Nimo TV Bakal Siarkan Konten Wild Rift, Pengiriman Monster Hunter Rise Tembus 4 Juta Unit

Dalam sepekan terakhir, ada beberapa berita menarik yang muncul di dunia game dan esports. Sebagian merupakan berita baik, sebagian yang lain berupa berita buruk. Kabar baik datang dari Nimo TV, yang menjalin kerja sama dengan Riot Games. Melalui kerja sama ini, Nimo TV akan menyiarkan konten dari game-game Riot, termasuk Wild Rift. Sementara itu, Nielsen mengungkap bahwa mereka berencana untuk menutup divisi SuperData mereka.

Nimo TV Bakal Siarkan Konten Game-Game Riot

Nimo TV, merek milik platform game streaming Tiongkok Huya, mengumumkan bahwa mereka telah mendapatkan hak siar dari Riot Games di Brasil. Dengan begitu, mereka berhak untuk menayangkan konten serta pertandingan dari game-game Riot, seperti League of Legends, Teamfight Tactics, Valorant, dan Wild Rift. Dua turnamen yang akan Nimo TV siarkan antara lain League of Legends Championship di Brasil dan Valorant Challengers untuk Brasil.

Kerja sama antara Nimo TV dan Riot, yang berlangsung sepanjang 2021, tidak bersifat eksklusif. Hal itu berarti, Riot akan tetap menyiarkan turnamen esports mereka di channel YouTube dan Twitch resmi mereka. Namun, Riot tengah menyiapkan konten eksklusif dari Wild Rift untuk Nimo TV. Pasalnya, Nimo TV memang lebih fokus pada mobile game, lapor The Esports Observer.

Pengiriman Monster Hunter Rise Capai 4 Juta Unit

Capcom mengumumkan, secara global, pengiriman Monster Hunter Rise menembus 4 juta unit. Padahal, game itu baru diluncurkan pada 26 Maret 2021. Besarnya volume pengiriman dari Rise membuktikan bahwa para gamer Switch memang menginginkan game Monster Hunter. Sebagai perbandingan, pengiriman Monster Hunter World — yang diluncurkan untuk Xbox One dan PlayStation 4 — mencapai 5 juta unit, hanya 1 juta unit lebih banyak dari Monster Hunter Rise.

Monster Hunter Rise baru diluncurkan pada akhir Maret 2021 untuk Switch.
Monster Hunter Rise baru diluncurkan pada akhir Maret 2021 untuk Switch.

Kesuksesan dari peluncuran global World memperkuat keyakinan Capcom bahwa Rise juga bisa sukses jika game itu langsung diluncurkan di seluruh dunia. Monster Hunter World adalah game Monster Hunter pertama yang dirilis secara global dan langsung tersedia di Xbox One dan PS4. Sebelum itu, game-game Monster Hunter selalu diluncurkan di Jepang terlebih dulu dan hanya tersedia secara eksklusif untuk konsol PlayStation atau buatan Nintendo, lapor Games Industry.

VSPN Akuisisi Famulei, Perusahaan Manajemen Streamers

Versus Programming Network (VSPN) mengumumkan bahwa mereka telah mengakuisisi perusahaan manajemen streamer asal Tiongkok, Famulei. Sayangnya, tidak diketahui nilai dari akuisisi ini. Satu hal yang pasti, Famulei akan beroperasi secara mandiri di bawah VSPN. Operasi Famulei mencakup manajemen talenta, marketing, licensing, dan e-commerce di sektor esports, hiburan, dan livestreaming. Sejauh ini, mereka telah menjalin kerja sama dengan beberapa organisasi dan pemain esports internasional, seperti Team Liquid, T1, Gen.G, dan Lee “Faker” Sang-hyeok, menurut laporan Esports Insider. Setelah akuisisi ini, VSPN dan Famulei akan fokus pada monetisasi dari influencer dan konten esports.

Nielsen Bakal Tutup Departemen SuperData

Nielsen berencana untuk menutup divisi gaming mereka, SuperData. Alasannya, performa dari divisi itu tidak sesuai harapan. Nielsen mengakuisisi SuperData Research pada akhir 2018. Ketika itu, Nielsen mengungkap, mereka berharap akuisisi ini akan membantu Nielsen Gaming dan Nielsen Esports untuk menghasilkan produk yang lebih berkualitas.

Sementara itu, SuperData menyebutkan, setiap bulan, mereka melacak lebih dari 160 juta gamers secara global. Mereka bisa menyediakan data untuk tim dan liga esports serta pelaku esports lainnya. Namun, Nielsen tetap memutuskan untuk menutup departemen SuperData, seperti yang disebutkan oleh The Esports Observer.

Graffiti Games Mendapatkan Investasi Sebesar US$1,5 Juta

Graffiti Games, publisher game-game indie, mengungkap bahwa mereka telah mendapatkan pendanaan sebesar US$1,5 juta. Dalam wawancara dengan VentureBeat, CEO dan Co-founder Graffiti Games, Alex Josef menyebutkan, nilai perusahaan sekarang mencapai US$4,5 juta, lapor Games Industry.

Blue Fire adalah salah satu game dari Graffiti Games.
Blue Fire adalah salah satu game dari Graffiti Games.

