Pengembang Tenaga Surya SUN Energy Peroleh Pinjaman Senilai Rp326 Miliar

Pengembang proyek tenaga surya PT Surya Utama Nuansa (SUN Energy) memperoleh pendanaan dalam bentuk pinjaman jangka panjang senilai $21 juta (sekitar Rp325,7 miliar) dari DEG, lembaga keuangan asal Jerman.

Ini adalah pinjaman kedua dari DEG yang diteken pada Oktober 2023. Sebelumnya, pada 2021, SUN Energy memperoleh pendanaan seri A sebesar Rp360 miliar, salah satunya dari TBS Energi Utama, yang juga mendirikan perusahaan patungan motor listrik Electrum.

Menurut keterangan di situs resminya, dana tersebut akan dipakai untuk membiayai tambahan kapasitas sebesar 50 MW di lebih dari 50 lokasi proyek baru untuk pembangkit listrik tenaga surya atap komersial dan industri di Indonesia.

Didirikan pada 2016, SUN Energy mengembangkan dan menyewakan instalasi photovoltaic (PV) solar ke perusahaan dan industri, seperti pusat perbelanjaan, dengan perjanjian sewa jangka panjang. Hingga saat ini, perusahaan telah mengamankan kontrak proyek dengan total kapasitas sebesar 280MW, di mana 89 proyek sudah selesai, 3 proyek berlokasi di luar negeri, dan sisanya tersebar di 25 kota di Indonesia.

Lebih lanjut disampaikan DEG, Indonesia memiliki potensi besar di sektor energi terbarukan dan dampak pembangunan yang didorong oleh upaya elektrifikasi di daerah pedesaan dan luar Pulau Jawa. Hal ini sejalan dengan upaya SUN Energy dalam mengembangkan solar panel.

Selain itu, investasi ini juga berkontribusi terhadap strategi DEG dalam mendukung transformasi energi ramah lingkungan di Asia. Selain mendukung pelaku usaha muda dan inovatif di negara-negara berkembang, ini menjadi langkah penting dalam upaya Indonesia mendorong bauran energi terbarukan pada 2030.

“Transaksi ini terutama berkontribusi pada goal ke-7 SDG terkait penyediaan energi yang terjangkau dan bersih, dan goal ke-13 terkait aksi iklim,” demikian pernyataan DEG.

PV surya atap komersial dan industri masih merupakan segmen muda dan berkembang yang memiliki peran penting dalam rencana Indonesia untuk meningkatkan pangsa Energi Terbarukan hingga 20% hingga tahun 2030.

Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, realisasi bauran energi baru terbarukan baru mencapai 12,5% pada paruh pertama 2023, meleset dari target yang ditetapkan tahun lalu di level 17,9%. Target ini disebut tidak tercapai karena sebagian besar commercial operation date (OCD) pembangkit EBT diperkirakan baru bisa dieksekusi setahun setelahnya.

Selain SUN Energy, beberapa startup pengembang solar panel di Indonesia antara lain Xurya, Suryanesia, dan SolarKita.

Solusi “End-to-End” SolarKita untuk Pemanfaatan Tenaga Surya

Pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap menjadi salah satu strategi pemerintah meningkatkan pengembangan energi terbarukan di tanah air. Hal ini terkait target yang ditetapkan pemerintah untuk bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025. Hingga Juni 2022, terhitung realisasi bauran EBT tersebut baru mencapai 12,8%.

Pada tahun 2018 silam, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan terkait PLTS atap di Indonesia melalui Permen ESDM No. 49/2018. Hal ini terbukti berhasil meningkatkan adopsi PLTS atap dari hanya 592 pelanggan di bulan November 2018 menjadi 3.781 pelanggan di bulan Mei 2021. Lanskap yang ada mendorong kehadiran sejumlah layanan untuk mendukung pemanfaatan teknologi tersebut, salah satunya SolarKita.

SolarKita didirikan tiga orang yang melihat peluang di industri ini, yaitu Amarangga Lubis sebagai Co-Founder & CEO, Aldamanda A. Lubis sebagai Co-Founder & Chairman of The Board, dan Bambang S. Nugroho sebagai Co-Founder & Head of Technology.

