Bagaimana Activision Blizzard Memulai Bisnis Esports?

Sebagai developer dan publisher, Activision Blizzard memiliki sejumlah franchise game, seperti Overwatch, Call of Duty, dan StarCraft. Pada 2015, komunitas gamer telah mengadakan sejumlah turnamen dari berbagai game Activision Blizzard dan menyiarkan pertandingan tersebut di Twitch. Namun, ketika itu, turnamen masih bersifat informal. Activision Blizzard lalu memutuskan untuk membuat divisi media yang bertanggung jawab atas pengembangan esports. Mereka menunjuk Steve Bornstein, mantan CEO ESPN, untuk memimpin divisi tersebut. Selain itu, mereka juga mengajak Mike Sepso, seorang pioneer di industri esports, untuk bergabung dengan divisi baru mereka itu.

Satu tahun kemudian, pada 2016, Activision menunjukkan keseriusannya dalam mengembangkan esports dengan mengakuisisi Major League Gaming (MLG), penyelenggara turnamen esports yang didirikan pada 2002. Dengan ini, Activision memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan dan menyiarkan pertandingan esports. Langkah berikutnya yang Activision ambil adalah mencoba untuk membangun struktur liga esports.

Activision mulai mengadakan Overwatch League pada 2016. Overwatch League menggunakan model franchise dimana tim-tim yang berlaga akan mewakili sebuah kota besar, seperti Los Angeles Valiant, Shanghai Dragons, dan Seoul Dynasty. Dan mulai 2020, Activision juga akan menggunakan sistem kandang-tandang, layaknya olahraga tradisional. Jadi, tim yang menjadi tuan rumah akan menjamu lawannya di markas mereka. Fans bisa membeli tiket untuk menonton pertandingan secara langsung. Penjualan tiket dari pertandingan tersebut menjadi sumber pemasukan baru bagi Activision dan juga organisasi esports yang menjadi tuan rumah.

Call of Duty League juga menggunakan sistem yang sama dengan Overwatch League.
Call of Duty League juga menggunakan sistem yang sama dengan Overwatch League.

Pada awalnya, Overwatch League hanya diikuti oleh 12 tim, yang membayar biaya franchise untuk bisa ikut serta dalam liga tersebut. Sekarang, jumlah tim bertambah menjadi 20 tim. Sukses dengan Overwatch League, Activision mulai mengadakan Call of Duty League pada tahun ini, yang juga menggunakan sistem franchise. Saat ini, ada 12 tim yang berlaga dalam Call of Duty League. Menurut laporan The Motley Fool, dari penjualan franchise esports, Activision telah mendapatkan US$500 juta.

Bisnis esports Activision memang terlihat cukup sukses. Namun, mereka masih bisa mengembangkan bisnis itu agar menjadi lebih besar lagi. Sebagai publisher, Activision memegang hak atas properti intelektual game. Jadi, mereka memiliki berbagai cara untuk memonetisasi game mereka. Selain itu, mereka juga memiliki game lain yang populer, seperti StarCraft dan Warcraft, yang ekosistem esports-nya masih bisa dikembangkan. Mereka juga bisa mengembangkan liga esports mereka yang sudah berjalan.

Tentu saja, selain keuntungan dari segi finansial, Activision Blizzard juga mendapatkan keuntungan lain dengan mengembangkan bisnis esports. Keberadaan liga profesional membuat komunitas pemain menjadi lebih aktif, mereka bermain game lebih lama dan mereka rela untuk menghabiskan uang lebih banyak untuk membeli item dalam game.

Lima Shoutcaster Overwatch League Mengundurkan Diri

Caster memegang peran yang krusial ketika siaran berlangsung. Para caster talent inilah yang bertanggung jawab untuk menjadi “muka” dari acara dan menemani para penonton di venue ataupun livestream. Untuk penyiaran liga yang memakan waktu panjang, penonton akan terbiasa untuk melihat para caster talent yang ada di siaran liga tersebut. Apabila digantikan, penonton akan merasa aneh melihat sesuatu yang berbeda dari yang biasa mereka tonton.

Sumbas: Facebook Bro Pasta
Sumbas: Facebook Bro Pasta

Dalam hal ini, saya akan berikan contoh kasus dari Riantoro “Bro Pasta” Yogi dan Florian “Wolfy” George di PUBG Mobile. Mereka menemani penonton setia PUBG Mobile Club Open selama sebulan penuh dalam siarannya. Setiap hari, ketika penonton membuka siaran tersebut, mereka sudah punya ekspektasi akan melihat Bro Pasta dan WolfyKetika satu turnamen besar PUBGM berjalan di Indonesia, tidak adanya Bro Pasta di lineup caster membuat para penonton geram. Hasilnya adalah, para penonton yang melakukan spam di livestream chat meminta Bro Pasta untuk melakukan cast sembari mengejek caster yang sedang siaran.

Di Overwatch League yang akan memasuki musim ketiganya, mereka kehilangan 5 orang shoutcaster yang memutuskan untuk mengundurkan diri dengan alasan masing-masing. Banyak yang mempertanyakan Blizzard mengenai hal ini. Overwatch League sendiri sedang kesulitan untuk mempertahankan viewership mereka. Dengan segala cara mereka lakukan untuk mendapatkan penonton. Salah satu sumber bahkan mengatakan bahwa Overwatch League menaruh siaran mereka di homepage beberapa website media terkenal. Dengan adanya caster talent yang berpengalaman saja mereka masih kesulitan untuk mengembangkan viewership, apalagi tanpa caster tersebut?

Sumber: TSN
Sumber: TSN

Caster talent yang meninggalkan Overwatch League adalah Christopher “MonteCristo” Mykles, Erik “DoA” Lonnquist, Chris Puckett, Auguste “Semmler” Massonnat, dan Malik “Malik” Forté.

MonteCristo merupakan salah satu caster pertama yang bergabung dengan Overwatch League. Pengalaman dia di esports sudah panjang sekali. Menjadi pelatih di Counter Logic Gaming, shoutcaster League of Legends Korea Selatan dan menjadi co-owner dari organisasi esports. Yang saya maksud di sini adalah, bagaimana Blizzard rela untuk kehilangan orang seperti MonteCristo di Overwatch League. Melalui Twitter-nya, MonteCristo menjelaskan kepergiannya didasari oleh perbedaan pendapat dengan para petinggi di Overwatch League setelah hengkangnya Nate Nanzer selaku Commissioner of the Overwatch League.

“Saya merasa para petinggi Overwatch League saat ini tidak ada yang mengerti esports sama sekali. Kepergian Nate berdampak sangat besar, karena dialah orang yang mengerti Overwatch dan para penontonnya.”

Sama seperti MonteCristo, DoA juga menyebutkan perbedaan pendapat menjadi penyebab dirinya memutuskan untuk mengundurkan diri dari Overwatch League. DoA berencana untuk melanjutkan karir sebagai freelance caster. Ia menginginkan untuk bisa melakukan cast di banyak game. Sebelumnya DoA tidak bisa melakukan hal ini karena memiliki kontrak dengan Overwatch League.

