Alpha JWC Berinvestasi 29 Miliar Rupiah untuk Startup Kuliner “Mangkokku”

Startup kuliner Mangkokku mengumumkan pendanaan tahap awal perdananya (seed funding) sejumlah $2 juta (hampir 29 miliar Rupiah) dari Alpha JWC Ventures. Dana segar ini akan digunakan untuk menambah ekspansi gerai sampai tahun depan.

Sebagai catatan, Alpha JWC juga berinvestasi ke startup kuliner milik Gibran lainnya yakni Goola pada tahun lalu. Selain itu, startup kuliner lainnya yang masuk ke portofolio Alpha JWC, yakni Kopi Kenangan, Hangry, dan Lemonilo.

Mangkokku didirikan pada tahun lalu oleh chef selebritas Arnold Poernomo, pengusaha kuliner Randy Kartadinata, dan dua anak Presiden RI yakni Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep. Gibran dan Kaesang menduduki posisi sebagai penasihat untuk operasional sehari-hari perusahaan.

Sementara, Arnold mengepalai produksi dan inovasi kuliner, dan Randy bertindak sebagai CEO yang bertanggung jawab atas ekspansi dan bisnis harian Mangkokku. Sebelum merintis Mangkokku, keempat pendiri ini sudah mendirikan setidaknya 12 perusahaan kuliner di Indonesia dan Australia, termasuk Gioi, KOI Dessert Bart Sydney, dan gerai martabak Markobar.

Mangkokku menawarkan hidangan dalam bentuk rice bowl atau nasi dengan lauk yang disajikan di dalam mangkuk dengan cita rasa makanan khas Indonesia. Ada 12 menu yang dijual dengan harga mulai dari Rp19 ribu hingga Rp54 ribu per porsi.

Para founder Mangkokku / Mangkokku
Para founder Mangkokku / Mangkokku

Dalam keterangan resmi, Arnold Poernomo menuturkan pihaknya mengadopsi cara pandang bisnis global. Ia percaya untuk berkembang dengan pesat dan berkelanjutan, harus menyediakan produk superior dengan harga terjangkau dan menjaga standar setiap mangkuk yang tersaji.

“Karena itu, kami mengoperasikan sendiri semua cabang dan menggunakan peralatan berteknologi tinggi di dapur utama untuk menjaga kualitas dan konsistensi produk,” terangnya, Senin (23/11).

Randy Kartadinata menambahkan, selama pandemi perusahaan berhasil beradaptasi dengan cepat untuk menjawab perubahan permintaan konsumen yang kini pergerakannya lebih teratas. Diklaim, setiap harinya tiap cabang Mangkokku mampu menjual 400 hingga 600 mangkuk.

“Mimpi besar kami adalah menjadi grup kuliner mass-market terbesar di Indonesia dan membangun ekosistem sendiri yang terdiri dari berbagai merek dan institusi kuliner. Tak hanya itu, kami juga ingin menjadi perusahaan kuliner terbaik dalam hal ekspansi lokal dan regional serta operasional teknis. Karena itulah kami mengambil rute startup ini dan bekerja sama dengan Alpha JWC Ventures,” sambung Randy.

Saat ini Mangkokku memiliki 22 cabang di Jabodetabek dan akan merambah ke Surabaya dalam waktu dekat. Perusahaan akan menambah lokasi gerai hingga 30 pada akhir tahun ini dan 75 cabang pada tahun mendatang.

Tak hanya itu, tahun depan mulai mengembangkan menu makanan di luar konsep rice bowl, dimulai dari minuman, makanan penutup, dan seri sambal kemasan. Dengan demikian, ambisi Mangkokku sebagai solusi kuliner komplet dapat terwujud.

Partner Alpha JWC Ventures Eko Kurniadi menuturkan pihaknya melihat bisnis kuliner sebagai sektor yang dapat diuntungkan dari pendanaan ventura dan penggunaan teknologi. Mangkokku telah menunjukkan kinerja cemerlang bahkan saat pandemi.

“Hal ini membuktikan bahwa produk mereka telah diterima masyarakat dengan baik. Dukungan finansial dan bisnis serta pengalaman kami sebelumnya akan membantu Mangkokku berkembang lebih cepat menjadi perusahaan besar,” katanya.

Mangan Is Launched to Connect Restaurants with Corporates

It is no longer possible to count startups that tried their luck in the culinary industry. Various startups with different approaches and business models have emerged in Indonesia. Mangan is the latest one rising to taste the sweet pie of the culinary industry.

Mangan was founded by Hardi Halim and Hutomo Halim in early 2019. Hardi as the CEO explained that Mangan’s business idea was first appeared to overcome employee boredom with the same food menu in a company.

Hardi grasped inspiration while working at a logistics company in the United States. Every day in the cafeteria at work, he can only eat sandwiches and coffee. It is also available on vending machines. Hardi knows that there are some obstacles when companies want to use catering services from restaurants, especially in terms of payment. That experience encouraged Hardi and Hutomo to create a platform that could help companies provide good food choices for their workers.

“Therefore, we combine the problems in offices, communities, and F&B. Mangan is formed to connect restaurants and corporations,” Hardi said.

The SaaS platform

Simply put, Mangan is a software as a service (SaaS) that serves customers on a B2B basis with a focus on the culinary field. Hardi likens the Mangan platform to Airbnb for the culinary world. Hardi emphasized that Mangan does not cook or deliver the food independently.

Based on their data, Mangan estimates that the culinary service has huge business potential. Last year, the value was estimated at US$ 160 billion (around Rp. 2,356 trillion at current exchange rates) in Southeast Asia. This number is predicted to increase to US$ 200 billion or nearly Rp 3,000 trillion by 2025.

Through this platform, people can find a variety of catering and pop-up restaurant services from home-based to top-tier restaurants. Service quality and cleanliness factors are Mangan’s main requirements to attract partners. Therefore, when a company or community wants to use catering services and pop up restaurants, it’s available on their website.

Hardi says what makes Mangan different and has no direct competitors in the country is because they only serve B2B customers. “We are a B2B SaaS. We provide a platform that simplifies business processes between institutions and restaurants. If we look closer, most of the other applications are B2C,” added Hardi.

