Jatuh Bangun Ronald Ishak Mewarnai Ekosistem Startup Indonesia

Sejak tahun 2009 Ronald Ishak telah mewarnai ekosistem startup Indonesia. Sempat gagal dengan dua startup pertamanya, Domikado dan Tasterous, kini ia fokus melahirkan talenta-talenta digital berkualitas melalui platform pelatihan online Hacktive8.

Suka duka berkarier sebagai entrepreneur dan angel investor memberikannya kemampuan untuk melihat ekosistem startup dari dua sisi yang berbeda. Kepada DailySocial, Ronald bercerita target yang ingin ia capai untuk mendukung pertumbuhan talenta digital di Indonesia.

Naik turun mengembangkan startup

Tren dan popularitas Blackberry di sekitar tahun 2008-2009 melahirkan ide bagi Ronald meluncurkan Domikado. Ide awal Domikado adalah memudahkan pengguna melakukan jual-beli saham melalui Blackberry dan meninggalkan cara lama secara manual.

Namun, karena saat itu belum banyak masyarakat Indonesia yang tertarik  berinvestasi saham, Ronald kesulitan mendapatkan pasar yang tepat. Untuk mengakali peluang yang ada, ia menyematkan ragam informasi dalam platform, mulai dari daftar restoran hingga tempat olahraga.

“Saya kemudian mempekerjakan tenaga magang sebagai data entry, sementara untuk fitur finansial masih dalam pengembangan. Untuk melakukan testing saya mengirimkan link kepada teman dan saudara untuk mulai mencoba,” kata Ronald.

Ronald dikejutkan dengan besarnya jumlah PIN Blackberry yang masuk — menyebabkan sistem crash dan harus terhenti sementara. Besarnya minat dari lingkungan terdekat memberikan semangat baginya untuk mengembangkan produk. Namun demand untuk informasi di luar layanan finansial ternyata dipertanyakan investor mereka, yaitu Ciptadana Sekuritas.

Looking back kenapa dulu platform jual-beli saham tidak sukses, karena timing masih sangat way too early bagi kami untuk membangun teknologi tersebut,” kata Ronald.

Lepas dari Domikado, Ronald memutuskan membangun startup di vertikal berbeda. Ia menggandeng Deche Pangestu membangun Tasterous. Platform yang diluncurkan pada awal tahun 2011 ini pada dasarnya adalah permainan berburu makanan yang bisa digunakan di perangkat bergerak. Aplikasi ini akan menunjukkan pengguna hidangan lokal terbaik yang dekat dengan lokasi.

“Hanya berjalan selama 8 bulan, kami memutuskan untuk menutup Tasterous. Saat itu Domikado telah dibeli dan talenta yang ada langsung direkrut oleh pemegang saham yang ingin repurpose perusahaan, menjadikan Domikado small exit bagi saya,” kata Ronald.

Ronald juga sempat membantu TADA, platform loyalitas dan reward, untuk mengembangkan bisnis sampai berhasil melakukan penggalangan dana Seri A. Di masa awal ia menjabat sebagai CTO.

Jatuh bangun mendirikan startup tidak pernah ia sesali. Semua menjadi pelajaran hidup yang dinikmati. Ronald mengaku dirinya menyimpan jurnal sejak awal mendirikan startup. Di sana tertulis suka duka dan pengalaman yang sudah ia lalui.

Angel investor

RMKB Ventures, sebuah angel investor group, didirikan Ronald Ishak bersama 3 orang temannya, yaitu Michael Cheung, Kevin Sutantyo dan Benson Kawengian. Meskipun jumlah investasi yang diberikan tidak besar, namun RMKB memiliki sejumlah portofolio, yaitu TADA, Qoala, Printerous, LoginID, Volantio, Vahan, Hacktiv8, GoKampus dan Rebelworks.

Masih sedikitnya jumlah startup pada saat itu menyulitkan Ronald dan tim melakukan proses due diligence. Mereka kemudian melihat dari sisi pribadi pendiri startup untuk proses kurasi. Dari 8 portofolio tersebut, RMKB Ventures sudah exit di dua startup. Salah satu return dari proses tersebut sudah meng-cover beberapa investasi.

“Meskipun dari sisi valuation semua startup sudah baik, kita selalu memikirkan future exit returns. Kita telah mendapat beberapa yang sudah partial exit,” kata Ronald.

Karena kesibukan masing-masing pendirinya, untuk saat ini RMKB Ventures memutuskan tidak melakukan investasi lanjutan. Meskipun masih banyak tawaran dan pitch deck yang masuk, mereka lebih memilih membantu startup baru ini menemukan investor yang tepat dengan memanfaatkan networking yang telah dimiliki.

Peningkatan kuantitas dan kualitas talenta digital

Co-founder Hacktiv8 Ronald Ishak dan Riza Fahmi

Saat ini, bersama Hactiv8, Ronald memiliki misi melahirkan developer terbaik yang makin besar demand-nya. Hacktiv8 diklaim terus mengalami pertumbuhan bisnis baik dan sudah mencapai taraf profitable.

Pendanaan terakhir yang diterima Hacktiv8 adalah pendanaan Pra-Seri A di awal tahun 2020 senilai $3 juta (sekitar 41 miliar Rupiah) yang dipimpin East Ventures.

“Hactiv8 berdiri karena kondisi yang mendesak, di mana saat itu kami kehilangan tim engineer di perusahaan terdahulu yang dibajak oleh perusahaan e-commerce dalam jumlah yang besar. Melihat adanya potensi untuk melahirkan developer di tanah air, akhirnya saya dan Riza Fahmi memutuskan untuk mendirikan platform ini,” kata Ronald.

Menurut Ronald, kehadiran tenaga kerja asing yang meramaikan posisi engineer di startup Indonesia menjadi hal yang positif. Kebanyakan engineer tersebut biasanya memiliki skill dan wawasan yang matang. Kolaborasi mereka dan tim lokal bisa berdampak positif untuk mengembangkan skill talenta lokal.