Chris Puckett melalui video di Twitter-nya mengabarkan kepergiannya bukan karena Blizzard. Istrinya yang mendapatkan kenaikan pangkat di pekerjaannya memaksa Chris untuk menetap di New York bersama istrinya. Sebelumnya mereka sempat menetap di New York, tetapi karena pekerjaan Chris di Overwatch League mereka berpindah ke Los Angeles. Chris juga menambahkan bahwa ia sekarang berencana untuk menjadi freelancer lalu ingin melakukan casting game Overwatch dan Call of Duty.

Semmler juga mengumumkan bahwa ia tidak lagi bekerja full time di Overwatch League. Tetapi ia tidak mengatakan alasannya keluar dari OWL tersebut.

Sumber: Zimbio
Sumber: Zimbio

Yang paling terakhir meninggalkan Overwatch adalah Malik. Ia sudah menjadi bagian dari Overwatch League ketika menjadi host saat inaugural season 2018. Keputusannya untuk keluar dari Overwatch League sedikit berbeda dengan DoA dan MonteCristo. Mengutip dari Kotaku, Malik mengakui bahwa ia tidak puas dengan gaji yang ditawarkan oleh Blizzard dan memutuskan untuk keluar. “Saya merasa banyak sekali yang sudah saya lakukan di Overwatch League, dan saya berharap angka yang lebih dibandingkan musim sebelumnya. Tetapi sepertinya Blizzard tidak setuju dengan angka yang saya inginkan.”

Seperti yang saya jelaskan di awal artikel, kehilangan caster talent yang sudah lama menemani acara tersebut berjalan bisa memberikan dampak negatif. Kita bisa melihat kebenarannya nanti di Overwatch League yang akan memulai musimnya pada bulan Februari mendatang. Anda juga bisa melihat artikel mengenai penjelasan musim baru Overwatch League di sini.

Harrisburg University Buka Jurusan Sarjana Esports

Harrisburg University yang berlokasi di Pennsylvania memang kampus yang sangat aktif menjalankan kegiatan esports. Pasalnya, mereka memulai kegiatan esports dari tahun 2018 dengan mendirikan tim esports kampusnya dan memiliki esports arena sendiri. Tim kampus Harrisburg University yang bernama HU Storm juga telah memenangkan Collegiate Overwatch National Championship 2019. Harrisburg University menyediakan beasiswa untuk para atlet esports untuk game League of Legends, Overwatch, dan Hearthstone.

Sumber: technical.ly
Sumber: technical.ly

Berlanjut ke tahap selanjutnya, Harrisburg University membuka program sarjana esports di kampusnya. Program sarjana ini mengajarkan mahasiswa untuk menjadi media content creator, event manager, coach, team manager, marketing manager, analyst, dan yang lainnya. Dikutip dari website Harrisburg, program ini bukan tempat latihan menjadi atlet esports tetapi untuk para mahasiswa yang memiliki passion di esports dan ingin memulai karir di industri esports tersebut. Program ini akan dimulai pada tahun 2020 mendatang.

Tidak heran apabila Harrisburg University giat sekali dalam kegiatan esports. Di dalamnya terdapat orang-orang yang berpengalaman dan memiliki passion di esports. Chad “History Teacher” Smeltz merupakan mantan pelatih dan manager dari tim-tim besar League of Legends di Amerika Serikat seperti Immortals dan NRG esports. Chad merupakan lulusan dari Harrisburg University dan memiliki pengalaman mengajar sejarah di sekolah menengah atas di sana. Pada Harrisburg University, Chad berperan sebagai esports Program Director.

Untuk pelatih Overwatch, Harrisburg University menghadirkan Joe “Joemeister” Gramano. Joemeister merupakan mantan pemain professional yang bermain di Overwatch League di bawah tim Philadelphia Fusion dan menjadi perwakilan Kanada untuk Overwatch World Championship 2017.

Joe "Joemeister" Gramano | Sumber: Dotesports
Joe “Joemeister” Gramano | Sumber: Dotesports

Pelatih League of Legends untuk Harrisburg University juga tidak main-main. Mereka menghadirkan Alex “Xpecial” Chu. Mantan pemain professional di North America LCS yang pernah berada di bawah naungan tim Team Liquid dan Team Solo Mid. Ialah yang membawa tim HU Storm meraih juara di Midwest Campus Clash.

Bekerja Sama Dengan Nerd Street Gamers

John Fazio | Sumber: Bizjournals
John Fazio | Sumber: Bizjournals

Nerd Street Gamers adalah penyelenggara acara dan penyedia fasilitas esports yang berbasis di Philadelphia. Nerd Street Gamers akan berperan sebagai partner dan penasihat dari program sarjana esports di Harrisburg University. Dikutip dari website Nerd Street Gamers, John Fazio selaku CEO dari Nerd Street Gamers berkata “program baru dari Harrisburg University akan menciptakan bibit pelaku industri esports yang professional. Membangun infrastruktur di esports bukan hanya menemukan pemain yang berbakat, tetapi juga memberikan sarana bagi mereka yang ingin berpartisipasi dan program edukasi bagi para talenta muda di esports.

 

Hadiah Natal dan Tahun Baru untuk Penggemar Esports yang Lucu nan Imut

Natal dan tahun baru sebentar lagi tiba! Inilah saatnya saling memberi. Bertukar kado dengan teman menjadi tradisi di beberapa tempat. Apakah Anda sedang mencari hadiah khusus untuk seorang penggemar esports? Kami sudah membuat daftar hadiah yang bisa Anda beli untuk membuat gebetan Anda terpukau.

J!NX Pachimari Overwatch Pom Knit hat

Sumber: Blizzard Gear Store
Sumber: Blizzard Gear Store

Berdesain lucu dengan gambar wajah Pachimari akan membuat seorang penggemar Overwatch tergila-gila. Cocok untuk udara dingin, topi ini dibuat dari anyaman yang akan membuat Anda nyaman.

FNATIC Winter Bundle

Sumber: FNATIC Shop
Sumber: FNATIC Shop

FNATIC bukan hanya di dada ku, tetapi juga di topi dan tas ku. Cocok sekali untuk kalian yang ingin membela FNATIC di The International 2020 nanti. Berlokasi di Swedia yang dingin, tentu saja Anda akan membutuhkan syal dan beanie ini.

Virtus.Pro Plush Slippers

Sumber: Frag Store
Sumber: Frag Store

Anda penggemar tim CS:GO AVANGAR? Tepat sekali apabila Anda membeli alas kaki ini, karena seluruh pemain AVANGAR sudah diakuisisi oleh Virtus.Pro baru-baru ini. Datang ke turnamen Major dengan bergaya bagai maskot beruang Virtus.Pro bukan mimpi lagi.

Overwatch Logo 2-Piece Comforter Set

Sumber: Blizzard Gear Store
Sumber: Blizzard Gear Store

Bed cover berlambang Overwatch ini akan membuat Anda nyaman walau ada badai apapun. Ada icon setiap hero overwatch yang akan menunjukan ke orang-orang bahwa Anda adalah fans terbesarnya Overwatch.

