Zynga Rilis FarmVille 3 untuk iOS dan Android, Pemasukan Wild Rift Tembus US$150 Juta

Zynga meluncurkan FarmVille 3 untuk iOS dan Android pada minggu lalu. Sementara itu, Sensor Tower mengungkap, Harry Potter: Magic Awakened berhasil mendapatkan US$228 juta hanya dalam waktu 2 bulan sejak dirilis. Dalam laporan keuangan terbarunya, Nintendo menyebutkan bahwa mereka berhasil menjual 8,3 juta Switch dalam 6 bulan. Namun, mereka menurunkan perkiraan penjualan Switch di masa depan.

Zynga Rilis FarmVille 3 untuk iOS dan Android

Zynga baru saja meluncurkan FarmVille 3 untuk iOS dan Android. Salah satu fitur dalam game tersebut adalah animal husbandry. Melalui fitur itu, para pemain akan bisa mengawinkan binatang ternak. Selain itu, Marie — yang menjadi pekerja ladang di FarmVille 2 — juga akan hadir kembali di FarmVille 3. Zynga mengatakan, selain Marie, pemain akan menemukan beberapa pekerja ladang lain. Masing-masing pekerja ladang akan memiliki skills dan cerita yang berbeda-beda. Beberapa fitur lain yang ada di FarmVille 3 antara lain kendali cuaca, ladang yang bisa dikustomisasi, serta fitur co-op untuk bertukar hasil bercocok tanam, lapor VentureBeat.

2 Bulan Setelah Rilis, Harry Potter: Magic Awakened Dapatkan $228 Juta

Total pemasukan Harry Potter: Magic Awakened dari App Store dan Play Store telah menembus US$228 juta, menurut data dari Sensor Tower. Padahal, game itu baru diluncurkan dua bulan lalu. Mobile game tersebut diluncurkan oleh NetEase pada 9 September 2021 di beberapa negara Asia, termasuk Tiongkok, Hong Kong, Taiwan, dan Macau. Sekarang, game itu telah menjadi mobile game dari franchise Harry Potter dengan pemasukan terbesar kedua, menurut laporan GamesIndustry.

Harry Potter: Magic Awakened jadi game Harry Potter terlaris kedua.

Sebagai perbandingan, mobile game Harry Potter dengan pemasukan tertinggi adalah Hogwarts Mystery dari Jam City. Sejak diluncurkan pada April 2018, game tersebut telah mendapatkan US$342 juta. Sementara itu, mobile game Harry Potter yang punya pemasukan terbesar ketiga adalah Harry Potter: Puzzle & Spells dari Zynga. Diluncurkan pada September 2020, pemasukan game itu kini mencapai US$135 juta.

Dalam 6 Bulan, Nintendo Jual 8,3 Juta Switch

Nintendo berhasil menjual 8,3 juta Switch dalam kurun waktu 6 bulan, yaitu sejak Maret hingga September 2021. Dalam laporan keuangan terbarunya, perusahaan Jepang itu mengungkap, total pemasukan mereka mencapai US$6,73 miliar, naik dari US$5,46 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Sementara keuntungan perusahaan naik dari US$1,5 miliar menjadi US$1,86 miliar.

Walau pemasukan mereka naik, Nintendo memutuskan untuk menurunkan estimasi penjualan Switch untuk tahun fiskal ini, yang berakhir pada 31 Maret 2022. Sebelum ini, mereka memperkirakan bahwa angka penjualan Switch  akan mencapai 25,5 juta unit. Sekarang, angka itu turun menjadi 24 juta unit, lapor VentureBeat.

Niantic Bakal Tutup Harry Potter: Wizards Unite di 2022

Developer Niantic mengumumkan bahwa mereka akan menutup Harry Potter: Wizards Unite pada Januari 2022. Dalam sebuah blog post, mereka menyebutkan, game AR tersebut akan dihapus dari App Store, Play Store, dan Galaxy Store per 6 Desember 2021. Namun, game itu masih akan bisa dimainkan hingga 31 Januari 2022, lapor GamesIndustry. Selain itu, Niantic juga berencana untuk menutup game lain, yaitu Catan: World Explorers.

Niantic justru memutuskan untuk menutup Harry Potter: Wizards Unite.

“Tidak semua game harus beroperasi selamanya,” tulis Niantic. “Tujuan kami membuat Harry Potter: Wizards Unite adalah untuk menampilkan sihir dari dunia Harry Potter pada jutaan orang ketika mereka keluar dari rumah dan menjelajah lingkungan mereka. Kami berhasil merealisasikan hal tersebut: kami menampilkan cerita yang telah berlangsung selama dua tahun. Dan sebentar lagi, cerita itu akan berakhir.”

Pemasukan League of Legends: Wild Rift Tembus US$150 Juta

Sejak diluncurkan pada Oktober 2020, League of Legends: Wild Rift dari Riot Games telah mendapatkan pemasukan sebesar lebih dari US$150 juta, berdasarkan data dari App Annie. Dua negara yang memberikan kontribusi terbesar pada pemasukan Wild Rift adalah Amerika Serikat dan Brasil.

Wild Rift berhasil mendapatkan US$150 juta dalam waktu 370 hari. Sebagai perbandingan, Honor of Kings dari Tencent mencapai pencapaian tersebut dalam waktu 249 hari, sementara Arena of Valor 543 hari. Mobile MOBA lain, Mobile Legends: Bang Bang membutuhkan 670 hari untuk mendapatkan pencapaian itu, menurut laporan GamesIndustry.

Moonton Bakal Gelar M3 World Championship di Singapura, Cloud9 Gandeng Serena Williams

League of Legends World Championships 2021 telah berakhir pada akhir pekan lalu, Edward Gaming, tim asal Tiongkok, keluar sebagai juara. Kemenangan tersebut disambut dengan meriah oleh fans Tiongkok. Pada Minggu lalu, Moonton juga mengumumkan bahwa M3 World Championship akan diadakan pada Desember 2021 di Singapura. Kompetisi itu menawarkan total hadiah hingga hampir tiga kali lipat dari M2. Sementara itu, Riot Games mengungkap bahwa divisi esports mereka masih belum mendapatkan untung. Namun, mereka menganggap bahwa hal itu bukanlah masalah.

M3 World Championship Bakal Diadakan di Singapura

Moonton mengumumkan bahwa Mobile Legends M3 World Championship bakal digelar di Singapura pada 6-19 Desember 2021. Kompetisi itu akan mengadu 16 tim Mobile Legends terbaik dari seluruh dunia, termasuk tim-tim dari Timur Tengah, Amerika Utara, Amerika Latin, dan Turki. Skena esports Mobile Legends di kawasan tersebut relatif lebih baru jika dibandingkan dengan skena Mobile Legends di Indonesia dan negara-negara tetangga.

Total hadiah dari M3 World Championship mencapai US$800 ribu, hampir tiga kali lipat dari total hadiah M2 World Championship, yang hanya menawarkan US$300 ribu. Menurut laporan Strait Times, M3 World Championship digelar dengan dukungan Singapore Tourism Board (STB).

Cloud9 Kerja Sama dengan Serena Williams

Organisasi esports asal Amerika Utara, Cloud9, baru saja mengumumkan kerja sama dengan pemain tennis legendaris, Serena Williams. Dengan bantuan Wolliams, Cloud9 akan mengubah program pengembangan anak muda mereka, Training Grounds, menjadi kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Dalam program tersebut, Williams akan mengisi sesi bertajuk “Training Grounds Champion’s Mindset”. Di sini, Williams akan menjelaskan perubahan pola pikir dan latihan yang membantunya untuk mengembangkan karir sebagai atlet profesional. Pelatihan tersebut juga akan mencakup tips untuk pemain esports muda, menurut laporan Esports Insider.

Cloud9 dan Serena Williams akan bekerja sama dalam Training Grounds. | Sumber: Esports Insider

Divisi Esports Riot Games Masih Belum Menghasilkan Untung

Divisi esports League of Legends belum memberikan untung untuk perusahaan. Hal ini diungkapkan oleh Head of Esports Riot Games, John Needham pada The Washington Post. Meskipun begitu, Needham mengatakan, Riot tidak keberatan dengan hal itu. Dia menjelaskan, dalam beberapa tahun belakangan, Riot tengah berusaha untuk menjadikan divisi esports sebagai bisnis mandiri yang berdiri secara terpisah. Namun, fokus dari bisnis esports itu bukanlah untuk mendapatkan untung bagi Riot, tapi untuk memastikan bahwa tim-tim profesional League of Legends bisa bertahan dan diuntungkan.

“Jika saya tidak bisa membuat esports sebagai bisnis yang menguntungkan untuk tim dan sponsor kami, kami tidak akan bisa bertahan lama,” kata Needham, seperti dikutip dari GamesIndustry. “Kami tengah memikirkan cara untuk membuat keseluruhan ekosistem esports menjadi menguntungkan.” Ketika Riot pertama kali mengadakan kompetisi esports, tujuan mereka memang bukan untuk mendapatkan untung, tapi sebagai alat marketing. Namun, sekarang, Needham berkata, Riot ingin agar operasi esports mereka setidaknya bisa balik modal.

Kemenangan EDG di League of Legends World Championships Disambut Meriah oleh Fans

Edward Gaming (EDG), tim asal Tiongkok berhasil mengalahkan DWG Kia asal Korea Selatan, di babak final League of Legends World Championships. Kemenangan EDG tersebut disambut dengan meriah oleh fans League of Legends di Tiongkok. EDG menjadi tim Tiongkok ketiga yang berhasil memenangkan Worlds. Sebelum ini, FunPlus Phoenix memenangkan Worlds pada 2019 dan Invictus Gaming pada 2018.

Edward Gaming berhasil bawa Summoner’s Cup ke Tiongkok. | Sumber: Twitter

“Semua orang berpikir bahwa mereka tidak akan menang,” kata fan esports, Jasmine Lu pada South China Morning Post. “Hampir semua perkiraan yang beredar menyebutkan bahwa mereka akan kalah. Jika saya masih kuliah, saya akan ikut merayakan kemenangan EDG. Kemengan itu membuktikan bahwa orang-orang yang meragukan kemampuan EDG salah”

Platform Latihan Esports untuk Siswa SMA Dapat Investasi US$1,85 Juta

Saat ini, semakin banyak sekolah yang menekuni esports. Menyadari hal ini, Gavin Lee, co-founder dari Gwoop, tertarik untuk menyediakan platform latihan/analisa esports untuk tim esports SMA. Dan hingga sekarang, Gwoop telah mendapatkan investasi sebesar US$1,85 juta. Tak hanya itu, mereka juga telah bekerja sama dengan sekitar 1.000 sekolah yang tersebar di 40 negara bagian Amerika Serikat, menurut laporan TechCrunch.