Amarangga, yang lebih akrab disapa Rangga, mengungkapkan hasil kajiannya dari semua format energi baru terbarukan (EBT). Menurutnya yang paling mudah diimplementasi adalah PLTS atap. Sebelum memulai SolarKita, ia telah mencoba menggunakan teknologi ini, namun merasa sisi layanannya masih kurang memuaskan.

“Saya melihat loophole-nya ada pada kebanyakan penyedia layanan yang fokus hanya sampai program instalasi. Padahal, dari sisi pengguna, pengalamannya baru dimulai ketika PLTS-nya dipasang. Di sinilah peran kita untuk memastikan penggunaan PLTS yang optimal. Kita kembangkan platform SolarKita untuk memonitor secara aktif dan memastikan semua performance solar panel dari pengguna berjalan dengan baik,” jelas Rangga.

SolarKita menawarkan layanan end-to-end atau menyeluruh, dimulai dari konsultasi dan edukasi terkait PLTS, diikuti survei ke rumah dan memperhitungkan kondisi dan situasi untuk instalasi PLTS. Tidak berhenti di situ, timnya juga akan membantu proses transisi ke PLN. Untuk pengawasan dan pemeliharaan, perusahaan memiliki platform yang bisa digunakan para pengguna.

Gambaran cara kerja PLTS Atap. Sumber: SolarKita

“Sebenarnya tujuan kita ada untuk mempermudah pengalaman pengguna untuk transisi menggunakan PLTS. Salah satu yang ingin kita tekankan di sini adalah solusi end-to-end atau menyeluruh untuk pemanfaatan PLTS. Kita akan dampingi dari awal seiring penggunaan teknologinya,” tambah Rangga.

Sejauh ini, pemain yang berkompetisi langsung dengan SolarKita di industri adalah Xurya.

Model bisnis dan target ke depan

Secara global, pemanfaatan PLTS ini bukanlah hal baru. Meskipun demikian, di Indonesia, teknologi ini masih awam digunakan. Walau sudah mendapat dukungan dari pemerintah, masih ada beberapa tantangan yang harus dihadapi. Dari sisi edukasi, masih ada stigma bahwa teknologi ini mahal sehingga banyak yang enggan memulai.

Selain itu, masih banyak yang belum paham konsepnya. Di sinilah peran SolarKita untuk bisa memberi edukasi lebih dalam. Selain itu, Rangga  menggarisbawahi regulasi yang masih dinamis, yang mempengaruhi eksekusi di lapangan. Hal ini juga terus diupayakan dan dikomunikasikan melalui Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) yang fokus pada percepatan pemanfaatan energi surya di Indonesia.

Terkait model bisnis, Rangga mengungkapkan bahwa operasional bisnisnya cukup sederhana dengan mengambil margin dari penawaran produk dan layanan. Di samping itu, perusahaan juga menyediakan program referral bagi setiap individu yang memberikan rekomendasi. Ketika berjalan lancar, konsumen akan memperoleh success fee.

Selain memberikan dampak melalui energi baru terbarukan, panel  surya dan PLTS ini disebut telah membuka industri baru. SolarKita mengaku juga memiliki potensi sosial dengan membuka lapangan kerja bagi para pekerja lapangan. “Di sini kita ingin semua masyarakat bisa terlibat. Untuk tim instalasi di lapangan, kita bermitra dengan individu/PT yang sudah kita latih. Banyak tim yang dulunya tukang listrik atau buruh. Terkait upah, kita usahakan industri baru ini bisa menyejahterakan mereka lebih dari yang sebelumnya,” tutur Rangga.

SolarKita juga menawarkan program financing yang bekerja sama dengan lembaga keuangan dan non-perbankan, seperti Bank OCBC untuk kredit multiguna dan juga KoinWorks. Untuk menawarkan proses yang lebih sederhana, perusahaan juga menyediakan opsi rent-to-own dengan konsep serupa program cicilan untuk para pengguna yang ingin memanfaatkan PLTS.