However, Mangan has recently started to explore B2C. Hardi said that they’ve recently launched a B2C marketplace. However, Hardi emphasized that B2B is still Mangan’s main focus.

Funding and target

In terms of finances, Hardi said that Mangan is currently raising a seed funding round. One of the angel investors has already joined, from the top officials of US Foods, a culinary service and distributor company from the US. Mangan will continue to hold this funding round until the end of this year or early next year.

Currently, Mangan has partnered with more than 200 restaurants. Through the funding they are currently raising, Mangan plans to expand its services. One way is to expand coverage in Java. They are currently available in 80 locations. Their target is to be used not only for offices but also for public institutions such as hospitals, schools, and others.

“Our vision is to make it easier for F&B restaurants in Indonesia to accept large orders from institutions without following complex business processes,” Hardi concluded.

To date, all Mangan services are still accessible through their web portal. However, Mangan plans to launch a mobile application for its B2C customers early next year.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Layanan “Mangan” Hubungkan Restoran dengan Korporasi

Rasanya sudah tak terhitung startup yang mencoba peruntungannya dengan menjamah dunia kuliner. Berbagai startup dengan pendekatan dan model bisnis yang beragam telah bermunculan di Indonesia. Paling anyar adalah Mangan yang ingin mencicipi lezatnya cuan dari dunia kuliner.

PT Teknologi Makan Dimana Saja atau Mangan ini didirikan oleh Hardi Halim dan Hutomo Halim sejak awal 2019. Hardi yang menduduki peran CEO di perusahaan menjelaskan ide bisnis Mangan muncul pertama kali untuk mengatasi kejenuhan karyawan di suatu perusahaan yang bosan dengan menu makan yang itu-itu saja.

Inspirasi itu dipetik oleh Hardi ketika bekerja di sebuah perusahaan logistik di Amerika Serikat. Saban hari di kantin di tempat kerjanya, ia hanya bisa memakan roti lapis dan kopi. Itu pun tersaji di mesin jual otomatis (vending machine). Hardi juga mengetahui ada sejumlah kendala ketika perusahaan ingin memakai jasa katering dari restoran, terutama dalam hal pembayaran. Pengalaman itu mendorong Hardi dan Hutomo membuat platform yang dapat membantu perusahaan menyediakan pilihan makanan yang baik untuk pekerjanya.

“Maka dari itu kami kombinasikan masalah-masalah di perkantoran, komunitas, dan F&B. Maka terbentuklah Mangan yang menghubungkan restoran dan korporasi,” ujar Hardi.

Sebagai platform SaaS

Secara sederhana, Mangan adalah software as a service (SaaS) yang melayani pelanggan secara B2B dengan fokus bidang kuliner. Hardi mengibaratkan platform Mangan tak jauh berbeda seperti AirBnB untuk dunia kuliner. Hardi menegaskan bahwa Mangan tidak memasak atau mengantarkan makanan itu sendiri.

Berdasarkan data yang mereka himpun, Mangan memperkirakan potensi bisnis dari jasa kuliner ini begitu besar. Untuk tahun lalu saja nilainya diperkirakan mencapai US$160 miliar (sekitar Rp2.356 triliun dengan kurs saat ini) untuk seluruh Asia Tenggara. Angka itu diprediksi naik menjadi US$200 miliar atau hampir Rp3.000 triliun pada 2025.

Melalui platform ini orang-orang bisa menemukan beragam jasa katering dan pop up restaurant mulai dari yang kelasnya rumahan hingga restoran bereputasi besar. Faktor kualitas pelayanan dan kebersihan jadi syarat utama Mangan untuk menjaring mitra. Jadi jika suatu saat ada perusahaan atau komunitas yang ingin memakai jasa penyedia katering dan pop up restaurant cukup mencarinya di situs web mereka.

Karena hanya melayani pelanggan B2B inilah yang menurut Hardi membuat Mangan berbeda dan tidak punya kompetitor langsung di Tanah Air. “Kami masuknya B2B SaaS. Kami menyediakan platform yang mempermudah proses bisnis process antara institusi dan restoran. Aplikasi-aplikasi lain itu kebanyakan B2C, kalau kami ke perusahaannya,” imbuh Hardi.

Kendati demikian baru-baru ini Mangan juga mulai merambah B2C. Hardi mengungkapkan belum lama ini pihaknya meluncurkan B2C marketplace. Namun Hardi menegaskan bahwa B2B masih menjadi fokus utama Mangan.

Pendanaan dan target

Secara finansial, Hardi mengakui Mangan saat ini sedang menggalang putaran pendanaan awal. Salah satu investor yang sudah bergabung adalah angel investor dari salah satu petinggi US Foods, perusahaan distributor dan layanan kuliner asal AS. Mangan masih akan terus menggelar babak pendanaan ini hingga akhir tahun ini atau awal tahun depan.

Saat ini Mangan sudah menggandeng lebih dari 200 restoran. Lewat pendanaan yang sedang mereka galang, Mangan berencana memperluas dan memperbesar layanan mereka. Salah satunya adalah dengan ekspansi ke lebih banyak wilayah di pulau Jawa. Sejauh ini Mangan sudah memiliki 80 lokasi pelayanan. Mereka juga menargetkan bisa dipakai tak hanya perkantoran tapi juga institusi umum seperti rumah sakit, sekolah, dan lainnya.

“Visi kami untuk bisa mempermudah F&B restoran di Indonesia untuk bisa menerima pesanan besar dari institusi tanpa mengikuti proses bisnis yang kompleks,” pungkas Hardi.

Sampai hari ini semua layanan Mangan masih hanya bisa diakses melalui portal web mereka. Namun Mangan berencana meluncurkan aplikasi mobile untuk pelanggan B2C mereka pada awal tahun depan.

Cooklab Jajakan Bahan Makanan Siap Masak Lewat Aplikasi Digital

Meskipun pertumbuhan plaform penyedia bahan makanan “ready to cook” sempat mengalami penurunan kuantitas selama beberapa tahun terakhir, namun tidak menyurutkan minat penggiat startup untuk menyediakan layanan serupa.

Nama BlackGarlic sempat familiar beberapa tahun lalu di kalangan pecinta kuliner, namun saat ini platform tersebut sudah tidak lagi beroperasi. BerryKitchen yang juga menawarkan layanan serupa dan katering online sejak tahun 2012, lalu diakuisisi oleh Yummy Corp tahun 2019. Kini adalah startup baru yang coba bermain di sana, namanya adalah Cooklab.

