5 Kamera Mirrorless APS-C Terbaik Untuk Produksi Video

Saat ini, kemampuan perekam video di kamera mirrorless merupakan aspek penting ketika hendak meminang kamera baru. Terlebih bila tujuan Anda memang untuk memproduksi konten video.

Berikut ini adalah rekomendasi lima kamera mirrorless dengan sensor APS-C yang punya fitur-fitur video-centric. Menurut saya sangat cocok untuk para content creator dan juga videografer yang rutin mengambil stock footage.

Kenapa memilih sistem APS-C? Sebab menawarkan keseimbangan antara harga dan kualitas, harga body kamera dan lensa-lensanya lebih terjangkau dengan kualitas yang mencukupi.

Sebelum itu, saya ingin mention bahwa di sistem Micro Four Thirds ada Panasonic Lumix GH5 yang kemampuan perekam videonya tak diragukan lagi. Baiklah mari mulai, daftar di bawah ini berdasarkan harga yang paling terjangkau.

1. Canon EOS M6 Mark II – Rp12.740.000

Canon-EOS-M6-Mark-II

Kamera yang dirilis pada tahun 2019 ini mengusung sensor CMOS baru APS-C dengan resolusi tertinggi di kelasnya, yaitu 32.5MP. Kamera ini sanggup merekam video hingga UHD 4K (3840×2160 piksel) 30fps full tanpa crop, serta didukung sistem Dual Pixel autofocus dengan subject tracking dan face/eye detection.

Canon EOS M6 Mark II juga menawarkan mode high frame rate 1080p 120fps, di samping opsi 1080p 60fps dan 1080p 30fps. Fitur lainnya ialah terdapat mode HDR video yang sepenuhnya otomatis, LCD 3 inci touchscreen yang dibawanya bisa dimiringkan ke atas hingga 180 derajat dan 45 derajat ke bawah, dan punya kelengkapan port mikrofon.

Harus saya akui, Canon EOS M6 Mark II masih lebih condong ke arah fotografi. Kamera ini belum dibekali dengan dukungan picture profile untuk fleksibilitas color grading, tanpa port headphone untuk monitor audio, dan tidak memiliki fitur peringatan zebra. Namun setelah EOS M50, EOS M6 Mark II punya fitur video terbaik diantara kamera mirrorless APS-C dari Canon.

2. Sony A6400 – Rp13 Juta

Sony-A6400

Masuk ke poin kedua, kita sudah mendapatkan kamera mirrorless hybrid dengan kemampuan still dan video yang sama baiknya. Adalah Sony A6400 yang dirilis pada tahun 2019 dengan sensor APS-C beresolusi 24MP dan prosesor Bionz X baru dengan teknologi real-time tracking.

Sony A6400 dapat merekam video UHD 4K (menggunakan oversampling 6K) 24fps atau 25fps tanpa crop, 30 fps dengan crop 1.2x, dan 1080p hingga 120fps. Lengkap dengan fitur video seperti focus peaking yang berguna saat menggunakan manual focus, zebra, dan dukungan picture profile S-Log & HLG.

Selain itu, layar sentuh 3 incinya bisa di flip 180 derajat ke depan, punya port headphone, dan HDMI. Namun, tidak ada port headphone dan tidak mendukung perekakaman video 10 bit menggunakan external recorder lewat HDMI.

3. Fujifilm X-T3 – Rp19,5 Juta

Fujifilm-X-T3

Kamera mirrorless flagship Fujifilm ini dirilis pada tahun 2018 dan merupakan kamera pertama Fuji yang menggunakan sensor baru BSI CMOS X-Trans 26MP dengan X-Processor 4. Meski penerusnya sudah ada, kemampuan video kamera ini masih terbilang sangat mumpuni.

Fujifilm X-T3 memiliki kemampuan merekam video UHD/DCI 4K hingga 60fps dengan bitrate maksimum 400Mbps 4:2:0 10-bit secara internal. Serta, resolusi 1080p hingga 120fps dengan crop 1.29x.

Fitur video lainnya seperti dukungan F-Log, focus peaking, zebra, dan magnification untuk mendapatkan fokus dan exposure yang tepat. Serta, mode Movie Silent Control yang menyediakan kontrol ke layar sentuh. Perlu dicatat, layar X-T3 ini hanya bisa dimiringkan ke atas-bawah maupun ke kiri.

