V-MODA Luncurkan BassFit, Earphone Wireless untuk Penggila Olahraga

V-MODA bukanlah nama yang pertama kali muncul dalam benak sebagian besar konsumen ketika membicarakan tentang earphone wireless untuk menemani hobi berolahraga. Namun V-MODA sudah siap untuk mengubah anggapan tersebut lewat produk terbarunya yang bernama BassFit.

Dibandingkan Forza Metallo Wireless yang dirilis tahun lalu, kelihatan jelas bahwa BassFit lebih dioptimalkan untuk menjadi pendamping aktivitas fisik yang intensif. Di samping semacam sirip kecil di atas eartip, terdapat pula sebuah ear hook untuk memastikan earphone tidak akan terlepas seheboh apapun penggunanya bergerak.

Menariknya, BassFit tidak memaksakan kombinasi sirip dan ear hook ini untuk digunakan secara bersamaan. Pengguna bebas memilih untuk memasang siripnya saja, ear hook-nya saja, atau dua-duanya sekaligus untuk kestabilan yang paling maksimal.

V-MODA BassFit

BassFit juga tidak mengadopsi gaya neckband seperti Forza Metallo, sehingga semestinya ia bisa lebih nyaman digunakan. Ini juga berdampak pada minimnya bobot perangkat secara keseluruhan di angka 17 gram.

Kendati demikian, V-MODA mengklaim BassFit bisa beroperasi hingga 11 jam nonstop dalam satu kali pengisian. Fast charging pun turut menjadi fitur unggulan; 15 menit pengisian cukup untuk pemakaian selama sekitar 2,5 jam.

Terkait kualitas suara, fokus pada frekuensi rendah alias bass sudah pasti menjadi suguhan utama BassFit kalau melihat namanya, dengan bekal driver 10 mm dan respon frekuensi 20 – 20.000 Hz. Headphone besutan V-MODA selama ini memang juga terkenal akan karakter suaranya yang begitu mantap dentuman bass-nya.

V-MODA BassFit

Secara fisik, BassFit turut mempertahankan tradisi V-MODA yang dikenal tahan banting. Teknologi nanocoating dipercaya mampu meningkatkan ketahanannya terhadap keringat, dan ketika sedang tidak digunakan, kedua eartip bisa ditempelkan secara magnetis.

V-MODA BassFit saat ini sudah dipasarkan seharga $130. Pilihan warnanya ada dua: kombinasi hitam-oranye dan putih-abu-abu.

Sumber: Digital Trends.

Shinola Bluetooth In-Ear Monitors Ramaikan Pasar Earphone Wireless

2017 merupakan tahun penting bagi Shinola, perusahaan asal Amerika Serikat yang memproduksi jam tangan, sepeda beserta produk lain yang masuk segmen luxury goods. Mereka memperkenalkan headphone dan earphone perdananya kala itu, setelah di tahun sebelumnya memulai dengan sebuah turntable.

Komitmen Shinola terhadap barang berkualitas premium membuatnya langsung cukup terpandang di ranah audio. Namun lagi-lagi mereka rupanya masih belum puas. Sekarang, giliran kategori earphone wireless yang mereka cicipi lewat Shinola Bluetooth In-Ear Monitors, yang merupakan hasil kolaborasinya dengan Campfire Audio.

Pemilihan material premium sudah menjadi tradisi Shinola, dan itu terus dipertahankan di sini. Sasis earpiece-nya terbuat dari bahan stainless steel, dengan finish glossy baik pada warna silver maupun hitam. Di dalamnya, bernaung driver berdiameter 8,5 mm yang terbuat dari beryllium.

Shinola Bluetooth In-Ear Monitors

Shinola bilang respon frekuensinya berkisar antara 10 – 20.000 Hz, dengan tingkat distorsi di bawah 1%. Konektivitasnya memang masih Bluetooth 4.2, tapi setidaknya ada dukungan codec aptX HD untuk mengolah file audio beresolusi tinggi (24-bit).

Dalam satu kali pengisian, baterainya diklaim bisa bertahan sampai 12 jam. Charging-nya sudah mengandalkan USB-C, dan fast charging pun turut melengkapi modernitas yang ditawarkannya.