ESL Ugly Christmas Sweatshirt

Sumber: ESL Shop
Sumber: ESL Shop

Sweater dengan sablon yang dicetak dan desain yang unik ini pasti akan membuat hadiah yang tidak terlupakan. Bahan yang tahan lama juga akan membuat sweater bisa dipakai lama. Berencana untuk datang ke event ESL selanjutnya?

Cloud9 2019 Holiday Sweater

Sumber: Cloud9.gg
Sumber: Cloud9.gg

Rayakan liburan natal dan tahun baru dengan sweater bertemakan liburan kali ini dari Cloud9. Seorang penggemar Sneaky, pemain League of Legends dari Cloud9, tentu tidak bisa melewatkan sweater ini. Dan jangan lupa, warna biru khas Cloud9 memenuhi sweater ini. Semua orang yang melihat pasti mengetahui Anda adalah fans Cloud9 sejati.

Overwatch Magnetic Levitating Snowball

Sumber: IGN.com
Sumber: ign.com 

Snowball adalah rekan dari Mei, karakter di Overwatch. Di dalam game-nya, Mei melempar Snowball untuk mengeluarkan jurus Blizzardnya. Snowball melayang di sekitar Mei ketika menemaninya bertempur. Bukan hanya Mei yang bisa memiliki Snowball, Anda juga bisa menjadikannya kado Natal. Di patung ini, Snowball melayang menggunakan daya magnet. Jadi benar-benar seperti sungguhan.

FNATIC Christmas Sweater

Sumber: FNATIC Shop
Sumber: FNATIC Shop

Masih dari FNATIC, sweater printing ini berdesain sangat mencolok dan unik. Lengkap dengan gambar Santa dan mistletoe tentu akan menghidupkan kado hadiah Anda yang bertema liburan natal.

Kalah Saing dengan Overwatch, Battleborn Resmi Diberhentikan pada Januari 2021

Beberapa minggu sebelum Overwatch dirilis, perpaduan gameplay MOBA dan shooter sebenarnya sudah lebih dulu diterapkan oleh game berjudul Battleborn. Kedua game itu memang menawarkan premis yang mirip – first-person shooter dengan karakter yang dibekali beragam skill unik ala game MOBA – akan tetapi yang terbukti sukses rupanya cuma Overwatch.

Sungguh malang nasib Battleborn. Hanya berselang setahun setelah diluncurkan di bulan Mei 2016, game bikinan Gearbox Software tersebut harus ‘turun kasta’ menjadi game free-to-play demi menarik minat lebih banyak pemain. Kini Battleborn malah hanya tinggal menunggu waktu; 2K Games selaku publisher-nya baru saja mengumumkan rencana untuk menutup server Battleborn pada Januari 2021.

Dampak langsung dari pengumuman tersebut adalah hilangnya Battleborn dari berbagai platform distribusi online. Selanjutnya, mulai 24 Februari 2020, para pemain Battleborn tak lagi bisa membeli mata uang virtual yang digunakan di dalam game. Lalu saat masa pensiunnya tiba di tahun 2021, Battleborn benar-benar tidak akan bisa dimainkan lagi oleh siapapun.

Battleborn

Saya pribadi merupakan pemain Battleborn sekaligus Overwatch. Sebagai penggemar berat seri Borderlands, yang notabene merupakan franchise shooter terlaris Gearbox, saya dengan mudahnya terpikat oleh Battleborn, apalagi saya juga sudah menghabiskan ribuan jam bermain DotA dan Dota 2.

Namun yang membuat Battleborn gagal menurut saya justru adalah elemen MOBA-nya yang terlalu kental. Di Battleborn, hero yang Anda mainkan akan bertempur bersama pasukan-pasukan kroco yang kerap disebut dengan istilah minion atau creep di kalangan pemain MOBA. Overwatch tidak demikian, yang saling membunuh hanyalah para hero-nya saja.

Kehadiran minion menjadikan Battleborn lebih menyerupai MOBA dibanding Overwatch. Namun di sisi lain hal itu juga berpengaruh langsung terhadap tempo dan durasi permainannya; satu match di Battleborn berlangsung jauh lebih lama daripada di Overwatch, dan ini menurut saya kurang cocok untuk mayoritas konsumen, terutama mereka yang mengekspektasikan tempo permainan cepat ala game shooter pada umumnya.

Dibandingkan Battleborn, gameplay Overwatch terkesan lebih simpel sekaligus lebih mudah dipahami / Blizzard
Dibandingkan Battleborn, gameplay Overwatch terkesan lebih simpel sekaligus lebih mudah dipahami / Blizzard

Lebih lanjut, elemen MOBA yang kental pada Battleborn juga menjadikan learning curve-nya cukup tinggi. Para pemain baru pasti akan merasa lebih kesulitan menguasai mekanik-mekanik di Battleborn ketimbang Overwatch. Sekali lagi, gameplay yang ditawarkan Battleborn sebenarnya sangat menarik, tapi menarik hanya untuk sebagian kecil konsumen saja.

Sangat disayangkan memang melihat game potensial seperti ini harus dilupakan begitu saja. Sejauh ingatan saya, durasi total saya memainkan Battleborn hanya berkisar puluhan jam, sedangkan di Overwatch saya sudah online selama ratusan jam. Durasi tiap match di Overwatch yang tergolong singkat membuat saya masih bisa sesekali memainkannya meski saya harus menjaga dua orang anak sekaligus.

Seandainya Overwatch tidak eksis, nasib Battleborn mungkin akan lebih beruntung daripada sekarang. Namun kenyataannya tidak demikian. Kedua game ini dirilis hampir bersamaan, dan yang bisa bertahan rupanya adalah yang lebih ramah terhadap pemain baru, bukan yang kelewat kompleks yang hanya memikat kalangan kecil saja.

Via: Gamasutra.

Mampukah Ekosistem Game Blizzard di Indonesia Bertumbuh Subur?

Buat para gamer multiplayer yang seleranya tidak murahan apalagi gratisan, harusnya Anda sudah tidak asing dengan nama besar Blizzard. Khususnya buat mereka-mereka yang sudah mencicipi PC gaming sejak tahun 90an. Pasalnya, jika Bioware adalah trendsetter RPG singleplayer di tahun 90an, Blizzard adalah developer game yang jadi kiblat semua developer lainnya soal multiplayer.

Era Kejayaan Blizzard

Mereka menciptakan seri StarCraft (1998) dan WarCraft (1994) yang kemudian jadi kiblat genre RTS (Real-time strategy). Dua game ini jugalah yang jadi cikal bakal dari MOBA yang sekarang bisa dianggap mendominasi genre esports. Sedikit belajar sejarah, cikal bakal genre MOBA pertama kali dipopulerkan dari sebuah Custom Map untuk StarCraft yang bernama Aeon of Strife — meski memang, jika lebih panjang lagi dirunut, bibit genre ini sudah hadir di game Herzog Zwei yang dirilis untuk SEGA Genesis tahun 1989.