4. Sony A6600

Sony-A6600

Sony A6600 adalah kamera mirrorless flagship APS-C Sony penerus A6500 yang dirilis tahun 2019. Fitur pembeda utama antara A6600 dengan A6400 atau seri di bawahnya ialah adanya 5-axis in-body image stablization, menggunakan jenis baterai baru NP-FZ1000 seperti yang terdapat pada Sony A7 III, punya port headphone untuk monitor audio, tetapi kehilangan flash internal.

IBIS pada Sony A6600 memungkinkan kita menggunakan shutter speed yang lebih rendah hingga 5 stop saat memotret dalam kondisi low light dan membantu mendapatkan pergerakan yang lebih smooth saat merekam video secara hand-held. Menurut CIPA, baterai NP-FZ1000 sendiri sanggup memberikan 810 jepretan sekali charge dan menjadikan A6600 punya ketahanan baterai terbaik di kelasnya.

Sisanya identik dengan A6400, sebut saja sensor APS-C beresolusi 24MP dan prosesor Bionz X baru dengan teknologi real-time tracking. Dapat merekam video UHD 4K (menggunakan oversampling 6K) 24fps atau 25fps tanpa crop, 30 fps dengan crop 1.2x, dan 1080p hingga 120fps. Lengkap dengan fitur video seperti focus peaking yang berguna saat menggunakan manual focus, zebra, dan dukungan picture profile S-Log & HLG. Selain itu, layar sentuh 3 incinya bisa di flip 180 derajat ke depan.

5. Fujifilm X-T4 – Rp26.999.000

Fujifilm-X-T4

Fujifilm X-T4 menggunakan sensor dan prosesor yang sama seperti X-T3 yang juga terdapat pada X-T30, X-Pro3, dan X100V. Adalah sensor gambar BSI CMOS X-Trans 26MP dengan X-Processor 4.

Sebagai penerus X-T3, X-T4 membawa pembaruan dan peningkatan yang sangat signifikan. Sebut saja, 5-axis in-body image stabilization atau IBIS yang mampu mengurangi guncangan hingga 6,5 stop.

Mekanisme layarnya kini sudah fully articulated yang sangat berguna untuk memastikan framing dan autofocus yang tepat. Dilengkapi mode film simulation baru Eterna Bleach Bypass dan menggunakan jenis baterai baru NP-W235 yang memiliki kapasitas sekitar 1,5 kali lebih besar dibanding NP-W126S.

Capability videonya, Fujifilm X-T4 ini dapat merekam video UHD/DCI 4K 30fps tanpa crop dan 60fps dengan crop 1.18x dengan bitrate maksimum 400Mbps 4:2:0 10-bit secara internal. Serta, rekaman video slow motion 1080p pada 240fps.

OmniVision Umumkan OV64B, Sensor Gambar Untuk Kamera Smartphone 64MP 0,7 Micron

Selain Samsung dan Sony, sensor gambar yang banyak ditemui di kamera smartphone adalah OmniVision dan mereka telah mengumumkan sensor terbarunya yang disebut OV64B. Sensor gambar ini berukuran 1/2 inci beresolusi 64MP dengan piksel berukuran 0,7 micron dan diperuntukkan untuk smartphone flagship dengan desain ultra thin.

Sensor gambar 1/2 inci ini dibangun di atas teknologi PureCel Plus-S stacked die dan four-cell color filter array (CFA) dengan on-chip hardware untuk re-mosaic. Selain menawarkan mode foto pada resolusi 64MP (9248×6944 piksel), sensor ini juga dapat mengambil gambar pada mode 16MP dengan near-pixel binning 4x sehingga menyuguhkan sensitivitas setara piksel berukuran 1,4 micron dan menawarkan fitur digital crop zoom 2x pada mode 16MP.

Soal perekaman video, sensor OV64B mampu merekam video hingga resolusi 8K pada 30fps, video 4K hingga 60 fps, dan video 4K dengan electronic image stabilization (EIS) pada 30 fps. Sementara, untuk mode slow-mo mampu menangkap 240 fps pada 1080p dan 480 fps di resolusi 720p.

Fitur penting lainnya adalah dukungan 2×2 microlens phase detection autofocus (ML-PDAF) yang diklaim OmniVision akan meningkatkan akurasi autofocus, terutama dalam situasi cahaya rendah. Selain itu, pada mode foto 64MP kamera bisa memotret beruntun hingga 15 fps dan mode 16MP bisa menangkap hingga 30 fps.