Per tahun lalu, SolarKita telah menjadi bagian dari portfolio New Energy Nexus. Perusahaan ini bergerak dan membentuk ekosistem pendanaan, program dan jaringan yang mendukung startup dan pebisnis di bidang energi bersih. Saat ini perusahaan juga telah tergabung dalam jaringan ANGIN, sebagai jembatan yang menghubungkan investor dan entrepreneur.

Hingga saat ini 80% pengguna SolarKita datang dari kaum residensial. Perusahaan memiliki tim perwakilan di Jabodetabek, Surakarta, dan Bali. Ke depannya, Rangga mengungkapkan ingin ekspansi ke kota-kota besar di Indonesia. Targetnya, perusahaan ingin mengakuisisi 1 megawatt melalui sekitar 330 rumah di tahun 2023.

Disclosure: Artikel ini terbit atas kerja sama DailySocial.id dan ANGIN untuk seri Startup Impact Indonesia. ANGIN turut membantu melakukan proses kurasi startup terkait.

Application Information Will Show Up Here

Usung Panel Surya Mini, Headphone Urbanista Los Angeles Sama Sekali Tidak Perlu Diisi Ulang

Di tengah meledaknya tren headphone wireless dengan active noise cancelling (ANC), daya tahan baterai menjadi kriteria yang semakin diprioritaskan. Hal ini wajar mengingat ANC punya dampak yang signifikan terhadap konsumsi baterai, dan itulah mengapa belakangan ini semakin banyak pabrikan yang meluncurkan headphone ANC dengan daya tahan baterai di atas rata-rata.

Salah satu contohnya adalah Sony WH-1000XM4, yang menawarkan daya tahan baterai hingga 30 jam pemakaian dengan ANC menyala. Contoh lain yang lebih baru lagi adalah Beoplay HX besutan Bang & Olufsen, yang bisa beroperasi hingga 35 jam nonstop dalam sekali pengecasan.

Namun bagaimana seandainya ada headphone ANC yang baterainya tidak perlu diisi ulang sama sekali? Bagaimana seandainya headphone tersebut memiliki cara untuk menghasilkan energi dengan sendirinya, semisal dengan menyerap cahaya matahari dan mengubahnya menjadi energi listrik?

Itulah premis di balik headphone bernama Urbanista Los Angeles ini. Pengembangnya dengan bangga menyebutnya sebagai headphone self-charging pertama di dunia, dan itu diwujudkan lewat sebuah panel surya mini yang diintegrasikan ke bagian headband. Jadi, semakin sering Anda menggunakannya selagi berada di luar ruangan, semakin besar pula energi yang dapat dihasilkan, hingga akhirnya perangkat sama sekali tidak perlu di-charge.

Menurut pengembangnya, menggunakan headphone ini di luar selama satu jam dapat menghasilkan tenaga yang cukup untuk pemakaian selama sekitar tiga jam. Kalau langitnya sedang berawan, maka tenaga yang dihasilkan agak berkurang menjadi setara pemakaian selama dua jam.

Namun yang lebih istimewa lagi, yang dapat dikonversi menjadi energi listrik sebenarnya bukan hanya sinar matahari saja, melainkan juga cahaya lampu dalam ruangan. Kalaupun berada di ruangan yang gelap, pengguna tak perlu khawatir karena baterai milik headphone berdesain over-ear ini sebenarnya bisa tahan sampai sekitar 50 jam penggunaan sebelum akhirnya benar-benar kehabisan daya.

Selebihnya, spesifikasi yang ditawarkan tergolong standar untuk sebuah headphone wireless berteknologi noise cancelling keluaran dua tahun terakhir. Reproduksi suaranya mengandalkan sepasang driver neodymium berdiameter 40 mm, sedangkan konektivitasnya sudah menggunakan Bluetooth 5.0. Transparency mode, yang pada dasarnya merupakan kebalikan dari ANC dan biasanya juga dikenal dengan istilah ambient mode, juga dapat diaktifkan dengan menekan satu tombol.

Daya tarik utamanya tentu adalah kemampuan self-charging itu tadi, dan ini tak akan bisa terwujud tanpa inovasi yang dilakukan oleh sebuah perusahaan bernama Exeger. Ya, panel surya mini tersebut bukanlah rancangan Urbanista sendiri, dan ini berarti ke depannya produsen headphone lain juga bisa ikut memanfaatkan teknologi besutan Exeger yang dinamai Powerfoyle itu.