Kepada Dailysocial, Kartika Baswara (co-founder) menerangkan, platform Cooklab yang didirikannya bersama rekannya, Clarence Eldy, memiliki model bisnis yang terletak pada penjualan paket masak melalui kanal e-commerce dan aplikasi. Paket masak yang dijual sudah termasuk bahan sesuai takaran, menu card, dan juga video resep. Ke depannya, mereka ingin mengeksplorasi kesempatan bekerja sama dengan penyedia bahan masak lokal, untuk membuat menu kolaborasi.

“Saya dan partner sudah memulai bisnis di bidang fresh product sejak Oktober 2019. Pada saat itu, kami menyuplai sayur dan buah ke restoran dan kafe di Bali. Semua sourcing-nya kami dapatkan dari petani lokal, dan sampai akhirnya bulan Maret 2020, kami berhasil bekerja sama dengan lebih dari 10 restoran dan 150 petani sebagai mitra,” kata Kartika.

Pandemi dan dampaknya untuk bisnis

Saat pandemi, Cooklab kemudian mulai melancarkan aksi strategis dengan melakukan pivot. Menyadari bahwa tidak bisa meneruskan menyuplai ke restoran seperti biasanya akibat terdampak efek pandemi, mereka kemudian melihat tren masak di rumah yang cukup meningkat selama masa karantina mandiri.

“Kami berpikir bahwa akan sangat memudahkan ya, kalau orang mau masak tapi semua kebutuhan sudah menjadi satu paket. Karena sudah sesuai takaran, jadi tidak ada yang tersisa. Dari sana, kami memulai untuk membuka cabang di Surabaya pada bulan Agustus, dan ekspansi ke Jakarta pada bulan Oktober ini. Cooklab sendiri memiliki kantor pusat di Jakarta,” kata Kartika.

Langkah tersebut ternyata memberikan hasil yang positif. Ia mengklaim saat ini mengalami pertumbuhan bisnis yang sangat pesat di Surabaya. Salah satu alasannya adalah, karena belum banyak pemain (startup digital F&B) masuk ke pasar Surabaya. Sehingga masyarakat di sana tertarik untuk mencoba.

“Menariknya pada saat itu, DM Instagram kami lumayan banyak dipenuhi oleh orang Jakarta yang juga ingin mencoba. Karena hal tersebut, kami memutuskan untuk buka cabang di Jakarta lebih awal dari rencana semula yaitu bulan Januari 2021,” kata Kartika.

Untuk pelanggan di Surabaya, terdapat sekitar 85 pengguna yang sudah mencoba produk Cooklab untuk 2 bulan terakhir. Sementara untuk untuk di Jakarta, karena belum diluncurkan, masih seputar teman dan keluarga saja pelanggannya. Setiap pengguna Cooklab mencatat, biasanya berjumlah antara 2-3 pesanan. Kisarannya sekitar 220 paket masak yang sudah terjual di Surabaya.

Rencana penggalangan dana

Tim Cooklab
Tim Cooklab

Disinggung apa yang membedakan Cooklab dengan pemain serupa lainnya, Kartika menegaskan, Cooklab menyediakan paket masak yang sudah sesuai takaran sehingga membuat penggunanya bisa masak tanpa ada waste. Cooklab juga memiliki video masak yang didemokan langsung oleh juru masak profesional.

Saat ini mereka masih berupaya fokus kepada “survival mode” atau mengakali agar bisnis bisa bertahan. Selain menyukseskan ekspansi, target selanjutnya adalah memulai kegiatan penggalangan dana di pertengahan bulan November 2020 mendatang.

“Pasti kami merasakan lebih banyak orang yang berhati-hati dalam berinvestasi, dan itu wajar. Namun, kami tetap optimis untuk bisa menutup fundraising di akhir Januari 2021 sebagai seed round kami,” kata Kartika.

Application Information Will Show Up Here

Filosofi Startup “New Economy”: “Growth” Bukan Segalanya

Startup new retail yang berkonsep direct-to-consumer (DTC) bisa dikatakan menjadi sorotan di mata investor selama beberapa tahun terakhir karena punya proposisi yang menarik dalam memanfaatkan alat-alat teknologi yang ada ke dalam proses bisnisnya, entah seluruhnya atau sebagian, untuk mendongkrak penjualan.

Mereka efisien karena memotong rantai penjualan ke kanal digital, ketimbang membuka gerai offline sendiri. Alhasil harga yang dijual jauh lebih kompetitif dari brand yang sudah besar, dengan sejumlah diferensiasi lainnya yang dikuatkan seperti bahan-bahan yang diproduksi ramah lingkungan dan baik untuk menjaga kesehatan.

Menarik untuk disorot bagaimana mereka menerapkan konsep growth yang eksponensial dengan bakar duit seperti yang dilakukan oleh startup kebanyakan. Gorry Holdings, Greenly, dan Pura bersedia berbagi pandangannya terhadap hal tersebut kepada DailySocial.

Ketiganya termasuk startup yang tumbuh hijau di tengah pandemi ini karena fokus kepada industri wellness dengan mengonsumsi gaya hidup sehat.

Growth penting, tapi bukan segalanya

Co-Founder & CEO Gorry Holdings Herry Budiman mengatakan growth adalah komponen penting buat perusahaannya, tapi bukan jadi segalanya. Perusahaan mengombinasikan growth dengan strategi keberlanjutan agar Gorry Holdings tetap membawa profit.

“Kita lebih balance. Growth harus ada tapi tetap memerhatikan aspek sustainability dan profit. Mungkin kita dibandingkan perusahaan lainnya, menerima fund [pendanaan dari investor] yang lebih sedikit, tapi kita bisa memberikan ekspektasi lebih tinggi untuk mereka,” terangnya kepada DailySocial.

(ki-ka) founder dari Gorry Holdings Herry Budiman dan William Susilo / Gorry Holdings
(ki-ka) founder dari Gorry Holdings Herry Budiman dan William Susilo / Gorry Holdings

Implikasi dari pemilihan strategi ini, buat sebagian  investor jadi abu-abu. Umumnya investor punya goal lain untuk menjual portofolionya ke investor lain saat portofolio tersebut melakukan penggalangan dana. Metriks yang biasanya dipakai investor adalah growth yang dimiliki si portofolio tersebut. Semakin eksponensial angkanya maka akan semakin “menjual”.

