Northstar Mulai Bidik Startup Tahap Awal, Siapkan Dana 1,5 Triliun Rupiah

Perusahaan private equity Northstar Group dikabarkan tengah menyiapkan dana kelolaan khusus untuk berinvestasi ke startup tahap awal. Menurut sumber kami, Northstar telah menyiapkan dana debut sekitar $100 juta (sekitar 1,5 triliun Rupiah).

Nantinya mereka akan menyuntik startup pre-seed dan seed dengan ukuran tiket berkisar $500 ribu (sekitar 7,5 miliar Rupiah). Hipotesis investasinya tidak jauh dari yang sudah dilakukan sebelumnya, yakni menyasar startup di bidang finansial, konsumer, dan ekonomi digital.

Ketika dihubungi DailySocial.id, perwakilan Northstar enggan berkomentar atas rumor pasar, tapi ditegaskan bahwa perusahaan memang punya ketertarikan di area tersebut [berinvestasi ke startup seed].

Sebelumnya Northstar dikenal sebagai investor startup tahap akhir dan/atau korporasi — ukuran tiket investasinya bisa mencapai $20 juta. Akhir tahun 2021 lalu, perusahaan juga baru mengumumkan penutupan dana “flagshipNorthstar Equity Partners V Limited dengan nilai komitmen $590 juta atau sekitar 8,3 triliun Rupiah.

Secara total saat ini Northstar mengelola portofolio dengan nilai lebih dari $2,5 miliar (lebih dari 35 triliun Rupiah). Adapun tahun ini mereka juga berpartisipasi dalam pendanaan lanjutan sejumlah startup lokal, seperti Moladin, Pintu, DailyBox, Sayurbox, dan NOICE.

Untuk memperluas cakupannya,  Northstar juga telah bermitra dengan Google sepakat membentuk joint business plan. Fokusnya untuk bersama-sama mempercepat pertumbuhan ekonomi digital di Asia Tenggara.

Diterangkan oleh salah satu direktur perusahaan, melalui inisiatif tersebut Northstar akan fokus pada investasi dan mengalokasikan sumber daya untuk memberikan pengetahuan pasar lokal. Sementara Google akan banyak membantu di unsur teknologi, juga mengajarkan praktik terbaik dari studi kasus global.

Northstar Group to Channel 8.3 Trillion Rupiah Funding for Southeast Asia’s Growth Stage Startups

The private equity firm founded and led by Patrick Walujo and Glenn Sugita, Northstar Group, announced its flagship fund with a value of $590 million or around 8.3 trillion Rupiah.

The Northstar Equity Partners V Limited (Northstar V) funds will be channeled to Southeast Asian growth companies focusing on the consumption, financial services, digital economy and recovery sectors from the COVID-19 pandemic.

In total, Northstar currently manages a portfolio of $2.5 billion (over 35 trillion Rupiah). Northstar’s supporting investors include sovereign wealth funds, insurance companies, institutional investors, family offices, and high net worth individuals.

During 2021, Northstar V funds have been channeled to FMCG company Greenfields Dairy, fintech startup Advance Intelligence Group, and SaaS startup for warung, Ula. Advance AI has reached the unicorn status, while Ula has reached soonicorn status with a valuation of over $100 million.

Northstar Group’s Co-Founder and Managing Partner, Patrick Walujo said, “Over the past two years, we have all seen unprecedented volatility, uncertainty and complexity. However, Southeast Asia, in particular, Indonesia continue to present long-term investment opportunities. As the market recovers from the COVID-19 pandemic, favorable demographic conditions, rising wealth and consumption, higher levels of education and continued digitalization will drive substantial growth in the region.”

“The successful fundraising of our fifth flagship fund that took place during today’s challenging times is a testmony to the strong team and our portfolio’s quality, as well as the returns we have provided investors. We look forward to building partnerships with more entrepreneurs in Southeast Asia to drive their business growth through our capital and expertise,” Northstar Group’s Co-Founder and Managing Partner, Glenn Sugita added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Northstar Group Siapkan Dana 8,3 Triliun Rupiah untuk Berinvestasi di Perusahaan Matang Asia Tenggara

Perusahaan private equity Northstar Group, yang didirikan dan dipimpin Patrick Walujo dan Glenn Sugita, mengumumkan penutupan dana flagship dengan nilai komitmen $590 juta atau sekitar 8,3 triliun Rupiah.

Dana Northstar Equity Partners V Limited (Northstar V) ini akan disalurkan ke perusahaan-perusahaan matang berorientasi tumbuh (mature growth companies) Asia Tenggara dengan fokus di sektor sektor konsumsi, layanan keuangan, ekonomi digital, dan pemulihan dari pandemi COVID-19.

Secara total saat ini Northstar mengelola portofolio dengan nilai $2,5 miliar (lebih dari 35 triliun Rupiah). Termasuk investor pendukung Northstar adalah dana kekayaan negara, perusahaan asuransi, investor institusi, kantor keluarga, dan individu dengan high net worth.

Selama tahun 2021, dana Northstar V telah disalurkan ke perusahaan FMCG Greenfields Dairy, startup fintech Advance Intelligence Group, dan startup SaaS untuk warung Ula. Advance AI telah mencapai valuasi unicorn, sementara Ula telah menyandang status soonicorn dengan valuasi lebih dari $100 juta.

Patrick Walujo, Co-Founder dan Managing Partner Northstar Group, mengatakan, “Selama dua tahun terakhir, kita semua telah melihat volatilitas, ketidakpastian, dan kompleksitas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, Asia Tenggara dan, khususnya, Indonesia terus menghadirkan peluang investasi jangka menengah hingga panjang yang menarik. Seiring dengan pulihnya pasar dari pandemi COVID-19, kondisi demografi yang menguntungkan, peningkatan kekayaan dan konsumsi, tingkat pendidikan yang lebih tinggi, serta digitalisasi yang terus berlanjut akan mendorong pertumbuhan yang besar di kawasan.”

“Kesuksesan penggalangan dana dari flagship fund kelima kami yang berlangsung selama masa penuh tantangan saat ini merupakan bukti kekuatan tim dan kualitas perusahaan portofolio kami, serta return yang telah kami berikan kepada investor. Kami berharap dapat membangun kemitraan dengan lebih banyak pengusaha di Asia Tenggara untuk mendorong pertumbuhan bisnis mereka melalui kontribusi modal dan keahlian kami,” tambah Glenn Sugita, Co-Founder dan Managing Partner Northstar Group.

Discovering the Mission Behind Northstar Group and Google’s Joint Business Plan

In 2021, Northstar and Google have agreed to form a joint business plan. It’s to focus on accelerating the growth of the digital economy in Southeast Asia.

Northstar Group‘s Director, Henky Prihatna said to DailySocial that the two companies will share roles. As a private equity firm, Northstar will focus on investing and allocating resources to provide local market knowledge. While Google will help a lot on the technology part, it also teaches best practices from global case studies.

“The combination is necessary for entrepreneurs in Indonesia. A successful startup does not only need a good founder but also has to understand the ‘know-how’. At this point, we will share useful insights according to our experience and observations,” Henky said.

In the initial phase, Northstar and Google will first test it. Therefore, it’ll be focused on the existing portfolios. He also said that the big vision of this joint business plan is to deliver to a new unicorn in Southeast Asia for verticals outside the existing ones.

“The stage [startup] is actually flexible, but because it is still new, we want to pilot the project to startups that are already running [later stage]. Because this is also Google’s first collaboration with venture capital,” he added.

Apart from nurturing their existing businesses, they will also assist traditional companies to run digital transformation. As a general note, Northstar not only invests in technology companies but also embraces consumer and financial sectors.

“This collaboration is expected to generate new entrepreneurs. As we all know, Google has various accelerator programs and business education. We are also often involved in startup development programs. We are discussing joint programs that can later be implemented for this purpose,” Henky said.

In an official release, Google Indonesia’s Managing Director Randy Jusuf said, “At Google, we want to continue to support digital transformation through collaboration with stakeholders and encouraging the development of the startup community through the Google for Startups initiative. It is an honor for us to work with Northstar Group and support their investment in startups through platforms such as Google Ads and Google Cloud. ”

Northstar Group’s Chief Investment Officer Tan Choon Hong also gave his speech, “With the support of partners of the caliber of Google, we hope to help our portfolio to continue to adapt and maximize new opportunities in the future. This collaboration with Google is also part of our commitment to drive the Northstar portfolio’s growth. ”

Northstar alone since 2003 has managed about $2.2 billion in funds and is one of the largest investors in the region. In the Indonesian startup ecosystem, they invest in several startups such as Gojek, Zenius, and eFishery. They also have a Northstar Foundation unit that focuses on investing in social impact enterprises.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mendalami Misi “Joint Business Plan” Northstar Group dan Google

Tahun 2021 ini, Northstar dan Google sepakat membentuk joint business plan. Fokusnya untuk bersama-sama mempercepat pertumbuhan ekonomi digital di Asia Tenggara.

Kepada DailySocial, Direktur Northstar Group Henky Prihatna mengatakan bahwa kedua perusahaan akan berbagi peran. Sebagai private equity firm, Northstar akan fokus pada investasi dan mengalokasikan sumber daya untuk memberikan pengetahuan pasar lokal. Sementara Google akan banyak membantu di unsur teknologi, juga mengajarkan praktik terbaik dari studi kasus global.