Pada kenyataannya, sebelum ini Exeger malah sebenarnya sudah punya klien lain yang bahkan lebih terkenal, yaitu JBL. Menjelang akhir 2019, JBL mengumumkan sebuah headphone bernama Reflect Eternal yang dibekali teknologi Powerfoyle yang sama. Sayang sekali produk tersebut tidak pernah terwujudkan karena pandemi keburu melanda, yang secara langsung berdampak pada proses supply chain dan mengacaukan fase pengembangan sekaligus produksi.

Urbanista cukup beruntung karena markas utama mereka berada di kota yang sama dengan markas Exeger di Swedia. Rencananya, Urbanista Los Angeles akan dipasarkan mulai musim panas mendatang. Di Inggris, headphone ini bakal dijual seharga £169, kurang lebih setara 3,4 jutaan rupiah.

Sumber: Wired.

Hyundai Sonata Hybrid Baru Kini Dibekali Panel Surya

Di salah satu episode Top Gear beberapa tahun silam, presenter Jeremy Clarkson sempat mengkritik mobil sport Tesla Roadster generasi pertama. Menurutnya, meski kendaraan menggunakan mesin elektrik, tetap saja tenaga untuk memasok baterai dihasilkan lewat metode-metode yang kadang kurang ramah lingkungan. Ia berargumen: bayangkan berapa lama waktu yang dihabiskan buat mengisi baterai mobil jika cuma berbekal kincir angin.

Terkait hal ini, Hyundai menemukan solusi ‘bebas polusi’ yang bisa membantu mengisi baterai dengan memanfaatkan sumber tenaga terbesar di Bumi: sinar matahari. Tak lama lagi, sang perusahaan otomotif asal Korea Selatan itu akan membekali varian terkini mobil sedan Sonata Hybrid bersama atap berpanel surya. Seperti yang pastinya telah Anda pahami, unit solar roof berfungsi untuk mengubah cahaya matahari menjadi listrik, dan selanjutnya digunakan buat menyuplai baterai mobil.

Teknologi panel surya punya Hyundai dijanjikan mampu mengisi baterai antara 30 sampai 60 persen dalam waktu enam jam. Kehadirannya cukup esensial di kendaraan hybrid seperti Sonata karena varian ini mempunyai kapasitas baterai yang lebih kecil dibanding mobil elektrik tulen. Unit solar roof kabarnya bisa beroperasi baik saat Sonata Hybrid tengah digunakan maupun ketika sedang diparkirkan. Berdasarkan perhitungan Hyundai, eksistensi panel surya diperkirakan mampu menambah daya tempuh kendaraan sebesar 1.300-kilometer dalam setahun.

Hyundai Sonata Hybrid

Solar roof rencananya akan diimplementasikan di varian New Sonata Hybrid, tetapi belum diketahui apakah unit-unit Sonata anyar yang dijadwalkan buat meluncur di kawasan Amerika Utara pada bulan Oktober 2019 nanti telah dilengkapi panel surya atau belum. Sonata sendiri disiapkan sebagai pesaing Honda Accord dan Toyota Camry. Awalnya, lewat varian ini Hyundai mencoba mengedepankan faktor keterjangkauan harga, namun pelan-pelan arahan tersebut mengalami perubahan.

Sonata Hybrid tentu saja bukanlah kendaraan pertama yang menggunakan solar cell. Teknologi serupa sudah dijumpai di mobil hybrid mewah Karma Revero, serta menjadi tema eksperimen Toyota terhadap Prius. Memanfaatkan sinar matahari untuk mengisi tenaga kendaraan (dan bukan sekadar membuat bagian interior mobil jadi panas) ialah hal brilian, apalagi bagi kita yang tinggal di negara beriklim panas.

Meski demikian, teknologi panel surya masih tetap menyimpan sejumlah masalah. Misalnya: ongkos penyediaannya tidak murah dan kehadirannya menambah bobot mobil. Selain itu, belum ada standar pasti keefektifan solar roof dalam men-charge baterai. Agar bisa bekerja maksimal, panel harus diarahkan secara tepat ke matahari, dan itu berarti sulit bagi kita untuk menemui kondisi pengisian teroptimal.