“Sampai saat ini dan seterusnya Hacktiv8 akan terus mendampingi. Indonesia sudah menjadi pasar paling strategis untuk investor hingga startup melancarkan bisnisnya. Ke depannya saya melihat potensi cerah bagi ekosistem startup di Indonesia,” kata Ronald.

Mendorong Peningkatan Jumlah dan Kompetensi Talenta Digital di Indonesia

Meskipun pertumbuhan startup lokal makin besar jumlahnya, hal ini tidak dibarengi dengan pertumbuhan jumlah para pengembang siap kerja. Banyak perusahaan teknologi besar yang mengambil jalan pintas dengan mempekerjakan tenaga kerja dari negara lain, terutama India.

DailySocial mencoba memahami kendala, tantangan, dan potensi solusi untuk membantu meningkatkan jumlah dan kompetensi tenaga pengembang lokal.

Memahami kurikulum

Meskipun secara basic mereka sudah cukup mengerti apa itu pemrograman, diklaim masih banyak sarjana ilmu komputer yang tidak menguasai benar konsep bahasa pemrograman secara keseluruhan.

CEO Hactiv8 Ronald Ishak mengklaim kurikulum yang diajarkan ke mahasiswa di universitas tidak dibarengi dengan update teknologi yang cepat berubah. Standarisasi pengajaran yang diberikan dosen kebanyakan hanya seputar konsep-konsep fundamental. Hal ini membatasi wawasan dan pengetahuan mereka mengenai bahasa pemrograman.

“Berdasarkan laporan yang dirilis oleh World Bank tahun 2019 lalu, hanya sekitar 16% saja lulusan Computer Science di Indonesia yang bekerja. Jumlah tersebut menurut saya sangat buruk,” kata Ronald.

Menurut pantauan CEO Kotakode Peter Tanugraha, masih banyak universitas yang tidak menggunakan materi terkini. Idealnya semua materi, modul, dan textbook selalu diperbarui. Tidak disarankan menggunakan materi lama yang sudah tidak relevan.

“Misalnya untuk proyek akhir tahun di sekolah masih menggunakan stack yang lumayan tua usianya yang saat ini tidak pernah digunakan, tapi sebagian besar masih diajarkan di sekolah,” kata Peter.

Sementara menurut CEO PT Brainmatics Cipta Informatika Romi Satria Wahono, belajar dari pengalamannya selama ini ketika bersinggungan dengan dunia pendidikan dan akademisi, persoalan kurikulum memang menjadi kendala yang menyebabkan belum masifnya jumlah pengembang yang berkualitas di Indonesia. Persoalan menumpuknya mata kuliah juga dianggap membatasi para mahasiswa melakukan pelatihan langsung.

“Berbeda dengan negara lain, Indonesia sistem pembelajaran fokus kepada hafalan. Mahasiswa tidak diajarkan untuk berpikir lebih kritis dan inovatif, yang dalam hal ini akan sangat membantu mereka menguasai bahasa pemrograman,” kata Romi.

Romi melihat ada baiknya dosen lebih aktif memperkaya wawasan, mengikuti seminar, dan terlibat lebih dekat lagi dengan mahasiswa dengan cara mengajak mereka bergabung ke sebuah proyek. Penting juga untuk universitas melakukan pembaruan modul dan textbook, menyesuaikan update dari materi yang mereka kumpulkan.

Teaching people tidak bisa memikirkan materi saja, tapi lebih kepada keinginan untuk memberikan edukasi yang relevan kepada mahasiswa,” kata Romi.

Di sisi lain, Romi melihat idealnya perusahaan teknologi ternama di Indonesia tidak hanya terpaku pada mereka yang siap bekerja.  Perusahaan seharusnya memberikan edukasi dan pelatihan ke mereka yang baru saja lulus kuliah saat bergabung di perusahaan.

Peranan platform coding class

Saat ini makin mahasiswa dan kalangan umum yang memanfaatkan kelas coding atau pelatihan pemrograman yang dtawarkan platform seperti Hacktiv8, DicodingProgate atau Kotakode. Salah satu keunggulan yang diklaim platform seperti ini adalah pembaruan materi yang dilakukan secara rutin.

“Sudah banyak jumlah para siswa yang kemudian memutuskan untuk mengambil pengetahuan tambahan secara mandiri memanfaatkan platform kami. Kami melihat sebagian besar sudah sukses dan berhasil bekerja di startup dan perusahaan teknologi ternama di tanah air,” kata Ronald.

Hacktiv8 juga melakukan pendekatan ke perusahaan teknologi. Mereka membantu mencari talenta dengan skill yang sedang dibutuhkan perusahaan saat ini.

“Hacktiv8 lebih mempersiapkan talenta yang sesuai dengan arahan yang mereka coba capai. Dengan demikian, ketika mereka sudah lulus dari program kita, mereka akan lebih siap bekerja,” kata Ronald.

Sementara Kotakode mencoba mempermudah para pengembang Indonesia mempelajari materi yang biasanya hanya tersedia dalam bahasa Inggris. Meskipun pengembang idealnya harus mengerti bahasa Inggris, perusahaan mencoba menjembatani para talenta untuk mempelajari lebih dalam materi-materi teknis.

“Kotakode sedang membangun infrastruktur programming dengan menambahkan konten di Google dan menyediakan Q&A yang bisa diakses. [..] Itu adalah kontribusi Kotakode untuk membantu talenta di Indonesia dengan memberikan resources yang besar,” kata Peter.

Potensi pengembang Indonesia

Memasuki tahun 2021, menurut Ronald, sudah banyak prestasi dan peningkatan jumlah talenta digital Indonesia. Namun demikian, ada beberapa persoalan yang masih mengganjal baginya. Salah satunya rendahnya apresiasi startup ke pengembang Indonesia dari sisi gaji. Masih banyak pengembang dengan kemampuan di atas rata-rata tidak dihargai dengan gaji yang sesuai. Akibatnya banyak yang memilih bekerja di negara lain.

“Kondisi remote working saat ini telah memudahkan mereka untuk bekerja secara fleksibel, sehingga makin banyak programmer asal Indonesia yang memilih bekerja di perusahaan asal Singapura dan Malaysia yang menawarkan gaji yang (lebih) besar,” kata Ronald.