“Kombinasi ini diperlukan untuk entrepreneur di Indonesia. Karena startup yang sukses tidak hanya butuh founder-nya bagus saja, tapi juga harus paham ‘know-how’-nya. Dari sini kami akan sharing insight yang bermanfaat sesuai dengan pengalaman dan pengamatan kami,” ujar Henky.

Di fase awal, Northstar dan Google akan melakukan uji coba dulu. Sehingga masih berfokus pada jajaran portofolio yang sudah ada. Ia turut menuturkan, visi besar dari joint business plan ini adalah melahirkan unicorn baru di Asia Tenggara untuk vertikal-vertikal di luar yang sudah ada.

“Untuk stage [startup] sebenarnya fleksibel, tapi karena saat ini masih baru, kita mau pilot project ke startup yang sudah jalan [later stage]. Karena ini juga jadi kerja sama pertama Google dengan venture capital,” imbuhnya.

Selain memupuk bisnis yang sudah ada mereka juga akan membantu perusahaan yang masih tradisional untuk melakukan transformasi digital. Seperti diketahui, bahwa Northstar tidak hanya berinvestasi pada perusahaan teknologi, namun mereka juga merangkul dua sektor lainnya, yakni konsumer dan finansial.

“Kerja sama ini juga diharapkan memunculkan pengusaha-pengusaha baru. Seperti kita tahu, Google punya berbagai program akselerator dan edukasi bisnis, kami pun juga sering involved ke dalam program-program pengembangan startup. Sedang didiskusikan program-program bersama yang nanti bisa dijalankan untuk tujuan tersebut,” kata Henky.

Dalam rilis yang diterbitkan, Managing Director Google Indonesia Randy Jusuf menyampaikan, “Di Google, kami ingin terus mendukung transformasi digital melalui kolaborasi dengan para pemangku kepentingan dan mendorong pengembangan komunitas startup melalui inisiatif Google for Startups. Merupakan suatu kebanggaan bagi kami untuk bekerja sama dengan Northstar Group dan mendukung investasi mereka pada startup melalui platform seperti Google Ads dan Google Cloud.”

Chief Investment Officer Northstar Group Tan Choon Hong juga memberikan sambutannya, “Dengan dukungan dari partner sekaliber Google, kami berharap bisa membantu portofolio kami untuk terus beradaptasi dan memaksimalkan peluang baru ke depannya. Kolaborasi dengan Google ini juga merupakan bagian dari komitmen kami untuk mendorong pertumbuhan perusahaan portofolio Northstar.”

Northstar sendiri sejak tahun 2003 telah mengelola dana sekitar $2,2 miliar, dan menjadi salah satu investor terbesar di regional. Di ekosistem startup Indonesia, mereka berinvestasi ke beberapa startup seperti Gojek, Zenius, dan eFishery. Mereka juga memiliki unit Northstar Foundation yang fokus memberikan investasi pada usaha berdampak sosial.

Perjalanan Berliku J.P. Ellis Membangun Bisnis Sebagai Penduduk Asing di Indonesia

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

John Patrick Ellis, yang akrab disapa J.P., adalah pengusaha teknologi dan keuangan yang telah berbasis di Indonesia selama 15 tahun terakhir. Lahir di Amerika Serikat lalu tumbuh besar di Asia dan Eropa, ia pertama kali datang ke Indonesia untuk bekerja di bidang pembangunan (NGO) pada tahun 2005 dan tetap di sini hingga saat ini sebagai pendiri startup fintech.

Perjalanan karir J. P. penuh dengan pilihan dan kebetulan yang tidak terduga. Berawal dari industri hukum New York hingga pendidikan dan pelayanan kesehatan masyarakat di Flores, berperan dalam asosiasi di firma ekuitas swasta regional, meluncurkan aplikasi pesan berbasis lokasi yang dimulai pada tahun 2012, hingga terlibat dalam pendirian Asosiasi Fintech Indonesia dan mendirikan sebuah perusahaan fintech regional yang terbilang sukses.

Dengan latar belakang ilmu politik, hubungan internasional, dan bahasa, J. P. memiliki pengalaman luas dalam kewirausahaan, teknologi, dan perencanaan. Dalam perannya saat ini sebagai CEO grup C88 Financial Technologies, ia mengawasi bisnis fintech yang beragam dalam pengambilan keputusan kredit, analisis keuangan, penilaian kredit, dan ruang peminjaman pasar dengan lebih dari 400 karyawan di Indonesia, Filipina, Singapura, Thailand, Australia dan Cina. Tim DailySocial berkesempatan untuk berdiskusi J. P. terkait perjalanannya, mengapa Indonesia, mengapa fintech dan bagaimana rasanya mencoba dan berhasil sebagai imigran non-pribumi. Setengah dari diskusi kami terjadi dalam bahasa Inggris, dan dilanjutkan dengan bahasa Indonesia yang sangat baik, di mana J.P. berekspresi cukup fasih tetapi dengan sedikit aksen.

Ketika masih muda, pernahkah terpikir oleh Anda untuk memulai bisnis atau menjadi seorang CEO?

Saya lahir di Amerika Serikat tetapi saya menghabiskan masa kecil saya dengan berpindah-pindah setiap beberapa tahun di Asia dan Eropa. Pengalaman berpindah-pindah ini mendefinisikan masa muda saya, dan menjadikan saya orang yang mudah beradaptasi, tangguh, dan berpikiran terbuka.

Sewaktu kecil, impian saya adalah menjadi perenang profesional. Saya berlatih keras dan hasilnya cukup baik dalam kompetisi. Tetapi sekitar usia 16 tahun, saya menyadari kemampuan saya belum bisa mencapai level Olimpiade. Kemudian, saya mengurangi fokus pada olahraga lalu beralih lebih kepada sekolah dan belajar. Tetapi etos kerja yang kuat dari pelatihan renang tetap melekat pada saya, dan telah sangat membantu saya selama bertahun-tahun.

Sejak usia muda, saya selalu suka memikirkan cara memecahkan masalah, tetapi baru di umur ke sekian saya menyadari bahwa hal itu dapat diwujudkan sebagai pendiri. Banyak hal yang saya lakukan sebelum mencapai titik itu, tetapi benang merah karir saya fokus pada pemecahan masalah.

Anda memiliki latar belakang pendidikan di bidang ilmu politik dan hubungan internasional, apa yang sesungguhnya menjadi passion Anda dan bagaimana keduanya bisa berjalan seiring?

Saya gemar memecahkan masalah dan mempertanyakan bagaimana dunia bekerja. Mungkin hal inilah yang benar-benar mendorong dan mendefinisikan saya. Di Indonesia, dan di seluruh dunia, banyak sekali masalah yang harus diselesaikan, hal itu menciptakan peluang bisnis. Memang tidak semuanya, namun kebanyakan. Banyak perusahaan raksasa dunia berawal dari sini.

Saya lulus dari Universitas Columbia. Lulusan seperti saya biasanya akan melanjutkan gelar Juris Doctor dari sekolah hukum. Kebanyaan teman sudah melakukan ini dan saya berniat melakukannya juga. Setelah lulus, saya bekerja di industri hukum New York di bidang penyelesaian sengketa. Hal itu sangat menarik dan pekerjaan berjalan sangat lancar, tetapi saya hanya duduk di meja sepanjang hari. Ada sedikit rasa hampa. Kemudian, saya melamar beberapa program untuk pekerjaan pembangunan (NGO) dunia. Saya menerima banyak tawaran termasuk satu dari Princeton-in-Asia, tetapi tawaran yang paling menarik adalah dari program afiliasi Universitas Stanford bernama ViA untuk bergabung dengan sebuah proyek di Flores, pedesaan timur Indonesia.

Saat itu, segala sesuatu di Flores sangat terbatas. Tidak ada listrik, tidak ada sinyal, dan tidak ada air ledeng. Kami harus berjalan melewati hutan untuk sampai ke desa-desa. Mungkin karena ini, tempat itu menjadi penuh dengan kehangatan dan komunitas yang luar biasa. Saya berinteraksi dengan orang Tado, belajar bahasa Manggarai, dan membantu mewujudkan beberapa inisiatif baik di bidang pendidikan dan kesehatan masyarakat untuk masyarakat desa, bekerja dengan guru dan Puskesmas mereka. Itu adalah pengalaman yang sangat memuaskan tetapi juga membuka mata saya.

J.P. Ellis with the district head and ethnic leaders At Rumah Tua Golo Beo Tado, Manggarai Barat, Flores, NTT in 2015
J.P. Ellis bersama Bupati dan Tokoh Etnis di Rumah Tua Golo Beo Tado, Manggarai Barat, Flores, NTT pada tahun 2005

Setelah itu, saya bekerja dengan pengusaha sukses, John dan Cynthia Hardy, yang menjual perusahaan perhiasan internasional mereka kepada perusahaan ekuitas swasta. Setelah penjualan, John dan Cynthia kemudian meminta saya untuk membantu mereka mengubah sebidang tanah kosong di Sibang Kaja, selatan Ubud, menjadi Sekolah Hijau; sebagai karyawan pertama di sana. John dan Cynthia sangat karismatik dan sangat inovatif. Sungguh menyenangkan dikelilingi antusiasme dan energi positif setiap hari. Melalui mereka, saya bertemu dengan istri saya Agatha yang juga bekerja di sana. Saat ini kami telah menikah selama hampir 13 tahun dan memiliki dua anak.