Kucuran dana segar ini akan Graffiti gunakan untuk menambah jumlah pekerja dan mencari proyek-proyek baru. Sepanjang 2020, pemsaukan dari publisher ini naik 10%. Graffiti Games bukan satu-satunya program Josef terkait indie developer. Pada November 2020, dia dan Co-founder Graffiti lainnya, Alex Van Lepp meluncurkan India Game Coach, yaitu jasa konsultasi untuk para developer indie yang bisa didapatkan dengan harga terjangkau atau bahkan gratis.

Nexon Menanamkan US$874 Juta ke Hasbro, Bandai, Konami, dan Sega

Perusahaan game online raksasa, Nexon, baru saja menanamkan investasi sebesar US$874 juta di empat perusahaan ternama, yaitu manufaktur mainan Hasbro serta tiga publisher game: Bandai Namco, Konami, dan Sega Sammy. Keputusan ini diambil setelah dewan Nexon setuju untuk menyuntikkan US$1,5 miliar ke perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang hiburan. Karakteristik perusahaan yang mereka cari adalah perusahaan yang dapat membangun intellectual property yang menarik dan mempertahankannya secara global.

Mengingat Nexon baru mengalokasikan 58% dari total dana yang mereka siapkan, Games Industry menyebutkan, Nexon kemungkinan akan membuat pengumuman investasi baru di masa depan. Nexon menyebutkan, investasi yang mereka berikan bersifat jnagka panjang dan mereka tidak berencana untuk mengakuisisi perusahaan yang menerima pendanaan mereka di masa depan.

Nielsen: Marvel’s Avengers dan Spider-Man: Miles Morales Jadi Game Paling Dinanti

Nielsen merilis laporan tentang game-game yang peluncurannya paling dinanti tahun ini. Tiga game yang paling ditunggu-tunggu tahun ini adalah Marvel’s Avengers, Call of Duty: Black Ops – Cold War, dan Spider-Man: Miles Morales. Laporan Nielsen ini didasarkan pada survei pada lebih dari 6.000 gamers.

Selain pandemi COVID-19, salah satu masalah yang dihadapi oleh publisher game tahun ini adalah tanggal peluncuran PlayStation 5 dan Xbox Series X yang belum pasti. Hal ini membuat para publisher enggan untuk mengumumkan tanggal peluncuran dari game-game baru mereka.

Marvel’s Avengers, game action RPG dari Square Enix, jadi salah satu game yang paling ditunggu-tunggu. Popularitas game ini terdongkrak berkat kesuksesan film Avengers. Namun, popularitas film Avengers juga sempat menjadi senjata makan tuan. Pasalnya, para fans jadi membandingkan game Marvel’s Avengers dengan film Avengers.

Para fans sempat protes karena desain karakter-karakter dalam game tak mirip dengan tampilan dalam film. Square Enix lalu merombak desain para karakter. Selain itu, mereka juga melakukan beta test. Dan sekarang, Nielsen mengungkap, para fans menjadi semakin menanti peluncuran Marvel’s Avengers.

game paling dinanti
Call of Duty: Black Ops – Cold War jadi salah satu game paling dinanti.

Selain Marvel’s Avengers, Call of Duty: Black Ops – Cold War menjadi game yang paling ditunggu-tunggu. Biasanya, Activision merilis game Call of Duty baru pada musim semi atau sekitar April-Juni. Namun, mereka baru mengumumkan Call of Duty: Black Ops – Cold War pada akhir Agustus. Sebagai sub-brand dari Call of Duty, Black Ops sebenarnya tak terlalu populer di kalangan gamer. Namun, banyak orang yang penasaran bagaimana Call of Duty: Black Ops – Cold War akan terintegrasi dengan game battle royale Call of Duty: Warzone.

Beberapa game multiplatform lain yang peluncurannya dinanti antara lain Cyberpunk 2077, Assassin’s Creed: Valhalla, FIFA 21, NBA 2K21, Crash Bandicoot 4: It’s About Time, Star Wars: Squadrons, dan Planet Coaster: Console Edition, menurut laporan VentureBeat.

Sementara itu, salah satu game PC yang paling dinanti adalah World of Warcraft: Shadowland dari Blizzard. Beberapa game PC lain yang juga ditunggu-tunggu adalah Crusader Kings III, Baldur’s Gate III, dan Serious Sam 4. Sayangnya, untuk game-game khusus PlayStation 5, banyak publisher yang belum mengumumkan tanggal peluncuranpasti dari game mereka. Namun, menurut laporan Nielsen, ada tiga game PS5 yang paling dinanti, yaitu Gran Turismo 7, Demon’s Souls, dan 13 Sentinels: Aegis Rim.

Jika dibandingkan dengan game-game lain, 13 Sentinels: Aegis Rim dari Atlus merupakan game yang menargetkan pasar niche. Meskipun begitu, para gamer PS4 yang sudah mengenal game itu sangat menanti-nanti peluncuran game tersebut.

Sama seperti publisher game untuk PlayStation, publisher game Xbox juga belum mengumumkan tanggal pasti peluncuran game mereka. Namun, salah satu game Xbox yang ditunggu-tunggu adalah CrossFireX, versi porting dari CrossFire, game first-person shooter buatan developer Korea Selatan. Selain itu, Halo: Infinite juga menjadi salah satu game yang paling dinanti. Namun, peluncuran game tersebut ditunda hingga 2021.

