IndiHome Gunakan Big Data untuk Rating Program Televisi yang “Lebih Baik”

Telkom mengabarkan bahwa pihaknya telah berhasil memanfaatkan teknologi big data untuk mengelola sistem rating acara televisi di saluran IndiHome. Layanan televisi kabel berbasis Fiber To The Home (FTTH) ini menggunakan teknologi big data untuk menghasilkan analisis yang lebih komprehensif, sehingga memungkinkan pengiklan menentukan slot yang tepat untuk brand yang ingin disajikan.

“Saat ini terdapat cara baru yang real-time bagaimana menentukan rating dari sebuah program tayangan televisi berdasarkan pilihan penonton. Ini hasil big data, otomatis menentukan rating dari database pelanggan menonton tayangan kesukaannya setipa hari. Ini data nyata, bukan hasil survei abal-abal,” ungkap Direktur Consumer Telkom Dian Rachmawan.

Rating adalah sebuah acuan untuk menilai, apakah sebuah acara menarik untuk ditonton banyak orang atau tidak. Biasanya rating tersebut juga yang dijadikan patokan perusahaan televisi untuk mengambil keputusan apakah suatu acara layak tayang atau dihentikan. Di Indonesia, proses penentuan rating program televisi dilakukan oleh Nielsen Audience Measurement Indonesia. Nielsen melakukan perhitungan rating dan share sebuah program televisi.

Selama ini Nielsen menyelenggarakan survei kepemirsaan televisi (TV Audience Measurement) di beberapa kota di Indonesia (2423 rumah tangga). Hasil tersebut yang digunakan untuk menyimpulkan rating suatu program. Big data diklaim mampu melakukan secara lebih detil karena dapat mencakup aktivitas penonton secara keseluruhan, tidak hanya diwakili sampel, namun menyimpulkan sebuah keadaan secara real-time.

Rating ini disusun berdasarkan data riil penggunaan UseeTV, bukan hanya dari hasil sampling beberapa responden seperti dalam rating lain yang dilakukan oleh lembaga survei. Konsep yang kami tawarkan ini akan bikin senang pengiklan, agensi, dan pemilik program. Mereka tak bisa lagi diakali oleh lembaga survei. Mereka bisa pasang iklan sesuai dengan target market,” pungkas Dian.

76 Persen Pengguna Internet Mengetahui Gerakan Hari Belanja Online Nasional 2015

Perayaan Hari Belanja Online Nasional 2015 yang lebih dikenal dengan Harbolnas telah berakhir. Meski sempat diwarnai isu kurang sedap, ada pula catatan positif yang berhasil ditorehkan. Berdasarkan riset yang dilakukan Nielsen, terungkap bahwa 76 persen pengguna Internet sudah memiliki kesadaran terhadap gerakan belanja online ini. Selain itu, Nielsen juga memperkirakan transaksi selama Harbolnas 2015 ini mencapai 2,1 triliun Rupiah.

Hari Belanja Nasional merupakan gerakan yang awalnya diinisiasi oleh tujuh pelaku industri e-commerce di tanah air pada tahun 2012. Setelah digelar beberapa kali, animo yang ditunjukkan ternyata sangat positif dan hasilnya pada gelaran Harlbolnas di tahun 2015 ini ada 140 pelaku e-commerce yang terlibat. Harbolnas 2015 sendiri digelar selama tiga hari, yakni pada tanggal 10 hingga 12 Desember 2015.

Memang ada beberapa kejadian kurang sedap yang mampir, tapi bukan berarti tak ada pencapain positif yang diperoleh. Sudah ada juga beberapa dari pemain yang berpatisipasi mengungkapkan pencapaian “dapur” mereka ketika Harlbolnas 2015 berlangsung.

Ketua Panitia Harbolnas Indra Yonathan menyampaikan, “Terima kasih, animo yang ditunjukkan [masyarakat] luar biasa sekali minggu lalu. […] Saya sempat berbincang dengan beberapa pemain [e-commerce] dan menurut mereka trafik selama Harbolnas kemarin meningkat hingga 10 kali. Dari pemesanan, kenaikannya mencapai 7-10 kali lipat. Dari revenue, sekitar 1,5-5 kali [rata-rata].”

“Sedangkan salah satu partner logistik kami juga mencatat peningkatan pengiriman hingga 100 persen. Bila hari biasa hanya 46 ribu, saat Harbolnas bisa mencapai 96 ribu pengiriman. […] Sekali lagi, Harbolnas ini adalah gerakan. Tujuannya adalah untuk bersama-sama, gotong royong dalam memajukan industri e-commerce di tanah air,” lanjutnya.

Beberapa pencapaian Harbolnas 2015

Harbolnas 2015 Trends / Kofera Report

Selain beberapa pencapaian yang sudah disebutkan oleh Yonathan, ada beberapa data menarik yang juga disampaikan oleh Nielsen dan Kofera. Kofera sendiri adalah official partner untuk monitoring Harbolnas 2015 melalui situs resmi Harbolnas. Sedangkan Nielsen adalah pihak ketiga dengan peran yang tak jauh berbeda dengan Kofera.

Berdasarkan temuan Kofera, indeks trend Harlbolnas sendiri menunjukkan peningkatan di tahun 2015 ini dengan Jakarta, Sumatera Utara, dan Jawa Timur sebagai wilayah dengan indeks yang tinggi. Ini sejalan dengan Nielsen yang menyebutkan bahwa 76 persen pengguna internet di Indonesia sudah sadar dengan gerakan Harbolnas. Selain itu, ditemukan juga bahwa 50 persen dari mereka yang sudah pernah berbelanja online mau berbelanja online kembali karena event Harbolnas.

HArbolnas 2015 Nielsen Riset / DailySocial

Menariknya, informasi digelarnya Harbolnas 2015 ini oleh para konsumen kebanyakan masih diperoleh mereka melalui Televisi dengan persentase mencapai 39 persen. Diikuti situs resmi online shoping (29 persen), Social Media (7 persen), dan Portal Berita (4 persen).

Sedangkan untuk jumlah transaksi selama Harbolnas 2015, diperkirakan Nielsen jumlahnya mencapai 2,1 triliun Rupiah. Ini 1,8 kali lebih tinggi dari penjualan di luar Harbolnas.

Associate Director Consumer Insights Nielsen Rusdy Sumantri menyampaikan, “Angka tersebut naik 1,8 kali dari penjualan di luar Harbolnas. […] Kami mendapatkan data melalui 700 responden yang jadi sampel acak lewat survei online dengan 19 kota terdektesi. […] Estimasi penjualan ditanyakan langsung ke pelanggan, kemudian datanya kami olah dan validasi kembali dari para pelaku e-commerce dan data yang kami punya sebelumnya.”

Harbolnas 2015 Riset Nielsen Kategori Favorit / Nielsen

Data lain yang menarik untuk diperhatikan adalah, produk kategori fesyen masih menjadi yang paling banyak dibeli konsumen (65 persen), diikuti gawai (44 persen), dan barang elektronik (41 persen). Dari sisi demografi konsumen, sebagian besar berusia antara 25-34 tahun dan sebagian besar berasal dari masyarakat golongan A (berpendapatan di atas 4 juta Rupiah).

Terakhir, ditemukan juga bahwa masyarakat gemar berbelanja melalui perangkat bergerak seperti laptop (62 persen) dan ponsel pintar (50 persen). Sedangkan lokasi favorit untuk berbelanja online bagi masyarakat Indonesia adalah rumah mereka sendiri (86 persen).

Satu hal yang bisa ditarik dari data yang diungkapkan adalah kepercayaan kini bisa dikatakan bukan lagi menjadi isu utama dalam industri e-commerce tanah air. Kondisi ini jauh berbeda bila dibandingkan dengan masa-masa awal e-commerce mulai naik kepermukaan di Indonesia.

Memang masih ada saja beberapa oknum yang masih berulah. Tapi dengan semakin matangnya ekosistem nanti di masa depan, hal tersebut tentu akan berkurang dengan sendirinya. Itu semua dapat dicapai dengan kolaborasi dari para pemangku kepentingan terkait di industri e-commerce tanah air.

Konsep O2O dan Pembangunan Pusat Distribusi di Daerah Bisa Bantu Logistik Layanan E-Commerce yang Lebih Baik

Ilustrasi Hambatan Bisnis / Shutterstock

Seperti yang telah kami proyeksikan sebelumnya, bahwa infrastruktur logistik di Indonesia masih kesulitan mengimbangi laju pertumbuhan layanan e-commerce. Survei Nielsen menunjukkan harga pengiriman barang yang tinggi (ke pelosok) menjadi salah satu faktor keengganan konsumen memanfaatkan layanan e-commerce. Konsep O2O (online-to-offline) dan pembangunan pusat distribusi di daerah bisa menjadi alternatif solusi.

Continue reading Konsep O2O dan Pembangunan Pusat Distribusi di Daerah Bisa Bantu Logistik Layanan E-Commerce yang Lebih Baik

Nielsen: Belanja Online di Indonesia Masih Didominasi “Melihat Perbandingan”

Pesatnya kepemilikan perangkat yang mampu terhubung ke Internet turut meningkatkan keinginan masyarakat Asia Tenggara untuk melakukan belanja secara online. Pembeli menjadi semakin mencari tahu informasi sebelum membeli produk atau layanan yang mereka butuhkan dan inginkan. Survei global yang dilakukan Nielsen menemukan bahwa berbelanja online di beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, ternyata masih didominasi sekedar melihat-lihat perbandingan harga dan produk.

Continue reading Nielsen: Belanja Online di Indonesia Masih Didominasi “Melihat Perbandingan”

Nielsen: BlackBerry Messenger Masih Jadi Aplikasi Messaging Paling Favorit di Indonesia

Di tengah gempuran platform iOS dan Android yang kian agresif di pasarsmartphone akhir-akhir ini, BlackBerry rupanya masih memiliki tempat istimewa di tengah-tengah pengguna smartphone di Indonesia. Menurut survei yang belum lama ini dirilis oleh lembaga survei Nielsen, aplikasi pesan instan (instant messaging) andalan BlackBerry Messenger (BBM) masih menjadi yang paling diminati oleh sebagian besar pengguna di Indonesia.

Seperti yang diungkap melalui survei Nielsen bertajuk On Device Meter tahun 2014 dan dirangkum oleh National Geographic Indonesia (12/6), aplikasi BBM mendominasi minat pengguna smartphone di Indonesia dengan pemetaan sebesar 79%. Angka tersebut menunjukkan bahwa pengguna di Indonesia masih sangat mengandalkan BBM ketimbang aplikasi sejenis untuk mengobrol dengan sesama. Di bawah BBM terdapat WhatsApp yang meraih 57%, dan juga Line yang ternyata harus “puas” dengan hanya meraih 37%  dari penggunasmartphone di Indonesia.

Nielsen juga menjabarkan waktu rata-rata penggunaan dari ketiga aplikasi itu. Hasilnya BBM kembali merajai dengan waktu penggunaan rata-rata selama 23,3 menit, lalu menyusul WhatsApp yang dinyatakan hanya memiliki waktu penggunaan rata-rata selama 6,2 menit, dan Line yang kembali harus berada di posisi paling bawah dengan rata-rata waktu penggunaan selama 5,1 menit.

Melihat hal ini, keputusan BlackBerry untuk bertahan dari “medan perang”smartphone dengan melepas aplikasi andalannya sebagai aplikasi cross-platformbisa dinyatakan cukup berhasil walau secara keseluruhan pamor merek dagang BlackBerry di tengah kompetisi smartphone di Indonesia tetap menurun. Hasil survei yang dirilis Nielsen kurang lebih juga serupa dengan yang dirilis Nusaresearch beberapa waktu lalu dan mengungkapkan BBM termasuk salah satu aplikasi pesan instan yang paling populer di tengah-tengah pengguna Indonesia.

Selain mengandalkan BBM, BlackBerry masih melakukan beberapa upaya untuk menunjukkan eksistensinya di Indonesia, seperti misalnya kerja sama dengan RUMA yang menyentuh pasar UKM, menggelar BBDevID yang mengajak para pengembang lokal untuk berkreasi, hingga meluncurkan perangkat mobile money BBM Money yang ternyata masih belum diminati pasar. Sayangnya, masih jauh untuk menilai apakah diversifikasi ini mampu meningkatkan nilai jual BlackBerry bagi konsumen umum, di luar BBM.

Pertanyaan yang bisa muncul dari survei tadi adalah sampai kapan BlackBerry hanya mengandalkan BBM sebagai produk unggulan? Jika ternyata tidak ada produk lain yang mampu sepopuler BBM, BlackBerry harus tahu bagaimana memperoleh pendapatan yang (sangat) signifikan dari lini bisnis ini, di luar sumber pendapatan tradisionalnya di ranah enterprise.

Artikel sindikasi ini pertama kali dimuat di DailySocial dan ditulis oleh Avi Tejo Bhaskoro. 

Nielsen: BlackBerry Messenger Masih Jadi Aplikasi Messaging Paling Favorit di Indonesia

Di tengah gempuran platform iOS dan Android yang kian agresif di pasar smartphone akhir-akhir ini, BlackBerry rupanya masih memiliki tempat istimewa di tengah-tengah pengguna smartphone di Indonesia. Menurut survei yang belum lama ini dirilis oleh lembaga survei Nielsen, aplikasi pesan instan (instant messaging) andalan BlackBerry Messenger (BBM) masih menjadi yang paling diminati oleh sebagian besar pengguna di Indonesia.

Continue reading Nielsen: BlackBerry Messenger Masih Jadi Aplikasi Messaging Paling Favorit di Indonesia

Pangsa Pasar Windows Phone di Amerika Lompati BlackBerry

Terpuruknya BlackBerry di kancah persaingan ranah smartphone dimanfaatkan dengan baik oleh Windows Phone. Terbukti setelah mengalami stagnan selama beberapa waktu, sistem operasi besutan Microsoft tersebut akhirnya bangun dan sukses melompati BlackBerry sekaligus mematri posisi ketiga membayangi Android dan iOS.

Continue reading Pangsa Pasar Windows Phone di Amerika Lompati BlackBerry

Survei Nielsen: Masyarakat Asia Tenggara Lebih Suka Gunakan Uang Tunai untuk Belanja Online

Lembaga survei Nielsen menginformasikan hasil temuannya dari sejumlah konsumen di negara-negara Asia Tenggara bahwa mereka jauh lebih suka menggunakan uang tunai untuk berbelanja online. Menurut survei bertajuk Survey of Saving and Investment Strategies terhadap 30.000 responden di seluruh dunia, konsumen di Filipina, Thailand, Vietnam, dan Malaysia memiliki kecenderungan lebih dari 60% dalam memilih uang tunai ketimbang “uang plastik” (kartu debit dan kartu kredit) atau kartu prabayar.

Continue reading Survei Nielsen: Masyarakat Asia Tenggara Lebih Suka Gunakan Uang Tunai untuk Belanja Online

Penjualan Musik Digital Mengalami Penurunan di 2013, Pertama Kali dalam 10 Tahun

April 2003 merupakan waktu yang sangat bersejarah bagi industri musik digital. Pada bulan tersebutlah iTunes Store pertama kali dibuka dan mengubah lanskap industri musik digital. Setelah sepuluh tahun berselang, iTunes Store berhasil menjadi toko musik online terbesar di dunia dengan katalog lebih dari 26 juta lagu dan total 25 miliar lagu telah terjual pada Februari 2013 lalu.

Pada bulan November 2012, Trenologi sempat mengulas sebuah prediksi dari Nielsen Wire yang menyatakan bahwa penjualan musik digital akan terus melonjak. Nyatanya, berdasarkan terbaru dari Nielsen SoundScan, penjualan musik digital justru mengalami penurunan pada tahun 2013 lalu. Total sepanjang tahun 2013, penjualan lagu secara digital mengalami penurunan sebesar 5,7% dari 1,34 miliar unit di tahun 2012 menjadi 1,26 miliar unit. Sementara penjualan album mengalami penurunan 0,1% dari 117,7 juta unit ke 117,6 juta unit.

(Baca juga: Penjualan Musik Digital Diprediksi Akan Terus Melonjak)

Seperti dilansir oleh Billboard, penurunan angka penjualan musik digital ini disinyalir sebagai akibat semakin populernya layanan streaming musik. Layanan streaming musik memang memang semakin menjamur dimana-mana. Di Indonesia saja, beberapa layanan streaming musik mulai bermunculan baik dari pemain lokal seperti Ohdio hingga pemain internasional seperti Nokia dan Deezer. Sementara di level internasionak, tanda-tanda semakin menguatnya layanan streaming musik salah satunya bisa dilihat dari laporan Warner Music Group yang menyatakan bahwa 25% pendapatan musik digitalnya kini berasal dari layanan streaming musik.

(Baca juga: Streaming Musik Sumbang 25% Pendapatan Musik Digital Warner Music Group)

Meski mengalami penurunan, penjualan musik digital masih memiliki peruntungan yang jauh lebih baik dari penjualan musik melalui medium fisik. Penjualan CD mengalami penurunan sebesar 14,5% dari 193,4 juta unit di tahun 2012 menjadi 165,4 juta unit di tahun 2013. Secara keseluruhan, penjualan album dalam berbagai format medium fisik (CD, DVD, kaset, vinyl, dan lain-lain) mengalami penurunan 8,4% dari 316 juta unit menjadi 289,4 juta unit.

Dengan terjunnya Apple (dengan iTunes Radio) dan Google (dengan Google Play Music All Access) ke layanan streaming musik di tahun 2013 lalu, tentunya akan menarik untuk diamati bagaimana perkembangan layanan streaming musik dan dampaknya terhadap industri musik digital secara keseluruhan.

 

Sumber: Billboard.

Google Dominasi Daftar Mobile App Terpopuler 2013 Versi Nielsen

Dominasi Google di industri mobile tidak sebatas keunggulan OS besutannya, Android, di pangsa pasar sistem operasi mobile saja. Berdasarkan laporan terbaru dari Nielsen, aplikasi-aplikasi buatan Google juga mendominasi daftar aplikasi mobile terpopuler di Amerika Serikat selama tahun 2013 ini. Laporan ini dirilis berdasarkan data dari studi yang dilakukan selama Januari hingga Oktober 2013 terhadap pengguna perangkat mobile di Amerika Serikat yang berusia di atas 18 tahun.

Google menyumbangkan 5 dari 10 aplikasi mobile terpopuler 2013. Kelima aplikasi tersebut adalah Google Search yang memiliki rata-rata jumlah pengguna unik sebanyak hampir 76 juta orang per bulan, Google Play (73 juta pengguna unik per bulan), YouTube (71 juta pengguna unik per bulan), Google Maps (68 juta pengguna unik per bulan), dan Gmail (64 juta pengguna unik per bulan). Kelima aplikasi ini menempati peringkat kedua hingga peringkat keenam dalam ranking Nielsen.

Sementara itu Facebook berada di posisi puncak dengan 103 juta pengguna unik perbulan. Media sosial lainnya yang berhasil masuk ke daftar ini adalah Instagram yang juga dimiliki oleh Facebook serta Twitter. Instagram berada di posisi ketujuh dengan rata-rata hampir 32 juta pengguna unik per bulan, sedangkan Twitter di posisi kesepuluh dengan 30 juta pengguna unik per bulan.

Apple menyumbangkan dua aplikasi lain yang melengkapi daftar 10 aplikasi mobile terpopuler 2013 ini. Meski di awal peluncurannya menuai cukup banyak kritik, aplikasi Maps milik Apple toh ternyata berhasil menempati posisi kedelapan dengan rata-rata hampir 32 juta pengguna yang menggunakannya per bulan. Aplikasi Stocks melengkapi daftar ini di posisi kesembilan dengaan jumlah pengguna unik per bulan sebanak 30 juta orang.

Daftar lengkap dari 10 aplikasi mobile terpopuler 2013 versi Nielsen dapat dilihat pada tabel berikut.

Top Mobile Apps 2013 Nielsen

 

Sumber: Android Authority.