Saya kemudian mendapat kesempatan untuk bergabung dengan firma ekuitas swasta regional di Singapura dan Jakarta yang didirikan oleh Tom Lembong. Itu disebut Quvat Capital dan Principia Management. Saya belajar banyak dari Tom dan sangat menikmati bekerja untuknya, Brata, dan tim. Saya menghabiskan lebih dari empat tahun di sana dan melakukan banyak proyek yang bervariasi termasuk due-diligence perusahaan, pengadaan dan eksekusi kesepakatan, penggalangan dana, relasi investor, penelitian, restrukturisasi situasi khusus, dan bahkan perdagangan.

Sepanjang waktu ini, saya sangat menikmati berada di sekitar orang-orang pintar dan bekerja langsung dengan perusahaan dalam lingkungan yang dinamis dan bergerak cepat. Meskipun Jakarta adalah kota besar dalam banyak hal, Jakarta mempertahankan nilai-nilai komunitas yang lebih kecil; sopan santun. Saya merasa waktu yang saya habiskan di pedesaan Indonesia bisa membantu saya memahami keaadaan di ibukota pada tingkat yang lebih dalam daripada jika saya datang ke Jakarta langsung dari New York, Paris, atau San Francisco. Adalah sangat penting untuk memahami berbagai hal baik di tingkat mikro maupun makro. Anda tidak dapat benar-benar memahami satu tanpa yang lain.

Sebelum memulai C88Group dan CekAja, Anda sempat mendirikan Harpoen Mobile. Boleh berbagi sedikit cerita tentang perusahaan tersebut?

Sejak tahun 2011, saya yakin bahwa internet akan menjadi kekuatan ekonomi yang sangat kuat di Asia Tenggara. Melihat ke belakang, saya mendapati bahwa tindakan ini terlalu awal. Namun saat itu saya belum menyadarinya. Ditambah lagi, setelah beberapa tahun di bidang private equity, saya merasa ingin memulai dan mengembangkan bisnis sendiri. Saya ingin menciptakan sesuatu dan memecahkan masalah, mudah beradaptasi, dan suka tantangan dan petualangan. Dalam banyak hal, startup teknologi menjadi sarana yang tepat untuk mengekspresikan dan mendalami semua ini.

Kami meluncurkan Harpoen Mobile di atas meja makan saya dan rilis produk pertama kami adalah aplikasi iOS dan Android berbasis lokasi yang disebut Harpoen. Kami kemudian menambahkan tumpukan produk gratis yang disebut Mapiary, yang pada dasarnya adalah server iklan berbasis lokasi, dalam upaya untuk menghasilkan pendapatan lebih.

Saya dan rekan pendiri saya senang kami mencoba sesuatu yang orisinal. Saat itu, banyak startup di kawasan ini cenderung meniru model yang sudah ada. Kami merasa bangga karena kami mencoba ide baru. Syukurlah, kami memiliki banyak teman di komunitas teknologi serta media yang mendukung dan menyemangati kami. Kami sempat mewakili Indonesia di World Summit Awards untuk inovasi seluler di Abu Dhabi pada awal 2013, dan menang! Itu merupakan sebuah pencapaian yang cukup bisa diakui dalam hal inovasi.

Tetapi inovasi saja tidak cukup. Pada startup pertama, kemungkinan besar, Anda akan melakukan banyak kesalahan. Kami merasakannya sendiri. Dalam memilih lokasi sebagai inti layanan kami, kami tertahan pada matematika GPS yang tidak fleksibel dan kompleksitas saturasi informasi. Untuk meringkasnya secara singkat, di jaringan informasi biasa konten ada pada dua sumbu, biasanya pencipta dan kebaruan atau relevansi. Lokasi memperkenalkan sumbu ketiga dan dengan demikian mencapai kepadatan informasi matematika secara eksponensial lebih sulit: dunia adalah tempat yang besar dan tidak peduli seberapa besar Anda membuat vektor GPS, akan selalu ada tempat di luar jangkauan dengan konten lama atau tidak ada konten sama sekali. Inilah alasan mengapa banyak layanan berbasis lokasi seperti FourSquare dan Highlight tidak sesukses yang diperkirakan semua orang pada tahun 2012. Dalam bahasa ilmu komputer, konten berbasis lokasi akan digambarkan sebagai algoritma dengan “kompleksitas eksponensial”.

Secara retrospektif, bahkan jika kami telah sukses besar-besaran dan mencapai DAU, model komersial tidak akan berhasil karena monetisasi iklan dan CPM secara komersial sangat sulit untuk diukur di Indonesia bahkan sekarang, apalagi di tahun 2012.

Jadi, setelah setahun mencoba – dan banyak pengalaman luar biasa termasuk menjadi pendiri pertama yang melakukan pitch di TechInAsia Summit pertama di Jakarta pada tahun 2012 – saya bertemu dengan perusahaan periklanan berbasis di Toronto, Kanada yang berencana untuk mengkomersialkan lokasi ke klien perusahaan. Server iklan lokasi Mapiary kami dapat membantu klien mereka seperti Nike mengajak orang-orang melakukan joging interaktif, atau Heineken mengajak orang-orang menjelajahi pub interaktif. Ada banyak kasus penggunaan yang menarik dan mereka sangat antusias, dan saya merasa teknologinya juga lebih cocok untuk Amerika Utara, jadi mereka akhirnya mengakuisisi apa yang telah kami bangun dan saya dapat mengembalikan modal kepada investor. Secara keseluruhan, memang bukan kesuksesan komersial, tetapi memberi saya banyak keberanian dan pengalaman.

Apa yang mendorong Anda untuk membuat CekAja?

Setelah Harpoen Mobile, saya tetap bersemangat mengenai startup. Saat itu, komunitas startup di Indonesia masih cukup kecil dan semua orang saling mengenal. Saya banyak berpikir tentang perubahan dan peluang apa yang akan diciptakan dengan meningkatkan digitalisasi ekonomi, dan teman dekat saya Sebastian Togelang dan Andy Zain juga melakukan hal yang sama. Di penghujung 2013, kami semua berkumpul untuk mendirikan Kejora Ventures. Saya bertindak sebagai entrepreneur-in-residence. Saya mulai membangun perusahaan fintech saya di gedung Barito Pacific di Jakarta, berdampingan dengan Kejora.

Kami memutuskan untuk melakukan sesuatu yang tidak biasa dan diluncurkan di Jakarta dan Manila pada waktu yang bersamaan. Sangat tidak biasa untuk meluncurkan produk di dua negara secara bersamaan, tetapi kami memiliki sumber daya teknis yang dalam dan pendiri yang kuat seperti Stephanie Chung di Manila. Ditambah lagi, fintech di kedua pasar cukup mirp di awal tahun 2013; tidak terjadi satu pasar lebih maju dari yang lain. Jadi kami merasa mengambil pendekatan “sekali dayung dua tiga pulau terlampaui” akan membantu kami berkembang lebih cepat.

Kami menjadi salah salah satu perusahaan pertama di Jakarta dan Manila yang berhubungan dengan bank terkait model kerjasama fintech/bank. Dengan cepat kami berlari melihat dan mengunjungi setiap ruang rapat di bank. Tetapi yang tidak kami manfaatkan dengan baik saat itu adalah lamanya bank harus beradaptasi dan berubah. Bahkan sekarang, saya masih heran ada banyak bank di wilayah ini yang masih belum mengarah ke digital. Hal ini sebagian dapat dijelaskan oleh sisa trauma sektor perbankan dari krisis ’98, dan bahwa institusi besar memiliki insentif yang menghukum kegagalan lebih dari mereka menghargai kesuksesan, sedangkan startup adalah kebalikannya. Jadi insentif asimetris adalah penjelasan terbaik saya ketika orang bertanya kepada saya mengapa laju perubahan tidak secepat ini. Perubahan sedang terjadi, dan COVID-19 telah mempercepatnya.

Di masa-masa awal, kami juga menyadari bahwa undang-undang dan peraturan perlu dikembangkan untuk mendukung inovasi fintech. Mulai tahun 2014, saya bergabung dengan beberapa pengusaha fintech lainnya seperti Niki Luhur, Karaniya Dharmasaputra, Budi Gandasoebrata, Aldi Hariyopratomo, Ryu Kawano, Alison Jap, dan banyak lagi lainnya untuk memulai apa yang kini telah menjadi Asosiasi FinTech Indonesia. Kami juga melakukan pekerjaan advokasi kebijakan serupa di Filipina. Ini menciptakan apa yang menurut saya merupakan momentum untuk banyak regulasi dan aktivitas fintech yang kita lihat saat ini di kedua pasar ini.

Selama bertahun-tahun, baik bisnis maupun asosiasi telah tumbuh dan berkembang. Dalam bisnis sekarang, kami memiliki agregasi pasar, pinjaman pasar, penilaian kredit, agregasi skor, insurtech, solusi manajemen data, analitik, dan manajemen risiko kredit, dan perangkat lunak pengambilan keputusan yang tersedia di cloud dan sebagai lisensi. Kami bermitra dengan Anton Hariyanto, Sulaeman Liong dan Rainier Widjaja untuk kapabilitas perusahaan dan klien kami hampir di setiap bank di negara ini.

