Usable Storage Milik PS5 dan Xbox Series X Jauh di Bawah yang Diiklankan

Beberapa hari menjelang dimulainya pemasaran PlayStation 5 dan Xbox Series X/S, sejumlah detail penting terkait kedua console next-gen tersebut mulai terkuak. Yang ingin saya bahas kali ini adalah, seberapa besar kapasitas penyimpanan yang dimiliki masing-masing console, sebab informasi resmi yang beredar belum mengungkap cerita lengkapnya.

Seperti yang kita tahu, PlayStation 5, baik versi standar maupun versi Digital Edition yang tidak dilengkapi optical drive, datang membawa SSD berkecepatan tinggi dengan kapasitas 825 GB. Namun pada praktiknya, kapasitas yang tersedia yang bisa kita isi dengan game jauh di bawah itu.

Bocoran dari seorang leaker ternama menunjukkan bahwa unit review PS5 yang ia terima cuma mempunyai ruang penyimpanan kosong sebesar 667 GB. Ke mana sisa 158 GB-nya? Kemungkinan besar dipakai untuk sistem operasi, serta fungsi caching guna mewujudkan semacam fitur quick resume seperti yang ditawarkan oleh Xbox Series X/S.

Opsi untuk mengekspansi storage-nya tentu tersedia, tapi tidak semudah menancapkan hard disk eksternal begitu saja seperti kasusnya pada PS4. Pasalnya, seperti yang saya katakan tadi, PS5 menggunakan SSD berkecepatan tinggi, spesifiknya yang memanfaatkan teknologi PCIe 4.0 dengan kecepatan transfer data maksimum 5,5 GB per detik.

Singkat cerita, konsumen PS5 memerlukan storage tambahan yang setidaknya sama cepatnya, dan video bongkar jeroan PS5 yang Sony unggah sendiri beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa PS5 dilengkapi satu slot SSD M.2 NVMe. Kalau boleh menebak, ke depannya kita bakal melihat SSD M.2 NVMe dari sejumlah pabrikan yang telah mendapatkan validasi resmi dari Sony demi menjamin kompatibilitasnya dengan PS5.

Xbox Series S dan Xbox Series X

Lalu bagaimana dengan Xbox Series X? Well, kasusnya rupanya kurang lebih sama. Dari kapasitas 1 TB yang diiklankan, pengguna hanya mempunyai akses ke 802 GB kalau berdasarkan pengalaman hands-on IGN. Sisa hampir 200 GB itu pun juga dipakai untuk sistem operasi sekaligus fungsi caching, sehingga beberapa game benar-benar bisa dilanjutkan secara instan meski pengguna sempat keluar ke menu utama, atau malah sempat membuka game lain.

Xbox Series S pun juga demikian. Dari kapasitas total 512 GB, yang dapat dipakai untuk menyimpan game cuma sekitar 364 GB berdasarkan informasi yang tersebar di Reddit. Kedengarannya terlampau kecil memang, tapi perlu dicatat bahwa ukuran game untuk Series S diperkirakan 30% lebih kecil daripada game yang sama di Series X karena hanya berjalan di resolusi 1440p.

Untuk ekspansinya, baik Xbox Series X dan Series S sama-sama mengandalkan semacam cartridge khusus yang bisa dijejalkan melalui panel belakangnya. Cartridge tersebut tidak murah, dan sejauh ini baru tersedia dari Seagate dengan harga $220 untuk kapasitas 1 TB, hampir seharga Xbox Series S itu sendiri.

Xbox Series X storage expansion card

Satu hal yang cukup unik dari Xbox Series X/S adalah bagaimana pengguna nantinya punya opsi untuk menghapus hanya sejumlah porsi dari suatu game, semisal porsi single-player ketika mereka hanya mau memainkan mode multiplayer-nya saja. Syaratnya tentu saja adalah harus ada dukungan dari masing-masing developer game terlebih dulu.

Opsi seperti ini pastinya bakal sangat ideal untuk game seperti Call of Duty: Black Ops Cold War, yang menurut Activision sendiri membutuhkan lebih dari 130 GB di console next-gen. Kalau benar pengguna Xbox Series X/S bisa menghapus sejumlah porsi dari game tersebut, mereka tentu dapat menghemat banyak ruang penyimpanan dengan menghapus porsi single-player usai menamatkan campaign-nya.

Topik seputar kapasitas penyimpanan ini penting mengingat masing-masing console next-gen punya opsi ekspansi yang cenderung terbatas. Terbatas dalam artian pengguna tak bisa lagi menjalankan game yang tersimpan di hard disk eksternal secara langsung. Well, sebenarnya masih bisa tapi khusus untuk gamegame generasi sebelumnya saja, bukan yang versi next-gen yang siap disajikan dalam resolusi 4K 120 fps.

Ukuran game versi next-gen itu sendiri juga diperkirakan bakal lebih besar daripada gamegame current-gen, sebab untuk menyajikan kualitas visual yang lebih baik, tentu dibutuhkan aset grafik yang lebih kompleks dan mendetail, dan itu semua jelas memakan storage.

Via: Games Radar.

Evolusi Controller PlayStation dari Masa ke Masa

Saya memainkan PlayStation ketika saya masih SD. Ketika itu, saya sadar bahwa tombol X digunakan untuk memberi jawaban ya atau mengonfirmasi jawaban. Namun, saya kemudian juga sadar, pada game-game tertentu, tombol X justru digunakan untuk membatalkan pilihan. Game-game tersebut biasanya punya satu kesamaan, yaitu menggunakan Bahasa Jepang. Hal ini membuat saya paham, di Jepang, tombol X dan O memiliki fungsi “terbalik”.

Berkiblat pada negara-negara Barat, Indonesia menjadikan tombol X untuk konfirmasi dan tombol O untuk batal. Namun, lain halnya dengan Jepang. Di Negeri Sakura tersebut, tombol O justru digunakan untuk konfirmasi dan tombol X untuk batal. Perbedaan ini muncul karena adanya perbedaan budaya antara Jepang dan negara-negara Barat.

Di Jepang, “X” — alias batsu — melambangkan kesalahan, menurut laporan The Verge. Bagi Anda yang sering mendapatkan nilai merah ketika sekolah, pasti familier dengan lambang yang satu ini. Sementara itu, ikon lingkaran — atau maru — justru memiliki arti yang sama dengan lambang centang. Jika Anda sering menonton acara kuis Jepang, Anda pasti pernah melihat ikon “O” ketika peserta memberikan jawabanyang benar.

Negara-negara Barat punya budaya yang berbeda. Di Amerika Utara dan Eropa, “X” justru dianggap sebagai lambang target. Misalnya, pada peta harta karun, “X” akan melambangkan tempat harta berada. Selain itu, tombol X juga punya posisi yang strategis. Alhasil, tombol X dipilih sebagai tombol konfirmasi pada game. Berbeda dengan Jepang, di negara-negara Barat, ikon “O” tidak memiliki arti apapun. Jadi, ikon ini bisa digunakan sebagai lambang batal.

