[Review App] Firefox Rocket, Cukupkah Hanya Bermodal Cepat dan Ringan?

Bersama Chrome dan Microsoft Edge, Mozilla Firefox menjadi salah satu browser paling populer di dunia. Kecepatan, keamanan dan luasnya dukungan menjadi faktor penting yang melatar-belakangi keputusan seseorang memilih browser. Mozilla juga meluncurkan berbagai versi dengan peruntukan yang berbeda, dua yang cukup unik adalah Firefox Focus dan Firefox Rocket.

Firefox Focus punya keistimewaan dalam menjaga privasi pengguna dan handal menghalau iklan-iklan yang agresif. Sedangkan Firefox Rocket lebih fokus pada kecepatan.

Saya menggunakan Firefox Rocket sejak akhir pekan lalu untuk mengenal lebih dekat dan juga merasakan sendiri performa yang digembar-gemborkan oleh Mozilla. Bahwa, Rocket diklaim mampu bekerja lebih cepat dan juga ringan untuk perangkat dengan spesifikasi minimalis. Nanti saya akan jabarkan pengalaman selama menggunakan Firefox Rocket.

Browser ini diluncurkan perdana pada bulan November 2017 dan eksklusif hanya tersedia di Indonesia. Rocket memang dirancang untuk mampu bekerja secara optimal di wilayah dengan kualitas jaringan yang rendah. Dengan demikian, Anda juga boleh berekspektasi akan kinerja Firefox Rocket di perangkat dengan spesifikasi rendah. Ukuran berkasnya saja kurang dari 3MB.

Sekarang, mari kita masuk ke bahasan utama, review Firefox Rocket.

Interface

Sejalan dengan peruntukannya, Firefox Rocket menampilkan antarmuka super sederhana tapi dengan performa yang memang sangat ringan. Di bagian terdepan, saya hanya jumpai adress bar yang sekaligus berfungsi sebagai kolom pencarian dan delapan shortcut ke situs-situs popuper seperti TribunNews, YouTube, Detik, Tokopedia, BukaLapak, dan lain-lain.

Screenshot_2018-10-24-11-08-16-865_org.mozilla.rocket

Di bagian atas tak dihuni shortcut atau tombol apapun, polos dan lugu. Kemudian di bagian bawah ada dua buah tombol salah satunya dalam kondisi tidak aktif. Sedangkan tombol tiga titik vertikal merupakan tombol panel utama yang akan menampilkan menu utama browser seperti Bookmarks, downloads, history, my shots, turbo mode, block images, clear cache, settings dan Exit.

Antarmuka sederhana tapi menarik juga ditampilkan Firefox Rocket ketika saya mengetikkan alamat situs atau kata kunci pencarian. Address bar ditonjolkan ke depan yang kemudian diapit oleh tuts keyboard dan saran kata kunci atau situs di bagian atas. Rekomendasi kata kunci yang ditampilkan muncul seiring dengan huruf yang saya ketikkan, dan menurut saya rekomendasi ini sangat membantu dan bisa jadi salah satu tambahan yang membuat Rocket terasa unik.

Screenshot_2018-10-24-11-08-34-233_org.mozilla.rocket

 

Antarmuka situs-situs yang dikunjungi melalui Firefox Rocket tak banyak berbeda dengan browser lainnya, ia mengikuti script yang digunakan oleh situs bersangkutan. Jadi, tak banyak yang akan saya bahas di bagian ini. Kita langsung masuk saja ke fitur-fitur unggulannya.

Fitur-fitur Firefox Rocket

Bookmark

Fitur ini sudah barang tentu tidak boleh absen dari sebuah browser, dan Firefox Rocket tak mau melanggar hukum wajib itu. Fitur bookmark di Firefox diletakkan di panel utama di mana untuk menambahkan bookmark, pengguna cukup menyentuh ikon bintang ketika mengakses situs tertentu.

Screenshot_2018-10-24-11-10-29-065_org.mozilla.rocket

 

History

Fitur history atau riwayat juga tersedia di Firefox Rocket. Daftar riwayat diletakkan di tempat yang berdekatan dengan bookmarks dan dihapus tanpa harus membuka panel lain, semua tersedia di satu pintu.

Screenshot_2018-10-24-11-09-29-528_org.mozilla.rocket

Screenshot

Ini jadi salah satu fitur unik yang ada di Firefox Rocket, di mana di dalam peramban Anda dapat menemukan alat untuk menangkap tampilan layar secara penuh dari atas hingga bawah.

Screenshot_2018-10-24-11-09-46-669_org.mozilla.rocket

My Shots

Berkas screenshot yang diambil tentu butuh rumah, nah Firefox membuatkan panel My Shots untuk menampung semua foto screenshot yang diambil oleh pengguna. Kumpulan screenshot ini tempatnya juga berdekatan dengan Bookmark dan history.

Turbo Mode

Meskipun Firefox Rocket sudah menjanjikan performa yang relatif lebih ringan dan cepat, mereka masih saja mencoba lebih dari itu dengan menambahkan fitur bernama Turbo Mode. Fitur ini secara agresif akan menahan konten-konten dari pihak ketiga yang barangkali lolos dari pemblokir iklan default di dalam mesin Firefox Rocket.

Screenshot_2018-10-24-11-08-27-769_org.mozilla.rocket

Fitur Turbo Mode secara default dalam kondisi mati, jadi harus diaktifkan dahulu dengan cara membuka panel utama kemudian tap Turbo Mode untuk mengaktifkannya.

Block Images

Jika masih kurang ngebut, Firefox Rocket masih punya alat bantu lain untuk Anda yaitu fitur block images. Dari namanya tak sulit untuk menangkap apa kegunaannya. Jika diakfitkan, fitur block images akan menghilangkan semua konten berjenis gambar sehingga pemuatan data di browser akan terpangkas secara signifikan.

Clear Cache

Semua smartphone berbasis Android sudah dibekali fitur pembersih cache, dan beberapa pengguna juga menggunakan aplikasi pihak ketiga untuk melakukan tugas itu. Tetapi hal itu tak menghentikan Firefox untuk membenamkan fitur clear cache yang secara khusus dirancang untuk membersihkan cache di internal Rocket.

Screenshot_2018-10-24-11-10-52-084_org.mozilla.rocket

 

Dukungan 3 Mesin Pencari

Google memang masih jadi terfavorit, tapi Firefox Rocket punya dua opsi lain yang sayangnya tak cukup seimbang dengan Google, misalnya DuckDuckGo dan Yahoo. Saya berharap ada opsi Bing atau Amazon yang relatif lebih populer ketimbang dua opsi di atas.

Incognito

Fitur penting lainnya adalah Incognito atau mode private, memungkinkan pengguna untuk menjelajah internet tanpa terdeteksi. Uniknya, ketika saya berada di mode incognito, semua panel pengaturan dan alat bantu yang saya jelaskan di atas seketika hilang, digantikan oleh tombol cari, stop dan hapus.

Screenshot_2018-10-24-11-11-55-874_org.mozilla.rocket

Pengaturan

Perambang Firefox Rocket juga mempunyai panel pengaturan atau settings yang menampung beberapa penyesuaian lanjutan, seperti pemilihan bahasa, mesin pencari default, menghapus data-data rambahan, mode turbo, opsi pengiriman data penggunaan ke pengembang, feedback, berbagi ke teman dan profil Rocket.

Kesimpulan

Sebagai peramban yang dirancang khusus untuk Indonesia, Firefox Rocket saya rasa merupakan opsi yang paling tepat bagi Anda yang mempunyai perangkat dengan resource terbatas. Kapasitasnya kurang dari 3MB dan performanya super mulus di banyak situs dengan platform yang berbeda. Dan karena ia tidak menjalankan aktivitas di belakang layar yang agresif, Rocket juga akan menghemat konsumsi data dan baterai, jauh berbeda dengan peramban lainnya. Sayang, Firefox Rocket tidak mempunyai fitur penyimpanan offline yang sangat berguna untuk pengguna yang ingin menghemat konsumsi data.

Hanya saja, kebutuhan pengguna akan browser yang lengkap dan serba bisa juga terus meningkat. Sehingga tuntutan ini akan menjadi tantangan yang berat bagi Firefox Rocket, bagaimana mereka dapat memuaskan banyak kepala dengan beragam keinginan.

Sparks

  • Super ringan, kurang dari 3MB
  • Performa sangat mulus
  • Fiturnya unik
  • Tampilan iklan jauh berkurang

Slack

  • Pilihan mesin pencari terlalu sedikit dan kurang populer
  • Tidak bisa mengedit shortcut di layar home atau menambahkan shortcut baru
  • Tidak ada fitur pencarian teks di laman situs.
  • Tidak ada fitur offline

[Review] Assassin’s Creed Odyssey, Lembaran Baru Bagi Seri Action Berusia 11 Tahun

Assassin’s Creed Origins yang diramu menjadi pembuka saga ini merupakan game open world papan atas paling ambisius di 2017. Hasil kerja keras developer selama bertahun-tahun bisa kita lihat dari bagaimana detailnya tim Montreal menciptakan dunia Mesir Kuno di akhir era Ptolemaic sebagai medium untuk mengombinasikan kejadian bersejarah dan event fiksi.

Meluncur satu tahun kurang beberapa minggu dari Origins, Assassin’s Creed Odyssey mengusung konsep gameplay yang lebih berani dan mungkin bisa dikatakan sedikit radikal. Meski tetap mempertahankan sejumlah tradisi Assassin’s Creed, Odyssey dari awal sengaja diarahkan sebagai permainan action role-playing, untuk pertama kalinya membiarkan Anda memilih karakter utama dan menentukan dialog.

Langkah ini kemungkinan ialah cara buat menyegarkan kembali formula Assassin’s Creed. Tapi boleh jadi, transisi dari action-adventure ke formula role-playing belum bisa diterima semua fans dengan tangan terbuka. Kabar gembiranya, Ubisoft Quebec telah bersiap mengantisipasi hal tersebut melalui penambahan fitur baru dan penggunaan arahan unik.

AC Odyssey 13

 

Eagle-Bearer

Assassin’s Creed Odyssey menawarkan Anda untuk bermain menjadi salah satu dari cucu Raja Leonidas, antara Alexios atau Kassandra. Tidak ada perbedaan pada aspek gameplay dari keduanya kecuali pengisi suara dan siapa saudara tertuanya. Saya mencoba keduanya, dan secara pribadi lebih menyukai Kassandra karena perannya lebih natural dan sejauh ini hanya ada sedikit pilihan karakter utama wanita di seri utama Assassin’s Creed.

AC Odyssey 5

Meski demikian, Alexios sendiri bukanlah pilihan yang buruk dan mengingatkan saya pada Bayek of Siwa. Tentu saja, dua opsi tokoh utama mengharuskan Ubisoft melakukan prosedur pengisian suara sebanyak dua kali. Dan mengingat Odyssey merupakan game role-playing, jumlah dialognya tidaklah sedikit. Kesediaan developer buat melakukan hal tersebut perlu diapresiasi.

Diracik sebagai sebuah lembaran baru, hal positif lain dari Odyssey adalah ceritanya tidak membingungkan. Sesi Layla Hassan tetap ada, tapi porsinya telah dikurangi dan disederhanakan sehingga kita hanya cukup tahu siapa dia serta perannya di kisah ini. Dan tak seperti Origins, narasi Odyssey juga tidak lompat-lompat. Di sesi pembuka, Anda akan segera tahu siapa Alexios dan Kassandra, serta apa hubungan mereka dengan Leonidas.

AC Odyssey 7

Ketika Bayek of Siwa di Assassin’s Creed Origins merupakan seorang penegak hukum, Alexios atau Kassandra adalah Misthios, atau tentara bayaran. Ini artinya, sang tokoh tidak selalu berpihak dengan hukum. Beberapa kontrak yang diterima Kassandra sering kali mengharuskannya ‘membungkam’ individu tertentu, mencuri, atau membersihkan satu perkemahan berisi bandit. Dan demi menunjang desain gameplay seperti ini, Ubisoft Quebec mengimplementasikan sistem bounty.

 

Grand Theft Auto Greece

Assassin’s Creed Odyssey membawa pemain ke puncak Perang Peloponnesian, konflik militer yang dimulai di tahun 431 sebelum Masehi antara bangsa Sparta dan Athena. Di sana, Kassandra dan tim prajurit bayarannya tidak dituntut untuk mendukung salah satu faksi, bahkan dipersilakan bekerja buat keduanya. Ia bisa menghabiskan waktunya menyelesaikan kontrak, mengumpulkan kru, serta meng-upgrade peralatan dan perahu perangnya.

AC Odyssey 12

Satu Aspek menarik dari Odyssey adalah sensasai ala ‘GTA’. Memang tidak ada kendaraan ‘otomotif’ yang Anda bisa bajak, tapi Kassandra dapat mencuri kuda atau menyerbu perahu bajak laut, konvoi militer, serta kapal pedagang. Di dunia game, tersebar pula banyak benda-benda yang semestinya tidak boleh diambil (namun sayang buat dilewatkan).