Divisi Esports Nielsen di Amerika Utara Punya Bos Baru

Nielsen membentuk divisi Nielsen Esports pada 2017. Divisi tersebut bertujuan untuk untuk memberikan layakan konsultasi terkait nilai sponsorship, riset di industri esports, serta insight soal fans esports. Pada tahun yang sama, Nielsen membentuk Nielsen Esports Advisory Board. Dewan itu berisi publisher game, penyelenggara turnamen esports, broadcaster, perusahaan media, organisasi olahraga tradisional, dan para sponsor yang terlibat dalam industri esports. Dewan tersebut dipimpin oleh Matthew Yazge.

Pada pertengahan Juni 2020, Nicole Pike yang menjabat sebagai Managing Director dari Nielsen Esports memutuskan untuk pindah ke perusahaan riset dan analitik lain, YouGov. Tanggung jawab yang diemban oleh Pike lalu dialihkan ke tangan Yazge, yang merupakan Head of Brand Sponsorship, Nielsen Sports. Dengan bertambahnya tanggung jawab Yazge, Nielsen memutuskan untuk mempromosikannya sebagai Head of Esports di kawasan Amerika Utara.

divisi esports Nielsen
Bagan penjelasan tentang ekosistem esports oleh Nielsen. | Sumber: Nielsen

“Semangat Matthew dalam esports dan gaming, ditambah dengan pengetahuannya akan sponsorship dan brands menjadikannya orang yang ideal untuk memimpin divisi esports Nielsen,” kata Jon Stainer, Managing Director of Sports, Nielsen, seperti dikutip dari Esports Insider. “Dengan menyediakan insight dan data yang lengkap bagi perusahaan yang ingin memasuki ranah esports, Matthew akan memberikan pengaruh besar dalam kesuksesan bisnis Nielsen.”

Yazge telah bekerja untuk Nielsen selama lebih dari 9 tahun. Selama itu, dia telah menduduki berbagai jabatan, termasuk Vice President of Brand Partnership untuk divisi Music and Film di Nielsen. Ketika itu, tugasnya adalah untuk mendorong penjualan dan program konsultasi di bidang musik, film, dan fashion. Selain itu, dia juga pernah memimpin program inklusi Nielsen di California Selatan.

“Dengan jabatan baru ini, saya akan memanfaatkan pengetahuan saya tentang sponsor untuk membantu mereka mengerti betapa pentingnya mendekatkan diri pada fans esports,” kata Yazge. Dia akan menjelaskan pada para sponsor bahwa mereka akan dapat memenuhi target marketing mereka dengan membuat konten bersama para pemain esports profesional populer.

Industri esports bertumbuh dengan pesat, baik dari segi nilai industri maupun jumlah penonton. Jadi, tidak heran jika perusahaan-perusahaan besar tertarik untuk masuk ke industri esports. Karena itu, para pelaku esports harus dapat menjamin validitas data mereka. Peran Nielsen adalah memberikan data yang bisa terpercaya. Pada tahun lalu, Nielsen berhasil menjalin kerja sama dengan beberapa perusahaan game dan esports besar, seperti Riot Games, Activision Blizzard, serta ESL dan DreamHack.

Riot Games dan Nielsen Bekerja Sama untuk Menganalisa Penonton LCS

Riot Games dan Nielsen dikabarkan telah memperpanjang kerja sama mereka. Kerja sama ini bertujuan untuk mengumpulkan data mengenai angka penonton di esports League of Legends. Nielsen akan menerapkan metode pengukuran data yang baru untuk esports broadcast dan video-on-demand replay yaitu Live+. Nielsen percaya bahwa metode ini akan membantu Riot Games dalam berinteraksi dengan para penggemar League of Legends.

Riot Games juga telah bekerja sama dengan Nielsen pada bulan Juni tahun lalu untuk memperjelas return of investment para sponsor penyiaran League of Legends. Laporan sebelumnya memperlihatkan LCS berada di peringkat tiga dalam liga olahraga yang paling populer di Amerika serikat bagi penonton yang berumur 18-34 tahun.

Fans League of Legends
Sumber: DotEsports

Matthew Archambult selaku Head of Esports Partnership dari Riot Games berkomentar, “data yang bisa diandalkan dan akurat adalah hal penting untuk mereka yang berkecimpung di media. Nielsen yang sudah menerapkan metode mereka di media televisi merupakan standar di industri ini. Kami sangat senang untuk membawa hal tersebut ke LCS untuk menentukan engagement dari para penggemar League of Legends.”

Metode tersebut menggunakan metrik yang sama dengan yang mereka gunakan tahun lalu ketika bekerja sama dengan Riot Games yaitu average minute audience. Metrik yang sama digunakan oleh Nielsen dalam menentukan TV ratings untuk mendapatkan angka engagement dari penonton. Nicole Pike selaku Managing Director of Esports di Nielsen berkata, “kami sangat tertarik untuk memperkenalkan cara baru dalam menganalisis penonton pertandingan esports. Penerapan metode Live+ adalah langkah selanjutnya dalam hal ini.”

Pihak dari Riot Games melihat peningkatan viewership di VOD replay pertandingan. Hal ini membuktikan bahwa content tersebut dianggap berharga oleh penggemar League of Legends. Dengan demikian, Riot Games menganggap penting penggunaan metrik yang menghitung jumlah penonton VOD. Data yang dikumpulkan akan membantu Riot Games untuk lebih mengerti bagaimana cara para penggemar League of Legends menonton konten esports mereka.