Jika ditanya mana yang benar, saya akan menjawab tidak ada. Karena perbedaan fungsi tombol muncul karena perbedaan budaya. Masalahnya, hal ini memberikan pekerjaan ekstra untuk para developer game. Jadi, jangan heran jika…

 

Sony Bakal Menyeragamkan Tombol Konfirmasi Pada PlayStation 5

Selama empat generasi konsol, Sony tidak pernah keberatan untuk mengakomodasi perbedaan penggunaan tombol di Jepang. Namun, mereka berencana untuk menyeragamkan fungsi tombol pada PlayStation 5. Hal itu berarti, para gamer di Jepang harus membiasakan diri untuk menggunakan tombol X sebagai konfirmasi dan tombol O sebagai batal. Menurut laporan Kotaku, perwakilan Sony menjelaskan, alasan mereka melakukan hal ini adalah untuk memudahkan para developer dalam membuat game. Alasan lainnya adalah untuk menyeragamkan pengaturan tombol di semua negara.

Tentu saja, keputusan Sony ini mendapatkan protes dari gamer Jepang. Memang, ada gamer yang percaya diri jika mereka akan bisa menyesuaikan diri dengan perubahan ini. Namun, tidak sedikit juga gamer percaya bahwa keputusan Sony ini akan membuat banyak orang Jepang kebingungan. Bahkan ada orang yang mengatakan, mereka tidak akan membeli PlayStation 5 karena hal ini.

Kejadian ini membuat saya penasaran: bagaimana perusahaan game seperti Sony menentukan layout dari tombol pada controller. Kenapa D-Pad diletakkan di sebelah kiri? Kenapa Sony memilih untuk menggunakan ikon X, O, kotak, dan segitiga? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, saya akan membahas tentang controller sejak awal.

 

Sejarah Controller

Berbicara tentang sejarah controller, tentu tak lepas dari Spacewar, yang dianggap sebagai salah satu video game pertama. Spacewar bisa dimainkan berdua. Masing-masing pemain akan mengendalikan sebuah pesawat luar angkasa. Seorang pemain akan dinyatakan sebagai pemenang ketika dia berhasil menghancurkan pesawat musuh. Untuk memainkan Spacewar, pemain bisa menggunakan empat dari delapan switch yang ada pada PDP-1. Dua switch berfungsi untuk memutar pesawat ke kiri atau ke kanan, satu switch untuk mengaktifkan thruster pesawat dan satu switch lain untuk menembakkan torpedo.

Hanya saja, ada beberapa kelemahan dari sistem kendali ini. Salah satunya adalah para pemain harus menghafal fungsi dari masing-masing switch. Pasalnya, empat switch pada PDP-1 saling berdampingan. Jadi, sulit untuk membedakan switch yang berfungsi untuk memutar pesawat dengan switch untuk menembakkan torpedo. Masalah lainnya adalah switch yang digunakan untuk bermain Spacewar terletak dekat dengan tombol power. Hal ini meningkatkan risiko pemain secara tidak sengaja mematikan komputer saat sedang bermain.

Control box untuk Spacewar. | Sumber: Tom Tilley
Control box untuk Spacewar. | Sumber: Tom Tilley

Masalah pada sistem kendali untuk Spacewar mendorong Alan Kotok dan Robert A. Saunders untuk membuat sebuah control box. Sesuai namanya, control box berbentuk kotak dengan dua switch dan satu tombol. Switch horizontal untuk membelokkan pesawat dan switch vertikal untuk menyalakan thruster. Sementara tombol pada control box berfungsi untuk menembakkan torpedo. Jika dibandingkan dengan controller modern, control box memiliki ukuran yang jauh lebih besar.

Seiring dengan semakin populernya Spacewar, semakin banyak pihak yang tertarik untuk membuat control box dari game tersebut. Et voila! Muncullah berbagai variasi dari control box untuk Spacewar. Salah satunya adalah control box dengan lima tombol yang berfungsi untuk melakukan aksi yang berbeda-beda. Control box inilah yang menjadi inspirasi dari sistem kendali pada arcade.

 

Joystick dari Atari

Spacewar bukan satu-satunya game yang populer pada 1960-an. Pong menjadi game lain yang juga digemari masyarakat. Begitu populernya Pong sehingga game ini memiliki franchise arcade sendiri.

Controller untuk Pong. | Sumber: Ciroforo / Wikimedia Commons / CC BY 2.0
Controller untuk Pong. | Sumber: Ciroforo / Wikimedia Commons / CC BY 2.0

Atari lalu meluncurkan Pong untuk konsol mereka pada 1970-an. Bersamaan dengan itu, mereka memperkenalkan controller baru yang berbeda dari kebanyakan controller yang ada. Controller ini memiliki dua kenop — bernama potentiometer — yang bisa digunakan untuk menggerakkan alat pemukul di Pong. Walau controller ini cocok untuk memainkan Pong, ia tidak bisa digunakan untuk memainkan game lain. Jadi, desain controller ini pun tak lagi digunakan.

Pada 1978, Stephen D. Bristow mendapatkan paten untuk joystick Atari. Memang, ketika itu, Atari bukan satu-satunya perusahaan yang membuat joystick, mengingat proses pembuatan joystick relatif mudah. Namun, satu hal yang membedakan joystick Atari keberadaan pondasi pada bagian bawah joystick. Dulu, kebanyakan joystick memiliki desain seperti controller Channel F.

Controller Channel F. | Sumber: Google Arts & Culture
Controller Channel F. | Sumber: Google Arts & Culture

Pada joystick buatan Atari ini, hanya ada satu tombol. Kebanyakan gamer menggunakan tangan kanan untuk mengendalikan joystick, sementara tangan kiri digunakan untuk menekan tombol. Ke depan, ketika controller memiliki lebih dari satu tombol, gamer justru akan terbiasa menekan tombol aksi dengan jempol kanan.

 

D-pad dari Nintendo

Lalu, bagaimana joystick berevolusi menjadi D-pad? Directional pad atau D-pad “ditemukan” oleh Nintendo. Pada awalnya, Nintendo adalah perusahaan yang membuat kartu Hanafuda. Untuk tahu sejarah lengkap Nintendo, Anda bisa membacanya di sini. Sementara itu, video game mulai populer pada 1970-an. Tren ini membuat Nintendo tertarik untuk masuk ke industri game.