Kami memiliki tim yang luar biasa, dan tentu saja ada banyak kemunduran dan tantangan di sepanjang jalan, namun kami bertumbuh dan memberikan nilai kepada klien dan industri. Sementara di Asosiasi, pertumbuhan luar biasa sedang terjadi dan sekarang terdapat ratusan perusahaan fintech di negara ini, dan undang-undang fintech yang jelas, serta keterlibatan yang luar biasa dengan OJK dan BI. Karena itu, menurut saya Indonesia memiliki beberapa hukum dan kebijakan fintech paling inovatif dan jelas di seluruh dunia. Ini adalah pekerjaan seluruh industri dan saya sangat bangga telah memainkan peran kecil di dalamnya.

Pada tahun 2018, C88 Financial Technologies (perusahaan induk CekAja), menerima investasi minoritas strategis dari perusahaan penilaian kredit global Experian.

Anda telah melihat pasar di beberapa belahan dunia, apa yang membuat Asia Tenggara berbeda, khususnya Indonesia?

Wilayah ini unik karena demografi, tingkat pertumbuhan, dan tingkat suku bunganya. Secara regional, Indonesia unik karena ukurannya. Pasar lain di Asia Tenggara masing-masing memiliki kepentingannya sendiri, dan untuk menjadi sukses secara regional, ada prinsip yang harus Anda perhatikan dengan benar untuk menyeimbangkan kekuatan setiap pasar secara harmonis disamping kelemahan pasar lainnya. Misalnya, walaupun Indonesia besar dan penuh potensi, monetisasi sangat sulit dan konsumen serta perusahaan sangat sensitif terhadap harga. Pasar lain mungkin memiliki jalur monetisasi yang lebih mudah, tetapi ukuran pasar yang lebih kecil dan pertumbuhan yang lebih sedikit. Oleh karena itu, pendekatan terbaik untuk wilayah tersebut menciptakan keseimbangan di antara elemen-elemen ini.

Bagi mereka yang ingin memulai bisnis teknologi di wilayah ini, mereka harus tahu bahwa pasar sedang bergerak cepat, dan akan tetap seperti ini selama bertahun-tahun yang akan datang. Jangan terintimidasi oleh seberapa cepatnya bergerak atau berpikir itu “terlambat” sama sekali. Sekarang ada penggunaan internet dan penetrasi perangkat seluler yang signifikan, ekosistem usaha yang dinamis dengan banyak modal dan investor profesional, pemimpin dan kisah sukses yang menginspirasi, ada super-app dan juga kisah exit yang sukses melalui penjualan dan IPO. Teknologi cloud mulai muncul dan semakin berkembang dan ini akan membuka jalan bagi model SaaS, undang-undang lebih jelas, dan sekarang COVID-19 telah menciptakan dorongan digitalisasi besar-besaran ini. Setelah semua orang divaksinasi dan ekonomi terbuka kembali, jelas akan ada percepatan model bisnis yang didukung teknologi.

Namun, penting juga untuk tidak membangun startup. Namun, mulailah dengan bisnis. Ketahui ekonomi Anda, ketahui jalan menuju monetisasi dan laba, fokuslah untuk melakukannya dengan baik daripada metrik canggih atau sekedar viral. Terkadang sulit untuk membedakannya, terutama bagi pendiri muda, dan ketika media terengah-engah dan investor menuntut pertumbuhan untuk memenuhi ekspektasi pengembalian dari portofolio mereka. Tetapi sebagai seseorang yang telah melakukan banyak hal dalam bidang ini selama bertahun-tahun, mengalami kesuksesan dan kegagalan, saya dapat mengatakan bahwa ketika Anda benar-benar ingin memulai, mulailah dari bisnisnya dan bukan hanya startupnya.

Menjadi entrepreneur itu tidak mudah, terlebih sebagai sorang pendatang. Apa saja tantangan yang Anda hadapi ketika sampai dan membangun bisnis di Indonesia?

Saya merasa sangat disambut di sini. Negara ini telah memberi saya begitu banyak dan saya bersyukur untuk itu. Saya menyukai pekerjaan yang saya lakukan setiap hari, orang-orang yang bekerja dengan saya, dan peluang yang kami miliki untuk memecahkan masalah dan membangun industri yang lebih baik, masyarakat yang lebih baik, dan negara yang lebih makmur.

Saya pikir setiap kesulitan yang saya alami adalah kesulitan yang dialami setiap pendiri: menyesuaikan diri dengan pasar produk, bergulat untuk berada di sisi kanan unit ekonomi, membangun tim yang hebat dan budaya yang sehat, menavigasi krisis COVID-19, dan sebagainya. Saya bahkan tidak akan menyebut kesulitan ini – inilah inti dari menjadi seorang pendiri.

Dalam hal sebagai orang asing, sejujurnya saya bahkan tidak merasakannya lagi. Bagi orang yang mengenal saya dengan baik, hanya ada sedikit gesekan antara diri bule saya dan diri Indonesia saya. Saya merasa nyaman di kedua sisi dan saya menyukainya.

Dengan segudang pengalaman dalam berbisnis, apakah masih ada harapan Anda yang belum tercapai? Pernahkah terpikir untuk pada akhirnya kembali ke Amerika Serikat?

Saya tertarik pada banyak hal dan saya merasa dapat terus menciptakan produk dan layanan yang baru dan inovatif selama beberapa dekade mendatang. Ada banyak hal yang ingin saya lakukan, banyak masalah yang harus diselesaikan, dan inovasi baru yang harus dibuat.

Khususnya di fintech, industri ini masih di tahap awal. Saya sangat yakin dalam dekade mendatang, perusahaan teknologi akan menjadi yang memanfaatkan data, membuat produk, menulis perangkat lunak, membangun analitik, dan membuat pengalaman pelanggan untuk membuat konsumen dan bisnis Indonesia menjadi bank universal, serta kompetitif secara regional dan global.

Mengenai Amerika Serikat, saya mengakui bahwa negara tersebut perlu membangun kembali masyarakat dan mempercayai serta memulihkan lembaganya dalam konteks pasca-Trump. Amerika Serikat akan membutuhkan orang-orang yang energik dan berkomitmen yang bersedia menyingsingkan lengan baju dan membantu melakukan itu. Saya tidak mengesampingkan bahwa suatu hari nanti, saya mungkin ingin kembali untuk berperan di dalamnya. Tapi sekarang, perusahaan, klien, teman, dan keluarga saya membutuhkan saya di sini, di Indonesia dan di Asia Tenggara. Perlu diingat, kami juga memiliki kehadiran yang signifikan di Filipina, dan ratusan karyawan serta bisnis besar di sana, dan ada banyak peluang di sana yang menyemangati saya.

Terkait pandemi yang sedang terjadi, apakah ada perubahan signifikan yang terjadi pada bisnis Anda?

Klien kami adalah bank dan lembaga jasa keuangan. Banyak yang terpaksa menunda atau menghentikan proyek dan kegiatan karena pandemi. Meskipun mereka tidak berniat untuk menunda, beradaptasi dengan sistem  kerja dari rumah untuk organisasi besar seperti itu merupakan sebuah tantangan, banyak penundaan yang tidak disengaja. Sebagai sebuah bisnis, kami harus sangat fleksibel dan adaptif dengan kenyataan ini untuk memastikan kami dapat terus melebihi ekspektasi klien kami. Kabar baiknya adalah klien kami membutuhkan solusi digital. Kami mengantisipasi iklim pasca-vaksin yang sangat menggembirakan bagi klien dan bisnis kami.

Memasuki tahun 2020, kami merasa siap seperti perusahaan mana pun untuk apapun yang terjadi. Kami memiliki beberapa eksekutif di Beijing, dan karena itu, tim eksekutif dan saya telah menyadari sedini mungkin sejak pertengahan Januari tahun lalu bahwa pandemi global mungkin terjadi. Kami memiliki skenario yang mengarah ke tingkat yang menakutkan yang untungnya penyakit itu tidak pernah mendekati.

Ketika lockdown mulai terjadi di Filipina dan Indonesia pada bulan Maret tahun lalu, saya mengumpulkan seluruh perusahaan dan kami menyusun strategi yang jelas tentang apa yang akan kami lakukan untuk bertahan dari krisis dan memastikan kelangsungan bisnis.

Kami memiliki tingkat kesinambungan bisnis yang sangat spesifik, dan kami menyuruh semua orang pulang untuk bekerja sesuai arahan, kebijakan, dan instruksi yang jelas. Saya juga membuka memo strategi dwi-bahasa kami dan mengirimkannya ke banyak perusahaan dan startup lain. Saya ingin apa yang kami lakukan untuk menanggapi COVID-19 dapat diakses oleh orang lain yang mungkin memiliki keragu-raguan apakah itu akan memengaruhi mereka. Kami mengira COVID-19 akan menciptakan krisis yang akan berlangsung lama dan berat, dan sayangnya, kami benar.

Jelas, tim saya dan saya mampu membuat perubahan yang sesuai pada bisnis untuk menempatkan kami di jalur yang baik. Kami terus melayani klien kami dengan baik, tumbuh secara menguntungkan, dan berinovasi di segmen pasar kami. Dengan vaksin yang mulai diluncurkan sekarang, kami mulai beralih ke pola pikir optimis untuk tahun 2022 dan seterusnya. Kami merasa tahun 2021 akan terus sulit untuk sebagian besar tahun ini, dengan beberapa peningkatan menjelang semester kedua.

Apa yang ingin Anda sampaikan pada para entrepreneur di luar sana yang ingin memulai bisnisnya namun terhalang oleh pandemi?

