Mengenal Platform Digitalisasi Ritel YOBO

Aktivitas offline kembali merebak selepas pandemi. Setelah peritel “dipaksa” masuk ke platform online demi menjangkau konsumen, kini mereka dapat bernapas lega kembali mengaktifkan gerai-gerainya untuk berinteraksi langsung. Walau begitu, peritel ini masih banyak yang belum bisa memahami konsumennya dan cara menariknya mau berkunjung ke gerai.

Steven Kim (CEO) bersama Jaeyoun Doh (CTO) menangkap kekosongan tersebut dengan merintis YOBO, platform perdagangan dan pembayaran (commerce and payment platform) yang memanfaatkan teknologi untuk mengumpulkan data, memberikan pengalaman konsumen yang lebih baik, dan mendorong pertumbuhan bisnis. Solusi tersebut berbasis digital, tidak memerlukan aplikasi yang harus diunduh oleh konsumen ataupun peritel.

“Kami membantu mereka membawa bisnisnya ke online, mendapatkan data konsumen seperti: siapa konsumen VIP-nya? Siapa yang paling rutin berkunjung? Data tersebut kami proses dari EDC yang sudah terhubung dengan reward untuk diberikan ke konsumen,” terang Co-founder YOBO Steven Kim saat ditemui DailySocial.id.

YOBO merupakan kepanjangan dari Your Own Business Online, diracik oleh Kim bersama Doh dan tim pada saat pandemi tengah berlangsung. Produk YOBO itu sendiri sudah live sejak pertengahan Juni 2023, dimanfaatkan sejumlah peritel yang tersebar di mal-mal seantero Jakarta.

Kim sebelumnya merupakan pendiri Qraved, pernah menduduki posisi penting di Rocket Internet SEA dan Zalora. Sementara perusahaan Doh sebelumnya adalah Itemku yang diakuisisi oleh Bukalapak pada Mei 2021.

Produk YOBO

Kim menjelaskan, produk YOBO adalah platform reward berbasis nomor handphone di EDC. Dari mesin EDC yang digunakan peritel, akan dikumpulkan data pelanggan saat pembayaran terjadi. Data tersebut diolah untuk mendapatkan insight yang dapat digunakan untuk meracik strategi promosi berikutnya.

YOBO

Berbeda dengan program reward yang dihadirkan oleh peritel, umumnya konsumen perlu mengunduh aplikasi reward dan memberi tahu kasir nomor pelanggan mereka untuk mengumpulkan poin yangloy dapat ditukar kemudian hari. Namun, cara tersebut belum tentu sukses karena tingkat churn yang tinggi. Unduhan hanya akan tinggi ketika terjadi promosi saja. Belum lagi investasi yang harus dikeluarkan bisnis untuk pengembangan aplikasi dan meracik promosi tergolong tidak murah.

Oleh karenanya, alur konsumen saat bertransaksi di tenant yang sudah memakai solusi YOBO sedikit berbeda. Perusahaan bekerja sama langsung dengan pengelola mal tersebut, sebelum mengajak tenant-tenantnya mengadopsi solusi YOBO.

Nantinya di dalam mal akan tersedia banner/spanduk berisi promosi dari tenant, sekaligus kode QR yang dapat dipindai pengunjung. Ketika dipindai, pengunjung akan dibawa ke situs mal tersebut dan diminta untuk memasukkan nama dan nomor handphone sebelum menerima informasi lainnya yang dikirim melalui WhatsApp.

Setelah sukses, secara otomatis konsumen akan menerima pesan dari WhatsApp, informasi mengenai direktori mal, melihat penjualan dan promosi berlangsung, hingga acara yang sedang berlangsung di mal.

“Karena banyak pengunjung yang saat masuk ke mal itu tidak tahu mau ke mana, promosi apa saja yang dapat mereka terima, dan benefit lainnya. Jadi kami ini tanpa aplikasi, pengalaman baru ini bagus untuk pengunjung karena semua informasi dikirim ke WhatsApp, yang mana mereka lebih sering buka WhatsApp daripada aplikasi lain untuk dapat informasi.”

DailySocial.id pun turut serta merasakan pengalaman saat berkunjung ke Ashta, SCBD Jakarta. Setelah memindai banner promosi yang berisi kode QR, terdapat promosi gratis minum yang disediakan oleh Saturdays, salah satu peritel yang sudah bermitra dengan YOBO.