Pada 1977, Nintendo meluncurkan Color TV Game 6, yang memiliki 6 game tenis serupa Pong. Mereka juga sempat meluncurkan Color TV Game 15. Namun, Hiroshi Yamauchi, yang ketika itu menjabat sebagai Presiden Nintendo, punya visi yang lain. Dia meminta Gunpei Yokoi dan para teknisi untuk membuat video game baru. Terinspirasi dari kalkulator, Yokoi membuat Game & Watch pada 1980.

Game & Watch. | Sumber: Wikimedia
Game & Watch. | Sumber: Wikimedia/Peer Schmidt

Seperti yang bisa Anda lihat pada gambar di atas, pada Game & Watch orisinal, hanya ada dua tombol: satu tombol untuk bergerak ke kiri dan satu ke kanan. Namun, video game berevolusi dengan cepat, sehingga kendali sederhana seperti pada Game & Watch tak lagi cukup. Masalahnya, Nintendo juga tidak bisa memasang joystick pada Game & Watch, mengingat kecilnya ukuran dari perangkat ini.

Nintendo lalu mencoba untuk memasang empat tombol di empat arah. Sayangnya, ide tersebut gagal. Yokoi mendapatkan ide untuk membuat “tombol” yang bisa bergerak ke empat arah, yang kini kita kenal dengan sebutan D-pad. Nintendo langsung menggunakan D-pad untuk controller dari konsol pertama mereka, Famicom alias Nintendo Entertainment System (NES). Tak hanya itu, mereka bahkan mematenkan D-pad. Meskipun begitu, hal ini tidak menghentikan Sony dan Sega untuk menggunakan D-pad pada controller dari konsol mereka. Untuk menghindari pelanggaran hak paten, keduanya biasanya melakukan sedikit perubahan desain pada controller mereka.

 

Kenapa D-Pad Ada di Sebelah Kiri?

Ketika menggunakan joystick buatan Atari — yang hanya terdiri dari satu tonggak di bagian tengah dan satu tombol — gamer lebih suka menggunakan tangan kiri untuk menekan tombol. Namun, pada controller modern, para gamer justru harus menekan tombol aksi dengan tangan kanan. Ada alasan mengapa perusahaan game melakukan hal ini.

Bagi kebanyakan orang — sekitar 90% populasi dunia — tangan kanan adalah tangan dominan. Biasanya, orang menganggap tangan dominan sebagai tangan yang bisa mengerjakan suatu tugas dengan lebih baik. Padahal, menurut studi, perbedaan antara tangan dominan dan non-dominan tidak sesederhana itu. Baik tangan dominan maupun non-dominan memiliki keahlian tersendiri. Tangan dominan biasanya dapat melakukan gerakan kecil yang membutuhkan akurasi tinggi dengan sangat baik. Sementara tangan non-dominan cocok untuk melakukan gerakan besar yang lebih mementingkan kecepatan atau tenaga.

Hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa D-pad atau analog stick ada di bagian kiri controller, sementara empat tombol lainnya ada di sebelah kanan. Ketika Anda menggerakkan karakter menggunakan D-Pad atau analog stick, biasanya, Anda tidak perlu terlalu memerhatikan presisi. Sementara itu, untuk melakukan aksi tertentu pada game, Anda harus bisa menekan tombol X, O, kotak, dan segitiga — yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda-beda — secara akurat. Berikut tombol yang harus ditekan untuk mengeluarkan combo dari Akuma di Tekken 7.

Combo Akuma. | Sumber: Tekken 7 Combo
Combo Akuma. | Sumber: Tekken 7 Combo

Kenapa Sony Menggunakan Simbol?

Sony meluncurkan PlayStation pertama di Jepang pada Desember 1994 dan September 1995 di Amerika Utara. Ketika itu, para gamer telah terbiasa dengan controller dari Super Nintendo Entertainment System (SNES) dan SEGA Genesis. Tombol-tombol pada controller dari kedua konsol ini ditandai dengan huruf. Sony tampil berbeda karena mereka memilih untuk menggunakan ikon, yaitu X, O, kotak, dan segitiga.

Ada alasan tersendiri mengapa Sony memilih empat ikon tersebut. Menurut Push Square, tim desain Sony tidak ingin menggunakan huruf karena mereka tidak ingin controller mereka diidentikkan dengan satu bahasa tertentu. Dengan menggunakan ikon, mereka berharap controller mereka akan menampilkan budaya global.

Teiyu Goto, designer dari PlayStation pertama menjelaskan arti dari masing-masing simbol pada controller PS. Di Jepang, X merupakan lambang untuk tidak, sementara O untuk iya. Karena itu, tombol O di Jepang digunakan untuk mengonfirmasi, dan tombol X untuk batal. Ikon segitiga dibuat untuk melambangkan viewpoint atau arah. Dan ikon kotak diasosiasikan dengan secari kertas untuk menu atau dokumentasi. Seiring dengan perkembangannya zaman, arti dari masing-masing ikon ini tampaknya telah semakin terlupakan. Namun, empat simbol tersebut tetap identik dengan PlayStation.

 

Evolusi Controller dari PlayStation dari Waktu ke Waktu

Melihat desain dari controller PlayStation pertama, terlihat jelas bahwa Sony mendapatkan inspirasi dari controller SNES milik Nintendo. Tentu saja, mereka membuat sejumlah perubahan. Selain ikon untuk menandai masing-masing tombol, Sony juga memberikan handle pada controller mereka, sehingga ia lebih nyaman untuk digenggam. Controller dari Sony juga memiliki empat bumpers/shoulder buttons, lebih banyak dari shoulder buttons pada controller SNES.

Dua tahun setelah meluncurkan PlayStation pertama, Sony meluncurkan controller DualShock untuk PS1. Pada DualShock, Sony menambahkan dua analog stick dan juga dua rumble motors. Jika dibandingkan dengan D-Pad, analog stick memudahkan pemain untuk menggerakkan karakter dalam dunia 3D. Karena itu, analog stick dengan cepat menjadi standar industri. Tentu saja, DualShock juga menjadi controller standar untuk Sony.

Ketika Sony meluncurkan DualShock 2 bersamaan dengan PlayStation 2, mereka tidak membuat banyak perubahan. Mengingat controller DualShock memang disukai, masuk akal jika Sony memutuskan untuk terus menggunakan desain ini. Satu-satunya perubahan kasat mata pada DualShock 2 adalah soal warna. Sony mengubah warna controller DualShock 2 menjadi hitam dari abu-abu. Namun, sebenarnya, ada beberapa perubahan yang tak terlihat oleh mata. Salah satunya adalah masalah berat. DualShock 2 lebih ringan dari pendahulunya. Sony juga menggunakan tombol analog pada controller itu. Hal itu berarti, tekanan yang pemain gunakan akan memengaruhi apa yang terjadi.