Belum ada informasi spesifik brand smartphone yang akan mengadopsi sensor ini, OmniVision mengatakan unit sampel pertama akan dikirim ke calon klien pada Mei 2020. Karena diperuntukkan untuk smartphone flagship, spesifikasi sensor OmniVision OV64B ini pun sejalan dengan kemampuan chipset Qualcomm Snapdragon 865 yang banyak digunakan pada smartphone Android flagship saat ini.

Sumber: DPreview

Samsung Berniat Ciptakan Sensor Kamera 600 Megapixel

Resolusi kamera smartphone meningkat drastis dalam dua tahun terakhir ini. Dan kalau bicara soal resolusi, nama Samsung tentu tak akan terlewat dari pembahasan, mengingat mereka adalah yang pertama menembus batas 100 megapixel di ranah smartphone.

Lebih tepatnya 108 megapixel, lengkap dengan teknologi pixel binning generasi terbaru yang mampu melebur sembilan pixel individual menjadi satu dengan ukuran 2,4 μm. Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah Samsung akan berhenti di 108 megapixel?

Tidak. Melalui salah satu petinggi divisi sensor kameranya, Yongin Park, Samsung secara resmi menyatakan ketertarikannya untuk menciptakan sensor beresolusi 600 megapixel. Di angka tersebut, bahkan mata manusia pun – yang dipercaya mempunyai resolusi sekitar 500 megapixel – sudah kalah tajam.

Di titik ini, Samsung belum bisa menjabarkan detail mengenai sensor 600 megapixel itu, akan tetapi mereka sadar betul akan sejumlah tantangan yang harus dihadapi. Sederhananya, menciptakan sensor 600 megapixel tidak semudah menyematkan lebih banyak pixel begitu saja. Ukuran pixel-nya juga harus diciutkan agar dimensi sensor tetap ringkas.

Masalahnya, ketika ukuran pixel mengecil, kualitas gambar dipastikan bakal menurun karena cahaya yang masuk juga lebih sedikit. Itulah gunanya teknologi pixel binning seperti Tetracell atau Nonacell, dan Samsung akan terus menyempurnakan teknologi ini hingga akhirnya mereka bisa mencapai angka 600 megapixel itu tadi.

Kamera smartphone dengan resolusi 600 megapixel? Well, Samsung rupanya juga melihat potensi pengaplikasiannya di bidang lain, semisal IoT dan otomotif. Di segmen otomotif sendiri, permintaan akan sensor kamera dipastikan bakal meningkat seiring terus berkembangnya teknologi mobil kemudi otomatis.

Sumber: Mashable dan Samsung.

Razer Upgrade Mouse Gaming Lancehead Dengan Sensor Baru dan Baterai yang Lebih Tahan Lama

Mouse gaming Lancehead diperkenalkan beberapa tahun silam sebagai pilihan alternatif dari produk yang Razer telah sediakan sebelumnya. Berbeda dari Basilisk, Naga dan DeathAdder, Lancehead mengedepankan rancangan ambidextrous sehingga lebih bersahabat bagi para gamer kidal. Wujudnya yang ‘netral’ dan simpel juga memastikannya lebih fleksibel untuk menangani genre game berbeda.

Mungkin karena alasan inilah Razer menawarkan Lancehead dalam dua opsi, yaitu nirkabel serta wired. Dan untuk model berkabel bertajuk ‘Tournament Edition’, tersedia pilihan warna gunmetal grey, mercury white, quartz pink dan hitam. Belum lama ini, sang perusahaan spesialis periferal gaming pimpinan Min-Liang Tan itu memutuskan untuk menerapkan pembaruan pada varian wireless agar produk tetap relevan dalam bersaing dengan mouse-mouse kompetitor yang lebih baru.

Lancehead 3

Upgrade tersebut dimplementasikan Razer pada baterai dan sensor. Dahulu, Razer Lancehead versi nirkabel menyuguhkan waktu bermain hingga 24 jam. Dengan baterai jenis baru, Lancehead siap menemani Anda ber-gaming sampai 50 jam. Dari perspektif personal, saya tidak pernah bermain game melampaui 12 jam; dan jangankan 50 jam, bagi saya mereka yang bisa menikmati permainan video lebih dari 24 jam sudah masuk kategori titisan dewa.