Harganya masih cukup terjangkau untuk standar Shinola: $250, dan sudah dipasarkan sekarang juga. Paket penjualannya mencakup sederet eartip cadangan berbahan silikon dan memory foam, kabel USB-C, serta travel case berbahan fabric.

Sumber: Sound & Vision.

Xiaomi Luncurkan AirDots, True Wireless Earphone Berharga Terjangkau

Dengan begitu banyaknya jumlah pengguna iPhone, tidak heran apabila AirPods disebut sebagai true wireless earphone terlaris sejagat raya. Padahal, banderol $159 terbilang mahal untuk earphone yang kualitas suaranya tergolong biasa-biasa saja.

Alternatif yang lebih terjangkau jelas ada, akan tetapi saya rasa sulit mencari yang lebih ekonomis ketimbang true wireless earphone besutan Xiaomi berikut ini. Namanya AirDots, dan ia dihargai 199 yuan saja (± Rp 425 ribu).

Meski namanya jelas terinspirasi AirPods, desainnya ternyata tidak demikian. Wujudnya seperti kapsul, dengan earpiece berbalut silikon yang diposisikan agak miring sehingga lebih pas dengan bentuk telinga. Sisi luar masing-masing unitnya dapat disentuh untuk mengontrol jalannya musik, menerima panggilan telepon, atau memanggil voice assistant di ponsel.

Xiaomi AirDots

Bobot tiap unitnya cuma 4,2 gram, dan masing-masing dibekali driver berdiameter 7,2 mm. AirDots mengemas konektivitas Bluetooth 5.0, cukup mengejutkan mengingat masih banyak true wireless earphone lain yang lebih mahal yang masih berkutat dengan Bluetooth 4.0 – 4.2.

Dalam satu kali pengisian, baterai AirDots bisa bertahan selama 4 jam penggunaan. Charging case-nya sendiri bisa menyuplai daya ekstra selama 8 jam, sehingga total daya tahan baterainya menembus angka 12 jam.

Tentu saja harus ada kompromi di balik harganya yang begitu murah. Yang paling utama adalah absennya fitur noise cancelling dan bodi tahan air, meski ini mungkin tidak begitu esensial buat sebagian besar konsumen. Satu-satunya kekurangan terbesar AirDots menurut saya adalah, ia baru tersedia di Tiongkok saja.

Sumber: Engadget dan GSM Arena.

Earphone Wireless Jaybird Tarah Pro Ringkas Namun Usung Daya Tahan Baterai 14 Jam

September lalu, Jaybird merilis Tarah, earphone wireless termurahnya yang menawarkan fitur cukup lengkap. Belum ada dua bulan, Jaybird sudah memperkenalkan produk yang lebih baru lagi. Namanya Jaybird Tarah Pro, dan ia merupakan anggota pertama dalam lini baru Jaybird Pro Series.

Secara estetika, desain Tarah Pro sangat mirip seperti Tarah standar. Ketangguhannya pun sama persis, dengan sertifikasi IPX7 yang berarti ia boleh direndam sampai kedalaman 1 meter selama 30 menit.

Saya juga tidak melihat ada perubahan di sektor spesifikasi. Namun yang membuatnya layak mengusung label “Pro” adalah daya tahan baterainya. Dalam satu kali pengisian, Tarah Pro bisa digunakan sampai 14 jam nonstop. Bandingkan dengan Tarah standar yang cuma 6 jam.

Jaybird Tarah Pro

Bukan cuma itu, teknologi fast charging yang Jaybird sematkan juga lebih efektif pada Tarah Pro. Lima menit charging diklaim sanggup memberikan daya yang cukup untuk digunakan selama 2 jam. Sekali lagi bandingkan dengan Tarah biasa yang cuma bisa memberikan daya penggunaan 1 jam setelah di-charge selama 10 menit.

Selebihnya, Tarah Pro identik dengan Tarah. Jaybird tidak lupa memperbarui aplikasi pendampingnya, yang sekarang akan menyuguhkan semacam pengujian sederhana supaya pengguna bisa mendapatkan pengaturan equalizer yang paling pas dengan seleranya masing-masing.

Lalu apakah mereka yang sudah terlanjur membeli Tarah harus menyesal atau malah marah? Tidak juga, sebab Tarah Pro dibanderol lebih mahal di angka $160. Apakah selisih $60 pantas untuk sebatas daya tahan baterai dua kali lebih awet? Menurut saya semuanya tergantung kebiasaan penggunaan tiap-tiap konsumen.