Begitu sampai di gerai, pelayan memberi tahu persyaratan yang harus dilakukan untuk penukaran promo tersebut, yakni cukup dengan belanja salah satu menu makanan di sana. Mesin EDC milik Saturdays akan meminta nomor handphone konsumen sebelum kode QRIS muncul untuk pembayarannya.

“Dari mal dan tenant sekarang sudah punya satu konsumen baru, yang dapat dikirim pesan lagi berisi promosi lainnya untuk mengajak konsumen tersebut kembali datang.”

Kim juga memastikan keamanan data pengunjung tidak akan disebar ke pihak lainnya, hanya pengelola mal dan tenant sajalah yang dapat mengaksesnya.

YOBO

Tidak hanya kemudahan di atas, YOBO juga akan memberikan akses dasbor CRM kepada bisnis untuk monitor basis data  konsumen, serta memberikan rekomendasi promosi apa yang tepat, disertai dengan pesan yang terpersonalisasi dan terukur.

“Banyak bisnis yang ingin punya solusi manajemen data, manajemen konsumen, business intelligence, project management, ads analysis. Tapi ini semua mahal karena harus rekrut orang, belum lagi ada risiko hasilnya tidak sepadan.”

Strategi monetisasi

Pendekatan YOBO ini terinspirasi dari kesuksesan Square, startup asal Amerika Serikat. Di sana, sejak Covid-19 pertumbuhan bisnis pembayaran dan teknologi bisnis untuk sektor F&B dan ritel telah berkembang pesat. Square sendiri adalah perusahaan pembayaran yang menyediakan produk POS.

Berbeda dengan Indonesia, para pemain POS kebanyakan menjual solusinya dengan berlangganan untuk memanfaatkan mesinnya dan benefit lainnya. Alhasil, ada biaya tetap yang harus dikeluarkan peritel, sementara tidak ada jaminan penjualan tetap tinggi setiap waktu.

“Sementara banyak bisnis yang belum memikirkan bagaimana strategi promosinya, sebab selama ini pemain e-wallet, seperti Gopay yang kasih cashback. Sementara sekarang mereka sudah tidak berikan promosi besar-besaran lagi. Bagaimana mereka bisa tahu siapa konsumen VIP, benefit apa yang perlu diberikan agar sering datang, itu tidak pernah terpikirkan.”

Oleh karena itu, monetitasi yang diambil YOBO hanya berasal dari biaya layanan sebesar 2,9% untuk setiap transaksi yang sukses terjadi di tenant. Ongkos tersebut terbilang lebih terjangkau daripada peritel harus mengadopsi banyak solusi dan merekrut orang baru.

Terlebih itu, peritel pun tidak harus menggunakan mesin EDC khusus dari YOBO, walau perusahaan bekerja sama dengan salah satu pemain POS lokal sebagai penyedianya. Perusahaan memilih untuk agnostik, alias solusinya bisa terhubung dengan berbagai penyedia POS, baik yang sudah digital (iSeller, Majoo, ESB, Moka) maupun konvensional, seperti Quinos, Raptor, dan Micros.

“YOBO adalah perusaahaan dengan pergerakan uang yang tinggi dan selalu meningkat tiap bulannya karena punya unit economics yang jelas. Semua pendapatan kami di dapat dari setiap transaksi yang sukses. Jadi tenant hanya membayar kami dari transaksi yang sukses, tanpa ada biaya upfront untuk berlangganannya.”

Sisi agnostik lainnya juga berlaku untuk target pengguna YOBO, tidak hanya untuk bisnis kuliner saja, tapi juga dari vertikal lainnya, yakni fesyen, skincare, supermarket, salon, gym, hingga otomotif.

Rencana selanjutnya

Kim memastikan saat ini perusahaan masih memfokuskan diri pada peritel offline dengan menjaring sebanyak-banyaknya pengelola mal menjadi penggunanya. Ditargerkan setidaknya dapat menambah 50 mal lagi sepanjang tahun ini. Adapun sekarang, perusahaan sudah bekerja sama dengan Asri Group, pengelola mal Ashta, MOI, PIK Avenue, Hub Life, dan Grand Galaxy Park.