Intinya adalah, dengan Metode ini, Riot Games berharap untuk bisa mempelajari lebih dalam mengenai para penggemar mereka. Sehingga mereka bisa memberikan konten yang lebih menarik lagi guna meningkatkan viewership di liga esports League of Legends. Data yang bisa diandalkan tersebut juga membantu Riot Games untuk menjelaskan return of investment kepada para sponsornya.

Riot Games Ungkap 21,8 Juta Orang Menonton Laga Final Worlds 2019

Riot Games baru-baru ini mengungkap angka penonton League of Legends World Championship Finals (Worlds 2019). Mengutip dari Esports Observer, Riot Games mengatakan bahwa laga final yang mempertemukan jagoan Eropa G2 Esports dengan jawara Tiongkok FunPlus Phoenix telah ditonton 21,8 juta orang, dengan jumlah penonton terbanyak pada saat bersamaan sejumlah 44 juta orang.

Menariknya, pada data yang baru diungkap ini, Riot Games menggunakan sebuah metrik atau perhitungan baru bernama Average-Minutes-Audience (AMA). Selama ini, sumber data jumlah penonton tayangan esports, biasanya mengandalkan data-data yang digunakan oleh platform streaming yang bersangkutan.

PARIS, FRANCE - NOVEMBER 10: --- during 2019 League of Legends World Championship Finals at AccorHotels Arena on November 10, 2019 in Paris, France. (Photo by Michal Konkol/Riot Games)
Pertandingan Grand Final Worlds 2019 yang menyedot perhatian gamers dari berbagai penjuru dunia. Sumber: Riot Games Official Documentation (Photo by Michal Konkol/Riot Games)

Ben Fischer, penulis Esports Observer mengatakan, bahwa data-data seperti concurrent viewers (penonton di saat bersamaan), total hours watched (jumlah total jam tayangan ditonton), ataupun unique viewers, tidak sebanding dengan rating yang dimiliki Televisi dan angkanya rentan dibuat berlebihan.

Penggunaan metrik AMA sebagai penghitung jumlah penonton bisa dibilang sebagai salah satu buah kerja sama antara Riot dengan Nielsen, selain dari penghitungan valuasi sponsorship esports.

Selain Riot, sudah ada beberapa perusahaan gaming/esports lain yang juga menggunakan AMA sebagai metrik penghitung jumlah penonton. Activision Blizzard salah satunya, menggunakan metrik tersebut sejak 2018 lalu untuk menghitung jumlah penonton Overwatch League. Pihak lainnya adalah ESL, yang menggunakannya untuk mengungkap jumlah penonton Intel Extreme Masters Katowice.

Sebelumnya Riot Games juga sempat mengungkap angka AMA League of Legends Championship Series (LCS) Amerika Serikat. LCS dianggap sebagai liga olahraga terpopuler ketiga di antara warga Amerika Serikat yang berumur 18-34 tahun dengan 124 ribu AMA. Laporan tersebut juga mengatakan, bahwa babak final LCS Summer Split memberikan dampak ekonomi sebesar US$5,44 juta (sekitar Rp76 milliar).

PARIS, FRANCE - NOVEMBER 10: --- during 2019 League of Legends World Championship Finals at AccorHotels Arena on November 10, 2019 in Paris, France. (Photo by Colin Young-Wolff/Riot Games)
Menghitung jumlah penonton online selama ini masih menjadi perdebatan tersendiri, mengingat banyaknya metrik yang bisa digunakan. Sumber: Riot Official Documentation (Photo by Colin Young-Wolff/Riot Games)

Jumlah Average-Minute-Audience ini kerap kali dianggap lebih reliabel, karena digunakan oleh dunia televisi dalam mengukur jumlah penonton, juga mengingat posisi Nielsen yang sudah bergerak dalam bidang data dan pengukuran data media sejak tahun 1923 lalu. Nielsen menjelaskan, bahwa metrik Average-Minute-Audience (AMA) adalah jumlah rata-rata penonton (program televisi) dalam waktu tertentu. Metode ini menghitung jumlah penonton untuk satu durasi program dalam setiap menitnya.

Namun demikian bukan berarti angka ini tidak dipertanyakan. Bagaimana jika penontonnya berpindah dari satu tayangan ke tayangan lain? Bagaimana jika satu penonton menonton dua tayangan sekaligus atau lebih? Itu adalah beberapa hal yang kerap dipertanyakan jika bicara soal angka penonton tayangan esports, baik menggunakan AMA ataupun data lainnya.

Sumber Header: Riot Games Official Documentation (Photo by Colin Young-Wolff/Riot Games)

Dampak Ekonomi League of Legends Championship Series Capai Rp76 Miliar

Jumlah merek non-endemik yang bekerja sama dengan organisasi atau liga esports kini terus bertambah. Sayangnya, umur industri esports yang masih sangat pendek berarti tidak ada rekam jejak yang bisa digunakan oleh perusahaan sebagai tolok ukur. Riot Games, pemilik properti intelektual League of Legends, lalu bekerja sama dengan Nielsen dengan tujuan untuk mengukur nilai kerja sama mereka dengan liga League of Legends.