Lancehead 2

Untuk melacak gerakan, Razer mengganti sensor lama dengan tipe laser optik 5G yang dimiliki oleh DeathAdder Elite. Pada dasarnya, sensor di Lancehead lawas dan anyar sama-sama menyuguhkan 16.000DPI, namun yang berbeda adalah kemampuannya dalam melacak kecepatan. Sebelumnya, mouse dapat membaca gerakan sampai 210-inci per detik (IPS). Angka tersebut naik jadi 450-inci per detik di Lancehead baru.

Lancehead 5

Yang membuat kondisinya jadi sedikit membingungkan ialah, upgrade sensor Lancehead wireless membuat spesifikasinya setara dengan Lancehead Tournament Edition berkabel. Selain itu, mouse tetap mengusung switch mekanis dan sembilan tombol yang bisa diprogram. Razer sama sekali tidak mengubah penampilannya. Rencananya, sang produsen juga akan memberinya dukungan fitur Razer Synapse 3 beta, memungkinkan pengguna menyimpan konfigurasi di memori interal serta cloud.

Lancehead 4

Razer Lancehead versi nirkabel tersambung ke PC Anda via dongle wireless dengan sambungan berfrekuensi 2,4GHz. Razer bilang mereka juga telah membenamkan Adaptive Frequency Technology di sana untuk meminimalkan gangguan, serta memastikan sinyalnya stabil dan terkirim 100 persen. Teknologi tersebut bertugas memindai channel frekuensi secara terus-menerus dan men-switch secara otomatis jika diperlukan.

Seperti varian terdahulu, Lancehead wireless bukanlah produk yang murah. Ketika Tournament Edition bisa dimiliki dengan mengeluarkan uang sebesar US$ 80, tipe wireless-nya dibanderol seharga US$ 140.

Via PC Gamer.

Sony Perkenalkan Sensor Gambar IMX586 Resolusi 48MP untuk Smartphone

Bicara soal kamera smartphone, tentunya tak bisa lepas dari nama besar Sony. Sebagai produsen sensor gambar terbesar di dunia, kepiawaiannya meracik sensor gambar tak perlu diragukan lagi.

Sony baru-baru ini memperkenalkan sensor CMOS IMX586 untuk smartphone dengan resolusi 48-megapixel (8.000×6.000 pixel) dan ukuran pixel 0,8 μm. Resolusi setinggi itu memungkinkan kamera smartphone menghasilkan foto berkualitas tajam meski menggunakan fitur zoom digital dan sangat ideal untuk foto landscape.

sony-imx-586-sensor-1

Ya, resolusinya bahkan lebih besar dari kamera mirrorless full-frame Sony Alpha A7R series yakni 42-megapixel. Tapi keduanya tidak bisa dibandingkan, karena kamera smartphone menggunakan ukuran sensor yang kecil. Sedangkan, kamera mirrorless menggunakan ukuran sensor yang lebih besar.

Selain mengunggulkan resolusi yang sangat tinggi, Sony menggabungkannya dengan filter warna Quad Bayer 2×2 pixel. Di mana 2×2 piksel yang berdekatan akan memiliki warna yang sama.

sony-imx-586-sensor

Jadi, kamera akan menghasilkan output empat pixel yang setara dengan sensor 12-megapixel dan ukuran piksel 1,6 μm. Sehingga mampu menciptakan foto dan video yang minim noise saat memotret di malam hari. Sedangkan, bila memotret dalam cahaya berlimpah maka grid akan kembali ke pemrosesan sinyal yang biasa dengan resolusi penuh 48-megapixel secara real time.

Selain itu, Sony IMX586 juga membawa fitur-fitur seperti image plane phase-difference AF, HDR imaging, kemampuan merekam video 4K hingga 90 fps, dan perekaman video 1080 hingga 480 fps.

Sensor IMX586 sendiri ialah penerus dari sensor gambar 40-megapixel yang tertanam pada Huawei P20 Pro yang juga membawa pengaturan Quad Bayer.  Makin banyak piksel, memang makin detil foto yang bisa direkam.