AC Odyssey 10

Kekuatan Athena dan Sparta di satu daerah bersifat fluktuatif. Serangan yang Anda lakukan di lokasi tertentu akan melemahkan satu faksi, sehingga memungkinkan rivalnya mengambil alih. Menariknya lagi, kita bahkan bisa berpartisipasi dalam perang berskala besar, dan hasilnya akan memengaruhi siapa yang menguasai daerah tersebut.

Yunani masa perang Perang Peloponnesian versi Assassin’s Creed belum memiliki sistem penegakan hukum yang konkret. Aktivitas sosial di sana diawasi oleh pihak militer Sparta maupun Athena, namun jika tindakan kriminal Anda melewati batas, tentara bayaran lain akan mencoba menghentikan Anda. Semakin buruk perilaku Anda, maka level bounty jadi kian tinggi dan bertambah banyak pula individu-individu berbahaya yang datang mencari. Sebagai jalan keluarnya, Anda bisa bersembunyi atau membayar bounty.

AC Odyssey 6

Di sini, permainan mengadopsi pendekatan ala Nemesis System di Middle-earth: Shadow of Mordor walaupun tidak seekstensi game Warner Bros. itu. Odyssey hanya menunjukkan tentara-tentara bayaran yang sudah Anda kalahkan, peringkat Kassandra atau Alexios di sana, serta prajurit-prajurit berbahaya lain yang bisa jadi ancaman. Dan seiring keberhasilan Anda mengalahkan para kompetitor satu per satu, Anda dapat mendaki ranking Misthios terkuat.

 

Exploration Mode

Dengan begitu banyaknya game Assassin’s Creed serta sejumlah seri Ubisoft lain yang mengadopsi elemen gameplay permainan ini, gamer mungkin tidak kesulitan untuk menebak pola penyajian permainan. Umumnya, peta game Assassin’s Creed dipenuhi legenda dan lokasi menarik – penyuguhan yang informatif tapi menghilangkan misteri serta mengurangi serunya berjelajah.

AC Odyssey 9

Untuk mengubah status quo tersebut, Ubisoft Quebec menghadirkan fitur bernama Exploration Mode. Mode ini dirancang buat memandu pemain menemui hal-hal menarik sendiri tanpa memperlakukan kita seperti anak kecil. Dengan memilih Exploration Mode, kita perlu mengikuti petunjuk saat mengerjakan suatu quest. Contohnya, lokasi hewan buruan yang Anda cari berada di sebelah utara Sacred Lands of Apollo, biasanya terlihat di daerah dataran tinggi.

AC Odyssey 16

Setelah tiba di tempat tersebut, pencarian dapat dipermudah dengan memanggil Ikaros – burung elang peliharaan yang bisa membantu Anda mengunci posisi musuh dan menemukan objek, termasuk apapun yang Anda cari. Penyajian dan pengendaliannya sangat identik dengan Senu milik Bayek. Buat saya pribadi, kehadirannya masih terasa seperti metode curang yang memberikan pemain keunggulan tanpa efek samping; menghilangkan efek kejutan dan serunya ketidakpasian.

AC Odyssey 11

Banyak gamer mungkin menyukai kemudahan ini, namun buat saya, fitur Ikaros terasa mengganjal. Bagaimana bisa Kassandra mengetahui apa yang dilihat peliharaannya terus-menerus?

 

Action role-playing

Mengombinasikan tradisi Assassin’s Creed sebagai permainan action-adventure bertema stealth dengan prinsip role-playing memang tidak mudah. Ada banyak yang harus dikompromi oleh Ubisoft Quebec melalui penyingkiran beberapa elemen.

AC Odyssey 4

Bersembunyi di tempat tinggi atau di tengah-tengah lebatnya semak pepohonan, membuat pengalihan perhatian, dan menyerang tiba-tiba tetap menjadi gameplay inti Odyssey. Namun objek-objek ‘persembunyian instan’ seperti lemari atau tumpukan daun pohon tak lagi ada atau dapat dimanfaatkan, menuntut Anda buat mengendap-endap dan menghindari arah pandang lawan secara natural.

Pemain veteran juga segera merasakan kontrasnya sistem pertempuran antara seri Assassin’s Creed klasik dengan Odyssey. Ketika Ezio di Assassin’s Creed II bisa mudah mengungguli lawan yang mengepungnya, Kassandra harus mengalahkan musuh secara cermat dan sistematis. Anda perlu mengesksekusi gerakan dengan sigap, mengetahui kapan perlu menangkis dan menghindar, serta menentukan apakah fokus ke satu lawan merupakan strategi jitu atau tidak. Hal tersebut pada dasarnya tidak sulit, namun jadi sangat menantang jika kita menghadapi lebih dari dua lawan sekaligus.

AC Odyssey 14

Kassandra juga tak cuma berhadapan dengan manusia. Ada banyak fauna berbahaya yang menghadang dalam petualangan di Odyssey: kawanan serigala bisa menjatuhkan Anda dari kuda, lalu upaya mengendap-endap bisa berubah menjadi perjuangan bertahan hidup jika ternyata kita masuk ke wilayah kekuasaan beruang. Dan seperti menghadapi musuh lain di Odyssey, perlu strategi khusus buat mengalahkan hewan-hewan ini.

Selain musuh-musuh ‘biasa’, Anda juga akan bertemu dengan makhluk-makhluk mitos Yunani Kuno. Kehadiran mereka bertolak belakang dari game-game Assassin’s Creed lawas yang ‘berkomitmen’ pada keakuratan sejarah. Tapi kita tahu, arahan Assassin’s Creed mulai berubah sejak Origins.

AC Odyssey 2

Elemen role-playing yang paling menonjol di Odyssey tentu saja adalah opsi dialog. Dengannya, Anda bisa membangun karakter utamanya buat jadi individu yang terhormat atau brutal, serta memilih untuk menyelamatkan atau mengakhiri nyawa. Apapun keputusan Anda, efek dan konsekuensinya akan selalu menanti.

AC Odyssey 200

 

A bit desynchronized

Sebagai metode progres karakter, Odyssey memberikan kita pilihan untuk mengembangkan tiga aspek – terbagi dalam kategori hunter, warrior dan assassin. Hunter berkaitan dengan panah-memanah dan serangan jarak jauh; warrior memengaruhi kemampuan Kassandra/Alexios dalam bertempur; lalu assassin berperan dalam efektivitas serangan secara sembunyi-sembunyi.

AC Odyssey 3

Menariknya, apapun pilihannya, Anda tetap bisa mengubah dan memodifikasi ‘skill tree‘ kapan pun dengan mudah. Poin yang ditaruh di sana dapat di-reset, sehingga memberikan kita kesempatan untuk bereksperimen tanpa harus mengulang sesi permainan atau mengeluarkan credit dalam game. Beberapa pilihan Anda akan membuka ‘skill aktif’. Bagi pemain baru, proses pemakaiannya mungkin butuh adaptasi karena memerlukan kombinasi beberapa tombol.

AC Odyssey 15

Pemakaian skill aktif akan mengonsumsi poin adrenalin, yang akan bertambah secara otomatis ketika Anda bersembunyi atau sukses menumbangkan lawan tanpa ketahuan. Gamer casual juga mungkin akan mengapresiasi sistem regenerasi health otomatis, bisa bertambah sendiri jika Kassandra berada di luar konflik. Itu artinya, Assassin’s Creed Odyssey ialah RPG tanpa sistem consumable serta potion.

AC Odyssey 18

Layaknya permainan open world role-playing modern, Assassin’s Creed Odyssey mempersilakan Anda menjelajahi kepulauan Mediterania dan melupakan ceritanya setelah Kassandra atau Alexios mendapatkan perahu trireme-nya, Adrestia. Sebagaimana perlengkapan dan persenjataan yang dimiliki sang tokoh utama, pemain dipersilakan untuk meng-upgrade Adrestia serta menyewa kru yang lebih berpengalaman.

AC Odyssey 8

Bagi saya, satu hal mengganjal dari kombinasi antara open world dan penyajian narasi video game tradisional ialah tidak relevannya aspek urgensi di cerita. Misalnya: seorang anak diculik bandit dan Kassandra harus menyelamatkannya, tapi ia tetap bisa mengerjakan tugas lain serta berbelanja senjata tanpa beban. Di situasi lain, seorang pria meminta Kassandra membebaskan kakaknya yang ditangkap perampok, dan saya baru melakukannya berhari-hari sesudahnya tanpa efek samping.

Beberapa tugas yang bisa diterima Kassandra memang punya batasan waktu, namun dampak negatif yang Anda peroleh jika melewatinya hanyalah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan poin XP atau Orichalcum Ore – berguna buat membeli item-item langka/legendaris.

AC Odyssey 17

 

Verdict

Dijalankan dari sistem berprosesor Intel i7-6700HQ bersenjata kartu grafis Nvidia GeForce GTX 1070, Assassin’s Creed Odyssey berjalan mulus di opsi ultra high 1080p, mampu mengamankan frame rate di atas 50 per detik. Odyssey merupakan salah satu game bergrafis paling cantik yang bisa Anda nikmati saat ini, dengan kualitas visual jauh di atas Red Dead Redemption 2 via PlayStation 4 Pro.

Berbicara soal desain game, Odyssey sesungguhnya tidak membutuhkan kepopuleran nama Assassin’s Creed untuk bersinar. Ia memang belum bisa disandingkan dengan RPG-RPG legendaris semisal The Witcher 3 atau Divinity Original Sin II, dan memang sejumlah elemen gameplay terasa sederhana. Tapi yang terpenting, Assassin’s Creed Odyssey sangat menyenangkan dan mudah dinikmati oleh siapa pun – baik mereka yang sudah lama mengikuti seri ini serta pendatang baru.

AC Odyssey 19

Permainan menyuguhkan konten yang begitu kaya, dan mungkin membuat pemula merasa kewalahan dan kehilangan fokus. Tapi saran saya, anggap saja semua hal di sana sebagai pilihan: Anda ingin menjelajahi daratan yang belum terjamah? Silakan. Mau jadi tentara bayaran paling disegani? Mengapa tidak. Berambisi menaklukkan lautan? Adrestia siap berlayar. Dan kapan pun Anda menghendakinya, cerita petualangan Kassandra dan Alexios siap dinikmati.

 

Sparks

  • Tidak rumit dan mudah dinikmati
  • Explorer Mode membuat gameplay Assassin’s Creed jadi lebih segar
  • Konten yang melimpah dipadu formula role-playing
  • Grafis sangat cantik

Slacks

  • Gameplay RPG-nya masih terasa sangat ringan dan kasual
  • Fans veteran mungkin tidak menyukai arahan baru ini
  • Ada microtransaction
  • Harga season pass sangat mahal

[Review Game] Contra: Return – Nostalgia Nyaris Sempurna

Ketika Garena mengumumkan perilisan Contra: Return, saya sangsi game ini dapat menyuguhkan hiburan yang menarik. Biasanya judul game yang diboyong dari console ke mobile pasti mengalami penurunan di suatu aspek. Entah dari cerita yang jadi tidak seru, grinding dan pay-to-win berlebihan, atau dalam kasus game setipe Contra, sistem kontrol yang tidak nyaman. Apalagi beredar kabar bahwa Contra: Return akan menambahkan unsur PvP, semakin ragu saja saya dibuatnya.

Ternyata, setelah melihat video-video gameplay yang beredar menjelang perilisannya, pandangan saya langsung berubah. Contra: Return terlihat sangat menjanjikan, terutama karena Tencent benar-benar serius menciptakan ulang gameplay Contra di NES dulu. Tentu saja ditambah berbagai pembaharuan yang membuatnya tampil prima di era modern.

Seri Contra adalah salah satu seri favorit saya di masa kecil. Apakah Contra: Return berhasil membawa saya bernostalgia? Dan bagaimana daya tarik game ini terhadap gamer generasi baru yang tidak mengenal seri Contra klasik? Simak ulasannya di bawah.

Contra: Return | Screenshot 1
Simpel tapi seru, klasik tapi modern

Kala nostalgia menggoda

Menyebut Contra sebagai judul nostalgia sebenarnya agak kurang tepat. Pasalnya, seri Contra selama ini tidak pernah mati. Setelah versi NES dirilis pada tahun 1988, judul-judul Contra selalu muncul di platform terbaru sesuai perkembangan zaman. Seri game ciptaan Konami ini pernah menyambangi console SNES, Mega Drive, GBA, PS1, PS2, NDS, bahkan PS3 dan Xbox 360. Hanya era PS4/Xbox One/Switch yang belum kebagian.

Meski demikian, judul-judul Contra selepas era NES memang kurang dikenal, terutama di Indonesia. Untuk genre “run and gun” seperti ini, popularitas Contra kalah oleh seri lain yang lebih mainstream, misalnya Gunstar Heroes atau Metal Slug. Mungkin banyak gamer tanah air yang tidak pernah memainkan judul-judul Contra baru tersebut, jadi strategi Tencent dan Garena untuk fokus pada nostalgia memang cocok untuk pasar Indonesia.