Salah satu data yang didapatkan oleh Riot terkait League of Legends Championship Series, liga untuk kawasan Amerika Utara, adalah dampak ekonomi dari turnamen ini. Babak final dari LCS Summer Split diadakan di Detroit, Michigan. Riot mengatakan, keberadaan turnamen ini memberikan dampak ekonomi sebesar US$5,44 juta (sekitar Rp76 miliar). Sebelum ini, Riot juga mengungkap, babak final dari League of Legends European Championship (LEC) Spring Split memberikan dampak ekonomi sebesar US$2,25 juta (sekitar Rp31,5 miliar) pada Rotterdam, tempat turnamen tersebut diadakan, menurut laporan The Esports Observer.

Sebagai perbandingan, turnamen Major dari Rainbow Six yang diadakan di Rayleigh memberikan dampak ekonomi sebesar US$1,45 juta atau sekitar Rp20,5 miliar. Memang, turnamen esports bisa mendorong industri pariwisata lokal. Alasannya, para fans esports biasanya berasal dari seluruh dunia. Jadi, ketika sebuah turnamen esports diadakan di sebuah kota, para fans rela untuk datang meski mereka berasal dari kawasan atau bahkan negara yang berbeda.

Sumber: Riot Games
Sumber: Riot Games

Selain dampak ekonomi, dalam laporan tentang performa LCS, Riot juga membahas beberapa hal lain, seperti jumlah penonton. Mereka mengatakan, 53 ribu orang datang langsung ke studio LCS di Detroit dan St Louis. LCS juga disiarkan secara online. Secara total, turnamen tersebut ditonton selama 2,4 juta jam, lapor Esports Insider. Pada puncaknya, jumlah concurrent viewers mencapai 609 ribu. Sementara jumlah concurrent viewer rata-rata mencapai 433 ribu. Dengan Average-Minute-Audience (AMA) 124 ribu, Riot mengklaim bahwa LCS adalah liga olahraga terpopuler ketiga di kalangan warga Amerika Serikat yang berumur 18 sampai 34 tahun.

Terkait sponsorship, Riot mengatakan bahwa pada tahun ini, mereka mendapatkan 11 rekan baru. Mereka juga bangga karena 91 persen dari perusahaan yang menjadi rekan mereka membuat kontrak lebih dari satu tahun atau memperbarui kontrak mereka. Ini menunjukkan bahwa mereka puas dengan apa yang mereka dapatkan. Beberapa sponsor LCS antara lain Honda, Alienware, dan Red Bull.

ESL dan DreamHack Kerja Sama dengan Nielsen untuk Data Esports yang Lebih Akurat

ESL dan DreamHack mengumumkan kerja samanya dengan perusahaan analitik data Nielsen. Melalui kerja sama ini, Nielsen akan menghitung nilai media dan sponsorship untuk rekan dan sponsor ESL dan DreamHack. Selain itu, mereka juga akan memberikan data analitik konsumen. Data dari Nielsen akan disajikan dalam metrik standar sehingga memudahkan perusahaan yang tertarik untuk masuk ke ranah esports memahami data itu. Penggunaan data yang telah terstandarisasi berarti, data esports juga bisa dibandingkan dengan data dari olahraga konvensional, misalnya terkait nilai sponsorship. Layanan dari Nielsen akan digunakan untuk menganalisa data dari Counter-Strike: Global Offensive ESL Pro Tour, yang terdiri dari lebih dari 20 acara pada 2020.

“Data yang telah terstandarisasi dan bisa dipercaya dari perusahaan independen seperti Nielsen adalah sesuatu yang telah diminta oleh rekan, pengiklan, dan media siaran ketika kami berusaha memonetisasi hak media dan sponsorship di esports,” kata President dan CEO MTG, Jørgen Madsen Lindemann, seperti dikutip dari Gaming Industry. “Kerja sama ini merupakan langkah penting untuk membantu pihak yang tertarik untuk berinvestasi di esports dengan membeli hak media atau menjadi sponsor, misalnya dengan menyediakan data KPI (Key Performance Indicators) seperti AMA (Average Minute Audience), sesuatu yang telah ada di ranah olahraga tradisional sejak lama.”

Selama ini, Nielsen dikenal sebagai perusahaan yang menyediakan rating untuk acara televisi, lapor VentureBeat. Namun, perusahaan itu juga memberikan data statistik untuk berbagai bidang, termasuk esports. Nielsen membuat divisi esports pada 2017 dan pada September 2018, mereka mengakuisisi SuperData Resesarch untuk memperkuat divisi esports mereka. Kepada Gaming Industry, Nielsen Esports Managing Director, Nicole Pike mengatakan, tujuan mereka membuat divisi esports karena mereka ingin memberikan data yang akurat dan mudah dimengerti bagi semua pelaku esports. “Tujuan kami adalah untuk menyediakan data lebih lengkap sehingga mereka bisa membuat keputusan yang tepat. Dan kami rasa, kami bisa membantu ekosistem esports tumbuh dengan cara yang sehat dan sustainable serat mendukung semua pihak yang terlibat di industri ini,” kata Pike.

Sumber: The Esports Observer
Sumber: The Esports Observer

Dengan data yang didapatkan dari Nielsen, ESL dan DreamHack dapat meyakinkan para sponsor mereka bahwa investasi mereka tidak sia-sia. Selain itu, data seperti viewership dari sebuah acara esports juga bisa digunakan untuk mencari sponsor atau rekan baru. Selain data viewership, Nielsen juga dapat memberikan data yang lebih dalam tentang penonton esports. Industri esports memang diperkirakan akan terus tumbuh. Karena itu, tidak heran jika semakin banyak merek non-endemik yang masuk ke ranah esports, misalnya dengan menjadi sponsor. Industri esports begitu seksi sehingga merek mewah seperti Louis Vuitton pun bersedia untuk membuat travel case untuk trofi League of Legends World Championship.