Beberapa tahun berselang, Kyle Sommer alias Eul merilis Custom Map untuk Warcraft 3: Frozen Throne yang bertajuk Defense of the Ancients (DotA). Steve “Guinsoo” Feak pun melanjutkan pengembangan Custom Map tadi di 2004. Di 2005, Feak pun melemparkan tongkat estafet kembali ke IceFrog. Buat yang ingin belajar lebih detail, Anda bisa membaca sejarah lengkapnya di artikel dari Venture Beat ini.

Selain jadi pelopor genre MOBA, perkembangan sejarah industri game dunia juga berhutang pada Blizzard dalam genre Action-RPG dan MMORPG. Adalah seri Diablo (1996) yang menjadi kiblat dari segala jenis Action-RPG dan berbagai jenis varian barunya. Sedangkan World of Warcraft (2004) menjadi panutan berbagai developer game dalam mengembangkan MMORPG. WoW bahkan menyandang Guiness World Record 2009 untuk game MMORPG paling populer di dunia. Di 2014, Blizzard mengumumkan bahwa mereka telah mendapatkan 100 juta akun pelanggan yang berbeda untuk WoW.

Anda boleh percaya atau tidak, namun faktanya tidak ada developer game lain yang lebih sukses dari Blizzard di tahun 1990an akhir dan 2000an awal. Sayangnya, hidup itu memang penuh liku karena Blizzard yang sekarang mungkin harus melepaskan titel jawara developer game multiplayerGame dengan jumlah pemain terbanyak selama beberapa tahun terakhir dipegang oleh LoL dari Riot Games dengan total 80 juta pemain dan 27 juta pemain setiap harinya. Di sisi esports, turnamen dengan hadiah terbesar dipegang oleh The International untuk Dota 2 besutan Valve; terakhir adalah The International 9 yang menyuguhkan total hadiah sebesar US$34,3 juta (atau setara dengan Rp483 miliar).

Lalu apa yang bisa dilakukan Blizzard untuk bisa kembali ke masa kejayaannya? Nanti kami juga akan membahasnya.

Blizzard di Indonesia

12 September 2019 yang lalu, AKG Games (publisher game yang berada di bawah Salim Group) mengumumkan kerja sama mereka dengan Blizzard. Pada konferensi pers yang digelar di CGV Grand Indonesia Paul ChenManaging Director regional Taiwan/SEA, menjelaskan, “saat ini ada 40 juta pemain Overwatch dan 100 juta pemain Hearthstone secara global. Lewat kerjasama ini kami ingin mengembangkan komunitas di Indonesia, meningkatkan pengalaman bermain mereka, dan membangun perkembangannya mulai dari tingkat grassroots.”

Sumber: AKG Games
Sumber: AKG Games

Tak lama berselang, 13 November 2019, AKG Games menggelar konferensi pers untuk mengumumkan dukungan mereka terhadap atlet StarCraft 2 yang akan bertanding ke SEA Games 2019. Bentuk dukungan mereka adalah mengirimkan 2 pemain StarCraft 2 yang jadi perwakilan Indonesia ke Korea Selatan. Kedua pemain tersebut adalah Bondan “Deruziel” Lukman dan Emmanuel “Quantel” Enrique. Keduanya akan dikirim untuk berlatih di bawah  Jake “NoRegreT” Umpleby.

Sampai artikel ini ditulis, AKG Games, yang juga merupakan pemegang lisensi resmi trading card game untuk Pokemon, sudah cukup rutin menggelar berbagai turnamen untuk game-game Blizzard secara berkala. Silakan cek Facebook Page dari AKG Games atau Instagram mereka untuk informasi terbaru untuk turnamen-turnamen game Blizzard di Indonesia seperti Hearthstone, Overwatch, dkk.

Langkah-langkah yang telah dilakukan oleh AKG Games sampai hari ini memang sangat positif. Namun ada satu strategi yang, menurut saya, harus dilakukan untuk membesarkan ekosistem game Blizzard di Indonesia.  Saya akan membahas lebih detail tentang strategi tadi di bagian selanjutnya. Namun sebelumnya, mari kita lihat tantangan apa yang mereka hadapi dengan kondisi pasar gaming PC ataupun console di Indonesia — khususnya PC yang jadi platform yang membawa Blizzard ke puncak kejayaannya.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Banyak para pelaku industri yang memang mengatakan bahwa mobile gaming lebih populer di Indonesia ketimbang platform lainnya. Namun, tidak banyak yang mampu menjabarkan alasannya. Maka dari itu, izinkan saya mencoba menjawabnya.

Pertama, menurut data dari APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), pengguna internet di Indonesia tahun 2019 itu menembus angka 171 juta jiwa. Di sisi lain, angka pelanggan Indihome — yang seharusnya memiliki market share terbesar untuk internet kabel di Indonesia — hanya ada di 6,5 juta pelanggan. Jika kita berasumsi marketshare Indihome ada di 60% untuk pasar internet kabel di Indonesia, berarti total pengguna internet kabel di Indonesia hanya sekitar 10 juta orang atau 5% dari total semua pengguna internet.

Kenapa angka tadi jadi penting? Karena, normalnya, para gamer PC ataupun console memang akan menggunakan koneksi internet kabel. Seberapa banyak dari Anda yang menggunakan koneksi 4G atau malah GPRS untuk bermain Overwatch, Dota 2, Tekken 7, ataupun game-game non-mobile lainnya?

Selain itu, nyatanya, anggaran belanja rata-rata penduduk Indonesia memang masih rendah. Mengingat ponsel sekarang jadi perangkat wajib dan PC gaming ataupun console jadi perangkat mewah buat sebagian besar masyarakat, hal ini membuat keterbatasan akses juga ke banyak game-game Blizzard — yang bahkan bisa dibilang lebih cocok untuk pasar menengah ke atas.

Sumber: DataReportal
Sumber: DataReportal

Masa Depan Ekosistem Game Blizzard

1-2 November 2019, bertempat di Anaheim Convention Center, California, Amerika Serikat, Blizzard pun menggelar konferensi tahunan mereka; Blizzcon 2019. Di acara ini, mereka mengumumkan banyak update termasuk game-game baru yang akan datang seperti Overwatch 2 dan seri terbaru dari franchise legendaris Blizzard, Diablo IV.

Sebelum membahas strategi apa yang bisa dilakukan di Indonesia, saya ingin membahas dulu peluang mereka di pasar global.

Apakah semua update dan game-game baru yang diumumkan di Blizzcon 2019 akan membuat Blizzard kembali ke puncak kejayaannya seperti dulu? Menurut saya pribadi, andaikan mereka menyadari apa yang hilang dari game-game mereka dulu, Blizzard masih punya peluang untuk kembali jadi jawara game multiplayer.

Bagi saya, ada 2 aspek penting yang tak bisa ditemukan lagi dari game-game Blizzard saat ini; yang dulu jadi keunggulan utama mereka.