Sumber: Logitech.

Audio-Technica Luncurkan Versi Wireless dari Headphone Terlarisnya, ATH-M50xBT

Nama Audio-Technica sudah pasti tidak asing lagi di telinga para audiophile, apalagi kalau yang dibicarakan adalah headphone ATH-M50 yang legendaris. Bersama suksesornya, ATH-M50x, headphone ini kerap nongol di daftar headphone terbaik dari berbagai publikasi, serta banyak dianggap sebagai pilihan awal yang tepat untuk memulai ‘petualangan’ seorang audiophile.

Tidak terasa sudah 11 tahun lewat sejak ATH-M50 pertama diluncurkan. Zaman jelas sudah berubah, dan eksistensinya mulai terasa kurang relevan seiring bertambah banyaknya smartphone yang tak dibekali jack headphone. Singkat cerita, sudah waktunya ATH-M50 dipermak sesuai standar 2018.

Audio-Technica ATH-M50xBT

Standar yang saya maksud mengacu pada konektivitas wireless. Hasilnya adalah ATH-M50xBT, dengan embel-embel “BT” sebagai indikasi konektivitas Bluetooth 5.0 yang diusungnya. Sebuah kabel masih disertakan dalam paket penjualannya, tapi itu sepertinya bakal jarang digunakan mengingat baterai headphone ini bisa tahan sampai 40 jam nonstop.

Audio-Technica sengaja tidak mengutik desain pendahulunya yang ikonis kecuali menambahkan sejumlah tombol kontrol di earcup sebelah kiri. Earcup kirinya ini juga bisa disentuh selama dua detik untuk memanggil Siri atau Google Assistant pada smartphone yang tersambung.

Audio-Technica ATH-M50xBT

Dimensi earcup-nya tidak berubah, tetap besar dan bisa membungkus telinga dengan baik. Saat sedang tidak dipakai, earcup-nya bisa ditekuk ke arah dalam headband seperti ATH-M50x agar mudah dibawa-bawa, apalagi mengingat bobotnya hanya berkisar 310 gram saja.

Selain mengusung desain yang sama, performanya pun juga diklaim identik, dengan bekal driver 45 mm pada masing-masing earcup-nya. Demi memaksimalkan kualitas suara selama bekerja secara wireless, ATH-M50xBT turut dilengkapi dukungan codec aptX maupun AAC – sayang tidak ada aptX HD.

Audio-Technica ATH-M50xBT

Secara keseluruhan, Audio-Technica ATH-M50xBT tidak lebih dari sebatas ATH-M50x yang dipotong kabelnya dan dijejali baterai beserta chip Bluetooth. Di Amerika Serikat, ia sudah dipasarkan seharga $199.

Sumber: Audio-Technica via Digital Trends.

Headphone Wireless JLab Flex Sport Didedikasikan untuk Penggemar Olahraga Sejati

Beberapa bulan lalu, JLab Audio meluncurkan headphone wireless berdesain retro ala headphone orisinal pendamping Walkman. Sekarang, JLab kembali ke akar bisnisnya, yakni menyajikan solusi audio portabel bagi para penggemar olahraga.

Menariknya, yang mereka luncurkan bukanlah earphone, melainkan headphone wireless tipe over-ear dengan earcup berukuran besar yang membungkus telinga. Headphone tipe ini pada umumnya kurang cocok dipakai sembari berolahraga, akan tetapi JLab sudah membubuhkan ‘sihirnya’ demi mematahkan anggapan tersebut.

JLab Flex Sport

Dijuluki JLab Flex Sport, ia memiliki headband yang begitu lentur sampai-sampai bisa dipelintir 180 derajat. Desain semacam ini tentu bakal membantu membebaskan pergerakan kepala pengguna selagi aktif menguras keringat, namun JLab rupanya belum selesai.

Flex Sport juga datang bersama dua tension headband yang dapat dilepas-pasang sehingga pengguna bebas memilih antara pemakaian yang ketat, normal, atau longgar (tanpa tension headband). Masih belum selesai, Flex Sport turut dibekali headband padding ekstra yang dapat dipasangkan ketika penggunanya memerlukan kenyamanan lebih.