Selanjutnya dari Pakuwon Group, pengelola Kota Kasablanka dan Gandaria City, serta Lippo Group, pengelola Spark Senayan dan Lippo Mall Puri. Rencananya mal-mal lainnya yang dikelola grup besar ini akan dijaring hingga nantinya YOBO dapat beroperasi di seluruh Indonesia.

Beberapa peritel yang sudah memanfaatkan solusi YOBO, di antaranya berasal dari Boga Group, Saturdays, Goobne, Social Affair, Baker Man, Xi Bo Ba, dan masih banyak lagi.

Untuk mewujudkan rencana tersebut, saat ini YOBO sedang menggalang pendanaan tahap awal. Adapun saat ini YOBO sudah mengantongi pendanaan pra-awal dari sejumlah investor dan angel investor, salah satunya DS/X Ventures.

“Kami mencari investor strategis yang kuat di pengalamannya dan punya jaringan yang kuat di dunia ritel offline agar selaras dengan bisnis kami saat ini.”

Kim juga membuka kemungkinan untuk menyasar peritel dari kalangan UMKM.  Walau belum bisa ditentukan kapan waktunya, menurutnya potensi yang ditawarkan dari segmen bisnis ini juga menjanjikan. Segmen ini umumnya punya tantangan berbeda karena kebanyakan masih berfokus pada peningkatan bisnis, belum pada retensi konsumen.

“Jadi dengan pendekatan top down, ketika ini sukses, pola pikir para UKM akan berubah. Jika mereka melihat grup besar seperti Boga Group sudah pakai, maka mereka akan terpengaruh.”

Masa depan Qraved

Terkait Qraved, Kim menuturkan pandemi “sukses” menghantam bisnis Qraved sebagai platform direktori kuliner karena monetisasinya mengandalkan pemasangan iklan oleh pebisnis. Tak hanya Qraved yang kesulitan, bahkan Zomato menutup bisnisnya di Indonesia.

Namun bukan begitu platform seperti ini tidak lagi relevan dengan perkembangan terkini, hanya lebih sulit untuk bertahan karena sebagian besar bisnis tidak punya budget pemasaran yang berlebih.

Saat ini, startupnya tersebut sedang masa jeda (paused), bukan berarti bakal tutup. Lantaran sebagian besar sumber daya diarahkan untuk pengembangan YOBO, dengan jumlah tim saat ini sekitar 15 orang. Kendati begitu ia belum bisa memastikan kapan setidaknya Qraved bisa dihidupkan kembali.

“Mungkin kuartal empat ini atau tahun depan, yang pasti kami akan hidupkan kembali. Sejujurnya belum tahu juga nanti akan tetap sebagai discovery platform atau bukan. Yang kami lihat sejauh ini kami banyak terima permintaan dari konsumen kapan akan update, sebab saat ini pilihan terakhir untuk discovery makanan itu dari Google Maps saja, sementara Zomato sudah tutup di sini.”

Sebagai catatan, Qraved sudah beroperasi sejak 2013. Saat itu, pesaing terbesarnya adalah Zomato dan pemain lokal, PergiKuliner. Sama dengan Qraved, Zomato juga hadir di Indonesia pada 2013.

Disclosure: DS/X Ventures merupakan bagian dari grup DailySocial.id

[Video] Menyimak Pertumbuhan Bisnis Platform “Discovery” dan “Reward” Belanja

DailySocial bersama Galuh Chandra Kirana, Country General Manager ShopBack Indonesia, berbincang tentang layanan ShopBack di Indonesia untuk membantu brand, UMKM, dan konsumen untuk berbelanja secara pintar.

Sejak awal hadir, sejumlah tantangan terus dihadapi ShopBack. Galuh mengaku ada beberapa strategi agar mereka bisa menjadi favorit pengguna masyarakat Indonesia.

Untuk video menarik lainnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV.

Mfun Tingkatkan Ekosistem Game Lokal Melalui Platform Reward Berbasis Blockchain

Mfun, platform reward berbasis blockchain, resmi diperkenalkan di Indonesia. Platform ini membawa sejumlah misi untuk mendorong daya saing ribuan pengembang game lokal serta memberikan dukungan penuh terhadap penggunanya di Indonesia.

Platform ini menawarkan solusi terhadap berbagai masalah yang kerap ditemui oleh para pengembang lokal di Tanah Air. Misalnya, efisiensi terhadap belanja iklan digital dan biaya-biaya lain pada pihak ketiga.

