koki profesional yang dikolaborasikan dengan para artis, untuk melahirkan Celebrities Favorite Signature Dish. Kokikit mengklaim semua rasa dan kualitas sudah divalidasi oleh para selebriti yang terlibat. Sejak beroperasi 2 bulan lalu, Kokikit sudah mencatat lebih dari 5000 konsumen. Saat ini Kokikit dapat diakses melalui WhatsApp, situs, dan di berbagai platform online marketplace.

“Saat ini Kokikit telah bekerja sama dengan 9 selebriti dan sedang menjalankan program sosial dengan Digiresto lewat gerakan #IndonesiaPastiBisa dengan menghadirkan paket nasi di harga Rp10.000 kepada warga-warga isoman di seluruh Jabodetabek dan Bandung,” jelas Andry.

Strategi monetisasi yang dilancarkan oleh Kokikit adalah membangun mitra penjualan (agen). Meal Kit dan Recipe Kit dapat dibeli dalam bentuk satuan, bundling, katering, dan dapat dikustomisasi. Kokikit juga menyediakan 3 jenis aplikasi seluler yang dapat digunakan secara gratis. Yaitu untuk pelanggan, mira (restoran dan hotel), hingga aplikasi mitra agen yang bertugas untuk mencari prospek, mendapatkan laporan performa penjualan dari pelanggan mereka secara real time, membuat promosi diskon dan mengelola pelanggan.

“Tahun ini ada beberapa rencana yang ingin dilancarkan oleh Kokikit, di antaranya adalah melakukan ekspansi kapasitas produksi Kokikit dan membutuhkan mitra yang dapat mendukung dari sisi finansial. Tujuannya agar Kokikit dapat memperluas dapur sentral, mesin dapur dan kemasan komersial yang membutuhkan biaya cukup besar,” kata Andry.

Pertumbuhan layanan meal kit

Layanan pengiriman meal kit telah mendapatkan popularitas luar biasa dalam beberapa tahun terakhir, karena menawarkan kemudahan dan menghemat waktu saat menyiapkan makanan. Meal kit adalah pilihan yang praktis berisi resep yang mudah diikuti, tips memasak, takaran bahan yang tepat yang diperlukan untuk menyiapkan makanan.

Vendor juga menyediakan pilihan berlangganan, konsumen bisa mendapatkan meal kit yang dikirimkan tanpa perlu melakukan pemesanan setiap hari. Ketersediaan opsi yang nyaman seperti itu akan mendorong pertumbuhan pasar layanan pengiriman meal kit ke depannya.

 

Di Indonesia, konsumsi makanan ready meal masih belum populer, dibanding dengan negara lain seperti Singapura, Korea, Jepang hingga Inggris Raya. Menurut laporan dari Technavio Research, ukuran pasar layanan pengiriman meal kit memiliki potensi untuk tumbuh sebesar $15,93 miliar selama 2020-2024, dan momentum pertumbuhan pasar akan meningkat pada CAGR lebih dari 18%.

Adapun di Indonesia startup lain yang jajakan produk serupa adalah Cooklab. Lewat aplikasi mereka menjual paket makanan siap masak, termasuk di dalamnya bahan sesuai takaran, kartu menu, dan juga video resep. Sebelumnya nama BlackGarlic sempat familiar beberapa tahun lalu di kalangan pecinta kuliner, namun saat ini platform tersebut sudah tidak lagi beroperasi. BerryKitchen yang juga menawarkan layanan serupa dan katering online sejak tahun 2012, lalu diakuisisi oleh Yummy Corp tahun 2019.

 

East Ventures Pimpin Pendanaan Tahap Awal Startup D2C “mohjo”

East Ventures memimpin pendanaan tahap awal dengan nilai dirahasiakan untuk startup D2C (direct-to-consumer) asal Singapura, mohjo. iSeed Southeast Asia, K3 Ventures, dan sejumlah angel investor ternama turut berpartisipasi dalam putaran tersebut. Mohjo akan memanfaatkan dana segar ini untuk membangun kapasitas perusahaan, meluncurkan lebih banyak produk, memperkuat tim, dan meningkatkan penetrasi pasar.

mohjo didirikan pada Januari 2021 oleh Juhi Dang. Startup ini fokus menyajikan produk makanan dan minuman nabati yang 100% bersih. Perusahaan meluncurkan lini produk pertamanya, yaitu susu almond dan minuman berbahan dasar susu almond di Singapura. Produk ini dibuat dengan bahan-bahan berkualitas tinggi dan bebas dari bahan penstabil, pengental, pemanis buatan, dan bahan kimia lainnya.