Boomerang, prototipe controller untuk PS3. | Sumber: Wikimedia Commons
Boomerang, prototipe controller untuk PS3. | Sumber: Wikimedia Commons

Saat membuat controller untuk PlayStation 3, Sony sempat membuat prototipe yang dinamai Boomerang. Seperti yang Anda lihat pada gambar di atas, prototipe ini memiliki desain yang sangat berbeda dari DualShock. Hanya saja, di dunia online, banyak orang yang mengaku tidak suka dengan desain tersebut. Alhasil, akhirnya Sony memutuskan untuk membuat controller dengan desain yang tak jauh berbeda dari sebelumnya.

Meskipun begitu, Sony tetap melakukan beberapa eksperimen pada controller PS3. Salah satunya, mereka menghilangkan rumble motor. Memang, ketika itu, Sony juga sedang maju ke meja hijau melawan perusahaan bernama Immersion terkait penggunaan rumble motor. Sebagai ganti rumble motor, Sony memasang gyro sensor pada controller PS3, sehingga controller tersebut dilengkapi dengan motion control.

Selain itu, pada controller PlayStation 3, Sony juga mencoba untuk menggunakan teknologi Bluetooth dan baterai yang bisa diisi kembali. Dengan begitu, para gamer akhirnya bisa bermain game menggunakan wireless controller. Pada bagian tengah controller, Sony juga menambahkan tombol “PS”, yang berfungsi untuk menyalakan PS3. Ke depan, tombol ini bisa digunakan untuk mengakses menu konsol di tengah game.

Dua tahun setelah peluncuran PS3, Sony akhirnya memenangkan kasus pengadilan melawan Immersion. Dan mereka pun meluncurkan DualShock 3, lengkap dengan rumble motor. Hal ini bukan berarti DualShock 3 bebas dari kritik. Salah satu protes para gamer adalah trigger button yang tidak bekerja maksimal karena desainnya yang cembung. Keluhan para gamer ini menjadi masukan agar Sony bisa  menyempurnakan controller mereka yang berikutnya.

Sony kembali merombak desain dari controller mereka ketika meluncurkan PlayStation 4. Salah satu perubahan terbesar pada DualShock 4 adalah touch pad yang ada pada bagian tengah controller. Selain itu, Sony juga mengganti tombol Start dan Select menjadi Options dan Share. Tombol Options memiliki fungsi yang sama dengan tombol Start dan Select. Sementara tombol Share, sesuai namanya, berfungsi untuk memudahkan para gamer PS4 memamerkan kegiatan gaming mereka di internet, seperti berbagi screenshot atau video pendek dari sesi gaming mereka.

DualShock 4. | Sumber: Deposit Photos
DualShock 4. | Sumber: Deposit Photos

Tak berhenti sampai di situ, Sony juga menambahkan speaker kecil pada DualShock 4 serta headphone jack. Jadi, Anda bisa langsung menghubungkan headphone Anda ke controller tersebut. DualShock 4 juga memiliki light bar. Hanya saja, fitur tersebut mendapatkan protes dari sebagian gamer. Alasannya, light bar pada DualShock 4 akan memantul di layar ketika mereka sedang bermain. Sayangnya, Sony tidak bisa menghilangkan light bar itu begitu saja. Karena, ketika Anda menggunakan PlayStation VR, light bar pada controller berfungsi untuk melacak posisi controller.

Selain perubahan besar, Sony juga melakukan sejumlah perubahan kecil pada DualShock 4. Misalnya, mereka membuat pad yang lebih besar dan pegangan yang lebih nyaman. Mereka juga menyempurnakan desain trigger button. Jadi, tidak heran jika saat ini, DualShock 4 dianggap sebagai controller terbaik buatan Sony.

 

Penutup

Sama seperti konsol, controller juga terus berubah dari waktu ke waktu. Dan Sony berencana untuk memperkenalkan controller dengan desain berbeda saat mereka meluncurkan PlayStation 5. Perusahaan asal Jepang itu bahkan menggunakan merek yang berbeda untuk controller PS5. Bukannya DualShock, tapi DualSense.

Selain warna, DualSense juga memiliki desain yang berbeda dari DualShock 4. Tampaknya, Sony berusaha untuk membuat controller ini menjadi semakin nyaman digenggam tanpa harus mengganti layout tombol. Salah satu perubahan pada tombol DualSense adalah tombol X, O, kotak, dan segitiga kini memiliki warna yang sama. Selain itu, Sony juga mengganti nama tombol Share menjadi tombol Create. Sementara light bar yang menjadi keluhan para gamer di DualShock 4, kini tampil di sekitar touch pad.

Selain dari segi desain, Sony dikabarkan membuat tombol L2 dan R2 sebagai tombol adaptive. Mereka juga mengganti rumble motor dengan haptic feedback. Kabar baiknya, sejauh ini, DualSense cukup populer di kalangan warganet. Jadi, Sony tak perlu menggunakan desain lama untuk controller PS5.

Sumber: The Verge, Ranker

Tren SSD Super-Cepat di Console Next-Gen dan Implikasinya di PC Gaming

Tidak bisa dipungkiri, kartu grafis dan prosesor merupakan dua komponen terpenting dari sebuah gaming PC secara keseluruhan. Namun kalau melihat tren yang bakal segera dipopulerkan oleh console next-gen, ke depannya media penyimpanan dengan kecepatan transfer data yang sangat cepat juga bakal punya peran yang tak kalah krusial.

Seperti yang kita tahu, baik PlayStation 5 maupun Xbox Series X sama-sama mengunggulkan SSD tipe NVMe dengan kecepatan baca yang fenomenal – PS5 hingga 5,5 GB/s, Series X hingga 2,4 GB/s. Semua itu dimungkinkan berkat penggunaan interface PCIe 4.0. Imbas positifnya sudah sangat jelas: waktu loading game dapat dipersingkat secara drastis.

Namun ternyata manfaatnya bisa lebih dari itu. Seperti yang sudah didemonstrasikan oleh Unreal Engine 5, SSD super-ngebut milik PS5 juga membuka peluang bagi developer game untuk menciptakan dunia yang lebih ekspansif, khususnya pada game dengan setting open-world, sebab aset tekstur yang diperlukan jadi bisa diakses secara real-time mengikuti ke mana gerakan kameranya.

Singkat cerita, eksistensi PS5 dan Xbox Series X bakal mengubah mindset para developer game. Ke depannya, mereka tidak akan lagi merasa terbatasi saat hendak merancang dunia dalam game yang begitu luas dan kompleks, dan sudah pasti tren yang sama juga bakal berlaku di PC.

Sebagai bukti, Microsoft baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka bakal menghadirkan API DirectStorage di PC. API ini dibangun di atas arsitektur Velocity yang Microsoft gunakan pada Xbox Series X, dan ini berarti developer bisa memanfaatkannya dalam pengembangan game dengan dunia yang lebih mendetail daripada sebelumnya.