Menurut saya, tidak ada waktu yang lebih baik untuk memulai bisnis teknologi. Ya, virus menciptakan tantangan, tetapi vaksinnya juga hampir tiba. Fokus pada tahun 2022 dan seterusnya. Dan jangan berpikir akan terlambat. Dalam teknologi, tidak ada yang benar-benar berakhir karena inovasi akan selalu lahir. Kode terus dikompilasi ulang. Memang benar bahwa hampir 90% dari startup gagal, tetapi jika Anda fokus membangun bisnis daripada memulai, Anda sudah meningkatkan peluang sukses Anda. Hampir setiap pengetahuan yang Anda butuhkan dapat diakses dan mudah dipelajari. Yang dibutuhkan hanyalah komitmen dan kerja keras untuk melakukannya. Saya melakukan ini, dan banyak kolega serta teman saya yang berkinerja tinggi juga melakukannya. Kami tidak hanya secara ajaib mempelajari subyek baru. Sebaliknya, ini adalah upaya terus-menerus untuk tetap mengetahui apa yang baru dan terkini dengan teknologi dan dunia.

Untuk memulai sebuah perusahaan, Anda harus mengidentifikasi di mana letak masalah besar, bagaimana Anda menyelesaikannya dan bagaimana Anda mengubahnya menjadi sebuah bisnis. Pola pikir ini adalah sesuatu yang saya pelajari dan kembangkan selama bertahun-tahun. Fokus pada masalah dan pelanggan, jadilah mesin pembelajaran, jadilah optimis dan realistis pada saat yang sama, perlakukan orang lain dengan baik, fokus pada komunitas, dan hasilnya akan baik. Indonesia membutuhkan lebih banyak pemecah masalah, hal itu bisa menjadi alasan untuk Anda bisa maju dan menyelesaikan masalah. Kita bisa. Anak bangsa bisa. Saya optimis kok.


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

J.P. Ellis’ Unexpected Journey as a Non-Native Tech Entrepreneur in Indonesia

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

John Patrick Ellis, well known in the industry as J. P, is a technology and finance entrepreneur based in Indonesia for the past 15 years. Born in the United States and raised in Asia and Europe, he first came to Indonesia to work in development in 2005 and remains here until today as a fintech founder.

J. P.’s career journey is full of unexpected choices and serendipity. From New York’s legal industry to education and public health work in Flores, associate roles in a regional private equity firm, launching an early location-based messaging application from his Jakarta dining room table in 2012, to helping establish the Indonesian Fintech Association and founding a successful regional fintech company.

With a background in political science, international relations, and languages, J. P. has extensive experience in entrepreneurship, technology and deal-making. In his current role as the CEO of the C88 Financial Technologies group, he oversees a diverse fintech business in the credit decisioning, financial analytics, credit scoring and marketplace lending spaces with over 400 employees in Indonesia, the Philippines, Singapore, Thailand, Australia and China. We caught up with J. P. to discuss his journey, why Indonesia, why fintech and what it’s like to try and succeed as a non-native immigrant here. Half of our discussion was in English, and the other half in his excellent Bahasa Indonesia, where he expresses himself fluently but with a small accent.

When you were young, did you ever dream to start your own business or become a CEO?

I was born in the United States but I spent my childhood moving every few years around Asia and Europe. This experience of movement and change defined my youth, and has made me a very adaptable, resilient and open-minded person.

As a kid, my dream was to be a competitive swimmer. I trained hard and did reasonably well in competition. But around the age of 16, I realized that I wouldn’t quite make it to an Olympic level. So around that time, I decreased my focus on sport and increased my focus on school and study. But a strong work ethic from swim training has remained with me, and has been a big help to me over the years.

From a young age, I always liked thinking about how to solve problems, but it wasn’t until later in life that I realized I could do that as a founder. So I did a lot of things before I became a founder, but the common thread of my career is a focus on problem solving.

You have background study in political sciences and international relations, what is your actual passion and how does it align with your career?

I like to solve problems, and I like to understand how the world works. I think this is what really drives and defines me. In Indonesia, and all over the world, there are so many problems to solve, and solving problems also creates business opportunities. Not all problems are business opportunities, but many of them are. Many of the world’s great companies were founded this way.

I graduated from Columbia University and the typical next step after studying what I did is to earn a Juris Doctor degree from a law school. Many of my friends did this, and I was intending to as well. After graduation, I worked in New York’s law industry in dispute resolution. It was very interesting and I was very good at my job, but I was sitting at a desk all day. I felt like something was missing. So I applied to several programs for development work around the world. I received many offers including one from Princeton-in-Asia, but the most interesting offer was from a Stanford University-affiliated program called ViA to join a project in Flores, in rural eastern Indonesia.

At that time, everything in Flores was very limited. There was no electricity, no mobile phone signal, and no running water. We had to walk through the forest to get to the villages. Perhaps because of this, it was a place of incredible warmth and community. I connected with the Tado people, learned the Manggarai language, and helped bring about some good initiatives in education and public health for the village communities, working with their teachers and their Puskesmas. It was a very fulfilling but also an eye-opening experience.

J.P. Ellis with the district head and ethnic leaders At Rumah Tua Golo Beo Tado, Manggarai Barat, Flores, NTT in 2015
J.P. Ellis with the district head and ethnic leaders At Rumah Tua Golo Beo Tado, Manggarai Barat, Flores, NTT in 2005

After that, I worked for very successful entrepreneurs John and Cynthia Hardy, who sold their international jewelry company to a private equity firm. After the sale, John and Cynthia then asked me to help them transform a bare plot of land in Sibang Kaja, south of Ubud, into what is now the Green School; so I was the first employee there. John and Cynthia are so charismatic and so innovative. It was a real pleasure to be around that enthusiasm and energy every day. Through them, I also met my wife Agatha. She also worked there and we met at the team lunch table. We have now been married for close to 13 years and have two young children.

I then had the opportunity to join a regional private equity firm in Singapore and Jakarta founded by Tom Lembong. It was called Quvat Capital and Principia Management. I learned so much from Tom and really enjoyed working for him, Brata, and the team. I spent a little more than four years there and did a lot of varied projects including company due diligence, deal sourcing and execution, fundraising, investor relations, research, special situation restructuring, and even some trading.

Throughout this time, I was really enjoying being around such smart people and working directly with companies in such a dynamic, fast-moving environment. Even though Jakarta is a megacity in many ways it retains the values of a smaller community; its manners and politenesses. I think my time in rural Indonesian villages definitely helped me understand its capital on a deeper level than if I had come to Jakarta directly from New York, Paris, or San Francisco. I think the lesson is that it’s really important to understand things on both a micro-level as well as macro level. You can’t really know one without the other.

Before your current company and CekAja, you founded Harpoon Mobile, are you willing to share some stories about the company?

From 2011 on, I was convinced that the mobile internet will be a very powerful economic force in Southeast Asia. With hindsight, I can see that I was very early in my actions. But I did not realize that at the time. Plus, after several years in private equity, I felt that I wanted to start and grow a business myself. I like creating things and solving problems, I’m very adaptable, and I like challenge and adventure. In many ways, technology startups are the perfect vehicle to express and experience all of this.

We launched Harpoon Mobile from my dining room table, and our first product release was a location-based iOS and Android application called Harpoen. We later added a complimentary product stack called Mapiary, which was basically a location-based ad-server, in an attempt to monetize better.

My co-founders and I liked that we were trying something original. Back then, many startups in the region were likely to be copycat models. We felt proud that we were trying a new idea. Thankfully, many of our friends in the tech community and its media supported and encouraged us. My co-founders and I actually also represented Indonesia at the World Summit Awards for mobile innovation in Abu Dhabi in early 2013, and we won! It was a cool experience to be recognized for innovation.

But innovation alone isn’t enough. Your first startup, the odds are, you will get a lot of things wrong. And that was true for us. In selecting a location as our service core we were locked into the inflexible mathematics of GPS and the complexity of information saturation. To summarize it briefly, in usual information networks content exists on two axes, typically creator and recency or relevancy. Location introduces the third axis and thus achieving a mathematical density of information is exponentially harder: the world is a big place and no matter how large you make the GPS vectors, there will always be places out of coverage and with old content or no content at all. This is the reason a lot of location services like FourSquare and Highlight were not as successful as everyone predicted back in 2012. In the language of computer science, location-based user content would be described as an algorithm with “exponential complexity.”

In retrospect, even if we had been massively successful and achieved hockey-stick DAUs, the commercial model wouldn’t have worked anyway because ad monetization and CPM are commercially very hard to scale in Indonesia even now, let alone back in 2012.

So, after a year of trying — and a lot of awesome experiences including being the first founder to pitch at the first TechInAsia Summit in Jakarta in 2012 — I met a Toronto, Canada-based advertising company who was planning to commercialize location to enterprise clients. Our Mapiary location ad-server could help their clients like Nike take people on interactive jogs, or Heineken takes people on interactive pub crawls. There were a lot of interesting use cases and they were excited about it, and I felt the technology was more suitable for North America as well, so they ended up acquiring what we had built and I was able to return capital to my seed and angel investors. Overall, it was not a resounding commercial success, but it gave me a lot of grit and experience.

How did you come up with the idea of CekAja?

After Harpoon Mobile, I remained very passionate about startups. At that time, the startup community in Indonesia was still quite small and everyone knew each other. I was thinking a lot about what changes and opportunities would be created by increasing economic digitization, and my close friends Sebastian Togelang and Andy Zain were doing the same. In late 2013, we all came together to found Kejora Ventures. I was the founding entrepreneur-in-residence. I started building my fintech company at the Barito Pacific building in Jakarta, side-by-side with Kejora.