Dang menjelaskan, sebagian besar produk alternatif susu yang tersedia secara komersial itu rendah nutrisi dan mengandung zat penstabil. Produk tersebut mengandung 95%-98% air, dicampur dengan zat aditif, dan rasanya kurang enak atau tidak berasa sama sekali.

“mohjo dibuat berdasarkan pengalaman saya sebagai konsumen produk alternatif susu. Sejak kecil, saya minum susu segar, tapi ketika saya mengetahui bahwa saya tidak toleran laktosa, saya tidak dapat menemukan susu nabati yang rasanya enak. Ketika saya pindah ke Singapura, saya pikir saya akan menemukan alternatif susu yang enak dan bersih di sini, tapi ternyata tidak. Yang bisa saya temukan hanyalah cairan yang tampak seperti susu tanpa nutrisi atau rasa,” ucapnya, Senin (16/8).

Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan, seiring dengan pertumbuhan populasi intoleransi laktosa di seluruh dunia, pihaknya melihat peluang besar dari alternatif dari nabati (plant-based alternatives). Pasar ini mendapat momentum dan mengalami peningkatan permintaan karena orang mulai mengevaluasi kembali pola makan mereka.

“Sebagai perusahaan D2C, mohjo didirikan untuk melayani konsumen yang mencari makanan dan minuman yang lebih sehat namun lezat. Kami percaya bahwa mohjo dapat tumbuh dengan membawa inovasi ke pasar,” terangnya.

mohjo adalah digital native brand yang memiliki tim dengan pengalaman yang luas dalam inovasi, branding dan strategy. Dang memiliki latar belakang lebih dari 13 tahun di inovasi produk konsumen langsung. Selain itu, para profesional di bidang branding dan pemasaran digital menduduki kepemimpinan senior perusahaan.

mohjo sedang memperluas dan memperkuat operasi, penjualan dan pemasaran di Singapura. “Kami mencari orang-orang yang bersemangat dan memiliki ambisi serta percaya bahwa kita dapat mengubah planet ini dengan pilihan yang kita buat saat makan. mohjo sedang membangun tempat kerja yang inklusif di mana bisnis dilakukan dengan cara yang benar,” tambahnya.

Alternatif susu memiliki market size secara global senilai sekitar $23 miliar, dan diperkirakan CAGR akan tumbuh sebesar sekitar 12,5% di tahun 2021 hingga 2028. Wilayah Asia Pasifik mendominasi pasar ini dengan market share sebesar 44%, menurut Grand View Research.

Pasar produk alternatif susu sedang booming karena meningkatnya jumlah orang dengan intoleransi laktosa dan flexitarian, kesadaran masyarakat untuk fokus pada pilihan yang lebih sehat, serta perhatian terhadap etika dan lingkungan dalam mengonsumsi produk susu.

Alasan investor tertarik startup D2C

Mohjo menambah jajaran startup D2C yang mengantongi pendanaan dari investor lokal. Dari pantauan DailySocial, modal ventura lokal lain juga mulai mengalokasikan dana untuk startup nondigital. Beberapa di antaranya Alpha JWC Ventures, Intudo Ventures, Teja Ventures, Salt Ventures, dan lain-lain. Startup kecantikan merupakan salah satu vertikal D2C yang kian hari diminati investor.

Head of Investor Relations & Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li mengatakan, ada sejumlah faktor mengapa pelaku startup kecantikan menarik bagi VC. Pertama, brand lokal masa kini menggunakan model D2C untuk membidik segmen digital native.

Kedua, konsumen produk kecantikan cenderung memiliki user stickiness dan repeat purchase yang tinggi. Artinya, bisnis ini dapat mengantongi pertumbuhan bisnis dengan cepat. Tentu bagi VC, masuk ke vertikal ini dapat menjadi sebuah diferensiasi bisnis. Akan tetapi, investasi tetap memerlukan scalibility.

Sementara Senior Investment Analyst Kolibra Capital William Auwines menyoroti perspektif lain. Banyak brand kecantikan lokal mengembangkan strategi marketing yang berbeda untuk membangun brand equity-nya. Selain itu, yang cukup menonjol adalah produk kecantikan terbilang memiliki biaya produksi rendah sehingga keputusan untuk membeli produk menjadi lebih mudah dan nature bisnisnya akan selalu membutuhkan constant repurchasing.