Menurut Ronald, di tahun 2021 yang menjadi sorotan saat ini tidak lagi pengembang, tapi arsitek atau Product Manager yang kualitasnya dianggap masih di bawah rata-rata dan kurang memahami cara membangun produk yang ideal. Ujung-ujungnya perusahaan teknologi (kembali) menggunakan tenaga kerja asing yang memiliki kemampuan dan pengalaman mumpuni dalam merancang produk.

“Dari kondisi tersebut baiknya programmer lokal bisa belajar gaya dan skill mereka [tenaga kerja asing], sehingga bisa menambah wawasan dan pengalaman,” kata Ronald.

Sementara menurut Peter, tren mempekerjakan tim dari negara lain didasari kebutuhan perekrutan tim dalam jumlah besar dan memiliki pengalaman dan skill yang baik. Tak heran berujung pada pembukaan kantor di negara lain. Hal ini adalah langkah strategis.

Ke depannya Romi memprediksi skill yang dibutuhkan pengembang tidak hanya kepiawaian dalam hal coding, tetapi juga kemampuan menyampaikan ide dan komunikasi yang baik. Untuk itu Romi menyarankan mahasiswa untuk lebih aktif lagi bergabung dengan berbagai komunitas di kampus.

“Saya melihat tidak hanya specialist geek saja yang akan lahir nantinya, namun juga versatilist yang mampu menyampaikan ide mereka dengan baik,” kata Romi.

Mengintip Proses Produksi Konten Pembelajaran Pemrograman Online

Ramai-ramai mempelajari hal baru adalah salah satu dampak selama pandemi setengah tahun terakhir ini. Beberapa laporan dan survei menyebutkan masyarkat mulai peduli tentang pengembangan kemampuan di masa-masa sulit seperti sekarang. Gayung bersambut, industri edtech di Indonesia sedang tumbuh subur.

DailySocial berkesempatan mengintip bagaimana proses produksi konten dua penyedia layanan belajar online Kode.id dan Dicoding. Keduanya sama-sama berada di segmen pengguna yang sama, coding atau programming dan teknologi.

Kode.id (Kode), yang merupakan bagian dari Hacktiv8, saat ini sudah memiliki 165 kelas dengan total pembelajaran lebih dari 305 jam. Ada 70% konten Kode yang diproduksi secara mandiri, namun ada beberapa yang diproduksi bekerja sama dengan Production House.

“Hacktiv8 Indonesia memiliki in-house production team yang memproduksi konten setiap harinya. Tidak hanya in-house team, tetapi studio dan perlengkapan shooting produksi pun dijalankan secara mandiri. Namun, dengan adanya penambahan konten yang pesat, kami pun mulai berkolaborasi dengan production house lokal untuk memproduksi kelas di Kode.id,” terang Founder Kode.id Ronald Ishak.

Kode.id saat ini memiliki tiga tahapan yang harus dilalui untuk memproduksi sebuah konten atau kelas. Tahap pertama dimulai dengan perancangan dan desain materi pembelajaran, kemudian dilanjutkan dengan produksi kelas, seperti shooting dan editing. Tahapan ini ditutup dengan proses quality assurance atau review. Semua tahapan ini membutuhkan waktu kurang lebih 4 minggu.

“Ada dua jenis review atau QA yang dilakukan: Content QA dan Production QA. Content QA dilakukan dengan cara melihat dan mengevaluasi materi, meliputi relevansi dengan dunia kerja, penggunaan teori yang tepat, penggunaan study case dan contoh untuk mengilustrasikan suatu topik. Sedangkan, Production QA berfokus kepada produk audio visual yang akan diterbitkan di platform Kode.id, meliputi cross check audio leveling, evaluasi kualitas gambar, konsistensi dalam editing, dan lain-lain,” lanjut Ronald.

Proses serupa juga berlaku di Dicoding. Sebagai salah satu pionir platform pembelajaran pemrograman di Indonesia, semua konten pembelajaran mereka, dasar sampai mahir, diproduksi sendiri secara in-house.

Prosesnya dimulai dengan menentukan atau mendesain alur belajar yang hendak diterbitkan, kemudian membuat daftar apa saja yang akan dibuat. Daftar ini kemudian dikonsultasikan dengan pihak eksternal (expert) untuk selanjutnya dituangkan dalam modul atau tulisan. Selanjutnya proses ditutup dengan multi layer review yang memastikan kaidah penulisan, kualitas materi, referensi, dan lainnya agar sesuai dengan standar kualitas yang mereka miliki.

Semua proses ini bisa memakan waktu berbulan-bulan,” sambung Founder Dicoding Narenda Wicaksono.

Amanda Simandjuntak, Co-Founder Skilvul, menambahkan tentang apa yang ada di balik produksi konten mereka. Menurutnya, setiap konten atau kelas yang ada di dalam Skilvil diproduksi mandiri bersama dengan beberapa kreator konten yang merupakan praktisi di industri.

Ada beberapa tahap dalam pengembangan kelas dalam Skilvul, termasuk adalah riset tentang materi dan survei ke hiring partner dan industri. Langkah ini dilanjutkan dengan pengembangan dan review. Kelas akan tetap diawasi agar tetap relevan dengan kebutuhan.

“Untuk saat ini, karena masih kelas dasar, rata-rata waktu penyelesaian per kelas adalah 1 minggu. Untuk kelas yang lebih advanced [akan di-launch bulan depan] akan memakan waktu lebih lama,” terang Amanda.

Menjaga kualitas

Saat ini konten materi pembelajaran, terutama pemrograman, sudah tersedia di banyak tempat. Baik yang berbayar maupun yang gratis. Kode dan Dicoding paham betul hal tersebut. Itu mengapa tak masalah produksi konten memakan waktu yang lama, karena yang utama adalah kualitas konten yang diberikan.

Proses menjaga kualitas ini dimulai sejak pertama kali memutuskan untuk membuka kelas. Kode, dari penuturan Ronald,  memilih untuk membuat kelas yang relevan dengan dunia kerja dan dapat diterapkan. Hal ini dikombinasikan dengan instruktur yang passionate di bidangnya.