JLab Flex Sport

Lalu kalau Anda melihat bantalan telinganya, tampak bahwa material yang digunakan bukanlah material fabric yang umum. Bantalan ini diklaim bisa menyerap cairan (dalam kasus ini keringat), sehingga pengguna akan tetap merasa nyaman sepanjang sesi latihan.

Keringat yang menumpuk tentu terdengar menjijikkan. Solusinya? Copot bantalan tersebut, lalu cuci dengan tangan atau menggunakan mesin cuci. Simpel nan cerdas.

JLab Flex Sport

Terkait fitur, Flex Sport yang dibekali sepasang driver 40 mm dan konektivitas Bluetooth 4.2 ini juga tidak malu-malu. Utamanya berkat fitur Be Aware yang ketika aktif, memungkinkan suara dari luar untuk masuk sehingga pengguna bisa lebih awas terhadap sekitarnya.

Dalam satu kali pengisian, baterai Flex Sport bisa tahan sampai 20 jam pemakaian. Charging-nya mengandalkan sambungan USB-C, sedangkan pengoperasiannya mengandalkan deretan tombol di sisi earcup.

Konsumen yang tertarik sudah bisa memesan JLab Flex Sport seharga $100.

Sumber: PR Newswire via SlashGear.

Mighty Vibe Adalah iPod Shuffle-nya Para Pelanggan Spotify

Dua tahun lalu, sebuah startup bernama Mighty Audio memperkenalkan kembaran iPod Shuffle yang ditujukan bagi para pelanggan Spotify. Perangkat bernama Mighty itu sukses terealisasi via Kickstarter, dan sekarang pengembangnya sudah menyiapkan suksesornya yang membenahi banyak hal.

Dijuluki Mighty Vibe, penampilannya sepintas kelihatan mirip, masih dengan layout tombol ala iPod Shuffle dan satu tombol ekstra untuk mengganti playlist. Deretan icon-nya disederhanakan, dan pilihan warna yang ditawarkan kini mencakup hitam, biru dan merah.

Mighty Vibe

Namun desain bukanlah kelemahan utama Mighty, melainkan stabilitas koneksi Bluetooth-nya. Menurut Engadget, generasi pertamanya kesulitan mempertahankan koneksi dengan headphone Bluetooth seandainya perangkat tidak dijepitkan ke baju, alias tidak benar-benar dekat dengan headphone.

Mighty Vibe dipastikan telah mengatasi kendala ini berkat penggunaan antena baru. Perangkat bisa disimpan di kantong celana, dan koneksinya dengan headphone Bluetooth akan tetap terjaga dengan baik. Bukan cuma itu, Mighty Vibe tidak pilih-pilih perangkat Bluetooth yang kompatibel seperti pendahulunya.

Penyempurnaan lainnya diterapkan pada sektor efisiensi daya. Meski Mighty orisinal diklaim memiliki baterai yang tahan hingga lima jam, kenyataannya sejumlah konsumen melaporkan kurang dari itu. Untuk Mighty Vibe, daya tahannya dipastikan lebih bisa mendekati angka 5 jam.

Mighty Vibe

Selebihnya, Mighty Vibe masih mirip perihal fungsionalitasnya. Asalkan Anda sudah berlangganan Spotify Premium, Anda bisa menjejalkan lebih dari 1.000 lagu ke dalam storage-nya yang berkapasitas 8 GB untuk dinikmati secara offline sembari berolahraga.

Penyempurnaan pada aplikasi pendampingnya pun tidak dilupakan oleh pengembangnya. Alhasil, proses syncing dan pairing perangkat Bluetooth pada Mighty Vibe diklaim jauh lebih mudah dari sebelumnya.

Tertarik? Mighty Vibe saat ini sudah bisa dibeli seharga $86.

Sumber: Engadget.

Grado GW100 Adalah Headphone Bluetooth Pertama yang Berdesain Open-Backed

Sebelum tren menghilangnya headphone jack dari smartphone, headphone wireless sebenarnya sudah banyak, akan tetapi jumlahnya kian banyak lagi sejak Apple memelopori tren kontroversial tersebut. Pabrikan yang tadinya tidak punya headphone wireless jadi tergerak untuk mencicipi peruntungan di ranah tersebut. Tidak terkecuali Grado.