We decided to do something unusual and launched in Jakarta and Manila at the same time. It’s quite unusual to launch a product in two countries simultaneously, but we had deep technical resources and strong co-founders like Stephanie Chung in Manila, so it made sense. Plus, fintech in both markets was equally early in 2013; it wasn’t the case that one market was more advanced than the other. So we felt taking a “two birds with one stone” approach would help us scale faster.

We were definitely one of the first companies in Jakarta and Manila to engage with banks about fintech/bank cooperation models. We hit the ground running and visited every bank boardroom pretty quickly. But what we didn’t appreciate back then was how long it would take banks to adapt and change. Even now, I am still amazed that more banks in this region aren’t doing more digitally. This can partially be explained by residual banking-sector trauma from the ‘98 crisis, and that large institutions have incentives that punish failure more than they reward success, whereas startups are the exact opposite. So asymmetrical incentives are my best explanation when people ask me why the pace of change hasn’t been faster. Change is happening though, and COVID-19 has accelerated it.

In the early days, we also realized quite early on that laws and regulations would need to evolve to support fintech innovation. Starting from 2014, I joined with several other fintech entrepreneurs including Niki Luhur, Karaniya Dharmasaputra, Budi Gandasoebrata, Aldi Hariyopratomo, Ryu Kawano, Alison Jap, and many others to start what has now become the Indonesian FinTech Association. We did similar policy advocacy work in the Philippines, too. This created what I think is the momentum for a lot of fintech regulations and activities that we see today in both of these markets.

Over the years, both the business as well as the Association have grown and matured. In the business now, we have marketplace aggregation, marketplace lending, credit scoring, score aggregation, insurtech, data management solutions, analytics, and credit risk management, and decisioning software available in the cloud and as a license. We partnered with Anton Hariyanto, Sulaeman Liong and Rainier Widjaja for enterprise capabilities and our clients are pretty much every banks in the country.

We have an awesome team, and while of course there have been many setbacks and challenges along the way, we are growing and delivering value to our clients and the industry. And in the Association, we have experienced tremendous growth and now there are hundreds of fintech companies in the country, and clear fintech laws, and incredible engagement with OJK and BI. Because of this, I would say that Indonesia has some of the most innovative and clear fintech laws and policies in the whole world. This is the work of a whole industry and I am so proud to have played a small part in it.

In 2018, C88 Financial Technologies (parent company of CekAja), received a strategic minority investment from global credit scoring company Experian.

You’ve seen the market in some other places, what makes Southeast Asia market different, especially Indonesia?

The region is unique because of its demographics, growth rates, and interest rates. In the region, Indonesia is unique because of its size. The other markets of Southeast Asia each have their own importance, and to be successful regionally there are principles that you must get right to balance the strengths of each market harmoniously versus the weaknesses of others. For example, while Indonesia is large and full of potential, monetization is very difficult and consumers and enterprises are very price sensitive. Other markets may have easier monetization paths, but smaller market sizes and less growth. The best approach for the region therefore creates balance among these elements.

For those who want to start a technology business in the region, I would advise them that the market is fast-moving, and it will remain like this for many years to come. Don’t be intimidated by how fast it moves or think it is “too late” at all. There is now significant internet usage and mobile device penetration, a vibrant venture ecosystem with plenty of capital and professional investors, inspiring leaders and success stories that are locally visible and accessible, there are super apps and also successful exits via both trade sale and IPO, cloud technology is starting to emerge and become viable and this will start to enable SaaS models, laws are clearer, and now COVID-19 has created this massive digitization push. After everyone is vaccinated and the economy opens again, there is clearly going to be an acceleration of tech-enabled business models.

But it’s also important not to start a startup. Instead, start a business. Know your economics, know the path to monetization and profit, focus on doing that well instead of vanity metrics or headline-chasing. It’s sometimes hard to distinguish between these, especially for young founders, and when the media is breathless and boardroom investors demand growth to meet their own portfolio return expectations. But as someone who has done a lot in this space for many years, experiencing both success and failure, I can tell you that you really want to be starting a business and not just a startup.

Entrepreneurship is never easy, especially when you’re not a native. What kind of hardships have you encountered when you first arrived and while building businesses in Indonesia?

Indonesia has been very welcoming to me. It has given me so much and I am thankful for that. I love the work I do every day, the people I work with, and the opportunities we have to solve problems and construct a better industry, a better society, and a more prosperous country.

I think any hardships I have experienced are hardships that any founder experiences: getting to product-market fit, wrestling to be on the right side of unit economics, building a great team and healthy culture, navigating the COVID-19 crisis, and so on. I wouldn’t even call these hardships – this is what being a founder is all about.

In terms of being a foreigner, I honestly don’t even register that anymore. For people who know me well, there is very little friction between my bule self and my Indonesian self. I feel comfortable in both worlds and I like that.

With so much experience in the business, do you still aim for something more in this industry? Have you ever thought of going back to the US for some kind of bottom line?

I’m interested in many things and I feel like I can keep creating new and innovative products and services for many decades to come. There are a lot of things I want to do, and a lot of problems to solve, and new innovations to create.

In fintech specifically, we are still very much at the beginning of the industry. I really believe over the next decade, technology companies will be the ones that harness data, create products, write software, construct analytics, and craft customer experiences to make Indonesian consumers and businesses become universally banked, as well as regionally and globally competitive.

Regarding the United States, I do admit that the country needs to rebuild society and trust and restore its institutions in a post-Trump context. The United States will need energetic and committed people willing to roll up their sleeves and help to do that. I don’t rule out that one day, I might want to go back to play a part in that. But right now, my company, clients, friends, and family need me here in Indonesia and in Southeast Asia. Keep in mind, we also have a significant presence in the Philippines too, and hundreds of employees and a big business there, and there is a lot of opportunity there that I am incredibly excited about too.

About the current pandemic, is there any significant change in your business?

Our clients are banks and financial services institutions. Many were forced to suspend or delay projects and activities due to the pandemic. Even if they didn’t intend to delay things, adapting to work-from-home for such big organizations is a challenge, so many delays are inadvertent. As a business, we have had to be very flexible and adaptive to this reality to ensure we can continue to exceed our client expectations. The good news is that our clients need digital solutions. We anticipate a very encouraging post-vaccine climate for our clients and our business.

Going into 2020, we felt we were as prepared as any company could be for what happened. We have a small executive presence in Beijing, and because of this the executive team and I were aware as early as mid-January of last year that a global pandemic was a possibility. We had scenarios that went all the way up to frightening levels of mortality that thankfully the disease never came close to.
As lockdowns started to happen in the Philippines and Indonesia in March of last year, I gathered the whole company and we laid out a clear strategy of what we were going to do to survive the crisis and ensure business continuity.

We had very specific levels of business continuity, and we sent everyone home to work with clear guidance, policies, and instructions. I also open-sourced our bi-lingual strategy memo and sent it around to many other companies and startups. I wanted what we were doing to respond to COVID-19 to be accessible to others who maybe had uncertainty on whether it would affect them. We thought COVID-19 would create a crisis that would be long and hard and unfortunately, we were right.

Obviously, my team and I were able to make the appropriate changes to the business to put us on a good path. We continue to serve our clients well, are growing profitably, and innovating in our market segments. With vaccines starting to roll-out now, we are beginning to shift to an optimistic mindset for 2022 and beyond. We do feel 2021 will continue to be hard for most of the year, with some improvement towards the second semester.

Something you want to say to those entrepreneurs who wanted to start a business but constrained by pandemic?

I would say It’s never been a better time to start in tech entrepreneurship. Yes, the virus creates challenges but the vaccine is almost here too. Focus on 2022 and beyond. And do not think it’s too late. In technology, it’s never really over because innovation is always innovating versus itself. The code is constantly re-compiling. Yes, it is true that close to 90% of startups fail, but if you focus on building a business instead of a startup, you will already improve your odds of success. Nearly every knowledge you need is accessible and easy to learn. All it takes is the commitment and hard work to do it. I do this, and a lot of my high-performing colleagues and friends do it too. We don’t just magically learn new subjects. Instead, it is a constant effort to stay on top of what is new and be current with technology and the world.

To start a company, you must identify where the big problems are, how do you solve them and how do you turn them into a business. This mindset is something that I spent years learning about and developing. Focus on the problem and the customer, be a learning machine, be both optimistic and realistic at the same time, treat others well, focus on community and you’ll be fine. Indonesia needs more problem-solvers, so you could also argue it is a duty to go out there and solve problems. Kita bisa. Anak bangsa bisa. Saya optimis kok.

Northstar Mencari “Lumbung Permata” di Pasar Indonesia

Pada bulan April, perusahaan Private Equity yang berkantor pusat di Singapura, Northstar telah mengumumkan penutupan fund kelimanya. Sejak debutnya pada tahun 2003, Northstar telah aktif berinvestasi di pasar Indonesia. Salah satu portofolio mereka yang teranyar adalah raksasa ride hailing, Gojek.

Dengan jumlah populasi anak muda dan basis konsumen yang terus berkembang menggerakkan roda perekonomian negara, Indonesia tetap menjadi pasar terbesar bagi investor di Asia Tenggara. Hal tersebut diungkapkan secara jelas oleh Co-Chief Investment Northstar, Sunata Tjiterosampurno, dalam sesi wawancara eksklusif dengan DailySocial. Setiap kali investor mencari peluang di Asia Tenggara, Indonesia harus ada di peta.