Ia menilai kehadiran e-commerce seperti Tokopedia, Shopee, dan Lazada menjadi game changer bagi industri ini karena mereka mampu mengantongi consumer purchasing journey. Alhasil, tak hanya pelaku industri kecantikan saja yang meningkat, tetapi juga bisnis pendukungnya, seperti sales, marketing, dan logistik untuk segmen SME. Dari paparan ini, industri kecantikan menjadi vertikal yang menarik bagi VC karena berhasil menunjukkan pertumbuhan yang mengesankan dalam beberapa tahun terakhir.

“Sebagai VC, biasanya kami mengabaikan perusahaan tradisional, seperti fashion dan retail. Bagi kami, ada banyak perusahaan teknologi baru yang tumbuh eksponensial dengan menjaga biaya tetap rendah, menjangkau pasar lewat pemasaran online, dan meningkatkan layanan logistiknya untuk memperoleh keuntungan. Faktor ini membuat valuasinya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan tradisional,” paparnya.

[Video] Strategi Flash Coffee Berkiprah di Pasar Indonesia

Startup coffee chain berbasis teknologi Flash Coffee turut meramaikan pasar Indonesia dengan menawarkan pilihan kopi harga terjangkau dan kualitas terbaik dengan konsep pembelian secara online.

Di video kali ini, DailySocial bersama David Brunier dari Flash Coffee  membahas mengenai strategi apa yang seharusnya diaplikasikan perusahaan untuk membedakan produk mereka dengan produk lainnya yang serupa yang ada di pasaran.

Untuk video menarik lainnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV.

Strategi Dapur Terpusat dan Efisiensi Bisnis Dailybox

Pandemi menjadi game changer untuk semua industri agar tetap bertahan, tak terkecuali kuliner. Melesatnya pertumbuhan layanan pesan antar makanan memicu pemain kuliner untuk memanfaatkan tren tersebut untuk tetap menjangkau konsumennya. Dailybox melihat peluang tersebut dengan mengubah struktur model bisnisnya, bahkan sebelum pandemi terjadi.

Sebelum Dailybox hadir, Kelvin Subowo (Co-Founder & CEO) memang memiliki pengalaman yang kuat di bidang kuliner. Sejumlah restoran ia operasikan bersama rekan-rekannya. Namun bisnis ini sarat dengan adu harga properti, yang berarti lokasi bagus menentukan harga properti yang “gila-gilaan”.

Bagi sebuah brand, untuk ekspansi ke satu lokasi saja butuh ongkos yang tidak main-main karena banyak faktor penentu. Kondisi tersebut mulai berubah ketika pemain tren food online delivery mulai menunjukkan taringnya sejak 2015-2016.

“Saya melihat food delivery ini akan game changing. Makanya waktu awal 2018 itu kami buat outlet pertama Dailybox yang menyediakan food delivery,” terangnya kepada DailySocial.

Sejak awal, Dailybox fokus pada masakan rumahan yang dikemas dalam boks (rice box), dijual dengan harga terjangkau dan cocok dengan cita rasa orang Indonesia.

Bisnis model Dailybox di-tweak kembali pada satu tahun berikutnya, dengan pertimbangan ingin lebih terjangkau bagi masyarakat. Terlebih pada saat itu, masih banyak restoran yang menerapkan harga berbeda untuk pembelian di toko yang lebih murah daripada beli online.

“Kami berpikir konsumen itu kan sudah invest waktu mereka untuk beli produk kami, jadi harusnya kita charge lebih murah. Jadinya 2019 itu kami ubah konsep menjadi sepenuhnya online delivery lebih murah daripada dine-in.”

Dailybox pun mulai menerapkan konsep dapur terpusat (centralized kitchen) untuk mengakomodasi proses pre-cook seluruh menu yang dijual Dailybox. Outlet hanya akan menjadi tempat finishing. Dengan demikian, Dailybox mampu memroses satu menu dalam waktu dua menit saja.

Strategi ini mulai dijalankan ketika Dailybox membuka gerai keduanya di food court Grand Indonesia, Jakarta. Saat itu Dailybox sudah mengembangkan 20 pilihan menu comfort food yang disajikan.

“Jadi kami yang kami tawarkan ini bukan junk food, bukan fast food, tapi kami serve the food fast. Karena target konsumen kami saat itu adalah pekerja kantoran yang hanya punya waktu singkat untuk makan siang.”

Dapur terpusat dan DailyPartner

Konsep dapur terpusat ini menjadi game changer buat Dailybox itu sendiri karena pihaknya mampu ekspansi ke outlet lain dalam waktu singkat. Terhitung saat ini sudah hadir di 104 lokasi di 10 kota yang tersebar di berbagai area cloud kitchen yang dioperasikan para penyedia layanan terkait, seperti GrabKitchen dan Dapur Bersama GoFood.