Sementara Dicoding memulainya dengan melakukan riset, kemudian melihat ketersediaan expert yang dapat diandalkan secara in-house untuk kelas baru tersebut. Tak lupa mereka melihat kebutuhan industri dan permintaan pengguna.

Di Skilvul, karena menargetkan anak SMK dan kuliah, perusahaan mengamati bahasa pemrograman apa yang banyak dipakai di industri.

Lebih Dekat dengan Penyelenggara “Bootcamp” Pemrograman di Indonesia

Jurang talenta digital di Indonesia sudah menjadi isu sejak beberapa tahun ke belakang. Kelangkaan terjadi salah satunya karena kurang cocoknya kurikulum di universitas dengan kebutuhan industri. Menjawab tantangan ini muncul banyak lembaga pendidikan non formal yang mengusung program pelatihan yang dikemas dengan model bootcamp atau belajar intensif. Tak hanya materi, lembaga pendidikan ini juga membantu lulusannya terhubung dengan perusahaan yang sesuai dengan industri mereka.

Kami mencoba menggali informasi dari salah satu penyedia bootcamp pemrograman di Indonesia, Hacktiv8. Kepada DailySocial, Ronald Ishak, CEO Hacktiv8, menceritakan mengenai Hacktiv8 dan seperti apa program bootcamp yang ia jalankan. Hacktiv8 membuka program FullStack JavaScript yang dibagi dalam empat tahap.

Tahap 0 mempelajari dasar pemrograman, sedangkan di tahap keempat, siswa sudah bisa mengimplementasikan React dan React Native dalam membangun sebuah aplikasi web. Di akhir pembelajaran bootcamp akan ada graduation ceremony di mana setiap siswa mempresentasikan hasil project mereka dalam bentuk Minimum Viable Product (MVP) di depan hiring partners dan tamu-tamu Hacktiv8.

Ronald melanjutkan, sama seperti keterampilan lainnya, belajar pemrograman atau coding itu harus berani “ngulik” dan terus latihan hingga bisa menguasainya.

“Kami terapkan mindset yang agile kepada students: berani berkembang, giat mencari solusi dan fleksibel terhadap perubahan. Secara tidak langsung di Bootcamp Hacktiv8 kami mendorong student untuk berpikir secara independen, lalu mengimplementasikannya dengan adanya monitor dari instruktur – tapi berpikirnya harus independen. Karena saat dia bekerja nanti kan, tidak ada Hacktiv8 instructor di sebelahnya,” imbuh Ronald.

Kami juga berbincang soal hal ini dengan Alamanda Shantika, CEO Binar Academy. Binar Academy memiliki program Binar Bootcamp, sebuah program pelatihan intensif yang bertujuan untuk mengembangkan talenta digital dengan kurikulum teknologi terkini yang diharapkan mencetak lulusan yang siap kerja. Tak hanya itu, materi belajarnya pun diklaim tidak hanya mencakup hal teknis, tetapi juga non-teknis, seperti leadership, agility, dan work ethic untuk mempersiapkan siswa agar siap di industri digital.

Bootcamp dilakukan selama 4 sampai dengan 6 bulan dengan jadwal belajar 3 kali dalam seminggu. Siswa akan dibimbing instruktur dengan sistem menyerupai gim, semacam challenge-based learning dan project-based learning. Konsep tersebut dipilih untuk menciptakan pengalaman yang menantang dan menyenangkan.

Student wajib menghadiri kelas diskusi untuk konsultasi langsung dengan instruktur Binar Academy yang merupakan praktisi untuk menggali wawasan atau sudut pandang terhadap sebuah permasalahan. Dalam kelas diskusi, kegiatan belajar-mengajar dititikberatkan pada kemampuan abstraksi dan penalaran tentang kasus nyata pemrograman. Ada komunikasi 3 arah yang terjadi di kelas diskusi, yaitu student ke fasilitator; fasilitator ke student; dan student ke student lain,” papar Alamanda.

Binar Bootcamp dibuka Januari 2020 dengan kelas Android Engineering. Mulai 4 Juni ini, Binar Academy membuka dua kelas baru, yakni Full Stack Web Development dan UI/UX Design. Menyesuaikan dengan kondisi pandemi, bootcamp kini hanya tersedia untuk kelas online.

CEO Binar Academu Alamanda Shantika / Binar Academy

Upaya memenuhi jurang talenta digital

Perkembangan industri digital yang pesat mendorong perusahaan berlomba-lomba mencari talenta terbaik untuk posisi-posisi yang mungkin belum lazim sebelumnya, seperti UI/UX designer, full stack developer, dan semacamnya.

Akhir tahun 2019, pemerintah melalui Kemkominfo disebut telah mengalokasi dana ratusan miliar Rupiah untuk mengisi 20 ribu talenta digital. Salah satu program yang sudah berjalan yakni Digitalent Scholarship dengan materi-materi teknis yang banyak dibutuhkan industri digital saat ini.

Dengan semangat yang sama, para penyelenggara penyedia bootcamp ini mengusung mimpi serupa untuk membantu menyediakan talenta yang siap kerja. Tak hanya soal materi pengajaran, tetapi juga kanal mendistribusikan lulusan.

Binar Academy misalnya, selain mengadopsi kurikulum terkini dan selalu menyelaraskan kebutuhan industri dengan apa yang mereka lakukan dalam bootcamp, juga menjalin hubungan baik dengan perusahaan dan industri. Tujuannya untuk memudahkan para lulusan bootcamp dan perusahaan untuk saling bertemu.

“Sejak berdirinya Binar Academy di tahun 2017, kami sudah menyalurkan lulusan bootcamp ke berbagai macam perusahaan termasuk startup, korporat, dan BUMN. Mitra-mitra Binar Academy mempunyai dua pilihan untuk merekrut lulusan kami, yaitu dengan skema full-time hire dan skema outsourcing. Binar Academy mempunyai tim khusus yang berpengalaman di industri digital untuk mencari kecocokan antara preferensi talent maupun perusahaan agar dapat memenuhi kebutuhan kedua pihak,” terang Alamanda.