Pertama, mari kita berkaca dari World of Warcraft. Ada buanyaaak sekali hal yang membuat WoW sukses besar sebenarnya. Pengalaman bermain yang autentik dan inovatif, penekanan pada aspek teamwork, konten yang sungguh kaya dan sangat variatif, dan cerita yang begitu berkesan. Aspek cerita dari WoW, menurut saya pribadi, adalah pembeda terbesar game tersebut dari kebanyakan MMO lainnya. Pasalnya, kebanyakan MMO bahkan tidak menggarap aspek ini dengan serius. Sedangkan WoW menawarkan aspek cerita yang sulit terlupakan.

Sayangnya, Diablo 3, Overwatch, ataupun Hearthstone, belum mampu menawarkan pengalaman bermain yang benar-benar selengkap WoW. Update dari WoW belakangan pun juga masih belum bisa menyamai kekayaan update-update sebelumnya. Pada Blizzcon 2019, Blizzard juga mengumumkan tentang expansion terbaru untuk WoW, yaitu Shadowlands.

Dari penjelasannya, Shadowlands kedengarannya memang sangat menjanjikan. Saya pribadi berharap ekspansi ini mampu mengobati kerinduan semua pecinta MMO. Semoga saja eksekusinya sesuai dengan apa yang dijanjikan dan ekspektasi para fans beratnya.

Andai saja Blizzard bisa kembali menyematkan berbagai keriangan di segala aspek yang membuat WoW istimewa di zamannya ke game-game lainnya (ataupun terbarunya), tidak mustahil juga mereka bisa kembali ke puncak kejayaannya. Namun demikian, WoW bukanlah game yang seistimewa itu jika ia mudah direplikasi — bahkan oleh developernya sendiri. Karena itu, ada satu hal lain yang bisa mereka coba untuk kembali menjadi developer yang begitu dekat dengan komunitas hardcore gamer-nya.

Jawabannya adalah game modding. Buat yang belum tahu apa itu game modding, fitur ini adalah sebuah akses (yang memang sengaja diberikan oleh sang developer ataupun yang ditemukan sendiri oleh komunitasnya) untuk memodifikasi file game yang digunakan. Modding paling sederhana misalnya adalah mengganti value dari file konfigurasi untuk game tersebut, seperti yang bisa dilakukan untuk Pillars of Destiny 2: Deadfire.

Faktanya, game modding jugalah yang sebenarnya berjasa membawa esports sampai ke titik ini. Seperti yang saya bilang tadi, genre MOBA berawal dari Custom Map untuk StarCraft dan Warcraft 3. Tanpa akses ke Custom Map di 2 game tadi, mungkin tidak ada yang namanya Dota 2 dan LoL hari ini. Selain itu, esports FPS yang paling laris sampai hari ini, CS:GO, juga berawal dari game modding untuk Half-Life.

Tak hanya StarCraft dan Warcraft 3, salah satu franchise legendaris dari Blizzard yaitu Diablo juga sebelumnya ramah terhadap modding. Sayangnya, semakin ke sini, semakin banyak developer dan publisher game yang meninggalkan ataupun bahkan menutup akses ke game modding — termasuk Blizzard. Meski memang belum ada yang mengatakannya terang-terangan, kian langkanya akses ke game modding mungkin disebabkan karena fitur ini dianggap tak mampu mendatangkan revenue lebih atau bahkan mengurangi pendapatan.

Padahal, di sisi lain, modding mengijinkan sebuah game bertahan jauh lebih lama dan membuat komunitasnya tetap hidup dan aktif selama bertahun-tahun. Diablo 2, misalnya, meski sudah dirilis 19 tahun silam masih ada mod baru yang dirilis bulan November 2019. Borderlands 2, besutan Gearbox, masih dimainkan oleh 1 juta orang dalam sebulan meski sudah berusia 6 tahun — yang menurut saya diakibatkan juga oleh aktifnya komunitas modding mereka. Komunitas modding Skyrim juga masih aktif yang membuat game tersukses besutan Bethesda tersebut masih eksis meski dirilis 8 tahun silam. GTA V yang juga punya koleksi mods begitu besar bahkan mencetak rekor sebagai produk media terlaris sepanjang masa — mengalahkan semua produk game, film, ataupun musik dalam sejarah dengan angka penjualan sekitar US$6 miliar. Sebagai perbandingan, Avengers: Endgame (2019) ‘hanya’ mencetak angka penjualan sebesar US$2,7 miliar. Apalagi contoh lainnya? Tahu seberapa populer Minecraft? Menurut laporan dari Business Insider di September 2019, Minecraft punya 112 juta pemain setiap bulannya. Game ini punya 52.579 mod (setidaknya saat artikel ini ditulis) di salah satu komunitasnya.

Strategi untuk Ekosistem Game Blizzard di Indonesia

Jujur saja, saya sendiri berpikir bagian sebelumnya dari artikel ini tadi terlalu muluk-muluk… Karena seakan mustahil saja Blizzard mendengarkan pendapat seorang gamer jarang mandi yang satu ini. Namun demikian, mungkin yang lebih realistis adalah soal strategi yang bisa dilakukan oleh AKG Games sebagai publisher game Blizzard di Indonesia.

Dari pilihan kata yang digunakan di sini, mungkin sudah terlihat jelas 2 aspek yang harus ada. Saya memilih kata “ekosistem” bukan tanpa alasan yang gamblang. Definisi ataupun konsep ekosistem menekankan pada keragaman entitas yang saling berinteraksi satu sama lainnya.

Jadi, menurut saya, salah satu strategi yang bisa dilakukan AKG dalam mengembangkan ekosistem game Blizzard adalah merangkul lebih banyak pihak dan menjadikan mereka sebagai stakeholders. Misalnya, mereka bisa memberikan motivasi kepada sejumlah media untuk mengambil peran publikasi, memberikan proyek event ke MET Indonesia atau EO lainnya, dan menugaskan RevivalTV untuk mengurus segala hal yang berhubungan dengan talent. Dengan demikian, pihak-pihak yang kebagian rezeki tadi jadi merasa turut memiliki dan peduli atas keberhasilan ekosistemnya di Indonesia.

Mari kita lihat sebuah studi kasus tentang sejarah ekosistem League of Legends (LoL) di Indonesia. Kala itu, LoL memang hanya digarap oleh satu pihak. Aliran dananya hanya di pusaran itu-itu saja. Otomatis, banyak pihak jadi tak peduli dengan hidup dan matinya. Sederhananya, pola pikirnya seperti ini, “jika saya tidak mendapatkan keuntungan ataupun pendapatan dari sana, kenapa saya harus peduli?” Sebaliknya, di periode yang sama, banyak pihak lebih diuntungkan menggarap Dota 2. Makanya, Dota 2 lebih dipilih oleh kebanyakan para pelaku esports kala itu.

Menurut saya, banyak orang belum menyadari bahwa ada 2 kategori faktor bagaimana sebuah game bisa berkembang di satu negara yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal ditemukan dari game itu sendiri, seperti platform-nya, mekanisme gameplay, kebutuhan spek, ataupun yang lainnya. Sedangkan faktor eksternal adalah soal komunitas, ekosistem esports, talent, tim, media, dan segudang hal lain.