Kelvin menjelaskan, persebaran outlet ini menjadi lokasi akhir untuk finishing setiap pesanan yang dibeli konsumen. Sementara, perusahaan baru memiliki satu dapur terpusat di Legok, Tangerang yang mampu mengakomodasi kebutuhan di seluruh outlet se-Indonesia tersebut dengan luas 2.500 meter persegi.

Menurutnya dengan strategi ini, perusahaan dapat lebih agresif ekspansi ke banyak lokasi dalam waktu singkat, sekaligus tetap menjaga kualitas makanan yang tetap sama mau di mana pun konsumen membelinya. Mengingat seluruh prosesnya terjadi di dalam satu tepat.

Sehingga, meskipun outlet tidak dapat dilihat secara langsung oleh konsumen, mereka tetap dapat menemukan Dailybox dalam radius 2 km dari lokasinya setiap membuka aplikasi online food delivery. “Dapur centralized ini masih bisa mampu menampung kapasitas hingga tiga kali lipat dari penambahan outlet yang sedang kita bidik.”

Selain mengandalkan outlet, perusahaan juga membuat perluasan tersendiri dengan memanfaatkan dapur rumahan, yang disebut DailyPartner. Kelvin menjelaskan dalam produk ini, perusahaan mengajak para pemilik dapur yang tidak dimanfaatkan secara maksimal untuk bergabung dengan Dailybox.

Minimal luas dapur yang dapat didaftarkan seluas 10-15 meter persegi. Tidak ada franchise fee yang ditetapkan, para mitra akan dilatih oleh perusahaan agar kemampuannya menyamai outlet milik Dailybox sendiri. Seluruh suplai juga akan disediakan oleh dapur terpusat.

“Jadi ekspansi kami ini sangat tidak terbatas sebab operasional di lapangan di desain dengan sangat simpel. Saat ini ada 10 lokasi DailyPartner, masih terpusat di Jabodetabek.”

Persaingan ketat di industri

Seperti diketahui, bisnis F&B sangat ketat persaingannya karena low barrrier sehingga mudah ditiru. Oleh karenanya, inovasi secara kontinu adalah satu-satunya jalan agar tetap eksis di mata konsumen.

Dailybox dengan proposisinya sebagai makanan rumahan, membuka kesempatan kepada UMKM untuk berkolaborasi. Perusahaan melakukan kurasi seluruh resep dan menu UMKM untuk setelahnya dikembangkan dan diproduksi secara luas melalui seluruh gerai.

Salah satunya yang sudah terealisasi adalah menu Ayam Geprek Nagih disuplai oleh pengusaha sambal ikan asin Ibu Yanti dari Jakarta. “Sekarang beliau sudah memproduksi 1 ton sambal ikan asin dalam sebulan, ia juga sudah membuka lapangan pekerjaan baru untuk lingkungan rumahnya.”

Alhasil dengan strategi ini, Dailybox jadi lebih versatile sebagai sebuah brand karena dapat mencakup banyak menu makanan rumah, tidak spesifik ke satu hal saja. Namun demikian, di bawah grup The Daily Group, terdapat brand F&B lainnya, seperti menu sushi-to-go, Shirato, dan Anytime.

Kelvin menjelaskan perluasan brand ini adalah langkah untuk menjawab preferensi konsumen yang berbeda-beda. “Kita coba bundling Dailybox dengan beberapa brand tersebut sebagai penunjangnya.”

Selain itu, dalam waktu dekat perusahaan segera ekspansi ke luar Jawa, tepatnya di Pontianak, Kalimantan Barat. Menariknya, karena penetrasi internet dan food delivery yang berbeda dengan Jawa, Dailybox hadir dengan konsep restoran dine-in dengan luas 650 meter persegi.

Food market di Indonesia itu luas sekali, justru di daerah kompetisinya belum separah di Jabodetabek. Di Pontianak itu akan jadi outlet terbesar kami karena memang di sana penetrasi GoFood dan GrabFood belum dalam, jadi perlu dine-in untuk experience di tempat kita.”

Tak hanya Pontianak, dalam tahun ini perusahaan akan ekspansi ke lokasi lainnya di luar Jawa, seperti Makassar, Manado, Gorontalo, hingga Indonesia bagian Timur. Ditargetkan setidaknya Dailybox memiliki 200 outlet.

Pekan lalu perusahaan mengumumkan pendanaan Seri A yang dipimpin Vertex Ventures SEA, serta didukung Kinesys Group dengan nominal dirahasiakan. Dailybox ingin memanfaatkan pertumbuhan online food delivery yang ditaksir oleh laporan e-Conomy 2020 akan mencapai $23 miliar (GMV) pada 2025 di Asia Tenggara. Angka tersebut menunjukkan kuatnya tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun (Compound Annual Growth Rate) di industri layanan pesan antar makanan yang mencapai hampir 30%.