Hacktiv8 memiliki semangat yang senada. Menurut Ronald, mereka sudah memiliki lebih dari 350 hiring partners. Ronald juga sepakat bahwa talenta sekarang harus seimbang antara coding skill dan soft skill.

“Tidak cukup hanya dengan coding skill yang kuat, namun juga bagaimana sebagai orang technical bisa berkomunikasi dengan non-IT. Hacktiv8 pun sebagai startup mengerti dan menerapkan kualitas tersebut dalam proses hiring. Untuk students kami pun kita berikan pembekalan yang cukup seperti bagaimana melakukan technical presentation kepada general public, membaca dokumentasi, menyiapkan CV, hingga mempersiapkan elevator pitch,” papar Ronald.

Kiri ke kanan: Riza Fahmi and Ronald Ishak, Co-founders Hacktiv8 / Hacktiv8-Founders

Membantu talenta dan perusahaan saling menemukan

Baik Hacktiv8 maupun Binar Academy membagikan data mengenai lulusan bootcamp mereka. Hacktiv8, berdasarkan data yang dirilis Maret silam menyebutkan bahwa dari 57 siswa yang mengikuti bootcamp pada tanggal 1 Januari 2019 sampai dengan 30 Juni 2019, 89,5% di antaranya memutuskan untuk mencari pekerjaan. Sisanya, 10,5%, melanjutkan pekerjaan sebelumnya, melanjutkan pendidikan, atau mengikuti bootcamp hanya untuk pengembangan diri.

Masih di laporan yang sama, 180 hari selepas lulus bootcamp, 94,7% lulusan memiliki pekerjaan sesuai dengan bidangnya, 1,8% memutuskan untuk tidak mencari kerja karena alasan personal, sisanya (3,5%) tidak bisa dihubungi.

Untuk yang berhasil bekerja di bidang teknis yang sesuai dengan materi bootcamp, 78,9% menjadi karyawan full time (30+ jam/minggu, lebih dari 6 bulan); 7% menjadi karyawan kontrak, magang, dan sejenisnya; 1,8% menjadi freelance, karyawan kontrak durasi pendek, part time, dan semacamnya; dan 7% mendirikan perusahaan atau bisnis baru.

Ronald menjelaskan, tantangan utama menyalurkan lulusan adalah fluktuasi dalam kebutuhan rekrutmen mitra. Hal yang semakin terlihat di masa pandemi seperti sekarang adalah beberapa perusahaan mengurangi atau bahkan menunda aktivitas rekrutmen karena dampak perkambatan ekonomi.

“Untuk itu Hacktiv8 memiliki sebuah unit yang berfungsi mengoptimalkan proses penyaluran lulusan dengan memberikan one stop service kepada hiring partner, mulai dari pendataan kebutuhan perusahaan, mencocokkan profil lulusan dengan kriteria rekrutmen, sampai memfasilitasi interview lulusan dengan partner Hacktiv8,” jelas Ronald.

Sementara itu, Alamanda menceritakan bahwa saat ini Binar Academy sudah memiliki lebih dari 1000 lulusan. Menurutnya, waktu tunggu lulusan cukup variatif, kendati demikian tim Binar Academy sudah berupaya terlibat dalam proses pencarian kerja lulusan sejak siswa masih dalam bootcamp yang memungkinkan lulusan bisa mendapat pekerjaan 2 minggu setelah lulus.

“Berdasarkan hasil riset tim yang melibatkan engineer berpengalaman dan psikolog, yang dibutuhkan oleh semua industri saat ini bukan hanya hard skill dan soft skill tetapi juga talenta yang merupakan lifelong learner, team player, dan enthusiastic professional. Binar Academy percaya bahwa gabungan antara kurikulum yang disusun sesuai teknologi terbaru dan metodologi belajar yang interaktif akan menghasilkan talenta dengan kemampuan tersebut,” tutup Alamanda.

Konsep ISA Bakal Jadi Fokus Hacktiv8 Setelah Pendanaan

Hacktiv8, startup yang dikenal sebagai penyelenggara bootcamp untuk pemrograman, mengantongi pendanaan Pra-Seri A senilai $3 juta (sekitar 41 miliar Rupiah dengan kurs hari ini) yang dipimpin East Ventures. Turut terlibat di dalamnya Sovereign’s Capital, SMDV, Skystar Capital, Convegerence Ventures, RMKB Ventures, Prasetia, dan Everhaus.

Co-founder dan CEO Hacktiv8 Ronald Ishak kepada DailySocial menjelaskan bahwa fokus besar pendanaan kali ini ada pada ISA (Income Share Agreement). Sebuah konsep yang mulai banyak digunakan untuk pendanaan pendidikan.

“Dengan memperbanyak demand murid melalui ISA kita juga bisa memperbanyak jumlah sekolah kita. Sekarang ini kita sedang membangun beberapa sekolah baru yang akan dibuka secara bertahap tahun 2020 ini,” terang Ronald.

Konsep ISA sudah mulai diberlakukan di Hacktiv8. Konsep ini berbentuk kontrak bagi hasil antara murid dan Hacktiv8 yang memungkinkan para murid untuk menunda pembayaran biaya sekolah di awal, dengan ketentuan dibayar selanjutnya dengan membagi gaji bulanan yang diterima setelah bekerja.

Besaran pembagian gaji bulanan ini akan disesuaikan dengan pendapatan yang didapatkan. Siswa yang terdaftar di ISA mulai membayar setelah pendapatan mereka melebihi jumlah tertentu, sedangkan mereka yang bisa mendapatkan pendapatan lebih tinggi tidak akan membayar lebih dari batasan tertentu.

“Jika lulusan kami mendapat gaji yang kompetitif, kami akan mendapat pengembalian investasi yang bagus,” imbuh Ronald.

Salah satu hal yang ingin diubah Ronald adalah konsep di mana banyak institusi berbayar yang tidak menjamin lulusan meudah mendapatkan pekerjaan. Dengan konsep ISA ini institusi atau sekolah bertanggung jawab pada keberhasilan murid pasalnya setelah murid berhasil sekolah baru menerima pembayarannya.