“Gorry tiap tahun selalu ada growth, tapi memang growth kami ini tidak eksponensial karena dana kita itu terbatas. Tapi ini lebih baik sebab kami sudah punya monetisasi lewat app dan membuat perusahaan tetap sustain sampai sekarang.”

Bagi Gorry sendiri, dengan penerapan strategi yang berimbang ini perusahaan dapat mempertahankan konsumen, dengan tingkat retensi yang diklaim lebih baik dari kompetitor. Herry menjelaskan, sebanyak 80% konsumen yang ada saat ini adalah recurring consumer yang berjumlah ratusan ribu orang yang mayoritas tersebar di Jakarta dan Tangerang. Biaya operasional terbilang cukup rendah karena perusahaan mengoperasikan dapur sendiri, meski belum masuk ke cloud kitchen.

Pendapat yang sama dikemukakan Co-Founder Greenly Edrick Joe Soetanto. Mengejar growth adalah suatu keharusan, tapi harus dilakukan dengan bertanggung jawab. Pendanaan yang diterima perusahaan hanya diinvestasikan untuk kebutuhan pengembangan bisnis, seperti ekspansi.

Edrick menekankan, semangat Greenly adalah mendemokratisasikan makanan sehat yang mudah dicari dengan harga terjangkau, sama seperti kondisi saat ini yang mudah mencari makanan cepat saji. Makanan sehat seharusnya bukan dikonsumsi sesekali saat berkunjung ke mal, tapi di mana saja konsumen berada.

Untuk membentuk kebiasaan tersebut, Greenly membentuk operasional cloud kitchen, baik bekerja sama dengan Grab Kitchen, maupun mengoperasikan sendiri di Surabaya, Malang, dan Bali.

Gerai offline diposisikan sebagai channel penjualan saja, karena semua makanan diproses terpusat di cloud kitchen. Secara total, Greenly memiliki 10 cloud kitchen dan tiga gerai offline.

Sumber: Greenly
Sumber: Greenly

“Model bisnis yang dijalankan sekarang sesuai dengan hipotesis awal bahwa kita ingin menjadikan makanan sehat ini bukan jadi leisure meals, melainkan makanan keseharian bisa dipesan online. Untuk itu, kita menjalankannya dengan konsep new retail. Kita ada offline store tapi hanya untuk serving, tidak ada dapur karena semuanya terpusat di cloud kitchen.”

Dengan metode ini, Edrick mengaku brand exposure Greenly, baik online maupun offline, mampu memainkan perannya masing-masing dengan baik. Bisnis pun lebih efisien dan lincah untuk berekspansi ke lokasi baru, maupun mengembangkan menu baru.

Kelebihan ini juga ikut terasa saat pandemi yang masih berlangsung hingga kini. Kendati penjualan offline turun, namun keuangan perusahaan tetap terjaga dalam level yang aman karena terdorong oleh penjualan online.

Co-Founder dan Marketing Strategist PURA Monica Liando sependapat dengan dua narasumber sebelumnya. Perusahaan menganggap growth adalah sesuatu yang pasti bakal mengiringi perjalanannya kalau memiliki solusi yang menjawab apa yang dicari konsumen.

“Kita lebih consumer-based kita lihat konsumen ini butuh apa, lalu apa pain problem-nya, dari situ kita jawab dengan solusi. Kita percaya bahwa ketika kita tahu apa yang kita lakukan ini [sesuai dengan kebutuhan], maka growth pasti akan mengikuti,” kata Monica.

Startup dari Surabaya ini berdiri pada 2017 dengan berbekal pengalaman pribadinya bahwa di Indonesia sulit untuk mencari produk bumbu masakan 100% alami tanpa perasa buatan dengan harga terjangkau. Perusahaan memanfaatkan kanal digital, seperti reseller online, pada pertama kali beroperasi.

Berkat pemasaran dari mulut ke mulut, PURA berkembang hingga sekarang memiliki situs e-commerce sendiri yang memasarkan enam bumbu yang diproduksi sendiri. Bahkan sejak tahun lalu PURA bisa dijangkau secara offline di toko swalayan.

“Sedari awal kita lihat arahnya adalah [memasarkan] online karena untuk menggapai lebih banyak konsumen lebih mudah dari situ. Hingga sekarang kami belum memiliki toko sendiri.”

Sumber: PURA
Sumber: PURA

Emban misi lain

Ketiga perusahaan ini tidak hanya fokus membangun bisnis yang bisa cetak untung saja, tapi juga menggotong misi lain yakni mengedukasi untuk meningkatkan kesadaran gaya hidup sehat jadi suatu kebiasaan. Dalam membentuk kebiasaan tersebut tentu pada awal-awal mereka beroperasi tidaklah mudah.

Sumber: Gorry Holdings
Sumber: Gorry Holdings

Herry menceritakan pada awal Gorry Holdings dirintis, bisnis pertama yang digeluti adalah Gorry Gourmet. Mereka sempat membuat survei mini terhadap 3 ribu responden di seluruh Indonesia untuk membuktikan hipotesisnya. Kesimpulan yang didapat adalah responden punya keinginan untuk hidup lebih sehat, tapi mereka tidak tahu cara memulainya dari mana.

“Mereka ada yang menjawab mulai dari olahraga, tapi apparently bukan [itu jawabannya], tapi dari pola makan dan belum tentu langsung mencari katering sehat. Makanya solusi dari kami adalah bantu orang define goals mereka. Setelah ketemu baru kita beri rekomendasi solusi apa yang bisa kita berikan.”

Herry melanjutkan, “Dari awal kita believe, apa yang sehat menurut kamu belum tentu sehat menurut orang lain. Kita bantu orang achieve goals mereka dan guide mereka, bukan sekadar diet saja. Dari situ kita baru menawarkan layanan katering. Monetisasi kita langsung dari situ dan it works karena barrier orang untuk mulai berlangganan katering lebih kecil daripada bayar gym.”