Via DigitalTrends.

Toyota Uji Sistem Panel Surya yang Dapat Menambah Jarak Tempuh Mobil Elektrik Hingga 56 Km per Hari

Meski memegang status sebagai salah satu pabrikan otomotif terbesar sejagat, Toyota sampai detik ini masih belum memiliki mobil bermesin listrik murni yang siap dijual ke konsumen. Namun hal itu bukan berarti mereka tidak pernah sama sekali bereksperimen dengan listrik sebagai bahan bakar mobil.

Pada kenyataannya, generasi pertama Toyota Prius yang diluncurkan di tahun 1997 merupakan mobil hybrid pertama yang diproduksi secara massal. Toyota boleh ketinggalan di segmen all-electric, tapi itu tidak mencegah mereka menjajal inovasi demi inovasi menjelang kehadiran mobil elektrik perdananya, yang diwacanakan bakal hadir tahun depan.

Solar-powered Toyota Prius PHV

Salah satu inovasi yang dimaksud adalah panel surya terintegrasi sebagai bala bantuan mobil elektrik dalam menghemat energi. Bekerja sama dengan NEDO dan Sharp, Toyota berniat memulai pengujian unit Toyota Prius PHV yang telah dimodifikasi dan dipasangi panel surya pada bagian kap mesin sampai ke atap dan kaca belakangnya.

Saya bilang “bala bantuan” karena panel surya ini hanya sanggup menghasilkan energi listrik yang cukup untuk menambah jarak tempuh mobil sekitar 56 kilometer per harinya. Kendati demikian, ini merupakan pencapaian yang cukup signifikan dibandingkan tiga tahun lalu, di mana panel surya opsional milik Prius Prime kala itu hanya bisa menambah jarak tempuh elektriknya sejauh 3,5 km saja.

Solar-powered Toyota Prius PHV

Ini jelas masih jauh dari impian di mana sebuah mobil elektrik hanya perlu mengandalkan suplai energi dari matahari saja. Toyota pun tidak sendirian dalam mengejar impian tersebut. Belum lama ini, sebuah startup bernama Lightyear menyingkap mobil ‘bertenaga matahari’ yang siap diproduksi secara massal dan dipasarkan ke konsumen pada 2021.

Sama seperti mobil pengujian Toyota ini, mobil bernama Lightyear One itu juga mengemas panel surya di bagian kap mesin, atap dan kaca belakangnya. Bedanya, unit Prius yang bakal diuji di sini merupakan mobil hybrid dengan baterai berkapasitas kecil, sedangkan Lightyear One sepenuhnya mengandalkan kombinasi motor elektrik dan baterai.

Toyota sendiri belum berani berbicara terkait implementasi sistem panel surya baru ini. Pengujian ini baru sebatas untuk mengukur seberapa efektif teknologinya dalam menambah jarak tempuh dan efisiensi energi dari sebuah mobil listrik (atau hybrid).

Sumber: Electrek.

Bukan Sembarang Mobil Listrik, Lightyear One Siap Menciptakan Energi Sendiri via Panel Surya Terintegrasi

2015 lalu, sekumpulan mahasiswa asal Eindhoven University of Technology memamerkan prototipe mobil listrik yang sangat istimewa. Namanya Stella Lux, dan yang membuatnya spesial adalah kemampuannya menciptakan energi listrik sendiri dengan berbekal panel surya.

Lebih istimewa lagi, tim mahasiswa yang sama pada akhirnya memutuskan untuk mendirikan startup bernama Lightyear setahun setelahnya, dengan misi memasarkan mobil listrik bertenaga matahari yang dapat dikendarai secara legal di jalanan. Dan mimpi mereka rupanya semakin mendekati kenyataan.

Lightyear One

Mereka baru saja menyingkap Lightyear One, sebuah sedan bermesin listrik ala Tesla Model S, tapi yang memiliki panel surya seluas 5 m² yang membentang dari kap mesin sampai ke penutup bagasi belakang. Panel suryanya pun bukan sembarangan, melainkan yang bisa menghasilkan 20% lebih banyak energi, serta yang sel-sel di dalamnya tetap dapat bekerja ‘memanen matahari’ meski sebagian porsi panelnya tertutup oleh bayangan.