Untuk saat ini Hacktiv8 mengklaim memiliki lebih dari 250 perusahaan mitra atau hiring partner yang siap merekrut para alumni. Selain itu perusahaan mitra juga turut berpartisipasi dalam perancangan kurikulum dalam rangka memastikan materi yang dipelajari up to date dan tetap relevan dengan industri.

Termasuk dalam mitra Hacktiv8 adalah Tokopedia, Gojek, Bukalapak, Payfazz, Xendit, KoinWorks, dan beberapa perusahaan lainnya.

Infografis soal ISA

Pertahankan konsistensi untuk cetak programmer handal

Hacktiv8 dikembangkan Roland bersama dengan Riza Fahmi sejak tahun 2018. Dalam kurikulumnya Hacktiv8 mengajarkan beberapa teknologi terkini seeprti JavaScript, Node.js, Vue.js, dan React. Bootcamp yang diselenggarakan pun mendorong peserta untuk secara konsisten berlatih, menghabiskan 10-12 jam setiap hari dalam 5-6 hari selama 12-18 minggu.

“Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah engineer yang rendah, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk. Kondisi ini bukan hanya disebabkan oleh jumlah populasi yang besar, melainkan juga karena Indonesia hanya memiliki sedikit lulusan program studi STEM (science, technology, engineering, and math),” jelas Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Ronald menambahkan, untuk saat ini demografi peserta bootcamp Hacktiv8 kebanyakan adalah mereka yang ingin pindah atau masuk ke dalam dunia bisnis teknologi atau startup dengan background bermacam-macam, mulai dari finance, design, marketing, dan lain-lain yang mencoba menjadi programmer. Mereka juga tengah fokus untuk mengembangkan platform ISA.

“Sekarang ini hanya Hacktiv8 institusi yang kita jalankan dengan ISA, cuma kita sedang mengembangkan ISA platform untuk membantu semua sekolah lain di luar Hacktiv8 untuk bisa menerima ISA (ke depannya),” imbuh Ronald.

Selain bootcamp salah satu pelebaran sayap Hacktiv8 dalam upaya mencetak programmer berkualitas di Indonesia adalah dengan menghadirkan Kode.id. Platform belajar pemrogaman ini diklaim sudah memiliki 160 kelas belajar dengan total 200 jam.

Hacktiv8 Kembangkan Kode.id, Platform Kursus Online dengan Beragam Materi Keterampilan

Hacktiv8 yang selama ini dikenal sebagai program pelatihan intensif menjadi developer mulai berinovasi menghadirkan platform pembelajaran online Kode.id (Kode). Ronald Ishak dan Riza Fahmi (co-founders) turut terlibat mengisi materi-materi video kursus.

Ketika dihubungi DailySocial Ronald menjelaskan, “visi Hacktiv8 menjadi jembatan antara supply dan demand atas developer di Indonesia. Selama menjalankan Coding Bootcamp, kami sadar bahwa tidak semua orang dapat menyiapkan 40 jam per minggu untuk mengikuti kelas secara penuh. Maka dibangunlah Kode.”

Kode awalnya lahir dengan tujuan untuk membantu masyarakat luas dalam belajar pemrograman. Namun seiring berjalannya waktu, kelas-kelas Kode juga diperkaya dengan konten-konten dari bidang ilmu lainnya seperti kepemimpinan, bisnis, pemasaran, hingga desain. Perjalanan Kode baru dimulai awal Juli 2019 ini, kendati demikian saat ini mereka tengah menghimpun pendanaan demi menjadikan Kode sebagai “online upskiling platform” terbesar di Indonesia.

“Melalui Kode kami berharap dapat memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi setiap orang dalam mempelajari ilmu baru yang berguna bagi karier mereka ke depannya. Kami percaya, pendidikan yang berkualitas adalah hak semua orang dan kami yakin Kode dapat mewujudkan hal tersebut dan memaksimalkan perwujudan industri 4.0,” terang Ronald.

Mengenal lebih jauh tentang Kode

Jika Anda sudah familiar dengan platform pembelajaran online berbasis video on demand semacam Udemy, mungkin Anda tidak akan kesulitan mengikuti alur dan menu-menu yang disajikan oleh Kode. Kursus akan ditampilkan berdasarkan kategori dan di dalamnya video sudah disusun ke dalam sebuah playlist.

Ronald memperkenalkan Kode sebagai “subscription based online upskilling video platform“. Mereka menawarkan pendaftaran gratis lengkap dengan sejumlah course gratis yang tersedia. Selain itu juga tersedia akun premium dengan sistem berlangganan dengan biaya berlangganan Rp269.000 per bulan.

Meski video pembelajaran versi gratis cukup banyak, dengan berlangganan akun premium akan mendapatkan sejumlah fitur-fitur pelengkap pembelajaran, seperti akses ke kelas premium, akses video online, dan “learning path” yang memudahkan pengguna menentukan urutan-urutan pembelajaran.

Di Kode, juga disediakan fitur “Skill Assessment” di setiap tahapan pembelajaran untuk mengetahui sejauh mana pemahaman terhadap sebuah materi. Selain itu Kode juga memiliki fitur analitik yang hanya diperuntukkan untuk B2B, yang memungkinkan perusahaan memantau perkembangan proses belajar karyawan mereka.

“Skill Assessment atau bisa dibilang tes kompetensi, akan membantu pembelajar untuk mengetahui tingkat pemahaman atas keahlian tertentu. Learner (sebutan untuk pengguna Kode) akan diberikan sebuah kuis yang akan tersedia di awal penggunaan platform. Berdasarkan jawaban yang diberikan, kami akan menyarankan kelas yang cocok untuk Learner berdasarkan hasil dari kuis tersebut,” jelas Ronald.

Memperkaya perpustakaan kelas

Selain memungkinkan masyarakat mengakses video pembelajaran online, Kode juga membuka kesempatan bagi siapa pun yang memiliki keterampilan untuk menjadi pengajar melalui fitur “Subject Matter Expert (SME)”. Di tahun pertamanya ini pihak Kode ingin memperkaya perpustakaan kelas sehingga untuk memberikan pilihan pelajaran yang beragam.