ESL dan DreamHack bukan satu-satunya pihak yang tertarik untuk bekerja sama dengan Nielsen. Pada Juli, Riot Games juga menggandeng Nielsen untuk menyediakan data terkait valuasi sponsorship esports. Sementara pada awal bulan ini, Activision Blizzard bekerja sama dengan Nielsen dengan tujuan untuk memastikan data penonton Overwatch League valid. Memang, besarnya nilai industri esports bukan berarti industri ini bebas dari masalah. Salah satu masalah yang ada adalah ketiadaan rekam jejak perusahaan karena perusahaan esports yang berumur relatif muda. Semakin banyaknya perusahaan game atau esports yang bekerja sama dengan lembaga analitik data seperti Nielsen menunjukkan bahwa para pelaku industri berusaha untuk memastikan esports menjadi industri yang memang bisa bertahan di masa depan.

Activision Blizzard Gandeng Nielsen untuk Pastikan Validitas Data Penonton Overwatch League

Perlahan tapi pasti, industri esports terus tumbuh, menjadikannya sebagai pembicaraan hangat. Nilai industri esports diperkirakan telah mencapai nilai US$1,1 miliar pada tahun ini. Dalam waktu tiga tahun, angka tersebut diduga akan naik hingga hampir US$3 miliar. Jumlah penonton esports juga tak kalah besar. Menurut survei Goldman Sachs dan Newzoo, penonton esports tahun ini mencapai 194 juta dan akan naik menjadi 276 juta pada 2022. Karena itu, jangan heran jika semakin banyak merek non-endemik yang tertarik untuk menjadi sponsor di industri esports.

Namun, masuknya merek-merek besar seperti Coca-Cola dan Audi berarti, para pelaku esports harus bisa menjamin validitas data mereka. Karena, perusahaan yang telah menjadi sponsor esports pasti ingin memastikan bahwa investasi yang telah mereka tanamkan tidak sia-sia. Data soal potensi pendapatan dan penonton esports memang terlihat mengagumkan. Sayangnya, metode yang digunakan untuk mengumpulkan data biasanya berbeda-beda sehingga data dari satu sumber belum tentu bisa dibandingkan dengan data dari sumber lain. Terkadang, para pelaku industri esports sengaja menggunakan data yang membuat turnamen yang mereka selenggarakan atau game yang mereka buat terlihat sangat baik.

Proyeksi total pendapatan industri esports | Sumber: Goldman Sachs
Proyeksi total pendapatan industri esports | Sumber: Goldman Sachs

“Di esports, ada banyak metrik yang sulit untuk dimengerti dan sulit untuk dibandingkan, seperti jumlah view, peak concurrents, dan total lama video ditonton. Karena semua orang berusaha untuk tampil sebagai yang terbaik dan menggunakan data dengan angka tertinggi, ini menciptakan masalah. Sulit bagi orang-orang untuk membandingkan data sehingga mereka justru membuat perbandingan yang salah. Meskipun ini bisa menjadi berita yang menarik, hal itu justru akan berdampak buruk pada industri dalam jangka panjang,” kata Kasra Jafroodi, Strategy and Analytics Lead, Activision Blizzard Esports, seperti disebutkan oleh The Esports Observer.

Menyadari hal ini, Activision Blizzard lalu bekerja sama dengan Nielsen. Kerja sama ini dimulai sejak April lalu. Tujuannya adalah untuk mendapatkan data Average Minute Audience (AMA) dari Overwatch League, liga dari salah satu game buatan Activision Blizzard. Data ini kemudian akan ditunjukkan pada sponsor atau calon sponsor turnamen tersebut. Laporan Nielsen kali ini akan membandingkan data streaming dari Overwatch League pada tahun ini dengan tahun lalu. Cara menghitung AMA sederhana, total durasi konten ditonton dalam menit dibagi dengan total lama siaran dalam menit.

Menurut Nielsen, AMA dari minggu pertama musim kedua Overwatch League adalah 440 ribu, naik 14 persen dari tahun lalu. Namun, setelah liga mulai berjalan, AMA Overwatwch League turun menjadi 313 ribu. Meskipun begitu, angka itu masih menunjukkan kenaikan sebesar 18 persen jika dibandingkan dengan rata-rata AMA pada musim pertama. Jafroodi mengatakan, data dari Nielsen terkait Overwatch League memang tak terdengar sefantastis data terkait esports lainnya. Meskipun begitu, dia percaya, data itu akan menguntungkan Activision Blizzard dalam jangka panjang karena para sponsor bisa mengerti dan percaya akan validitas data tersebut.

Overwatch League | Sumber: Wikimedia Commons
Overwatch League | Sumber: Wikimedia Commons

“Ketika Anda bicara soal merek atau perusahaan atau investor, penting bagi mereka untuk bisa membandingkan Overwatch League dengan olahraga tradisional, karena itu membantu mereka untuk mengerti bagaimana performa turnamen kami,” kata Jafroodi, menurut laporan AdWeek. ” Dan jika investasi mereka di Anda menunjukkan hasil positif, ini menjadi semakin berharga.” Menurutnya, salah satu pentingnya transparansi data di esports adalah untuk memupuk kepercayaan masyarakat dan investor.