Jadi usai diserap, energi mataharinya bakal langsung dikonversi menjadi energi listrik untuk dipasok ke baterai mobil. Menurut Lightyear, kecepatannya menghasilkan energi dan mengisi ulang baterai sendiri berkisar di angka 12 km per jam. Ini berarti jika mobil Anda diamkan di bawah terik matahari selama delapan jam, maka baterainya punya daya yang cukup untuk membawa mobil menempuh jarak sekitar 96 km.

Lightyear One

Memang kedengarannya tidak terlalu banyak, tapi tetap saja sangat signfikan jika dibandingkan dengan teknologi panel surya pada umumnya. Dan lagi ini bukan satu-satunya metode charging yang disediakan; Lightyear One masih bisa diisi ulang seperti mobil listrik pada umumnya.

Lalu ketika baterainya penuh, ia diestimasikan sanggup menempuh jarak sekitar 725 km. Sayangnya Lightyear belum mau merincikan kapasitas baterai yang diusung One. Mereka hanya bilang ukuran baterainya “relatif kecil”, dan mobil ini juga bukan untuk kebut-kebutan; jumlah motor listriknya memang ada empat (satu di setiap roda), akan tetapi output dayanya tidak disebutkan, sedangkan akselerasi 0 – 100 km/jam membutuhkan waktu sekitar 10 detik.

Lightyear One

Kompromi soal performa jelas merupakan rahasia di balik efisiensi maksimal Lightyear One. Namun ternyata itu baru satu alasan, sebab masih ada alasan lain seputar aerodinamika. Ya, Lightyear sengaja merancang mobil ini seaerodinamis mungkin, dan menggunakan material-material seringan mungkin, sehingga daya dorongan yang dibutuhkan tidak kelewat besar, yang pada akhirnya bisa membantu menghemat energi.

Kalau proses produksinya sama sekali tidak terhambat, unit-unit perdana Lightyear One bakal dikirimkan ke konsumen mulai awal tahun 2021. Lightyear sendiri saat ini sudah menerima pemesanan dari konsumen, dan banderol harganya dipatok mulai 149.000 euro – sama sekali bukan harga yang murah.

Sumber: Electrek.

Matrix PowerWatch 2 Kawinkan Teknologi Thermoelectric dengan Panel Surya Mini

Sekitar dua tahun lalu, sebuah startup bernama Matrix Industries menyingkap smartwatch yang sangat inovatif. Dijuluki Matrix PowerWatch, keunggulannya terletak pada teknologi thermoelectric, yang memungkinkan perangkat untuk mengubah panas tubuh penggunanya menjadi energi, sehingga perangkat pun tidak perlu di-charge baterainya seperti pada umumnya.

Sekarang, Matrix tengah bersiap meluncurkan smartwatch keduanya, PowerWatch 2. Perangkat ini masih mengunggulkan teknologi thermoelectric seperti sebelumnya, akan tetapi kinerjanya kini makin efektif berkat bantuan energi matahari.

Ya, PowerWatch 2 dibekali dengan panel surya mini berbentuk cincin yang mengitari layarnya. CEO Matrix, Akram Boukai, percaya bahwa perpaduan thermoelectric dan panel surya mampu menjaga supaya PowerWatch 2 tidak pernah kehabisan daya. Namun ternyata itu bukan satu-satunya pembaruan yang dihadirkan PowerWatch 2.

Matrix PowerWatch 2

Pembaruan lainnya mencakup heart rate monitor, GPS, layar berwarna, serta ketahanan air yang naik menjadi 200 meter. Usai menerima firmware update nanti, PowerWatch 2 bahkan dapat mendeteksi aktivitas-aktivitas seperti berlari, bersepeda, maupun berenang secara otomatis.

Lebih menarik lagi, semua itu tidak malah membuat fisik PowerWatch 2 jadi lebih bongsor. Pada kenyataannya, tebalnya justru berkurang 1 mm dari pendahulunya. Desainnya pun juga sudah dibenahi, kini tampak lebih sporty dan rugged, sedangkan crown di sisi kanannya kini telah digantikan oleh empat tombol.