“Fokus kami adalah terus memperbesar perpustakaan kelas kami. Kami berkomitmen untuk dapat memberikan beragam kelas yang menarik, interaktif, dan relevan terhadap perkembangan industri sekarang. Melalui beragam kelas tersebut, kami berharap dapat meningkatkan taraf hidup para profesional di Indonesia,” terang Ronald.

Selain Kode.id, di Indonesia sudah ada beberapa layanan kursus online serupa misalnya DicodingIndonesiaX, Studilmu, dan lainnya.

Indonesia’s RMKB Ventures Invests at AI Startup Vahan

An Indonesia-based investment firm, RMKB Ventures, invests in Vahan, an AI startup. Also participated in seed funding round are a number of Googlers, Spike Ventures, and some India’s startup executives. Funding will be used for product and team development to support expansion plans in India, Indonesia, and the Middle East.

Co-founded by Madhav Krishna and Mohammed Abdoolcarim, Vahan’s vision is to build an automated voice assistant platform for business, like Siri or Alexa, which can be implemented in popular messaging platforms, such as WhatsApp.

Krishna’s background is in AI and machine learning. He’s graduated from Columbia University, while Abdoolcarim, a Stanford graduate, was a Google and Siri’s Product Manager.

Vahan‘s solution resembles chatbot with a twist. It has the ability to understand conversational voice input, currently accommodating English and local languages in India, especially Hindi (including daily conversation). Vahan said its current product development is to understand conversations in Indonsian.

Vahan targets to capture one million users in India and Indonesia. It’s expecting to raise Series A funding this year.

Chatbot-based customer service solutions in Indonesia have started to emerge. Some of them are Kata.ai and Bang Joni. Nevertheless, no development that we know of is currently built for voice-based conversations.

Abdoolcarim said to DailySocial that the company is exploring a partnership with Go-Jek and Grab. The following video explains Vahan’s capability:

RMKB Ventures‘ Founding Partner, Ronald Ishak, to DailySocial said, “We see the potential [system] disruption of customer service systems using machine learning that becomes increasingly sophisticated. We also support founders tahat having a strong background, graduated from Stanford University and once led [product development] in Siri. Vahan built Siri for business and we are very excited to work with them.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

RMKB Ventures Terlibat Pendanaan untuk Startup Artificial Intelligence Vahan

Perusahaan investasi Indonesia RMKB Ventures terlibat dalam pendanaan awal, yang tak disebutkan jumlahnya, untuk startup Artificial Intelligence Vahan. Selain RMKB, juga turut berpartisipasi sejumlah Googler, Spike Ventures, dan sejumlah eksekutif startup-startup yang berbasis di India. Dana yang diperoleh akan digunakan untuk pengembangan produk dan tim untuk mendukung rencana berekspansi di India, Indonesia, dan Timur Tengah sebagai target pasar utama.

Vahan yang didirikan oleh Madhav Krishna dan Mohammed Abdoolcarim memiliki visi membangun platform asisten virtual berbasis suara untuk bisnis yang diimplementasikan dalam platform messaging, misalnya WhatsApp. Bayangkan Vahan sebagai Siri atau Alexa untuk solusi bisnis.

Krishna disebut memiliki latar belakang keilmuan AI dan machine learning dari Columbia University, sementara Abdoolcarim yang berstudi di Stanford University sebelumnya pernah Menjadi Product Manager untuk Google dan Siri.

Disebutkan bahwa solusi yang dikembangkan Vahan, seperti chatbot tapi dengan kemampuan memahami input percakapan, saat ini sudah mengakomodasi Bahasa Inggris dan bahasa lokal di India, khususnya Hindi (termasuk bahasa percakapan sehari-hari). Vahan mengklaim saat ini sedang mengembangkan produk untuk memahami percakapan dalam Bahasa Indonesia.

Vahan menargetkan untuk memperoleh total pengguna satu juta pengguna di India dan Indonesia, serta berharap menggalang dana Seri A tahun ini.

Solusi layanan pelanggan berbasis chatbot bahasa Indonesia di platform messaging sudah mulai bermunculan, seperti Kata.ai dan Bang Joni, meskipun demikian belum ada yang mengembangkannya lebih lanjut untuk memahami percakapan berbasis suara.

Kepada DailySocial, Abdoolcarim menyebutkan pihaknya sedang menjajaki kemitraan dengan Go-Jek dan Grab. Video berikut menjelaskan contoh implementasi yang bisa dilakukan Vahan:

Founding Partner RMKB Ventures Ronald Ishak kepada DailySocial berkomentar, “Kami melihat potensi disrupsi [sistem] layanan pelanggan menggunakan machine learning yang secara berkelanjutan menjadi semakin pintar. Kami juga mendukung para pendiri yang memiliki latar belakang kuat, yaitu lulusan Stanford University dan pernah memimpin [pengembangan produk] di Siri. Vahan membangun Siri untuk bisnis dan kami sangat bersemangat untuk bekerja sama dengan mereka.”

Mengupas Persoalan Krisis Talenta dan Rendahnya Minat Generasi Muda Terjun ke Dunia Teknologi

Persoalan talenta hingga kini masih menjadi perbincangan di kalangan pelaku startup, investor hingga akademisi. Makin besarnya pertumbuhan startup saat ini ternyata belum bisa merekrut secara maksimal talenta muda yang berkualitas, khususnya di bidang pemrograman/developer.

Dalam kesempatan Global Mobile Internet Conference (GMIC) Jakarta 2017, para pakar yang terdiri dari investor, entrepreneur dan akademisi yang berkecimpung langsung di dunia teknologi, membicarakan persoalan tersebut. Dari hasil diskusi terungkap beberapa hal, mulai dari rendahnya kualitas pendidik dan masih minimnya jumlah anak muda yang ingin terjun ke dunia teknologi, menjadi beberapa faktor penyebab rendahnya jumlah hingga kualitas “supply” developer di Indonesia saat ini.