Jika kita bandingkan antara LoL dan Dota 2, faktor internalnya tidak berbeda jauh. Sama-sama di PC, sama-sama tak butuh spek tinggi, sama-sama gratis, dan sama pula genre-nya. Perbedaan yang besar ditemukan di faktor eksternalnya karena semua orang bisa saja menggarap event Dota 2 dan meraup keuntungan dari sana.

Di sisi lain, jika kita ingin membandingkan salah satu game Blizzard, yaitu Overwatch; game lainnya yang bisa dianggap sekelas adalah Rainbow Six: Siege (R6S). Setidaknya, keduanya ditujukan untuk kelas atas. Nyatanya, saat ini R6S bisa dibilang lebih hidup dibandingkan dengan Overwatch di Indonesia. Buktinya, ada Aerowolf (organisasi esports asal Indonesia, meski untuk tim R6S nya tidak ada lagi pemain asal Indonesia) dan Team Scrypt (tim Indonesia yang juga seluruh pemainnya dari Indonesia) ikut R6S Pro League Season 11 bersama dengan tim-tim lain asal Asia Tenggara.

Turnamen yang digarap dan ditujukan untuk komunitas juga sudah rutin dilakukan untuk R6S dari tahun 2017. Jika faktor internal antara kedua game tersebut tidak berbeda jauh, apa yang membedakan? Menurut saya, faktor eksternal tadilah jawabannya. Komunitas R6S lewat R6 IDN yang digawangi oleh Bobby Rachmadi Putra sudah aktif sejak lama. Komunitas R6 IDN juga bekerja sama dengan kami di HYBRID ataupun sejumlah pihak lain (ESL, ESID, dkk) dalam berbagai kesempatan.

Satu contoh lagi, salah satu ekosistem esports di Indonesia yang paling bagus saat ini adalah Mobile Legends: Bang Bang (MLBB). Ekosistem MLBB saya bilang bagus karena hidup dan masih positif sejak 2017. Proyeksi trennya pun juga harusnya masih positif setidaknya sampai 2 tahun ke depan. Memang, banyak yang mengatakan bahwa MLBB punya ekosistem esports yang subur berkat dirilis di platform mobile dan butuh spek ringan. Saya tidak menafikkan argumentasi tersebut namun itu baru dari sisi internalnya. Ada banyak orang yang tidak melihat apa yang terjadi dari sisi faktor eksternalnya. Moonton mengajak MET Indonesia untuk menggarap MPL ID S3 dan S4. Di sisi lain, mereka juga mengajak RevivalTV untuk menjalankan MIC di 2019 ini. Sebelumnya, RevivalTV juga yang menjalankan MPL ID S1 dan S2. Masih ada sejumlah pihak lain yang dirangkul dan kebagian rezeki dari ekosistem esports MLBB. Karena itulah, semua pihak-pihak tadi tentunya tidak ingin juga kehilangan salah satu sumber pendapatannya.

MPL ID S4. Sumber: Dokumentasi Resmi MPL Indonesia
MPL ID S4. Sumber: Dokumentasi Resmi MPL Indonesia

Mungkin memang terlalu naif juga jika berharap game-game Blizzard bisa selaris MLBB di Indonesia. Bukan karena kualitasnya, namun karena target pasarnya dan faktor internal tadi. Bahkan Hearthstone yang tersedia di platform mobile pun punya target pasar kelas menengah ke atas atau setidaknya di atas pasar MLBB yang menargetkan semua golongan. Apalagi jika kita berbicara soal game-game PC dan console milik Blizzard. Ini juga relevansinya kenapa saya tadi menjabarkan beberapa tantangan untuk game-game di platform non-mobile. Tentunya, masih ada PR besar soal infrastruktur ataupun kebijakan ekonomi makro yang mungkin memang jauh dari jangkauan.

Namun demikian, seharusnya game-game Blizzard di Indonesia mampu mengalahkan Rainbow Six: Siege (karena sama-sama ditujukan kelas high-end) dan bersaing popularitasnya dengan Dota 2, Tekken 7, FIFA, PES, ataupun CS:GO (yang cocok untuk kelas menengah) — karena ada publisher yang turun tangan langsung ke pasar Indonesia.

Penutup

Akhirnya, salah satu alasan kenapa Dota 2 punya ekosistem yang paling bergairah di Indonesia pada zamannya adalah karena banyaknya stakeholders yang mau menggarap ekosistem tersebut. Penurunan trennya pun belakangan juga diakibatkan oleh berkurangnya stakeholders di ekosistem ini. Ditambah lagi, tidak ada juga publisher Dota 2 di Indonesia yang akan mendapatkan insentif dari perkembangan komunitas dan hidupnya ekosistem esports tanah air.

Saya pribadi sungguh berharap ekosistem game Blizzard bisa tumbuh subur di Indonesia. Dengan demikian, hal tersebut dapat memancing publisher barat lainnya untuk turut terjun langsung ke sini. Plus, kesuksesan itu sekaligus membuktikan juga bahwa ekosistem esports Indonesia itu tak hanya cocok untuk kalangan kelas bawah namun juga untuk kelas menengah ataupun atas.

Immortal Gaming Jual Tim Overwatch League, Houston Outlaws

Immortals Gaming Club menjual Houston Outlaws, tim yang berlaga di Overwatch League (OWL) pada perusahaan media multi-platform, Beasley Media Group. Immortals mendapatkan hak kepemilikan atas Houston Outlaws ketika mereka mengakuisisi Infinite Esports and Entertainment, yang saat itu masih menjadi perusahaan induk Outlaws. Sejak awal, Immortals memang berencana untuk menjual Outlaws karena mereka telah memiliki tim Los Angeles Valiant, yang juga berlaga di Overwatch League. Sayangnya, tak diketahui berapa jumlah uang yang dikeluarkan Beasley untuk mendapatkan Outlaws. Diperkirakan, nilai franchise untuk Overwatch League mencapai sekitar US$40 juta sampai US$60 juta. Organisasi esports yang membeli franchise ketika Overwatch League pertama kali diadakan hanya perlu mengeluarkan uang sekitar US$20 juta. Namun, sejak saat itu, harga franchise OWL telah naik.

“Sebagai pemilik tim franchise Overwatch League, Los Angeles Valiant, kami senang untuk menyambut Beasley Media Group, Caroline Beasley, Chris Roumayeh, dan keseluruhan grup Beasley/Team Renegades ke Overwatch League,” kata CEO Immortal Gaming Club, Ari Segal, seperti dikutip dari VentureBeat. “Mereka memiliki rencana yang menarik untuk memperkuat hubungan antara Outlaws dan para penonton di Houston dan mereka merupakan pemilik yang strategis dari aset ini. Kami juga ingin berterima kasih pada Bobby Kotick, Dennis Durkin, Pete Vlastelica, dan keseluruhan tim Activision Blizzard karena telah memfasilitasi transaksi ini.”