Bisa dikatakan Gorry Gourmet adalah jalur perusahaan dalam mengidentifikasi konsumennya dan mencari tahu kebutuhan lainnya yang bisa dikembangkan. Selang empat tahun kemudian, aplikasi GorryWell dirintis sekaligus mengukuhkan misi Gorry dari awal sebagai perusahaan wellness.

Aplikasi ini berisi beragam fitur wellness seperti analisa gaya hidup, panduan gaya hidup sehat, rekomendasi makanan sehat terdekat, resep makanan. Fitur teranyar yang baru dirilis pada awal bulan ini adalah Gorry Mart, platform e-commerce produk makanan dan minuman sehat.

Aplikasi Gorry Well / Gorry Holdings
Aplikasi Gorry Well / Gorry Holdings

“Kita sebisa mungkin menjauhkan orang agar tidak sakit. Aplikasi ini bisa mengakomodasi kebutuhan tersebut, sudah dipakai untuk korporat buat para karyawannya. Mereka bisa lihat stress level karyawannya sejauh apa, penyakit apa yang paling banyak diderita, dari situ mereka bisa mengalokasikan budget-nya ke spending yang lebih terarah. Terbukti pula klaim asuransinya turun hingga 20%.”

Dalam waktu dekat, Gorry akan melengkapi fitur di GorryWell dengan wellness coach. Menurut pengakuan Herry, selama pandemi ini level stres meningkat karena harus selalu berada di rumah, bahkan berujung perceraian. Pihaknya akan menghubungkan konsumennya dengan para psikolog untuk berkonsultasi secara online.

“Banyak solusi wellness yang solusinya tidak bisa dipecahkan dengan makanan sehat. Wellness coach rencana awalnya mau kami rilis tidak dalam tahun ini, namun melihat kondisi sekarang akhirnya kami percepat.”

Keseriusan Gorry Holdings juga dibuktikan dengan mengantongi sertifikat HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) dan ISO 22000:2005 untuk sistem keamanan pangan.

Dari sisi Greenly, agar konsumen familiar dengan semangat demokratisasi makanan sehat, Greenly memutuskan untuk memadukan tren di global dengan melokalkannya ke lidah orang Indonesia.

“Kita enggak bisa langsung copy paste, perlu adjust. Makanan sehat apa yang masih bisa diterima, akhirnya kita pilih salad karena di Indonesia ada juga gado-gado yang mirip dengan itu.”

Pengembangan variasi menu terus dilakukan agar konsumen semakin familiar dengan makanan sehat. Misalnya, tim Greenly mengembangkan variasi salad dalam bentuk wrap yang menyerupai kebab. Lalu menu minuman boba tapi terbuat non dairy, dengan mengambil dari susu almond atau susu gandum yang lebih sehat.

Sumber: Greenly
Sumber: Greenly

Bahan-bahan yang dipakai Greenly untuk membuat seluruh menu tersebut dilakukan secara internal, berkat salah satu co-founder-nya berlatar belakang ahli nutrisi. Harga produk yang dijual Greenly berkisar Rp30-40 ribu.

“Kita semuanya lakukan in-house, sehingga cost bisa ditekan rendah dan pemasarannya secara online. Biaya overhead-nya jadi ringan dan kami bisa berikan savings-nya ke konsumen.”

PURA juga tidak main-main dalam keseriusannya bermain di industri wellness ini. Sama seperti Gorry Holdings, Monica menuturkan perusahaan telah memperoleh sertifikasi HACCP dan ISO 22000:2005, tujuannya untuk memastikan bahan-bahan yang dipakai itu benar-benar alami dan aman untuk dikonsumsi. “Karena banyak konsumen PURA adalah ibu-ibu yang membeli PURA untuk anak-anaknya.”

Seluruh produk PURA dikembangkan secara internal dan proses manufakturnya secara eksklusif telah teken kontrak eksklusif dengan salah satu pemain yang piawai di bidangnya. Fokus perusahaan pada saat ini adalah memperbanyak variasi bumbu-bumbu agar konsumen semakin banyak pilihan.

“Target jangka panjang kami pada 5-8 tahun ke depan bisa masuk ke pasar ASEAN dan kita percaya kalau pakai kemampuan sendiri ini akan butuh waktu lama. Oleh karena itu mulai dari sekarang kami mulai mempersiapkan untuk rencana funding,” tutupnya.

Lewat Media Sosial dan Situs Web, Kanva Tingkatkan Peluang Pangsa Pasar Produk Dekorasi Rumah

Mengusung konsep direct to consumer (DTC), platform yang menyediakan keperluan dekorasi rumah Kanva didirikan oleh Andi Kurniaty (Nuny) tahun 2015. Selain konsep DTC, Kanva juga memiliki beberapa proyek khusus dengan beberapa korporasi (B2B).

“Seluruh produk Kanva is proudly made in Indonesia dengan pengrajin kita dari beberapa pelosok Indonesia. Tujuannya adalah bagaimana menghadirkan kualitas produk lokal bisa bersaing,” kata Nuny.

Saat ini Kanva telah memiliki sekitar 6 pengrajin yang tersebar di beberapa tempat seperti Jakarta, Cianjur, Jepara, dan Solo. Produk awal Kanva sendiri adalah produk custom wall decor/canvas print dengan sistem pre-order.

“Semua berawal dari media sosial sampai akhirnya bisa memiliki situs web sendiri,”kata Nuny.

Untuk memudahkan transaksi, sejumlah opsi pembayaran sudah disediakan meliputi via bank transfer, kartu kredit, dan payment gateway Midtrans.

Bermarkas di Jakarta, saat ini pelanggan yang dilayani bukan hanya datang dari Jawa, Kanva juga telah menerima beberapa pesanan dari Bangka Belitung, Goronalo, hingga Papua. Baru-baru ini produk Kanva juga sudah tersedia di Singapura dan Malaysia, melalui kerja sama dan kolaborasi dengan salah satu e-commerce di negara tersebut.

Masih menjalankan bisnis secara bootstraping, Kanva saat ini terus membuka kolaborasi dengan investor yang memiliki kesamaan visi untuk mendukung bisnisnya.

“Untuk saat ini masih dalam fase bootstraping tetapi ada beberapa investor yang telah menghubungi Kanva. Semoga ke depan, dengan membaiknya perekonomian, Kanva bisa berkembang lebih baik lagi,” kata Nuny.