Sama seperti pendahulunya, Matrix PowerWatch 2 saat ini sudah mulai dipasarkan lewat situs crowdfunding Indiegogo. Selama masa kampanye, harga paling murahnya dipatok $199, sedangkan harga retail-nya diestimasikan berkisar $499.

Sumber: Wareable.

Hyundai dan Kia Bakal Pasangkan Panel Surya pada Mobil Buatannya

Mobil elektrik dan panel surya merupakan kombinasi yang tepat demi mewujudkan Bumi yang lebih hijau. Namun ketika keduanya disatukan, efisiensi pun menjadi pertanyaan besar. Karena bidang yang tersedia untuk menempatkan panel surya tergolong kecil serta posisi yang kurang optimal, panel surya belum bisa menjadi sumber energi utama suatu mobil elektrik.

Namun itu tidak mencegah Hyundai dan Kia untuk bereksperimen di bidang ini. Meski tak bisa menjadi sumber energi utama, panel surya setidaknya bisa membantu menghasilkan output ekstra untuk mobil elektrik, dan itu tidak ada salahnya diterapkan selama tidak memberikan pengaruh negatif apa-apa.

Hyundai dan Kia tengah sibuk mengembangkan tiga jenis panel surya untuk mobil sekaligus. Generasi yang pertama ditujukan untuk mobil hybrid, yang diestimasikan mampu mengisi 30 – 60 persen kapasitas baterai mobil hybrid dalam kondisi normal dan cuaca yang optimal (tidak hujan atau berawan).

Hyundai semi-transparent solar panel

Generasi yang kedua ditujukan untuk mobil bensin biasa, akan tetapi panel suryanya sendiri berwujud semi-transparan. Karena hampir tembus pandang, panel surya ini dapat diintegrasikan ke panoramic sunroof, membiarkan lebih banyak cahaya masuk selagi mengisi aki mobil secara konstan.

Generasi ketiga adalah yang ditujukan buat mobil bermesin listrik sepenuhnya. Panel ini dirancang untuk dipasang pada bagian atap dan kap mesin demi memaksimalkan output energi yang dihasilkan.

Tujuan akhir yang hendak dicapai Hyundai dan Kia adalah supaya mobil tidak sekadar mengonsumsi energi secara pasif, tapi juga aktif memproduksinya. Kalau untuk menjadi sumber energi utama, sepertinya teknologi panel surya masih harus dikembangkan lebih jauh lagi.

Sumber: Hyundai via Electrek.

Tak Mau Kalah dari Tesla, Nissan Juga Luncurkan Solusi Sumber Energi Listrik Rumahan

Dulunya ditertawakan, Tesla kini telah menjadi panutan industri otomotif terkait mobil elektrik. Obsesi Tesla terhadap listrik sebagai sumber energi yang bersih dan efisien juga terus dikembangkan ke bidang rumahan lewat produk seperti Tesla Powerwall dan Tesla Solar Roof, dan ini rupanya turut menginspirasi pabrikan lain untuk menempuh jalur yang sama.

Adalah Nissan yang secara serius mengikuti jejak Tesla tersebut. Mereka belum lama ini memperkenalkan produk bernama Nissan Energy Solar, semacam solusi sumber energi alternatif untuk rumah, disajikan melalui kombinasi panel surya dan baterai berukuran masif bernama xStorage.

Nissan Leaf berpose bersama baterai xStorage / Nissan
Nissan Leaf berpose bersama baterai xStorage / Nissan

Premis dan cara kerjanya sangat mirip dengan yang Tesla tawarkan, di mana energi listrik yang berasal dari panel surya bakal ditampung di baterai untuk kemudian digunakan ketika dibutuhkan. Di negara seperti Amerika Serikat, solusi semacam ini dapat membantu konsumen menghemat biaya listrik, sebab sistemnya telah dirancang agar dapat menyalurkan energi listrik ketika tarif listrik sedang tinggi-tingginya akibat permintaan yang naik.