Startup D2C dr soap Perkuat Strategi Omnichannel, Bukukan Pendanaan dari SALT Ventures

Didirikan oleh kakak-adik Eunike Selomith dan Joycellynne Stefanie, dr soap hadir menawarkan produk personal care dan household needs yang higienis. Masih rendahnya kesadaran masyarakat di Indonesia tentang pentingnya kebersihan, menjadi salah satu alasan diluncurkannya startup tersebut.

Kedua pendiri memiliki ide untuk mengemas dr soap dalam paket yang cantik dan menarik, agar menarik untuk dibagikan di media sosial. Untuk bisa mendukung konsep tersebut, mereka juga membuat produk kimia berkualitas yang ampuh membersihkan kotoran dan bakteri. Produk yang ditawarkan oleh dr soap saat ini di antaranya adalah home care, personal care, refill (isi ulang), dan aksesoris.

We aim to make simple and effective products with the safest and cleanest ingredients, dan ini adalah karya anak bangsa Indonesia, dengan harga yang terjangkau berkualitas internasional,” kata Eunike.

Sukses menjalankan bisnis sejak tahun 2015 lalu, dr soap, telah mengantongi dana segar dari SALT Ventures. Kepada DailySocial, Managing Partner SALT Ventures Danny Sutradewa mengungkapkan, alasan mereka berinvestasi ke dr soap karena besarnya pertumbuhan industri home care dalam waktu dua tahun terakhir. Pemicunya adalah pandemi yang memaksa banyak orang untuk tinggal di rumah dan semakin peduli akan kebersihan yang higienis.

Salt Ventures sendiri saat ini makin banyak berinvestasi kepada startup yang memiliki konsep D2C. Di antaranya adalah Sneakershoot, Hangry, Syca dan  Amazara.

Dana segar tersebut selanjutnya akan dimanfaatkan oleh dr soap untuk melakukan ekspansi dengan pendekatan omnichannel, terutama memperkuat positioning mereka secara offline. Rencana lainnya adalah melakukan konvergensi model bisnis D2C dan non-D2C dalam kondisi new normal, meluncurkan produk baru, memperluas produk yang sudah ada, merekrut talenta baru dan melakukan brand building.

“Dengan mengedepankan moto perusahaan yaitu sebagai life saver, mimpi dr soap lainnya adalah menjadi top of mind untuk basic daily hygiene needs masyarakat Indonesia,” kata Joycellynne.

Direct to Consumer

Memanfaatkan konsep direct to consumer (D2C), dr soap mengklaim juga tengah melakukan eksperimen model distribusi. Hal ini dilakukan setelah menyadari kompleksnya persoalan logistik saat ini. Perusahaan memutuskan untuk melancarkan proses tersebut dan memperkuat kehadiran mereka dengan menjalin kolaborasi dengan pengecer dan brand lainnya .

Secara keseluruhan, saat ini dr soap telah tersedia di seluruh Indonesia. Selain menyediakan akses langsung di situs web, mereka juga memanfaatkan kanal layanan marketplace seperti Shopee, Tokopedia, dan Lazada.

“dr soap menawarkan lebih dari sekadar bisnis, tapi pengalaman pelanggan yang konsisten. dr soap mengemas produk dengan bahan-bahan premium, desain yang bagus dan berkomitmen untuk sustainable, selaras dengan nilai perusahaan yaitu creativity, safety, sustainability,” kata Eunike.

dr soap juga ingin mengajak lebih banyak orang membuat keputusan terbaik. Salah satu caranya adalah melalui gerakan sosial bernama dr soap Heals Earth, dan membuat beberapa kampanye CSR juga loyalty program seperti “Return & Earn” (Program Pengembalian Botol) dan “1 botol = 1 liter air bersih” (pendanaan untuk amal).

Tercatat perusahaan telah mendekati 95% sama sekali tidak menggunakan plastik dan kertas dalam pengemasan online shipment. Bahkan dengan mengembalikan botol bekas pakai dr soap, pelanggan juga diberikan reward menarik.

“Jadi bisa dikatakan yang sangat membedakan kami yaitu produk yang sangat bagus kualitasnya dan kemasannya, terjangkau dan mudah didapat dimana-mana, bahkan memberi rasa aman dan bangga kepada pengguna,” kata Joycellynne.