Grado, bagi yang tidak tahu, adalah produsen headphone asal Amerika Serikat yang cukup dikenal di kalangan audiophile. Sejumlah nilai yang kerap diasosiasikan dengan Grado di antaranya adalah desain open-backed, serta proses pembuatan secara handmade. Tidak sedikit pula yang mengecap Grado sebagai produsen yang konservatif.

Jadi ketika perusahaan seperti Grado memutuskan untuk menggarap headphone wireless, Anda bisa menilai sendiri betapa besar pengaruh tren menghilangnya headphone jack itu tadi. Ya, perangkat bernama Grado GW100 ini merupakan headphone wireless perdana mereka.

Grado GW100

Yang membuat GW100 begitu unik dibandingkan headphone wireless lain adalah desainnya yang open-backed (kelihatan dari grille yang ada di sisi luar masing-masing earcup). Sepintas, perpaduan konektivitas wireless dan desain open-backed terdengar kurang ideal, sebab asumsinya headphone wireless bakal sering dibawa bepergian.

Desain open-backed sering kali diyakini mampu menyuguhkan detail yang lebih baik dan staging yang lebih luas, akan tetapi kelemahannya isolasi suara betul-betul absen, baik dari luar maupun dari dalam. Memakai headphone ini di tempat umum yang berisik, seperti di bandara misalnya, jelas bukan pengalaman yang menyenangkan.

Grado GW100

Terlepas dari itu, Grado sebenarnya ingin menyajikan kualitas khas perangkat audiophile dalam kemasan yang lebih praktis dan fleksibel. Desain open-backed berarti skenario penggunaan yang paling ideal adalah di rumah sendiri, tapi karena wireless pengguna jadi bisa memakainya selagi melakukan aktivitas lain, seperti menyapu dan mengepel misalnya.

Terkait isolasi suara, Grado bilang bahwa suara dari dalam yang bocor keluar tidak sekeras di headphone mereka lainnya. Suara dari luar masih akan masuk sepenuhnya, tapi rancangan baru yang diterapkan pada GW100 diklaim mampu mengurangi kebocoran suara dari dalam hingga 60%.

Grado GW100

Secara keseluruhan, wujud GW100 masih mirip seperti headphone Grado lainnya, dengan nuansa retro yang amat kental. GW100 masuk kategori headphone on-ear, dengan bantalan yang cuma menempel pada telinga, bukan membungkus. Di samping tombol power, perangkat turut mengemas sepasang tombol volume, jack 3,5 mm dan port micro USB untuk charging.

Dalam satu kali pengisian, baterainya diyakini bisa tahan sampai 15 jam pemakaian. GW100 menggunakan konektivitas Bluetooth 4.2, lengkap dengan dukungan codec aptX. Unit driver yang ditanamkan diklaim sama persis seperti yang ada pada headphone lain mereka yang sekelas, dengan respon frekuensi 20 – 20.000 Hz.

Grado GW100

Penggemar berat Grado saat ini sudah bisa membeli GW100 seharga $249. Grado tidak lupa menawarkan sejumlah aksesori opsional seperti hard case, storage box dan headphone stand yang dijual terpisah.

Sumber: The Verge dan Grado.

Earphone Marshall Minor II Bluetooth Kawinkan Desain Retro dengan Bluetooth 5.0 dan Baterai 12 Jam

Marshall memperkenalkan headphone noise cancelling pertamanya bulan Maret lalu, dan tidak lama kemudian merilis Major III Bluetooth. Sang produsen amplifier baru saja kembali merilis produk anyar, kali ini penerus dari earphone Marshall Minor yang diluncurkan di tahun 2011.

Dijuluki Minor II Bluetooth, ia mengusung desain baru yang lebih simpel, tapi masih terkesan retro seperti produk Marshall lainnya. Bentuknya mengingatkan saya pada Google Pixel Buds, dengan eartip non-fleksibel ala earphone bawaan iPhone. Secara keseluruhan, bobotnya tidak lebih dari 22,5 gram.

Marshall Minor II Bluetooth

Juga mirip adalah mekanisme pengaturan panjang kabelnya, sehingga konsumen dapat menyesuaikan posisinya dengan sangat pas. Emblem logo Marshall di sisi luar yang terbuat dari bahan kuningan rupanya magnetis, memungkinkannya untuk ditempelkan satu sama lain saat sedang tidak dipakai. Dalam posisi ini, musik akan otomatis di-pause, dan perangkat masuk dalam mode standby.

Minor II dibekali driver 14,2 mm dengan respon frekuensi 20 – 20.000 Hz. Konektivitas yang digunakan sudah Bluetooth 5.0, serta mendukung codec aptX. Unit remote sekaligus mikrofon tidak lupa disematkan, dan kenop multi-fungsi berwarna emas yang sudah menjadi ciri khas lini headphone wireless Marshall rupanya tetap eksis di sini.

Marshall Minor II Bluetooth

Dalam satu kali pengisian, Minor II bisa digunakan sampai 12 jam nonstop. Proses charging-nya membutuhkan waktu sekitar 2 jam, akan tetapi perangkat rupanya juga telah mendukung fitur fast charging; pengisian selama 20 menit dapat memberikan daya yang cukup untuk digunakan selama 2 jam.

Sayang sekali charging-nya masih menggunakan kabel micro USB. Terlepas dari itu, Marshall Minor II Bluetooth saat ini telah dipasarkan seharga $130. Pilihan warnanya ada tiga: hitam, cokelat, dan putih, semuanya dengan aksen warna emas.

Sumber: SlashGear.

Speaker Devialet Phantom Reactor Kecil tapi Suaranya Sekeras Pertunjukan Orkestra

Mayoritas konsumen mungkin tidak tahu, akan tetapi kalangan audiophile paham betul bahwa Devialet Phantom adalah salah satu speaker wireless paling perkasa yang pernah ada, dengan dimensi keseluruhan yang masih masuk kategori ringkas.

Kendati demikian, Phantom bukanlah speaker yang paling mudah dibawa-bawa, apalagi dengan bobot yang mencapai angka 11,4 kilogram. Banderol yang mencapai $3.000 juga jauh dari kata terjangkau bagi konsumen kelas non-sultan.

Devialet Phantom Reactor

Untuk itu, sang pabrikan asal Perancis telah menyiapkan alternatifnya, yakni Devialet Phantom Reactor. Desainnya sama persis seperti lini Phantom orisinal, masih seperti hasil racikan tangan spesies alien, akan tetapi ukurannya menyusut cukup drastis sampai sekitar separuhnya.

Phantom Reactor memiliki dimensi 219 x 157 x 168 mm, dengan bobot 4,3 kg dan volume total 3 liter. Perpaduan tweeter dan medium driver pada Phantom orisinal telah digantikan oleh satu full-range driver yang terbuat dari bahan aluminium.

Devialet Phantom Reactor

Untuk mereproduksi suara dalam frekuensi rendah alias bass, Phantom Reactor mengandalkan sepasang bass driver, juga dari bahan aluminium. Perpaduan semuanya sanggup memberikan respon frekuensi antara 18 – 21.000 Hz.

Melanjutkan tradisi Phantom orisinal, Phantom Reactor pun tidak malu-malu soal output berkat kombinasi amplifikasi analog (Class A) dan digital (Class D). Ia hadir dalam dua varian; satu dengan tenaga 600 watt dan volume maksimal 95 dB, satu lagi dengan 900 watt dan 98 dB. Kata Devialet, suara yang dihasilkannya tidak kalah keras dibanding sebuah pertunjukan orkestra.

Devialet Phantom Reactor

Semua itu datang dari speaker yang dapat diletakkan di atas satu telapak tangan berukuran besar jika mau. Terkait konektivitas, Phantom Reactor mengusung Wi-Fi, Bluetooth, input analog dan optical, serta dukungan atas Spotify Connect, AirPlay dan UPnP. Ke depannya, konsumen juga dapat menyambungkan dua unit Phantom Reactor via firmware update.

Masalah portabilitas telah teratasi, lalu bagaimana dengan harganya? Phantom Reactor dibanderol $1.000 untuk varian 600 watt, dan $1.300 untuk varian 900 watt. Masih mahal, tapi tetap jauh lebih ekonomis daripada Phantom orisinal. Pemasarannya akan dimulai pada tanggal 24 Oktober mendatang.

Sumber: Digital Trends dan PR Newswire.