Esports tidak akan mendadak menjadi olahraga terbesar di Amerika Serikat,” Jafroodi menjelaskan. “Namun, jika Anda bisa melihat pertumbuhan industri ini dan Anda memiliki data yang bisa dipercaya, mudah untuk melihat apa yang akan terjadi dalam 10 tahun mendatang. Anda justru akan mencurigai keadaan industri ketika Anda menggunakan data yang tak valid.” Activision Blizzard bukan satu-satunya publisher yang menggandeng Nielsen untuk mendapatkan data yang valid soal esports. Pada Juli lalu, Riot mengumumkan kerja samanya dengan Nielsen untuk mendapatkan data valuasi sponsorship di industri esports.

Sumber header: overwatchleague.com

Riot Games Gandeng Nielsen untuk Penyediaan Data Valuasi Sponsorship Esports

Industri esports adalah industri yang masih terus berkembang pesat. Nilai revenue yang berputar di industri ini diprediksi mencapai US$1,1 miiar di tahun 2019, dan total investasinya secara global telah mencapai angka US$4,5 miliar hanya dalam tahun 2018 saja. Namun masih ada beberapa masalah, salah satunya yaitu kurangnya rekam jejak performa perusahaan (mengingat industrinya pun masih baru) dan masih rendahnya minat para investor untuk menanamkan modal secara jangka panjang.

Untungnya hal itu dalam waktu dekat tampak akan mengalami perubahan. Riot Games, perusahaan raksasa yang kita kenal sebagai pemilik properti intelektual League of Legends, baru-baru ini mengumumkan kerja sama dengan salah satu perusahaan solusi data pasar terpercaya dunia yaitu Nielsen. Kerja sama ini bertujuan untuk mengukur nilai dari kerja sama brand yang terjadi dalam liga ataupun kompetisi League of Legends. Harapannya, data tersebut dapat membantu para brand yang terlibat di industri ini untuk melihat nilai return of investment (ROI) seperti halnya sponsorship di dunia olahraga konvensional.

“Seiring esports terus meraih momentum dengan pengiklan dan pemasar brand, kebutuhan akan verifikasi audiens dan brand exposure oleh pihak ketiga yang independen menjadi penting,” kata Nicole Pike, Managing Director di Nielsen Esports, dalam situs resminya, “Dengan kerja sama ini, kami memiliki kesempatan untuk membantu monetisasi platform Riot Games dan memvalidasi pasar yang sedang tumbuh ini.”

Nielsen sendiri telah terjun ke dunia esports pada tahun 2017 dan telah memiliki layanan sponsorship tracking khusus esports yang bernama Esport24. Ke depannya mereka akan mengukur brand exposure di berbagai kompetisi LoL sepanjang 2019 dan 2020, termasuk North America League of Legends Championship Series (LCS), League of Legends European Championship (LEC), tiga event internasional LoL, serta beberapa liga regional lainnya di Asia.

League of Legends - Rift Rivals
Rift Rivals 2019 mempertemukan tim-tim LCS melawan tim-tim LEC | Sumber: LoL Esports

Untuk mendukung usaha tersebut, Riot Games akan memberikan akses pada Nielsen untuk mengambil data agregat viewership yang mereka miliki. Termasuk memperbolehkan Nielsen mengakses data dari fitur Pro View yang beberapa waktu lalu baru diluncurkan. Metrik-metrik ini kemudian akan tersedia dalam produk Esport24.

“Kepercayaan dan transparansi adalah komponen vital dalam membangun dan menjaga relasi dengan partner brand,” kata Doug Watson, Head of Esports Insights di Riot Games, “Seiring perusahaan-perusahaan besar berinvestasi di turnamen kami, kami ingin membantu mereka melihat nilai exposure mereka dan mengidentifikasi cara terbaik untuk berinteraksi dengan para penggemar setia kami.”

Selama 12 bulan terakhir, League of Legends Esports telah menjalin kerja sama dengan berbagai brand terkemuka, termasuk Mastercard, Dell/Alienware, State Farm, dan Nike. Dengan adanya data valuasi sponsorship yang lebih transparan dan terukur, tidak menutup kemungkinan akan lebih banyak brand yang tertarik berpartisipasi, baik dalam LoL ataupun esports secara umum. Tahun 2019 sejauh ini telah menjadi tahun yang menarik bagi industri esports, dan tampaknya masih akan terus bertambah menarik.

Sumber: Adweek, Nielsen Sports

Riset Nielsen Tunjukkan Pergeseran Penikmat Media ke Ranah Online

Sebuah data hasil riset dari Nielsen Company yang dirilis paruh pertama tahun 2017 menunjukkan beberapa tren menarik dalam industri digital dan media. Total sampel yang diikutsertakan dalam riset kali ini sebanyak 1107 dengan dominasi responden di usia antara 16-34 tahun dari 11 kota besar di Indonesia, mewakili sekurangnya 54,8 juta penduduk.

Bab pertama temuan survei membahas tentang penetrasi media. Tercatat bahwa TV masih berada di peringkat pertama dengan 96 persen responden masih menikmatinya, disusul oleh media berjenis static outdoor (53 persen), kemudian internet (44 persen – setara dengan 24,2 juta penikmat), radio (37 persen), koran (7 persen), dan majalah (3 persen). Penetrasi internet menjadi yang cukup signifikan, meningkat 26 persen sejak lima tahun silam.