Startup yang menawarkan consumer product dengan konsep direct to consumer sebelumnya sudah banyak bermunculan. Khususnya mereka yang mulai menerapkan teknologi untuk optimasi bisnis. Mulai dari produk kecantikan Base, SYCA, Amazara dan MENA Indonesia.

Pandemi dorong pertumbuhan usaha

Saat pandemi, Kanva melihat kondisi ini sebagai peluang besar untuk semakin melebarkan sayapnya. Di masa yang dianggap serba sulit ini, pihaknya justru berusaha all out memperbesar pangsa pasar, memperluas rangkaian produk, dan meningkatkan volume penjualan. Work From Home ditranslasikan Kanva menjadi peluang cemerlang. Pasalnya rumah merupakan ‘area bermain’ Kanva.

Menurut Nuny, kembali ke rumah adalah momentum yang harus dielaborasi dengan baik. Perusahaan mengklaim penjualan beberapa produk dekorasi rumah ini justru meningkat pesat. Besaran kenaikannya terhitung signifikan, yaitu mencapai 200% di semester pertama 2020.

“Pada saat awal pandemi, kami sangat khawatir ini akan memberikan impact yang berat kepada kami. Tapi dengan kondisi #dirumahaja ini, ternyata banyak orang yang mulai menata dan menghias rumahnya sehigga menjadikan Kanva sebagai salah destinasi mereka. Kenaikan signifikan untuk sales kami juga terasa, karena dimasa pandemi ini saat orang tidak bisa bertemu, banyak yang saling kirim mengirim gift dalam rangka hari spesial seperti wedding, birthday, dan house warming,” kata Nuny.

Kanva juga mengadakan berbagai webinar melalui platform Instagram Live. Hal ini dilakukan tidak semata-mata untuk menaikkan engagement, tetapi juga menjadi platform informasi bagi para pengikutnya. Di tengah pandemi, Kanva juga menggandeng beberapa bisnis lokal lainnya untuk berkolaborasi baik secara digital, maupun menghasilkan produk kolaborasi.

“Tidak dimungkiri kami pun senang sekali bisa membantu para pelaku bisnis lokal lainnya. Sebagai bisnis lokal yang relatif masih kecil, kita mau mengajak teman-teman lainnya untuk bahu-membahu saling menyelamatkan, setidaknya selama pandemi ini. Ke depannya juga, kami berharap bisa lebih bermanfaat lagi bagi lingkungan, bagi sesama, dan besar harapan kami untuk juga bisa membantu mengurangi angka pengangguran,” tutup Nuny.

Layanan Cetak Foto ID Photobook Berhasil Jaga Pertumbuhan Bisnis Melalui Pemasaran Digital

Didirikan pada tahun 2016, platform yang membantu pengguna untuk mencetak foto yang diambil dan disimpan di ponsel mereka, ID Photobook, saat ini mengklaim terus mengalami pertumbuhan bisnis positif.

Kepada DailySocial, CEO ID Photobook Rowdy Fatha mengungkapkan, hingga saat ini perusahaan terus tumbuh dengan menawarkan cara mudah mecetak foto melalui aplikasi. Bukan hanya di Jakarta, usaha yang bermarkas di Yogyakarta ini juga sudah memiliki market share yang cukup besar di Jawa dan Bali.

“Empat tahun lalu, Afrig Wasiso pendiri ID Photobook sering mendengar orang-orang di sekelilingnya mengeluh karena kehilangan ratusan foto di handphone cuma karena memori eksternal rusak atau tidak sengaja terhapus. Mungkin, sampai sekarang pun hal ini masih sering terjadi. Akhirnya, diciptakanlah satu ide bisnis solutif, platform cetak foto yang gampang tapi affordable dengan segmen keluarga Indonesia,” kata Rowdy.

Salah satu kunci sukses yang diterapkan oleh ID Photobook yang masih menjalankan bisnis secara bootstrapping adalah, dengan melancarkan kegiatan pemasaran secara digital. Berbagai promo dan kegiatan akuisisi pelanggan dilakukan, memanfaatkan akun media sosial Facebook dan Instagram.

Langkah strategis tersebut ternyata mampu menciptakan engagement yang baik dan meluas kepada target pengguna. Facebook pun kemudian memilih ID Photobook sebagai salah satu brand yang memiliki engagement terbesar di Facebook tahun 2019 lalu, mengalahkan Gojek.

“Tujuan ID Photobook adalah satu, menjadi solusi dan sahabat untuk keluarga Indonesia bisa mengabadikan momen terbaik dan menikmatinya di album fisik berkualitas. Sehingga, kenangan dan momennya bisa dikenang selamanya,” kata Rowdy.

Selain ID Photobook platform serupa yang juga sudah hadir di Indonesia adalah Printerous dan Sweet Escape, namun keduanya tidak fokus sepenuhnya ke jasa pencetakan foto.

Misi sosial perusahaan

Selain bisa diakses di aplikasi, ID Photobook juga memanfaatkan kanal marketplace seperti Tokopedia dan Shopee untuk pemasaran dan penjualan. Saat ini ID Photobook telah memiliki sekitar 400-500 pengguna aktif per harinya. Disinggung seperti apa bisnis perusahaan selama pandemi, secara umum cukup stabil karena masih mencatat batas normal omzet perusahaan.

Untuk melancarkan misi sosial, perusahaan sekitar akhir September 2020 mendatang akan meluncurkan program afiliasi yang bisa dimanfaatkan oleh mereka yang terkena PHK atau pemotongan gaji selama pandemi. Mengedepankan konsep serupa dengan influencer, mereka yang tertarik bisa mempromosikan ID Photobook melalui akun media sosial mereka.

Setiap transaksi yang berhasil mereka datangkan akan diberikan komisi bagi hasil oleh ID Photobook. Disediakan pula aset digital berupa copywriting dan lainnya yang bisa diunggah di akun media sosial mereka.

“Kami akan fokus untuk ekspansi bisnis kami melalui channel digital dan model bisnis afiliasi sekaligus meningkatkan kepuasan pelanggan kami. Saat ini kita belum berencana untuk melakukan penggalangan dana,” kata Rowdy.