Sabrent Rocket 4 Plus, salah satu dari segelintir SSD PCIe 4.0 berkecepatan ekstrem yang bakal hadir di pasaran / Sabrent
Sabrent Rocket 4 Plus, salah satu dari segelintir SSD PCIe 4.0 berkecepatan ekstrem yang bakal hadir di pasaran / Sabrent

Bukti lainnya, satu demi satu SSD PCIe 4.0 dengan performa ekstrem untuk PC mulai menyapa publik, dimulai dari bocoran spesifikasi Samsung 980 Pro beberapa waktu lalu, yang tercatat memiliki kecepatan baca hingga 7.000 MB/s dan tulis hingga 5.000 MB/s, alias dua kali lebih kencang daripada Samsung 970 Pro yang masih menggunakan interface PCIe 3.0.

Tidak lama setelahnya, giliran Sabrent yang memperkenalkan SSD PCIe 4.0 besutannya, Rocket 4 Plus. Kecepatan baca maksimumnya sama seperti milik Samsung (7.000 MB/s), akan tetapi kecepatan tulisnya diklaim sanggup menembus angka 6.850 MB/s.

Belum satu bulan berselang, Adata rupanya juga tidak mau ketinggalan. Mereka baru-baru ini menyingkap XPG Gammix S70, SSD PCIe 4.0 tercepat mereka yang menawarkan kecepatan baca paling tinggi – sampai 7.400 MB/s – dan kecepatan tulis sampai 6.400 MB/s.

Sayang sekali tiga SSD dari tiga pabrikan yang berbeda ini masih belum punya jadwal rilis, dan harganya pun juga belum diketahui hingga sekarang. Hal ini sebenarnya tidak mengagetkan, sebab sejauh ini memang belum ada game yang bisa benar-benar memaksimalkan kecepatan baca seekstrem itu, sehingga membelinya sekarang mungkin bakal terkesan sia-sia.

Lebih lanjut, konsumen juga tidak bisa segampang itu membeli SSD PCIe 4.0 lalu mengganti SSD lamanya, sebab motherboard dan prosesor yang dipunyainya belum tentu kompatibel. Sejauh ini, hanya motherboard AMD dengan chipset X570 atau B550 saja yang mendukung interface PCIe 4.0. Di kubu Intel, motherboard PCIe 4.0 malah belum eksis karena memang belum ada prosesor desktop Intel yang mendukung interface tersebut.

Trio kartu grafis Nvidia Ampere ini mendukung teknologi RTX IO, yang dirancang untuk melengkapi SSD berkecepatan tinggi / Nvidia
Trio kartu grafis Nvidia Ampere ini mendukung teknologi RTX IO, yang dirancang untuk melengkapi SSD berkecepatan tinggi / Nvidia

Kembali ke gagasan awal, ke depannya SSD NVMe PCIe 4.0 dengan kecepatan tinggi bakal menjadi syarat ekstra di samping kartu grafis kelas high-end jika kita mengincar kualitas grafik terbaik dari gamegame modern – bahkan Nvidia pun juga sudah mengamininya saat mengumumkan teknologi RTX IO. Yang harus dijadikan pertimbangan bukanlah soal seberapa singkat waktu loading yang dibutuhkan, tetapi seberapa mendetail tiap-tiap adegan dalam game bisa tersaji di hadapan pengguna.

Kita boleh saja masih menggunakan SSD SATA nantinya, tapi kita tidak boleh protes kalau ternyata grafik suatu game baru kelihatan lebih memukau di PC milik teman meski spesifikasi prosesor, kartu grafis, maupun RAM-nya sama persis, dan yang membedakan hanyalah SSD NVMe PCIe 4.0 yang dipakai oleh teman kita tersebut. Mungkin tidak dalam waktu dekat, melainkan satu atau dua tahun dari sekarang.

PlayStation 5 Bakal Rilis November, Dihargai Rp7,4 Juta

Sony akan meluncurkan PlayStation 5 pada 12 November 2020 di Amerika Serikat, Australia, Jepang, Kanada, Meksiko, dan Selandia Baru. Konsol next-gen tersebut baru tersedia di negara-negara lainnya satu minggu kemudian, yaitu pada 19 November 2020. PS5 yang dilengkapi dengan Ultra HD Blu-ray disc drive akan dihargai US$500 (sekitar RP7,4 juta). Sementara PS5 Digital akan dihargai US$400 (sekitar Rp6 juta).

PS5 memiliki harga yang sama dengan pesaingnya, Xbox Series X. Minggu lalu, Microsoft mengumumkan, Xbox Series X akan dihargai US$500 (sekitar Rp7,4 juta) dan Xbox Series S akan dibanderol US$300 (sekitar Rp4,5 juta). Sementara jika dibandingkan dengan harga konsol Sony sebelumnya, harga PS5 memang lebih mahal.

Misalnya, saat diluncurkan, PlayStation 4 dihargai US$399 (sekitar Rp6 juta), walau sekarang, harga PS4 telah turun ke sekitar US$299 (sekitar Rp4,5 juta). Sementara harga PS4 Pro masih ada di US$399 (sekitar Rp6 juta), sama seperti saat peluncuran.

Untuk CPU dari PS5, Sony menggunakan AMD Ryzen Zen 2 yang memiliki kecepatan hingga 3,5 GHz. Sebagai perbandingan, PlayStation 4 menggunakan prosesor AMD Jaguar dengan kecepatan 1,6 GHz. Sementara untuk masalah GPU, Sony menggunakan AMD Radeon yang memiliki daya komputasi hingga 10,28 teraflops (TFLOPs). PS5 menggunakan memori GDDR6 sebesar 16GB, dua kali lipat dari memori yang ada pada konsol pendahulunya. Sony juga sudah melengkapi PS5 dengan SSD sebesar 825GB.

Selain mengumumkan harga dan waktu peluncuran PS5, Sony juga memamerkan sejumlah game yang akan tersedia untuk PS5. Beberapa game tersebut antara lain Final Fantasy XVI dari Square Enix, Hogwarts Legacy dari Warner Bros. Games, game God of War baru dari Santa Monica Studio, dan Five Nights at Freddy’s Security Breach dari Steel Wool Studios dan ScottGames. Sony juga memamerkan beberapa game yang akan diluncurkan bersamaan dengan PS5, seperti Spider-Man: Miles Morales, Call of Duty Black Ops: Cold War, dan Demon’s Soul.

Sony pertama kali memperkenalkan PS5 pada Juni 2020 lalu. Bahkan sebelum PS5 tersedia di pasar, analis memperkirakan konsol Sony ini akan lebih laku daripada Xbox Series X buatan Microsoft. Meskipun begitu, Gabe Newell mengungkap, dia akan lebih memilih Xbox Series X.