Model bisnis yang sustainable

Konsep seperti ini sebelumnya telah ditawarkan oleh The Honest Compay. Perusahaan asal Amerika Serikat yang berawal sebagai startup namun saat ini menjadi perusahaan sukses dan telah IPO. Didirikan pada tahun 2012, The Honest Company telah mengumpulkan lebih dari $530 juta melalui tujuh putaran pendanaan.

Perjalanan pendanaan The Honest Company / Source : Owler
Perjalanan pendanaan The Honest Company / Source : Owler

Diposisikan sebagai penyedia produk bayi dan perlengkapan rumah yang ramah lingkungan dan alami, The Honest Company lahir dari pencarian pendiri mereka yaitu aktris Jessica Alba. The Honest Company mengalami pertumbuhan yang luar biasa di tahun pertama mereka, mencapai pendapatan $12 juta pada tahun 2012. Kemudian tumbuh menjadi $150 juta pada tahun 2014, dan akhirnya lebih dari $1 miliar pada tahun 2015.

Meskipun memiliki produk yang berbeda, namun dari sisi model bisnis dan pendekatan terhadap proses hingga kegiatan pemasaran yang mengandalkan media sosial, menjadikan dr soap dan The Honest Company memiliki kesamaan.

“Kami yakin hal yang sudah berhasil dilakukan di Amerika Serikat atau dimanapun juga bisa berhasil di Indonesia. Namun kami akan melakukannya dengan pendekatan yang lebih localize dan relevan sesusai kondisi dan customer behavior di Indonesia,” kata Eunike.

dr soap kemudian berupaya untuk menganalisis permasalahan, dan selalu menciptakan atau menghadirkan inovasi yang bisa menjadi jawaban, diharapkan dr soap bisa menjadi solusi. Tidak hanya itu mereka juga terus berupaya untuk menjadi yang pertama dalam membuat produk-produk terobosan yang belum pernah ada di Indonesia, khususnya dalam personal care & home care industry.

“Pada intinya, kami ingin membangun legacy brand yang memberikan nilai yang menjadi perhatian dari pelanggan dan bisa tetap relevan untuk generasi yang akan datang,” kata Joycellynne.

Startup F&B On-demand Dailybox Kantongi Pendanaan Seri A Dipimpin Vertex Ventures

Dailybox, startup F&B on-demand, mengumumkan perolehan investasi seri A yang dipimpin Vertex Ventures SEA. Putaran ini turut didukung Kinesys Group. Kendati tidak disebutkan di dalam rilis resmi, sumber DailySocial mengatakan dana yang diperoleh mendekati $3 juta (hampir 43 miliar Rupiah).

Co-Founder dan CEO Dailybox Kelvin Subowo menyampaikan, pihaknya menyambut pendanaan ini dengan sangat antusias. Perusahaan berencana untuk fokus mempercepat ekspansi bisnis ke seluruh Indonesia dan mengembangkan sistem dapur terpusat (central kitchen) agar dapat terus meningkatkan kualitas layanan kepada konsumen.

“Saat ini Dailybox telah hadir di beberapa kota di Pulau Jawa, Sumatera Utara, dan Bali. Pada Agustus mendatang, kami berencana untuk membuka gerai pertama kami di Pontianak. [..] Kami berharap Dailybox dapat menjadi brand F&B lokal terbesar yang dapat memperkenalkan makanan nusantara tidak hanya di Indonesia, tapi juga Asia Tenggara bahkan seluruh dunia,” terangnya, Kamis (22/07).

Senior Executive Director of Vertex Ventures SEA Gary Khoeng menambahkan, “Ketika berinvestasi, kami selalu mencari startup yang berpotensi menjadi calon juara regional. Di tengah berbagai ketidakpastian saat ini, kami melihat Dailybox secara konsisten menunjukkan performa yang baik di industri ini.”

Pertumbuhan bisnis dan dampak pandemi

Kelvin menambahkan, pandemi yang sudah terjadi sejak tahun lalu memang telah membawa dampak yang luar biasa di banyak aspek, tak terkecuali industri F&B. Namun, kondisi tersebut tidak menghalangi pertumbuhan bisnis Dailybox. Pada Maret kemarin, gross revenue (pendapatan kotor) perusahaan secara grup tumbuh hingga 700% secara YOY.

Omzet penjualan Dailybox naik 80% berasal dari layanan pesan antar makanan online. Angka ini sejalan dengan fokus utama perusahaan yang fokus pada layanan pesan antar makanan.