Dalam beberapa bulan belakangan, Gwoop membangun fitur yang disebut “Gwoop Teams”. Fitur tersebut memudahkan pelatih untuk mengatur sesi latihan para pemain asuhannya. Tak hanya itu, melalui Gwoop Teams, pelatih juga bisa memeriksa apakah para pemain memang melakukan latihan sesuai arahannya dan apakah performa para pemain mengalmai peningkatan seiring dengan waktu. Versi standar dari Teams bisa digunakan secara gratis. Melalui versi standar, pelatih akan bisa memasukkan data hingga 30 pemain dan 2 tim. Jika dirasa kurang, Gwoop menyediakan versi Team Plus, yang mencakup hingga 150 pemain dan menambahkan jumlah tim yang bisa dipantau. Biaya Team Plus adalah US$350 per tahun.

Xepher dan Whitemon Bertahan di T1, Pokimane Jadi Co-owner EVO

Ada sejumlah berita menarik di dunia esports pada minggu lalu. Salah satunya, T1 mengumumkan bahwa mereka akan mempertahankan keseluruhan roster Dota 2 mereka. Selain itu, Pokimane juga mengungkap bahwa dia merupakan co-founder dari RTS, menjadikannya sebagi salah satu pemilik dari turnamen fighting game EVO. Masih di minggu lalu, DWG KIA bertemu dengan T1 di babak semi-final LWC 2021. Pertandingan itu ditonton oleh lebih dari 3,5 juta orang. Tak hanya itu, Riot Games juga mengumumkan kerja sama mereka dengan Amazon Prime Gaming.

Pokimane Jadi Salah Satu Pemilik Turnamen Fighting Game EVO

Pada minggu lalu, streamer Twitch Imane “Pokimane” Anys mengatakan, dia adalah salah satu pendiri dari RTS, perusahaan konsultasi brand dan manajemen talent. Di perusahaan itu, dia juga menjabat sebagai Chief Creative Officer. Hal itu berarti, Pokimane juga merupakan co-owner dari EVO, turnamen fighting game terbesar di dunia.

Seperti yang disebutkan oleh PC Gamer, RTS membeli EVO di Maret 2021. Sekarang, RTS menggelar EVO bersama dengan Sony. Sebagai co-founder dari RTS, Pokimane juga menjadi co-owner dari EVO, menurut laporan NME. EVO pertama kali diadakan pada 1996. Ketika itu, turnamen tersebut dinamai Battle By The Bay. Nama kompetisi diganti menjadi EVO pada 2002. Nama EVO terus digunakan sampai saat ini.

T1 Perbarui Kontrak dengan Tim Dota 2

T1 mengumumkan bahwa mereka akan mempertahankan tim Dota 2 mereka. Buktinya, mereka kembali menandatangani kontrak dengan Kuku, 23savage, Xepher, Whitemon, dan Karl. T1 merupakan organisasi esports asal Korea Selatan yang dikenal dengan tim League of Legends mereka. Mereka baru mencoba untuk bertanding di skena esports Dota 2 pada Agustus 2019. Namun, tim Dota 2 T1 baru menuai sukses pada Dota Pro Circuit (DPC) 2021. Tak hanya turnamen Major, tim Dota 2 T1 juga berhasil masuk ke The International. Namun, pada akhirnya, mereka harus puas untuk duduk di peringkat tujuh, menurut laporan Dot Esports.

Amazon Prime Gaming Kolaborasi dengan Riot Games

Amazon Prime Gaming mengumumkan kerja sama mereka dengan Riot Games. Melalui kerja sama ini, orang-orang yang berlangganan Amazon Prime akan mendapatkan item in-game eksklusif dan item kosmetik di game-game Riot, termasuk League of Legends, Wild Rift, VALORANT, dan Legends of Runeterra. Untuk mendapatkan item tersebut, Anda bisa menghubungkan akun Riot dengan Amazon Prime, lapor Esports Insider.

Selain itu, Prime Gaming juga akan menjadi sponsor global untuk kompetisi esports dari game-game Riot, termasuk kompetisi League of Legends di Amerika Utara dan Eropa, Timur Tengah, dan Afrika (EMEA). Kerja sama antara Amazon Prime dan Riot akan berjalan sepanjang 2022. Sebelum kerja sama ini, pelanggan Prime Gaming sebenarnya telah bisa mendapatkan item in-game di League of Legends sejak 2018. Namun, melalui kolaborasi baru ini, Prime Gaming juga akan menyediakan item untuk game-game Riot lainnya.

Pertandingan DWG KIA vs T1 Ditonton 3,5 Juta Orang

Pada akhir pekan kemarin, DWG KIA bertemu dengan T1 di babak semi-final League of Legends World Championship (LWC) 2021. Pada puncaknya, pertandingan itu ditonton oleh lebih dari 3,5 juta orang, menurut menurut data dari Esports Charts. Pertandingan antara DWG KIA dan T1 tidak hanya menarik karena ia merupakan babak semi-final dari LWC 2021, tapi juga karena dalam pertandingan itu, Faker — salah satu pemain terbaik di League of Legends — berhadapan dengan Showmaker, yang dianggap sebagai penerus Faker, menurut laporan Dot Esports. Pada akhirnya, DWG KIA berhasil mengalahkan T1 dengan skor 3-2.

DWG KIA bertemu dengan T1 di babak semi-final LWC 2021. | Sumber: Inven Global

Community Gaming Kerja Sama dengan Riot Games untuk Gelar VALORANT Elite Showdown

Platform turnamen esports, Community Gaming, menggandeng Riot Games untuk mengadakan VALORANT Elite Showdown. Kompetisi tier-2 itu bakal dimulai pada 5 November 2021 dan dapat diikuti oleh pemain-pemain dari Amerika Utara. Total hadiah yang ditawarkan oleh kompetisi itu adalah US$25 ribu. VALORANT Elite Showdown terbuka untuk umum. Dari babak kualifikasi terbuka, akan terpilih 32 tim untuk bertanding di babak utama, yang digelar pada 11 November 2021. Di babak utama, 32 tim yang lolos babak kualifikasi akan melawan 32 tim undangan, seperti Andbox, T1, NRG, Immortals, Complexity, Renegades, dan C9 White, menurut laporan Esports Insider.

ESL Gaming Kerja Sama dengan Platform NFT Immutable X

Penyelenggara turnamen esports ESL Gaming telah menandatangani kontrak kerja sama dengan platform bisnis NFT asal Australia, Immutable X. Melalui kerja sama ini, ESL Gaming akan meluncurkan platform NFT yang memungkinkan para fans untuk membeli, menjual, dan menukar aset ESL Pro Tour NFT, lapor Esports Insider. Berdasarkan rilis, fans dari ESL Pro Tour akan bisa membuat dan menukar NFT melalui Immutable X dengan cara yang aman dan ramah lingkungan.

Sumber header: The Verge

NothingToSay Menangkan US$5,2 Juta Bersama PSG.LGD, PSIS Semarang Rekrut Muhammad Abdul Aziz

Minggu lalu, PSIS Semarang mengumumkan bahwa mereka telah merekrut Muhammad Abdul Aziz untuk mewakili mereka dalam Indonesian Football e-League (IFeL) 2021. Sementara itu, Riot Games mengungkap bahwa pertandingan final dari League of Legends World Championship (LWC) 2021 akan disiarkan di puluhan bioskop di Eropa. Mereka juga menunjukkan cincin khusus yang akan dipersembahkan pada setiap anggota dari tim yang memenangkan LWC 2021.

Di TI10 NothingToSay Menangkan US$5.2 Juta dengan PSG.LGD

Pemain Dota 2 asal Malaysia, Cheng “NothingToSay” Jin Xiang berhasil menorehkan namanya dalam sejarah Dota 2 setelah sukses menjadi finalis dari The International 10 bersama PSG.LGD. Sayangnya, dia dan timnya harus bertekuk lutut di hadapan Team Spirit dan puas dengan gelar juara dua. Meskipun begitu, total hadiah yang didapatkan oleh PSG.LGD tetap cukup besar.

TI10 menawarkan total hadiah sebesar US$40 juta. Sebagai juara, Team Spirit mendapatkan US$18,2 juta. Sementara itu, PSG.LGD, yang menjadi runner-up, berhak untuk mendapatkan 13% dari total hadiah TI10 atau sekitar US$5,2 juta. Sayangnya, tidak diketahui berapa besar porsi yang didapatkan oleh NothingToSay. Sebelum TI10, total pemasukan NothingToSay sebagai pemain profesional adalah US$1,1 juta.

Saat ini, hanya ada satu pemain Malaysia yang pernah memenangkan TI, yaitu Wong “ChuaN” Hock Chuan, lapor IGN. Dia berhasil memenangkan TI pada 2012 bersama tim Tiongkok, Invictus Gaming. Dalam TI10, ada beberapa pemain asal Asia Tenggara yang ikut serta, selain NothingToSay. Dua di antaranya adalah pemain asal Indonesia, Kenny “Xepher” Deo dan Matthew “Whitemon” Filemon. Bersama dengan T1, keduanya berhasil menduduki peringkat 7-8 di TI10.

Kolaborasi dengan Mercedes-Benz, Riot Buat Cincin Khusus untuk Pemenang LWC 2021

Minggu lalu, Riot Games memamerkan cincin khusus yang dibuat untuk pemenang League of Legends World Championship (LWC) 2021. Riot menyebutkan, cinci ini akan menjadi lambang dari “prestige dan pencapaian tertinggi di esports“, menurut laporan Esports Insider. Desain dari cincin itu dibuat oleh Riot bersama dengan Mercedes-Benz.

Cincin hasil kolaborasi antara Riot Games dengan Mercedes-Benz.

Cincin tersebut terbuat dari emas putih 18 karat yang dihiasi dengan batu safir. Dengan begitu, cincin ini memiliki kombinasi warna yang sama dengan Summoner’s Cup, yaitu perak dan biru. Summoner’s Cup merupakan trofi yang diberikan untuk pemenang LWC. Trofi itu pertama kali diperkenalkan pada 2012.

Babak Final LWC 2021 Bakal Disiarkan di Bisokop Eropa

Selain cincin yang akan diberikan pada pemenang LWC 2021, pada minggu lalu, Riot Games juga mengumumkan bahwa pertandingan final dari League of Legends World Championship (LWC) 2021 akan disiarkan di bioskop. Pertandingan tersebut akan disiarkan pada 6 November 2021 di lebih dari 70 bioskop di Eropa. Saat ini, tiket untuk menonton pertandingan itu sudah bisa dibeli. Tentu saja, pertandingan final dari LWC 2021 juga akan tetap disiarkan di berbagai platform streaming, sama seperti tahun-tahun sebelumnya.