Sumber: PlayStation Blog, Polygon

Nielsen: Marvel’s Avengers dan Spider-Man: Miles Morales Jadi Game Paling Dinanti

Nielsen merilis laporan tentang game-game yang peluncurannya paling dinanti tahun ini. Tiga game yang paling ditunggu-tunggu tahun ini adalah Marvel’s Avengers, Call of Duty: Black Ops – Cold War, dan Spider-Man: Miles Morales. Laporan Nielsen ini didasarkan pada survei pada lebih dari 6.000 gamers.

Selain pandemi COVID-19, salah satu masalah yang dihadapi oleh publisher game tahun ini adalah tanggal peluncuran PlayStation 5 dan Xbox Series X yang belum pasti. Hal ini membuat para publisher enggan untuk mengumumkan tanggal peluncuran dari game-game baru mereka.

Marvel’s Avengers, game action RPG dari Square Enix, jadi salah satu game yang paling ditunggu-tunggu. Popularitas game ini terdongkrak berkat kesuksesan film Avengers. Namun, popularitas film Avengers juga sempat menjadi senjata makan tuan. Pasalnya, para fans jadi membandingkan game Marvel’s Avengers dengan film Avengers.

Para fans sempat protes karena desain karakter-karakter dalam game tak mirip dengan tampilan dalam film. Square Enix lalu merombak desain para karakter. Selain itu, mereka juga melakukan beta test. Dan sekarang, Nielsen mengungkap, para fans menjadi semakin menanti peluncuran Marvel’s Avengers.

game paling dinanti
Call of Duty: Black Ops – Cold War jadi salah satu game paling dinanti.

Selain Marvel’s Avengers, Call of Duty: Black Ops – Cold War menjadi game yang paling ditunggu-tunggu. Biasanya, Activision merilis game Call of Duty baru pada musim semi atau sekitar April-Juni. Namun, mereka baru mengumumkan Call of Duty: Black Ops – Cold War pada akhir Agustus. Sebagai sub-brand dari Call of Duty, Black Ops sebenarnya tak terlalu populer di kalangan gamer. Namun, banyak orang yang penasaran bagaimana Call of Duty: Black Ops – Cold War akan terintegrasi dengan game battle royale Call of Duty: Warzone.

Beberapa game multiplatform lain yang peluncurannya dinanti antara lain Cyberpunk 2077, Assassin’s Creed: Valhalla, FIFA 21, NBA 2K21, Crash Bandicoot 4: It’s About Time, Star Wars: Squadrons, dan Planet Coaster: Console Edition, menurut laporan VentureBeat.

Sementara itu, salah satu game PC yang paling dinanti adalah World of Warcraft: Shadowland dari Blizzard. Beberapa game PC lain yang juga ditunggu-tunggu adalah Crusader Kings III, Baldur’s Gate III, dan Serious Sam 4. Sayangnya, untuk game-game khusus PlayStation 5, banyak publisher yang belum mengumumkan tanggal peluncuranpasti dari game mereka. Namun, menurut laporan Nielsen, ada tiga game PS5 yang paling dinanti, yaitu Gran Turismo 7, Demon’s Souls, dan 13 Sentinels: Aegis Rim.

Jika dibandingkan dengan game-game lain, 13 Sentinels: Aegis Rim dari Atlus merupakan game yang menargetkan pasar niche. Meskipun begitu, para gamer PS4 yang sudah mengenal game itu sangat menanti-nanti peluncuran game tersebut.

Sama seperti publisher game untuk PlayStation, publisher game Xbox juga belum mengumumkan tanggal pasti peluncuran game mereka. Namun, salah satu game Xbox yang ditunggu-tunggu adalah CrossFireX, versi porting dari CrossFire, game first-person shooter buatan developer Korea Selatan. Selain itu, Halo: Infinite juga menjadi salah satu game yang paling dinanti. Namun, peluncuran game tersebut ditunda hingga 2021.

Total Penjualan Sony PS4 Tembus 112,3 Juta Unit

Dalam laporan keuangan terbarunya, Sony mengumumkan bahwa total penjualan konsol PlayStation 4 telah mencapai 112,3 juta unit. Terakhir kali Sony mengumumkan total penjualan PS4 adalah pada Mei 2020. Ketika itu, mereka menyebutkan bahwa total penjualan PS4 telah mencapai 110,4 juta unit.

Sony meluncurkan PlayStation 4 pada 2013. Sejak saat itu, PS4 berhasil menjadi salah satu konsol paling sukses dari Sony. Satu-satunya konsol buatan Sony yang memiliki total penjualan lebih tinggi daripada PS4 adalah PlayStation 2. Di seluruh dunia, konsol PS2 telah terjual sebanyak 155 juta unit.

Tahun ini, Sony akan meluncurkan konsol barunya, PlayStation 5. Kemungkinan, peluncuran PS5 akan membuat penjualan PlayStation 4 menurun, menurut laporan VentureBeat. Pada Februari 2020, penjualan PS4 dan Xbox One juga sempat turun drastis. Salah satu alasannya adalah karena Sony dan Microsoft tetap mempertahankan harga dari konsol current-gen mereka.

Dalam laporan keuangannya, Sony juga mengungkap bahwa meskipun total penjualan hardware mengalami penurunan, penjualan game digital justru naik pesat. Pada Q1, total penjualan game digital Sony naik 83 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, menjadi 395 triliun yen (sekitar Rp54.283 triliun).

total penjualan ps4
Sony mengatakan, penjualan Ghost of Tsushima sangat baik. | Sumber: Kotaku

Memang, selama pandemi, 74 persen dari total penjualan game Sony berasal dari digital. Mengingat membeli game secara digital di tengah pandemi memang lebih aman, hal ini tidak aneh. Sony mengatakan, dua game PlayStation 4 yang laku keras adalah The Last of Us II dan Ghost of Tsushima, lapor The Verge. Sony juga mengatakan, total pengguna PlayStation Plus mencapai 45 juta orang. PlayStation Plus adalah layanan berlangganan yang memungkinkan seseorang untuk mengakses berbagai fitur khusus dari Sony, termasuk Multiplayer Game.

Saat mengumumkan laporan keuangannya, Sony juga membahas tentang rencana mereka dalam mengatasi masalah yang muncul pada jaringan suplai PlayStation 4 akibat pandemi COVID-19. Sekarang, mereka juga sibuk dalam mempersiapkan diri untuk meluncurkan PlayStation 5. Bersamaan dengan konsol terbaru mereka, Sony akan merilis lusinan game. Mereka mengatakan, sejauh ini, tidak ada masalah dalam pembuatan game untuk PS5, baik game buatan mereka sendiri atau pihak ketiga.