Application Information Will Show Up Here

Cerita Tazbiya, Optimalkan Kanal Digital Kembangkan Brand Produk Busana Muslim

Meskipun sempat mengalami penurunan traksi saat awal menyebarnya Covid-19, namun saat ini penjualan produk fesyen baik online maupu offline sudah kembali menunjukkan peningkatan. Termasuk bagi Tazbiya Brands, sempat mengalami kendala saat pandemi, kini kembali menjalankan bisnis secara normal.

Founder Tazbiya Brands Ferdinand Aliwarga bercerita, bisnisnya mengedepankan konsep online to offline (O2O) dan direct to consumer (D2C). Bermula dari toko kecil di kawasan ITC Kuningan.

“Waktu itu kami jual macam-macam produk. Mulai dari gamis, daster, sampai terakhir kami mencoba menjual mukena motif. Ternyata mukena motif banyak peminatnya. Dan setelah riset pasar, ternyata untuk mukena, belum ada brand yang dominan di Indonesia. Jadi kami memutuskan untuk mulai serius je sana, dengan kanal penjualan offline maupun online,” kata Ferdinand.

Seiring berjalannya waktu, kini Tazbiya Brands telah menambah varian brand, seperti Oriana Homewear untuk baju sehari-hari, Baneska Official untuk fast fashion muslimah, Taruni Indonesia untuk batik anak muda, dan masih ada beberapa brand lainnya.

Tazbiya Brands melihat pasar fesyen di Indonesia masih sangat segmented. Akhirnya perusahaan mencoba secara perlahan untuk membuat brand baru. Terutama untuk kategori di pasar yang hingga kini belum terlayani dengan baik.

Ekspansi lewat e-commerce

Tim dan jajaran manajemen Tazbiya Brands
Tim dan jajaran manajemen Tazbiya Brands

Untuk setiap brand dalam naungan Tazbiya, target pasar dan kegiatan pemasaran yang dilancarkan juga berbeda. Sehingga tidak semua dipatok rata, tidak semua dioptimalkan lewat e-commerce. Contohnya adalah brand Baneska, yang memiliki target pasar ibu rumah tangga yang belum terbiasa berbelanja melalui layanan e-ecommerce.

“Untuk memudahkan mereka melakukan transaksi, 90% dari pembeliannya adalah transaksi dengan cara COD (cash on delivery) yang dilakukan melalui landing page khusus kemudian diarahkan langsung melalui WhatsApp,” kata Ferdinand.

Selain bisa diakses di website, Tazbiya Brands juga memanfaatkan channel official store di layanan marketplace terkemuka. Mulai dari Shopee, Tokopedia hingga Lazada. Sementara itu untuk produk yang harganya premium, perusahaan menjual produk tersebut melalui website sendiri dan hanya bekerja sama dengan Zalora.

“Rencananya tahun ini kami juga akan meluncurkan 2 brand baru dalam waktu dekat. Yaitu Aneeska yang berfokus kepada Gamis Syar’i, dan Lizari yang berfokus mukena premium,” kata Ferdinand.

Mereka saat ini telah memiliki sekitar satu juta pelanggan. Untuk pengiriman produk yang dibeli secara online, mereka menjalin kerja sama strategis dengan perusahaan logistik. Sementara untuk pembayaran secara online perusahaan memanfaatkan payment gateway Doku.

Guna mempercepat pertumbuhan bisnis, perusahaan juga memiliki rencana untuk meningkatkan kapasitas gudang dan peningkatan kualitas operasional.

“Kami juga mencoba untuk memperluas pasar ke luar Indonesia. Untuk produk mukena kami sudah menjadi seller kategori Shopee Mall di Malaysia dan Singapura,” kata Ferdinand.

Cerita DapurGo, Startup Katering Online di Yogyakarta

Transformasi digital di era pandemi seperti sekarang ini adalah sebuah kewajiban. Teknologi, selain bisa memudahkan juga bisa mengangkat daya saing sebuah bisnis. DapurGo adalah salah satu yang membuktikannya.

Bermula sebagai bisnis katering “konvensional” pada tahun 2018, DapurGo mulai menerapkan teknologi digital untuk pemesanannya. Implementasi tersebut membuat DapurGo kini mampu mengirimkan 2500 kotak makan siang dan malam setiap harinya untuk melayani pelanggan di wilayah Yogyakarta.

DapurGo adalah startup yang digagas oleh Pirli Wahyu dan Eka Setyawati. Dengan pendanaan awal yang didapatkan dari beberapa investor mereka mulai melakukan peningkatan pengalaman pengguna dan penetrasi pasar agar bisa mendapatkan lebih banyak pengguna.

“Kami sadar saat ini sudah banyak kompetitor sehingga peta persaingan di Industri ini cukup ketat. Namun yang membedakan kami dengan yang lainnya adalah affordability dan quality. Karena kami mencoba memberikan makanan terbaik dengna harga yang tetap ekonomis kepada kalangan mahasiswa dan karyawan kantoran. Kami juga berupaya memberikan customer experience yang baik, dengan memilih membangun dapur dan memiliki kuasa penuh terhadap kualitas makanan yang disajikan,” terang Eka.

Sejak pertama berdiri hingga sekarang, DapurGo beroperasi di wilayah Provinsi Yogyakarta dengan pelanggan yang datang dari kalangan mahasiswa, pekerja kantoran, hingga penghuni indekos. Mereka juga memiliki dapur independen yang berada di daerah Godean, Sleman, dan Yogyakarta.

Digitalisasi untuk mudahkan pengguna

Implementasi teknologi di DapurGo paling terlihat dari sisi kehadiran situs web mereka. Di sana dipaparkan informasi seputar menu, customer service, hingga informasi mengenai promo-promo yang sedang berlaku.

Melayani lebih dari 2000 pengguna DapurGo mengandalkan pilihan menu yang berganti setiap minggunya. Sehingga pelanggan yang mengambil pilihan berlangganan tidak bosan dan tetap mendapatkan makanan yang berkualitas. Untuk saat ini, sebagai bisnis katering DapurGo akan berbagi “kue” dengan bisnis makanan lain yang mulai memanfaatkan teknologi dengan mengandalkan layanan pesan antar dari layanan seperti GoFood maupun GrabFood.