Faktor nostalgia ini kemudian juga berdampak positif pada gameplay inti dalam Contra: Return. Ingat, Contra pertama di era NES adalah sebuah game yang sangat simpel. Sistem kontrolnya hanya menggunakan tombol arah dan dua tombol aksi, satu untuk lompat dan satu untuk menembak. Sangat mudah dipelajari, bahkan oleh anak-anak.

Contra: Return | Screenshot 2
Contra: Return penuh bos musuh yang cukup spektakuler

Tencent menerapkan gameplay simpel yang sama dalam Contra: Return. Tampilan visualnya boleh modern, tapi Contra: Return tetap terasa seperti game dari era NES, di mana semuanya begitu mudah dimengerti namun tetap memberi tantangan seru. Penerapan kontrol sederhana ini cocok dan nyaman sekali untuk smartphone yang terbatas pada layar sentuh.

Saya yakin, bila game ini memiliki mekanisme gameplay a la Contra modern (ada gerakan dash, roll, slide, dan sebagainya) hasilnya malah akan merepotkan. Bukannya asik bertarung melawan musuh, kita justru dibuat sibuk “bertarung” melawan sistem kontrol yang ruwet. Untungnya Contra: Return tidak demikian. Game ini bisa dinikmati semua orang, bahkan mereka yang tak pernah menyentuh seri Contra sama sekali.

Bukan Contra biasa

Contra: Return memiliki beberapa tambahan fitur gameplay yang tidak ada di Contra orisinal. Misalnya kemampuan untuk membawa dua senjata sekaligus, serta adanya berbagai skill unik untuk tiap hero. Selain skill bawaan hero, Anda juga bisa mendapatkan skill dari sumber lain. Misalnya dengan membawa Super Weapon, atau menanamkan Soul (bagian tubuh monster) ke senjata Anda. Kombinasi senjata, hero, dan skill yang tepat adalah penting untuk menjadi prajurit terkuat di medan perang.

Contra: Return | Screenshot 3
Adegan sinematik keren memamerkan kualitas visual Contra: Return

Ketika seluruh skill sudah Anda lengkapi, layar Anda akan menjadi lebih penuh karena banyaknya ikon-ikon skill. Namun itu tidak membuat Contra: Return jadi terasa rumit, karena pada dasarnya mengeluarkan skill itu sama saja dengan menembak biasa. Cukup tekan satu tombol, hanya jenis serangannya yang berbeda.

Contra: Return juga menerapkan sistem aim assist yang sangat nyaman digunakan. Seperti bermain Mobile Legends atau Arena of Valor, serangan Anda otomatis akan mengarah ke musuh tertentu sesuai pilihan Anda. Anda juga dapat mengatur aim assist agar selalu mengincar musuh terdekat, terlemah, atau malah mematikannya sama sekali.

Variasi hero yang ada memang tidak sebanyak dua game MOBA yang saya sebut di atas, namun tiap hero di Contra: Return benar-benar dirancang unik. Strategi memainkan Sheena yang bersenjata meriam laser, akan jauh berbeda dengan Fang si manusia serigala yang ahli pertarungan jarak dekat. Bila Anda suka main frontal a la Rambo, Bill dengan roketnya adalah pilihan lebih baik. Catelyn si sniper dapat membekukan lawan, sangat berbahaya dalam PvP. Dan masih banyak lagi variasi lainnya.

Contra: Return | Screenshot 4
Koleksi pistol-pistolan virtual

Pemilihan senjata juga berpengaruh terhadap gaya permainan Anda, dan Contra: Return memiliki berpuluh-puluh jenis senjata untuk dikoleksi. Anda bisa mendapatkan senjata baru dengan cara mengumpulkan Weapon Fragment dari berbagai misi. Pengumpulan Weapon Fragment dan senjata inilah yang merupakan daya tarik utama Contra: Return. Berhasil mendapatkan senjata baru setelah susah payah grinding rasanya sangat memuaskan, apalagi bila senjata itu sangat cocok dengan hero favorit Anda.

Kerja keras bagai kuda

Bicara soal fitur, bila semua fitur dibahas di sini rasanya seperti tak akan ada habisnya. Contra: Return memiliki variasi mode permainan yang luar biasa banyak, juga memiliki segudang fitur yang dijamin tidak akan membuat Anda kehabisan hal untuk dikerjakan.

Karakter-karakter hero di Contra: Return dapat Anda upgrade untuk memperkuat skill mereka. Setiap senjata pun bisa Anda upgrade agar damage yang dihasilkan meningkat. Tapi selain upgrade, senjata juga memiliki fitur Enhance, Evolve, dan Mod, yang masing-masing akan memberi efek berbeda. Evolve merupakan fitur terpenting, sebab Evolve dapat memunculkan Mod (skill pasif) baru serta mengubah wujud peluru yang Anda tembakkan. Tentu saja, Evolve juga merupakan tipe upgrade yang materialnya paling susah dicari.

Contra: Return | Screenshot 5
Semua bisa di-upgrade

Ini masih belum semua. Tadi saya sempat menyinggung soal Super Weapon, senjata pamungkas yang hanya bisa digunakan sekali di setiap stage. Super Weapon juga dapat Anda upgrade. Bagaimana dengan Soul, yang bisa dipasangkan ke senjata agar muncul skill baru? Ya, Soul juga bisa Anda upgrade.

Anda dapat melengkapi hero dengan Equipment, seperti baju pelindung, sepatu, helm, dan sebagainya. Tentu saja, setiap Equipment pun bisa di-upgrade. Masih ada lagi fitur Pet, di mana Anda dapat membawa partner hewan tertentu untuk membantu pertarungan. Bisa Anda tebak, Pet pun bisa di-upgrade. Upgrade, upgradeupgrade!

Sekilas lihat fitur-fitur di atas bisa membuat kita kewalahan. Tapi setelah paham sistemnya, aktivitas grinding mengumpulkan material-material untuk upgrade akan terasa lebih asik dan santai. Setiap mode permainan menghasilkan imbalan berbeda-beda, jadi Anda cukup fokus pada mode sesuai material yang Anda incar saja.

Contra: Return | Screenshot 6
Musuh-musuh klasik seri Contra, lebih garang dari sebelumnya

Bila Anda sudah menyelesaikan suatu stage dengan baik, Contra: Return menyediakan fitur Raid untuk mengulang misi itu tanpa Anda harus memainkannya sendiri. Berbeda dari RPG mobile yang biasanya hanya menyediakan fitur auto battle, Raid di Contra: Return benar-benar langsung memberikan Anda imbalan tanpa bermain sama sekali. Jadi Anda tak perlu mengulang-ulang stage sampai bosan. Bila butuh material tertentu dari suatu stage, tinggal Raid saja. Kemudian Anda bisa fokus ke mode-mode lain yang lebih menantang.

Saat waktu memisahkan

Mengoleksi senjata dan hero dalam Contra: Return saya akui memang sangat asik. Tapi di sinilah muncul masalah yang mungkin merupakan satu-satunya komplain saya di seluruh game. Yaitu, terlalu banyaknya event yang dibatasi oleh waktu.

Memang event terbatas adalah hal yang lumrah di game online. Tapi untuk game kompetitif, biasanya imbalan yang diberikan tidak berpengaruh besar pada gameplay. Misalnya kostum hero, atau kesempatan mendapatkan hero tertentu secara gratis. Bila event itu kita lewatkan, hero yang kita incar tetap bisa didapatkan lewat grinding.

Contra: Return | Screenshot 7
Butuh merogoh kocek juga sesekali

Contra: Return tidak demikian. Beberapa hero memang bisa diperoleh secara gratis, tapi hero-hero peringkat S yang keren harus didapat dengan cara membeli atau mengikuti event terbatas. Begitu pula dengan senjata. Weapon Fragment yang diperlukan untuk mendapatkan senjata-senjata langka hanya tersedia dalam waktu terbatas.

Contra: Return seolah berambisi untuk menjadi game nomor satu di smartphone kita. Kebutuhan grinding yang tinggi, ditambah berbagai event terbatas, akan membuat kita merasa ketinggalan bila tidak rajin main setiap hari. Sah-sah saja sih berambisi demikian, tapi menurut saya itu melenceng dari sifat utama game bertipe run and gun seharusnya: hiburan ringan.

Saya memainkan Contra, Metal Slug, atau Gunstar Heroes bila butuh permainan sederhana yang seru, santai, dan bisa dinikmati bersama teman. Kalau ingin bermain lebih serius dan menghabiskan banyak waktu, saya akan beralih ke RPG atau MOBA saja. Dengan berusaha menjadi game yang lebih serius dari seharusnya, Contra: Return sedikit merusak kesenangan tersebut. Setidaknya itu yang saya rasakan.

Contra: Return | Screenshot 8
Serasa menonton film Arnold Schwarzenegger

Serdadu jalanan

Satu aspek dari Contra: Return yang tak boleh kita lupakan adalah multiplayer. Menurut saya, multiplayer di game ini setengah berhasil, namun juga setengah gagal. Berhasil di sisi mode kooperatif, sementara untuk mode kompetitifnya masih terasa kurang maksimal.

Mode kooperatif Contra: Return yang disebut Duo Mode menurut saya adalah ide brilian. Ini merupakan modernisasi atau evolusi dari multiplayer zaman dulu, di mana dua orang pemain bekerja sama untuk menaklukkan stage yang seru. Bedanya, sekarang kita bisa melakukannya tanpa bertemu langsung, cukup lewat koneksi intenet yang dilengkapi voice chat.

Berkali-kali saya memainkan Duo Mode, baik bersama teman ataupun orang asing, dan saya selalu menikmatinya. Apalagi karena setiap pemain memiliki gaya dan build berbeda-beda, Duo Mode juga bisa jadi tempat mencari ide build untuk ditiru. Cara untuk “mabar” juga sangat simpel. Kita dapat menciptakan room publik, mengundang teman yang kita kenal, atau masuk ke Solo Queue dan menunggu dipasangkan dengan pemain lain secara acak.

Contra: Return | Screenshot 9
Berdua, dobel asyiknya

Sebaliknya, mode PvP di game ini justru terasa seperti ide setengah matang. Tersedia mode satu lawan satu serta mode keroyokan, dan sejujurnya ketika pertama kali mencoba keduanya terasa cukup seru. Tapi keseruan itu dengan cepat berubah jadi membosankan karena pertarungan terasa begitu repetitif.

Berbeda dari PvP di genre MOBA atau RPG yang butuh strategi, PvP di Contra: Return lebih rusuh, cepat, dan kacau. Karena semua orang memiliki aim assist, layar akan senantiasa penuh dengan hujan peluru, memaksa kita untuk berlarian ke sana kemari sambil sedikit panik.

Selain itu semua hero punya kecepatan jalan yang kurang lebih sama, dan permainan berjalan di arena 2D. Agak sulit menciptakan permainan taktis bila jarak antara kita dan musuh terasa seperti tak pernah berubah. Memang ada hero-hero yang punya skill dengan efek mobilitas, misalnya Han Feng. Namun tetap saja rasanya rusuh sebab tempo permainan sangat cepat.

Contra: Return | Screenshot 10
Tidak mau kalah dari Metal Gear Solid V

Mungkin di level profesional, PvP dalam Contra: Return bisa jadi lebih seru. Tapi saya tidak berharap banyak. Saya pribadi akan lebih senang bila Tencent dan Garena lebih fokus meningkatkan sisi kooperatif saja, karena itulah aspek seri Contra yang telah menghasilkan banyak kenangan.

Hiburan yang ceria untuk hari yang sepi

Secara keseluruhan, Contra: Return merupakan game dengan kualitas sangat baik. Tampilan visualnya sangat keren, lagu-lagu remix dari seri Contra lawas dengan aransemen rock juga selalu membangkitkan semangat. Cukup mengejutkan, game ini juga memiliki cerita yang cukup panjang dan dilengkapi dengan sulih suara serta adegan-adegan sinematik sesekali.

Sayangnya, game ini gagal menjadi nostalgia yang sempurna akibat terlalu berusaha menjadi sesuatu yang tak seharusnya. Mungkin Tencent ingin Contra: Return jadi judul esports besar di masa depan, sehingga mereka menambahkan unsur-unsur PvP dalam game ini. Tapi menurut saya genre run and gun lebih cocok untuk hura-hura saja ketimbang jadi ajang adu kemampuan. Meski demikian kemauan Tencent untuk berinovasi patut diapresiasi, walaupun masih belum 100% tepat sasaran.

Contra: Return | Screenshot 11
Mode paling susah, sudah masuk kategori “Nintendo Hard”

Bila kita abaikan sisi kompetitifnya, Contra: Return adalah hiburan sempurna ketika Anda butuh pengisi waktu luang yang bisa dinikmati kapan saja. Satu hal saja harapan saya, mudah-mudahan cara untuk mendapatkan hero bisa dibuat lebih mudah. Sebab saya ingin bisa menikmati game ini dengan cara dan gaya saya sendiri.