Logo Houston Outlaws| Sumber: VentureBeat
Logo Houston Outlaws| Sumber: VentureBeat

Sebelum manajemen Houston Outlaws dipindahtangankan ke Beasley, Activision Blizzard bertanggung jawab atas bisnis dan operasi tim tersebut. Beasley Broadcast Group adalah perusahaan yang mengoperasikan sejumlah jaringan radio di Amerika Serikat, negara asalnya. Sebelum mengakuisisi Houston Outlaws, Beasley telah masuk ke ranah esports dengan mengakuisisi Team Renegades pada April 2019 dan CheckpointXP pada 2018. Checkpoint adalah siaran radio esports selama dua jam yang dibuat dua minggu sekali. Saat ini, acara tersebut disiarkan di 70 stasiun radio di Amerika Serikat. CheckpointXP juga memiliki podcast harian di Twitch. CEO Beasley Media Group, Carolina Beasley mengatakan, pengalaman dan investasi perusahaan di divisi khusus esports — BeasleyXP — akan menjadi kunci yang membuat perusahaan mendapatkan untung dari esports.

“Akuisisi Houston Outlaws memperluas platform esports kami yang memang terus berkembang,” kata Beasley. “Mengakuisisi Houston Outlaws adalah kesempatan investasi yang jarang bisa kami dapatkan, karena hanya ada 20 tim yang berlaga di Overwatch League. Dan transaksi ini juga membuat Beasley menjadi rekan dari Blizzard Entertainment dan perusahaan induk mereka, Activision Blizzard, developer dan publisher konten dan layanan interaktif yang ternama di dunia.” Memang, saat ini, semakin banyak investor yang tertarik untuk mendukung esports. Misalnya, Artist Capital Management, investor dari organisasi esports 100 Thieves, minggu lalu mengumumkan bahwa mereka telah menyiapkan dana sebesar US$100 juta (sekitar Rp1,4 triliun) untuk investasi khusus di ranah esports.

Overwatch dan Overwatch 2 Adalah Game yang Sama, dengan Perbedaan Murni pada Aspek PvE

Sebagai pemain Overwatch, saya sempat girang sesaat mendengar pengumuman Overwatch 2 belum lama ini. Sesaat karena setelah mendengarkan penjelasannya, Overwatch 2 lebih terkesan sebagai expansion ketimbang sekuel.

Hal yang benar-benar baru dari Overwatch 2 adalah adanya mode story mission yang bisa dimainkan sendiri atau bersama tiga pemain lain (co-op). Selebihnya, Overwatch 2 juga menghadirkan engine baru, mode PvP baru dan sejumlah map beserta hero baru. Kecuali story mission, fitur lainnya ini rupanya juga bakal merambah Overwatch pertama.

Berdasarkan wawancara Kotaku dengan petinggi tim Overwatch, Jeff Kaplan, Blizzard memang punya rencana jangka panjang untuk menyatukan Overwatch 1 dan Overwatch 2. Mungkin tidak langsung pada saat Overwatch 2 diluncurkan, akan tetapi Jeff bilang bahwa nantinya game client Overwatch 1 dan Overwatch 2 bakal mereka gabungkan menjadi satu.

Gothenburg, satu dari tiga map baru yang telah disiapkan untuk Overwatch 2 (dan Overwatch 1 juga) / Blizzard
Gothenburg, satu dari tiga map baru yang telah disiapkan untuk Overwatch 2 (dan Overwatch 1 juga) / Blizzard

Tujuannya adalah menghindari risiko fragmentasi, memastikan bahwa tidak ada pemain yang diuntungkan karena bermain menggunakan client Overwatch 2 yang dibekali engine anyar. Sederhananya, Overwatch 1 dan Overwatch 2 bakal menjadi game yang sama persis untuk urusan PvP.

Beda kasusnya untuk urusan PvE. Kalau Anda hendak menjajal story mission dan menelusuri narasi dunia Overwatch secara lengkap, maka Anda wajib membeli Overwatch 2. Namun sebaliknya kalau yang dicari hanyalah saling membunuh sesama player, pemilik Overwatch 1 tidak perlu menyediakan dana tambahan lagi untuk membeli Overwatch 2.

Selain memberikan keadilan bagi pemain, keputusan untuk menyatukan Overwatch 1 dan Overwatch 2 ini juga bisa memudahkan tugas developer sendiri. Ketimbang harus merawat dua game yang berbeda, jelas lebih praktis mengurusi satu game saja, dengan perbedaan hanya pada konten PvE itu tadi.

Sumber: Kotaku via PC Gamer.

Tampil Nyaris Tak Terkalahkan, Team USA Bawa Pulang Trofi Overwatch World Cup

BlizzCon 2019 baru saja digelar pada akhir pekan lalu, tepatnya tanggal 31 Oktober – 2 November. Bagi para penggemar Blizzard Entertainment, ajang ini selalu jadi momen munculnya pengumuman penting seputar judul-judul buatan perusahaan tersebut. Tahun 2019 ini misalnya, Blizzard mengungkap keberadaan sejumlah proyek baru seperti Overwatch 2 dan Diablo IV.

Akan tetapi BlizzCon punya peran lebih dari itu. Momen ini sekaligus juga jadi wadah untuk acara esports penting, yaitu kejuaaraan dunia yang disebut Overwatch World Cup. Meski sempat diterpa beberapa kontroversi, terutama masalah penyediaan dana yang menyebabkan belasan tim mengundurkan diri, Overwatch World Cup 2019 akhirnya selesai dilaksanakan, dengan timnas Amerika Serikat keluar sebagai juara.

Dilansir dari ESPN, Team USA memang dari awal sudah dianggap kandidat kuat juara. Tiga dari tujuh anggota timnas ini merupakan pemain profesional dari tim juara Overwatch League Season 2, yaitu San Francisco Shock. Sepanjang World Cup, Team USA tampil dominan bahkan nyaris tak terkalahkan. Mereka mencetak catatan rekor 18-1, hanya mengalami kehilangan angka satu kali yaitu ketika melawan Korea Selatan di semifinal.

Korea Selatan juga salah satu tim kuat yang merupakan juara Overwatch World Cup 2018. Tapi akhirnya mereka harus rela bertekuk lutut di hadapan Team USA. “Yah, kami sebenarnya berpikir bahwa kami akan menang 3-0 melawan semua orang. Tapi kami kehilangan satu map melawan Korea,” kata Jay “Sinatraa” Won, anggota Team USA yang jadi MVP Overwatch World Cup 2019.

https://twitter.com/Ultimate/status/1191093320497287168

Keberhasilan Team USA membawa pulang trofi Overwatch World Cup merupakan kebanggaan tersendiri. Pasalnya, Overwatch World Cup—atau disingkat OWWC—selalu dilaksanakan di Anaheim Convention Center, California, sejak tahun 2016 lalu. Artinya Team USA selalu menyandang gelar tim tuan rumah. Akan tetapi mereka belum pernah jadi juara, bahkan belum pernah masuk peringkat Top 4.

Di lain pihak, Korea Selatan sudah tiga kali jadi juara tak tergulingkan. Tapi tahun ini akhirnya mereka lengser juga. Tim yang berhadapan dengan Amerika Serikat di Grand Final adalah Tiongkok, sementara Korea Selatan terpaksa berkemas dengan membungkus gelar peringkat tiga.