Sistem ini tidak dimaksudkan untuk menjadi pengganti jaringan listrik rumah secara sepenuhnya. Kapasitas maksimum baterainya cuma 4 kWh, dan ini tidak cukup untuk pemakaian normal sehari-hari. Seperti yang saya bilang, tujuannya adalah untuk membantu konsumen menghemat biaya tagihan hingga 66% dalam jangka panjang.

Secara fisik, panel surya buatan Nissan ini memang tidak sekeren bikinan Tesla yang menyamar sebagai atap rumah. Desainnya lebih konvensional, tapi toh yang lebih penting adalah fungsinya. Tanpa harus terkejut, tentu saja sistem ini juga bisa dipakai untuk mengisi ulang baterai mobil elektrik Nissan Leaf.

Nissan Energy Solar

Saat ini Nissan Energy Solar baru dipasarkan di dataran Inggris saja. Alasannya, terlepas dari cuacanya yang sering dicap buruk, di Inggris sudah ada hampir satu juta orang yang memakai panel surya di kediamannya. Harganya dipatok $5.200 untuk enam panel surya, atau $10.300 termasuk baterai 4 kWh tadi berikut instalasinya.

Bisa dipastikan Nissan mengincar Amerika Serikat sebagai target selanjutnya, terutama di kawasan yang menyerempet iklim tropis seperti California. Semoga saja Indonesia juga menjadi salah satu incaran Nissan maupun Tesla ke depannya, mengingat kita bisa dibilang lebih kaya soal matahari (lebih panas), dan lagi jaringan listriknya masih sering gangguan.

Sumber: Wired dan Nissan.

Tesla Solar Roof Adalah Panel Surya yang Menyamar Sebagai Atap Tradisional

Lewat Powerwall dan Powerpack, Tesla perlahan mewujudkan visinya akan sebuah ekosistem energi terbaharukan yang praktis sekaligus ramah lingkungan. Sejak awal mengembangkannya, Elon Musk selaku CEO Tesla sudah punya wacana untuk menyandingkan Powerwall dengan panel surya.

Kebetulan sekali, Elon Musk merupakan direktur dari perusahaan ahli instalasi panel surya bernama SolarCity yang didirikan oleh sepupu beliau, Lyndon Rive. Kemitraan unik ini tidak disia-siakan begitu saja; bersama SolarCity, Tesla mengembangkan produk terbarunya yang dijuluki Tesla Solar Roof.

Solar Roof pada dasarnya merupakan kumpulan panel surya yang menyamar menjadi atap tradisional. Dilihat dari dekat maupun jauh, Anda pasti kesulitan membedakannya dengan atap tradisional. Agar penyamarannya semakin sukses, Tesla pun berencana menawarkan empat gaya yang berbeda, termasuk yang berkontur dan bertekstur.

Di dalam masing-masing bagian Solar Roof, bernaung sel panel surya berefisiensi tinggi yang baru bisa kelihatan jika Anda mengamatinya dari atas. Lapisan terluarnya sendiri merupakan material quartz yang diklaim lebih tangguh ketimbang atap genting.

Tesla Powerwall 2 / Tesla
Tesla Powerwall 2 / Tesla

Mendampingi Solar Roof adalah Powerwall 2 yang memiliki desain baru. Wujudnya kini jauh lebih minimalis dari sebelumnya, tapi masih bisa menyimpan energi listrik sebesar 14 kWh – cukup untuk menyuplai daya rumah empat kamar seharian. Harganya sendiri ditawarkan $5.500 per unit.

Powerwall 2 merupakan pasangan yang pas buat Solar Roof, mengingat ia dapat menyimpan akumulasi sisa energi listrik yang dihasilkan panel surya tersebut di pagi sampai siang hari, untuk kemudian dikonsumsi di kala petang – termasuk untuk mengisi ulang baterai mobil Tesla.

Misi Tesla lewat Solar Roof adalah membuat panel surya jadi semenarik revolusi mobil elektrik yang mereka mulai. Pun demikian, Tesla sejauh ini masih belum berani mengungkapkan harga dan ketersediaan Solar Roof, termasuk detail mengenai proses instalasinya nanti.

Sumber: Wired dan Tesla.