Sony Xperia XZ3 yang diprediksi meluncur di gelaran IFA 2018 diharapkan akan hadir dengan sensor IMX586. Tapi, mungkin baru bisa kita temui di smartphone flagship lain tahun depan, pengiriman sampel dilakukan pada bulan September 2018.

Sumber: DPreview dan GSMArena

MDI Ventures Beri Pendanaan $2 Juta ke Roambee, Startup IoT Asal California

Salah satu perusahaan modal ventura lokal MDI Ventures dikabarkan baru saja memberikan pendanaan ke startup asal California, Roambee. Modal ventura yang diinisiasi oleh Telkom Indonesia tersebut kabarnya menyuntikkan dana hingga $2 juta.

Roambee adalah perusahaan yang memberikan solusiend-to-end monitoring menggunakan teknologi IoT (Internet of Things). Mulai dari sensor yang diletakkan di gudang hingga sensor di alat transportasi. Paket Roambee menjanjikan sebuah lingkungan monitoring yang lengkap dan real time. Tentu dengan analisis dan laporan berbasis dasbor.

Dikutip dari Venturebeat, rencananya investasi dari MDI akan disiapkan untuk membawa Roambee masuk ke pasar logistik Indonesia dan Asia Tenggara yang saat ini sedang menanjak tumbuh. Solusi dari Roambee juga akan disiapkan untuk mendukung unit bisnis di Telkom Indonesia.

“Peluang di Indonesia sangat besar. Ini salah satu yang terbesar di dunia dengan hampir 24 persen GDP negara tersebut dibelanjakan untuk logistik. Dengan investasi MDI Ventures ini Roambee mendapatkan keuntungan yang signifikan untuk mengambil posisi sebagai pemimpin dalam mendorong transformasi digital perusahaan pengiriman supply chain dan asset monitoring visibility di Indonesia,” terang CEO Roambee Sanjay Sharma.

Sementara itu dari sumber yang sama CEO MDI Ventures Nicko Widjaja menyampaikan bahwa solusi end-to-end dari Roambee akan cocok untuk menghadapi tantangan ekosistem supply chain di Indonesia. Rencananya Roambee akan diimplementasikan sebagai bagian dari layanan perusahaan Telkom Indonesia tahun ini.

Perangkat Pintar Ini Mampu Mendeteksi Kebakaran Sebelum Terjadi

Teknologi telah mengubah banyak hal, salah satunya mengubah cara orang melindungi rumahnya dari orang-orang tidak bertanggung jawab. Dalam banyak skema perlindungan, sejumlah teknologi memanfaatkan integrasi berbagai sensor yang kemudian terhubung ke perangkat lain seperti smartphone atau desktop. Pendekatan serupa namun dengan tingkat lebih kompleks ditawarkan oleh OnePrevent, sistem keamanan rumah yang mampu mendeteksi bencana sebelum terjadi.

Sekilas terdengar mustahil, tapi apa yang ditawarkan oleh OnePrevent bukan isapan jempol. Perangkat smart home ini ditopang oleh sebuah algoritma bernama OneEvent yang dikembangkan oleh sebuah startup yang bermarkas di Wisconsin. Dikombinasikan dengan sensor yang bekerja secara aktif, perangkat mampu mendeteksi ancaman bahaya seperti kebakaran dan banjir 20 menit sebelum terjadi.

OneEvent pada dasarnya mengumpulkan informasi dari pemindaian yang dilakukan oleh sensor yang tertanam di dalam perangkat. Informasi yang dikumpulkan di antaranya temperatur dan kelembapan di sekitar rumah. Apabila terjadi perubahan suhu yang bersifat tiba-tiba atau di atas ambang batas, sistem akan menangkap dan mengaktifkan tanda bahaya melalui perangkat terhubung.

orange-screens-triple

Pun demikian, tidak semua peningkatan suhu dianggap sebagai sebuah ancaman. Avi Rosenthal, Internet of Things Adviser for OneEvent mengatakan, pengguna dapat memberikan masukan kepada sistem tentang apa yang sebenarnya terjadi sesaat setelah peringatan diberikan. Dengan demikian, algoritma akan belajar membedakan manakah panas yang berasal dari pemanggang roti atau dari kompor yang lupa dimatikan.

OnePrevent sudah bisa dipesan melalui situs resmi OneEvent dengan banderol $299 plus biaya berlangganan per bulan sebesar $25.

Sumber berita CNet dan OneEvent.