Controller PS4 Bisa Digunakan di PS5, Tapi Khusus untuk Memainkan Game PS4 Saja

Seperti yang kita ketahui, PlayStation 5 akan hadir bersamaan dengan controller baru bernama DualSense. Controller itu menawarkan sejumlah pembaruan yang cukup esensial meski gaya desainnya tidak berubah banyak, mulai dari adaptive trigger, teknologi haptic feedback, sampai mikrofon terintegrasi.

Namun yang menjadi pertanyaan banyak orang adalah, bisakah konsumen tetap memakai controller PS4 (DualShock 4) miliknya di PS5? Pertanyaan yang cukup wajar mengingat sebelum ini controller PS3 memang tidak kompatibel dengan PS4 (meski tentu ada saja cara untuk mengakalinya).

Lewat sebuah blog post, Sony mencoba memberikan klarifikasi. DualShock 4 maupun controller PS4 pihak ketiga lain bisa digunakan dengan PS5, tapi khusus untuk memainkan gamegame PS4 yang didukung saja. Kalau yang dimainkan adalah game PS5, maka konsumen membutuhkan controller DualSense.

Alasannya cukup sederhana, Sony percaya game yang diciptakan untuk PS5 harus bisa memaksimalkan kapabilitas baru dari sang console next-gen, termasuk halnya fitur-fitur anyar yang ditawarkan controller-nya. Contoh yang paling gampang tentu adalah fitur adaptive trigger, yang dirancang supaya beragam aksi dalam game seperti menarik tali busur panah bisa terasa lebih realistis. Dari sini kita tak perlu terkejut kalau Horizon Forbidden West bakal jadi salah satu penawaran eksklusif terbesar Sony untuk PS5.

Controller DualSense / Sony
Controller DualSense / Sony

Kalau dibandingkan dengan Xbox Series X, tampak bahwa PS5 jauh lebih ‘rewel’. Pasalnya, Xbox Series X bisa sepenuhnya dimainkan menggunakan controller Xbox One. Namun yang perlu kita ingat juga adalah, controller Xbox Series X sendiri memang tidak menawarkan banyak perubahan selain dari segi ergonomi.

Lalu bagaimana nasib periferal lain, seperti misalnya racing wheel, arcade stick, ataupun flight stick berlisensi resmi yang sudah konsumen miliki selama ini? Kabar baiknya, perangkat-perangkat tersebut masih bisa dipakai untuk memainkan game PS5 maupun game PS4 yang kompatibel. Meski demikian, Sony tetap tidak berani menjamin semuanya bakal kompatibel.

Untuk game VR, Sony memastikan bahwa PS Move Motion Controller maupun PS VR Aim Controller kompatibel dengan PS5, demikian pula PlayStation Camera, meski yang satu ini membutuhkan adaptor khusus.

Sumber: PlayStation Blog.

Gabe Newell Pilih Xbox Series X Ketimbang PlayStation 5

Anggap Anda Gabe Newell, sosok yang kerap ‘didewakan’ di ranah PC gaming. Saat ada jurnalis yang menanyakan mengenai console next-gen pilihan Anda, apa jawaban paling diplomatis yang bisa Anda berikan? Berhubung bisnis Anda berhubungan langsung dengan platform PC, sudah pasti jawaban yang paling aman ya “PC” itu sendiri.

Namun ternyata Gabe Newell yang sebenarnya tidak semembosankan itu. Dalam sebuah acara TV Selandia Baru berjudul The Project, beliau sempat ditanya persis soal itu, soal mana yang menurutnya lebih baik antara Xbox Series X atau PlayStation 5. Tanpa menunjukkan sedikit pun keraguan, Gabe menjawab “Xbox”.

Gabe tidak menjelaskan lebih lanjut alasannya kenapa, dan ia tidak lupa mengklarifikasi bahwa ia sebenarnya tak punya kepentingan apa-apa terkait perang console next-gen tersebut. Namun seandainya ia harus memilih, pilihannya jatuh pada Xbox Series X.

Kemungkinan, preferensi Gabe mengacu pada fakta bahwa di atas kertas, Xbox Series X memang punya kinerja CPU dan GPU yang lebih unggul daripada PS5. Ini kontras dengan preferensi bos Epic Games, Tim Sweeney, yang beberapa kali tidak segan memuji performa SSD milik PS5 yang luar biasa cepat.

Kemungkinan yang kedua sepertinya berkaitan dengan fakta bahwa hampir semua game eksklusif milik Xbox kini sudah tersedia di PC (dan dipasarkan melalui Steam, platform distribusi game milik Valve, perusahaan yang Gabe Newell dirikan). Ke depannya, Microsoft malah bakal membawa semua penawaran eksklusifnya untuk Xbox Series X ke PC, seperti yang sudah diumumkan pada acara Xbox Games Showcase belum lama ini.

Microsoft dan Valve selama ini memang tergolong cukup akrab. Markas besar kedua perusahaan itu saling berdekatan di provinsi Washington, dan sebelum mendirikan Valve, Gabe Newell sendiri merupakan mantan programmer Microsoft yang secara langsung terlibat dalam pengembangan beberapa versi sistem operasi Windows selama 13 tahun karirnya di sana.

Juga lucu adalah jawaban Gabe ketika ditanya soal kiat untuk mengurangi rasa mual yang muncul setelah menggunakan VR headset. “Beli perangkat yang lebih baik,” jawab Gabe, dan ini tentu saja mengacu pada fakta bahwa salah satu nilai jual utama VR headset Valve Index adalah display dengan refresh rate 120 Hz, yang dipercaya mampu meminimalkan rasa mual semacam itu.

Sumber: VG247.

Sony Dikabarkan Bakal Genjot Produksi PlayStation 5

Pada April 2020, Sony dikabarkan mengurangi jumlah produksi dari PlayStation 5 menjadi enam juta unit. Ketika itu, alasan Sony menurunkan jumlah produksi PS5 adalah karena sebagian besar proses produksi PS5 dilakukan di Tiongkok dan virus corona tengah mewabah. Sekarang, wabah mulai mereda dan Sony memutuskan untuk meningkatkan produksi PlayStation 5.

Menurut Bloomberg, Sony akan menaikkan jumlah produksi PlayStation 5 menjadi 10 juta unit pada akhir tahun. Sementara Nikkei Asian Review memperkirakan, total produksi PS5 hanya mencapai sembilan juta unit. Alasan Sony meningkatkan produksi PlayStation 5 adalah karena mereka percaya, permintaan akan PS5 akan naik ketika gelombang kedua dari corona melanda, lapor GamesIndutry.

produksi PS5 naik
Produksi dari controller PS5 juga akan naik.

Sony telah memberitahukan rekan penyuplai dan perakitan mereka bahwa mereka ingin menaikkan jumlah produksi PS5. Namun, tidak diketahui apakah stok ekstra dari PlayStation 5 tersebut sudah akan tersedia pada musim liburan di akhir tahun ini. Untuk mengimbangi naiknya produksi PS5, Sony juga meningkatkan produksi dari controller DualSense.