Untuk dapat menayangkan pertandingan final LWC 2021 di bioskop, Riot mendapatkan bantuan dari Piece of Magic dan National Amusements. Menurut Esports Insider, tren kolaborasi antara perusahaan bioskop dengan pelaku esports bukan hal baru. Belum lama ini, perusahaan bioskop asal Amerika Serikat, Cinemark, juga bekerja sama dengan perusahaan esports Mission Control untuk menampilkan pertandingan esports di AS. Sementara pada 2018, sejumlah bioskop di Inggris menampilkan pertandingan final dari IEM Katowice yang mempertemukan Fnatic dengan FaZe Clan.

Supercell Siapkan Mode dan Skin Khusus Halloween di Brawl Stars

Supercell menyiapkan skin dan mode khusus di Brawl Stars untuk merayakan Halloween. Hal ini diungkap dalam Brawl Talk yang diadakan pada minggu lalu. Salah satu mode khusus yang Supercell sediakan adalah invisibility. Sesuai namanya, invisibility membuat pemain menjadi tidak terlihat. Fitur invisibility ini akan aktif di semua mode. Fitur tersebut membuat semua pemain tidak tampak selama 7 detik setiap 10 detik. Di satu sisi, invisibility akan membantu pemain untuk menyelamatkan diri saat terdesak. Di sisi lain, fitur itu akan mempersulit pemain yang hendak membunuh pemain lain, menurut laporan Dot Esports.

Selain itu, Supercell juga menyiapkan skin bertema Halloween. Salah satu skin yang menjadi bagian dari Brawl-o-ween adalah Swamp Gene. Selain itu, Anda juga akan menemukan skin Ghost Squeak, Headless Rider Stu, dan Count Pengula.

PSIS Rekrut Muhammad Abdul Aziz untuk Bertanding di IFel 2021

PSIS Semarang merekrut Muhammad Abdul Aziz untuk mewakili mereka dalam Indonesian Football e-League (IFeL) 2021. Sebelum direkrut oleh PSIS Semarang, Abdul Aziz pernah mewakili DKI Jakarta di pertandingan eksibisi esports PON XX Papua. Manajer PSIS eSports, Mochamad Raviv Avari mengatakan, Abdul Aziz dipilih karena dia memiliki performa yang cukup bagus. Buktinya, dia berhasil masuk empat besar di PON.

IFeL akan digelar pada 30 Oktober 2021 sampai Desember 2021. Selain PSIS Semarang, liga sepak bola virtual itu juga akan diikuti oleh beberapa tim sepak bola Liga 1 Indonesia, seperti Arema, Bali United, Barito Putera, Bhayangkara FC, Borneo FC, Madura United, Persela, Persik, Persiraja, dan Persita, lapor Antara.

Sumber header: Dot Esports

Smash World Tour Championships Digelar Offline Pada 17-19 Desember 2021, FACEIT Kerja Sama dengan Gucci

Minggu lalu, muncul dua berita baru terkait skena esports Super Smash Bros. Pertama, Smash World Tour Championships akan diadakan secara offline pada Desember 2021. Kedua, FURIA asal Brasil baru saja menandatangani kontrak dengan pemain Super Smash. Sementara itu, Riot Games mengungkap bahwa mereka telah mengakuisisi Kanga. Selain itu, mereka juga memberikan informasi tentang perubahan pada League of Legends European Regional Leagues (ERL).

Smash World Tour Championships Diadakan Pada 17-19 Desember 2021

Smash World Tour Championships akan digelar pada 17-19 Desember di Orlando, Amerika Serikat. Kompetisi itu akan diadakan secara offline. Jadi, semua pemain yang telah lolos kualifikasi setelah bertanding di turnamen-turnamen regional Smash World Tour harus datang ke Orlando untuk memperebutkan total hadiah sebesar US$150 ribu. Setengah dari total hadiah tersebut akan menjadi total hadiah untuk kompetisi Ultimate, dan setengahnya lagi untuk Melee, seperti yang disebutkan oleh Dot Esports.

Selain para pemain yang telah lolos kualifikasi, para pemain Super Smash Bros. masih punya satu kesempatan terakhir untuk bertanding di SWT Championships. Last Chance Qualifier akan diadakan pada akhir pekan yang sama dengan SWT Championships. Pemain yang memenangkan LCQ akan bisa maju ke kompetisi utama.

Riot Games Akuisisi Kanga Demi Berikan Pengalaman yang Lebih Baik untuk Fans

Riot Games baru saja mengumumkan bahwa mereka telah mengakuisisi startup teknologi, Kanga. Dengan ini, Kanga akan masuk ke divisi Global Digital Esports milik Riot. Tugas mereka adalah untuk membuat pengalaman dan fitur baru bagi para fans dari game-game Riot. Sayangnya, tidak diketahui berapa nilai akuisisi ini.

Didirikan pada 2018, Kanga fokus untuk membuat “fan-hubs” yang menampilkan konten eksklusif, menjual merchandise, dan menjadi situs agregasi untuk video-video dari para streamers game. Semua konten yang ditampilkan oleh Kanga akan disesuaikan dengan selera pengguna, berdasarkan tim esports dan streamers game favoritnya, menurut laporan Esports Insider.

FURIA Rekrut Pemain Smash Ultimate, Griffin “Fatality” Miller

Organisasi esports asal Brasil, FURIA, punya pemain baru. Ialah Griffin “Fatality” Miller, pemain Smash Ultimate. Di kalangan komunitas Smash Ultimate, Miller dianggap sebagai salah satu pemain terbaik. Dia dikenal sebagai main Captain Falcon, lapor Clutch Points.

Griffin “Fatality” Miller baru saja menandatangani kontrak dengan FURIA. | Sumber: ClutchPoints

Keputusan FURIA untuk menggandeng Miller menunjukkan keseriusan mereka di skena esports Smash Bros. Tak hanya itu, kontrak FURIA dengan Miller menunjukkan keinginan organisasi esports asal Brasil itu untuk melebarkan sayap mereka ke pasar esports di Amerika Utara. Sebelum ini, FURIA dikenal sebagai organisasi esports yang fokus pada game-game FPS, seperti Countr-Strike: Global Offensive dan Rainbow Six Siege.

FACEIT dan Gucci Berkolaborasi untuk Kembangkan Ekosistem Esports

Penyelenggara turnamen esports FACEIT mengumumkan kerja sama mereka dengan merek luxury fashion Gucci. Melalui kolaborasi ini, kedua perusahaan akan fokus untuk mengembangkan komunitas esports di tingkat grassroot. Karena itu, FACEIT dan Gucci akan memusatkan perhatian mereka untuk menumbuhkan komunitas esports serta pengembangan diri para pemain esports.

Kerja sama ini bukan pertama kalinya Gucci menjajaki dunia esports. Pada 2020, Gucci bekerja sama dengan Fnatic untuk membuat jam tangan khusus. Selain itu, mereka juga pernah berkolaborasi dengan 100 Thieves untuk membuat pakaian, menurut laporan Esports Insider.

Riot Games Ungkap Perubahan untuk Liga League of Legends di Eropa

Selain akuisisi Kanga, minggu lalu, Riot Games juga mengungkap tentang perubahan yang mereka buat pada sistem League of Legends European Regional League (ERL). Mereka menyebutkan, mulai musim 2022, ERL akan terdiri dari lima liga regional yang terakreditasi. Kelima liga tersebut adalah Superliga di Spanyol, LFL di Prancis, NLC untuk kawasan Inggris, Irlandia, dan Nordik, Ultraliga yang mencakup Polandia, Latvia, Lithuania, dan Estonia, serta Prime League yang mengadu tim-tim dari Jerman, Austria, dan Swiss.

Hal itu berarti, beberapa liga nasional LOL di negara-negara Eropa — seperti PG Nationals di Italia, LPLOL di Portugis, dan liga di Belgia serta Belanda — masuk dalam kategori liga Non-Akreditasi. Menurut laporan Esports Insider, liga terakreditasi dan non-akreditasi akan punya format dan jadwal yang berbeda.

Daftar Turnamen Esports Terpopuler di September 2021

Daftar turnamen esports terpopuler di September 2021 diisi oleh kompetisi dari berbagai game esports, seperti dari Mobile Legends, League of Legends, Counter-Strike: Global Offensive dan VALORANT. Durasi waktu penyelenggaraan kompetisi itu pun beragam; ada yang hanya digelar selama beberapa hari dan ada pula yang berlangsung selama beberapa bulan.

Berikut daftar turnamen esports terpopuler pada September 2021, berdasarkan data dari Esports Charts.

5. MPL PH Season 8

Sekali lagi, Mobile Legends Professional League Philippines (MPL PH) Season 8 masuk dalam daftar kompetisi esports terpopuler pada bulan ini.  Hanya saja, pada September 2021, MPL PH S8 harus turun satu peringkat dari peringkat 4 pada pada Agustus 2021. Sepanjang MPL PH S8, pertandingan antara Omega dengan Nexplay EVOS berhasil menjadi pertandingan favorit penonton. Buktinya, pertandingan yang terjadi pada Minggu ke-2, Hari ke-3 itu berhasil mendapatkan peak viewers sebanyak 569 ribu orang. Sementara itu, pertandingan terpopuler ke-2 mempertemukan RSG Philippines dan Nexplay EVOS, dengan peak viewers sebanyak 517 ribu orang.

Lima tim dan pertandingan terpopuler sepanjang MPL PH S8. | Sumber: Esports Charts

Dalam MPL PH S8, Nexplay EVOS menjadi tim paling populer. Sejauh ini, tim tersebut berhasil mendapatkan 6,88 juta hours watched dan jumlah average viewers sebanyak 264,63 ribu orang. Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di atas, lima pertandingan terpopuler di MPL PH S8 selalu menampilkan Nexplay EVOS. Sementara itu, tim ONIC Philippines merupakan tim terpopuler ke-5. Tim berlambang landak kuning itu berhasil mengumpulkan hours watched sebanyak 3,54 jam dan jumlah average viewers sebanyak 149,58 ribu orang.

Sejak diadakan pada 27 Agustus 2021, MPL PH S8 telah disiarkan selama 104 jam. Liga esports itu berhasil mendapatkan total hours watched sebanyak 16,9 juta jam. Sementara itu, jumlah penonton rata-rata dari liga ini adalah 162,3 ribu orang. MPL PH S8 disiarkan di 3 platform utama, yaitu Facebook, YouTube, dan TikTok. Dari ketiga platform itu, Facebook menjadi platform yang paling populer, dengan jumlah peak viewers mencapai 292,5 ribu orang. Sementara di YouTube, secara total, MPL PH S8 telah mendapatkan 34,1 juta views dan 248,2 ribu likes.