Selama membahas lanskap investasi di Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara, ia menekankan untuk tidak menggeneralisasi lanskap VC dan PE. Di skema PE, lanjutnya, Indonesia dikatakan sebagai pasar yang cukup menarik karena banyaknya kesepakatan pasar menengah ($50-100 juta).

Singapura, di sisi lain, memiliki pasar sendiri. Lanskap ini relatif mirip dengan Thailand, Vietnam, dan Filipina. Ia juga menyoroti fakta bahwa tidak banyak potensi sumber daya alam atau sektor terkait masyarakat di Singapura. Selain itu, terdapat basis manufaktur di Thailand, dibandingkan dengan Indonesia yang kebanyakan melayani jenis transaksi pasar massal konsumen.

Secara historis dan ke depannya, memberi eksposur terhadap pertumbuhan konsumsi di Indonesia (yang didasari pertumbuhan kelas menengah) menjadi tema penting di Northstar. Apalagi di era digital ini, di mana segala sesuatu mulai bergeser ke cara non-konvensional.

“Digital telah menjadi komponen ekonomi yang lebih besar dan menyerbu pasar massal konsumen dan layanan keuangan dengan cara yang berbeda. Evolusi model bisnis yang memanfaatkan pasar tersebut telah menghasilkan investasi dalam bisnis yang lebih berorientasi digital atau menggabungkan bisnis online-offline,” imbuhnya.

skyscraper-3184798_1280

Fokus pada market yang besar

Dalam hal investasi, Northstar memiliki tiga area fokus, pasar massal konsumen, layanan keuangan, dan digital. Strategi ini telah diterapkan pada fund IV dan akan terus diadopsi dalam fund V. Dipastikan bahwa pasar terbesar perusahaan sejauh ini adalah Indonesia. Dari perspektif geografis, Indonesia akan mencaplok 60% – 70% dari total, sementara pasar lain mendapat bagian hingga 30% – 40%. Di pasar regional, Northstar telah mengambil peluang di Filipina, Thailand, Singapura, dan Vietnam.

Berinvestasi bukanlah tugas yang mudah. Ada beberapa kualitas utama untuk diperhatikan atau menjadi fokus. Bagi Northstar, yang pertama dan terpenting adalah pengusaha itu sendiri. Sampai pada akhirnya mereka bertemu dengan tim manajemen, para pendiri memang orang paling penting yang dapat menggerakkan bisnis ini dan menjadikannya besar.

Selanjutnya, seberapa besar ukuran pasar yang mereka kejar? Ada banyak perusahaan rintisan digital, tetapi jika mereka mencari pasar kecil maka inilah saatnya untuk mempertimbangkan kembali. Sebagai perusahaan yang berkomitmen untuk berinvestasi pada perusahaan yang sedang berkembang, adalah alami untuk menargetkan pasar yang besar.

Ketiga, model bisnis yang dapat dipertahankan, artinya mereka memiliki cara yang menarik untuk menghasilkan uang. Selain itu, mereka dapat membuat mode pertahanan untuk mengelola persaingan saat semakin ketat.

DailySocial turut menyinggung perjalanan Northstar dalam menemukan dan berinvestasi pada salah satu harta karun Indonesia, Gojek. Singkat cerita, sebagai pendiri Northstar, Patrick Walujo menjadi salah satu yang pertama kali terlibat di masa-masa awal Gojek. Perusahaan modal ventura afiliasinya, NSI, yang kini berganti nama menjadi Openspace Ventures, berinvestasi di putaran Seri A pada tahun 2014. Saat itu, Gojek sama sekali belum digital.

Saat Openspace berinvestasi ke Gojek, tujuannya adalah membawa perusahaan tersebut online dan membuat aplikasi. Dalam enam bulan, perusahaan berhasil meluncurkan aplikasi dan mendapatkan daya tarik yang luar biasa. Dengan sejumlah koneksi ke perusahaan, sebuah privilege ketika Openspace menjadi salah satu yang pertama dihubungi terkait pendanaan. Namun, dengan fokus investasi tahap lanjut, sudah sewajarnya bagi Northstar untuk berinvestasi di Seri B. Dengan ukuran tiket rata-rata antara $50 – $60 juta, perusahaan berinvestasi secara progresif hingga mencapai $60 juta.

Sunata juga menyebutkan bahwa Northstar mengamati pertumbuhan global Uber yang pesat mulai tahun 2014 dan mengantisipasi tren ini akan datang ke Indonesia. Northstar melihat peluang di segmen ride hailing dan transportasi. Mereka mendukung Nadiem saat ia memulai Gojek sebagai versi lokal Uber.

Bekerja sama dengan tim manajemen

scrabble-4958237_1280

Pandemi telah menjadi bencana pada beberapa bisnis yang memiliki komponen offline yang besar, tetapi untuk bisnis digital native atau bisnis digital besar, sebenarnya mengalami banyak pertumbuhan, karena orang-orang yang bekerja di rumah mencoba mendapatkan akses ke hal-hal yang mereka lakukan sebelumnya melalui mobile. Tahun lalu, Northstar berinvestasi di perusahaan edtech bernama Zenius, dan telah menunjukkan pertumbuhan yang sangat kuat selama setahun terakhir. Terutama di saat pandemi, lebih banyak orang yang mencari untuk belajar di rumah karena tidak bisa bersekolah.

Karena Covid-19, adopsi digital meningkat. Oleh karena itu, beberapa bisnis mengalami pertumbuhan eksponensial seperti e-commerce dan banyak sektor berbeda mendapat manfaat dari peningkatan perilaku digital. Pada saat yang sama, kondisi makro secara keseluruhan sedang sulit di Indonesia, sehingga menyulitkan bisnis dengan komponen offline yang besar. Perusahaan menyadari bahwa sangat sulit bagi mereka untuk menumbuhkan skala yang sama selama pandemi.

Grup Northstar dipastikan menjadi investor aktif di semua portofolio bisnis. Mereka menduduki kursi dewan di Dewan Komisaris dan bekerja sangat erat dengan tim manajemen, terutama selama krisis. Beberapa bisnisnya telah dilanda pandemi parah. Seperti yang sudah sering kita dengar, industri perjalanan dan pariwisata telah menurun secara signifikan, dan secara global.

“Mengingat pandemi COVID-19, dalam beberapa kasus, kami harus membuat beberapa keputusan strategis di perusahaan portofolio kami untuk memfokuskan kembali strategi bisnis pada area pertumbuhan potensial. Kami bekerja sangat erat dengan tim manajemen dalam perubahan ini,” sebut perwakilan Northstar.

Untuk para pendiri yang bisnisnya cukup terpukul, berikut beberapa insight terkait masalah terkini. Banyak investor asing merasa sulit untuk berinvestasi tanpa melibatkan orang di lapangan. Dengan cara lain, sangat tepat untuk berasumsi bahwa akan sulit bagi perusahaan Indonesia untuk mendapat modal asing sampai pandemi selesai.

“Salah satu hal terpenting bagi para pendiri adalah memastikan bahwa mereka dapat mendanai bisnis selama mungkin tanpa memerlukan modal eksternal. Dalam hal model bisnis, bagaimana Anda terus berinovasi, beradaptasi, dan berkembang sesuai dengan kebutuhan konsumen yang berubah dengan cepat. Untuk kebanyakan bisnis, hal ini tentang beradaptasi dengan iklim yang berbeda dan belajar bagaimana bisa tetap bersinar dalam era new normal,” lanjutnya.

Flavor of the year

Mengenai strategi jangka panjang, sebagian besar private equity atau dana modal ventura sudah memiliki alokasi aset, fokus area, dan geografisnya sendiri. Juga jenis usaha yang akan diinvestasikan sambil menggalang dana. Dalam hal implementasi, Northstar akan tetap menggunakan strategi jangka panjang, tetapi mengkalibrasi tergantung pada siklus bisnis. Oleh karena itu, yang akan berubah sebenarnya dari segi valuasi, sektor tertentu, tetapi fokus tingkat tinggi tetap sama.

“Yang saya maksudkan adalah bahwa strategi investasi kami di bidang jasa keuangan, digital dan konsumen tetap sama, apakah ada pandemi atau tidak, menurut kami ini tetap menjadi sektor yang menarik dan akan terus fokus pada hal ini,” tambah Sunata.

wine-glasses-2300713_1280

Ia juga menyebutkan bahwa strategi jangka panjang berbeda dengan flavor of the year. Di tahun 2020 ini adalah Covid-19. Oleh karena itu, private equity perlu lebih optimis dan berhati-hati dalam hal penggelaran modalnya, banyak fokus pada optimalisasi perusahaan portofolio yang ada. Setiap tahun memiliki taste yang berbeda. Situasinya dinamis dan perusahaan akan terus mencari peluang yang sesuai dengan keadaan.

“Kami tetap aktif dalam mencari kesepakatan dan semua berbasis pada kasus, tergantung valuasi, performa bisnis. Namun, secara umum kami sangat aktif mencari peluang bagus,” ujar Sunata.

Hingga saat ini, The Northstar Group telah menginvestasikan lebih dari US $3,3 miliar di kawasan Asia Tenggara. Dana tersebut disalurkan melalui lebih dari 35 perusahaan di sektor perbankan, asuransi, konsumen/ritel, manufaktur, minyak dan gas, batubara dan pertambangan, teknologi, telekomunikasi, dan agribisnis. Belum lama ini perusahaan mengucurkan dana untuk eFishery, perusahaan intelijen akuakultur terkemuka di Indonesia.