DapurGo sendiri memilih menggunakan pengantaran pribadi untuk lebih melakukan efisiensi. Sehingga makanan yang di antar bisa tepat waktu (untuk makan siang dan makan malam) dan kualitas makanan yang diantarkan tetap terjaga.

Sebelumnya, di Yogyakarta untuk pasar katering online atau layanan pesan antar juga ada makandiantar.com. Waktu itu (medio 2014-2015) karena pasar dianggap masih sepi, mereka memutuskan untuk “boyongan” ke Jakarta dengan nama Kulina, dan hingga sekarang masih eksis sebagai salah satu layanan katering online. Selain itu sempat ada nama-nama seperti owl-kitchen (layanan sudah tidak bisa diakses) dan PesanSaja (berubah menjadi layanan COD untuk oleh-oleh).

Pasar makanan dulu dan sekarang tentu berbeda. Budaya yang ditumbuhkan oleh GoFood dan GrabFood tidak bisa dimungkiri menjadi salah satu faktornya. Masyarakat sekarang jadi lebih percaya dan beberapa nyaman dengan membeli makanan via online. Belum lagi integrasi dengan berbagai macam pilihan pembayaran tentu menjadi salah keunggulan dalam bertransaksi.

“Tantangan yang kami hadapi saat ini ialah lokasi dapur kami yang berada di lokasi pemukiman serta agak sedikit jauh dari perkotaan, sehingga setiap harinya kami perlu menghitung dan memprediksi waktu tempuh kurir tiba di lokasi pengantaran tepat waktu agar makanan yang disajikan tetap fresh sehingga enak untuk disantap. Selebihnya masih relatif sama seperti halnya perusahaan rintisan lainnya dalam menjalankan bisnisnya,” lanjut Eka.

Kini dengan pengalamannya dan apa yang telah dicapai selama ini DapurGo berencana untuk melakukan penggalangan dana baru untuk bisa mendukung rencana mereka melakukan penambahan dapur baru di titik strategis di Yogyakarta dan ekspansi ke pasar baru seperti Jakarta, Banten, dan sekitarnya.

Jago Coffee Presents A New Breakthrough in the Coffee Industry With “Mobile Cafe Chain” Concept

Coffee has now become a lifestyle for Indonesian people, not just a drink to keep you awake. Even though this segment has diverse players, there are still some gaps to be explored, as what Jago Coffee‘s working on.

The startup was founded by Yoshua Tanu (CEO) and Christopher Laurence Oentojo (CTO). Yoshua alone is a barista and business owner of the St. Ali coffee and Common Grounds Coffee Roastery, while Christopher was ex-Gojek’s VP of Product.

Yoshua told DailySocial, the reason behind the mobile coffee chain concept is actually to bring coffee closer to consumers without having to visit a coffee shop or wait for online order. He said, online courier makes it easier for people to order coffee, however, the high-quality coffee might be at stake on the way.

“We want to offer high-quality coffee freshly made by personal baristas who come directly to consumers. With a cheaper price, we use high-quality ingredients, direct trading from local coffee farmers, we use Arabica coffee, fresh milk, and no canned products,” he explained, Thursday (13/8).

Jago coffee order is a whole digital experience through the application and connected to Gopay digital wallet for payment. The application will directly connect the closest Jago partner device from the consumer’s location.

Partners will go to the location and prepare orders on the spot and deliver them, therefore, consumers don’t have to visit the cafe. Some menu is available at IDR 18 thousand, from “So So Good” or iced coffee with milk, “Tanah Airku” a.k.a a brew of cold coffee with a little cinnamon, “Something Fresh” or hot black coffee, and “Something Fruity” filled with hot black coffee with a fruity taste.

UI/UX Aplikasi Jago Coffee / Jago Coffee
Jago Coffee App UI/UX / Jago Coffee

Empowering micro business

Another mission Yoshua aims to deliver is to empower micro-entrepreneurs to own their own businesses by becoming Jago partners. They are trained to be professional baristas as well as business owners.

Before going to the field, the partners will be trained for two weeks to learn soft skills to hard skills to serve consumers, how to brew coffee, and practice riding the bicycle itself. The reason is, Jago uses electric bikes for partner vehicles to meet consumers.

For every bicycle unit, partners can sell up to 125 cups with a distance of up to 35 km. This bike comes from a partnership between the company and an electric bicycle developer.

“We created this partnership program based on aspirations coming from the barista association members that they want to have their own shop. However, it will be difficult if there is no ‘name’ for marketing. Then, we introduce them to micro business owners.”

In addition, he wants to promote “cart” micro-entrepreneurs as the perception that they come from the lower economic circles. He said, they are quite confident that Jago’s coffee products are of high quality and are connected to technology.

Yoshua said partners who want to join are free of charge. They will get a starter kit to start a business worth IDR 4 million, consisting of a set of manual brewing tools (electric kettle, V60 plastic dripper, range server, digital scale, and paper filter); bicycle helmet; sling bag; microfiber cloth and plas chamois; and jackets.

All starter kits will be proprietary with an installment scheme of 12 months. Meanwhile, electric bikes will be lent as long as they’re listed as Jago’s partner. Jago will provide coffee beverage products for sale by partners and the company will get a fee for each successful sale.

“Currently we have 14 Jago partners with a radius of 8 km from Kuningan, Jakarta which can reach Pondok Indah, the North area, to Monas.”

Plans and challenges

Jago Coffee offers quite a “fresh” concept from what most coffee shop players offer. They generally rely on physical assets to bring them closer to consumers and open online stores or applications for online courier delivery. Meanwhile, Jago chose the mobile outlet concept to make it easier to reach consumers.

“We can sell at low prices because we don’t have overhead costs, labor costs because the partner is the owner and operator. They are self-employed.”

Yoshua said, since this is quite new, the company’s challenge is to educate consumers, even though the products are delivered by “modern carts” but the quality of the coffee is fresh and of high quality. Also supported by digital applications for the backbone.

The company plans to continue adding partners with targeting five people per month. He did not want it to be very aggressive to maintain the amount of supply and demand. The menu development will not be limited to coffee variations, but will spread to foods, such as snacks.

As an entity, Jago Coffee has received an undisclosed amount of investment from Common Grounds, a company where Yoshua leads. It creates the possibility of external funding next year.

“It is just an investment, Common Grounds as an investor, each entity stands alone,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian