Ekspansi Wallex Technologies Pasca Diakuisisi M-DAQ

Transaksi pembayaran lintas-negara telah bertumbuh secara signifikan, seiring dengan meningkatnya jumlah perusahaan yang terlibat aktif dalam perdagangan internasional. Salah satu perusahaan yang fokus ke layanan remitansi tersebut adalah Wallex Technologies (Wallex).

Awal tahun 2022 lalu mereka telah diakuisisi M-DAQ, platform yang melayani pelaku bisnis di berbagai sektor untuk memfasilitasi transaksi lintas-negara dengan solusi Aladdin. Kepada DailySocial, Co-founder dan CEO Wallex Hiro Kiga mengungkapkan beberapa rencana mereka di pasar Indonesia pasca diakuisisi.

Wallex mengumumkan kehadirannya di Indonesia setelah memperoleh izin transfer dana dari Bank Indonesia pada akhir 2018.

Fokus ke segmen B2B

Dalam waktu setahun terakhir perusahaan secara aktif mengembangkan infrastruktur teknologi mereka. Secara bisnis, Wallex memiliki dua kategori pelanggan B2B yang dilayani, yaitu UKM dan korporasi. Mereka juga memiliki teknologi untuk pembayaran yang bisa dimanfaatkan melalui API.

Perusahaan mengklaim sudah mulai masuk ke tahap scale-up. Kerja sama strategis semakin diperluas. Setelah kemitraan dengan Investree, dalam waktu dekat akan diumumkan platform fintech baru yang menjalin kolaborasi dengan Wallex.

“Tim teknologi kami sudah bekerja keras untuk meningkatkan pengalaman terbaik, menjadikan proses lebih seamless untuk mitra fintech agar bisa terhubung dengan kami. Di saat yang sama kita juga meningkatkan produk Direct to Customer dan akan terlihat perubahannya dalam waktu satu tahun ke depan,” kata Hiro.

Dengan menggunakan teknologi mereka, pelanggan dapat melakukan pembayaran dalam 48 lebih mata uang. Pelanggan diklaim mendapatkan keuntungan dari proses transaksi yang cepat dan lancar, dengan nilai tukar dan biaya yang kompetitif.

Untuk Indonesia sendiri saat ini Wallex masih fokus ke dua kota besar yaitu Jakarta dan Surabaya. Belum ada rencana untuk melakukan ekspansi ke kota-kota besar lainnya di Indonesia.

“Kami cukup beruntung saat ini regulator di Indonesia sudah makin terbuka kepada platform yang kami hadirkan. Namun untuk melakukan ekspansi ke kota baru diperlukan biaya yang besar untuk membangun infrastruktur. Untuk itu kami belum memiliki rencana untuk melakukan ekspansi lagi,” kata Hiro.

Di tengah pandemi, Wallex mengklaim berhasil mencatatkan pertumbuhan pendapatan tahunan hingga 5,5x lipat dalam setahun terakhir. Platform melayani hampir 2.000 klien di sektor perbankan dan teknologi, serta memproses nilai transaksi bruto senilai hampir Rp42 triliun (SG$4 miliar) setiap tahunnya.

“Tahun 2022 ini Wallex memiliki rencana untuk melakukan ekspansi produk dan meluncurkan fitur baru ke UKM, sekaligus menawarkan nilai lebih kepada mereka. Wallex juga memiliki rencana untuk melakukan ekspansi ke pasar lainnya,” kata Hiro.

Selain Wallex, beberapa nama yang sudah mulai menjalankan layanan remitansi online di Indonesia adalah NiumZendomoneyOY!Transfez, dan RemitPro.

Rencana setelah diakuisisi

[Ki-ka] Richard Koh, Founder & Group CEO M-DAQ & Hiro Kiga CEO & Co-Founder Wallex Technologies
Awal tahun 2022 ini Wallex resmi diakuisisi M-DAQ. Akuisisi ini merupakan langkah awal M-DAQ memulai ekspansi pertumbuhan global dalam rangka menangkap berbagai peluang pasar dan memperluas jangkauan rantai nilai hilir (downstream) perusahaan.

Selain dana yang dikucurkan untuk akuisisi, M-DAQ juga akan menyuntikkan modal kerja baru untuk mengakselerasi bisnis Wallex. Entitas gabungan ini akan memproses nilai transaksi bruto senilai lebih dari Rp158 triliun (SG$15 miliar) tahun ini. Selanjutnya Wallex akan tetap beroperasi sebagai entitas bisnis independen di bawah pimpinan Hiro.

Hiro mengatakan, “Proses akuisisi ini terjadi karena sebelumnya kami sudah saling mengenal, antara Wallex Technologies dan M-DAQ. Melihat potensi yang ada dan misi untuk melakukan integrasi antar teknologi, akuisisi ini menjadi langkah yang tepat bagi kami.”

“Kombinasi antara jaringan Wallex Technologies dan keahlian fintech M-DAQ memungkinkan kami untuk membantu pelaku bisnis lintas negara di skala yang jauh lebih besar. Kami optimis bisa meraih target bisnis bersama-sama dengan menciptakan peluang-peluang baru yang memanfaatkan kekuatan masing-masing platform,” tutup Hiro.

Mengenal Yourpay, Aplikasi E-money Remitansi untuk Pekerja Migran

Pemain remitansi sejauh ini masih dikuasai oleh perbankan dengan segala limitasi yang mereka punya, sering kali menyulitkan pekerja migran untuk mengirim gajinya ke keluarga yang ada di Indonesia. Yourpay ingin mengambil kesempatan tersebut dengan pendekatan yang lebih ramah sesuai tren saat ini.

Yourpay adalah aplikasi uang elektronik yang telah mengantongi tiga izin dari Bank Indonesia, yakni penyedia jasa uang elektronik, transfer dana, dan layanan keuangan digital. Startup ini didirikan pada 2018 oleh Christilia Angelica Widjaja sebagai pendiri tunggal. Ia merupakan cucu dari Eka Tjipta Widjaja yang merupakan pendiri Sinarmas Group.

Kepada DailySocial, Founder & CEO Yourpay Christilia menuturkan, ia membangun Yourpay bersumber dari genuine empati terhadap sesama perempuan, khususnya pekerja migran dan ibu. Ia memperoleh inspirasi contoh berbisnis dengan empati dari mendiang neneknya yang merupakan seorang filantropi.

“Youpay memiliki fokus untuk komunitas unbanked dan underbanked dari kalangan pekerja migran beserta keluarganya. Segala hal mulai dari price/performance ratio dan segala fitur diperhatikan dan diciptakan untuk selalu mengedepankan dan memajukan nilai kemanusiaan yang sesuai dengan kebutuhan pengguna,” ucapnya.

Tidak sekadar menjadi pemain e-money, Yourpay mengambil fokus pada layanan remitansi untuk pekerja migran di luar negeri. Mereka dapat dengan mudah mengonversi pendapatannya yang berbasis uang tunai ke saldo Yourpay, langsung terkonversi dalam Rupiah dengan top up melalui mitra outlet. Saldo tersebut dapat langsung dipakai untuk ditransfer ke rekening bank milik salah satu anggota keluarga dan dicairkan kembali untuk membayar berbagai kebutuhan.

Biaya yang dikenakan juga terbilang murah bahkan diklaim dapat menghemat hingga 10,5 kali lipat dari layanan remitansi tradisional. Misalnya, untuk transfer ke sesama aplikasi beda negara dikenakan biaya dimulai dari Rp5 ribu. Aplikasi Yourpay juga menyediakan berbagai fitur pembayaran tagihan PPOB yang sudah bermitra dengan Yourpay, seperti PLN dan BPJS Kesehatan, serta transfer dana ke sesama pengguna Yourpay (p2p transfer).

“Yourpay dibangun dengan perspektif yang jeli, tidak ikut dengan tren metode bakar uang. Hingga saat ini, biaya marketing yang dikeluarkan masih di bawah 1% dari total Gross Revenue. Kami belum pasang iklan di mana-mana dan mengandalkan komunitas grassroot pengguna di luar negeri dan Indonesia.”

Berdasarkan data PBB, lebih dari 200 juta pekerja migran di dunia mengirim uang ke lebih dari 800 juta anggota keluarga setiap tahunnya. Sehingga muncul desakan inisiatif dalam Global Compact for Safe, Orderly and Regular Migration oleh PBB agar penyedia layanan finansial internasional bisa mengurangi biaya transfer dan mempermudah inklusi keuangan yang lebih besar melalui pengiriman uang.

Sebagai catatan, laporan Bank Dunia yang dirilis Mei 2021 mengungkapkan terjadinya penurunan remitansi seluruh pekerja migran 2020 menjadi US$ 540 miliar dari US$ 548 miliar pada 2019. Penurunan yang hanya sebesar 1,6% di tengah pandemi itu menjadi bukti bahwa di tengah kesulitan ekonomi global, para pekerja tidak memangkas kiriman uang kepada keluarga tercinta di rumah.

“Remitansi ini menanggung banyak kebutuhan dasar rumah tangga. Meskipun Covid-19 telah menjadi ujian berat, namun nyatanya data remitansi tersebut menjadi bukti pengikat para migran dengan keluarga mereka di kampung halaman. Yourpay mengadopsi dan turut merayakan hari Internasional Remitansi Keluarga karena memiliki visi untuk fokus melayani pengguna dari kalangan pekerja migran beserta keluarganya.”

Aplikasi Yourpay

Perkembangan bisnis Yourpay

Christilia menyebutkan, nilai rata-rata transaksi yang berhasil diproses Yourpay antara $200-$500 (sekitar Rp2,9 juta-Rp7,2 juta) per bulan untuk top up. Sejak diluncurkan beta version pada Juni 2020, saat ini Yourpay telah mengantongi total kumulatif GMV lebih dari $11 juta (hampir Rp160 miliar), dengan volume transaksi lebih dari 200 ribu.

Pengguna terdaftar Yourpay disebutkan ada lebih dari 50 ribu orang, yang tersebar di Indonesia, Hong Kong, Macau, Singapura, Malaysia, dan Taiwan. Hong Kong dan Macau menjadi kontributor utama bisnis Yourpay dengan persentase 72% dari total kumulatif GMV.

Untuk mendorong bisnis perusahaan di kedua negara tersebut, Yourpay mengumumkan kerja sama strategis dengan Chandra Remittance. Sebanyak 60 outlet Chandra Remittance di Hong Kong kini dapat menerima top up saldo Yourpay. Chandra Remittance adalah perusahaan remitansi lokal yang didirikan oleh mantan pekerja migran asal Lombok. Perusahaan tersebut melayani hampir 95% pekerja migran dari Indonesia untuk mengirim gajinya ke keluarganya di Indonesia.

(tengah) Founder dan CEO Yourpay Christilia Widjaja bersama pengguna Yourpay / Yourpay

Yourpay juga berencana masuk ke Singapura. Saat ini perusahaan sedang memroses pengajuan izin Payment Services Act (PSA) di Monetary Authority of Singapore (MAS). PSA adalah izin untuk sistem pembayaran dan penyedia layanan pembayaran di Singapura. Negara lain yang diincar adalah Malaysia dan Arab Saudi.

Christilia mengatakan untuk mencapai visi perusahaan yang ingin menciptakan lebih banyak dampak buat para pekerja migran, saat ini sedang menggalang putaran dana tahap awal. Sebelumnya perusahaan mengandalkan pertumbuhan bisnis secara organik dan bootstrap. “Yourpay menargetkan untuk mendapat funding dari global investors yang memiliki visi sama dan mengerti pentingnya impact, dan tentunya terus bertumbuh dan meningkatkan tractions,” pungkasnya.

Application Information Will Show Up Here

Transfez Secures Seed Funding Led by East Ventures and BEENEXT

After announcing fundraising plan last year, the fintech platform Transfez that offers digital remittance services today (5/19) just finalized its seed round. This round was led by East Ventures and BEENEXT.

“We are very pleased to have two well-known investors supporting Transfez’s mission. Currently, cross-border payments are complex due to different terms and payment channels in each country. As a result, transactions are expensive and time-consuming. Our goal is to simplify the complex process,” Transfez’ CEO, Edo Windratno said.

The company plans to use the fresh money for product development and market penetration. Currently, Transfez serves the B2C sector offering money transfer services to 26 foreign currencies in more than 50 countries. In addition, Transfez will also expand its services to the B2B payment sector in the near future.

Was founded in early 2020, Transfez has processed a total of IDR1.5 trillion ($105 million) transactions. Apart from the Covid-19 pandemic, they also claim to have experienced a 30 times growth of transactions processed in the past year.

Transfez offers international money transfer services cost up to 10 times lower than conventional banks with an all-digital and real-time process. Customers can send and receive their money in minutes because Transfez has liquidity in every country where the company operates.

“We believe that the Transfez team has the ability to serve millions of Indonesians to send and receive money digitally around the world in a more cost-effective, seamless and secure way,” East Ventures’ Partner, Melisa Irene said.

The rise of remmittance players in Indonesia

Since 2015, there are many remittance services provided by foreign to local platforms in Indonesia. One of the main reasons is to cater for the large number of migrant workers abroad in terms of sending money to their families back home.

The Central Bureau of Statistics (BPS) reports that there are around 276,553 migrant workers abroad. Taiwan, Malaysia and Hong Kong are three most favorite harbor for our workers. Meanwhile, the number of Indonesian students studying in other countries is 20,225 people. Both students and the workforce are the foundation of the remittance business, but the market might continue to widen.

Aside from fintech platforms such as Transfree, Xendit, TransferWise, Wallex, Zendmoney, OY!, TrueMoney, RemitPro which try to offer similar services, banking services like BNI have started to actively develop their technology by establishing strategic collaborations with related parties to strengthen remittance services.

Meanwhile, BRI Ventures is involved in funding Nium, a remittance startup from Singapore.

Yusuf Rendy Manilet, an economist from the Center of Reform on Economics (CORE), said that the popularity of remittances this year cannot be separated from its huge potential. The opportunity remains as digital players are yet to reach all layers put remittances as the next most promising fintech service derivation.

One of the factors driving the large potential for remittances is the number of Indonesian workers and students abroad. Moreover, Yusuf said, Indonesia will experience a demographic bonus. The growth of the productive age will pick up – something he considers reassuring investors of the prospects for the remittance business.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Transfez Kantongi Pendanaan Tahap Awal Dipimpin East Ventures dan BEENEXT

Setelah tahun lalu sempat mengutarakan rencana penggalangan dana, platform fintech yang menawarkan layanan remitansi digital Transfez hari ini (19/5) mengumumkan baru menyelesaikan putaran tahap awal mereka. East Ventures dan BEENEXT terlibat memimpin pendanaan ini.

“Kami sangat senang memiliki dua investor ternama yang mendukung misi Transfez. Saat ini, pembayaran lintas negara rumit karena adanya persyaratan dan jalur pembayaran yang berbeda-beda di setiap negara. Akibatnya, transaksi menjadi mahal dan memakan waktu. Tujuan kami adalah menyederhanakan proses yang rumit tersebut,” kata CEO Transfez Edo Windratno.

Dana segar ini akan dimanfaatkan oleh perusahaan untuk pengembangan produk dan penetrasi pasar. Saat ini, Transfez melayani sektor B2C yang menawarkan layanan pengiriman uang ke 26 valuta asing di lebih dari 50 negara. Selain itu, Transfez juga akan memperluas layanannya ke sektor pembayaran B2B dalam waktu dekat.

Diluncurkan pada awal tahun 2020 lalu, saat ini Transfez telah memproses total transaksi senilai Rp 1,5 triliun ($105 juta). Terlepas dari pandemi Covid-19, mereka juga mengklaim telah mengalami pertumbuhan sebesar 30x lipat dalam jumlah transaksi yang diproses dalam satu tahun terakhir.

Transfez menawarkan layanan transfer uang internasional berbiaya hingga 10x lebih rendah dibanding bank konvensional dengan proses yang serba digital serta real-time. Pelanggan dapat mengirim dan menerima uang mereka dalam hitungan menit karena Transfez memiliki likuiditas di setiap negara tempat perusahaan beroperasi.

“Kami percaya bahwa tim Transfez memiliki kemampuan untuk melayani jutaan orang Indonesia untuk mengirim dan menerima uang secara digital di seluruh dunia dengan cara yang lebih hemat biaya, lancar, dan aman,” kata Partner East Ventures Melisa Irene.

Maraknya pemain remitansi di Indonesia

Sejak tahun 2015 lalu layanan remitansi sudah banyak dihadirkan oleh platform asing hingga lokal di Indonesia. Salah satu alasan utama adalah, untuk meng-cater banyaknya pekerja migran dan TKI di luar negeri dalam hal pengiriman uang kepada keluarga di tanah air.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah TKI di luar negeri berjumlah 276.553 orang. Taiwan, Malaysia, dan Hong Kong merupakan tiga tujuan favorit bagi pekerja kita. Sedangkan jumlah pelajar Indonesia yang menimba ilmu di negara lain 20.225 orang. Baik pelajar maupun tenaga kerja merupakan fondasi bisnis remitansi, namun pasar mereka berpotensi terus melebar.

Bukan hanya platform fintech seperti Transfree, Xendit, TransferWise, Wallex, Zendmoney, OY!, TrueMoney, RemitPro yang mencoba untuk menawarkan layanan serupa, layanan perbankan seperti BNI juga mulai aktif mengembangkan teknologi mereka dengan menjalin kolaborasi strategis dengan pihak terkait untuk memperkuat layanan remitansi.

Sementara BRI Ventures terlibat dalam pendanaan Nium, startup remitansi asal Singapura.

Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai, popularitas remitansi di tahun ini tak lepas dari potensinya yang memang besar. Potensi besar yang relatif belum lama terjamah oleh pemain digital menempatkan remitansi sebagai derivasi layanan fintech berikutnya yang paling menjanjikan.

Salah satu faktor pendorong besarnya potensi remitansi adalah jumlah tenaga kerja dan pelajar Indonesia di luar negeri. Terlebih, menurut Yusuf, Indonesia akan mengalami bonus demografi. Pertumbuhan kelompok usia produktif masih akan meningkat — sesuatu yang ia anggap meyakinkan para investor akan prospek bisnis remitansi.

Application Information Will Show Up Here

Pandemi Tidak Halangi Sinar Bisnis Remitansi di Indonesia

Wabah Covid-19 menjadi alasan utama banyak sektor ekonomi melesu di seluruh dunia. Momen-momen seperti ini selalu memunculkan suatu sektor atau pemain industri yang justru bersinar. Bisnis remitansi adalah salah satunya. Pandemi ternyata tidak menghalangi sinar potensi pasar pengiriman uang khususnya di Indonesia.

Selama masa pandemi ini, kami mencatat ada sejumlah sinyal positif dari pasar yang menunjukkan performa bisnis remitansi tetap kinclong. Kemunculan pemain baru, kabar pendanaan, hingga ekspansi pasar menjadi catatan-catatan menggembirakan dari bisnis ini.

Mendulang momen di kala pandemi

Kami berbicara dengan dua pemain lokal remitansi untuk melihat catatan positif vertikal ini, Transfez dan Topremit. Transfez, yang awal tahun ini telah menjangkau 37 negara, kini jejaknya sudah ada di 47 negara di 5 benua berbeda. Hal ini menunjukkan komitmen mereka menjangkau total 80 negara tahun ini tidak goyah.

Di aspek kecepatan pun, Transfez berhasil meningkatkan kualitas layanannya. Beberapa negara tujuan populer, seperti Singapura, bahkan hanya butuh beberapa detik untuk memperoleh kiriman uang dari pengguna di Indonesia. Negara lain yang punya kecepatan serupa adalah Inggris, Australia, Hong Kong, Filipina, Vietnam, India, Nigeria, Meksiko, hingga Ghana.

“Penambahan negara jangkauan serta peningkatan kecepatan pengiriman tersebut berkontribusi terhadap penambahan jumlah pengguna Transfez. Sejak pandemi COVID-19 di bulan Maret 2020, jumlah pengguna Transfez telah meningkat lebih dari 400%,” terang Head of Marketing & Communication Transfez Diandra Bernadin.

Performa baik juga dialami Topremit. Startup asal Medan ini memperluas jangkauan pasarnya selama pandemi menjadi 55 negara tujuan. Korea Selatan, Turki, dan negara-negara Eropa menjadi tambahan tujuan baru bagi pengguna mereka.

Kecepatan memang jadi faktor penting kualitas layanan remitansi. Topremit mengamini aspek tersebut. Hal ini terlihat dari durasi pengiriman uang dari pengguna di Indonesia ke Korea Selatan, Singapura, dan Inggris Raya yang hanya membutuhkan hitungan menit.

“Kemarin di akhir 2019, kami berhasil memproses lebih dari 280 miliar Rupiah dengan 16.000 user yang mendaftar dan dalam 6 bulan terakhir ini. Transaksi [saat ini] sudah mencapai lebih dari Rp612 miliar dengan 35.000 user,” tukas CEO & Co-Founder Topremit Hermanto Wie.

Faktor pendorong pertumbuhan

Cerahnya perkembangan bisnis remitansi tidak hanya terjadi di Transfez dan Topremit. Beberapa kabar positif datang dari pemain lain. Misalnya pendanaan yang berhasil diperoleh Wallex Technologies awal bulan ini. Wallex, yang mengantongi izin transfer dana dari Bank Indonesia sejak 2018, sukses menggaet pendanaan Seri A dari BAce Capital, SMDV, dan Skystar Capital.

Suntikan dana juga diperoleh Nium, pemain remitansi asal Singapura yang beroperasi di Indonesia. BRI Ventures dan VISA menjadi dua nama yang berpartisipasi memberi pendanaan kepada Nium. Hingga kuartal pertama 2020, Nium dilaporkan sudah mengantongi nilai transaksi sebesar $2 miliar.

Pemain baru yang ikut menjajaki peruntungan bisnis remitansi adalah OY! Indonesia. OY! Indonesia, yang notabene adalah platform wallet aggregator, meluncurkan layanan remitansi pada awal Maret. Saat ini layanan anyar mereka sudah menjangkau Singapura, Malaysia, India, Korea Selatan, dan Tiongkok.

Transfez menjelaskan, situasi pandemi yang menuntut segala hal serba praktis dan beraktivitas dari rumah saja justru mempertebal posisi pemain remitansi digital seperti mereka. Selama ini pasar remitansi Indonesia didominasi bank dan pemain konvensional yang memerlukan kehadiran fisik di kantor cabang atau agen terdekat untuk mengirim uang.

“Bagi kami, krisis menyimpan kesempatan. Dan ini adalah waktu dan kesempatan yang tepat bagi kami untuk memperkenalkan Transfez secara luas,” jelas Edo Windratno, CEO & Co-Founder Transfez.

Sementara Hermanto menjelaskan, kondisi wabah memang mewajibkan pemain remitansi untuk lebih cepat dan lebih luas memberikan layanannya. Situasi karantina wilayah di banyak negara banyak membuat pengguna jasa remitansi berpaling ke platform online seperti mereka.

“Selama pandemi ini, banyak sekali orang yang ingin mengirimkan uang kepada keluarga tercinta di luar negeri karena situasi yang prihatin saat ini. User dan transaksi kami justru meningkat karena tidak nyaman bagi mereka untuk keluar rumah dan melakukan transaksi offline seperti sebelumnya,” imbuh Hermanto.

Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai, popularitas remitansi di tahun ini tak lepas dari potensinya yang memang besar. Potensi besar yang relatif belum lama terjamah oleh pemain digital menempatkan remitansi sebagai derivasi layanan fintech berikutnya yang paling menjanjikan.

Salah satu faktor pendorong besarnya potensi remitansi adalah jumlah tenaga kerja dan pelajar Indonesia di luar negeri. Terlebih, menurut Yusuf, Indonesia akan mengalami bonus demografi. Pertumbuhan kelompok usia produktif masih akan meningkat — sesuatu yang ia anggap meyakinkan para investor akan prospek bisnis remitansi.

“Dengan fakta itu menurut saya jadi dorongan bagi para pemberi dana untuk menyuntikkan dana ke pemain remitansi,” jelas Yusuf.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah TKI di luar negeri berjumlah 276.553 orang. Taiwan, Malaysia, dan Hong Kong merupakan tiga tujuan favorit bagi pekerja kita. Sedangkan jumlah pelajar Indonesia yang menimba ilmu di negara lain 20.225 orang. Baik pelajar maupun tenaga kerja merupakan pondasi bisnis remitansi, namun pasar mereka berpotensi terus melebar.

Meskipun demikian, pemain remitansi lokal masih punya pekerjaan rumah besar, yakni memfasilitasi pengiriman uang dari luar negeri ke dalam negeri. Sesuatu yang belum bisa dilakukan pemain lokal hingga saat ini. Seperti yang dicatat World Bank (2018), uang remitansi yang masuk ke Indonesia mencapai $11 miliar atau sekitar Rp150 triliun, sedangkan remitansi keluar berkisar US$5 miliar atau Rp68,5 triliun.

Aplikasi Remitansi Zendmoney Fokus Jembatani Pekerja Migran

Masih besarnya peluang untuk menghadirkan layanan remitansi kepada Pekerja Migran Indonesia (PMI), menjadi salah satu alasan Zendmoney diluncurkan. Didirikan oleh Bong Defendy, layanan ini telah mengantongi izin beroperasi dari Bank Indonesia. Selain PMI, mereka juga targetkan sektor UKM dalam usaha ekspor/impor. Pada dasarnya layanan remitansi memungkinkan pengguna memanfaatkan jasa pengiriman uang antarnegara secara  aman, cepat, dan terjangkau.

“Secara khusus negara yang kami sasar adalah negara di mana banyak PMI bekerja. Mulai dari Tiongkok, Malaysia, Singapura, hingga Hong Kong. Untuk negara seperti Malaysia dan Hong Kong kebanyakan yang menggunakan Zendmoney adalah para pekerja migran. Sementara untuk negara seperti Tiongkok dan Singapura banyak pelaku UKM yang melakukan transaksi,” kata CEO Zendmoney Bong Defendy.

Memiliki Zmart Store


Cara kerja yang diterapkan oleh Zendmoney serupa dengan layanan remitansi lainnya. Namun yang membedakan, semua mitra atau agen yang bergabung diberikan perangkat khusus. Sementara untuk pemain lainnya kebanyakan memanfaatkan perangkat pribadi milik agen. Saat ini Zendmoney juga telah menjalin kemitraan dengan POS Indonesia.

“Kami memiliki Toko Semar (Zmart Store) yang dikelola oleh para agen di 4 negara. Kebanyakan transaksi yang dilakukan oleh para pekerja migran di luar negeri adalah langsung melalui agen atau yang biasa kami sebut teller. Saat ini Zendmoney memiliki sekitar 100 ribu pengguna aktif,” kata Defendy.

Disinggung apakah penggunaan aplikasi pengguna sudah maksimal, Defendy menyebutkan aplikasi untuk pengguna sudah meluncur sejak tahun 2019 lalu. Namun karena adanya penambahan fitur dan pengembangan sistem, aplikasi sempat ditunda penggunaan dan hanya digunakan oleh kalangan terbatas. Saat ini menurut informasi di Play Store, aplikasi ZMART milik Zendmoney baru diunduh sekitar 50 ribu pengguna.

“Tahun ini kami akan memaksimalkan penggunaan fitur yang tersedia di aplikasi, mulai dari pembelian pulsa, pembayaran PLN, hingga pembayaran uang sekolah. Harapannya semua pengguna bisa mengontrol uang yang dikirimkan ke keluarga melalui aplikasi setelah proses konversi diterapkan,” kata Defendy.

Disinggung seperti apa behavior pengguna Zendmoney yang melakukan pengiriman uang, disebutkan untuk pengiriman uang dalam skala waktu yang cukup rutin banyak dilakukan oleh pekerja migran dengan nominal yang tidak terlalu besar jumlahnya. Sementara untuk pelaku UKM yang banyak melakukan kegiatan bisnis dengan negara seperti Tiongkok dan Singapura, kebanyakan lebih sedikit jumlah pengiriman uang, namun nominal uang yang dikirimkan cukup besar jumlahnya per pengiriman.

“Secara keseluruhan kami tidak melakukan grading masing-masing penggunaan. Namun sesuai dengan fokus Zendmoney dari awal adalah pekerja migran, yang masih mendominasi penggunaan remitansi di platform Zendmoney,” kata Defendy.

Menambah produk untuk traveller

Saat ini Zendmoney telah tersedia di 50 lokasi di 4 negara. Sementara itu transaksi remitansi yang berhasil dibukukan setiap bulannya berkisar Rp40 miliar.

Masih dalam proses pengembangan, Zendmoney akan meluncurkan kartu Zmart Trip, yang bisa digunakan para traveller saat melakukan perjalanan wisata ke luar negeri. Untuk produk tersebut rencananya akan diluncurkan segera tahun ini.

“Konsep kerjanya serupa dengan kartu kredit. Pengguna bisa mengisi uang sesuai dengan jumlah yang diinginkan, nantinya kartu tersebut bisa digunakan untuk transaksi semua produk menyesuaikan konversi yang berlaku,” kata Defendy.

Persyaratan yang dikenakan kepada pengguna adalah, cukup mengisi e-formulir dan menyertakan data diri paspor. Jika dinyatakan lulus proses kurasi, pengguna bisa memanfaatkan kartu Smart Trip di mancanegara.

Application Information Will Show Up Here

Transfez Introduced as a Local Online Remittance Startup

The remittance business is still lucrative to this day. Especially startups that touch this niche are still a handful. A brand new startup named Transfez appeared trying to reap a fortune in the remittance business.

Transfez CEO Edo Windratno said that the initiative to establish a startup appeared in 2018. The experience of sending money in conventional remittance services that takes time and high costs is the reason Windratno makes similar services more efficient. In December 2019 Windratno and his team finally released the Transfez application on Android and iOS.

“Our goal is to make cross-region transfer in this country as easy as a domestic transfer,” Windratno said when being interviewed at his office.

Even though it has been only a month, Transfez developed quickly. The remittance services now reach 37 countries across Asia and Europe. This service is claimed to have sent money of up to 220 billion with users mostly come from students and importers. However, Transfez is currently available to send money from Indonesia abroad.

As a reference, TransferWise is the most popular global remittance startup that currently supports sending funds to Indonesia, including various local e-money platforms.

Mechanism

Fast and cheap are the two things that Edo highlighted from Transfez. The average time required for Transfez to transfer funds is around one day. However, for some destinations, such as South Korea and India, they only need 5 minutes. While the cheap factor is due to transaction costs they charge starts from Rp 50,000 to Rp 100,000.

In each destination, Transfez holds at least one financial or banking institution as partners. The Transfez system requires users to send to their account first. Next, their partners will send money with an equivalent value of the nominal transferred.

“We eliminate various parties involvement which applies in conventional remittances, therefore, we can compete in terms of speed and price,” he added.

Transfez gains income from every transaction that occurs. The inclome also comes from margin exchange as well as the remittance business in general.

Target

Transfez has obtained a license from Bank Indonesia (BI), and its ambition is to expand to 80 destination countries this year. They are targeting some areas, such as the United States, South America, and Africa. In terms of features, they are determined to facilitate sending money from abroad to Indonesia.

Eventually, Transfez has passed the bootstrap phase, which indicates they’re moving towards a funding round. Nevertheless, they are yet to reveal more about this. “There is [plan], but can not be revealed,” Windratno said.

Opportunities in the remittance market are currently wide open in Indonesia. The World Bank (2018) noted that the amount of remittances to Indonesia has reached US$ 11 billion or around Rp150 trillion. While the amount of remittances out was around US$ 5 billion or Rp68.5 trillion. With a relatively small number of players, the opportunity to reap profits in this business is wide open for Transfez.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Transfez Hadir Sebagai Startup Remitansi Online Lokal

Bisnis remitansi masih menggiurkan hingga saat ini. Terlebih startup yang menyentuh ceruk ini masih segelintir. Startup anyar bernama Transfez muncul mencoba memetik peruntungan di bisnis remitansi ini.

CEO Transfez Edo Windratno becerita inisiatif mendirikan startup ini muncul pada 2018. Pengalaman mengirim uang di jasa remitansi konvensional yang memakan waktu dan biaya transaksi yang besar jadi alasan Edo membuat layanan serupa yang lebih efisien. Di bulan Desember 2019 akhirnya Edo dan tim merilis aplikasi Transfez di Android dan iOS.

Goal kita membuat transfer dana lintas negara ini semudah transfer domestik,” ucap Edo saat ditemui di kantornya.

Meski baru berumur sebulan lebih, Transfez bergerak cepat. Layanan remitansi mereka sudah bisa menjangkau 37 negara yang tersebar di Asia dan Eropa. Layanan ini diklaim sudah mengirimkan uang hingga Rp220 miliar dengan pengguna paling banyak dipakai dari pelajar dan importir. Meski begitu, Transfez saat ini baru bisa digunakan untuk mengirim uang dari Indonesia ke luar negeri.

Sebagai referensi, TransferWise adalah startup remitansi global paling populer saat ini yang telah mendukung pengiriman dana ke Indonesia, termasuk ke berbagai platform e-money lokal.

Cara kerja

Cepat dan murah merupakan dua hal paling dibanggakan oleh Edo dari Transfez. Rata-rata waktu yang dibutuhkan Transfez untuk tranfer dana sekitar satu hari. Namun untuk beberapa negara tujuan, seperti Korea Selatan dan India, mereka hanya butuh 5 menit. Sementara faktor murahnya karena biaya transaksi yang mereka kenakan berkisar Rp50.000-Rp100.000.

Di setiap negara tujuan, Transfez memegang setidaknya satu institusi keuangan atau perbankan sebagai mitra kerja. Sistem Transfez mengharuskan pengguna mengirim ke rekening mereka dahulu. Setelahnya mitra mereka akan mengirimkan uang dengan nilai setara dari nominal yang ditransfer.

“Kita mengeliminasi keterlibatan berbagai pihak yang mana berlaku di remitansi konvensional makanya kita bisa bersaing dari segi kecepatan dan harga,” imbuh Edo.

Transfez memperoleh pendapatan dari setiap transaksi yang terjadi. Mereka pun juga mendapat pendapatan dari margin exchange sebagaimana bisnis remitansi pada umumnya.

Target

Transfez yang telah mengantongi izin dari Bank Indonesia (BI) berambisi memperluas negara tujuannya menjadi 80 negara di tahun ini. Amerika Serikat, Amerika Selatan, dan Afrika, merupakan kawasan yang jadi bidikan mereka. Dari segi fitur, mereka bertekad dapat memfasilitasi pengiriman uang dari luar negeri ke Indonesia.

Terakhir, Transfez yang sudah melewati fase bootstrap ini mengindikasikan sedang bergerak menuju putaran pendanaan. Kendati begitu mereka masih sungkan bercerita lebih banyak mengenai hal ini. “Ada, tapi belum bisa diceritakan,” pungkas Edo.

Peluang di pasar remitansi memang masih terbuka lebar di Indonesia. World Bank (2018) mencatat uang remitansi yang masuk ke Indonesia mencapai US$11 miliar atau sekitar Rp150 triliun. Sementara remitansi yang terjadi keluar berkisar US$5 miliar atau Rp68,5 triliun. Dengan jumlah pemain yang terbilang masih sedikit, peluang meraup untung di bisnis ini terbuka lebar bagi Transfez.

Application Information Will Show Up Here

With Rp50 Billion In Hand, Mandiri Capital Indonesia Aims for Three Indonesian Startups Next Year

As a CVC under Bank Mandiri focusing on investment for fintech startups and its supports, Mandiri Capital Indonesia (MCI) claims to have around Rp50 billion funding ready to pour on Indonesian startups.

MCI’s CEO, Eddi Danusaputro said at the announcement of funding to Halofina, that startups focusing on fintech and insurtech have become the main priority. In fact, it’s to be integrated with Bank Mandiri ecosystem and its subsidiaries.

Invested in 13 fintech startups

In total, MCI has invested in 13 fintech startups, including Amartha, PrivyID, Moka, and Investree. In 2020 MCI has plans to invest in 2 or 3 more startups.

“From the beginning we’re not to be very aggressive investing in many startups. Therefore, we only choose the finest local startups interested in developing fintech and insuretech by focusing on product innovation and processing,” he said.

Despite the lack of local players in this sector, MCI has been interested in local remittance services that is to provide relevant services and technologies. Eddie thought, this is quite a great potential, considered the number of migrant workers in need for these services.

“It is probable that we will start focusing on this potential at MCI. For this reason, we are still looking for local startups that have this potential,” he added.

Meanwhile, a service like Halofina that offers digital investment assistant is expected to be implemented into groups or subsidiaries.

“With Halofina, we’re planning to embed the technology into all services available in the ecosystem of Mandiri subsidiaries. One of which is Mandiri Investment Management,” Eddie said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Siapkan Rp50 Miliar, Mandiri Capital Indonesia Bidik Investasi ke Tiga Startup Indonesia Tahun Depan

Sebagai CVC kelolaan Bank Mandiri yang fokus berinvestasi ke startup fintech dan pendukungnya, Mandiri Capital Indonesia (MCI) mengklaim masih memiliki dana sekitar Rp50 miliar yang siap digelontorkan bagi startup Indonesia.

Ditemui saat pengumuman pendanaan ke Halofina, CEO MCI Eddi Danusaputro menyebutkan, startup yang menyasar fintech dan insurtech masih menjadi prioritas utama mereka. Tentu saja agar bisa diintegrasikan ke dalam ekosistem Bank Mandiri dan anak-anak perusahaannya.

Telah berinvestasi di 13 startup fintech

Secara keseluruhan, MCI telah melakukan penyertaan modal di 13 startup fintech, termasuk Amartha, PrivyID, Moka, dan Investree. Tahun 2020 mendatang MCI memiliki rencana untuk berinvestasi kepada 2 atau 3 startup lagi.

“Sejak awal kita memang tidak mau agresif untuk berinvestasi kepada banyak startup. Untuk itu kita sengaja memilih startup lokal terbaik yang tertarik untuk mengembangkan layanan fintech hingga insuretech dengan memfokuskan kepada inovasi produk dan processing,” kata Eddie.

Meskipun masih belum banyak pemain lokal yang bermain dalam sektor ini, MCI juga mulai melirik layanan remittance lokal yang bisa menyediakan layanan dan teknologi yang relevan. Menurut Eddie, potensi tersebut dinilai cukup besar, dilihat dari jumlah TKI dan TKW yang membutuhkan layanan tersebut.

“Besar kemungkinan potensi tersebut akan mulai kita fokuskan di MCI. Untuk itu kita masih mencari startup lokal yang memiliki potensi tersebut,” kata Eddie.

Sementara layanan seperti Halofina yang menawarkan asisten digital investasi diharapkan bisa diimplementasikan ke dalam grup atau anak perusahaan.

“Dengan Halofina saja rencananya kami akan menyematkan teknologi tersebut ke dalam semua layanan yang tersedia di anak perusahaan Mandiri. Salah satunya adalah Mandiri Investment Management,” kata Eddie.