Demografi menjadi salah satu hal menarik dalam media, hal ini menjadi kebutuhan bagi para brand untuk menargetkan pangsa pasar yang tepat. Dari konsumsi media didasarkan pada generasi tersaji sebuah grafik menarik berikut. Millennials dan generasi X yang kini menjadi pangsa pasar mayoritas brand terpantau lebih menyukai media internet dan bioskop dalam aktivitas mendapatkan konten.

Riset Nielsen bertajuk "The New Trend Among Indonesia's Netizen"
Riset Nielsen bertajuk “The New Trend Among Indonesia’s Netizen”

Kemudian jika menilik proposisi media berdasarkan Social-Economic Class (SEC), terdapat temuan masyarakat kelas 1 (berpenghasilan di atas rata-rata) mendominasi penggunaan TV berlangganan. Sedangkan untuk kelas menengah masih mengisi semua porsi, dengan persentase tertinggi ada pada TV konvensional, internet dan majalah.

Riset Nielsen bertajuk "The New Trend Among Indonesia's Netizen"
Riset Nielsen bertajuk “The New Trend Among Indonesia’s Netizen”

Perangkat tablet kurang dinikmati pengguna di Indonesia

Internet menjadi saluran media paling bertumbuh, hal tersebut tak lain dipengaruhi karena aksesiblitas yang makin terjangkau. Mengenai alat akses sendiri, dari hasil survei Nielsen terungkap bahwa ponsel pintar masih berada pada di tingkat teratas, pun demikian dengan pertumbuhannya. Persentase menarik lainnya justru penetrasi perangkat tablet kian menurut. Pada grafik di bawah membandingkan antara penggunaan perangkat di tahun 2015 (ungu tua) dan tahun 2017 (ungu muda).

Riset Nielsen bertajuk "The New Trend Among Indonesia's Netizen"
Riset Nielsen bertajuk “The New Trend Among Indonesia’s Netizen”

Menjadi sebuah temuan menarik, pasalnya justru angka yang masih besar berada pada perangkat laptop dan PC. Faktor kenyamanan dinilai menjadi yang paling mempengaruhi mengapa tablet pada akhirnya kurang diterima di kalangan masyarakat yang menjadi responden.

Tentang penetrasi konten video internet

Tentang media hiburan juga bergeser, kendati sambungan TV masih memiliki porsi tertinggi, ada peningkatan yang cukup signifikan untuk konten video internet. Dalam grafik di bawah ini, varian konten video internet persentasenya tersaji pada grafik batang berwarna kuning. Frekuensinya aksesnya cukup beragam, sedangkan kategori usia menjadi salah satu yang mempengaruhi.

Riset Nielsen bertajuk "The New Trend Among Indonesia's Netizen"
Riset Nielsen bertajuk “The New Trend Among Indonesia’s Netizen”

Sedangkan untuk kanal video populer, YouTube masih mendominasi di pasar. Pun saat dibandingkan dengan penyedia konten viral lokal. Persentasenya berselisih sangat jauh. Tentu dapat dipahami, bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi angka tersebut. Selain dari kuantitas dan kategori video yang tersedia, kemudahan fitur pada kanal platform juga menjadi salah satu faktor keberpihakan pengguna dengan portal video milik Google tersebut.

Riset Nielsen bertajuk "The New Trend Among Indonesia's Netizen"
Riset Nielsen bertajuk “The New Trend Among Indonesia’s Netizen”

Nielsen juga mencoba menelisik lebih dalam terhadap persentase masyarakat yang belum menikmati konten berbasis internet. Terdapat tiga alasan fundamental, yakni terkait dengan ketersediaan infrastruktur, pengetahuan teknologi yang rendah, serta kenyamanan dengan konten yang telah disediakan oleh TV konvensional.

Riset Nielsen bertajuk "The New Trend Among Indonesia's Netizen"
Riset Nielsen bertajuk “The New Trend Among Indonesia’s Netizen”

Efektivitas media internet dengan kebutuhan pemasaran produk

Dalam risetnya Nielsen juga menanyakan apakah ketika responden melihat sebuah tayangan brand di konten yang ia temui internet mereka akan mencari tahu lebih lanjut. Selain responden berusia 50 tahun ke atas, kebanyakan dari responden (lebih dari 60 persen) mengaku selalu berminat mencari tahu lebih lanjut. Karena pada umumnya iklan yang ia lihat di media online mengerucut kepada produk atau brand yang cocok untuk mereka. Hal tersebut tentunya berpengaruh pada digital advertising yang kian maju, mampu menargetkan secara spesifik kepada demografi pengguna yang diincarnya.

Ada beberapa jenis tindakan yang coba dipetakan ketika pengguna mencari tahu lebih lanjut tentang produk yang mereka temui di konten online. Mulai dari menilik lapak online yang diinformasikan, melakukan pembelian secara langsung, menghubungi penyaji brand terkait, atau membeli secara online. Persentase tertinggi ialah melakukan pembelian secara online.

Riset Nielsen bertajuk "The New Trend Among Indonesia's Netizen"
Riset Nielsen bertajuk “The New Trend Among Indonesia’s Netizen”

Sehingga dapat menjadi sebuah simpulan bahwa akses media online tidak terpaku pada sebuah platform media saja, namun sifatnya kait-mengait satu dengan yang lainnya. Misalnya antara media online dengan iklan digital, antara iklan digital dan toko online, dan lain sebagainya.