Selain itu, kurang dari satu tahun, peningkatan gerai juga tumbuh drastis hingga 300% menjadi ratusan gerai pada semester I 2021. Pencapaian menobatkan Dailybox sebagai F&B brand yang memiliki jaringan cloud kitchen terbanyak di Indonesia. “Kami akan menggandakan jumlah gerai pada akhir tahun ini.”

Startup yang didirikan pada 2018 ini adalah bagian dari The Daily Group (PT Sendok Garpu Internasioal). Dalam grup ini menaungi beberapa brand F&B lainnya seperti menu sushi-to-go, Shirato, dan minuman segar, Anytime. Dailybox menghadirkan berbagai menu masakan rumahan yang terjangkau dan cocok dengan lidah masyarakat Indonesia.

Perusahaan berkolaborasi dengan chef ternama, seperti Juna Rorimpandey dan Renatta Moeloek, menghadirkan 30 pilihan menu beragam. Dalam menjalankan operasionalnya, Dailybox menerapkan sistem dapur terpusat untuk menjaga kualitas makanannya dan berkolaborasi dengan operator cloud kitchen seperti GrabKitchen, YummyKitchen, dan mitra individu Dailybox, DailyPartner.

Didorong platform food delivery

Hadirnya food startup didorong pertumbuhan pesat bisnis food delivery yang menjadi infrastruktur distribusi mereka — termasuk juga di sisi pembayaran karena layanan food delivery yang menguasai pasar berbentuk super app.

Menurut data yang dihimpun Momentum Works, per tahun 2020 pertumbuhan bisnis pesan-antar makanan di Asia Tenggara mencapai 183%. Peningkatan ini didukung layanan pengantaran instan ala Grab, Gojek, Foodpanda, Deliveroo, dll. Bisnis ini telah membukukan GMV mencapai $11,9 miliar dengan tren yang terus bertumbuh.

Pertumbuhan bisnis food delivery di Asia Tenggara / Momentum Works

Spesifik untuk pasar Indonesia, pada tahun 2020 GMV yang dibukukan layanan pesan antar mencapai $3,7 miliar dengan dominasi layanan GrabFood (53%) dan GoFood (47%).

East Ventures Dikabarkan Kembali Pimpin Pendanaan Greenly

Greenly, startup new retail yang fokus pada makanan dan minuman sehat, dikabarkan mengantongi pendanaan baru sebesar $800 ribu (lebih dari Rp11 miliar) yang dipimpin East Ventures. Menurut informasi yang DailySocial dapatkan, putaran lanjutan ini juga diikuti oleh Sage Capital.

Belum ada konfirmasi yang diberikan pihak East Ventures dan Greenly sampai berita ini diturunkan.

Sebelumnya, East Ventures memimpin pendanaan tahap awal Greenly dengan nilai dirahasiakan pada Februari 2020. Dana segar ini digunakan perusahaan untuk inovasi produk, pengembangan teknologi, serta memperluas jaringannya di Surabaya dan kota-kota lainnya.

Dalam wawancara bersama DailySocial, Co-Founder Greenly Edrick Joe Soetanto menyampaikan, semangat perusahaannya adalah mendemokratisasikan makanan sehat yang mudah dicari dengan harga terjangkau, sama seperti kondisi saat ini yang sangat mudah menemukan makanan cepat saji.

Menurutnya, mengonsumsi makanan sehat harus dilakukan secara rutin bukan sesekali saat berkunjung ke mal saja, tapi di mana saja konsumen berada. Untuk membentuk kebiasaan tersebut, Greenly membentuk operasional cloud kitchen, baik bekerja sama dengan Grab Kitchen, maupun mengoperasikan sendiri di berbagai titik agar mudah dijangkau konsumen.

Tak hanya makanan, kini Greenly membentuk sub-brand baru khusus untuk minuman sehat (plant based) dengan ragam menu kekinian bernama Freshful.

Semua proses bisnis Greenly dilakukan dengan pendekatan O2O, mengadopsi penjualan multikanal melalui gerai fisik dan pesan-antar. Perusahaan kini mengoperasikan tiga outlet flagship di Surabaya, dan cabang lainnya untuk pemesanan online yang tersebar di Surabaya, Malang, dan Bali dengan total sembilan outlet.

Konsep Greenly diyakini diterima masyarakat Indonesia. Menurut data FAO, rata-rata masyarakat Indonesia mengonsumsi 122 gram sayur dan 92 gram buah setiap hari. Tingkat konsumsi tersebut lebih rendah dari tingkat asupan harian yang direkomendasikan yaitu 300-400 gram sayur dan 100-150 gram buah.

Ramaikan Industri Cloud Kitchen, Foodstory Usung Konsep “Multi-Brand F&B”

Foodstory meramaikan industri cloud kitchen di Indonesia yang masih memiliki ruang tumbuh besar. Startup ini mulai beroperasi pada Januari 2021, didirikan oleh Dennish Tjandra, eks pendiri startup kecantikan HelloBeauty dan memiliki pengalaman di Rocket Internet; bersama Charles Kwok, seorang serial entrepreneur.

Foodstory mengusung konsep multi-brand F&B group yang membuat, membangun, dan mengoperasikan beberapa brand in-house dalam satu dapur. Ada tiga brand pada saat ini, yakni Chicken Pao, Bowlgogi, dan Lahab Kitchen. Outlet Foodstory melayani take-away, delivery, serta beberapa lokasi dine-in untuk meningkatkan engagement ke konsumen. Hangry menjadi startup terdekat yang memiliki konsep serupa dengan Foodstory.

Kepada DailySocial, Co-Founder Foodstory Dennish Tjandra menceritakan bahwa startup barunya didirikan karena dirinya dan Charles memiliki kesamaan hobi, yakni menyukai makanan. Mereka berdua sama-sama pernah menekuni usaha F&B sebelum akhirnya bertemu pada akhir kuartal tiga tahun lalu, untuk membicarakan kondisi masing-masing yang terdampak dari pandemi.

“Lalu kami sama-sama melihat adanya peluang di industri makanan mengingat perubahan perilaku konsumen terhadap pemesanan makanan online setelah adanya pandemi. Lalu tercetuslah ide mengenai Foodstory ini,” terangnya, Selasa (7/7).

Meski konsepnya bukan barang baru, sambungnya, namun Foodstory tidak memiliki food production house sendiri. Perusahaan bekerja sama dengan mitra yang bertugas untuk mengirimkan pre-cooked meals ke outlet Foodstory. Dengan cara ini, setiap outlet tidak perlu memiliki chef karena hanya perlu memasak untuk assembly dan finishing saja sesuai pesanan.

“Jadi seperti ‘doorship’ makanan, sehingga secara operasional dan biaya kami bisa lebih efektif dan efisien, serta yang paling penting, lebih konsisten.”

Sumber: Foodstory

Untuk pengembangan menu dan brand F&B lainnya, Foodstory bekerja sama dengan mitra food production house tersebut. Pemilik dari food production house ini termasuk salah satu pemegang saham di Foodstory. “Untuk brand dan menu-menunya kita combine antara makanan-makanan yang long last dengan tren. Contoh, fried chicken atau crispy chicken ‘kan dari zaman dulu sudah ada, cuma kita padukan dengan tren sekarang.”

Saat ini Foodstory sedang menuju delapan outlet yang tersebar di sekitar Jakarta dan Tangerang, di antaranya Sawah Besar, Pluit, Puri, Kramat Pulo, Cengkareng, Cipete, Gading Seerpong, dan Alam Sutera. Perusahaan menargetkan pada tahun ini dapat menambah kehadiran di 50 lokasi baru, mulai masuk ke Jabodetabek, Surabaya, Bandung, dan kota-kota potensial lainnya.

Perusahaan memanfaatkan kehadiran pemain online food delivery, seperti GoFood, GrabFood, Traveloka Eats, dan ShopeeFood untuk memasarkan produknya.

Sumber: Foodstory

Persiapan penggalangan dana tahap awal

Dennish menyebut pada Mei kemarin, perusahaan telah mengantongi pendanaan pre-Seed senilai $200 ribu (sekitar 2,8 miliar Rupiah) dari PT Gamma Persada Solusindo, perusahaan distribusi produk IT. Dana tersebut digunakan untuk membenahi fundamental operasional dan sistem, merekrut tim, membangun tiga brand, dan membuka cabang awal untuk menguji kesiapan sistem untuk scaling ke depannya.

Penggalangan ini membuka kesempatan perusahaan untuk masuk ke tahap lanjutan agar dapat tumbuh lebih ekspansif. Ia mengatakan saat ini Foodstory sedang proses penggalangan tahap awal, yang mana 90% dana tersebut akan digunakan untuk kegiatan marketing, branding, dan ekspansi ke 50 lokasi baru.

“Target jangka panjang kami tidak hanya ingin menjadi bagian dari cerita makanan Indonesia, namun kami juga punya target untuk bisa jadi bagian dari cerita makanan masyarakat global. Layaknya brand-brand F&B global yang kita kenal selama ini. Seperti nama grup kami, Foodstory ingin jadi bagian dari cerita makanan semua orang, dimulai dari perjalanan kecil saat ini,” tutupnya.