4. LCK 2021 Regional Finals

Dengan peak viewers sebanyak 699,7 ribu orang, League of Legends Champions Korea 2021 Regional Finals berhasil menduduki peringkat 4 dalam daftar turnamen esports terpopuler di September 2021. Babak grand final — yang mempertemukan T1 dengan Hanwha Life Esports (HLE) — menjadi pertandingan yang menarik paling banyak ditonton. Disiarkan selama 12 jam, LCK Regional Finals berhasil mendapatkan 3,5 juta jam hours watched dan 300 ribu average viewers. T1 menjadi tim paling populer di LCK Regional Finals, diikuti oleh HLE, Nongshim RedForce, dan Liiv SANDBOX.

Tim dan pertandingan terpopuler sepanjang LCK Regional Finals. | Sumber: Esports Charts

LCK Regional Finals disiarkan di empat platform, yaitu Twitch, YouTube, AfreecaTV, dan Facebook. Twitch menjadi platform terpopuler, dengan 454,7 ribu peak viewers, diikuti oleh YouTube dengan 131,1 ribu peak viewers dan AfreecaTV dengan 116,9 ribu peak viewers. Di Twitch, LCK Regional Finals disiarkan di 6 channels dan mendapatkan 2,7 juta views serta 12,8 ribu follows.

Data viewership dari LCK Regional Finals. | Sumber: Esports Charts

Sementara di YouTube, LCK Regional Finals berhasil mendapatkan 2,2 juta views dan 27,2 ribu likes. Menariknya, jika Esports Charts menyertakan data dari platform streaming game di Tiongkok, viewership dari LCK Regional Finals meroket. Jumlah peak viewers dari kompetisi itu bisa mencapai 9,7 juta orang dengan hours watched sebanyak 52,5 juta jam dan average viewers sebanyak 4,5 juta orang.

3. ESL Pro League Season 14

ESL Pro League Season 14 mulai digelar pada 16 Agustus 2021 dan berakhir pada 12 September 2021. Dalam satu bulan, total durasi siaran dari turnamen CS:GO itu mencapai 222 jam. Sementara tota hours watched yang didapat turnamen CS:GO itu mencapai 29,7 juta jam dengan jumlah penonton rata-rata mencapai 133,9 ribu orang. Pada puncaknya, jumlah penonton dari ESL Pro League mencapai 758,6 ribu orang. Angka ini tercapai pada babak final, ketika NAVI bertemu dengan Vitality.

Memang, di ESL Pro League Season 14, NAVI merupakan tim esports paling populer. Dari segi hours watched, NAVI berhasil mendapatkan 7,62 juta jam, dengan jumlah penonton rata-rata mencapai 267,95 ribu orang. Posisi tim tepropuler ke-2 diisi oleh Vitality, yang mendapatkan 5,76 juta jam hours watched dan jumlah average viewers sebanyak 196,24 ribu orang.

Tim dan pertandingan terpopuler di ESL Pro League Season 14. | Sumber: Esports Charts

ESL Pro League Season 14 disiarkan dalam belasan bahasa. Siaran dalam bahasa Rusia menjadi siaran paling populer, dengan peak viewers sebanyak 313,2 ribu orang. Siaran dalam bahasa Inggris menjadi menjadi siaran terpopuler ke-2, dengan peak viewers sebanyak 303,8 ribu orang. ESL Pro League Season 14 disiarkan di Twitch, YouTube, dan Facebook. Jika dibandingkan dengan dua platform lainnya, Twitch jauh lebih unggul. Di Twitch, kompetisi CS:GO ini disiarkan di 23 channels dan mendapatkan 52,9 juta views serta 234 ribu follows. Sementara di YouTube, jumlah views yang didapat oleh ESL Pro League hanyalah 1,3 juta views dengan 25,3 ribu likes.

2. VCT 2021: Stage 3 Masters Berlin

Dengan peak viewers sebanyak 811,4 ribu orang, VALORANT Champions Tour 2021: Stage 3 Masters Berlin berhasil duduk di peringkat ke-2 dalam daftar turnamen esports terpopuler pada September 2021. Sebelum ini, Stage 3 Masters Berlin juga dinobatkan sebagai kompetisi VALORANT paling populer ke-2. Disiarkan selama 86 jam, Stage 3 Masters Berlin berhasil mendapatkan 33,4 juta jam hours watched. Dari segi jumlah penonton rata-rata, kompetisi itu mendapatkan 390 ribu orang.

Stage 3 Masters Berlin disiarkan dalam belasan bahasa. Siaran dalam bahasa Inggris menjadi siaran paling populer. Pada puncaknya, ada 488 ribu orang yang menonton siaran dalam bahasa Inggris. Selain itu, siaran dalam bahasa Jepang juga cukup populer, dengan 223,5 ribu peak viewers, diikuti oleh siaran dalam bahasa Spanyol, yang mendapatkan jumlah peak viewers sebanyak 194 ribu orang.

Lima tim dan pertandingan terpopuler pada VCT 2021: Stage 3 Masters Berlin. | Sumber: Esports Charts

Disiarkan di 56 channels di Twitch, Stage 3 Masters Berlin berhasil mendapatkan 54,1 juta views dan 627,6 ribu follows. Sementara di YouTube, turnamen VALORANT itu berhasil mendapatkan 15,9 juta views dan 380,4 ribu likes. Sentinels dan G2 merupakan dua tim paling populer di Stage 3 Masters Berlin. Jadi, tidak heran jika dua babak terpopuler di Stage 3 Masters Berlin merupakan pertandingan antara Sentinels dan G2.

1. MPL ID Season 8

Mobile Legends Professional League Indonesia (MPL ID) Season 8 sukses mempertahankan gelarnya sebagai kompetisi esports terpopuler di bulan September 2021. Hanya saja, jika dibandingkan dengan peak viewers pada Agustus 2021, peak viewers dari MPL ID S8 pada September 2021 lebih rendah. Bulan lalu, jumlah peak viewers dari MPL ID S8 adalah 1,1 juta orang. Sebagai perbandingan, peak viewers dari MPL ID S8 pada Agustus 2021 mencapai 1,7 juta orang.

Peak viewers dari MPL ID S8 untuk bulan September 2021 tercapai ketika RRQ Hoshi bertemu dengan Alter Ego di Minggu ke-7, Hari ke-2. Pertandingan lain yang berhasil menarik perhatian banyak penonton adalah pertandingan antara ONIC Esports dan RRQ Hoshi. Pertandingan yang berlangsung pada Minggu ke-5, Hari ke-3 itu mendapatkan 1,03 juta peak viewers.

Tim dan pertandingan terpopuler di MPL ID S8. | Sumber: Esports Charts

RRQ Hoshi — yang pernah menjadi juara MPL ID 3 kali — merupakan tim paling populer di MPL ID S8. Total hours watched yang dikumpulkan oleh tim itu mencapai 14,48 juta jam dengan jumlah penonton rata-rata mencapai 537,81 ribu orang. Sementara itu, EVOS Legends menjadi tim paling populer ke-2. Tim tersebut mendapatkan 14,39 juta jam hours watched dan 474,3 ribu average viewers.

Sejauh ini, lama waktu siaran MPL ID S8 telah mencapai 134 jam. Total hours watched yang didapatkan oleh liga itu adalah 43,9 juta jam dengan average viewers sebanyak 328 ribu orang. YouTube menjadi platform siaran paling populer, diikuti oleh NimoTV, dan Facebook. Di YouTube, jumlah views dari MPL ID S8 mencapai 171,2 juta dengan 2,1 juta likes.

Sumber header: ONE Esports

Kenapa Dota 2 Tidak Populer di Korea Selatan?

Banyak pemain esports yang berasal dari Asia, khususnya Tiongkok dan Korea Selatan. Selain jumlahnya yang banyak, pemain dari Asia juga dikenal berkualitas. Tidak sedikit pemain Asia yang menorehkan prestasi di kancah internasional. Sebelum ini, Hybrid.co.id juga pernah membahas korelasi antara etnis dan budaya dengan kemampuan seseorang dalam bermain game.

Salah satu alasan mengapa Korea Selatan dapat menelurkan banyak pemain esports yang sukses adalah karena budaya di negara tersebut yang memang mendukung. Tidak bisa dipungkiri, pemain Korea Selatan cukup mendominasi dalam beberapa game esports, seperti League of Legends, StarCraft, dan Overwatch.

T1 dianggap sebagai tim League of Legends terhebat sepanjang masa. Pasalnya, tim tersebut berhasil membawa pulang trofi League of Legends World Championship (LWC) sebanyak tiga kali. Selain itu, mereka juga pernah memenangkan League of Legends Champions Korea (LCK) sebanyak tiga kali berturut-turut. Satu-satunya tim esports lain yang berhasil membawa trofi LCK tiga kali berturut-turut adalah DAMWON KIA, yang juga memenangkan LWC 2020. Selain itu, Lee “Faker” Sang-hyeok, pemain T1, juga dianggap sebagai pemain terbaik League of Legends sepanjang masa.

Menariknya, walau League of Legends sangat dominan di Korea Selatan, Dota 2 — yang juga memiliki genre yang sama — justru kurang populer. Tanya: kenapa?

Awal Mula Dota 2 di Korea Selatan

Dota 2 diluncurkan di Korea Selatan pada 2013. Ketika itu, Valve menyerahkan tanggung jawab untuk merilis dan mempromosikan Dota 2 di Korea Selatan pada Nexon. Saat Dota 2 diluncurkan di Korea Selatan, League of Legends sudah populer. Agar Dota 2 bisa bersaing dengan game buatan Riot Games tersebut, Nexon bahkan membuat dan memberikan compendium khusus untuk akun dan pemain baru, seperti yang disebutkan oleh GosuGamers. Sayangnya, Dota 2 tidak pernah meraih popularitas yang sama seperti League of Legends.

Nexus bahkan membuat compendium sendiri. | Sumber: GosuGamers

Kabar baiknya, walau Dota 2 kurang populer di Korea Selatan, tetap ada organisasi esports yang tertarik untuk membuat tim Dota 2. Pada September 2013, tim MVP menandatangani kontrak dengan tim Dota 2 pertama mereka. Dua bulan kemudian, pada November 2013, MVP membuat tim Dota 2 kedua mereka. Pada 2014, Korean Dota League (KDL) mulai digelar. Keberadaan KDL memberikan harapan bahwa skena esports Dota 2 akan bisa tumbuh di Korea Selatan.

MVP.Phoenix berhasil meraih gelar juara dua di Korean Dota League Season 1. Di Season 2, mereka dapat menyabet gelar juara. Sementara di StarLadder StarSeries Season IX, mereka harus puas dengan peringkat 7-8. Pencapaian terbaik dari MVP.Phoenix adalah keberhasilan mereka untuk masuk ke The International 4. Mereka dapat lolos ke TI4 setelah mereka menjadi runner up dari TI4 Southeast Asia Qualifiers. Namun, performa MVP.Phoenix di TI4 kurang memuaskan. Dari lima pertandingan, mereka hanya bisa memenangkan satu babak, menempatkan mereka di posisi terakhir.

Meskipun ada tim Korea Selatan yang berhasil masuk TI, ketertarikan gamers akan Dota 2 tetap rendah. Hal ini diperburuk oleh keputusan Nexon untuk menutup server Dota 2 di Korea Selatan pada Desember 2015. Tutupnya server itu berarti, jika gamers Korea Selatan ingin bermain Dota 2, mereka harus bermain di server Asia Tenggara atau Tiongkok. Alhasil, mereka harus bermain dengan ping tinggi.

Kabar baiknya, MVP bersikukuh untuk mempertahankan kedua tim Dota 2 mereka, walau perjalanan karir kedua tim itu tidak mulus. Dan pada 2015, kedua tim MVP — MVP.Phoenix dan MVP.Hot6 — berhasil lolos ke The International. Sebelum maju ke TI, MVP.Phoenix telah memenangkan berbagai kompetisi di skena esports lokal dan regional Asia Tenggara. Mereka tidak hanya sukses memangkan semua turnamen Dota 2 di Korea Selatan, mereka juga menjuarai dua kompetisi regional SEA, yaitu IeSF Asian Championship dan Nexon Sponsorship Leagues.

MVP.Hot6. | Sumber: GosuGamers

Sementara itu, MVP.Hot6 terdiri dari empat pemain Korea Selatan dan satu pemain veteran asal Finlandia, Jesse “JerAx” Vainikka. Nantinya, JerAx akan masuk ke OG, yang memenangkan TI dua kali berturut-turut. Sama seperti MVP.Phoenix, MVP.Hot6 juga cukup sukses di skena esports Dota 2 Korea Selatan. Sayangnya, di TI5, MVP.Hot6 berakhir pada peringkat terakhir. Kabar baiknya, MVP.Phoenix dapat meraih peringkat 7-8.

Setelah TI5, MVP lalu membuat satu tim yang semua pemainnya berasal dari Korea Selatan. Tim itu merupakan gabungan dari Phoenix dan Hot6. Tim tersebut dapat memenangkan sejumlah kompetisi. Mereka menduduki peringkat 4 di Singapore Major, peringkat 5-6 di Manilla Major, dan merangkak ke peringkat 5-6 di The International 6.

Pada 2016, MVP.Phoenix memenangkan penghargaan “Best overseas activity award of the year”. Tahun itu merupakan kali kedua mereka mendapatkan penghargaan tersebut. Pada 2015, kedua tim MVP — Phoenix dan Hot6 — juga berhasil meraih gelar tersebut. Mereka mendapatkan gelar tersebut karena kesuksesan mereka untuk masuk ke TI. Kegigihan MVP menunjukkan bahwa mereka tetap bisa bertanding di kancah internasional, walau skena esports Dota 2 di Korea Selatan tidak ramai.

TI Membuat Tim Dota 2

Walau Phoenix dan Hot6 punya prestasi, kedua tim itu tetap dibubarkan oleh MVP pada 2016. Sejak saat itu, tidak ada lagi tim Dota 2 Korea Selatan yang berhasil menorehkan prestasi di skena Dota 2 global. Angin segar bertiup pada Agustus 2019. Saat itu, T1 — organisasi esports yang dikenal dengan tim League of Legends-nya — mengumumkan bahwa mereka akan kembali menjajaki Dota 2.

Sayangnya, tidak peduli seberapa keras usaha T1, mereka tetap kesulitan untuk menorehkan prestasi di Dota 2. Padahal, mereka telah bolak-balik mengganti roster tim Dota 2. Mereka juga pernah mencoba untuk mengembangkan talenta muda Dota 2 dari nol dengan membuat tim berisi tiga pelatih. Tim pelatih itu dipimpin oleh Choi “cCarter” Byoung-hoon, kepala pelatih tim League of Legends T1 yang pernah memenangkan Worlds Championship tiga kali. Meskipun begitu, usaha T1 tetap berujung pada kegagalan. Prestasi terbaik dari tim Dota 2 T1 ketika itu adalah masuk peringkat enam besar di ESL One Thailand 2020: Asia.

ESL One Thailand 2020: Asia.

Tim Dota 2 dari T1 baru mulai sukses setelah mereka menunjuk Park “March” Tae-won untuk membangun tim dari nol. Dia dianggap sebagai “mastermind” di balik MVP.Phoenix dan juga pernah menjadi pelatih dari TNC Predator. Setelah itu, tim Dota 2 mulai meraih berbagai gelar. Mereka berhasil menjuarai Dota Pro Circuit 2021: S2 – Southeast Asia Upper Division dan juga ESL One Summer 2021. Pada WePlay Major, DPC 2021: S1 – SEA Upper Division, serta BTS Pro Series Season 4: Southeast Asia, mereka berhasil menduduki peringkat tiga.

Apa yang Bisa Meningkatkan Popularitas Dota 2 di Korea Selatan?

Di Korea Selatan, Dota 2 tidak pernah bisa bersaing dengan League of Legends dari segi popularitas. Padahal, total hadiah dari turnamen Dota 2 lebih besar dari game buatan Riot tersebut. Selain itu, kesuksesan tim-tim Dota 2 Korea Selatan juga tidak menarik minat Valve untuk turun tangan langsung mengembangkan ekosistem esports Dota 2 di Korea Selatan.

Dalam wawancara dengan Dota Blast pada 2016, Kim “QO” Seon-yeop menceritakan tentang masalah yang ada di ekosistem esports Dota 2 di Korea Selatan. “Skena esports Dota 2 di Korea telah mati. Nexon tidak lagi mau campur tangan dan hanya beberapa ribu gamers saja yang masih bermain Dota 2,” ujarnya. “Saya rasa, jika ada pemain yang bisa bermain dengan baik dan memenangkan hadiah yang besar, media akan tertarik untuk meliputnya. Dan mungkin, hal ini akan membuat ekosistem esports Dota 2 kembali tumbuh.”

Sementara itu, Yongmin “Febby” Kim — yang dikenal senang bercanda — pernah berkata bahwa alasan mengapa Dota 2 kalah populer dari League of Legends adalah karena jumlah pemain perempuan yang meminkan game itu tidak sebanyak jumlah pemain League of Legends perempuan. Alasannya, skin dari Riot Games terlihat lebih lucu, membuat gamers perempuan lebih senang memainkan League of Legends. Dan jika tidak banyak perempuan yang memainkan Dota 2, maka para pemain laki-laki juga tidak tertarik untuk memainkan game tersebut.

Tentu saja, masalah ekosistem esports Dota 2 di Korea Selatan tidak sesederhana itu. Lee “Forev” Sang-don mengungkapkan pendapatnya tentang hal ini. Dia pernah menjadi bagian dari MVP sejak November 2013 sampai Agustus 2016. Dia juga pernah menjadi bagian dari tim T1 pada Agustus 2019 sampai Juli 2020.

Lee “Forev” Sang-don.

Forev mengaku, dia sebenarnya memainkan Dota 2 dan League of Legends. Namun, dia lebih menyukai Dota 2 karena game itu lebih sulit. Dia menceritakan, alasan mengapa dia memutuskan untuk berkarir sebagai pemain esports Dota 2 dan bukannya League of Legends adalah karena dia mendapatkan tawaran dari MVP setelah dia menyelesaikan wajib militer. Ketika itu, MVP tertarik dengan Forev karena dia pernah bertanding di AWCG Jakarta 2011.

Ketika ditanya apa yang membuatnya terus bertahan sebagai pemain Dota 2 saat Nexon mematikan server Korea Selatan, Forev menjawab, “Sejujurnya, tanpa bantuan organisasi MVP, kami tidak akan bisa melakukan apapun. Saat itu, kedua tim MVP berhasil masuk ke TI. Dan MVP memperlakukan kami para pemain dengan cukup baik. Jadi, saya tetap bisa mempertahankan karir saya di Dota 2 walau server Korea telah mati.”

Lebih lanjut Forev mengatakan, dia berharap, keberadaan tim MVP di TI5 akan membuat Valve menaruh minat pada Korea Selatan dan mendorong para gamers untuk mulai bermain Dota 2. Memang, mantan pemain League of Legends dan Heroes of the Storm sempat tertarik untuk memasuki skena esports Dota 2. Hanya saja, pada akhirnya mereka menyerah. Pasalnya, mempelajari dan menyesuaikan diri dengan mekanisme gameplay Dota 2 memakan waktu yang terlalu lama.

Forev juga mengaku pesimistis bahwa keputusan T1 untuk terjun ke ekosistem esports Dota 2 akan membuat komunitas game MOBA itu kembali tumbuh. Dia berkata, “Saya tidak tahu apa yang bisa membuat Dota 2 mengalahkan popularitas League of Legends di dunia. Tapi, saya cukup mengenal gamers Korea Selatan. Mereka menginginkan waktu tunggu yang lebih singkat, gameplay kasual, skin yang imut, dan sistem surrender. Saya percaya, keberadaan semua itu akan membuat gamers Korea Selatan menyukai Dota 2.”

Sumber: WePlay Holding via GosuGamers

VCT 2021: Stage 3 Masters Berlin Jadi Kompetisi VALORANT Terpopuler Ke-2

Gambit berhasil mengalahkan Team Envy dengan skor 3-0 di babak final VALORANT Champions Tour (VCT) 2021: Stage 3 Masters Berlin. Dengan begitu, Stage 3 Masters Berlin pun resmi berakhir. Stage 3 Masters Berlin digelar pada 10-19 September 2021. Total durasi siaran dari turnamen itu mencapai 86 jam.

Berdasarkan data dari Esports Charts, total hours watched dari Stage 3 Masters Berlin mencapai 33,4 juta jam. Sementara itu, jumlah average viewers dari turnamen tersebut mencapai 390 ribu orang. Pada puncaknya, ada 811,4 ribu orang yang menonton turnamen VALORANT itu. Hal ini menjadikan VCT 2021: Stage 3 Masters Berlin sebagai kompetisi VALORANT terpopuler kedua, setelah VCT 2021: Stage 2 Masters Reykjavik.

Data viewership dari VCT 2021: Stage 3 Masters Berlin. | Sumber: Esports Charts

Babak paling populer di Stage 3 Masters Berlin adalah pertandingan yang mempertemukan Sentinels dan G2 di Group Stage, pada hari ke-6. Babak terpopuler kedua juga merupakan pertandingan antara kedua tim tersebut, yang terjadi di Group Stage, hari ke-3. Pertandingan tersebut berhasil menarik peak viewers sebanyak 808,2 ribu orang. Menariknya, babak grand final justru hanya menjadi pertandingan paling populer ke-3. Babak grand final, yang mengadu Envy dengan Gambit, berhasil mendapatkan 692,5 ribu peak viewers.

Seperti yang disebutkan oleh Esports Charts, biasanya, babak grand final menjadi pertandingan yang paling ditunggu dalam sebuah turnamen. Namun, ada dua alasan mengapa babak grand final dari Stage 3 Masters Berlin justru kalah populer dari pertandingan di Group Stage. Pertama, karena Envy dan Gambit sudah dipastikan akan masuk ke VCT 2021 Champions. Hal ini bisa membuat para penonton tak lagi tertarik untuk menonton pertandingan antara keduanya. Alasan kedua adalah popularitas tim. Di Stage 3 Masters Berlin, Sentinels dan G2 merupakan dua tim paling populer.

Dari segi average viewers, Sentinels lebih unggul dari G2. Sentinels memiliki average viewers sebanyak 516,22 ribu orang, sementara G2 hanya memiliki 499,59 ribu average viewers. Namun, dari segi hours watched, G2 jauh lebih unggul. Total hours watched dari G2 mencapai 9,12 juta jam dan Sentinels hanya 7,74 juta jam.

Perbandingan viewership antara Stage 3 dan Stage 2. | Sumber: Esports Charts

Dengan jumlah peak viewers sebanyak 811,4 ribu orang, VCT 2021: Stage 3 Masters Berlin merupakan kompetisi VALORANT paling populer ke-2. Namun, gelar kompetisi VALORANT paling populer masih dipegang oleh VCT 2021: Stage 2 Reykjavik, yang mendapatkan peak viewers mencapai 1,08 juta orang.

Jika dibandingkan dengan Stage 2 Mastesr Reykjavik, concurrent viewership dari Stage 3 Masters Berlin lebih rendah 25,28%. Tak hanya itu, Masters Berlin juga kalah dari segi average viewership. Jumlah average viewership dari Masters Berlin 20,15% lebih rendah dari Masters Reykjavik. Kabar baiknya, total hours watched dari Stage 3 Masters Berlin lebih tinggi 32,62% dari Stage 2 Masters Reykjavik. Masters Berlin bisa lebih unggul dalam hours watched karena waktu siaran dari turnamen itu juga jauh lebih lama. Total waktu siaran Stage 3 Masters Berlin adalah 86 jam. Sebagai perbandingan, durasi siaran Stage 2 Reykjavik hanya 56 jam, 65,39% lebih rendah dari Masters Berlin.

Menurut Esports Charts, penurunan viewership di Stage 3 Masters Berlin bukan berarti popularitas VALORANT sebagai game esports turun. Hal itu justru menjadi bukti bahwa ekosistem esports VALORANT masih punya potensi yang harus digali. Selain itu, jika dibandingkan dengan turnamen dari game esports lain, Stage 3 Masters Berlin masih unggul. Misalnya, ESL Pro League Season 14 memiliki concurrent viewers sebanyak 758,5 ribu orang, 6,5% lebih rendah dari concurrent viewers Stage 3 Masters Berlin. Sementara itu, pada puncaknya, jumlah concurrent viewers dari Call of Duty League hanya mencapai 238,7 ribu orang, 70,57% lebih rendah dari Stage 3 Masters Berlin.

Sumber header: VCT.gg

Nintendo Switch Kini Bisa Terhubung ke Perangkat Audio Bluetooth, Deltarune: Chapter 2 Bisa Dimainkan Gratis

Minggu lalu, ada beberapa kabar menarik di industri game. Nintendo telah merilis update firmware untuk Switch, sehingga konsol itu bisa terhubung ke perangkat audio via Bluetooth. Selain itu, Toby Fox juga merilis Deltarune: Chapter 2, yang bisa dimainkan dengan gratis. Sementara Riot Games baru saja meluncurkan launcher khusus untuk game-game mereka, yaitu Riot Client.

Deltarune: Chapter 2 Rilis, Bisa Dimainkan Gratis

Deltarune: Chapter 2 telah diluncurkan untuk PC dan Mac pada 17 September 2021. Deltarune merupakan game penerus dari Undertale. Anda bisa memainkan Chapter 2 dengan save file dari Deltarune: Chapter 1. Untuk mendapatkan save file itu, Anda harus memainkan Chapter 1 hingga selesai.

Namun, kreator dari Undertale dan Deltarune, Toby Fox mengatakan, Anda tetap bisa menikmati Chapter 2 bahkan jika Anda tidak punya save file dari Chapter 1 selama Anda ingat apa yang terjadi di Chapter 1, lapor IGN. Sama seperti Chapter 1, Chapter 2 bisa dimainkan dengan gratis. Anda bisa mengunduhnya di sini.

Nintendo Beri Update Firmware untuk Switch

Minggu lalu, Nintendo merilis update firmware untuk Switch. Dengan update itu, Switch kini bisa terhubung dengan perangkat audio via Bluetooth. Untuk menghubungkan Switch ke perangkat audio, Anda hanya perlu mengunduh firmware terbaru dari Nintendo. Setelah itu, Anda akan menemukan opsi Bluetooth Audio di System Settings. Saat Anda memilih “Pair”, Switch akan secara otomatis mencari perangkat audio Bluetooth yang ada. Switch hanya bisa terhubung dengan satu perangkat audio. Namun, ia bisa mengingat hingga 10 perangkat audio Bluetooth.

Satu hal yang harus diingat, ketika Switch terhubung dengan perangkat audio Bluetooth, konsol itu hanya bisa terhubung ke dua controller nirkabel. Jika Anda menghubungkan controller nirkabel baru, maka hubungan ke perangkat audio Bluetooth akan terputus. Selain itu, Switch juga tidak bisa terhubung ke mikrofon Bluetooth, menurut laporan IGN.

Riot Games Bakal Luncurkan Launcher Khusus, Riot Client

Riot Games berencana untuk meluncurkan Riot Client, launcher khusus untuk game-game yang mereka buat, seperti League of Legends, Teamfight Tactics, dan VALORANT. Launcher itu akan mulai dirilis pada 20 September 2021. Namun, peluncuran global baru akan dimulai pada 4 Oktober 2021. Pihak Riot menyebutkan, tidak tertutup kemungkinan, mereka akan mengubah tanggal peluncuran launcher sewaktu-waktu. Alasannya, karena mereka ingin memastikan Riot Client diluncurkan dengan keadaan sempurna.

Riot Client adalah launcher khusus untuk game-game Riot Games.

“Semua game PC Riot akan bisa diakses dari satu tempat. Masing-masing game akan punya halaman khusus yang menjelaskan tentang konten terkait game tersebut, termasuk berita dan events terbaru,” kata Marketing Communications, Liz La Londe, seperti dikutip dari The Verrge.

Activision Blizzard Rekrut Mantan HR Disney untuk Buat Budaya Perusahaan yang Lebih Inklusif

Activision Blizzard mempekerjakan dua eksekutif baru pada minggu lalu. Salah satunya adalah Julie Hodges, mantan Senior Vice President of HR di Disney. Di Activision Blizzard, dia akan menjabat sebagai Chief People Officer. Selain itu, Activision Blizzard juga telah merekrut Sandeep Dube, mantan Senior Vice President Delta Airlines, yang kini akan menduduki posisi sebagai Chief Commercial Officer. Activision Blizzard merekrut dua orang itu setelah mereka dituntut oleh California Department of Fair Employment and Housing pada Agustus 2021, lapor VentureBeat.

Pihak Activision Blizzard menjelaskan mengapa mereka merekrut Hodges. Mereka menyebutkan, Hodges memiliki pengalaman di bidang HR selama lebih dari 30 tahun. Dia juga berpengalaman dalam membentuk budaya perusahaan. Dia akan bertanggung jawab atas perekrutan pekerja baru. Tak hanya itu, dia juga memegang tanggung jawab atas divisi HR, termasuk dalam memastikan  inklusivitas dalam perusahaan, perlakuan yang adil pada pekerja, kompensasi dan benefit yang memadai, dan lain sebagainya.

Anthony Mackie Jadi John Doe di Seri TV Twisted Metal

Anthony Mackie akan menjadi pemeran utama dalam seri TV live-action Twisted Metal. Dia akan memainkan peran John Doe, yang disebutkan sebagai seorang “outsider” yang tengah mencari komunitas. Selain sebagai pemeran utama, Mackie juga akan menjabat sebagai Executive Producer untuk seri TV yang dibuat oleh Sony Television dan PlayStation Productions tersebut. Twisted Metal mengusung genre action comedy.

Twisted Metal pertama kali diluncurkan pada 1995. | SUmber: IGN

Game Twisted Metal pertama kali diluncurkan pada 1995 sebagai game arena shooter menggunakan kendaraan. Game terbaru dari seri itu adalah Twisted Metal yang dirilis pada 2012 untuk PlayStation 3. Sejauh ini, semua game di bawah franchise Twisted Metal dirilis oleh Sony Computer Entertainment, lapor GamesIndustry. Sejauh ini, selain Twisted Metal, ada beberapa game Sony lain yang diangkat menjadi film live-action, seperti Ghost of Tsushima, The Last of Us, dan Uncharted.

Sumber header: Destructoid

Comparing the Olympics With Esports Tournaments: Which One Is More Profitable?

In recent years, the popularity of esports has skyrocketed. Even so, there is still a negative stigma attached to the competitive gaming industry. The participation of esports in major sporting events — such as the SEA Games or the Asian Games — can undoubtedly help remove this stigma. Furthermore, the emergence of esports in traditional sports competitions, such as the National Sports Week (PON) or the President’s Cup, can also increase public awareness of esports.

The Olympics is widely regarded as the most prestigious sporting event in the entire world. Previously, Hybrid.co.id had discussed if esports deserves a spot in the Olympics. This time, however, I will compare the process of organizing the Olympics with world-class esports events such as The International and League of Legends Worlds. Through our analysis, we can try to observe if there are any similarities that suggest that esports and the Olympics can be juxtaposed.

Preparation of the Olympics

Even though the Olympics only takes place for 16 days, preparing for the event can take years of effort. The preparation process begins by selecting a hosting country. For instance, the application to host the 2020 Olympics (which will be held in 2021 due to the COVID-19 pandemic) started in May 2011. At that time, the International Olympic Committee (IOC) informed each country’s National Olympic Committees (NOCs) that they could apply to host the 2020 Olympics

In June 2011, the Governor of Tokyo applied as the 2020 Olympic host. Besides Tokyo, several other cities also volunteered, such as Istanbul, Madrid, Baku, Doha, and Rome. However, Tokyo finally took the spot and signed the host contract in September 2013.

As you can see, preparing for the Olympics can take a very long time since the host selection can take 7-12 years before the event starts. In the 2022 Winter Olympics, Beijing was selected as the host in July 2015. Paris, the 2024 Olympics host, got the spot in September 2017. The Olympic Committee intentionally gave this much time due to the tremendous effort required to host the Olympic event successfully.

As a host, the city must not only build an athlete village to accommodate Olympic participants but also build or repair a stadium to run the sporting events. Moreover, the government must also improve the city’s infrastructure, ensuring a warm welcome to the audience, tourists and Olympic personnels that will visit the city.

This year, Tokyo prepared more than 41 thousand hotel rooms for the media, IOC executives, NOC representatives, and representatives of the International Sports Federations (ISF). They also need to take into account the hotels that will accommodate the tourists. Prior to the pandemic, the Tokyo government planned to set up cruise ships in Tokyo ports as temporary hotels. However, the plan was ultimately canceled due to the lack of spectators who watched this year’s Olympics in person.

As for the athletes, Tokyo needs to build an Olympic village, or often called an athletes village. Building this accommodation can be extremely challenging due to the due to the hefty list of conditions that must be met. For example, the location of the village must be close to the stadium or the location of the competition venue. The farthest distance from an athlete’s accommodation to the stadium is set at approximately 50 kilometers and is reachable in 1 hour by car. If there just so happens to be multiple competition venues that are far apart from each other, well the host city must also prepare multiple athlete villages. During the 2014 Winter Olympics, Russia created two separate athlete villages. The primary athlete village was located in Sochi. The second athlete village was in Roza Khutor, built for ski and snowboarding athletes.

Preparation of Esports Events

Now that we have already a basic understanding of the intricacies behind preparing for the Olympics, let’s see what tournament organizers (TO) have to deal with when formulating an esports competition. To be able to fully grasp the process of organizing esports competitions, Hybrid.co.id contacted Herry Wijaya, Head of Operations, Mineski Indonesia, and Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer, RevivalTV. These two individuals have years of profound experience in organizing esports events.

Besides Herry and Irli, Hybrid.co.id also contacted ESL, one of the most popular tournament organizing brands in esports. ESL frequently held large-scale international esports tournaments around the world. Nick Vanzetti, SVP and Managing Director of ESL Asia Pacific Japan, specifically represented ESL in the interview.

Herry said that to hold a national-level esports competition usually requires 3-6 months of preparation. International tournaments often take double the effort and time, around 6-12 months. According to Irli, preparing large-scale esports events such as The International or LOL Worlds would take around 8-12 months.

“On average, the preparation time is around 8-12 months. The planning and conceptualization phase consumes 3-4 months of work, detailing usually takes 2-3 months long, while promotions will start 2-3 months before the event runs,” said Irli via text message. “Of course, execution and post-event tasks come next.” He added, “World-class esports events often focus on capturing the best moments of the competition and providing an unforgettable experience for the audience. So what’s the job of the tournament organizer? Create as many of these moments as possible.”

“What are these so-called ‘moments’? For the casual audience, they might be interested in creative stage acts/design and entertaining content. On the other hand, the more hardcore fans might seek a suspenseful finals match with a popular or iconic caster. For those with EO experience, they might want to see a smoothly running and coordinated event,” said Irli.

When it comes to holding esports events, Irli explained that four stakeholders or groups must be considered. These are the players/talents, audiences, sponsors, and developers or IP owners. The crew that runs behind the curtains must also be taken into account. Depending on the scale of the competition, additional stakeholders, such as the government or competing companies, might also be involved.

“Tournament organizers must carefully analyze each of these potential stakeholders and how they might find the event memorable (in a positive sense). Different stakeholders, of course, have different needs and priorities. For the crew, they might want good food and hotel accommodation. Talents might require an organized script to simplify things on stage. The audience will undoubtedly want a high-quality production with proper visuals and sound mixing. Sponsors need to make sure that their KPI targets are met. So on and so forth.”

According to Herry, here are the most important elements to prepare and plan when organizing a tournament: 

  1. Venues and mandatories
  2. Hard production and soft production
  3. Property
  4. Production equipment
  5. Hospitality
  6. Talents
  7. Internet and communication
  8. Other miscellaneous items, such as stationaries or hard disks

Mandatories are essentially everything that will be required when using a venue,” said Herry. “For example, if we want to use Tennis Indoor Stadium in Senayan, we have to assemble a fire department and prepare an ambulance, according to their standard procedures. Furthermore, we also have to prepare a crowd permit.” He also added that there are two types of production equipment. Hard production involves stages, booths, gates, and everything physical or tangible. On the other hand, Soft production deals with tools required to create digital content, such as digital assets. Hospitality encompasses hotels, food, and transportation arrangements.

LAN Events. | Source: ESL Gaming

Esports competitions are frequently sponsored by endemic brands, such as smartphone companies for mobile esports competitions or hardware manufacturers for PC esports tournaments. Sponsors can opt to give away their products to resell, while sometimes they can also lend them. It all depends on the signed contract.

“Sponsors often supply their products or services instead of finances to support the event. We call them In-kind sponsors. Sometimes, the sponsors can allow us to resell the items they provide,” said Herry. “Other times, it is only a matter of a lease, and we would have to return the sponsor’s product after the event has concluded. It is incredibly important to understand the product’s presence to make sure that we do not get into any illegal circumstances.”

In line with Herry and Irli, Nick revealed that ESL takes about a year to organize a world-class esports event. He also added that workloads significantly increase when the D day of the event gets closer.

“There is a lot of preparation to be made to hold an international event,” said Vanzetti. “First, we have to find a venue that fits our criteria and needs regarding the size of the event.” He revealed that capacity, internet availability, location, and reachability are some of the factors that ESL considers when selecting a venue.

“We will also ensure that players, talents, ESL employees, and all parties that will be attending and running the tournament are set up with the appropriate accommodations and travel needs such as visas, flight tickets, hotels, and so on,” said Vanzetti. He emphasized that ESL highly prioritizes ensuring that all parties involved in organizing esports competitions have a satisfying experience, starting from when they depart, running the event, and until they return to their respective homes.

LOL Worlds 2020 will be held in Shanghai. | Source: LOL Esports

How does a tournament organizer determine the city that will host the international esports competition? According to Herry, TOs usually adjust to the client’s goals and expectations. If the client’s goal is to reach out to their fans, then Mineski will select a city with a highly enthusiastic community in the game. On the flipside, Mineski will recommend a new city that has little to no fanbase if the client wishes to expand their gaming market to new consumers.

Vanzetti also mentioned that the size of the market or community surrounding the city is one of ESL’s primary benchmarks when determining a host location. However, another factor that ESL often takes into consideration is the local government’s interest in esports.

“The hosting city can frequently provide support to the tournament or event through various methods. For instance, they can help us get visas for the players and staff. They can also assist the marketing department or aid the venue rental or accommodation costs,” said Vanzetti. “Through the bidding system, TOs will be able to select cities that offer strategic advantages and benefits so that they can successfully organize a world-class esports event.”

However, according to Irli, the only publisher that currently uses a bidding system in choosing a city to hold an esports competition is Valve. He explained that Valve gave event organizers the opportunity to submit proposals for holding a Major tournament. It is the organizers themselves who will propose the city to be the tournament host.

“From my experience, the factors that need to be considered when organizing national and international scale events are the facilities in the city, the number of players in and around the city, accessibility to the city, such as airports, hotels, distance to the venue,” said Iril. “Product support from sponsors in the city, political conditions, and enthusiasm from local communities are also quite important.”

Tournament organizers must also be able to manage manpower or human resources (HR). According to Herry, 40 to 60 personnel are usually required to hold an online competition. This figure can expand to 80-120 people if the tournament is held offline. Moreover, to hold an international offline competition, Herry estimates that only a minimum of 150-170 people will suffice. However, not all the organizer crew is composed of Mineski’s personnel. More often than not, some are part of the “familia”, freelancers who continue to work for Mineski.

On ESL, the manpower size is even larger, usually involving more than 200 staff and contract workers according to Vanzetti. “In addition to hiring ESL staff, we often collaborate with local suppliers and companies to help us organize events,” he said. In Irli’s estimation, an organizing team holding world-class esports events like The International or LOL Worlds can approximately accumulate 200-300 staff in all positions. The number of required staff is usually correlated with the venue size and location as well.

“The bigger the event and venue, the larger the staff size needed to run the whole show, up to 500-600 people,” he said. “Fortunately, the costs of labor can often be reduced through volunteers or freelancers who are paid hourly or per day.” He used the Djakarta Warehouse Project (DWP), arguably Indonesia’s largest music, as a comparison. He said that DWP’s organizing crew can consist of a total of 1000 personnel. However, the core team usually consists of only 50-100 people. The rest of the crew is filled with volunteers and freelancers who look to support the event.

Olympic Viewership Trends and Esports Competitions

Viewership can be a barometer of the success of a particular event. Unfortunately, when it comes to comparing the successes of the Olympics and esports tournaments, viewership can be a tricky metric to handle. The reason is simple: these two events are broadcasted in different media. 

Unlike TV, there is no such thing as ratings in streaming broadcasts. Instead, the average or peak number of viewers and watch hours are more relevant statistics when it comes to streaming. Therefore, in order to compare the Olympic viewership with TI and LOL Worlds, we need to consider the viewership statistics in each of the events and observe any general trends (upwards or downwards) that might be present.

In the United States, the Olympics are usually broadcast by NBC (National Broadcasting Company). According to data from Nielsen, 16.9 million people watch the Tokyo Olympics opening ceremony. If we compare this figure with the viewer numbers in previous years, 2021 holds the unwanted record of the smallest number of viewers. Furthermore, Tokyo Olympics viewership numbers were half of Rio de Janeiro’s Olympics spectator numbers in 2016. NBC, unfortunately, might regret their $7.65 billion USD Olympics broadcast rights contract extension that lasts until 2032 after facing this downward trend.

Here’s the Tokyo Olympics viewership numbers compared to the five-day Rio Olympics:

Tuesday, 27 July 2021, viewership dropped by 58%

Wednesday, July 28, 2021, viewership dropped by 53%

Thursday, July 29, 2021, viewership dropped by 43%

Saturday, July 31, 2021, viewership dropped by 57%

Sunday, August 1, 2021, viewership dropped by 51%

As you can see from the data above, the drop in viewers in the Tokyo Olympics is catastrophic. According to an AP News report, the peak viewership of the Tokyo Olympics broadcasted on NBC occurred on Thursday, July 29, 2021, which was 16.2 viewers. Even so, this figure is still 43% lower than that of the Rio Olympics 4 years ago.

NBC Universal CEO Jeff Shell hypothesized several factors that caused the plunge in this year’s Olympic broadcast. One of the most obvious factor is the pandemic, which ultimately postponed the Olympics by a whole year. The pandemic also prohibited live spectators who want to watch the event in person. Another factor is the adjustment of broadcast hours. The time difference between Tokyo and Washington DC is a whopping 13 hours. To combat this problem, NBC and other media companies offer broadcasts from more platforms and more schedules. However, according to Reuters, this actually confuses the viewers and hinders them from finding the content they want to watch.

Now, let’s move on to the viewership of The International and LOL Worlds. 

I will use the most common metrics or measure of viewership, namely hours watched, the average number of viewers, and the peak number of viewers. For my source of data, I referred to Esports Charts. As a side note, The International 2020 had to be postponed due to the COVID-19 pandemic. Therefore, the statistics for this year’s International will be intentionally left out as 0.

Watch hours, peak viewers, and average viewership numbers of TI and LOL Worlds. | Source: Esports Charts]

As you can see in the chart above, The International’s viewership continues to show an upward trend across all metrics in the past few years. The viewership number of LOL Worlds also seems to follow the same exact trend. During 2019 in particular, the average number of viewers even experienced rapid growth, almost 60% greater than the last year. However, in terms of peak viewers and hours watched, LOL Worlds’ figures occasionally stagnate or decline marginally.

You can also see the viewership for LOL Worlds 2020 and The International 2019 in the diagrams below.

Viewership statistics of LOL Worlds 2020. | Source: Esports Charts
Viewership statistics of The International 2019. | Source: Esports Charts

Of course, the Olympics’ viewership numbers are far more superior to any esports events in history. However, esports has one other advantage over the Olympics: a younger demographic of viewers. As of 2016, the average age of an Olympic spectator was 53 years old. On the other hand, the average age of an esports audience is 26 years old. If you want to understand what this data suggests, you can take a look at this article here.

Profitability

Besides viewership, another metric that can be used to measure the success of a particular event is its ability to yield financial gain, or profitability for short. So let’s take a deeper look at the detailed costs involved in running the Olympics and esports events as well as the advantages/disadvantages of the host city.

The financial resources prepared by different host cities to hold the Olympics vary. However, one thing is for sure, the funds allocated can reach billions or even tens of billions of dollars. For instance, the 2018 Winter Olympics in Pyeongchang is estimated to cost $12.9 billion USD, and the 2010 Winter Olympics in Vancouver cost $6.4 billion USD. Similarly, to host the 2012 Olympics and Paralympics, London allocated a budget of around $14.6 billion USD. To hold the 2008 Olympics, Beijing reportedly spent $42 billion USD.

Of course, these funds are not only spent on sports infrastructure, such as stadiums. As Investopedia noted, cities designated to host the Olympics will usually also work on developing other basic infrastructures by building new roads, or renovating airports, or building new hotels to accommodate the population surge during the Olympics.

During the 2016 Olympics, Rio reportedly built 15 thousand new hotel rooms to accommodate the potential tourists. Sochi spent $42.5 billion USD to build non-sporting infrastructure for the 2014 Olympics. Of the tens of billions of dollars Beijing spent on the 2008 Olympics, $22.5 billion USD was spent on renovating roads, airports, subways, and trains. They also spent $11.25 billion USD to clean up the city environment.

The improvement of infrastructure that the host government requires will, in turn, open up thousands of new job vacancies in the city. This is one of the advantages of taking up the opportunity in hosting the Olympics. Morever, the flock of sponsors, media, athletes, and spectators that visit the city will generate a lot of revenue for the local government.

Apart from tourists, the Olympics also have several other sources of income. One of them is the sale of licenses. Unfortunately, since the 2008 Olympics, Olympic license prices have continued to fall. You can see this in the graph below, obtained from Statista.

Olympic’s revenue from licensing. | Source: Statista

Marketing is another source of income for the Olympics. Unlike license prices, the Olympic income from marketing shows an upward trend for the past few years. Between 2013-2016, revenue from marketing did experience a minor decline from $8 billion USD in 2009-2012 to $7.8 billion USD in 2013-2016. But of course, this 3% drop is not very large by any standards.

 

Olympic’s revenue from marketing. | Source: Statista

Unfortunately, hosting the Olympics also poses its own problems. Despite the enormous costs incurred to organize the Olympics, host cities frequently find diminishing returns from the event. To hold the 2010 Winter Olympics, Vancouver spent a colossal $7.6 billion USD but only managed to rack up a profit of $2.8 billion USD. 

Sometimes, the Olympics don’t even provide that many new job opportunities in the city. For example, Salt Lake City (the host of the 2002 Olympics) reportedly only found 7 thousand new job openings, 10 times smaller than its initial estimations. Even worse, most of the job availability is usually aimed at individuals with existing jobs. Therefore, the argument that the Olympics can potentially solve the problems of unemployment is simply inaccurate.

More often than not, a large proportion of business opportunities that result from hosting the Olympics also benefit international companies instead of local enterprises. However, the biggest issue of hosting the Olympics is the abandonment of the infrastructure built for the event. When the Olympics come to a close, athletes villages and sports stadiums essentially serve no more purpose and are often left out to rot.

Athletes village in Turin. | Source: Olympics

Now that we have a clear picture of the requisites and budget of organizing the Olympics, let’s compare the required costs of holding esports events ranging from the national level to world-class tournaments such as TI or LOL Words

In terms of expenses, Vanzetti estimated that organizing world-class esports events would need a budget in the range of millions of dollars. Likewise, Herry estimates that the national-level esports tournament will cost around $500 thousand USD to US$1 million USD, while international-level tournaments would usually double that figure. He also predicts that holding The International or LOL Worlds would require a budget of $5-10 million USD. Irli also had a similar opinion with Herry, expecting that organizing TI or LOL Worlds will most likely have a minimum cost of $5 million USD.

“In terms of budget details, 50% is allocated to production, 20% to hospitality and manpower, 20% to promotions, and 10% for other miscellaneous works,” said Irli. “That’s usually the rough proportions, but it mostly depends on the client’s goals and needs. Some clients may want to focus more on increasing the production value, which means that more resources will be designated to production. Valve, for example, is always interested in creating stories and movie content based on the competition. I personally like to put more effort into producing lavish opening ceremonies, using state-of-the-art broadcasting technology, and so on.”

The content that Valve produces to support The International is True Sight. True Sight is a documentary series that showcases behind-the-scenes footage, stories, and experience of the Dota 2 pro players during TI or Majors. Unlike Valve, Riot Games prefers to present a grand opening ceremony. At LOL Worlds 2017, Riot flew a virtual dragon at the Beijing National Stadium. In 2018, Riot’s virtual K-Pop group, KDA, performed in front of the LOL World’s stage using augmented reality technology. Riot upped the performance yet again in 2019 by using cutting-edge holographic technology, which made the KDA members look highly realistic.

So, are esports tournaments profitable?

In 2018, Derrick Asiedu, Head of Global Events in Riot Games, revealed that Riot spends more than US$100 million per year on its esports program but is still miles away from making a return in capital. Fortunately, Riot’s effort in expanding its esports has allowed League of Legends’ esports ecosystem to thrive and attract millions of audience. Even though Riot might not have made a profit from esports for the moment, it successfully kept LOL relevant for more than 10 years. Consequently, Riot still can generate income through in-game content or sales to balance out their financial losses in esports. 

When compared to traditional sports competitions like the Olympics, esports also have a different model of monetization. 40% of traditional sporting events’ income usually come from sponsorships, 40% from broadcasting, and 20% from ticket and merchandise sales. As for esports, 80% of revenue comes from sponsorships, 15% from broadcasting, and 5% from ticket and merchandise sales, according to Alban Dechelotte, Head of Business Development and Sponsorship, League of Legends European Championship (LEC).

“We could go on only one platform and be exclusive,” Dechelotte told GamesIndustry, “We may have more revenue but we lose viewership which is important because at the end of the day, it’s a marketing tool for the game. So sponsorship becomes the number one priority for us, because compared to traditional sport, it’s double the weight in terms of revenue.”

In line with Asideu, Irli also estimated that sponsorships contribute to 80% of esports events’ income, and the rest of the 20% comes from ticket sales, merchandise, and so on. “These proportions are perhaps why most esports events today are held by the game developer/publisher themselves,” he said. “Esports sadly hasn’t been able to create revenue streams from ticket sales alone. It still primarily functions as a marketing tool for publishers with the sole purpose to create exposure for the game. Events such as The International and LOL Worlds can push revenue contributions of merchandise and ticket sales to around 30%-40%, but the rest still lies on the sponsors.”

BOOM Esports when they won the ESL Indonesia Championship Season 2. | Source: Twitter

Moreover, holding international esports tournaments can highly benefit local companies in the host city. Vanzetti mentioned that ESL does have its own private equipment and personnel to maintain the integrity of its events. However, ESL also frequently works with local suppliers for stage procurement, such as sounds, lights, and LEDs.

“For some parts of the event, we usually get help from local companies, such as for the procurement of furniture, security barriers, and cameras,” said Vanzetti. “Local companies can have the opportunity to earn big profits through hosting world-class esports competitions in their city or country.”

Conclusion

Preparation for holding the Olympics is much more complicated and takes much longer than holding esports events, even for prestigious tournaments like The International or LOL Worlds. Furthermore, in terms of cost, organizing the Olympics requires a much larger budget, up to billions of dollars, compared to the million-dollar range of esports tournaments. Even so, the Olympics never fails to attract millions of television viewers around the globe. Unfortunately, the number of Olympic spectators has experienced a continuous decline for the past few years, perhaps due to the changes in modern viewing habits. More people today, especially the younger generation, simply prefer watching online streams instead of TV.

In terms of income, both the Olympics and esports events can sometimes prove to be unprofitable. However, esports has always been used primarily as a marketing tool, not as an additional income stream. Game developers’ source of revenue still stems from selling games or in-game items. As for its purpose, esports has been incredibly effective in maintaining the longevity of many franchises such as League of Legends, Dota, or Counter-Strike: Global Offensive. Rainbow Six has also benefited from its esports ecosystem, as seen by its growing number of players for the past few years.

Featured Image: Unsplash. Translated by: Ananto Joyoadikusumo.