Founder Mfun Brian Fan menilai pengembang game lokal sulit bersaing dengan pengembang luar karena sejumlah faktor. Misalnya, belanja iklan digital yang dikeluarkan terkadang tidak tersasar dengan tepat sampai kepada targetnya.

“Belanja advertising itu tidak jelas return of investment (ROI), berapa user yang tersasar. Semua (biaya yang dikeluarkan) larinya ke advertiser, seperti Facebook dan Google. Belum lagi, payment provider sebagai pihak ketiga, itu mematok fee besar,” ujar Fan ditemui pada konferensi pers Mfun, Selasa (9/5/2018).

Saat ini pengembang game lokal baru bisa berkontribusi sebesar 1,8 persen terhadap total nilai bisnis industri ini. Sementara dari sisi penggunanya, lanjut Fan, gamer dinilai tidak mendapat reward atau imbalan atas waktu dan uang yang mereka habiskan untuk bermain dan membeli aplikasi.

Padahal Indonesia merupakan salah satu pasar game terbesar di dunia dengan jumlah gamer mencapai 43,7 juta pengguna. Indonesia juga menjadi pasar terbesar di Asia Tenggara untuk usual gaming dengan nilai bisnis mencapai US$ 500 juta.

“Pengguna justru dipaksa untuk menonton video hingga mengisi survei demi mendapatkan reward. Belum lagi privasi data terancam dengan potensi penyalahgunaan data pribadi,” tambah Fan.

Platform ini menawarkan solusi di mana pengembang lokal dan pengguna sama-sama mendapatkan keuntungan. Bagi pengembang, mereka tidak perlu mengeluarkan belanja iklan besar karena budget yang dikeluarkan diyakini akan langsung menjangkau pengguna yang disasar.

Pengguna yang memainkan game lokal di platform ini berpeluang mendapat reward dalam bentuk mata uang digital (cryptocurrency). Cryptocurrency ini menjadi token Mfun yang dapat dipakai untuk melakukan pembelian di dalam aplikasi (in-app purchase) di sejumlah game di platform Mfun.

Platform Mfun direncanakan meluncur secara komersial pada kuartal keempat tahun ini. Untuk membangun ekosistem digital ini di Indonesia, Mfun bermitra secara eksklusif dengan Agate Studio, Duniaku Network, dan Yogrt.

Kolaborasi ini akan menghubungkan lebih dari 20 juta pemain game di seluruh Indonesia mengingat Agate memiliki 6 juta basis pengguna, Duniaku Network 6 juta basis pengguna, dan aplikasi Yogrt dengan 8 juta pengguna.

“Bisa dibilang, kami adalah platform pertama di dunia yang mengadopsi teknologi blockchain untuk untuk sistem reward game kepada pengguna,” tutur BP Tang, co-founder Mfun.

Model bisnis lebih direct

Dalam kesempatan sama, Ricky Setiawan, CEO Duniaku Network, mengungkapkan bahwa ekosistem digital di Tanah Air belum sepenuhnya optimal. Pasalnya, pengembang game di Indonesia pada 2015 hanya bisa meraup 2 persen pangsa pasar, di mana game publisher hanya 6 persen.

“Dengan menggunakan blockchain, platform Mfun membuat sistem insentif menjadi lebih direct langsung ke publisher dan pengembang game. Ini akan mendorong pertumbuhan industri game di Indonesia,” ungkap Ricky.

Soal model bisnis, Mfun mengambil 5 persen sebagai fee-nya, sedangkan 95 persen masuk ke kantong pengembang game, publisher, dan pengguna.

Sebagai contoh, apabila pengguna ingin membeli in-app purchase senilai $1, Mfun akan mendapatkan $0,05 dari total nilai sebagai biaya transaksi . Sementara, publisher dan pengembang akan menerima USD 0,95.

Sebaliknya, apabila pengembang atau publisher mengeluarkan $1 untuk beriklan, Mfun akan menerima $0,05 sebagai biaya transaksi. Sementara, sesuai sistem reward berbasis machine learning, pengguna akan meraup $0,95.

“Kalau user beli in-app purchase, pakai pihak ketiga, settlement uangnya sampai ke pengembang bisa makan waktu 60-90 hari. Begitu juga saat pengembang beriklan di Facebook dan Google, belum tentu budget yang dikeluarkan tepat sasaran, user dapat zero,” jelas Fan.