Meningkatkan kualitas pengajar

Sebagai salah satu sekolah IT-Preneur yang sudah hadir sejak tahun 1987 lalu, Purwadhika Startup dan Coding School, konsisten untuk selalu memberikan pelajaran hal-hal yang terkait dengan teknologi. Jika dulunya fokus pengajaran lebih kepada pembuatan komputer, tahun 2017 ini fokus pengajaran lebih kepada pemrograman. Menurut Founder dan President Purwadhika Startup & Coding School dan Neurosoft Indonesia Purwa Hartono, salah satu kendala yang menghambat pertumbuhan tenaga ahli di bidang tersebut adalah minimnya kualitas dan kemampuan pengajar hingga lemahnya kurikulum di Indonesia saat ini. Sehingga tidak bisa menarik perhatian anak muda untuk kemudian terjun ke dunia teknologi.

“Masih banyak anak muda saat ini yang lebih senang mengejar gelar dan bekerja di perusahaan pemerintah hingga swasta. Selain itu sebagian besar dari mereka masih melihat coding dan pemrograman adalah pelajaran yang sulit untuk dicerna,” kata Purwa.

Senada dengan Purwa, CEO Hacktiv8 yang selama ini telah melahirkan tenaga coder yang sukses bekerja di startup lokal ternama seperti GO-JEK hingga Tokopedia mengungkapkan, pengajar yang berkualitas dan memiliki kesabaran tinggi menjadi faktor penentu keberhasilan siswa. Dalam hal ini Hacktiv8 yang merupakan kelas Pemrograman Full Stack JavaScript di Jakarta, memiliki misi untuk melahirkan tenaga kerja baru yang bisa diandalkan dan memiliki akuntabilitas. Seperti yang diungkapkan oleh CEO, Hacktiv8 Ronald Ishak.

“Untuk memastikan siswa dari Hacktiv8 nantinya bakal langsung diterima di startup ternama di Indonesia saat ini, kami terus melakukan kolaborasi dengan startup seperti GO-JEK hingga Kudo.”

Dukungan investor dan pemerintah

Untuk bisa menciptakan sebuah peluang sekaligus mengumpulkan tenaga muda yang memiliki minat menjadi engineer, dukungan dari investor lokal hingga asing dan pemerintah juga memiliki peranan penting. Dalam hal ini menurut Founding Partner Kejora Ventures dan Direktur Founder Institute Andy Zain, melalui venture capital dan Founder Institute yang ia pimpin diharapkan bisa menghasilkan calon entrepreneur dan startup berkualitas, melalui program binaan yang dilakukan oleh Kejora sekaligus Founder Institute.

“Hingga kini kami cukup bangga telah memiliki startup binaan yang berhasil memenangkan kompetisi startup. Sesuai dengan tujuan dari kami yaitu mencetak startup juara yang berkualitas.”

Bukan hanya hadiah berupa uang Rp100 juta yang diberikan oleh Founder Institute, namun juga kesempatan untuk mengembangkan produk hingga proses validasi. Jika startup telah melewati proses tersebut, Founder Institute akan mendukung hingga peluncuran produk tiba.

Untuk itu pemerintah melalui Bekraf, idealnya juga bisa memikirkan cara-cara baru yang bisa memancing minat dari anak muda Indonesia untuk menjadi entrepreneur di bidang teknologi yang berkualitas.

“Selain dari roadmap yang dimiliki oleh Bekraf, tentunya dukungan dari investor, kelas pemrograman dan sekolah startup bisa turut membantu untuk menciptakan engineer hingga startup baru lebih banyak lagi,” kata Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Sungkari.

––

Disclosure: DailySocial adalah media partner Global Mobile Internet Conference Jakarta 2017.

Hacktiv8 dan Solusi Menjawab Kebutuhan Tenaga Pengembang di Indonesia

Hari Jumat lalu (19/05), DailySocial mendapatkan kesempatan untuk menghadiri acara kelulusan batch kelima siswa Hacktiv8 Indonesia, program pendidikan atau pelatihan intensif selama 12 Minggu untuk mendidik siapa pun untuk mahir sebagai full-stack Javascript programmer.

Dalam kesempatan tersebut, 14 orang siswa yang dibagi menjadi beberapa tim, diminta memberikan presentasi di hadapan tamu undangan, yang berasal dari kalangan startup dan korporasi di Indonesia. Yang menarik dari kegiatan ini adalah kesempatan para siswa untuk secara langsung untuk memperlihatkan kemampuannya.

Kebanyakan siswa yang mendaftarkan diri di program Hacktiv8 adalah mereka yang telah menguasai pemrograman dan hal terkait. Meskipun demikian, ada juga di antara mereka yang berasal dari latar belakang pemasaran dan berniat untuk mempelajari lebih mendalam pair programming, HTML/CSS, JavaScript ES2016, Version Control, Database, Node JS & Express JS, React & Reduct, Test-Driven Development, Deployment & Scaling dan Engineering Empathy, yang menjadi topik yang diajarkan di Hacktiv8

Kepada DailySocial, Managing Director Hacktiv8 Ronald Ishak mengungkapkan acara kelulusan menjadi menarik untuk disimak, karena bisa dilihat secara langsung sejauh mana kemampuan dari masing-masing siswa terkait dengan kurikulum dan topik yang telah mereka pelajari, dibantu oleh mentor atau pengajar yang ada.

We just want to share the world kalau orang yang sebelumnya ‘buta’ programming bisa jadi programmer dalam waktu 12 minggu,” kata Ronald.

Makin besarnya kebutuhan startup dan perusahaan teknologi akan tenaga pengembang di Indonesia, menjadi sasaran utama lulusan program ini.

Aplikasi menarik yang telah tervalidasi

Lulusan batch 5 Hactiv8
Lulusan batch 5 Hacktiv8

Salah satu aplikasi yang dipresentasikan adalah aplikasi travel itinerary yang bernama “Plan it now”. Selama kurang lebih 5-7 hari, masing-masing tim diminta untuk membuat aplikasi yang menarik dan berpotensi diminati target pengguna. Hal tersebut merupakan komitmen Hacktiv8 yang menugaskan pembuatan aplikasi yang baik dan memiliki impact kepada publik.

Sekilas aplikasi Plan it now yang dibuat siswa lulusan Hacktiv8 batch kelima serupa dengan Trip Advisor, namun memiliki tambahan agenda, peta, dan minat yang dikustomisasi untuk pengguna.