Artikel asli terbit dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Northstar Seeks Hefty Gem in the Indonesian Market

Last April, Singapore headquartered Private Equity firm Northstar had announced the closure of its fifth flagship fund. Since its debut in 2003,  Northstar has been actively investing in the Indonesian market. One of their notable portfolios is the ride-hailing giant, Gojek.

With the number of young population and growing consumer base powering the country’s economy, Indonesia remains the largest market for investors in Southeast Asia. This is clearly stated by Northstar’s Co-Chief Investment, Sunata Tjiterosampurno, in an exclusive interview session with DailySocial. Therefore, whenever some investors look for opportunities in Southeast Asia, Indonesia has to be on the map.

As we continue discussing the investment landscape in Indonesia and other countries in Southeast Asia, he suggests to not generalized the VC and PE landscape. On the PE landscape, he continued, Indonesia is said to be quite an interesting market due to lots of mid-market deals ($50-100 million).

Singapore, on the other hand, is a market on its own. It’s a relatively similar landscape to Thailand, Vietnam, and the Philippines. He also highlighted the fact that there are not many natural resources or community-related sectors in Singapore. Also, there are more manufacturing-based deals in Thailand, compared to Indonesia which serves mostly consumer mass-market types of deals.

In terms of private equity firms, historically and still going forward, getting exposure to the growing consumption in Indonesia because the middle class is growing is an important theme in Northstar. Especially in this digital age, where everything starts to shift into non-conventional ways.

“Digital has become a big component of the economy and it is impacting consumer mass-market and financial services businesses in various ways. The transformation of business models in such segments has resulted in investment in a more digital-oriented business often leading to an online-offline business mode,” he added.

skyscraper-3184798_1280

Focusing on the big market

In terms of investment, Northstar has three focus areas, consumer mass-market, financial services, and digital. This strategy has been implemented in fund IV and to be continuously adopted by fund V.  It is confirmed that the firm’s largest market by far is Indonesia. From a geographic perspective, Indonesia is to take 60% – 70% of the plate, while other markets will take up to 30% – 40%. In the region, Northstar has been arranging deals in the Philippines, Thailand, Singapore, and Vietnam.

Investing is not an easy task. There are a few key qualities to look at or focus on. For Northstar, first and foremost is the entrepreneurs. As they further meet the rest of the management team, the founders are indeed the most important person who can drive this business and make it big.

Next, how big is the market size that they’re going after? There are lots of digital startups, but if they’re going for the small market then it’s time to reconsider. As the company committed to investing in growth companies, it is obvious to target a big market.

Third, the business model should be defensible, meaning that they have attractive ways to make money. Also, they can create a mode to manage the competition when it gets tight.

As the firm started to open up, DailySocial allegedly asked about Northstar’s journey in finding and investing in one of Indonesia’s treasure, Gojek. Long story short, as the founder of Northstar, Patrick Walujo was first involved in the early days of Gojek, its affiliated venture capital fund NSI, which is now rebranding into Openspace Ventures ended up investing in 2014 in series A. Gojek was barely digital.

As Openspace invested, the goal is to take the company online and to create an app. In six months, the company managed to launch an app and got tremendous traction. With a number of connections to the company, it’s a privilege to pick up the investing call on such short notice. However, as a later stage investment, it’s only natural for Northstar to invest in series B. With an average ticket size between $50 – $60 million, the company invested progressively to the extend of $60 million.

Sunata also mentioned that Northstar observed the rapid global growth of Uber starting back in 2014 and anticipated that it would come to Indonesia. Northstar saw the opportunities in the ride-hailing and transport segment, and backed Nadiem as he was starting Gojek as a local version of Uber.

Work closely with the management team

scrabble-4958237_1280

The pandemic has been very tough on some businesses that had large offline components, but for digital-native businesses or large digital businesses, it’s actually experienced a lot of growth, because people are at home working, trying to get access to things they’re doing previously through their phone. Last year, Northstar is reportedly invested in an edtech company named Zenius, and it has shown very strong growth for the past year. Especially in times of the pandemic, a lot more people are looking to learn at home because they can’t go to school.

Due to Covid-19, digital adoption has increased. Therefore, some businesses are having exponential growth such as e-commerce and a lot of different spaces benefit from digital behavior increase. At the same time, the overall macro condition is tough in Indonesia right now, resulting in difficulty for businesses with large offline components. The company is aware that it’s very hard for them to grow the same scale during the pandemic.

The Northstar Group is confirmed to be an active investor in all of the business portfolios. They occupied board seats in the Boards of Commissioners and work very closely with the management team, especially during the crisis. Some of its businesses have been badly hit by the pandemic. It’s as we’ve often heard that the travel and tourism industry has declined significantly, and globally.

“Given the COVID-19 pandemic, in some cases, we have had to make some strategic decisions at our portfolio companies to refocus the strategy of the business on potential growth areas. We work very closely with the management teams on these changes,” said the Northstar representative.

For those founders whose businesses were badly hit, here are some insights. A lot of foreign investors are finding it hard to invest without having people on the ground. In another way, it’s right to assume that it’ll be hard for Indonesian companies to tracks foreign capital until the pandemic is over.

“One of the most important things for founders is to make sure that they can fund their business for as long as possible without needing external capital. In terms of business models, how you constantly innovate, adapt, and evolve given rapidly changing consumer needs. For a lot of business, it is about adapting to the different climate we are in and learning how to prosper in the new normal,” he continued.

The flavor of the year

Regarding the long-term strategy, most private equity or venture capital fund already has its own asset allocations, focus areas, and geographic, also types of business to invest while raising the fund. In terms of implementation,  Northstar is to stick with the long term strategy, but calibrate depending on the business cycle. Therefore, what will change is actually in terms of valuations, specific sectors, but the high-level focus remains the same.

“What I am saying is that our strategy of investing in financial services, digital and consumers, would remain the same, whether there was a pandemic or not. We think these remain attractive sectors and we will continue to focus on them,” Sunata added.

wine-glasses-2300713_1280

He also mentioned that the long term strategy is different from the flavor of the year. In 2020, it’s actually Covid-19. Therefore, private equity needs to be more cautiously optimistic in terms of deploying its capital, focus lots on optimizing the existing portfolio companies. Every year there will be a different flavor of the year. The situation is dynamic and the company will continue to look for an opportunity that fits the circumstances.

“We are actively looking for deals, but each opportunity is case by case-based, depending on valuation, management team, business performance, and prospects. In general, we are actively looking for good opportunities in our focus sectors,” Sunata said.

To date, The Northstar Group has invested over US$3.3 billion with its co-investors in the Southeast Asian region. The fund channeled through more than 35 companies across the banking, insurance, consumer/retail, manufacturing, oil and gas, coal and mining services, technology, telecom, and agribusiness sectors. The recent one is for eFishery, Indonesia’s leading aquaculture intelligence company.

Northstar Group Secures First Round of Its Fifth Fund, Targeting 12.5 Trillion Rupiah

The private equity company, Northstar Group has just announced the first round of Northstart Equity Partner V Limited fund (Northstar V). The fifth fund is to focused on the early-stage to growth-stage startups in Indonesia and Southeast Asia.

The first round has represented one third of Northstar V target at US$800 million or equivalent to 12.5 trillion Rupiah, following the two previous flagship funds. In this first round of Northstar V, Northstar Group has raised over US$2 million managed funds.

Some investors come from sovereign wealth funds, insurance companies, institutional investors, family offices, and other high-net-worth individuals.

“As a regional investment company, we set three investment lines for Northstar V, namely financial services, consumers, and digital economy; based on an analysis of insight market data and our experience in tagging along the company’s portfolio,” Head of Corporate Affairs Northstar Group Hiro Whardana told DailySocial.

Furthermore, he mentioned the representation plans, “At the planning stage, we are yet to define specific percentages for each investment line. The selection of funds will be based on our analysis regarding the balance of potential return and investment risk.”

As previously mentioned, Northstar portfolios are quite diverse. In terms of digital landscape, they also invest in some startups, including Gojek, Zenius Education, and three Vietnam-based startups named UPgen, Tiki.vn, and Topika.

“Specifically for the early-growth stage startup, we are currently focusing on the existing portfolio, however, there is always a possibility to explore more deals,” he added.

Northstar Group was founded in 2003 by Patrick Walujo and Glenn Sugita. In 2006, Northstar Group raised its first funding, Northstar Equity Partners (NEP) Limited for US$ 110 million. Followed by NEP II (US$ 285 million) in 2008, NEP III in 2011 (US$ 820 million), and NEP IV in 2014 (US$ 810 million). The company is backed by 27 professional teams in Singapore and Indonesia.

“The Indonesian market, and Southeast Asia in general, offer attractive medium and long-term investment opportunities supported by continuous rapid growth. It is driven by favorable demographic factors, increased consumption and economic standards of the citizen, and literature in education and digitalization,” Northstar Group’s Co-Founder & Managing Partner Patrick Walujo said.

Glenn Sugita, Northstar Group Co-Founder & Managing Partner added, “In this uncertain situation, we want to be the capital provider and partner of choice for business owners in managing challenges and maximizing opportunities in the future. We will continue to bring not only capital to our portfolio companies but also the expertise and experience we have gained in various sectors and business cycles.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian