Headset Nirkabel Razer Barracuda X Kompatibel dengan PC, PS5, Nintendo Switch, dan Perangkat Android

Semuanya akan lebih mudah dengan USB-C. Laptop, smartphone, tablet, drone, dan banyak perangkat elektronik lain kini dapat di-charge menggunakan satu kabel yang sama. Monitor kini dapat menerima output display dari bermacam perangkat via satu kabel yang sama. Namun ternyata bukan cuma dunia perkabelan yang diuntungkan oleh USB-C, dunia wireless pun juga.

Dongle wireless yang tadinya mengandalkan konektor USB-A perlahan telah digantikan oleh dongle USB-C, dan ini membuka potensinya untuk digunakan bersama lebih banyak perangkat. Kalau perlu contoh, coba tengok headset gaming nirkabel terbaru dari Razer yang bernama Barracuda X berikut ini.

Berbekal dongle USB-C, Barracuda X dapat disambungkan ke PC, PlayStation 5, Nintendo Switch, maupun perangkat Android secara seamless. Tidak ada proses pairing yang perlu dijalani, dan perangkat juga tidak memerlukan software atau driver tambahan. Cukup tancapkan dongle-nya ke port USB-C milik perangkat, maka headset dapat langsung menerima dan menyalurkan sinyal audio.

Seandainya PC yang digunakan tidak punya port USB-C, atau Nintendo Switch sedang berada pada dock-nya, pengguna bisa memanfaatkan bantuan kabel adaptor USB-C ke USB-A yang termasuk dalam paket pembelian Barracuda X. Alternatif yang terakhir, Barracuda X juga dapat disambungkan menggunakan kabel audio standar 3,5 mm.

Secara estetika, Barracuda X lebih kelihatan seperti headphone biasa ketimbang headset gaming. Ini wajar kalau melihat sifatnya yang platform-agnostic. Razer menjanjikan pengalaman penggunaan yang nyaman, terutama berkat bobot Barracuda X yang tergolong ringan di angka 250 gram. Kinerja audionya sendiri disokong oleh driver Razer TriForce berdiameter 40 mm.

Untuk memudahkan pengoperasian, tombol power milik Barracuda X merangkap peran sebagai tombol pengaturan playback: klik satu kali untuk play/pause, dua kali untuk skip track, dan tiga kali untuk kembali ke track sebelumnya. Melengkapi aspek kontrolnya adalah kenop untuk mengatur volume dan tuas mute mikrofon. Alternatifnya, mikrofon tersebut juga bisa dilepas jika perlu.

Razer Barracuda X saat ini telah dipasarkan seharga $100. Di Indonesia, rencananya ia akan dijual dengan banderol resmi Rp1.699.000.

Sumber: Razer.

Morph Team Kerja Sama dengan Razer

Morph baru saja mengumumkan kerja sama mereka dengan Razer, perusahaan yang dikenal sebagai produsen dari berbagai perangkat gaming. Dengan ini, Razer akan menyediakan periferal gaming untuk para pemain Morph. Tak hanya itu, logo Razer juga akan disematkan ke jersey tim Morph. Dalam pernyataan resmi, pihak Morph mengatakan bahwa kehadiran Razer sebagai sponsor baru akan mendorong mereka untuk memenangkan lebih banyak turnamen esports, baik di tingkat nasional maupun internasional.

“Suatu kehormatan bagi saya, sebagai salah satu pendiri Morph, untuk menjadi bagian dari sejarah ini,” kata Reza “Arap” Oktovian, pendiri Morph. “Sebagai penggemar fanatik, saya selalu memilih perlengkapan gaming dari Razer untuk menjadi senjata saya saat saya sedang bermain. Terjalinnya kerja sama antara Morph dan Razer adalah mimpi yang jadi kenyataan. Kami tidak sabar untuk membuat kolaborasi bersama.”

Morph didirikan pada Februari 2020. Saat ini, organisasi esports tersebut telah memiliki beberapa tim, yaitu tim PUBG Mobile, PUBG Mobile Ladies, Valorant, dan Mobile Legends: Bang Bang Ladies. Di PUBG Mobile Pro – Spring Split 2020: Indonesia Finals, tim Morph berhasil merebut gelar runner up. Tak hanya itu, mereka juga berhasil masuk ke PMPL Spring Split 2020: Southeast Asia dan PUBG Mobile World League 2020 – Season Zero East.

Tim Morph berhasil merebut juara tiga di UniPin Ladies Series. | Sumber: Facebook

“Kerja sama antara Morph dan Razer merupakan kolaborasi yang bermakna bagi kami,” kata CEO Morph, Yohannes “Joey” Siagian. “Morph dan Razer sebagai brand gaming dan lifestyle punya kesamaan fokus pada inovasi dan kualitas. Razer merupakan rekan yang tepat bagi kami untuk terus mengembangkan Morph dan mendorong berkembangnya inovasi, inklusi, dan ekualitas di esports.”

Sebagai merek endemik, Razer telah menunjukkan dukungannya pada para pelaku esports sejak lama. Pada Mei 2021, Razer menggandeng Bren Esports, tim Mobile Legends asal Filipina yang memenangkan M2 World Championship. Selain tim, Razer juga pernah mensponsori berbagai turnamen esports, mulai dari M2 World Championship yang digelar di Singapura, sampai turnamen Wild Rift yang diadakan di Brasil.

Khang Tai, Manajer Pemasaran Esports Global Senior, Razer, berkata, “Kami sangat senang menyambut Morph ke tim Razer. Kami sangat antusias bisa menjadi bagian dari ambisi Morph dalam usahanya menaklukkan esports Indonesia.”

Razer Tampil Perdana di E3 2021, Perkenalkan Produk-produk Barunya

Gelaran E3 biasanya identik dengan para penerbit dan pengembang yang menunjukkan game-game terbarunya yang akan datang. Namun perangkat gaming Razer ternyata ikut muncul pada event E3 2021 untuk memperkenalkan produk-produk barunya.

Ada 4 produk baru yang dipamerkan pada keynote berdurasi 2 jam tersebut. Sang CEO, Min Liang Tan, turun tangan langsung untuk memperkenalkan produk-produk terbaru untuk para gamer dan juga para pecinta RGB.

Razer Blade 14

Produk pertama dan menjadi sorotan utama dari showcase milik Razer adalah laptop gaming legendaris mereka yaitu Razer Blade 14. Laptop flagship ini kini mendapatkan generasi terbarunya yang ditenagai oleh prosesor AMD Ryzen 9 5900HX.

Masalah grafis, laptop tipis ini ditenagai oleh Nvidia RTX 3060 dan RTX 3070. Bahkan nantinya akan ada pilihan RTX 3080 bagi mereka yang ingin memaksimalkan performa laptop ini.

Razer USB-C 130W GaN Charger

Selanjutnya, Razer juga memperkenalkan generasi terbaru dari all-in-one charger mereka. Charger kompak ini diklaim lebih kecil 59% daripada generasi sebelumnya. Namun charger ini tetap mampu mengisi daya hingga 4 perangkat sekaligus.

Charger ini memiliki 2 USB-A dan 2 USB-C yang dapat digunakan untuk mengisi daya mulai dari smartphone, tablet, laptop, dan bahkan perangkat gaming lainnya. Charger ini juga punya fitur fast-charging hingga total 130W.

Menjadi charger yang siap untuk dibawa berpergian dan mampu mengisi lebih dari 1 perangkat sekaligus, Razer GaN charger ini dibanderol dengan harga yang lumayan mahal yaitu US$180 atau sekitar Rp2,5 juta.

Razer Raptor 27 inci

Produk kedua yang dipamerkan oleh Min-Liang Tan adalah monitor gaming baru mereka. Pada generasi baru ini, monitor gaming ini kini memiliki refresh rate yang naik hingga 165Hz, naik dari sebelumnya 144Hz.

Monitor ini juga menjadi monitor gaming pertama yang mendapatkan sertifikasi THX untuk memastikan panel yang digunakan memenuhi standar dari THX. Menjadi monitor dari Razer, monitor ini juga memiliki lampu RGB di bawahnya.

Untuk masalah harga, Monitor Razer Raptor 27 ini akan dibanderol $799 atau sekitar Rp11,379,597. Sedangkan mount VESA-nya dijual secara terpisah pada $99,99 atau sekitar Rp1,4 juta.

Razer Project Hazel

Masker gaming mungkin adalah sebutan yang melekat pada Project Hazel sejak pertama kali diperkenalkan. Bagaimana tidak, masker wajah dengan lampu LED ini benar-benar direalisasikan oleh Razer.

Masker ini dilengkapi dengan filter berstandar N95 yang dapat diganti, pelindung wajah yang terbuat dari silikon, lampu dalam masker yang akan menerangi wajah, dan juga lapisan anti embun bagi para pengguna kacamata.

Sayangnya, masker ini belum memiliki harga pasti dan hanya dikonfirmasi akan dijual secara terbatas. Dengan perkiraan penjualan pertama pada kuartal 4 tahun ini.

Razer Blade 14 Adalah Laptop Pertama Razer yang Ditenagai Prosesor AMD

Setelah hampir sepuluh tahun berdagang laptop dan sepenuhnya memercayakan pada prosesor Intel, Razer memutuskan untuk melakukan sesuatu yang agak berbeda dari biasanya, yakni merilis laptop dengan prosesor bikinan AMD. Laptop yang dimaksud adalah Blade 14, versi baru yang pertama setelah sekitar tiga tahun vakum.

Tidak main-main, prosesor yang dipilih adalah Ryzen 9 5900HX (8-core, 16-thread), salah satu yang terkencang yang AMD tawarkan saat ini. Konsumen bebas memilih menandemkan prosesor tersebut dengan GPU Nvidia GeForce RTX 3060, RTX 3070, atau RTX 3080. Melengkapi spesifikasinya adalah RAM 16 GB, SSD NVMe sebesar 1 TB, dan baterai berkapasitas 61,6 Wh.

Untuk layarnya, konsumen punya opsi antara FHD 144 Hz dan QHD 165 Hz. Keduanya sama-sama merupakan panel IPS, dengan 100% coverage spektrum warna SRGB pada varian FHD, dan 100% DCI-P3 pada varian QHD. Kedua varian layar juga sama-sama dilengkapi dengan dukungan teknologi AMD FreeSync Premium.

Semua itu dikemas dalam sasis aluminium yang amat ringkas, persisnya yang memiliki dimensi 32 cm x 22 cm x 1,67 cm. Razer mengklaimnya sebagai laptop gaming 14 inci paling kecil yang ada di pasaran saat ini. Lalu supaya performanya tetap optimal, Razer tidak lupa membekalinya dengan sistem pendingin yang efektif, yang mencakup dua kipas dengan bilah-bilah yang amat tipis (0.1 mm) sekaligus banyak (88 bilah per kipas).

Perihal konektivitas, Blade 14 hadir membawa sepasang port USB 3.2 Gen 2 Type-C, sepasang port USB 3.2 Gen 2 Type A, port HDMI 2.1, dan jack 3,5 mm. Mengapit keyboard-nya adalah speaker yang dapat di-tune menggunakan software THX Spatial Audio. Tentu saja semuanya tidak akan lengkap tanpa pencahayaan RGB untuk tiap-tiap tuts keyboard-nya.

Di Amerika Serikat, Razer Blade 14 saat ini telah dipasarkan dengan harga mulai $1.800 untuk varian FHD dengan GPU RTX 3060, sampai $2.800 untuk varian QHD dengan GPU RTX 3080. Kehadirannya tentu semakin melengkapi portofolio laptop Razer, yang sejauh ini terdiri dari Blade Stealth 13, Blade 15, Blade Pro 17, serta Razer Book.

Sumber: Razer.

Razer Opus X Adalah Headphone Seharga $100 dengan ANC dan Gaming Mode

Razer punya headphone nirkabel baru yang cukup menarik. Namanya Opus X, dan ia ditujukan untuk semua konsumen ketimbang hanya menyasar kalangan gamer saja. Kendati demikian, perangkat ini masih sangat ideal seandainya hendak dipakai selama sesi gaming.

Secara mendasar, Opus X merupakan versi lebih terjangkau dari Razer Opus yang diluncurkan tahun lalu. Harga kedua perangkat terpaut sekitar $50, tapi menariknya, perbedaan di antara keduanya tergolong cukup minimal.

Dari segi desain, Opus X tampak sangat mirip dengan Opus, hanya saja ia hadir dalam tiga pilihan warna yang jauh lebih mencolok. Ketimbang mengandalkan kontrol sentuh, Razer lagi-lagi lebih memilih menyematkan sejumlah tombol fisik. Pada Opus X, semua tombolnya diposisikan di earcup sebelah kanan.

Kesamaan selanjutnya adalah integrasi fitur active noise cancellation (ANC) sekaligus mode ambient. Cara mengaktifkan ANC atau mode ambient-nya agak berbeda di sini. Ketimbang mengandalkan tombol khusus untuk masing-masing mode, pengguna Opus X dapat mengklik tombol power untuk berganti-ganti antara ANC dan mode ambient.

Beralih ke perbedaannya, ada tiga yang termasuk cukup signifikan. Yang paling utama, Opus X tidak mengemas sertifikasi THX seperti kakaknya yang lebih mahal. Selanjutnya, Opus X juga tidak dilengkapi fitur auto-pause dan auto-play, yang akan aktif dengan sendirinya ketika perangkat dilepas atau dikenakan kembali. Terakhir, Opus X hanya dilengkapi Bluetooth 5.0 dan USB-C, tidak ada jack 3,5 mm sama sekali.

Relevansinya di kalangan gamer diwujudkan oleh fitur Gaming Mode, yang dapat diaktifkan dengan mengklik dan menahan tombol multifungsinya. Selagi aktif, latensi koneksi Bluetooth-nya akan ditekan sampai serendah 60 milidetik, sama seperti yang ditawarkan oleh seri TWS Razer HammerHead.

Terkait daya tahan baterai, Opus X justru lebih unggul ketimbang kakaknya. Ia bisa beroperasi selama 30 jam nonstop dalam sekali pengisian, atau malah sampai 40 jam kalau fitur ANC-nya dimatikan. Saat perangkat sedang tidak digunakan, earcup-nya bisa diputar 90°.

Di Amerika Serikat, Razer Opus X saat ini sudah dijual dengan harga $100, cukup terjangkau untuk ukuran headphone yang dibekali ANC serta mode khusus gaming untuk memangkas latensi.

Sumber: The Verge.

Bren Esports Gandeng Razer sebagai Mitra Eksklusif

Salah satu organisasi esports terbesar Filipina, Bren Esports, baru saja mengumumkan kerja sama terbarunya dengan produsen periferal gaming ternama, Razer. Menurut keterangan pers, Razer akan menjadi mitra eksklusif kursi gaming dan virtual gaming credit Bren Esports melalui produk Razer Gold nya.

Sebagai bagian dari kesepakatan ini, Razer akan menyuplai seluruh atlet dan content creator Bren Esports dengan kursi gaming Razer Iskur yang saat ini beredar di pasaran di angka Rp7,1 juta. Selain itu, kedua belah pihak juga akan berkolaborasi untuk memproduksi konten mingguan yang akan ditayangkan melalui kanal YouTube Bren Esports.

“Kami sedang dalam pencarian untuk memperjuangkan konten lifestyle bagi para gamer yang menampilkan atlet esports kami dan kehadiran Razer sebagai mitra kami datang di saat yang sangat tepat,” sebut Bernard Chong, CEO dari Bren Esports dikutip dari Esports Insider.

“Razer selalu menjadi yang terdepan dalam industri esports secara global dan itulah mengapa saya sangat senang bisa menggandeng merek bergengsi seperti Razer sebagai mitra kami, ditambah dengan visi dan misi kami untuk esports yang selaras.”

Razer menjadi mitra kelima dari Bren Esports dan akan bergabung dengan beberapa nama besar seperti perusahaan manufaktur hardware ASUS Republic of Gamers (ROG), perusahaan telekomunikasi NOW Corporation, dan aplikasi live streaming XSplit.

Bren Esports di M2 World Championship. Image Credit: Bren

Selain itu, sebelumnya Razer juga sempat menjadi salah satu mitra resmi dari M2 World Championship yang dimenangkan oleh Bren Esports juga.

“Menjadi mitra dari pemenang M2 Mobile Legends World Championship dengan produk dan jasa kami sangatlah menyenangkan. Saya sangat menantikan untuk menonton semua konten yang akan mereka bagikan dengan penggemar kami di Filipina dan, tentu saja, melihat mereka bersaing dan menang di bawah bendera kami,” ungkap Kang Thai, Senior Global Esports Lead dari Razer.

“Bren Esports membuat konten lifestyle esports yang luar biasa, dan saya pikir penggemar kami akan menyukainya. Dengan hadirnya Razer Iskur dan Razer Gold bagi para atlet dan content creator Bren Esports, kami yakin mereka dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk maju ke tingkat yang lebih tinggi di kompetisi.” Tambahnya.

Razer BlackWidow V3 Mini HyperSpeed Tawarkan Layout yang Ringkas Tanpa Kompromi

Keyboard TKL alias tenkeyless bukanlah satu-satunya solusi untuk menghemat ruang di atas meja selagi bermain game, sebab masih ada banyak layout keyboard lain yang berukuran lebih ringkas lagi, mulai dari 75%, 65%, 60%, bahkan sampai 40%.

Buat yang tidak tahu, persentase di situ merujuk pada ukurannya relatif terhadap keyboard full-size. Keyboard 60% berarti ukurannya cuma 60% dari keyboard full-size, dan kebetulan layout ini cukup populer di kalangan gamer hingga akhirnya brand periferal kenamaan macam Razer maupun Corsair pun ikut bermain di segmen ini.

Namun keyboard 60% bukan untuk semua orang. Pasalnya, keyboard yang memakai layout ini pada umumnya tidak dilengkapi arrow key sama sekali. Sebagai gantinya, arrow key harus diakses dengan menekan kombinasi tombol, dan ini kerap menjadi deal-breaker bagi mereka yang rutin menggunakan arrow key.

Alternatifnya, mereka bisa melirik keyboard 65%, macam Razer BlackWidow V3 Mini HyperSpeed berikut ini. Ukurannya memang sedikit lebih lebar daripada keyboard 60%, akan tetapi seperti yang bisa dilihat, layout ini masih mengemas arrow key secara lengkap sekaligus sejumlah tombol lain macam “Del”, “Ins”, “PgUp”, maupun “PgDn”.

Embel-embel “HyperSpeed” pada namanya mengacu pada konektivitas nirkabel 2,4 GHz. Namun itu bukan satu-satunya cara menyambungkan keyboard ini ke perangkat, sebab ia turut dibekali koneksi Bluetooth yang dapat di-pair dengan tiga perangkat sekaligus.

Cara yang ketiga adalah dengan meminta bantuan kabel USB-C, yang juga berfungsi sebagai kabel charger untuk BlackWidow V3 Mini, sehingga baterainya akan terus terisi selama keyboard digunakan dalam mode wired. Dalam sekali pengisian, baterainya diyakini bisa bertahan sampai 200 jam pemakaian.

Untuk switch-nya, Razer menawarkan dua pilihan mechanical switch: Green yang tactile sekaligus clicky (berisik), atau Yellow yang linear dan dilengkapi peredam suara. Tiap-tiap switch-nya itu kemudian dibungkus oleh keycap dengan bahan ABS doubleshot, yang berarti tulisan yang tercetak tidak akan pernah pudar seiring penggunaan.

Razer saat ini telah memasarkan BlackWidow V3 Mini HyperSpeed seharga $180 di Amerika Serikat. Kabar baiknya, perangkat ini juga dipastikan bakal hadir di Indonesia mulai awal Juni mendatang, dengan banderol resmi Rp2.799.000.

Sumber: Razer.

Razer Orochi V2 Adalah Mouse Nirkabel Dambaan Para Pengguna Laptop Gaming

Razer punya mouse gaming baru. Namanya Orochi V2, dan ia ditujukan bagi para pengguna laptop gaming yang mengutamakan konektivitas nirkabel sekaligus daya tahan baterai yang luar biasa awet.

Orochi V2 tidak mempunyai colokan kabel sama sekali. Pengguna bebas menyambungkannya ke laptop via koneksi Bluetooth atau HyperSpeed 2.4 GHz (USB). Masing-masing tentu punya kelebihan dan kekurangannya sendiri; Bluetooth lebih hemat daya tapi latensinya tinggi, sedangkan HyperSpeed diklaim bebas lag tapi mengonsumsi daya sekitar dua kali lebih banyak.

Berhubung ia tidak punya colokan kabel, otomatis ia harus mengandalkan baterai yang dapat dilepas-pasang. Yang cukup unik adalah, slot baterainya ada dua macam, satu untuk baterai AA, satu untuk baterai AAA. Kendati demikian, yang bisa dipakai cuma salah satu saja. Ini berarti Anda bebas memilih antara daya baterai yang lebih awet (AA), atau bobot keseluruhan yang lebih enteng (AAA).

Menggunakan satu baterai AA, Orochi V2 dapat beroperasi hingga 950 jam pemakaian dalam mode Bluetooth. Kalau menggunakan koneksi HyperSpeed, daya tahan baterainya diperkirakan berada di kisaran 425 jam. Lalu kalau yang digunakan adalah baterai AAA, daya tahannya diestimasikan berkurang menjadi sekitar sepertiganya. Semua ini tidak akan bisa terwujud seandainya Orochi V2 punya pencahayaan RGB.

Tanpa baterai, bobot Orochi V2 diklaim tidak sampai 60 gram. Bentuknya yang nyaris ambidextrous cocok untuk semua jenis grip; entah itu claw grip, palm grip, maupun fingertip grip. Orochi V2 menggunakan mechanical switch generasi kedua yang diklaim lebih tahan lama (sampai 60 juta klik). Total ada enam tombol yang semuanya bisa diprogram lewat software Razer Synapse.

Terkait performanya, Orochi V2 mengandalkan sensor dengan sensitivitas maksimum 18.000 DPI dan kecepatan tracking 450 IPS. Razer pun tak lupa menyematkan mouse feet berbahan PTFE murni agar pergerakannya bisa semakin mulus lagi.

Di Indonesia, Razer Orochi V2 kabarnya akan segera dipasarkan dengan harga resmi Rp1.099.000. Selain warna hitam, ia juga hadir dalam varian warna putih.

Sumber: Razer.

DAC Portabel THX Onyx Diciptakan untuk Para Penikmat Audio Berkualitas Master

Bagi sebagian besar orang, DAC (digital-to-analog converter) bawaan smartphone atau laptop sudah lebih dari cukup. Kebanyakan mungkin malah tidak menyadari bahwa komponen inilah yang bertugas mengonversi sinyal-sinyal digital dari sebuah file audio menjadi output analog yang dapat didengar oleh telinga.

Sebaliknya, kalangan audiophile hampir bisa dipastikan selalu mengandalkan perangkat DAC terpisah, entah yang berukuran besar dan berat, maupun yang sangat portabel dan berwujud seperti adaptor USB ke 3,5 mm. Di kategori DAC portabel ini, salah satu penawaran terbaru yang cukup menarik untuk disoroti datang dari THX.

Dijuluki THX Onyx, wujudnya tergolong low profile dengan warna serba hitam. Sesuai ekspektasi, ia mengemas konektor USB-C dan port 3,5 mm di ujung satunya. Menyambungkan kedua konektor tersebut adalah seutas kabel pendek yang fleksibel, dan bagian konektor USB-nya juga dilengkapi magnet sehingga bisa menempel ke bagian utamanya demi memudahkan penyimpanan.

Selain di smartphone Android, perangkat ini juga bisa digunakan di iPhone dengan bantuan adaptor Lightning ke USB. Ya, memang jauh dari kata ideal karena harus menggunakan dongle demi dongle, tapi setidaknya kompatibilitasnya bisa tetap terjaga. Pada paket penjualan Onyx, THX turut menyertakan adaptor USB-C ke USB-A sehingga laptop yang tidak memiliki port USB-C pun tetap bisa dipasangi Onyx.

Kinerjanya sendiri ditunjang oleh chip DAC ES9281PRO besutan ESS yang ditandemkan dengan amplifier rancangan THX sendiri. Menurut THX, amplifier milik Onyx adalah yang paling perkasa yang pernah mereka buat untuk segmen mobile, dan sangat kapabel untuk menyalurkan daya yang cukup buat headphone kelas audiophile, yang umumnya memiliki impedansi jauh di atas rata-rata.

Format audio yang didukung cukup bervariasi; bukan cuma DSD (Direct Stream Digital), tapi juga MQA (Master Quality Authenticated) seperti yang digunakan oleh Tidal pada layanan paling premiumnya. Di samping logo THX pada perangkat, ada tiga indikator LED untuk menandakan kualitas audio yang sedang diputar (standar, DSD, atau MQA). Selain untuk menikmati musik, Onyx juga cocok untuk kegiatan menonton maupun gaming.

Di Amerika Serikat, THX Onyx saat ini telah dipasarkan dengan harga $200. Harganya lebih mahal $50 daripada DAC portabel besutan Astell & Kern yang diluncurkan belum lama ini, namun perangkat itu tidak mendukung format MQA.

Sumber: Engadget dan THX.

Review Razer Blackshark V2 Pro Wireless: Lebih Garang Dari Razer Biasanya

Menjadi yang terbaik di ranah gaming kompetitif terkadang bukan hanya butuh kemampuan saja. Apabila sudah punya bekal kemampuan bermain yang hebat, melengkapi diri dengan berbagai perlengkapan terbaik juga tak kalah penting untuk mengurangi peluang kekalahan. Ibaratnya, tentara dengan kemampuan paling hebat tentu akan butuh persenjataan yang lebih baik juga.

Ketika bicara gaming kompetitif, kebutuhan perangkat terbaik bukan hanya dari sisi mouse atau keyboard saja. Produk audio yang mumpuni juga tak kalah penting, mengingat bermain game adalah kegiatan yang tidak hanya mengutamakan respon visual tapi juga respon audio. Kali ini saya dipinjamkan satu unit headset gaming Razer Blackshark V2 Pro. Kira-kira, sebagus apa headset yang diberi julukan sebagai “The Sound of Esports” ini?

Setelah beberapa saat saya menggunakannya untuk berbagai aktivitas gaming dan produktivitas sehari-hari, jujur saya cukup kagum dengan kemampuan reproduksi suara ataupun kualitas produk ini secara keseluruhan. Lebih lengkap dan tanpa berlama-lama lagi, berikut hasil ulasan saya untuk Razer Blackshark V2 Pro.

 

Produk Razer yang Terasa “Kurang Razer”

Apa yang Anda ingat apabila saya mengatakan produk peripheral gaming buatan Razer? Warna hijau mencolok dan LED RGB warna-warni yang manis dari teknologi Razer Chroma mungkin jadi dua hal paling khas yang akan Anda ingat dari produk buatan Razer. Menariknya, dua hal tersebut tidak hadir sedikitpun di dalam Razer Blackshark V2 Pro. Karenanya saya mengatakan bahwa produk ini terasa kurang Razer.

Razer Blackshark V2 Pro ini seperti ingin menunjukkan kesan serius dan terlihat ingin menyasar segmentasi gamer esports. Pada Razer Blackshark V2 X dan Razer Blackshark V2, Anda masih bisa melihat elemen warna hijau khas Razer pada kabel ataupun earcup. Namun Razer Blackshark V2 Pro memberi warna seluruh material headset dengan warna hitam doff, mulai dari bagian headband yang terbuat dari kulit sintetis, kabel-kabel yang bersifat detachable, hingga bagian earcup yang terbuat dari plastik. Walau berwarna hitam doff, kedua bagian tersebut tetap memiliki branding Razer berupa logo ular khas yang dibuat reflektif pada bagian earcup dan tulisan Razer di bagian headband.

Branding Razer yang terselubung di bagian headband dari Razer Blackshark V2 Pro. Foto oleh Akbar Priono - Hybrid.co.id
Branding Razer yang terselubung di bagian headband dari Razer Blackshark V2 Pro. Foto oleh Akbar Priono – Hybrid.co.id

Lalu apa kabar dengan LED RGB? Elemen tersebut juga absen dari headset ini. Satu-satunya bagian yang memancarkan cahaya lampu hanyalah indikator on-off yang ada di bawah kiri headset saja, warnanya bahkan biru standar bukan hijau khas Razer.

Seperti yang saya sebut barusan, headset ini terlihat ingin menyasar gamer esports profesional. Karena segmentasi yang dikejar, Blackshark V2 Pro tampil sangat serius bahkan sampai-sampai menghilangkan warna hijau yang jadi ciri khas. Bentuknya sekilas juga mirip seperti headset untuk komunikasi di dalam helikopter yang mungkin tidak keren bagi beberapa kalangan gamers.

Walaupun headset Blackshark V2 Pro terlihat kurang keren, namun Razer menyajikan material solid yang membuatnya terasa premium ketika dipegang. Lalu bagaimana rasa material-material tersebut ketika dikenakan. Kesan saya saat pertama kali menggunakan headset tersebut adalah niqmaaat

Beberapa kontrol yang ada di sisi kiri headset. (Dari atas ke bawah) ada tombol power, on-off microphone, micro-usb untuk charging, jack 3.5mm untuk audio output, dan jack 3.5mm untuk detachable mic.
Tampak dekat bantalan headset dan beberapa kontrol yang ada di sisi kiri. (Dari atas ke bawah) ada tombol power, on-off microphone, micro-usb untuk charging, jack 3.5mm untuk audio output, dan jack 3.5mm untuk detachable mic. Foto oleh Akbar Priono – Hybrid.co.id.
Sisi kiri headset tanpa mic.
Sisi kiri headset tanpa mic.
Sisi kiri headset dengan mic.
Sisi kiri headset dengan mic.

Terlepas dari bentuknya yang garang, headset ini ternyata terasa ringan saat dikenakan di kepala. Usut punya usut, Razer memang merancang Blackshark V2 Pro jadi bersifat lightweight dengan bobot sebesar 320 gram saja. Pelapis cushion atau bantalan headset terbuat dari kain. Mengutip dari laman resmi Razer, kain tersebut dirancang menggunakan teknologi Flowknit untuk meminimalisir rasa panas yang terasa apabila kita menggunakan headset dalam jangka waktu lama.

Setelah saya mencobanya, ternyata benar. Saya sempat mengenakan headset selama kurang lebih 5 jam non-stop. Selama durasi tersebut, saya tidak merasakan panas ataupun clamping (rasa terjepit di area kepala) yang berlebihan. Panas tetap ada, begitupun rasa berat di telinga setelah penggunaan durasi yang lama. Tapi seperti yang saya bilang, rasanya tidak berlebihan dan masih sangat bisa ditoleransi. Dalam hal clamping, Razer sendiri memang menggunakan memory foam sebagai isi bantalan headset yang membuatnya terasa empuk di telinga.

Tampak jelas dari apa saja yang ada di dalam box Razer Blackshark V2 Pro. (Dari kiri ke kanan) Micro-USB untuk charging, unit headset, USB Wireless 2.4 Ghz, dan detachable 3.5mm untuk audio output.
Tampak jelas dari apa saja yang ada di dalam box Razer Blackshark V2 Pro. (Dari kiri ke kanan) Micro-USB untuk charging, unit headset, USB Wireless 2.4 Ghz, dan detachable 3.5mm untuk audio output.

Selain itu isolasi yang diberikan headset cushion juga tergolong cukup kedap. Ketika saya menggunakan headset, suara di sekitar jadi berkurang mungkin sekitar 30% dari biasanya. Suara yang besar akan tetap tembus ke dalam headset, tetapi suara kecil seperti suara hujan di luar kamar cenderung jadi tidak terdengar dengan isolasi yang diberikan oleh bantalan headset.

Sedikit kekurangannya mungkin adalah posisi headset yang kadang melorot apabila digunakan dalam durasi waktu yang lama. Tetapi patut diketahui bahwa hal tersebut terjadi bukan semerta-merta hanya gara-gara headset-nya saja. Bisa jadi memang ukuran kepala saya yang cenderung lebih kecil, sehingga hal tersebut terjadi. Melorotnya headset juga tergolong tidak berlebihan, hanya perlu menaikkan sedikit saja headset-nya.

Setelah mengulas soal material dan kulit luar si Blackshark V2 Pro, mari kita beralih ke urusan suara Blackshark V2 Pro.

 

Suara Menggelegar THX Spatial Audio dan Razer Triforce Titanium

Kalau harus menjelaskan bagaimana suara Razer Blackshark V2 Pro dalam satu kalimat, jawaban saya adalah “suaranya sangat membohongi”. Sebelum menjelaskannya, satu yang patut diketahui juga bahwa Razer menawarkan dua jenis audio output.

Anda bisa menggunakan jack 3.5mm untuk menikmati audio output driver sang headset yaitu Razer Triforce Titanium 50mm. Anda juga bisa menggunakan USB Wireless 2,4 Ghz untuk bisa menikmati audio output dari DAC eksternal milik Razer dan bantuan software THX Spatial Audio. Selain itu sebagai tambahan informasi juga, sejujurnya ini adalah kali pertama saya menulis ulasan sebuah produk audio. Walaupun begitu, saya mengamati betul kualitas produk audio yang saya miliki dan juga sedikit banyak mengikuti perkembangan hobbyist audio melalui beberapa forum.

Oke, saatnya kembali ke pembahasan. Lalu kenapa suaranya membohongi? Maksud bohong di sini bukan dalam artian negatif, tetapi maksudnya begini. Sesaat setelah menerimanya unit review-nya, saya langsung menggunakan si Blackshark V2 Pro untuk mendengarkan musik sembari menyelesaikan artikel-artikel saya di Hybrid.co.id.

Razer Hyperspeed Wireless yang menggunakan teknologi radio 2.4 Ghz.
USB untuk menghubungkan headset dengan PC yang menggunakan Razer Hyperspeed Wireless berteknologi radio 2.4 Ghz.

Pada percobaan pertama, jujur saja, rasanya kecewa berat mendengar kualitas reproduksi suara yang dihasilkan Razer Blackshark V2 Pro. Kualitas suaranya tidak jelek, hanya saja tidak mencerminkan banderol harga Rp2,999 juta yang ditawarkan oleh headset tersebut. Ketika baru keluar dari kotak, reproduksi suara yang dihasilkan cenderung v-shape, hanya kuat di sisi bass dan treble, cempreng, dan cenderung lemah dari sektor suara mid (biasanya suara vokal).

Hari demi hari berlalu, saya pun mulai merasa “dibohongi” karena suaranya berubah ke arah yang lebih baik. Seiring dengan waktu, treble cempreng yang menusuk jadi terkendali. Kini sektor mid mulai mengimbangi sehingga suara artikulasi vokal jadi semakin jelas. Sektor bass tetap kuat, namun berkat sektor mid yang meningkat, suara bass-nya jadi bergaung nikmat (sedikit boomy) namun tetap mendentum (tetap punchy) pada saat mendengarkan musik-musik rock keras yang punya suara bass drum cepat.

Deskripsi suara di atas saya rasakan pada saat saya menggunakan audio output berupa jack 3.5mm (ke laptop ataupun smartphone) dan menggunakan Razer Hyperspeed Wireless 2.4 Ghz untuk mendengar musik. Lalu bagaimana dengan gaming? Blackshark V2 Pro pun kembali membuat saya kagum pada saat digunakan untuk gaming.

Saya mencobanya dalam dua skenario. Skenario pertama adalah gaming di PC dengan menggunakan USB wireless. Skenario kedua adalah gaming di mobile dengan menggunakan jack 3.5mm.

Selain untuk gaming PC, Razer Blackshark V2 Pro juga menyediakan output jack 3.5mm yang bisa digunakan untuk gaming mobile ataupun konsol.
Selain untuk gaming PC, Razer Blackshark V2 Pro juga menyediakan output jack 3.5mm yang bisa digunakan untuk gaming mobile ataupun konsol.

Untuk gaming PC, saya mencoba memainkan game VALORANT sembari menggunakan teknologi THX Spatial Audio. Pada percobaan skenario pertama, awalnya saya berpikir bahwa software tidak akan sebegitu signifikan membantu memberi pengalaman audio yang imersif saat bermain game. Ternyata saya salah besar. THX Spatial Audio tidak hanya membuat reproduksi suara jadi lebih menggelegar, tetapi juga memberi reproduksi titik suara yang akurat.

Hanya bermodal audio dari Blackshark V2 Pro, saya segera bisa mengetahui di mana posisi musuh berdasarkan dari suara step yang mereka keluarkan. Reprduksi suara tidak hanya memberi informasi dari arah mana (kiri/kanan/depan/belakang) lawan akan datang, tetapi juga bisa memberi informasi jarak (jauh atau dekat) posisi lawan. Selain itu, bantuan software pada Blackshark V2 Pro Wireless juga tergolong terasa natural, tidak artificial seperti penambahan gaung-gema berlebihan seperti pada beberapa headset gaming pada kelas harga low-end.

Lalu bagaimana dengan skenario percobaan yang kedua? Untuk percobaan kedua saya mencoba bermain PUBG Mobile di smartphone dengan menggunakan jack 3.5mm. Saya pun kembali berdecak kagum kedua kalinya saat mencoba Blackshark V2 Pro untuk bermain PUBG Mobile. Kemampuan headset untuk memberi informasi arah serta jarak musuh ternyata tetap bertahan walaupun menggunakan jack 3.5mm berarti hanya mengandalkan driver milik headset saja.

Biasanya suara langkah musuh akan saling bertabrakan apabila saya bermain PUBG Mobile dengan menggunakan audio output dari earphone atau IEM. Blackshark V2 Pro dengan driver Razer Triforce Titanium 50mm ternyata berhasil mengatasi masalah tersebut. Walaupun saya melakukan hot-drop (turun di kota ramai seperti Pochinki) Blackshark V2 Pro berhasil membagi suara dengan detil. Karena headset yang saya gunakan, saya jadi tahu kondisi sekitar dengan cukup detil, berapa orang musuhnya, di mana dan seberapa jauh posisinya.

Terakhir soal mikrofon. Masih dari laman resmi Razer, dikatakan bahwa Blackshark V2 Pro menggunakan teknologi Hyperclear Supercardio Mic. Pada saat saya mencobanya, ternyata mikrofon dari Razer ini tergolong tidak sebegitu istimewa walau suaranya sebenarnya tetap bagus. Selama masa work from home, saya rutin ngobrol online dengan kawan menggunakan Discord. Ketika berganti ke Blackshark V2 Pro, saya bertanya kepada kawan-kawan saya bagaimana suaranya, dan banyak yang mengatakan bahwa hasil suaranya tidak sebegitu beda jauh. Memang agak sulit dalam membicarakan kualitas suara yang dihasilkan dari mikrofon, karenanya Anda bisa melihat video dari reviewer di bawah ini untuk mengetahui bagaimana hasil suara mikrofon dari Razer Blackshark V2 Pro.

Bagaimana dengan teknologi wireless-nya? Jawabannya satu kata, “flawless”! Saya hampir tidak pernah merasa ada delay sedikitpun pada saat menggunakan Blackshark V2 Pro, baik saat digunakan untuk mendengarkan musik ataupun bermain game. Jarak wireless-nya juga cukup jauh. Saya sempat mencoba meletakkan laptop di ruangan yang berbeda dengan posisi saya dan suara ke headset masih jelas, lancar, dan tidak putus-putus.

 

Razer Synapse dan Beragam Kustomisasinya

Seperti biasanya, selain dari segi hardware, Razer juga menawarkan kecanggihan dari sisi software lewat Razer Synapse. Walaupun tidak ada LED RGB pada headset ini, namun Razer Synapse tetap menawarkan kustomisasi yang sangat luar biasa terhadap audio output ataupun input dari Blackshark V2 Pro.

Anda bisa edit sendiri arah suara hasil reproduksi software THX Spatial Audio apabila Anda masih merasa kurang cocok dengan pengaturan default. Selain edit sendiri, Razer Synapse juga menyajikan beberapa preset untuk Anda yang tidak mau pusing. Selain itu Razer Synapse juga memberikan pengguna kebebasan untuk menentukan bagaimana output suara dari si headset. Ada fitur Enhance Bass, Normalization, Voice Clarity, dan Equalizer yang masing-masing bisa diatur kuantitasnya. Saya sempat mencoba fitur Voice Clarity, namun suara headset justru jadi cenderung kurang nikmat. Suara treble kembali menusuk tajam. Walau hal tersebut membantu kita untuk bisa mendengar suara orang berbicara dengan lebih jelas, tetapi cenderung terasa tidak enak jika digunakan untuk gaming.

Dari sisi audio input, Anda bisa mengkustomisasi volume mikrofon, Enhancement Vocal Clarity, bahkan juga punya mic equalizer. Fitur ini juga sempat saya coba-coba, tetapi kebanyakan kawan Discord saya malah mengatakan suara saya cenderung tidak berubah banyak ketika saya menggunakan fitur-fitur tersebut.

Walau Razer Synapse punya berbagai kustomisasi, jujur saya merasa Razer Blackshark V2 Pro sudah sangat baik kualitas suaranya tanpa tambahan kustomisasi apapun. Namun demikian, saya rasa kustomisasi dari Razer Synapse tetap jadi nilai tambah yang bagus

 

Kesimpulan

Apakah Razer Blackshark V2 Pro sudah mencerminkan kualitas dari banderol harga sebesar Rp2,999 juta yang ditawarkan? Jawabannya adalah iya, mulai dari sisi material yang digunakan, hingga reproduksi suara yang dihasilkan baik dari sisi DAC eksternal (USB Wireless) serta THX Spatial Audio sebagai software enchancement eksternal ataupun suara murni dari Razer Triforce Titanium 50mm Drivers.

Tetapi kalau pertanyaannya apakah Blackshark V2 Pro ini patut dibeli, jawabannya tetap tergantung dari prefrensi Anda masing-masing.

Dalam ranah competitive gaming, saya merasa Blackshark V2 Pro ini jadi patut dibeli karena menciptakan reproduksi suara yang sangat luar biasa ketika digunakan untuk gaming. Seperti yang saya ceritakan di atas, Blackshark V2 Pro mampu pinpoint arah dan jarak suara dengan akurat.

Kemampuannya untuk pinpoint arah dan jarak suara bahkan tidak terbatas hanya saat digunakan dengan USB Wireless saja, tetapi juga ketika digunakan dengan jack 3.5mm di smartphone. Razer Blackshark V2 Pro juga tergolong sudah cukup enak digunakan untuk mendengarkan musik, walau kualitasnya bisa jadi kalah dengan headset atau headphone yang memang diciptakan untuk pecinta audio.

Walau punya material kokoh dan reproduksi suara yang bagus, Blackshark V2 Pro memang bisa jadi kurang apik penampilannya. Bagi sebagian orang, headset hitam polos tanpa ornamen led RGB itu bisa jadi jelek. Bentuknya juga tergolong kuno bagi sebagian orang karena terlihat seperti headset untuk berkomunikasi di helikopter. Tapi apabila Anda memang suka dengan penampilan minimalis nan profesional, bentuk dan warna hitam doff Blackshark V2 Pro itu justru bagus dan elegan.

Sekian ulasan saya terhadap Razer Blackshark V2 Pro Wireless. Semoga ulasan ini dapat membantu untuk menentukan headset yang akan Anda beli untuk memenuhi kebutuhan gaming ataupun produktivitas sehari-hari.