Sensor Sebesar ‘Butiran Debu’ Ini Bisa Deteksi Aktivitas Saraf di Tubuh

Bidang bioelectronic belakangan mendapat sorotan setelah Google (lewat Verily) menggandeng GlaxoSmithKline untuk melakukan riset, pengembangan dan komersialisasi obat-obatan bioelectronic; yaitu ranah baru dalam pengobatan yang memanfaatkan perangkat implan demi memodifikasi sinyal elektrik di sistem saraf. Tujuannya adalah buat mengobati beragam penyakit kronis.

Kali ini, tim peneliti UC Berkeley pimpinan neuroscientist Jose Carmena dan pakar ilmu komputer Michael Maharbiz membuat satu terobosan besar yang berpotensi mengaburkan batasan antara organ alami dan perangkat elektronik. Mereka mendemonstrasikan satu penemuan baru, dinamai ‘ultrasonic neural dust‘, sebuah sensor super-mungil yang bekerja layaknya device activity tracker, mampu memonitor aktivitas saraf hewan; dan kemungkinan besar, manusia.

Dalam uji coba tersebut, ilmuwan UC Berkeley mencoba merekam aktivitas di saraf sciatic (kaki hingga punggung bagian bawah) serta otot kaki tikus yang dibius. Layaknya tracker, neural dust mampu menyediakan informasi biometrik secara realtime, dan diklaim sebagai perangkat pertama di kelasnya yang dapat memantau bagaimana saraf hewan hidup bekerja. Dengan ukuran mungilnya, ia bisa membantu dokter dalam mengobati radang sampai penyakit epilepsi.

Ultrasound Neural Dust 1

Device memanfaatkan ultrasound (sonography) sebagai konektivitas sekaligus sumber tenaga neural  dust, sehingga ia tidak memerlukan kabel ataupun baterai. Neural  dust menyimpan unit transciever (transmitterreceiver) dan tubuh sebesar ‘partikel debu’ berukuran 0,8x1x3-milimeter, untuk ditanamkan ke badan hewan. Transciever mengirimkan gelombang ultrasonic ke bagian kristal piezoelectric di implan, mengubahnya jadi tenaga listrik.

Selanjutnya, implan tersebut segera bekerja membaca sinyal dari tubuh tikus via elektroda, menggunakan sinyal tersebut untuk mengonversikan getaran kristal. Vibrasi tersebut dipantulkan kembali ke transciever, memungkinkan data buat direkam. Teknik ini dikenal dengan istilah backscatter.

“Ini adalah pertama kalinya seseorang menggunakan ultrasound sebagai metode komunikasi sekaligus sumber tenaga perangkat implan berukuran sangat kecil,” tulis Dongjin Seo di makalah UC Berkeley. “Penemuan tersebut membuka potensi penggunaanya di bermacam-macam skenario: kita bisa menaruh device kecil itu jauh di dalam tubuh, dekat saraf, organ, otot, hingga sistem pencernaan; lalu memperolah datanya secara wireless.”

Untuk langkah selanjutnya, peneliti bermaksud melakukan eksperimen demi menguji apakah partikel sensor itu tetap dapat bekerja efektif di waktu lama sesudah proses penanaman di tubuh. Mereka mencoba membubuhkannya di hewan yang aktif.

Via Scientific American.

Canon Ciptakan Sensor Kamera Beresolusi 250 Megapixel

Sebagai brand terpopuler di industri fotografi, Canon tentu saja tidak mau berhenti berinovasi. Karya terbarunya, meski baru berupa prototipe, adalah sensor CMOS dengan resolusi 250 megapixel, atau lebih tepatnya 19.580 x 12.600 pixel. Continue reading Canon Ciptakan Sensor Kamera Beresolusi 250 Megapixel

Intel RealSense dan Game Nevermind Bisa Menghidupkan Rasa Takut Anda

Pernah dibahas Trenologi lebih dari setahun silam, tampaknya tak banyak orang menyadari terobosan canggih dalam Nevermind. Singkatnya, Nevermind adalah game yang dapat mengetahui rasa takut Anda. Mungkin hal itu disebabkan belum matangnya ide agar game cocok dinikmati sebagai produk mainstream dan terkait soal ketersediaan hardware pendukung. Continue reading Intel RealSense dan Game Nevermind Bisa Menghidupkan Rasa Takut Anda