Menurut laporan Bloomberg, PlayStation 5 mulai diproduksi secara massal pada bulan Juni. Dengan rencana Sony saat ini, mereka akan memiliki stok PS5 sebanyak lima juta unit pada akhir September. Dan lima juta unit PS5 akan tersedia pada sekitar Oktober dan Desember.

Selain Sony, Facebook juga dikabarkan meningkatkan jumlah produksi dari headset virtual reality mereka, Oculus. Perusahaan media sosial itu menaikkan produksi Oculus sampai 2 juta unit, 50 persen lebih banyak dari stok tahun lalu. Versi terbaru dari Oculus dikabarkan akan mulai diproduksi secara massal pada akhir bulan ini.

Sama seperti Sony, alasan Facebook menaikkan produksi Oculus adalah karena pandemi corona. Di tengah pandemi, semakin banyak orang yang menghabiskan waktunya untuk bermain game, termasuk game VR.

Sony memperkenalkan PlayStation 5 pada pertengahan Juni lalu. Saat itu, mereka juga menampilkan game-game yang akan bisa dimainkan pada konsol barunya. Tak mau kalah, pada tahun ini, Microsoft juga akan meluncurkan konsol baru mereka, Xbox Series X, yang akan menjadi pesaing PlayStation 5. Namun, bahkan sebelum kedua konsol itu tersedia di pasar, analis memperkirakan, PlayStation 5 akan lebih laku dari Xbox Series X.

Sumber header: Twitter

Harga Game PS5 dan Xbox Series X Bakal Lebih Mahal?

Usai melihat kapabilitas PlayStation 5 dan Xbox Series X, wajar apabila kita menduga harganya bakal lebih mahal daripada pendahulunya masing-masing. Yang mungkin tidak terpikirkan adalah apakah harga game-nya juga bakal ikut lebih mahal, sebab harga game PS4 dan Xbox One pun sama persis seperti game PS3 dan Xbox 360 (sekitar $60).

Baik Sony maupun Microsoft sama sekali belum menyinggung soal ini, namun ada satu game yang setidaknya dapat menjadi indikasi, yakni NBA 2K21. Di situs resminya, NBA 2K21 untuk PS5 maupun Xbox Series X dibanderol seharga $70, sedangkan versi current gen-nya yang dijadwalkan meluncur pada 4 September mendatang cuma $60.

Jadi apakah trennya bakal seperti itu ke depannya? Apakah semua game console next-gen bakal lebih mahal $10 daripada game yang sama untuk console current-gen? Menurut pendapat IDG Consulting, sepertinya memang begitu. Kepada Games Industry, Yoshio Osaki selaku pimpinan IDG mengatakan bahwa sejumlah publisher juga tengah mempertimbangkan untuk menaikkan harga game keluarannya di platform next-gen.

Alasannya sederhana: ongkos produksi yang dibutuhkan untuk pengembangan game sudah naik sekitar 200% sampai 300% dibandingkan 15 tahun yang lalu. 2005 dan 2006 merupakan era Xbox 360 dan PS3, dan itu merupakan terakhir kalinya pasar melihat kenaikan harga game console (dari $50 menjadi $60).

Pendapat yang sama juga diutarakan oleh eks bos Sony Interactive Entertainment Worldwide Studios, Shawn Layden, dalam wawancaranya dengan VentureBeat. Menurutnya, biaya pembuatan game sudah naik sampai 10x lipat, sedangkan harga jualnya masih tetap di kisaran $60. Shawn juga menambahkan bahwa salah satu solusi yang bisa diambil developer adalah mengembangkan game yang berdurasi lebih singkat, namun saya yakin sebagian besar gamer akan lebih memilih harganya dinaikkan saja daripada kontennya dipangkas.

Bersiaplah membayar $100 kalau mau memainkan NBA 2K21 di console current-gen dan next-gen sekaligus / 2K Games
Bersiaplah membayar $100 kalau mau memainkan NBA 2K21 di console current-gen dan next-gen sekaligus / 2K Games

Menariknya, tren ini justru berbanding terbalik dari salah satu fitur yang ditawarkan Xbox Series X, yaitu Smart Delivery. Fitur tersebut sejatinya dirancang supaya pemain tak perlu membayar dua kali untuk memainkan game yang sama di Xbox One dan Series X. Beberapa judul telah dikonfirmasi bakal memanfaatkan fitur ini, termasuk halnya Cyberpunk 2077. Cukup bayar satu kali di Xbox One, maka game yang sama juga dapat dinikmati di Series X nantinya.

Kembali membahas NBA 2K21, 2K Games sebenarnya juga mengamini konsep “bayar satu kali untuk bermain di dua generasi console” ini, meski eksekusinya sedikit berbeda. Jadi bagi konsumen yang hendak memainkan NBA 2K21 di console current-gen terlebih dulu sebelum nantinya upgrade ke console next-gen, mereka bisa membeli bundel khusus NBA 2K21 Mamba Forever Edition seharga $100. Hemat $30 daripada harus membeli judul yang sama di masing-masing console ($60 + $70).

Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana dengan harganya di PC? Apakah akan mengikuti harga di console current-gen atau next-gen? Kalau merujuk pada NBA 2K21, harganya justru mengikuti harga di platform current-gen. Apakah ini berarti versi PC-nya kalah canggih dari versi PS5 atau Xbox Series X?

Kedengarannya sangat aneh kalau benar demikian, sebab pemain yang spesifikasi PC-nya di atas PS5 atau Xbox Series X tentu akan sangat kecewa melihat game yang dibelinya tidak tersaji secara maksimal pada PC kelas sultannya. Sebaliknya, kalau ternyata versi PC-nya dapat menyuguhkan pengalaman yang sama persis seperti versi next-gen tapi dengan harga yang lebih murah, pastinya konsumen PS5 dan Xbox Series X bakal mempertanyakan motif dari kenaikan harga tersebut.

Terlepas dari itu, tren kenaikan harga game untuk console next-gen ini sepertinya tidak akan terhindari. Meski begitu, kenaikannya mungkin tidak akan sampai sejauh $10 untuk game non-AAA. Game AAA pun tidak semuanya pantas dinaikkan harganya. Salah satu contohnya adalah Grand Theft Auto V, yang kabarnya akan tersedia untuk PS5 tahun depan dengan sejumlah penyempurnaan teknis.

Sungguh sangat tidak adil jika konsumen PS5 harus membayar $70 lagi untuk memainkan game yang sudah berusia tujuh tahun tersebut, dengan perbedaan mungkin hanya di kualitas lighting dan dukungan resolusinya (4K 60 fps) saja. Lebih tidak adil lagi adalah, semua itu sudah bisa didapatkan di PC tanpa harus membayar lebih.

Sumber: Games Industry.