Meski sudah meraih prestasi juara dunia, Team USA mengaku tidak ingin puas dengan satu gelar ini saja. Mereka ingin Amerika Serikat jadi langganan juara di Overwatch World Cup. Mereka sadar bahwa selama ini ada perbedaan kemampuan antara Amerika dan Korea, tapi perbedaan itu pelan-pelan semakin berkurang. Selepas World Cup ini, para pemain Team USA pun harus langsung bersiap-siap menghadap Overwatch League Season 3.

“Overwatch League Season 3 akan jadi sebuah tantangan baru bagi kami,” kata anggota Team USA, Grant “moth” Espe, “Tapi kami akan terus bekerja keras. Kami tidak akan pernah berpuas diri.”

Sumber: ESPN, Team USA Overwatch

Diablo IV, Overwatch 2 dan Semua Game Baru yang Diumumkan di BlizzCon 2019

BlizzCon ialah acara gaming tahunan yang Blizzard langsungkan dalam rangka mempromosikan produk-produk baru mereka. Namun sebuah langkah tidak biasa mereka ambil tahun lalu. Di tengah kerumunan gamer PC, mereka malah menawarkan permainan mobile. Ditambah insiden dengan jawara Hearthstone Blitzchung, perusahaan tampak kehilangan sentuhan soal bagaimana seharusnya memperlakukan pemain.

Banyak orang skeptis dengan BlizzCon tahun ini, dan sesuai agenda, acara tersebut turut diwarnai aksi unjuk rasa membela Hong Kong (kemitraan Activision-Blizzard dengan NetEase dan Tencent dianggap sebagai penyebab dijatuhkannya hukuman keras terhadap Blitzchung karena menyuarakan dukungan terhadap pembebasan Hong Kong). Di sisi lain, fans sangat menanti penyingkapan game baru Blizzard yang sudah lama dirumorkan.

BlizzCon 2019 akhirnya dibuka beberapa jam lalu di tanggal 1 November waktu setempat, digelar di Anaheim Convention Center, Kalifornia. Melewatkan seremoni pembukaannya? Jangan cemas, saya sudah merangkum seluruh permainan anyar yang Blizzard umumkan. Ini dia:

 

Diablo IV

Menyusul desas-desus yang beredar lebih dari satu tahun, Blizzard akhirnya resmi mengungkap Diablo IV lewat dua trailer: sinematik dan gameplay. Arahan desain visual Diablo IV tampak berbeda dari Diablo III yang ‘cukup cerah’ terlepas dari tema dark fantasy-nya. Diablo IV mencoba meneruskan kelamnya dunia Diablo II, sembari kembali menyuguhkan gameplay action-RPG dengan perspektif kamera isometrik.

Trailer sinematik Diablo IV berlangsung selama sembilan menit lebih, dan kontennya malah menyerupai film horor. Seperti game-nya, video ini tidak cocok dikonsumsi oleh mereka yang masih berada di bawah umur – karena penuh kekerasan, darah dan twist mengejutkan. Untuk trailer gameplay, saya melihat eksistensi dari mode kooperatif serta PvP. Hampir bisa dipastikan, Diablo IV akan kembali menggunakan sistem always online seperti Diablo III.

 

Overwatch 2

Overwatch adalah permainan brilian, tapi sejatinya, ia hanyalah first-person shooter multiplayer berbasis hero. Overwatch tidak mempunyai narasi in-game, kecuali lewat dialog antar karakter. Kita baru dapat memahami apa yang terjadi di dunianya lewat film-film animasi singkat serta komik yang Blizzard publikasikan secara terpisah. Overwatch 2 didesain untuk melengkapi pengalaman bermain lewat kehadiran Story Missions dan Hero Missions. Gameplay kini lebhi difokuskan pada konten PvE dan co-op, sembari tetap mempertahankan PvP.

Seluruh hero favorit Anda akan kembali, tapi kini permainan dibangun dengan engine anyar sehingga aspek visualnya jadi lebih baik dan developer bisa menyajikan peta berukuran lebih luas. Uniknya, Blizzard tak mau meninggalkan Overwatch pertama begitu saja dan mencoba ‘menyambungkan’ kedua game. Tiap kali Overwatch 2 memperoleh peta baru, map tersebut juga tersaji buat permainan sebelumnya. Lalu koleksi item kosmetik yang telah susah payah Anda kumpulkan di Overwatch dapat digunakan lagi di Overwatch 2.

 

World of Warcraft: Shadowlands

Dahulu sempat jadi penggemar berat WoW, kini pemahaman saya terhadap cerita game sudah tertinggal jauh. Trailer sinematik Shadowlands difokuskan pada Lady Sylvanas Windrunner. Ia datang kembali ke Icecrown Citadel, kemudian mengajak Bolvar (sang Lich King pengganti Arthas Menethil) berduel. Sylvanas berhasil mengalahkan Bolvar, kemudian merebut mahkota Lich King. Ketika kita mengira ia akan mengenakannya, Sylvanas malah menghancurkan mahkota tersebut.

Aksi itu mengoyak realita, mengekspos Shadowlands di alam normal. Pemain WoW kemungkinan besar familier dengan ‘Shadowlands’, ia adalah tempat singgah ketika karakter Anda tewas. Selain menyuguhkan lokasi-lokasi baru dan memperkenalkan musuh-musuh mematikan (satu contohnya Void Lord), fitur andalan di Shadowlands ialah menghidangkan pemain empat pilihan Covenant: Kyrian, Necrolord, Night Fae, dan Venthyr.

 

Hearthstone: Descent of Dragons

Descent of Dragons akan menjadi expansion pack terakhir dari event Year of the Dragon. Update ini menghadirkan sejumlah mekanisme baru. Saya bukan pemain Hearthstone, namun berdasarkan penjelasan developer Alec Dawson di video, Descent of Dragons memperkenalkan hero card Galakrond, nenek moyang dari segala spesies naga. Ia sangat kuat dan bisa di-upgrade ke tiga wujud berbeda selama ada di deck Anda.

Semua pemain akan mendapatkan Galakrond saat Descent of Dragons meluncur, namun hanya ‘kelas jahat’ yang bisa menggunakannya (Priest, Rogue, Shaman, Warlock, Warrior). Masing-masing orang kemungkinan memperoleh versi berbeda dari Galakrond (Azeroth’s End, The Apocalypse, The Wretched. Sementara itu, ‘kelas baik’ (Mage, Hunter, Druid, Paladin) diperkenankan untuk bermain-main dengan kartu yang tak kalah ampuh, yaitu Side Quest. Cara kerjanya mirip Quest Cards.

Ya itu dia empat game andalan Blizzard Entertainment di BlizzCon 2019. Judul apa yang jadi favorit Anda? Saya pribadi berharap agar Overwatch 2 mampu memberikan pengalaman bermain yang lebih menyeluruh. Namun di antara keempat judul ini, perhatian saya terkunci pada Diablo IV. Saya berharap (walaupun tahu kesempatannya sangat kecil), Blizzard membiarkan gamer bermain secara offline. Dari impresi awal, ARPG dark fantasy ini terlihat begitu mengesankan.