Sparks:

  • Kualitas visual sangat keren, baik model 3D maupun artwork para karakter
  • Remix lagu-lagu Contra lawas selalu berhasil membangkitkan semangat
  • Sistem kontrol yang sangat simpel, persis Contra era NES
  • Puluhan senjata menarik dengan variasi serangan yang sangat luas
  • Koleksi senjata tidak terlalu bergantung pada keberuntungan
  • Upgrade, upgradeupgrade, selalu ada alasan untuk bermain
  • Setiap hero punya gaya main yang jauh berbeda
  • Segudang variasi mode permainan, dari yang sangat mudah sampai level “Nintendo Hard
  • Fitur Raid sangat membantu untuk mengumpulkan material
  • Cerita yang cukup menghibur dan mengandung sulih suara lengkap
  • Duo Mode sangat asyik untuk main bersama teman

Slacks:

  • Banyak event terbatas yang menyebalkan
  • Mode PvP terasa repetitif

[Review] Canon EOS M50: Mirrorless Basic dengan Fitur Komplet

Canon merilis kamera mirrorless EOS M pertama pada tahun 2012, menggunakan sensor berukuran APS-C dan sistem lensa EF-M. Sampai sekarang sudah ada tujuh anggota keluarga EOS M series, namun keseriusan Canon memang baru terlihat pada EOS M50.

Sejumlah fitur yang paling mencolok pada EOS M50 ialah kemampuan merekam video 4K, diperlengkapi dengan viewfinder (EVF), dan layar full vari-angle yang bisa dibuka ke samping dan diputar 360 derajat. Langsung saja, berikut review Canon EOS M50 – sebelum itu di bawah ini merupakan jajaran Canon EOS M series:

  • 2012 – EOS M
  • 2015 – EOS M3
  • 2016 – EOS M10
  • 2016 – EOS M5
  • 2017 – EOS M100
  • 2017 – EOS M6
  • 2018 – EOS M50

Desain Body Canon EOS M50

Review-Canon-EOS-M50

Penamaan kamera mirrorless Canon memang tidak beraturan, tapi kalau dilihat dari garis desain dan kelengkapan kontrol kamera yang dimiliki urutannya ialah:

  • EOS M, EOS M3, dan EOS M6
  • EOS M10 dan EOS M100
  • EOS M5 dan EOS M50

Saya terkejut saat pertama melihat EOS M50, ternyata ukurannya tidak begitu besar. Dimensi 116,3×88,1×58,7 mm dan bobot 390 gram (body only), membuat kamera ini praktis untuk ditenteng dan tidak begitu ‘makan tempat’ saat disimpan.

Review-Canon-EOS-M50

Soal tampilan, EOS M50 mewarisi desain EOS M5 dengan style DSLR. Hand grip-nya cukup besar sehingga lebih nyaman di tangan, ada hotshoe untuk memasang aksesori seperti flash atau mikrofon eksternal, dan electronic viewfinder di bagian “punuk” yang menyuguhkan pengalaman memotret yang menyenangkan.

Unit kamera yang saya review berwarna putih, dengan sentuhan glossy yang cukup menarik perhatian. Meski build quality-nya sudah bagus, namun material plastik yang digunakan menyuguhkan feel kurang premium di tangan. Saya lebih suka warna hitam dengan finishing matte yang tampil lebih kalem.

Kontrol Kamera Canon EOS M50 

Review-Canon-EOS-M50

Kontrol kamera yang disematkan tidak selengkap EOS M5, hanya ada mode dial shooting untuk beralih mode pengambilan gambar dan satu dial utama di sekeliling tombol rana yang fungsinya serba guna untuk menyetel seperti shutter speed, aperture, dan ISO.

Untuk tata letak atribut tombol terkonsentrasi di bagian kanan, di panel atas sebelah kanan ditemukan tombol shutter, tombol movie, saklar on/off, tombol M-Fn yang bisa disesuaikan, hotshoe, dan internal flash.

Bagian depan, didapati mount lensa EF-M, tombol untuk membuka lensa, dua mikrofon, dan lampu AF illuminator atau self timer.

Beralih ke belakang, ada electronic viewfinder (EVF) dengan panel OLED beresolusi 2,36 juta dot. Layar 3 inci full touchscreen yang sudah mendukung fungsi tap-to-focus, touch shutter, dan navigasi menu. Serta, full articulated yang hampir bisa diputar ke segala arah dan bisa ditutup saat tidak digunakan.

Di samping layar, diperoleh sejumlah tombol seperti AE lock, AF frame selection, Info, Menu, Playback, dan tombol navigasi yang masing-masing dilengkapi fungsi tertentu.

Port HDMI, micro USB, dan fungsi WiFi bertempat di sisi kanan. Port input mikrofon eksternal 3,5 mm dan area NFC di sisi kiri. Sementara, slot baterai, kartu memori, dan lubang soket tripod berada di bawah.

Fitur dan Spesifikasi Canon EOS M50

Review-Canon-EOS-M50

Bagian inti EOS M50 ialah sensor tipe CMOS, berukuran APS-C, resolusi 24,1-megapixel, dan diotaki prosesor pengolah gambar terbaru Canon, Digic 8.

Prosesor baru ini, berkontribusi pada peningkatan kinerja Dual Pixel AF. Sekarang menampilkan lebih banyak titik AF, yakni 99 titik hingga 143 titik dan cakupan area lebih besar yakni 80% vertikal  x 80% horizontal hingga 88% x 100% pada lensa tertentu.

Kombinasi tersebut juga membuatnya mampu menjepret berturut-turut 10 foto per detik di focus mode AF-S (Single-shot AF) dan 7,4 foto per detik di AF-C (Continuous AF). Dengan tingkat sensitivitas native ISO dari 100 hingga 25.600 yang bisa diekspansi hingga ISO 51.200.

EOS M50 juga merupakan kamera mirrorless pertama yang mendukung file format RAW Canon yang baru yaitu CR3. Jenis RAW ini menawarkan kualitas tinggi dengan menyimpan resolusi penuh 24-megapixel, tapi dalam ukuran file 40% lebih kecil.

Salah satu keuntungan memotret dalam format RAW ialah memberi Anda fleksibilitas yang lebih besar saat mengolah foto-foto. Anda bisa meng-edit foto RAW di aplikasi Canon Digital Photo Professional.

Kemampuan Perekaman Video Canon EOS M50

EOS M50 adalah kamera mirrorless pertama Canon yang mampu merekam video resolusi 4K (3840×2160 piksel), meski dengan crop 1,7x, dan frame rate 25 fps. Sementara, di resolusi 1080p bisa direkam pada 50 fps dan resolusi 720p hingga 100 fps.

Untuk mendukung produksi video, EOS M50 juga dilengkapi dengan teknologi stabilisasi Dual Sensing IS untuk menetralkan getaran. Di mana sistem menggunakan sensor gyro dan informasi dari sensor CMOS untuk mendeteksi gerakan.

Layar full articulated, perekaman video 4K, dan Dual Sensing IS – membuat EOS M50 sudah cukup mumpuni untuk produksi konten video untuk YouTube. Untuk hasil terbaik, cukup merekam pada resolusi 1080p saja dan ambil footage tertentu pada resolusi 4K.

Sayangnya, teknologi Dual Pixel AF tidak bekerja pada perekaman video 4K, di mana kamera hanya sebatas melakukan contrast detection AF. Bila fitur perekaman video yang Anda cari, maka Sony Alpha A6300 atau Panasonic Lumix G85 bisa dilirik.

Pengalaman Menggunakan Canon EOS M50

Review-Canon-EOS-M50

Harus diakui, desain layar full articulated ini asyik. Sangat memudahkan saat mengatur komposisi dan memotret dari berbagai sudut – baik foto maupun video.

Keberadaan viewfinder menyuguhkan kepuasan tersendiri. Bagian kerennya, EOS M50 mendukung opsi AF Touchpad yang memungkinkan kita mencari titik fokus dengan mengusap layar.

Mode silent shutter juga menarik, memungkinkan kita mengambil foto tanpa menarik banyak perhatian. Pengoperasian EOS M50 relatif mudah dan digunakan oleh siapa saja yang menginginkan hasil foto yang lebih baik daripada kamera smartphone.

EOS M50 menggunakan baterai tipe LP-E12, sama seperti EOS M100 yang hanya mampu menyuguhkan 235 foto sekali charge. Namun kita bisa mengaktifkan ‘mode Eco‘ yang diyakini mampu sedikit memperpanjang hingga 370 foto.

Hal yang sangat menyebalkan adalah meski kamera ini punya port micro USB, tapi kita tidak bisa men-charge kamera langsung dari kamera. Artinya, tidak bisa di-charger pakai powerbank – sebaiknya membeli baterai cadangan.

Review-Canon-EOS-M50

Konektivitas yang dibenamkan sangat lengkap, dari Bluetooth, WiFi, hingga NFC. Jangan lupa menginstal aplikasi Canon Camera Connect di smartphone, di mana hasil foto akan secara otomatis ditransfer ke smartphone sehingga bisa langsung posting ke media sosial.

Bluetooth membuat kedua perangkat terhubung, bahkan ketika kamera dimatikan. Proses setup-nya agak sedikit rumit, hanya bisa mengirim hasil foto, dan tidak bisa mengirim video.

Tentang kualitas hasil foto EOS M50 sudah amat baik, terutama di ISO rendah 100 hingga 800 – warna yang disuguhkan juga khas Canon – terlihat menyenangkan. Sementara di kondisi temaram, sebaiknya tidak menggunakan ISO lebih dari 6400 – karena noise akan mulai menampakkan diri.

Berikut beberapa hasil foto Canon EOS M50 menggunakan lensa EF-M15-45 mm f/3,5-6,3 IS STM:

Verdict

Review-Canon-EOS-M50

Jujur saja, impresif awal saya agak skeptis pada EOS M50. Karena merupakan kamera basic, tetapi keraguan tersebut telah lenyap setelah dimanjakan beragam fitur-fiturnya. EOS M50 mampu memenuhi kebutuhan saya seperti untuk meliput acara, serta foto dan video produk review. Harusnya juga sudah mencukupi untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar Anda juga.

Layar full articulated dan full touchscreen, electronic viewfinder dengan AF Touchpad, perekaman video 4K, stabilisasi Dual Sensing IS, prosesor terbaru Digic 8 yang membuat kinerja kamera secara keseluruhan meningkat signifikan, dan body yang ringkas – kamera ini asyik dan mudah digunakan.

Menurut saya, ideal untuk para video content creator [baca: YouTuber] atau pehobi fotografi terutama pengguna smartphone yang bercerita lewat foto dengan memberikan sentuhan seperti setting eksposur, titik fokus, warna, komposisi, dan kreativitas yang kita dimiliki.

Sparks

  • Layar full articulated dan full touchscreen
  • Electronic Viewfinder
  • Perekaman video 4K
  • Silent Mode
  • Konektivitas lengkap dan bisa transfer hasil foto otomatis ke smartphone

Slacks

  • Dual Pixel AF tidak bekerja pada perekaman video 4K
  • Crop 1,7x di 4K, susah mengambil video dalam wide-angle
  • Tidak mendukung pengisian USB langsung ke kamera

[Review App] Menjajal Rasa Smartphone Poco Lewat Aplikasi Poco Launcher

Beberapa hari yang lalu Poco, sub brand milik Xiaomi baru saja meluncurkan aplikasi Poco Launcher ke Play Store, memungkinkan perangkat non-Poco untuk mencicipi antarmuka di smartphone yang bikin heboh tersebut.

Poco Launcher dipoles berdasarkan custom ROM buatan Xiaomi untuk semua smartphone Poco. Lebih lanjut dikenal dengan nama MIUI for Poco. Di Play Store, Poco Launcher sudah lepas dari label beta yang artinya sebagian besar fitur-fitur di dalamnya sudah bebas dari bugs. Performanya juga makin ditingkatkan. Untuk mengunduh launcher dari Play Store, Anda hanya ‘membakar’ kuota data sebesar 12MB, cukup ringkas.

Semua perangkat berlogo Mi dipastikan bisa mengunduh dan menggunakan launcher ini. Saya belum mencobanya di smartphone merk lain, tapi sebagian media online sudah mengonfirmasi dukungannya untuk beberapa perangkat Android non-Xiaomi meskipun bukan mendapatkannya langsung dari Play Store.

Anda yang belum mengunduh tapi punya keinginan mencobanya bisa membaca review ini terlebih dahulu untuk mengenal Poco Launcher lebih jauh.

Interface Poco Launcher

Interface yang dihadirkan oleh Poco Launcher sedikit berbeda dari MIUI yang dipakai di semua perangkat Xiaomi. Perbedaan paling ketara terlihat di rancangan ikon, susunan menu dan opsi animasi transisi. Ikon di Poco Launcher terlihat unik dengan pilihan warna yang relatif lebih bervariasi dan berukuran lebih besar ketimbang MIUI. Yang menarik, Poco Launcher tetap dapat dikombinasikan dengan tema-tema dari Xiaomi, sehingga jika Anda terbiasa memakai perangkat dari pabrikan asal Tiongkok itu, Anda tak harus beradaptasi dalam waktu yang lama.

Screenshot_2018-10-16-09-29-34-503_com.mi.android.globallauncher

 

Layar Home di Poco Launcher menampilkan dua widget utama, yaitu pencarian dan jam. Di bagian menu utama akan berjejer lima shortcut aplikasi antara lain Settings, Gallery, Apps, Themes dan penghapus cache. Sementara di bagian dasar akan muncul lima menu lainnya yang terdiri dari panggilan, pesan singkat, browser, Mi Music dan Kamera. Saya belum tahu apakah susunan shortcut ini juga akan diterapkan di perangkat lain, tapi kemungkinan besar penggunaan tema atau launcher sebelumnya akan sedikit berdampak saat Poco Launcher diaktifkan.

Gambar latar yang dipakai oleh Poco Launcher berupa bukit batu dengan latar langit yang bertabur bintang. Seperti kebanyakan launcher, pengguna dapat dengan mudah mengubah gambar latar sesuai keinginan. Hal yang sama juga bisa diimplementasikan ke pilihan widget.

Screenshot_2018-10-16-09-32-09-593_com.android.thememanager

 

Di bagian menu, Poco Launcher menerapkan cara yang berbeda dari launcher lainnya. Alih-alih menggunakan halaman, Poco Launcher menyembunyikan deretan menu yang bisa dibuka dengan menggeser layar dari bawah ke atas atau mentap tanda jarum saat berada layar home utama ataupun yang kedua.

Screenshot_2018-10-16-09-30-57-955_com.mi.android.globallauncher

 

Saat menu ditampilkan, Poco Launcher mengelompokkan shortcut ke dalam 9 kategori berbeda, antara lain Communication, Entertainment, Photography, Tools, Shoppings, Games, Lifestyle, Finance & Business dan Knowledge & Education. Sayangnya, kategori-kategori ini tidak bisa dihapus atau di-edit, tetapi bisa disembunyikan. Untuk mempermudah pencarian, Poco juga menambahkan form pencarian di bagian bawah dan kategori “All” yang akan menampilan semua shortcut dalam satu tempat. Fitur pembeda lainnya adalah pengelompokan aplikasi berdasarkan warna.

Fitur di Poco Launcher

Mempertimbangkan kegunaannya sebagai launcher pengganti, tentu saya tak bisa berekspektasi Poco Launcher akan menawarkan fitur seperti halnya custom ROM.

Fitur di Poco Launcher lebih banyak berhubungan dengan bagaimana launcher bekerja di smartphone, bukan fitur yang menambah fungsi dari perangkat itu sendiri.

Icon Pack

Screenshot_2018-10-16-09-30-04-291_com.mi.android.globallauncher

 

Kehadiran fitur icon pack memang jadi kewajiban di launcher tak terkecuali bagi Poco. Pasalnya, sebagian besar aplikasi launcher sudah melakukan hal yang sama, bahkan dengan kreasi yang lebih beragam. Di Poco Launcher, pengguna mendapatkan dua opsi, ikon bawaan launcher dan ikon dari pihak ketiga yang bisa diunduh dari Play Store.

Grup Otomatis

Screenshot_2018-10-16-09-30-18-476_com.mi.android.globallauncher

 

Secara default, Poco Launcher akan mengelompokkan aplikasi ke dalam grup secara otomatis. Tetapi, fitur ini bisa dimatikan dengan konsekuensi Anda akan mengatur sendiri ketika memasang aplikasi atau game baru. Selain pengelompokkan otomatis, launcher juga mempunyai opsi untuk mengatur susunan dan menyembunyikan grup yang dianggap tidak perlu.

Grup Berdasarkan Warna

Screenshot_2018-10-16-09-34-17-897_com.mi.android.globallauncher

 

Seperti yang sudah disinggung di pembahasan interface, Poco Launcher mempunyai opsi pengelompokkan aplikasi berdasarkan warna. Fitur ini dimatikan secara default, jadi harus dihidupkan lebih dulu di panel pengaturan.

Layout

Screenshot_2018-10-16-09-30-37-426_com.mi.android.globallauncher

Urutan shortcut aplikasi pada dasarnya diterapkan berdasarkan abjad, tetapi jika Anda merasa kurang nyaman, Anda bisa mengubahnya ke urutan aslinya.

Mengunci Layar Home

Poco Launcher sudah mempunyai rancangan dan pilihan sendiri untuk layar home. Tetapi, sebagai pemilik perangkat Anda bebas memutuskan shortcut apa saja yang tampil di sana. Dan untuk menjaga susunannya tetap rapi, Poco menawarkan opsi mengunci layar sehingga tidak bisa diubah baik dengan sengaja atau tidak.

Efek Transisi

Screenshot_2018-10-16-09-31-50-234_com.mi.android.globallauncher

 

Selain wallpaper dan ikon, Anda juga bisa membuat launcher terasa lebih keren, yakni dengan menerapkan efek transisi antar halaman. Efek transisi yang tersedia terdiri dari empat pilihan, yaitu slide, crossfade, tumble dan page.

Menyembunyikan Ikon

Terakhir, Poco juga mempunyai opsi untuk menyembunyikan ikon. Tetapi, untuk melakuannya Anda harus membuat pin atau kunci terlebih dahulu. Jadi, fungsinya hampir sama dengan App Lock di MIUI.

Kesimpulan

Sisi interface Poco Launcher terbilang tak terlalu istimewa, terutama bagi mereka yang sudah terbiasa dengan launcher di MIUI-nya Xiaomi. Kelebihan Poco Launcher sebenarnya terletak pada performanya yang sangat ringan dan cepat, cocok untuk mereka yang mempunyai banyak koleksi aplikasi.

Pengelompokkan aplikasi berdasarkan warna juga cukup pintar meski rancangan tombolnya menurut saya masih terasa kurang nyaman.

Sparks

  • Ringan dan cepat
  • Ikonnya unik dan segar
  • Mudah digunakan

Slack

  • Tak ada yang baru di bagian status bar dan notifikasi
  • Grup aplikasi yang tidak bisa di-edit membuat layout grup terlihat berlebihan karena teksnya terlalu panjang. Pengguna yang tidak berbahasa Inggris juga akan kesulitan.
  • Fitur-fiturnya masih bisa ditingkatkan.
Application Information Will Show Up Here

[Review] Advan G2 Plus: Smartphone Murah FullView untuk Medsos

Merek lokal yang paling eksis berjualan di Indonesia bisa dibilang adalah Advan. Vendor lokal ini masih bertengger di peringkat 5 besar dalam penjualan smartphone mereka. Tentunya, hal ini merupakan prestasi tersendiri bagi Advan yang sudah berjualan selama bertahun-tahun.

Advan G2 Plus

Harga yang terjangkau bagi sebagian besar penduduk Indonesia, kualitas produk yang baik, serta rasa nasionalisme merupakan hal yang paling penting dalam menjual produk mereka. Sayangnya, Advan memang tidak terlalu mementingkan spesifikasi tinggi pada setiap smartphone yang mereka jual, asalkan nyaman untuk digunakan.

Salah satu produk yang mereka banggakan dan telah hadir di meja pengujian DailySocial adalah Advan G2 Plus. Smartphone yang satu ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari generasi sebelumnya yang memiliki nama tanpa plus. Hal yang paling bisa dilihat adalah Advan G2 Plus menggunakan layar Fullview 18:9.

Advan G2 Plus - Belakang

Advan G2 Plus memiliki spesifikasi sebagai berikut:

SoC Mediatek MT6737
CPU 4 x 1.3 GHz Cortex A53
GPU Mali-T720 MP2
RAM / Internal Storage 3 GB / 32 GB
Layar 5,7” 1440×720 18:9
Baterai 4000 mAh
Sistem Operasi Android Oreo 8.1
Kamera Depan: 8 MP, Belakang: 13 MP

Advan G2 Plus khusus diramu oleh vendor asal Indonesia ini dengan baterai besar, 4000 mAh. Selain itu, kerjasama eksklusif Advan bersama Samsung menelurkan smartphone dengan kamera dengan sensor ISOCELL. Dengan sensor 13 MP pada bagian belakang, kameranya menggunakan lensa Largan 5P. Nanti kita lihat seberapa baik kamera yang dimiliki oleh Advan.

Advan G2 Plus memiliki hasil pindaian CPU-Z dan Sensor Box seperti ini:

Unboxing

Seperti inilah isi dari paket penjualan dari Advan G2 Plus:

Advan G2 Plus - Unbox

Desain

Jika seseorang menilai kualitas sebuah smartphone dengan merek lokal, biasanya akan terasa ringkih. Berbeda dengan Advan G2 Plus yang dibuat dengan cukup kokoh. Badan kokoh Advan G2 Plus ini terbuat dari plastik polikarbonat.

Layar pada smartphone ini menggunakan rasio 18:9 dengan resolusi 1440×720, sehingga membuatnya terlihat panjang. Layarnya sendiri sudah terpasang sebuah lapisan anti gores sehingga lebih aman dari goresan. Dengan desain 2.5D, perangkat ini kurang bersahabat dengan tempered glass karena bagian pinggirnya akan terangkat.

Untuk penempatan tombol, pada bagian kanan ditemukan tombol volume suara serta tombol power untuk menyalakan layarnya. Pada sisi sebelah kiri dapat ditemukan SIM tray hybrid, sehingga Anda harus memilih apakah menggunakan dua SIM atau satu SIM dengan sebuah kartu microSD.

Pada bagian atas ditemukan sebuah microphone kedua serta port audio 3,5 mm. Dan pada bagian bawahnya dapat ditemukan sebuah speakermicrophone utama, serta port microUSB.

IDOS

Advan memiliki antar muka buatan sendiri yang bernama IDOS. Tentu saja, antar muka yang satu ini juga merupakan buatan dalam negeri. IDOS sendiri menawarkan beberapa feature yang tidak ada pada standar launcher Android. Hal tersebut seperti tingkat keamanan yang lebih tinggi, manajemen baterai yang lebih irit, dan lain sebagainya.

Antar muka yang dibuat oleh Advan ini menghilangkan app drawer, sehingga hanya menggunakan satu lapis saja, yaitu homescreen. Sayangnya, IDOS dengan basis sistem operasi Android Oreo ini tidak stabil, setidaknya pada unit yang kami dapatkan. Beberapa aplikasi akan langsung berhenti pada saat unit dinyalakan. Semoga Advan bisa membenahi bug tersebut agar penggunaan bisa lebih nyaman.

Jaringan LTE

Jaringan 4G LTE yang ada di Indonesia memang cukup berbeda dengan yang ada di luar negeri. Advan mendukung kanal 1(2100 MHz), 3(1800 MHz), 5(850 MHz), 7(2600 MHz), 8(900 MHz), 20(800 MHz), 38(2600 MHz), 40(2300 MHz), dan 41(2500 MHz). Hal ini membuat Advan G2 Plus pun aman dibawa keluar negeri.

Kamera

Advan dalam menjual perangkat telepon pintarnya selalu mengatakan bahwa mereka telah bekerja sama dengan Samsung. Hal tersebut membuahkan kamera Advan yang selalu menggunakan sensor ISOCELL. Sensor tersebut sendiri digadang sebagai lawan sepadan sensor Sony IMX.

Saat mencoba kamera dari Advan G2, sekali lagi, kami merasa bahwa ada bug yang cukup mengganggu: proses rendering gambar terasa pelan. Saat pengambilan gambar pun juga kami rasa cukup lambat walaupun sudah menggunakan opsi ZSL (Zero Shutter Lag).

Hasil dari kamera belakang memang termasuk lumayan. Pada kondisi cahaya yang terang, noise-nya memang cukup minim. Sayangnya, gambar yang dihasilkan dirasa kurang tajam. Pada kondisi kurang cahaya, noise yang tercipta akan cukup terlihat pada gambar.

Kondisi yang sama juga dapat dilihat pada kamera depannya. Walaupun begitu, hasilnya memang tidak setajam kamera utamanya.

Pengujian

Advan menggunakan chipset untuk entry level dari Mediatek, yaitu MT6737. SoC ini mengandalkan prosesor empat inti Cortex A53 berkecepatan 1,3 Ghz dengan GPU Mali-T720 MP2. Kinerjanya sendiri memang cukup untuk aplikasi sehari-hari seperti sosial media dan chatting.

Sayangnya, SoC ini tidak cocok digunakan untuk bermain game berat, seperti PUBG. Saat diuji, game tersebut dapat berjalan, namun cukup lag. Oleh karena itu, tunggu saja dulu sampai PUBG Mobile Lite beredar. Untuk bermain game-game ringan, smartphone ini sudah cukup mumpuni.

Sintetis

Pengujian kami lakukan dengan menggunakan beberapa benchmark sintetis. Untuk pembanding, kami kembali menghadirkan sebuah smartphone yang memiliki rentang harga yang kurang lebih sama. Smartphone tersebut menggunakan SoC Snapdragon 425, yang kurang lebih memiliki spesifikasi yang sama.

Uji dengan MP4

Seperti yang kami utarakan sebelumnya, IDOS pada Advan G2 Plus kurang stabil dalam menjalankan beberapa aplikasi benchmarking. Jadi, kami menggunakan sebuah file MP4 dengan resolusi 1080p dan kami ulang terus menerus.

Advan G2 Plus yang menggunakan baterai sebesar 4000 mAh ternyata mampu bertahan sekitar 10 jam 20 menit. Untuk melakukan pengisian baterai, kami pun menyarankan untuk tidak menjalankan apa pun karena akan membuat waktunya menjadi lebih lama.

Kesimpulan

Kebutuhan orang untuk membeli sebuah smartphone memang tidak melulu harus memiliki spesifikasi yang tinggi. Mereka yang hanya ingin bersosialisasi, berkomunikasi melalui teks maupun suara, dan jarang bermain game tentu saja dapat memilih alternatif perangkat yang lebih banyak. Salah satunya adalah Advan G2 Plus.

Dengan harga Rp. 1.899.000, konsumen pun dihadapkan dengan sebuah smartphone buatan dalam negeri yang dihiasi dengan antar muka yang cukup baik. Perangkat ini pun memiliki badan yang cukup kokoh sehingga tidak akan rusak saat tidak sengaja diduduki.

Kinerja yang dimiliki memang cocok digunakan untuk browsing, sosial media, chatting, dan beberapa pekerjaan yang tidak membutuhkan daya proses yang besar. Akan tetapi, dengan skor uji yang ada, perangkat ini memang tidak cocok untuk pakai bermain game berat.

Kamera yang menggunakan sensor ISOCELL dari Samsung pada perangkat ini juga tergolong lumayan bagus. Sayangnya, kinerjanya masih cukup di bawah beberapa pesaing dengan harga yang sama. Oleh karena itu, Advan harus sekali lagi melakukan tweaking kepada kameranya.

Bagi yang membutuhkan perangkat kedua, Advan G2 Plus juga cocok untuk dimiliki. Mereka yang membutuhkan perangkat untuk menonton video juga bisa mengandalkan perangkat ini. Untuk bermain game-game ringan? Perangkat ini masih mumpuni.

Sparks

  • Layar Fullview
  • Harga cukup terjangkau
  • Badan perangkat cukup kokoh
  • Anti gores
  • Baterai tahan lama

Slacks

  • Hasil kamera kurang tajam
  • IDOS kurang stabil
  • Kinerja kurang mumpuni

Update: Koreksi penggunaan kata ‘sosmed’ menjadi ‘medsos’.

[Hands-on] Nokia 6.1 Plus: Unggulkan Bothie dan Kemampuan Vlog

Pada tanggal 10-11 Oktober 2018 lalu, HMD Global atau yang kita tahu sebagai Nokia – telah mengadakan kegiatan ‘Media Fun Day’ dengan tagline #SayYesToNokiamobile.

Acara ini berlangsung di R Hotel Rancamaya, Bogor. Pada kesempatan ini para awak media yang diundang diberi keleluasaan lebih untuk mengeksplorasi Nokia 6.1 Plus.

Tantangannya adalah membuat video atau vlog maksimal berdurasi dua menit menggunakan kamera Nokia 6.1 Plus dan fitur Bothie. Para awak media dibagi dalam lima tim, masing-masing tim berisi empat atau lima orang, dan dibekali satu perangkat Nokia 6.1 Plus.

Di artikel ini, saya telah meringkas pengalaman singkat menjajaki Nokia 6.1 Plus yang dibanderol Rp3.399.000. Apakah recomended untuk dibeli? Mari simak hands-on Nokia 6.1 Plus berikut.

Desain Nokia 6.1 Plus

Nokia-6.1-Plus

Saya pengguna smartphone Android dengan layar 6 inci (18:9), ukuran yang besar terkadang agak merepotkan, tetapi saya telah terbiasa. Namun saat pertama kali memegang Nokia 6.1 Plus, saya dibuatnya terkejut – ternyata ukuran smartphone ini cukup compact dengan layar 5,8 inci. Jauh terasa lebih nyaman di tangan, mengetik dan mengoperasikan dengan satu tangan juga lebih mudah.

Nokia-6.1-Plus

Selain soal ukuran, tampilan Nokia 6.1 Plus juga apik dengan notch dan belakang seperti kaca. Layarnya 5,8 incinya disokong resolusi Full HD+ pada rasio 19:9. Baik depan maupun belakang diproteksi Corning Gorilla Glass 3. Meski menyuguhkan efek seperti kaca, namun bagian belakang saat diketuk masih terasa material polikarbonat yang digunakan.

Kamera Nokia 6.1 Plus

Nokia-6.1-Plus

Aspek ini merupakan salah satu yang paling diunggulkan, Nokia 6.1 Plus masih mengandalkan fitur Bothie. Bukan merupakan fitur yang benar-benar baru karena sudah ada di smartphone Nokia sebelumnya, tapi Bothie atau Dual-Sight masih jarang ditemui ditempat lain.

Bagi video content creator, fitur ini pasti bakal sangat berguna untuk membuat vlog yang lebih bervariasi. Misalnya untuk berkolaborasi, video reaction, dan banyak lagi.

Smartphone ini juga sudah mampu merekam footage pada resolusi 4K. Jadi, Anda bisa reframing dan juga crop tanpa mengurangi kualitas saat editing pada resolusi Full HD.

Sementara, kamera depannya bisa merekam video Full HD. Selain Bothie, kita juga bisa merekam video dalam mode picture-in-picture, time lapse dan slow motion.

Untuk spesifikasi teknis, Nokia 6.1 Plus mengusung sensor kamera ganda di belakang. Kamera utama beresolusi 16-megapixel, dengan ukuran pixel 1.0µm, aperture f/2.0, dan dilengkapi teknologi PDAF. Sedangkan, kamera sekunder beresolusi 5-megapixel, punya pixel berukuran 1.12µm, dan aperture f/2.0.

Sementara, bagian depannya mengandalkan sensor kamera berukuran 1/3.1 inci dengan resolusi 16-megapixel, pixel 1.0µm, dan aperture f/2.0. Fitur lain yang dibenamkan adalah mode live bokeh yang intensitas blur-nya bisa diatur dan mode manual bagi yang membutuhkan kontrol lebih.

Hardware Nokia 6.1 Plus

Nokia-6.1-Plus

Tampang dan kemampuan kamera sudah baik, performa juga harus selaras. Nokia 6.1 Plus diotaki chipset Qualcomm Snapdragon 636 yang berpadu RAM 4GB, dan storage 64GB.

Smartphone yang menjalankan program Android One versi Android 8.1 Oreo ini dipasok oleh baterai berkapasitas 3.060 mAh, menggunakan port USB Type-C, dan mendukung teknologi pengisian cepat Quick Charge 4, di mana bisa mengisi daya 50 persen dalam waktu 30 menit.

Verdict

Nokia-6.1-Plus

Bagi saya Nokia 6.1 Plus adalah smartphone yang ideal untuk produksi konten kreatif, baik itu foto dan video. Recommed buat Anda para video content creator, desainnya juga kece, ukuran compact, performa dari Snapdragon 636 juga mampu meladeni aktivitas gaming sekalipun.

Memang lensa kamera Nokia 6.1 Plus belum menggunakan Carl Zeiss dan tidak ada peredam getar semacam OIS atau EIS. Tetapi bisa dimaklumi mengingat harganya yang terjangkau yakni Rp3.399.000. Bila tertarik, Nokia 6.1 Plus tersedia dalam pilihan warna gloss black, gloss white, dan gloss midnight blue.

[Review] MSI Prestige PS42, Laptop Ultra-Thin Elegan Untuk Para Profesional

Meski tema gaming menempel di pada branding-nya, penyediaan alat pendukung kerja bukanlah hal baru bagi MSI. Mereka sudah lama menawarkan beragam mobile workstation, bahkan sempat menggarap laptop kelas profesional. Perangkat lini Prestige tersebut kabarnya sangat ideal buat fotografer dan desainer karena ditunjang layar yang mampu mereproduksi warna secara akurat.

Dalam beberapa tahun ini, seri Prestige tampak absen dari pasar. Ketika varian gaming memperoleh update dan refresh hardware, nama Prestige malah hampir tidak terdengar. Namun di panggung Computex 2018 kemarin, gerak-gerik sang produsen hardware PC asal Taiwan itu mengindikasikan adanya perubahan strategi bisnis. Di sana, mereka menyingkap varian Prestige teranyar, PS42.

Dan seperti biasa, Micro-Star International tidak membuang-buang waktu untuk membawa produk tersebut ke Indonesia. Prestige PS42 8RB merupakan laptop 14-inci berdesain ramping yang dipersenjatai chip Intel Core generasi kedelapan dan kartu grafis discrete Nvidia, dijanjikan siap menunjang aktivitas produktif maupun penyajian konten hiburan. Selama beberapa minggu, saya diberikan kesempatan untuk mengujinya secara langsung, dan lewat artikel ulasan ini, saya mencoba mengungkap segala keunggulan dan kelemahannya.

 

Penampilan

Terlepas dari permintaan MSI untuk tidak menyebutnya sebagai ultrabook, sejatinya, Prestige PS42 merupakan notebook berkonsep ultra-thin. Perangkat ini memiliki ketebalan hanya 15,9mm dengan panjang dan lebar 322x222mm serta bobot 1,2kg. Arahan desain yang minimalis memudahkan laptop untuk dibawa-bawa serta dimasukkan dalam tas kerja tanpa menambah ‘beban hidup’ Anda.

PS42 12

PS42 23

Chassis notebook terbuat dari logam aluminium plus plastik di sejumlah area. Kontras dengan hitamnya laptop gaming MSI, permukaan tubuh Prestige PS42 didominasi warna silver brushed. Bagi saya, pendakatan desainnya menonjolkan dua tema yang boleh dikatakan kontradiktif: elegan namun juga utilitarian. Logo tameng naga khas MSI tetap tetap bisa kita temukan di area punggung, tapi kehadirannya terasa halus dan tidak berlebihan.

PS42 32

PS42 22

MSI memang mulai mencoba memangkas ketebalan bingkai layar di sejumlah laptop ultra-thin baru, dan pendekatan tersebut turut diterapkan pada PS42. Perangkat ini menyuguhkan frame berketebalan hanya 5,7mm di bagian kiri, kanan dan atas; sehingga rasio display ke tubuh bisa mencapai 80 persen. Sedikit efek samping dari pemakaian bezel tipis adalah webcam yang harus ditaruh di bawah layar.

PS42 17

PS42 24

Bagian layar tersambung ke tubuh melalui dua buang engsel, bisa Anda retangkan sejauh 180 derajat hingga keduanya sejajar. Itu berarti, MSI memposisikan segala konektivitas fisik di kiri dan kanan body. Variasinya cukup lengkap. Saya melihat ada port HDMI, audio combo 3.5nn, dan USB type-C 3.1 di kiri; kemudian tersedia dua port USB type-A 3.1, satu lagi USB type-C, dan slot pembaca kartu SD di kanan. Laptop tak mempunyai port LAN, sehingga Anda harus mengandalkan sambungan wireless 802.11 ac.

PS42 29

PS42 30

MSI menempatkan tombol power di bagian tengah grille, di atas keyboard. Perlu diketahui bahwa lubang-lubang tersebut bukanlah lubang speaker. Laptop mempunyai dua speaker stereo dan semuanya ditaruh di sisi bawah.

 

Layar

MSI Prestige PS42 menghidangkan layar ‘IPS-level’ seluas 14-inci 1920×1080 157ppi. Display dibekali lapisan anti-glare, memiliki refresh rate 60Hz dan rasio kontras 1000:1. Seperti anggota keluarga Prestige sebelumnya, panel tersebut mampu menghasilkan gambar yang tajam serta mereproduksi warna secara presisi, walaupun mungkin sedikit lebih redup jika dikomparasi dengan produk high-end kompetitor, contohnya Dell XPS 13.

PS42 20

PS42 18

Seperti biasa, MSI sudah menyiapkan profil pemakaian berbeda yang dapat Anda pilih via software Dragon Center. Tersedia mode gamer, desainer, mode panggunaan di kantor, film, sRGB serta opsi anti-blue untuk meminimalkan emisi sinar biru yang dihasilkan panel. Dan dengan langsung masuk ke app MSI True Color, Anda dipersilakan mengutak-utik setting, kecerahan, hingga temperatur warna lebih jauh lagi.

PS42 21

 

Keyboard, touchpad dan palm rest

Terlepas dari luas tubuhnya yang mungil, PS42 tetap ditunjang keyboard tenkeyless yang lapang. Tidak ada pengurangan ukuran pada tuts utama (kecuali tombol function), termasuk tombol kursor arah. Keycap mengusung desain chiclet dengan luas 16,5×16,5mm. Jarak key travel-nya terbilang pendek, konsisten,  kokoh, serta nyaman untuk mengetik. Tapi bagi saya pribadi, profilnya kurang pas buat menikmati game.

PS42 14

PS42 35

Papan ketik PS42 dilengkapi sistem backlight LED berwarna putih, dimaksudkan agar kita tetap bisa melihat tombol ketika bekerja di ruang temaram. Namun saya menemukan sedikit kendala di sana: distribusi pencahayaan tidak merata. Efeknya, sejumlah tuts terlihat lebih redup dari tombol lain. Di beberapa tombol, cahaya LED juga sedikit bocor dari sisi pinggir.

PS42 16

Pengendalian mouse bisa dilakukan via touchpad. MSI memposisikannya sedikit menjorok ke bagian kiri wrist rest. Ukurannya tidak terlalu besar, dengan luas 6,6×9,9cm, dipotong oleh dua ujung atas yang membundar dan sensor sidik jari. Touchpad mampu merespons gerakan jari secara akurat, tapi ada sedikit masalah di dua tombol mouse yang ditanam di sana. Mereka terasa keras dan tak ada pembeda antara tombol kiri dan kanan.

PS42 15

Dampak negatif dari pemanfaatan keyboard lapang enam baris di sana adalah penyusutan luas wrist rest. Lebar 6,4cm memang tidak terlalu berdampak buat saya, namun pengguna dengan ukuran tangan lebih besar mungkin mengharapkan palm rest yang lebih lapang.

PS42 33

 

Hardware

MSI Prestige PS42 8RB yang dipasarkan di Indonesia ini merupakan varian berotak chip Intel Core i5. Di luar sana, MSI menyediakan opsi dengan Intel Core i7 U. Berikut adalah spesifikasi produk yang saya uji ini:

  • Sistem operasi Windows 10 Home
  • Prosesor Intel Core i5-8250U berkecepatan 1,6GHz, menyimpan 4-core dan 8-thread
  • Memori RAM 16GB
  • Motherboard MSI MS-14B1
  • Kartu grafis Nvidia GeForce MX150 dan Intel UHD Graphics 620
  • Penyimpanan SSD Samsung 512GB

PS42 34

Beberapa software yang saya gunakan buat menguji hardware laptop ini meliputi Cinebench R15, PC Mark 10 dan Unigine Heaven. Hasil terbaiknya bisa Anda lihat di bawah.

Cinebench R512

PS42 1

 

PC Mark 10

PS42 3

PS42 2

 

Unigine Heaven 4.0

PS42 4

PS42 5

 

Pengalaman penggunaan

Saya hanya menginstal dua game di unit review ini, yaitu Monster Hunter: World dan Star Control Origins.

Untuk menikmati Monster Hunter: World di resolusi full-HD, Anda harus rela bermain di preset grafis low dan memaklumi kurang tajamnya detail karakter dan monster, serta efek jaggy di setiap objek. Setting tersebut akan dipilihkan  secara default, dan dengannya, game bisa tersaji di frame rate per detik yang ‘playable‘. Permainan mampu mencapai 50fps, tapi akan turut ke 33fps jika Anda melewati lokasi-lokasi ramai atau area penuh objek.

PS42 6

PS42 7

PS42 8

Di Star Control Origins, Anda juga harus puas bermain di setting low. Game secara otomatis akan memilihkan opsi visual ‘meh‘ di resolusi full HD. Frame rate per detik berkisar antara 40 sampai di atas 80 (V-Sync dinonaktifkan) terutama di sesi penjelajahan angkasa. Dengan begini, kita masih punya kesempatan untuk menaikkan lagi kualitas grafis secara custom.

PS42 9

PS42 10

PS42 11

Perlu diingat bahwa Prestige PS42 bukanlah laptop gaming. Komposisi hardware serta desainnya sengaja disiapkan untuk mendukung aktivitas kerja serta menangani konten hiburan seperti film atau video. Baterai 50Wh di dalam menjanjikan waktu aktif hingga 10 jam, dan dalam sesi pengujian sesungguhnya, baterai ini bisa menjaga notebook menyala di atas delapan jam tanpa tersambung ke colokan listrik.

PS42 31

Untuk mendinginkan hardware yang berdempetan di dalam, MSI memanfaatkan teknologi Cooler Boost 3 yang sebelumnya digunakan di laptop gaming. Cooler Boost 3 mengandalkan sepasang kipas serta tiga heat pipe. Karena masing-masing fan difokuskan pada satu hardware penghasil panas utama, yakni CPU dan GPU, suara yang mereka hasilkan tidak begitu bising meski laptop dalam keadaan full load.

PS42 25

PS42 26

Satu hal yang harus Anda terima saat memakai Prestige PS42, terutama jika digunakan di ruang tanpa AC, adalah meningkatnya suhu wrist rest dan tombol. Kabar baiknya, temperatur hanya berada di tingkatan ‘hangat’ dan tidak melewati batas kewajaran atau membuat tangan Anda berkeringat.

PS42 28

Untuk audionya, speaker stereo di Prestige PS42 mempunyai karakteristik seperti laptop lain. Output-nya cukup lantang, tapi tanpa sub-woofer dan ruang resonansi yang mencukupi, bass hampir tidak terasa.

PS42 27

 

Kesimpulan

MSI bukanlah satu-satunya perusahaan yang mencoba mengadopsi teknologi gaming dan menerapkannya pada produk kelas bisnis. Razer dahulu sempat melakukannya lewat Blade Stealth. Untuk menarik perhatian konsumen targetnya, produsen mengandalkan desain super-tipis serta mengedepankan faktor portabilitas tinggi. Saya pribadi sangat menyukai tema ‘premium dan industrial’ yang diusungnya.

PS42 19

Satu hal perlu digarisbawahi: Prestige PS42 bukanlah laptop yang mampu menangani game-game blockbuster terbaru, lalu i5-8250U dan GeForce MX150 bukanlah komponen top-of-the-line yang tersedia buat laptop ultra-thin. Perangkat juga belum mendapatkan dukungan Thunderbolt 3, padahal ia menjadi standar di produk sekelas, misalnya Dell XPS 13 dan HP Spectre 13.

Memang tidak semua orang memerlukan Thunderbolt 3.0, namun MSI (dan beberapa brand gaming lain) sudah mulai bereksperimen dengan external graphics enclosure. Aksesori ala docking ini adalah rumah GPU, berguna untuk mendongkrak kapabilitas olah grafis laptop non-gaming asalkan perangkat dibekali Thunderbolt. Absennya konektivitas tersebut di Prestige PS42 menutup peluang bagi kita buat menyambungkannya ke MSI GUS.

Di Indonesia, Prestige PS42 8RB dibanderol di harga Rp 14,5 juta.

 

Sparks

  • Desain simpel, industrial dan atraktif
  • Ramping dan super-portable
  • Komposisi hardware-nya lebih dari mumpuni buat menangani tugas kerja sehari-hari
  • Keyboard-nya lapang dan nyaman untuk mengetik
  • Layar didukung teknolog MSI True Color, menyediakan profil berbeda

 

Slacks

  • Kurang optimal untuk menjalankan game-game blockbuster
  • Kualitas LED di keyboard masih bisa ditingkatkan lagi
  • Tombol touchpad kurang nyaman, hal ini krusial bagi para pekerja mobile
  • Tidak ada Thunderbolt 3 dan port LAN
  • Webcam di bawah layar kadang membuat sejumlah pengguna merasa tidak nyaman

 

[Review] Samsung Galaxy A8 Star: Semi Flagship Untuk Penggemar Samsung

Saat pertama kali Samsung mengumumkan ‘Galaxy Alpha’, saya dibuat terkagum-kagum karena smartphone tersebut punya desain dengan kerangka metal. Maklum, dulu kebanyakan ponsel masih terbuat dari material plastik.

Galaxy Alpha pun menjadi cikal bakal dari seri A, yang tampil good-looking dan menawarkan feel premium. Meski punya spesifikasi kelas tengah dengan harga relatif mahal.

Kini meja redaksi DailySocial lifestyle telah didatangi smartphone Samsung seri A teranyar, yakni Galaxy A8 Star. Apa kebolehannya? Langsung saja, mari kita kupas bersama – berikut review Samsung Galaxy A8 Star.

Unboxing Samsung Galaxy A8 Star

review-samsung-galaxy-a8-star

Unit A8 Star yang saya terima berwarna putih, kesannya simpel tapi mewah. Saat ini, harga A8 Star berada direntang Rp7 jutaan. Berikut perlengkapan yang akan Anda dapatkan:

  • Unit Samsung Galaxy A8 Star
  • Adaptive fast charging adapter (5V/2A)
  • Kabel data USB Type-C
  • Headset
  • Silicon case
  • SIM ejector
  • Buku panduan dan garansi

Desain Good-Looking

review-samsung-galaxy-a8-star

Seri A Samsung memang dikomunikasikan sebagai smartphone stylish, tak terkecuali A8 Star yang telah mengadopsi desain Infinity Display, material kaca di bagian belakang, dan metal sebagai rangkanya.

review-samsung-galaxy-a8-star

Tampak depan sudah mirip-mirip sama seri flagship semacam Galaxy S9 dan Note 9, bedanya layar A8 Star masih datar – belum melengkung di kedua sisinya. Sementara setup kamera ganda belakang posisinya vertikal, tidak seperti smartphone Samsung yang lain – letaknya di pojok kiri atas.

Dengan bentang layar 6,3 inci dan dimensi 162,4x77x7,6 mm, ukuran A8 Star ini tergolong ekstra panjang. Terlepas dari material premium dan build quality yang sudah amat baik, saya agak mempermasalahkan cara Samsung dalam meletakkan atribut pada A8 Star.

Seperti penempatan fingerprint sensor di bagian belakang A8 Star yang terlalu ke atas di smartphone yang sudah tinggi ini, hal ini jelas merepotkan karena sulit dijangkau. Pun demikian posisi tombol power dan volume yang juga terlalu tinggi.

Selain tombol power, di sisi kanan juga terdapat hybrid SIM card slot. Sedangkan, di sisi kiri ada tombol volume dan tombol Bixby. Lalu, di sisi atas ada mic sekunder. Sementara, di sisi bawah ada jack audio 3,5mm, port USB type-C, mic, dan speaker.

Layar 6,3 Inci Super AMOLED

review-samsung-galaxy-a8-star

Layar seluas 6,3 inci pada A8 Star berarti penting bagi saya. Aspek rasio 18.5:9 yang memanjang bikin nyaman saat membuka dua aplikasi bersamaan dalam satu tampilan layar.

Saat dicoba buat game PUBG Mobile juga terasa sangat asyik, resolusi Full HD+ (1080×2220 piksel), dan panel Super AMOLED menyajikan tampilan yang ekspresif dan lebih kaya warna.

Secara default, A8 Star menggunakan mode tampilan adaptif yang secara otomatis mengoptimalkan perubahan warna, saturasi, dan ketajaman layar. Namun bila Anda memiliki warna pilihan yang berbeda, Anda dapat menyesuaikan keseimbangan warna layar sesuai yang Anda inginkan.

Antarmuka – Samsung Experience 9.0 UX

Menjalankan sistem operasi Android 8.0 Oreo dengan sentuhan Samsung Experience 9.0 UX, saya mendapati pengalaman penggunaan yang simpel dan intuitif. Namun tetap kaya fitur, ada Always On Display, Device Maintenance, Dolby Atmos, Game Launcher, Secure Folder, Smart Stay, dan tentu saja asisten Bixby yang siap membantu Anda menyelesaikan sesuatu.

review-samsung-galaxy-a8-star

Saat ini Bixby memang belum mendukung bahasa Indonesia, perintah suara pun harus dilontarkan dalam bahasa Inggris. Terus ada juga Bixby Home yang menyuguhkan rekomendasi konten sesuai dengan waktu dan minat.

Kemudian Bixby Vision di aplikasi kamera yang mampu mengidentifikasi objek dan menerjemahkan bahasa asing. Serta, Bixby Reminder agar Anda tidak melewatkan apapun.

Soal tampilan, kita juga bisa menyelaraskan dengan preferensi masing-masing. Pilihan layout launcher antara home screen dan app drawer atau home screen only, mengubah wallpaper dan tema.

Adapun soal keamanan smartphone, A8 Star dibekali metode face recognition dan fingerprint scanner. Kinerja keduanya cukup cepat, hanya saja untuk face unlock kita harus menekan tombol power terlebih dahulu.

Kamera

review-samsung-galaxy-a8-star

Dari aspek hardware, A8 Star menerapkan sensor kamera utama beresolusi 16-megapixel (PDAF) dan sekunder 24-megapixel – keduanya punya aperture f/1.7. Sementara, kamera depannya beresolusi 24-megapixel dengan aperture f/2.0.

Beberapa mode penting pada A8 Star antara lain live focus yang bisa mengatur level bokeh, live stickers untuk membubuhi foto dan video dengan stiker 3D, slow motion untuk membuat video yang dramatis, serta mode pro yang memungkin menyesuaikan exposure (-2 sampai +2), ISO (100 sampai 800), dan white balance.

Bagi yang suka selfie, fitur pro lighting wajib Anda coba – di mana kamera akan memberi efek pencahayaan dari depan, samping kanan atau samping kiri sehingga menimbulkan bayangan, dan dari keduanya sehingga muka kita terlihat cerah.

Dari sisi videografi, kemampuannya juga tak kalah mumpuni dengan kapasitas perekaman video 4K. Dengan catatan, fitur HDR, video effects, dan video stabilization hanya mendukung resolusi Full HD.

Berikut hasil foto dari kamera Samsung Galaxy S8 Star:

Hardware

review-samsung-galaxy-a8-star

Di bagian komponen jeroan, biasanya versi Indonesia selalu kebagian versi Exynos. Maka dari itu, saya cukup terkejut mengetahui A8 Star diotaki chipset Qualcomm Snapdragon 660 – SoC yang sama digunakan oleh Vivo V11 Pro. Berikut susunan hardware Samsung Galaxy A8 Star:

  • Sytem-on-chip Qualcomm Snapdragon 660
  • CPU Octa-core (4×2.2 GHz Kryo 260 & 4×1.8 GHz Kryo 260)
  • GPU Adreno 512
  • RAM 4GB
  • ROM 64GB
  • Baterai Li-Ion 3.700 mAh

Hasil test benchmark dari beberapa aplikasi, pada Antutu A8 Star meraih skor 140.099 poin, sementara di PCMark Work 2.0 meraih 5.816 poin, lalu di 3DMark Sling Shot mendapatkan 2.049 poin, serta di GeekBench 4 single-core 1.414 poin dan multi-core 5.599 poin.

Baterai 3.700mAh yang bertugas menopang operasional perangkat. Sementara untuk performa, A8 Star dipastikan mampu memenuhi apapun kebutuhan ber-smartphone Anda – termasuk kegiatan gaming.

Verdict

review-samsung-galaxy-a8-star

Imbuhan “Star” sebenarnya mengingatkan saya kepada smartphone Android murah meriah Galaxy Star (S5280). Padahal A8 Star di sini merupakan varian paling tinggi dari A8 series (2018).

A8 Star pun berada diantara seri mid range menuju ke flagship. Sebut saja semi flagship, experience yang diberikan mendekati flagship Samsung. Smartphone ini cocok buat Anda penggemar Samsung, tetapi tidak punya budget lebih untuk membeli Galaxy S9 ataupun Note 9.

Bila menurut Anda smartphone itu tidak harus Samsung, maka A8 Star dengan harga Rp7 jutaan agak kemahalan. Dengan harga yang sama, Anda bisa mendapatkan smartphone flagship kompetitor seperti Asus Zenfone 5Z atau semi flagship semacam Vivo V11 Pro dan Pocophone F1.

Sparks

  • Desain premium, build qualty sangat baik
  • Kemampuan kamera depan belakang bisa diandalkan
  • SoC 660 yang powerful di kelasnya

Slacks

  • Harga relatif mahal – overprice
  • Posisi fingerprint sensor, tombol volume, dan tombol power terlalu tinggi – agak sulit dijangkau

[Review] Game Dead Cells: Sang Penghancur yang Rapuh

Anda terbangun di sebuah penjara bawah tanah yang lembab. Tanpa ingatan, tanpa teman, tanpa tahu apa yang sedang terjadi di balik dinding tebal yang mengurung Anda. Ragu-ragu, Anda membuka pintu sel yang ternyata tak terkunci, hanya untuk dikejutkan oleh sosok monster menjijikkan yang tiba-tiba menerjang. Beruntung, di sisi Anda tergeletak sebilah pedang berkarat dan tameng usang. Bukan perlengkapan paling meyakinkan, tapi jauh lebih baik daripada tak ada sama sekali.

Satu monster, dua monster. Satu lusin, dua lusin. Tak butuh waktu lama sampai Anda tak ingat lagi sudah berapa monster yang telah Anda basmi. Tanpa tahu harus ke mana, tiap langkah Anda berat oleh rasa takut dan penasaran. Setidaknya Anda tahu satu hal: bahwa Anda harus terus bergerak. Tidak ada pilihan lain. Diam berarti mati.

Dead Cells | Screenshot 1

Hampir-hampir Anda putus asa, kalau saja Anda tak melihat cahaya dari pintu di salah satu sudut lorong. Anda berlari mendekat, berharap menemukan jalan keluar, tapi sebelum sempat melewati pintu itu seorang kesatria menghadang jalan Anda.

“Bagaimana rasanya, jalan-jalan tanpa kepala?” sapa si kesatria.

Selamat datang di Dead Cells.

Dia yang tak bisa mati

Uraian singkat di atas adalah gambaran tentang apa yang Anda rasakan ketika bermain Dead Cells untuk pertama kali. Bingung, tegang, mungkin bahkan takut karena Anda merasa begitu tak berdaya. Dead Cells memang game yang sedikit “jahat”. Game ini tidak mengajarkan banyak hal. Anda langsung diceburkan ke dalam bahaya dan dipaksa untuk meraba-raba.

Dead Cells | Screenshot 2

Tokoh utama Dead Cells sebenarnya bukanlah manusia, melainkan sekumpulan sel yang menghuni tubuh orang mati. Karena sebenarnya Anda sudah mati, tentu saja Anda tak bisa mati lagi. Karena itulah setiap kali Anda game over, Anda dapat hidup kembali, namun dengan kehilangan nyaris semua progres dan barang yang telah Anda temukan.

Mekanisme permainan yang disebut “roguelike” ini selaras dengan konsep dunia yang ada dalam Dead Cells. Di sini, kematian bukanlah akhir, namun awal dari siklus yang harus Anda lewati untuk menyelesaikan game. Meski Anda harus mengulang dari awal, setiap pengulangan terjadi Anda pasti menjadi lebih kuat dari sebelumnya.

Dead Cells | Screenshot 3

Kekuatan itu datang dari berbagai upgrade permanen yang dapat Anda beli dari NPC bernama The Collector. Ketika Anda membunuh musuh, terkadang musuh itu bisa menjatuhkan sel yang dapat Anda serap. Sel itulah mata uang yang dapat Anda tukar dengan kemampuan baru. Misalnya membuka senjata-senjata baru, membuka beragam skill pasif yang disebut Mutation, mendapatkan Healing Potion lebih banyak, dan sebagainya.

Ketika baru mulai bermain, Anda mungkin akan merasa game ini susah sekali. Tapi seiring Anda mengumpulkan sel dan mendapatkan berbagai kemampuan baru, Anda akan merasa kemungkinan hidup Anda berangsur-angsur meningkat.

Tentu saja, sebanyak apa pun Anda mengumpulkan sel, tetap tak ada artinya tanpa disertai keahlian yang mumpuni. Di dalam Dead Cells, semua hal berusaha untuk membunuh Anda. Jebakan menanti di setiap sudut ruangan, dan bila tak hati-hati, musuh selevel kroco pun bisa membuat Anda tewas mengenaskan.

Dead Cells | Screenshot 4

Usaha takkan mengkhianati

Motion Twin, developer Dead Cells, menyebut bahwa game ini terinspirasi oleh tiga hal: Rogue, Castlevania, dan Dark Souls. Kemiripan dengan Rogue terletak pada dunianya yang dibuat acak secara prosedural. Jadi setiap kali Anda bermain, desain level serta musuh di dalamnya akan selalu berubah.

Kemiripan dengan Castlevania terletak pada tampilan visualnya yang menggunakan pixel art dua dimensi dan permainan yang memiliki fokus kuat pada eksplorasi. Anda akan menemukan bahwa banyak sekali jalur atau ruangan yang tidak bisa langsung dimasuki dari awal. Jalur-jalur rahasia tersebut hanya bisa Anda buka dengan memanfaatkan kemampuan tertentu, misalnya kemampuan untuk menghancurkan dinding atau teleportasi.

Dead Cells | Screenshot 5

Pengaruh Dark Souls terasa sangat kuat di dua hal: pertarungan dan cerita. Jangan bayangkan Anda bisa bermain asal pencet lalu semua musuh akan musnah. Dark Cells menuntut Anda untuk benar-benar mempelajari pola serangan tiap lawan, kemudian menyerang balik dengan metode yang tepat.

Selain itu, Dead Cells juga memiliki cerita yang misterius dan sulit dimengerti. Jangan bayangkan adegan-adegan teatrikal bersulih suara ala Castlevania: Symphony of the Night. Dead Cells justru menyajikan ceritanya secara implisit dan minimalis, tersebar di antara catatan-catatan yang dapat Anda temukan di seluruh penjuru kastil serta monolog si tokoh utama.

Walau tidak begitu koheren, saya cukup menikmati cerita Dead Cells karena cara penyajiannya yang eksentrik dan kental akan nuansa dark humor. Dipadukan dengan arahan visual yang berhasil berkali-kali menyajikan image kuat dalam ingatan, developer Dark Cells tampaknya ingin mengajak kita semua untuk tak lupa tertawa meski sedang merasa terkurung oleh kejamnya dunia.

Dead Cells | Screenshot 6

Satu hal pasti yang bisa saya simpulkan dari gaya penceritaan Dead Cells. Ini bukan game untuk anak-anak.

Geser keseimbangan neraca takdir

Dead Cells memiliki desain kesulitan brilian yang akan membuat Anda bersemangat sekaligus tegang pada waktu yang sama. Memang benar, mati adalah hal yang sangat mudah dalam Dead Cells. Tapi game ini juga membekali Anda dengan segudang senjata maupun gadget yang begitu variatif, Anda akan merasa bagaikan sedang menjadi Batman. Batman yang terjebak di dalam neraka, mungkin.

Dalam permainan, Anda hanya boleh membawa lima perlengkapan, terdiri dari dua jenis senjata, dua jenis gadget, dan satu aksesoris. Dua senjata itu bisa terdiri dari satu pedang dan satu tameng, atau dua buah pedang, atau satu pedang dan satu panah, atau dua panah, bahkan dua tameng bila Anda mau. Ragam senjatanya pun begitu luas. Tak hanya pedang, panah, dan tameng, ada juga tombak, cambuk, pisau, palu, sepatu, bumerang, bahkan The Force.

Dead Cells | Screenshot 7

Gadget (sebetulnya istilah asli dalam Dead Cells adalah Skill, tapi saya lebih suka menyebutnya gadget) yang tersedia pun tak kalah luas. Bermacam-macam granat, jebakan, ranjau, serta kemampuan spesial ada di sini. Dengan pemilihan gadget yang tepat Anda bisa membuat semua musuh tak berdaya, tapi tentu itu semua tergantung dari bagaimana Anda menggunakannya.

Dead Cells memaksa pemainnya untuk berpikir dan mengambil keputusan-keputusan sulit sepanjang permainan. Pasalnya, semua senjata dan gadget hanya bisa Anda dapat secara acak. Anda harus pintar memilih mana saja benda yang harus Anda bawa, yang sesuai dengan gaya permainan Anda, agar Anda dapat mengalahkan lawan-lawan secara optimal.

Dead Cells | Screenshot 8

Sinergi merupakan kata kunci penting di sini. Bisa saja Anda menemukan satu senjata dahsyat yang langka, tapi bila senjata itu tidak sinergis dengan gadget dan Mutation Anda, mungkin lebih baik buang saja. Mutation yang Anda pilih juga akan berpengaruh besar, karena Anda terbatas hanya bisa menggunakan tiga jenis Mutation. Keberuntungan tak bisa diprediksi, tapi bagaimana Anda memanfaatkan apa yang Anda punya, itulah yang menjadi penentu kesuksesan.

Bukan untuk semua orang

Dead Cells adalah game seru yang sangat memacu adrenalin. Kesenangan melakukan eksplorasi sambil melibas monster-monster dengan gabungan aksi heroik dan taktik benar-benar menimbulkan rasa candu. Persis seperti makan sambal, sebetulnya menyakitkan namun susah berhenti karena enak.

Dead Cells | Screenshot 9

Tak semua orang doyan makan sambal. Begitu pula tak semua orang cocok memainkan Dead Cells. Struktur permainan roguelike bisa membuat orang frustasi karena mereka harus mengulang dari awal lagi bila mati. Selera humor dalam ceritanya tidak cocok untuk orang yang anti pikiran-pikiran negatif. Kesulitannya yang tinggi pun memberikan tantangan baik kepada otak maupun jari-jemari kita.

Sesuai dengan tiga game yang menginspirasinya, Dead Cells hanya cocok untuk orang yang menyukai game setipe Rogue, Castlevania, dan Dark Souls sekaligus. Bila Anda merasa bagian dari kelompok itu, Dead Cells akan membawa Anda ke dalam pengalaman yang adiktif walau menyakitkan, kejam namun indah dipandang, dan membuat Anda terdorong untuk mencoba lagi dan lagi.

Tapi bila Anda tidak termasuk di dalamnya, sebaiknya jauh-jauh saja.

Sparks

  • Animasi pixel art yang mulus, setiap aksi terasa berbobot dan memuaskan
  • Cerita misterius, penuh dark humor serta referensi ke elemen pop culture lain
  • Desain level walau prosedural tetap terasa menarik untuk dieksplorasi
  • Progresi tidak linear, jalur-jalur rahasia dapat membawa Anda ke level berbeda bahkan bos musuh berbeda pula
  • Variasi senjata dan gadget sangat luas, menghasilkan segudang kemungkinan strategi berbeda
  • Sound effect didesain brilian, membuat setiap aksi terasa lebih epik dari kelihatannya

Slacks

  • Desain roguelike yang memaksa mengulang ke level pertama bisa memunculkan rasa frustrasi