3 Hal yang Perlu Diketahui tentang NFT pada Sepak Bola

Pemanfaatan NFT pada sektor olahraga bukan lagi hal baru. Di Amerika Serikat, NFT telah dimanfaatkan klub NBA untuk meluncurkan produk kolektibel. Sementara di Indonesia, NFT mulai dipakai untuk meningkatkan engagement penggemar pada klub sepak bola.

Bagaimana pemanfaatan NFT pada sepak bola dan apa saja potensi adopsi teknologi bagi sektor olahraga? Selengkapnya, simak rangkuman sesi #SelasaStartup oleh Co-founder Bolafy Joseph Bima.

NFT dan sepak bola

Joseph menilai sepak bola menjadi entry point yang tepat untuk memperkenalkan NFT kepada masyarakat. Hal ini demikian karena sepak bola adalah olahraga paling populer di Indonesia dengan hampir 170 juta penggemar. Karena hal ini juga, potensi ekonominya sangat besar. Di skala Asia, nilai pasarnya berkisar sebesar $16 juta dengan 800 juta penggemar sepak bola.

Untuk memperkenalkan NFT, ia menyebut ada dua hal yang menjadi poin utama, yakni produk kolektibel dan utility. Artinya, NFT tidak hanya tercermin dalam bentuk koleksi digital saja, tetapi dapat memberikan benefit bagi si pemegang (holder). Contoh, holder mendapat akses untuk menonton pertandingan secara VVIP maupun bertemu dengan pemain.

“Ini menjadi cara baru bagi fans atau penggemar dalam memberikan dukungan kepada klub sepak bola, yakni melalui koleksi digital, reward, dan Metaverse. Kami berupaya memaksimalkan experience dan engagement dari dua sisi, baik fans dan klub sepak bola. Fans dapat mengumpulkan poin untuk memperoleh reward, tanda tangan atau tiket gratis,” jelasnya.

Memperkenalkan kolektibel

Secara umum, para fans di Indonesia dinilai belum sepenuhnya memahami NFT dan tak sedikit yang punya sentimen tertentu pada produk kolektibel. Bagi Joseph, komunitas atau pemimpin klub supporter menjadi jalan masuk untuk memperkenalkan NFT. Menariknya, word of mouth di kalangan pecinta sepak bola dinilai sangat powerful dalam membantu proses edukasi.

“Kami gencar edukasi untuk memperkenalkan kolektibel, nilai, dan benefit-nya, bahwa [produk kolektibel] juga eligible untuk mendapatkan reward. Kami [di Bolafy] menyebutnya sebagai koleksi digital atau aset digital karena NFT hanya jargon untuk technical people,” ucapnya.

Joseph berujar, pihaknya belajar dari berbagai model bisnis di Amerika Serikat yang selama ini sudah lebih lama memanfaatkan NFT di sektor olahraga, contohnya NBA. Pembelajaran ini menjadi benchmark yang membantunya mengeksplorasi use case untuk pasar Indonesia.

Teknologi dalam olahraga

Menurut Joseph, secara umum pemanfaatan teknologi pada sektor olahraga di Indonesia belum optimal, tetapi sudah jauh lebih berkembang dibandingkan 2-3 tahun lalu. Contoh sederhana, pembelian tiket olahraga kini dapat dilakukan secara online, tidak perlu lagi ke outlet fisik.

Pada teknologi yang tengah berkembang, ia memberikan contoh use case yang potensial. Misalnya, Metaverse dapat merevolusi cara orang menonton pertandingan sepak bola dengan perangkat. Pada pemanfaatan analitik misalnya, teknologi ini dinilai dapat mendorong perkembangan sektor olahraga secara signifikan. Sementara, teknologi blockchain juga dapat memunculkan berbagai inovasi yang mendisrupsi industri.

Memang perkembangan Blockhain di Indonesia masih early. Namun, ini menjadi momentum tepat untuk memanfaatkannya mengingat persepsi orang terhadap Blockchain masih bagus, terutama bagi kalangan investor atau venture builder.

“Jadi, sangat disayangkan apabila teknologi, seperti Web3, Metaverse, atau NFT, tidak dapat dimanfaatkan untuk meng-enhance sebuah industri. Kami sangat menantikan inovasi di sport tech, terutama dengan Web3.” Tutupnya.

Bolafy Hadirkan Platform NFT untuk Fans Sepak Bola di Indonesia

Perkembangan industri Web3 di Indonesia semakin terlihat dari banyaknya platform pendukung, menjadi realisasi tren yang disinyalir akan menjadi masa depan internet ini. Berbagai kegiatan dan komunitas juga dibentuk untuk mewadahi sosialisasi. Salah satu platform yang memiliki misi untuk mengintegrasi Web3 di sektor olahraga, khususnya sepak bola, adalah Bolafy.

Platform ini didirikan oleh Joseph Bima, seorang lulusan teknik dari Universitas of Massachusetts. Bima mengungkapkan bahwa ide awalnya muncul ketika ia masih mengampu pendidikan di negeri Paman Sam. Ketika itu, Web3 sudah berkembang cukup pesat di sana. Setelah melakukan riset dan menemukan model bisnis, ia menarik salah satu temannya yang masih berstatus mahasiswa ITB untuk mulai menjalankan bisnis ini.

Bima juga mengaku bahwa pengalamannya menyaksikan langsung perkembangan Web3 di AS membuatnya banyak belajar. “Di US, bubble-nya sudah lebih terlihat. Banyak firm Web3 yang akhirnya gagal. Dari situ juga saya analisis kesalahan seperti apa yang berpotensi terjadi jika diimplementasi di Indonesia,” lanjutnya.

Moflip adalah karya pertama Bima yang meluncur di publik, platform ini dibuat untuk mewadahi bisnis sport dan entertainment di ranah Web3. Seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa akan lebih baik jika memiliki platform yang berbeda untuk menaungi masing-masing industri. “Maka dari itu kita bikin Bolafy untuk sport, dan TiketNFT.com untuk entertainment,” jelas Bima.

Dari industri entertainment, melalui TiketNFT.com, pihaknya telah berhasil mengakomodasi tiket untuk konser ulang tahun ke-30 Dewa 19 di dua kota. Musisi kondang Indonesia ini meminta untuk semua tiket bisa dijadikan NFT, dengan begitu, semua yang hadir memiliki bukti konkret dan semuanya terintegrasi ke web3.

Proposisi nilai

Bolafy sendiri memosisikan diri sebagai “Digital Fans Engagement Platform” yang menawarkan koleksi digital resmi dari kolaborasinya dengan partner. Pihaknya menilai sepak bola sebagai cabang olahraga yang paling berpotensi dengan basis penggemar yang besar dan cukup solid. Selain itu, masih ada peluang yang bisa dimanfaatkan dari turunannya, seperti sepak bola putri dan para legend.

Salah satu proposisi nilai yang juga ditawarkan oleh Bolafy adalah kemudahan dalam melakukan pembayaran. Selama ini, NFT dinilai terlalu eksklusif dan sulit diakses karena sistem pembayaran yang menggunakan kripto. Melalui Bolafy, para fans bola bisa menikmati eksklusifitas dan nilai NFT dengan membayar menggunakan Rupiah dan bisa melihat setiap karya yang mereka beli di OpenSea.

Selain itu, platform ini juga menawarkan program loyalty untuk setiap klub. Setiap pembelian NFT akan mendapat koin yang kemudian bisa ditukarkan dengan hadiah. Ada dua bentukan reward yang bisa ditukarkan, monetary (fisik) dan non-monetary (experience). Perusahaan menilai hal ini sebagai engagement yang dibutuhkan oleh fans.

Pihaknya mengaku bahwa banyak fans yang masih enggan untuk membeli NFT menggunakan kripto karena proses yang cukup panjang. Untuk bisa masuk ke pasar yang sangat besar ini, kita harus bisa menyesuaikan metode dengan permintaan. “Salah satu objektif awal kita adalah untuk memungkinkan penjualan NFT yang mudah dan meminimalisir entry barrier untuk masyarakat yang besar dan menyeluruh,” tambah Bima.

Ia juga mengungkapkan bahwa proses pembelian menggunakan rupiah tidak berbeda dengan menggunakan kripto. Pihaknya menggunakan polygon chain untuk memastikan mekanisme minting tetap terjangkau bagi pengguna. Biaya minting yang dibebankan ke pengguna untuk semua NFT dengan harga 15 ribu – 500 ribu Rupiah adalah sama, yaitu 2 ribu Rupiah. Ini adalah sebuah protokol yang sekaligus jadi nilai tambah platform.

Hingga saat ini, total pengguna Bolafy selama 3 bulan resmi beroperasi ada di angka 9.200 orang yang didominasi oleh fans sepak bola. Bolafy sendiri sudah berkolaborasi dengan PT Liga Indonesia Baru (LIB) untuk memanfaatkan jaringan dari Liga 1 dan sudah merampungkan proyek untuk Piala Presiden.

Di bulan Juli lalu, perusahaan resmi berkolaborasi dengan Persija Jakarta untuk menghadirkan beragam koleksi digital yang special untuk The Jakmania (nama suporter Persija). Persija jadi klub bola pertama yang meluncurkan NFT yang bisa dibeli menggunakan Rupiah.

“Tujuan saya menyediakan layanan ini adalah agar para penggemar bisa mendapat benefit dan reward yang berkelanjutan. Sebagai penyelenggara lokal kita punya kelebihan. Kita tau permintaan klub dan fans bola tanah air. Ini akan jadi tahap pertama, bagaimana kita menawarkan konsep NFT yang terintegrasi web3 namun dengan metode yang relatif konvensional,” ungkap Bima.

Target ke depannya

Bima sendiri mengaku bahwa industri web3 di Indonesia masih di fase awal. Sebagai konsumen, masyarakat sudah difasilitasi berbagai kemudahan untuk masuk ke industri ini. Ketika ada satu terobosan yang bisa membuat orang merasakan dampak dan nilai nyata dari solusi Web3, maka itu akan membuka jalan bagi banyak bisnis lain, bukan hanya sekadar mengikuti tren.

Dari sisi monetisasi, Bolafy menerapkan sistem profit sharing dengan partner-nya. Di tahun ini, perusahaan menargetkan untuk bisa berkolaborasi dengan seluruh klub bola di Liga 1 dan membangun audiens yang sudah teredukasi dan mau berpartisipasi. Di lain sisi, ingin bersinergi dengan PSSI untuk solusi apa yang bisa ditawarkan bagi timnas.

“Sampai akhir tahun kita masih fokus di sepak bola. Setalah sudah tercapai semua turunannya, baru kita bisa memikirkan untuk ekspansi ke cabang olahraga lain yang punya audiens setara, seperti bulu tangkis, voli, atau esports,” jelas Bima.

Di bulan Maret lalu, perusahaan berhasil membukukan pendanaan pre-seed dari Starcamp, sebuah pemodal ventura yang juga mendukung startup dengan model serupa, Kolektibel. Bima mengungkapkan bahwa dana segar senilai SG$200 ribu tersebut telah digunakan untuk membangun platform, merekrut talenta, serta operasional. Saat ini Bolafy masih dalam proses rekrutmen untuk menambah tim yang saat ini berjumlah 12 orang.

David De Gea Buat Organisasi Esports: Rebels Gaming, 100 Thieves Dapat Investasi US$60 Juta

Minggu lalu, ada dua atlet olahraga yang memasuki dunia esports dengan membuat organisasi esports. Pertama adalah kiper Manchester United, David De Gea, yang membuat Rebels Gaming. Kedua adalah Kenny Vaccaro, mantan atlet NFL, yang meluncurkan G1 atau Gamers First. Sebelum De Gea dan Vaccaro, ada banyak atlet olahraga yang mencoba untuk aktif di industri esports, seperti David Beckham. Selain itu, pada minggu lalu, 100 Thieves mengumumkan bahwa mereka telah mendapatkan kucuran dana sebesar US$60 juta.

David de Gea Perkenalkan Organisasi Esports Baru: Rebels Gaming

Kiper Manchester United, David de Gea menjajaki industri esports dengan meluncurkan organisasi esports bernama Rebels Gaming. Nantinya, organisasi itu akan merekrut tim untuk bertanding di League of Legends, VALORANT, dan Rainbow Six Siege. Selain pemain profesional, Rebels Gaming juga akan merekrut kreator konten dan streamers. Bagi para pemain, streamers, dan kreator konten, Rebels Gaming akan menyediakan fasilitas latihan yang terletak di Madrid, Spanyol.

“Peluncuran Rebels Gaming di dunia esports adalah mimpi lain yang jadi kenyataan,” kata De Gea, menurut laporan Esports Insider. “Organisasi ini betujuan untuk membuat generasi muda paham akan nilai-nilai yang saya pelajari dari karir saya di dunia sepak bola.”

100 Thieves Dapat Investasi Senilai US$60 Juta

Organisasi esports asal Amerika Utara, 100 Thieves, baru saja mendapatkan investasi sebesar US$60 juta. Ronde pendanaan Seri C dari 100 Thieves kali ini dipimpim oleh Green Bay Ventures dan didukung oleh beberapa investor lama dan baru, seperti Aglae Ventures, Breyer Capital, Tao Capital, dan Willoughby Capital. Dengan kucuran dana segar terbaru ini, valuasi dari 100 Thieves diperkirakan mencapai US$460 juta.

100 Thieves baru saja mendapatkan pendanaan Seri C.

“Performa kami di 2021 lebih baik dari perkiraan,” kata Matthew “Nadeshot” Haag, pendiri dan CEO dari 100 Thieves, menurut laporan Esports Insider. “Kami berhasil merealisasikan janji kami untuk mengembangkan budaya gaming. Pada saat yang sama, kami juga dapat membangun bisnis dan brand yang kuat untuk masa depan. 100 Thieves sekarang punya modal untuk membuat dan mengakuisisi perusahaan-perusahaan yang akan dicintai oleh komunitas kami.”

IESF Bekerja Sama dengan ESWF

International Esports Federation (IESF) telah menandatangani Memorandum of Understanding (MOU) dengan Esports World Federation (ESWF). Dengan begitu, kedua federasi itu akan bekerja sama untuk “mengembangkan dan menyatukan esports” di seluruh dunia. ESWF akan memimpin Esports for all Commission, program baru yang ditujukan untuk membuat komunitas esports menjadi lebih inklusif. Sementra itu, Stephan Carapiet, Deputy President of the ESWF, juga akan ikut berpartisipasi dalam program tersebut sebagai Honorary Vice President of IESF.

“Kami senang dapat bekerja sama dengan ESWF untuk merealisasikan tujuan kami bersama,” kata Vlad Marinescu, President of IESF, seperti dikutip dari Esports Insider. “IESF akan berkolaborasi dengan ESWF untuk memberikan dukungan terbaik bagi organisasi dan pemain esports di dunia. Kami juga akan terus menyokong kebiasaan bermain game yang sehat untuk keluarga World Esports.”

Malaysia Digital Creativity Festival 2021 Dihadari Lebih dari 10 Ribu Fans Esports

Malaysia Digital Creativity Festival (MYDFC) 2021 diadakan pada 27-28 November 2021 lalu. Digelar oleh Malaysia Digital Economy Corporation (MDEC), event itu dihadari oleh lebih dari 10 ribu penggemar esports di Malaysia. Salah satu hal yang menjadi daya tarik dari event tersebut adalah 10 turnamen esports yang digelar di sana. Game-game yang diadu dalam kompetisi itu antara lain PUBG Mobile, Mobile Legends, Apex Legends, Free Fire, VALORANT, Wild Rift, FIFA 22, Guilty Gear, dan Ejen Ali: Agents Arena. Total hadiah yang ditawarkan mencapai RM70 ribu atau sekitar Rp239 juta, lapor IGN.

MYDCF 2021. | Sumber: IGN

Selain turnamen esports, MYDFC juga menyediakan masterclasses yang diadakan pada 6-7 November 2021. Kelas itu menampilkan Cheng Jin Xiang alias “NothingToSay“, pemain Dota 2 profesional asal Malaysia yang bermain di PSG.LGD, runner-up dari The International 10. Di MYDFC juga digelar konferensi “Sembang Game”, yang menyertakan sejumlah speaker ternama, seperti Team Director, Fnatic, Eric Thor, Senior Manager of Esports Global Operations, Moonton, Siew Hao Zhen, streamer MissRose, dan caster Mathhew Issac.

Mantan Atlet NFL Buat Organisasi Esports, G1

Mantan atlet american football, Kenny Vaccaro mengumumkan bahwa dia akan mengundurkan diri dari dunia olahraga fisik untuk bisa berkarir dunia esports. Bersama Hunter Swensson dan Cody Hendrix, Vaccaro mengumumkan keberadaan organisasi esports G1, yang juga dikenal dengan nama Gamers First. G1 akan bermarkas di Austin, Texas, Amerika Serikat.

Sekarang, Vaccaro, Swensson, dan Hendrix tengah fokus untuk merekrut para pemain esports. Sejauh ini, G1 telah menandatangani kontrak dengan delapan orang, yaitu empat kreator Destiny dan empat pemain Halo profesional. Memang, G1 ingin bisa berkompetisi di Halo World Championship, menurut laporan VentureBeat. Selain delapan orang tersebut, G1 juga telah mempekerjakan seorang pelatih.

Sumber header: Daily Esports

eFootball Pamerkan Gameplay Baru, Tunjukkan Mekanisme yang Lebih Detail

Pasca pengumuman perubahan nama dari seri game sepak bola andalan Konami, dari Pro Evolution Soccer atau PES menjadi eFootball pada Juli lalu, memang muncul sejumlah kekhawatiran dari para fans atas masa depan game ini. Apalagi selain nama, eFootball juga mengubah sistem game tahunannya menjadi free-to-play.

Seakan menjawab semua pertanyaan dari para fans, Konami akhirnya merilis video gameplay baru pada gelaran Gamescom. Dalam video berdurasi hampir 7 menit tersebut Konami cukup blak-blakan memamerkan berbagai hal baru yang akan mereka suntikkan ke dalam eFootball.

Yang pertama tentunya adalah implemetasi engine baru yaitu Unreal Engine 4 yang menggantikan Fox engine. Pergantian engine ini tentu memberikan Konami berbagai keunggulan dari sisi visual maupun mekanis gameplay ketimbang Fox Engine yang telah digunakan sejak PES 2014.

Meskipun begitu, Konami tetap lebih memfokuskan videonya pada perkembangan mekanis gameplay yang akan ditawarkan pada eFootball nantinya. Sebelumnya Konami juga mengatakan akan merombak ulang animasi serta kontrol yang akan digunakan pemain dalam menyerang dan juga bertahan.

Salah satu yang menjadi prioritas Konami kelihatannya ada pada konfrontasi duel satu lawan satu yang sering terjadi di sepak bola. Sistem pengendalian bola kini dibuat lebih luwes untuk memungkinkan penyerang dapat bergerak lebih bebas untuk melewati para bek.

Image credit: Konami

Di sisi lain bek kini juga bisa mengantisipasi serangan baik itu dengan memotong umpan atau bahkan kini berduel fisik dengan penyerang untuk mendapatkan bolanya. Konami juga ikut merombak ulang sistem pelanggaran yang akan menyesuaikan dengan sistem duel baru tersebut.

Selain itu, eFootball juga menjanjikan berbagai update di masa depan termasuk “sharp kick“, kemampuan untuk mengecoh pertahanan yang lebih bebas, tendangan spesial yang nantinya akan memberikan kemampuan khusus untuk mengeksekusi tendangan, umpan, ataupun umpan lambung yang butuh waktu untuk dieksekusi.

Image credit: Konami

Dan yang terakhir adalah Konami menjanjikan adanya implementasi fitur haptic feedback dan adaptive trigger kepada para pemain PlayStation 5 yang memainkan eFootball menggunakan DualSense.

Sayangnya Konami masih belum memiliki tanggal rilis pasti untuk game eFootball ini. Mengingat game-nya kini beralih menjadi game-as-service maka kemungkinan besar game ini tidak akan memiliki fitur lengkap saat dirilis, namun berbagai fitur baru akan disuntikkan sebagai update di masa depan.

Konami menjanjikan bahwa eFootball ini nantinya akan tersedia di hampir semua platform mulai PC, PlayStation 4, PlayStation 5, Xbox One, Xbox Series X|S, dan bahkan untuk Android serta iOS.

Haruskah Organisasi Esports Peduli Pada Masa Depan Pro Playernya?

Esports sudah menjadi industri besar. Orang-orang di dalamnya pun dituntut untuk bekerja layaknya seorang profesional, termasuk para pro gamer. Dan jangan salah, gaji para pemain profesional yang bermain di liga besar sudah melampaui Upah Minimum Regional DKI Jakarta. Misalnya, gaji minimum pemain Mobile Legends Professional League adalah Rp7,5 juta. Para pemain esports yang berlaga di kancah internasional bahkan punya gaji yang jauh lebih fantastis. Di Eropa, gaji rata-rata pemain League of Legends profesional mencapai miliaran rupiah.

Namun, gaji bukan satu-satunya variabel yang harus diperhitungkan ketika seseorang hendak memilih pekerjaan. Ada beberapa faktor lain yang menjadi bahan pertimbangan, seperti asuransi atau dana pensiun. Inilah alasan mengapa bagi sebagian orang, Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih merupakan pekerjaan idaman. Sementara bagi perempuan, peraturan terkait cuti hamil dan melahirkan bisa jadi salah satu faktor yang harus diperhitungkan.

Lalu, apakah organisasi esports menawarkan keuntungan lain bagi para pemainnya?

 

Keuntungan yang Bisa Ditawarkan Organisasi Esports: Jaminan Kesehatan dan Edukasi Finansial

Menjadi pemain esports tidak semudah kelihatannya. Ada beberapa pengorbanan yang harus dibuat untuk menjadi pemain profesional. Salah satunya adalah kesehatan. Ketika menjadi pemain profesional, seseorang bisa menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk berlatih.

Kepada TMZ Sports, Kenny “Kenny” Williams dari Los Angeles Thieves dan Dillon “Attach” Price dari Minnesota ROKKR mengungkap jadwal latihan mereka. Attach berkata, dia dan timnya bisa menghabiskan waktu sekitar 5-6 jam sehari untuk berlatih. Dalam seminggu, mereka berlatih selama 6-7 hari. Menjelang turnamen, mereka bisa berlatih tanpa hari libur. Sementara itu, Kenny menyebutkan, ia dan timnya menghabiskan waktu sekitar 35-40 jam seminggu untuk berlatih. Jika mereka berlatih selama 6 hari, maka setiap harinya, mereka menghabiskan sekitar 6-7 jam.

“Kami punya jadwal latihan tetap. Kami bermain sejak jam 1 siang sampai sekitar jam 7 malam,” kata Kenny. “Namun, menjelang turnamen, kami biasanya akan berlatih lebih lama.” Ketika seseorang menghabiskan terlalu banyak waktu dalam posisi duduk, hal ini dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan, mulai dari naiknya risiko obesitas sampai pelemahan otot. Tak hanya itu, seorang pemain profesional juga bisa terkena cedera, mulai dari cedera pada pergelangan tangan, punggung, atau leher.

Selain waspada akan cedera, seorang pemain profesional juga harus memerhatikan asupan gizinya. Pasalnya, gizi dan nutrisi juga memengaruhi performa pemain. Jadi, salah satu benefit yang bisa ditawarkan oleh organisasi esports pada para pemainnya adalah jaminan akan gizi yang memadai. Untuk itu, sebagian organisasi esports bahkan rela mempekerjakan ahli gizi untuk memastikan bahwa para atlet mereka mendapatkan asupan gizi yang memadai. Sayangnya, tidak semua organisasi esports mau — atau mampu — melakukan hal ini.

Gizi dan nutrisi bisa memengaruhi performa para pemain esports. | Sumber: Deposit Photos
Gizi dan nutrisi bisa memengaruhi performa para pemain esports. | Sumber: Deposit Photos

Pemain profesional tak hanya harus peduli pada kesehatan fisik, tapi juga kesehatan mental. Jika diacuhkan, gangguan mental bahkan bisa menyebabkan seorang atlet esports mengundurkan diri. Hal ini terjadi pada Heo “PawN” Won-seok, pemain League of Legends asal Korea Selatan yang sempat diklaim sebagai rival abadi dari Lee Sang-hyeok alias Faker. PawN mengundurkan diri karena mengidap Obsessive Compulsive Disorder (OCD).

Selain itu, bertanding dalam turnamen bergengsi di hadapan banyak penonton memberikan tekanan mental untuk para atlet esports. Beban mental yang ditanggung oleh pemain profesional elit bahkan disebutkan sama seperti beban mental para atlet Olimpiade. Dan keadaan psikologis seorang pemain punya pengaruh padaa performanya. Itulah sebabnya mengapa beberapa organisasi esports mempekerjakan psikolog. Sayangnya, lagi-lagi, tidak semua organisasi esports bisa atau bersedia mempekerjakan psikolog.

Tak melulu soal kesehatan, edukasi soal literasi finansial bisa jadi salah satu benefit yang ditawarkan oleh organisasi esports pada para pemainnya agar mereka setia. Dan literasi keuangan itu memang penting untuk para pemain profesional. Hanya saja, walau sudah ada organisasi esports yang bersedia mengedukasi para pemainnya soal tabungan dan investasi, praktek ini belum menjadi standar di industri esports. Alhasil, jika pemain tidak mawas diri, uang yang mereka kumpulkan selama mereka berkarir sebagai pemain profesional bisa hilang tanpa bekas.

Jika kesehatan atlet esports penting, kenapa tidak semua organisasi esports mau mempekerjakan ahli gizi atau psikolog? Dan jika literasi finansial penting untuk masa depan para atlet esports, kenapa hanya sebagian organisasi esports yang mau mengedukasi para pemainnya tentang literasi finansial?

Esports adalah industri baru. Memang, nilai industri esports diperkirakan akan mencapai US$1 miliar. Meskipun begitu, organisasi esports belum menemukan model bisnis yang pasti. Karena itu, tentunya mereka juga akan berusaha untuk menekan pengeluaran. Jadi, tidak heran jika sebagian organisasi esports enggan untuk mempekerjakan ahli gizi atau psikolog. Dalam kasus ini, tanggung jawab untuk menjaga kesehatan para atlet akan jatuh ke tangan mereka sendiri.

Psikolog juga punya peran penting dalam tim esports. | Sumber: Esports.id
Psikolog juga punya peran penting dalam tim esports. | Sumber: Esports.id

Soal literasi finansial, alasan yang sama juga berlaku. Tidak semua organisasi esports punya biaya — atau mau mengeluarkan biaya — untuk membayar ahli finansial demi mengedukasi para atletnya tentang perencanaan finansial jangka panjang. Apalagi karena literasi finansial tidak memberikan dampak langsung pada performa pemain.

Memang, dalam dunia kerja, pekerja yang setia tidak hanya lebih produktif, tapi juga memberikan pelayanan yang lebih baik. Hal ini akan berujung pada kepuasan konsumen, dan berakhir pada meningkatnya pendapatan perusahaan. Jadi, perusahaan memang punya kepentingan untuk membuat para karyawannya puas dengan kondisi kerja mereka. Dan salah satu cara untuk membuat karyawan menjadi betah bekerja di sebuah perusahaan adalah dengan memberikan benefit ekstra — termasuk kesempatan untuk belajar hal baru. Sayangnya, kondisi di dunia esports — khususnya terkait pemain profesional — agak berbeda. Pasalnya, karir pemain profesional sangat singkat.

Menurut Esports Lane, rata-rata, karir seorang pemain esports hanya bertahan selama sekitar 4-5 tahun. Hal itu berarti, sebuah organisasi esports tidak punya urgensi untuk mempertahankan atlet esports dalam waktu lama, berbeda dengan perusahaan konvensional yang bisa mempekerjakan seseorang hingga belasan atau bahkan puluhan tahun. Karena itu, tidak aneh jika organisasi esports tak terlalu memusingkan soal benefit yang bisa mereka berikan pada para pemainnya.

 

Durasi Liga Esports dan Kontrak yang Singkat

Esports memang sering dibandingkan dengan olahraga tradisional. Competitive gaming bahkan kini mulai dianggap sebagai olahraga dan dimasukkan ke dalam berbagai event olahraga besar, seperti Asia Games dan SEA Games. Meskipun begitu, esports tetap punya beberapa perbedaan dengan olahraga tradisional. Salah satunya adalah game, yang menjadi media pertandingan dalam esports, merupakan produk komersil. Hal itu berarti, popularitas skena esports dari sebuah game bisa memberikan dampak langsung pada pemasukan publisher. Sebagai ilustrasi, FIFA tidak akan mendapatkan untung apapun jika jumlah pemain sepak bola amatir bertambah. Namun, jika jumlah pemain Rainbow Six: Siege naik, maka hal ini bisa memberikan dampak langsung pada pemasukan Ubisoft.

Hal lain yang membedakan antara esports dan olahraga adalah game esports punya risiko menjadi dead game. Umur rata-rata penonton sepak bola terus naik. Namun, tidak ada berita yang menyebutkan bahwa “sepak bola akan mati!” Lain halnya dengan game esports. Bahkan game yang skena esports-nya sudah tumbuh besar sekalipun, seperti Dota 2, pernah diduga akan menjadi dead game. Ekosistem Dota 2 di Indonesia pun sudah kering kerontang. Dua perbedaan antara esports dan olahraga ini membuat penyelenggaraan kompetisi esports menjadi agak berbeda dari pertandingan olahraga tradisional, misalnya dalam hal frekuensi dan durasi kompetisi.

Dalam setahun, kompetisi esports biasanya diadakan dua kali; spring split dan fall split atau summer split dan winter split. Sementara kompetisi olahraga tradisional, seperti sepak bola, biasanya hanya diadakan satu tahun sekali. Selain itu, durasi kompetisi esports juga jauh lebih pendek. Free Fire Master League Season III berlangsung selama 5 minggu, sejak 16 Januari 2021 sampai 20-21 Februari 2021. Sementara regular season dari Mobile Legends Professional League berlangsung selama 8 minggu sebelum memasuki babak playoff, yang biasanya berlangsung selama 3 hari. Sebagai perbandingan, Liga Inggris dimulai pada bulan Agustus dan berakhir pada bulan Mei di tahun berikutnya. Hal itu berarti, Liga Inggris berlangsung selama sekitar 10 bulan.

Free Fire Master League Season 3 hanya berlangsung selama 5 minggu.
Free Fire Master League Season 3 hanya berlangsung selama 5 minggu.

Pendeknya durasi liga esports punya pengaruh pada durasi kontrak antara pemain dan tim esports. Menurut shoutcaster Wibi “8ken” Irbawanto, rata-rata, kontrak antara pemain dan tim esports hanya berlangsung selama 3-12 bulan. Memang, ada beberapa pemain yang bisa mendapatkan kontrak hingga 2 tahun. Namun, jika kontrak punya durasi lebih dari 2 tahun, hal itu sudah dianggap sebagai “taruhan besar” oleh sebuah organisasi esports. Sementara itu, rata-rata durasi kontrak pemain sepak bola adalah 3-5 tahun.

Umur karir yang singkat dan frekuensi penyelenggaraan turnamen yang tinggi; 2 hal ini tampaknya merupakan faktor mengapa para pemain esports tidak segan untuk pindah dari satu tim ke tim lain dalam waktu singkat. Dan hal itu sah saja. Pindah ke perusahaan lain memang merupakan salah satu cara untuk bisa menaikkan gaji seseorang. Jadi, wajar saja jika seorang pemain memutuskan untuk pindah ke tim lain demi mendapatkan gaji yang lebih besar atau benefit yang lebih baik.

Selain itu, organisasi esports juga tidak segan untuk mengeluarkan seorang pemain atau membubarkan tim jika performa sang pemain atau tim itu dianggap tidak memuaskan. Dalam hal ini, organisasi esports juga tidak bisa disalahkan. Pasalnya, sponsorship masih menjadi kontributor terbesar dalam pemasukan organisasi esports. Dan mendapatkan fans sebanyak-banyaknya merupakan salah satu cara untuk menarik sponsor. Untuk bisa memenangkan hati fans, sebuah organisasi esports juga harus bisa unjuk gigi.

Regenerasi pemain memang penting. Namun, jika organisasi esports terus mengganti roster pemainnya, hal ini juga akan menyebabkan masalah tersendiri. Misalnya, para pemain harus kembali menyesuaikan diri dengan ritme dan gaya bermain sang pemain baru. Sementara jika sebuah organisasi esports merekrut tim yang sama sekali baru, maka mereka harus melatih para pemain dari nol. Bagi para pemain profesional, berganti tim juga punya risiko sendiri. Tak bisa dipungkiri, chemistry antar pemain juga berpengaruh pada performa sebuah tim. Dalam sepak bola pun, bukan hal yang aneh melihat seorang striker mendadak tak bisa mencetak gol karena berganti tim.

 

Ekosistem Esports yang Sehat, Tanggung Jawab Siapa?

Publisher menjadi salah satu pihak yang paling bertanggung jawab dalam memastikan ekosistem esports dari game-nya tidak hanya berkembang, tapi juga tumbuh dengan sehat. Alasannya, publisher memegang wewenang paling besar atas sebuah game dan ekosistem esports dari game itu. Misalnya, Activision Blizzard bisa menentukan gaji minimum untuk para pemain yang berlaga di Overwatch League. Sementara itu, Riot Games bisa memutuskan soal penggunaan sistem franchise pada liga League of Legends. Dengan kata lain, publisher hampir punya kuasa penuh dalam menentukan bagaimana cara mereka menyelenggarakan kompetisi esports.

Activision Blizzard menentukan gaji minimum pemain Overwatch League.
Activision Blizzard menentukan gaji minimum pemain Overwatch League.

Mengingat singkatnya durasi liga esports menjadi salah satu faktor mengapa roster tim esports cepat berubah, salah satu hal yang bisa publisher lakukan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan memperpanjang durasi liga esports. Dengan begitu, baik tim maupun atlet esports bisa punya waktu yang lebih panjang untuk membuat rencana. Meskipun begitu, hal ini bisa jadi memunculkan masalah baru, seperti penurunan penonton, yang pasti bakal berdampak ke pemasukan. Pasalnya, target penonton kompetisi esports adalah generasi milenial dan gen Z, yang sering disebut punya attention span singkat. Jadi, mengadakan liga esports yang lebih panjang justru bisa membuat para penonton menjadi bosan.

Sebagai bagian dari industri esports, pemain dan organisasi esports tentunya juga punya peran sendiri dalam memastikan ekosistem esports tumbuh dengan sehat. Salah satu kewajiban organisasi esports adalah memberikan kompensasi — gaji dan benefit — yang memadai untuk para pemainnya. Memang, organisasi esports bukanlah badan amal yang harus menyiapkan segala sesuatu untuk menjamin masa depan para atletnya bahkan setelah pensiun. Meskipun begitu, jika mereka tetap ingin memberikan literasi finansial tanpa mengeluarkan dana ekstra, mereka bisa menjalin kerja sama dengan institusi keuangan.

Saat ini, semakin banyak merek non-endemik yang tertarik untuk masuk ke dunia esports, tak terkecuali bank dan asuransi. Jika organisasi esports tetap ingin memberikan asuransi tapi terkendala masalah biaya, mereka bisa menggandeng institusi keuangan sebagai rekan. Hal ini telah dilakukan oleh T1. Pada Juli 2020, mereka bekerja sama dengan Hana Bank. Melalui kerja sama ini, para pemain T1 mendapatkan asuransi dan layanan finansial dari Hana Bank. Sebagai gantinya, T1 akan mempromosikan aplikasi dari Hana Bank dan membantu bank itu untuk mengembangkan produk finansial untuk fans esports.

Kerja sama antara T1 dan Hana Bank.
Kerja sama antara T1 dan Hana Bank.

Tak hanya edukasi, organisasi esports juga bisa membantu para pemainnya yang telah pensiun dengan cara lain. Contohnya, dengan menawarkan pekerjaan lain pasca pensiun dari pro playerCEO RRQ, Andrian Pauline alias AP pernah mengungkap bahwa pemain RRQ yang sudah pensiun bisa melamar pekerjaan di perusahaan-perusahaan anak MidPlaza Holding, yang merupakan induk dari RRQ. EVOS Esports juga sudah melakukan hal yang sama. Pada akhir Februari 2021, EVOS menunjuk Stefan Chong sebagai Business Development Lead untuk kawasan Singapura. Di Korea Selatan, kesetiaan Lee “Faker” Sang-hyeok pada T1 berbuah manis. Pada Februari 2020, T1 tidak hanya memperpanjang kontrak dengan pemain League of Legends itu. Faker bahkan mendapatkan sebagian saham dari organisasi esports tersebut.

Jika dibandingkan dengan publisher dan organisasi esports, pemain profesional memang terlihat sebagai pihak dengan bargaining power paling kecil. Namun, hal itu bukan berarti para atlet esports harsu pasrah begitu saja menerima keadaan. Salah satu hal yang pemain profesional bisa lakukan sebagai ancang-ancang sebelum pensiun adalah mempelajari kemampuan baru. Jadi, begitu karirnya selesai, dia tidak kebingungan untuk mencari pekerjaan baru. Selain itu, seorang pemain esports juga bisa banting setir ke bisnis. Karena itulah, literasi finansial penting bagi para pemain profesional.

Satu hal yang pasti, bagaimana kehidupan pemain profesional setelah karirnya selesai akan tergantung pada dirinya sendiri. Memang, organisasi esports bisa membantu dengan memberikan edukasi literasi keuangan atau menawarkan posisi manajemen. Walaupun begitu, pada akhirnya, sang pemainlah yang mengambil keputusan tentang rencananya di masa depan.

 

Penutup

Pada akhirnya, kontrak kerja punya konsep yang sama dengan kontrak jual-beli. Akad jual-beli hanya akan terjadi jika penjual dan pembeli setuju bahwa harga yang dibayar pembeli sesuai dengan nilai dari barang atau layanan yang dijual. Begitu juga dengan kontrak kerja. Seorang pekerja bersedia untuk memberikan tenaga dan waktunya demi perusahaan asal dia mendapatkan kompensasi yang cukup. Saya rasa, konsep ini juga berlaku di dunia esports. Hanya saja, umur para pemain esports memang jauh lebih muda dari karyawan perusahaan. Jadi, pengalaman mereka terkait dunia kerja mungkin masih minim.

Idealnya, organisasi esports tidak hanya menjaga kesehatan pemainnya, tapi juga mengajari pemainnya tentang bagaimana bersikap profesional. Lebih baik lagi jika mereka membantu para atletnya untuk mempersiapkan masa depan mereka. Walaupun begitu, pada akhirnya, tanggung jawab akan masa depan seorang pemain profesional ada di tangan sang atlet esports sendiri.

Irisan Antara Organisasi Esports dan Klub Sepak Bola

Dalam bahasa Inggris, ada ungkapan: if you can’t beat them, join them. Hal inilah yang dilakukan oleh klub sepak bola pada esports. Walau pada awalnya dipandang sebelah mata, esports kini telah menjadi industri yang besar. Melihat hal ini sebagai kesempatan, klub-klub sepak bola pun mulai terjun ke dunia esports, baik dengan menggaet pemain profesional, bekerja sama dengan organisasi esports, atau bahkan membuat divisi esports sendiri. Dan fenomena ini juga terjadi di Indonesia.

 

Klub Sepak Bola Mana Saja yang Telah Menjajaki Esports?

Klub sepak bola pertama yang menjajaki dunia esports, menurut laporan The Esports Observer, adalah Besiktas Istanbul dari Turki. Mereka membuat Besiktas e-Sports Club pada Januari 2015. Sayangnya, tim esports itu tidak bertahan lama. Pada Januari 2016, divisi esports Besiktas dibubarkan. Namun, hal itu tidak mengurungkan niat dari klub sepak bola lain untuk masuk ke dunia esports.

Sejak 2015, ada banyak klub sepak bola yang masuk ke dunia esports. Dan masing-masing klub sepak bola punya pendekatan yang berbeda-beda. Misalnya, ketika memasuki dunia esports pada 2015, VFL Wolfsburg —  klub sepak bola yang berlaga di Bundesliga, Jerman  — memilih untuk menggandeng pemain FIFA, Benedikt “Salz0r” Saltzer. Wolfsburg bukan satu-satunya klub sepak bola yang memilih pendekatan ini. Pada Mei 2016, West ham United juga bekerja sama dengan Sean “Dragonn” Allen. Pada tahun yang sama, Manchester City juga menarik pemain FIFA profesional Kieran “Kez” Brown 

Di Indonesia, kebanyakan klub sepak bola yang masuk ke esports mengambil pendekatan ini. Sebut saja PERSIJA dan klub-klub sepak bola lain yang ikut serta dalam Indonesia Football e-League (IFeL), Liga 1 versi virtual. Para gamer profesional yang digaet oleh klub-klub sepak bola ini juga bukan pemain sembarangan. Kebanyakan dari mereka sudah berhasil menorehkan prestasi di skena esports PES, seperti Rizal “Ivander” Danyarta yang mewakili PERSIJA, Rizky Faidan yang membawa nama PSS Sleman, atau LuckyMaarif yang mewakili PERSIK Kediri.

Rizky Faidan berhasil lolos ke World Finals PSE 2019. | Sumber: Bola
Rizky Faidan berhasil lolos ke World Finals PSE 2019. | Sumber: Liga1PES

Pendekatan lain yang biasa klub sepak bola lakukan ketika mereka hendak masuk ke dunia esports adalah dengan menggandeng organisasi esports. Strategi ini masuk akal. Jika Anda hendak terjun ke industri baru yang tidak terlalu dipahami, daripada harus belajar dari nol dan melakukan segala sesuatunya sendiri, lebih mudah untuk bekerja sama dengan pihak yang sudah berkecimpung di industri tersebut.

Klub sepak bola pertama yang menggunakan strategi ini adalah Santos FC. Pada Agustus 2015, klub asal Brasil itu menggandeng Dexterity Team, yang memiliki roster di League of Legends, Counter-Strike: Global Offensive, Battlefield 4, dan Heroes of the Storm. Pada tahun berikutnya, Clube do Remo, yang juga berasal dari Brasil, menggaet Brave e-Sports, yang berlaga di Hearthstone, Heroes of the Storm, dan SMITE.

Belum lama ini, pada November 2020, AC Milan mengumumkan kerja sama mereka dengan tim esports lokal Qlash. Sementara itu, Juventus menunjuk Astralis — yang dikenal dengan tim CS:GO mereka — untuk mewakili mereka di liga PES eFootball musim 2019/2020.

Ada juga klub sepak bola yang memilih untuk membentuk divisi esports sendiri, seperti Arsenal. Namun, mereka tidak memegang manajemen dari divisi tersebut. Arsenal menyerahkan tanggung jawab penuh atas divisi esports mereka Esports Gaming League, mulai dari pencarian talenta, wawancara dengan calon pemain, sampai tanda tangan kontrak.

Menariknya, kesertaan klub sepak bola di industri esports tidak terbatas pada liga sepak bola virtual. Ada beberapa klub sepak bola yang membuat tim yang berlaga di game esports lain selain FIFA dan PES. Contohhnya adalah Schalke 04. Tim sepak bola Jerman itu membeli slot liga League of Legends Eropa dari tim esports Elemenets pada 2016. Sampai sekarang, tim esports Schalke masih berlaga di League of Legends European Championship. Pada LEC Summer 2020, mereka berhasil duduk di peringkat lima dan memenangkan US$14.802.

Schalke 04 punya tim League of Legends.
Schalke 04 punya tim League of Legends.

Contoh lainnya adalah Paris Saint-Germain. Saat ini, mereka punya tim yang bertanding di tiga game esports, yaitu Dota 2, League of Legends, dan Brawl Stars. Sebelum ini, PSG juga pernah mencoba masuk ke Mobile Legends dengan menjalin kerja sama dengan RRQ. Sayangnya, kerja sama itu hanya bertahan selama satu setengah tahun.

 

Kenapa Klub Sepak Bola Tertarik Masuk ke Esports?

Sebelum ini, Hybrid pernah membahas betapa pentingnya regenerasi pemain di dunia esports. Saya percaya, di dunia sepak bola, regerasi juga sama pentingnya, baik regenerasi pemain maupun fans. Menurut data perusahaan marketing, CSM Sport & Entertainment, umur rata-rata fans Premier League adalah 42 tahun. Sebagai perbandingan, umur rata-rata penonton esports adalah 26 tahun, berdasarkan riset yang dilakukan oleh Paper Money Grading pada 2018. Jadi, jika ditanya apa alasan klub sepak bola berbondong-bondong masuk ke dunia esports, salah satu jawabannya adalah darah muda.

“Fakta bahwa umur rata-rata fans sepak bola terus naik memaksa tim-tim sepak bola untuk memikirkan cara agar mereka bisa bertahan dan tetap relevan bagi fans generasi berikutnya. Apa yang harus klub sepak bola lakukan untuk memastikan mereka tetap menarik bagi para sponsor?” ujar Corporate Strategy Director, CSM Sport & Entertainment James Gallagher-Powell dalam ESI Digital Summer, seperti dikutip dari Insider Sport. “Melalui esports, klub sepak bola bisa membuat fans muda tertarik untuk menonton pertandingan sepak bola, yang merupakan bisnis utama mereka. Jadi, mereka bisa memastikan bahwa mereka tetap populer di generasi muda sehingga mereka tetap bisa mendapatkan untung di masa depan.”

Hal serupa diungkapkan oleh Chairman dari European Club Association dan Chairman dari Juventus, Andrea Agnelli. Tahun lalu, dia mewanti-wanti, industri sepak bola harus siap bersaing dengan industri game dan esports dalam memperebutkan hati penonton.

“Sekarang, kebiasaan para fans mulai berubah,” ujar Agnelli, lapor Goal. “Kita kini menghadapi ‘Gen Z’, digital natives yang kini mulai beranjak dewasa. Kita harus tahu bagaimana kebiasaan mereka. Kita harus sadar, kita tidak hanya bersaing dengan klub sepak bola lain, tapi juga esports, League of Legends, dan Fortnite. Ke depan, merekalah yang harus kita hadapi.”

 

PENONTON

Penonton bukan satu-satunya keuntungan yang bisa didapatkan oleh klub sepak bola ketika mereka masuk ke dunia esports. Menurut Gallagher-Powell, esports bisa menjadi sumber pemasukan baru bagi klub sepak bola di masa depan. Dia menyadari, biaya franchise liga esports besar kini ada di rentang harga US$10-50 juta, sama seperti nilai liga sepak bola Eropa sekitar 20 tahun lalu.

Memang, pada 2018, slot di League of Legends European Championship dihargai US$13 juta. Di tahun yang sama, Activision Blizzard mematok harga slot Overwatch League di US$20 juta untuk 12 tim pertama. Mereka kemudian menawarkan slot ekstra yang dihargai sekitar US$30-60 juta.

Klub sepak bola juga bisa menjadikan esports sebagai alat marketing, menurut Co-founder dan Managing Director Esports Insider, Sam Cooke. Klub yang berhasil melakukan ini adalah Manchester City. Pada September 2019, Manchester City mengumumkan kerja samanya dengan FaZe Clan. Melalui kerja sama ini, keduanya akan membuat merchandise co-branded edisi terbatas. Tak hanya itu, Manchester City juga punya pemain profesional yang mewakili mereka dalam pertandingan FIFA. Dengan begitu, para fans esports akan menjadi familier dengan nama Manchester City.

Hanya saja, esports dari game olahraga seperti FIFA dan PES masih kalah populer dari game esports MOBA dan FPS, seperti Dota 2 atau CS:GO. Menurut Remer Rietkerk, Head of Esports at Newzoo, tiga game esports yang paling populer adalah League of Legends, CS:GO, dan Dota 2. Di YouTube dan Twitch, total watched hours dari ketiga game itu mencapai 845 juta jam pada 2019. Sebagai perbandingan, total watched hours FIFA 19 hanya mencapai 8 juta jam dan FIFA 20 hanya 3 juta jam.

“FIFA adalah game yang bagus dan banyak orang yang memainkan game itu. Tapi, tidak ada fans hardcore esports yang akan setia menonton game itu selama bertahun-tahun,” kata Carlos Rodriguez, pendiri G2 Esports, dikutip dari Financial Time.

Hal yang sama diungkapkan oleh Account Director, CSM Sport & Entertainment, Debs Scott-Bowden. Aktif dalam skena esports FIFA dan PES memang bukan langkah yang buruk bagi klub sepak bola, karena mereka dapat memberikan eksposur ekstra pada sponsor. Namun, jumlah penonton game esports bola memang tidak sebanyak game esports MOBA dan FPS.

Jadi, bagi klub sepak bola yang terjun ke esports demi menjangkau audiens lebih luas, mereka sebaiknya menyeburkan diri ke skena esports dari game yang lebih populer, seperti League of Legends dan CS:GO. Dan saat ini, sudah ada beberapa klub sepak bola yang telah melakukan hal ini, seperti Schalke 04, PSG, dan FC Copenhagen. Di Indonesia, contoh tim sepak bola yang melakukan ini adalah Bali United (IOG Esports), yang memiliki tim Free Fire dan Mobile Legends.

“Strategi ini memiliki risiko yang lebih tinggi daripada sekadar masuk ke esports game olahraga, tapi keuntungan yang ditawarkan juga lebih besar,” kata Gallagher-Powell. “Game esports non-sepak bola memiliki jumlah fans yang jauh lebih banyak dari fans esports dari FIFA dan Rocket League. Jika sebuah klub ingin menjangkau audiens baru, mereka sebaiknya membuat divisi esports dari game-game yang lebih populer.”

Biaya besar jadi salah satu kendala yang harus dihadapi oleh klub sepak bola jika mereka ingin membuat tim esports dari game yang populer. Ketika tim sepak bola ingin ikut masuk dalam liga esports dengan sistem franchise — seperti yang dilakukan oleh Schalke 04 — maka mereka harus membayar biaya yang tidak kecil. Tak hanya itu, gaji dari para pemain esports League of Legends, Dota 2, atau CS:GO juga lebih mahal dari pemain FIFA atau PES. Gallagher-Powell memperkirakan, gaji seorang pemain League of Legends kelas atas bisa digunakan untuk membiayai keseluruhan tim esports FIFA.

 

Bagaimana dengan Indonesia?

Di Indonesia, klub sepak bola dan pemain esports profesional dipertemukan dalam Indonesia Football e-League (IFeL). Putra Sutopo, Head of IFeL bercerita, “Ide awal untuk IFeL itu sebenarnya karena iri dengan negara tetangga yang punya Liga 1 virtual sendiri, sementara di Indonesia belum ada. Padahal, Liga 1 di Thailand itu diikuti oleh pemain-pemain dari Indonesia. Peringkat satu sampai lima saja rata-rata didominasi oleh pemain Indonesia.”

Putra mengaku heran dengan fenomena ini. Pasalnya, dia merasa, fans sepak bola di Indonesia tidak hanya banyak, tapi juga fanatik. Dari sana, dia lalu mengambil inisiatif untuk mengajak klub-klub sepak bola Liga 1 untuk ikut serta dalam IFeL. “Respons dan hasilnya di luar ekspektasi kita,” ujarnya. “Viewers-nya banyak banget, bahkan liga tetangga saja nggak seramai itu.”

Baik tim sepak bola maupun pemain profesional tentunya memiliki fans sendiri-sendiri. Putra mengungkap, penonton IFeL adalah gabungan dari keduanya. Dia juga yakin, liga sepak bola dan liga esports bisa berjalan berdampingan, tanpa harus khawatir akan saling berebut penonton. “Kita justru bakal jadi pre-event-nya,” ujar Putra. “Misalnya, pertandingan jam 7 malam, kita bakal tanding di jam 5.”

Fans sepak bola di Indonesia cenderung fanatik.
Fans sepak bola di Indonesia cenderung fanatik.

Menurut Putra, kerja sama antara tim sepak bola dengan pemain profesional merupakan simbiosis mutualisme. Industri esports akan diuntungkan karena semakin banyak pihak yang ikut serta dalam mengembangkan industri itu, khususnya skena sepak bola virtual.

“Selain itu, karena semakin banyak klub bola yang terjun ke industri esports, hal ini juga bakal buat PSSI melek akan industri sepak bola virtual,” ungkapnya. “Menurutku, ini langkah awal yang baik untuk industri sepak bola virtual, mengingat negara kita sebenarnya masih ketinggalan sama negara tetangga dalam hal pengembangan industri esports sepak bola virtual.”

Bagi pelaku industri esports, khususnya game sepak bola, ada keuntungan lain yang bisa didapat dengan melibatkan klub sepak bola dalam liga esports, ungkap Rizki Darmawan, CEO dan Founder dari IVPL. Keuntungan itu adalah ikatan emosional. Saat ini, dia menjelaskan, alasan kebanyakan orang menonton konten game atau pertandingan esports sepak bola adalah karena mereka ingin tahu tentang tips dan trik dalam bermain atau karena mereka tertarik dengan sang pembuat konten atau pemain yang bertanding. Mereka kurang tertarik pada konten esports sepak bola itu sendiri.

Lain halnya dengan fans klub sepak bola, ujar Rizki. Mereka biasanya punya ikatan emosi yang kuat pada klub, sehingga mereka akan tetap setia mendukung tim favoritnya, tak peduli apakah tim itu menang atau kalah. Dengan melibatkan klub sepak bola di liga sepak bola virtual, diharapkan, para penonton juga menjadi lebih setia pada game sepak bola virtual itu sendiri. Karena itulah, IVPL berencana untuk bekerja sama dengan tim-tim Liga 2.

“Kami ingin tap in ke Liga 2 agar muncul emotional bond. Karena kalau sudah suka, meskipun klubnya papan bawah, seorang fan akan tetap dukung klub itu. Kami ingin memanfaatkan kedekatan emosi ini untuk sesuatu yang berbeda,” ujar Rizki. Dia membandingkan ikatan emosi antara fans klub sepak bola dengan fans seorang artis. “Apapun yang sang artis lakukan, para fans akan mau tahu. Itu formula yang ingin kami gunakan.”

Satu hal yang membedakan IFeL dan IVPL adalah IFeL fokus pada pertandingan 1v1 di PES, sementara IVPL fokus pada laga 11v11 di FIFA. Rizki mengungkap, tujuan jangka panjangnya adalah untuk membuat tim nasional sepak bola virtual.

Ketika ditanya apa keuntungan yang didapatkan oleh klub sepak bola jika mereka terjun ke esports, Rizki mengungkap, “Mereka akan mendapatkan fans baru, sumber pemasukan baru, dan bisa jual merchandise baru.” Dia menambahkan, mengurus liga virtual juga relatif lebih mudah. Alasannya, pertandingan bisa dijalankan dan ditonton dari rumah. “Jadi, Anda tidak harus datang ke kota tempat pertandingan diadakan. Hal ini akan menghemat biaya. Nanti, tinggal bagaimana cara me-manage turnamen,” ujarnya.

Senada dengan Rizki, Putra menyebutkan, masuk ke esports akan memungkinkan klub sepak bola untuk memperluas pasar mereka dan menjangkau generasi milenial. “Kalau mereka bisa memanfaatkan ini dengan baik, esports bisa jadi metode bisnis baru yang mengguntungkan untuk para klub bola,” ungkapnya. “Sayangnya, belum banyak klub-klub sepak bola di Indonesia yang mengerti bisnis model esports.”

Lebih lanjut Putra menjelaskan, ketika klub sepak bola membuat tim esports dan merekrut pemain profesional, mereka akan bisa membuat tim tersebut untuk ikut dalam pertandingan esports. “Hal ini bisa jadi pemasukan untuk klub,” katanya. “Sponsor? Karena merek mereka sudah besar, tidak begitu sulit bagi mereka untuk mendapatkan sponsor demi manajemen esports.” Dia menambahkan, klub juga bisa mendapatkan untung dari penjualan atau peminjaman pemain profesionalnya.

Untuk masalah ketidaktahuan klub sepak bola akan esports, Putra merasa, masalah ini bisa diselesaikan dengan membuka wawasan tim-tim sepak bola tentang industri esports. “Mereka seperti itu karena belum tahu bagaimana sistem bisnisnya. Makanya, perlahan dengan adanya IFeL, terbukti ada beberapa klub yang buka tim esports, seperti PERSITA,” ungkap Putra.

 

Kesimpulan

Ada beberapa alasan kenapa sepak bola bisa menjadi salah satu olahraga paling populer di dunia. Salah satunya adalah peraturan yang mudah. Alasan lainnya adalah karena bermain bola tidak memerlukan peralatan khusus. Anda hanya memerlukan bola, tempat yang cukup luas, dan tentu saja, teman bermain. Namun, sekarang, hal-hal tersebut semakin sulit untuk didapatkan. Sebaliknya, smartphone justru semakin mudah didapatkan. Tak hanya itu, ada banyak game yang bisa dimainkan dengan gratis. Jadi, jangan heran jika sebagian orang lebih memilih untuk bermain game daripada sepak bola.

Kabar baiknya, sepak bola dan game serta esports, sebenarnya tidak harus saling bermusuhan. Keduanya bisa berdiri berdampingan. Buktinya, selama pandemi virus corona, berbagai liga sepak bola dialihkan menjadi pertandingan sepak bola virtual, seperti liga di Singapura dan Malaysia.

Kolaborasi antara klub sepak bola dengan pemain esports juga terbukti menguntungkan kedua belah pihak. Jadi, daripada saling menyerang satu sama lain dan membuat perebutan penonton sebagai zero-sum game, tidak ada salahnya jika pelaku industri esports dan sepak bola justru saling membantu satu sama lain.

Feat Image: Deposit Photos

Dari Virtualisasi Sampai AR, LaLiga Terapkan Segudang Teknologi untuk Penayangan Musim 2020-21

24 Oktober nanti, El Clásico pertama di musim 2020-21 akan berlangsung di Camp Nou berdasarkan pengumuman resmi dari LaLiga. Para pendukung setia Barcelona dan Real Madrid pastinya sudah menanti-nanti momen ini, terutama suporter Barcelona mengingat laga terakhir di musim sebelumnya dimenangkan oleh Real Madrid dengan skor 2-0 pada bulan Maret lalu.

Namun ketimbang membahas pertandingannya, saya justru lebih tertarik membahas mengenai bagaimana pihak LaLiga memanfaatkan beragam teknologi untuk menyempurnakan tayangannya selama musim berlangsung secara tidak umum di tengah pandemi.

Buat yang sempat menonton salah satu pertandingan LaLiga di musim 2020-21 ini, Anda mungkin sempat heran atau takjub melihat area tribun yang dipenuhi penonton, sebab itu jelas bertentangan dengan protokol kesehatan yang ditetapkan selama pandemi.

Pada kenyataannya, kursi-kursi penonton tersebut kosong melompong. Yang kita lihat adalah hasil penerapan teknologi virtualisasi, dan LaLiga menganggap ini sebagai aspek yang sangat penting karena mereka ingin penonton di rumah bisa tetap berfokus pada pertandingan tanpa teralihkan perhatiannya oleh tribun kosong.

Misi memanjakan penonton di rumah ini krusial mengingat data internal LaLiga menunjukkan ada peningkatan jumlah penonton sekitar 20-30% selama musim berjalan di tengah pandemi. Selain menampilkan penonton virtual di area tribun, LaLiga juga memanfaatkan porsi lain di tribun untuk menampilkan berbagai konten lain, seperti misalnya pesan kepada penonton di rumah, atau pesan dari sponsor.

LaLiga menyebut inovasi ini dengan istilah virtual stands, dan menariknya, mereka berencana untuk tetap menggunakannya meski pandemi sudah berakhir nantinya. Dalam acara media briefing yang saya ikuti via Zoom, saya sempat menanyakan tentang teknologi-teknologi baru yang dipakai oleh tim produksi LaLiga selama pandemi, yang rencananya masih akan terus diterapkan ke depannya, dan virtual stands ini adalah salah satunya.

Head of Content and Programming di LaLiga, Roger Brosel, menjelaskan bahwa meski awalnya virtual stands ini hanya digunakan untuk mengisi kekosongan di stadion, tim produksi LaLiga sekarang sudah mengeksplorasi berbagai cara untuk tetap mengimplementasikannya ketika semuanya sudah kembali berjalan normal.

Virtualisasi ini tidak akan lengkap tanpa optimasi penempatan kamera. Yang tadinya di pinggir lapangan, sekarang sudah dipindah ke area tribun supaya tayangan replay tidak terlalu banyak menampilkan kursi kosong. Selain itu, Roger mengatakan bahwa di akhir 2020 nanti, bakal ada 16 stadion yang sudah dipasangi dengan sistem aerial camera yang lengkap. Stadion yang dilengkapi sistem Replay360° juga bertambah jumlahnya menjadi 8.

Di samping memberikan ilusi visual, LaLiga rupanya juga menyajikan ilusi aural. Riuh penonton akan selalu terdengar di sepanjang pertandingan, persis seperti ketika stadion memang terisi penuh di kondisi normal. Padahal, sorakan demi sorakan penonton ini sebenarnya adalah hasil rekaman dari pertandingan yang dijalani oleh masing-masing klub.

Lucunya, rekaman audio ini pada awalnya dibuat untuk dipakai oleh EA di game FIFA. Sekarang, semuanya sudah di-remaster untuk dipakai di tayangan LaLiga. Sejumlah sound engineer bertugas layaknya DJ, memutar audio yang tepat dan menyesuaikannya dengan momen yang terjadi. Jadi saat sebuah tim berhasil mencetakkan gol, kita pun juga akan mendengarkan sorakan gembira dari para suporternya.

Roger sempat bercerita sedikit mengenai seorang komentator yang secara tidak sadar sempat mengomentari tentang betapa meriahnya dukungan suporter, sebelum akhirnya ia sadar bahwa semua itu cuma sebatas ilusi.

Namun dari sekian banyak teknologi yang diterapkan, mungkin yang paling menarik adalah implementasi grafik augmented reality (AR). Dari yang sesimpel menampilkan formasi tim langsung di atas lapangan, sampai yang lebih kompleks yang grafiknya benar-benar bisa mengikuti pergerakan pemain, semuanya merupakan inisiatif yang baru diterapkan pada musim 2020-21 ini.

Grafik AR bahkan juga LaLiga tandemkan dengan teknologi prediksi data berbasis AI. Jadi semisal seorang pemain sedang bersiap melakukan tendangan pojok, kamera akan berganti ke tampilan yang lebar, dan grafik AR akan muncul menunjukkan persentase kemungkinan arah tendangan pojok dari sang pemain; apakah melambung ke depan gawang, ke dekat titik penalti, atau operan pendek ke pemain lain yang biasanya bakal dilanjutkan dengan crossing.

Semua ini membuat pertandingan terasa sedikit seperti menonton pertandingan esports FIFA, apalagi ketika melihat indikator nama pemain yang bergerak mengikuti ke mana saja pemain tersebut pergi. Meski demikian, Roger mengaku bahwa penerapannya tidaklah mudah.

Salah satu tantangan terbesar LaLiga adalah bagaimana mereka bisa menyajikan data dalam bentuk grafik AR tersebut secara intuitif. Terlalu banyak data berpotensi mengganggu konsentrasi penonton, jadi LaLiga harus benar-benar mengemasnya dalam bentuk visual yang mudah dimengerti oleh penonton, sebab grafik tersebut mungkin hanya akan muncul dalam hitungan detik saja.

Idenya adalah supaya data dan grafik AR bisa melengkapi siaran pertandingan, bukan malah mengambil alih perhatian penonton. Itulah mengapa LaLiga harus benar-benar menyeimbangkan penyajiannya, sekaligus memikirkan cara yang terbaik untuk menyuguhkan datanya.

LaLiga mengaku menghabiskan waktu sekitar dua bulan dari April hingga Juni untuk mengembangkan teknologi-teknologi yang dapat membantu menyempurnakan tayangannya selama musim pandemi. Tanpa ada keinginan untuk membanding-bandingkan dengan liga sepak bola di negara lain, LaLiga juga optimis bisa menjadi semacam trendsetter terkait penayangan pertandingan sepak bola di masa pandemi ini.

Manchester City Luncurkan Jersey Khusus Esports Untuk Musim 20/21

Manchester City bersama dengan Puma, meluncurkan jersey khusus esports untuk musim 20/21 mendatang. Rancangan jersey tersebut bisa dibilang terinspirasi dari jersey ketiga tim Manchester City, yang punya coretan grafis layaknya sebuah kain batik. Mengutip dari media lokal, jersey ini hanya menjadi awalan saja. Puma dikabarkan akan melanjutkan tren ini, dengan memberikan produk lain seputar esports sepanjang musim 2020-2021.

Nantinya, jersey khusus esports dari tim Manchester City ini akan dikenakan oleh dua pemain esports FIFA dari tim tersebut, yaitu Shaun Springette “Shellzz” dan Ryan Pessoa. Tak hanya itu, jersey juga akan digunakan oleh tim esports milik mereka di Tiongkok dan Korea Selatan, yang bertanding dalam game FIFA Online.

Sumber: Manchester City
Sumber: Manchester City

Rilis resmi Manchester City yang ditulis oleh Rob Pollard mengatakan “Jersey esports Manchester City merayakan kekayaan budaya musik dan fashion dari kota tersebut (Manchester). Jersey tersebut menggunakan motif Paisley diciptakan untuk Manchester City, yang menampilkan detil berupa logo Manchester City di dalamnya. Logo tersebut melambangkan era ‘Mod’ di sekitar 1960an, dan ‘Brit Pop’ di 1990an, yang telah memengaruhi budaya musik dan fashion di Manchester selama bergenerasi lamanya.”

Manchester City memang bisa dibilang sebagai salah satu klub sepak bola yang cukup aktif bergerak di ranah esports. Pada bulan Juni 2020 lalu, mereka bahkan sempat mengatakan Man City FIFA 20 Cup, yang diadakan di Singapura, dan memiliki total hadiah mencapai 20 juta rupiah. Tak hanya itu Manchester City juga sempat melakukan kerja sama co-branding dengan salah satu organisasi esports ternama asal Amerika Serikat, FaZe Clan. Dalam kerja sama tersebut, Manchester City dan FaZe Clan bersama-sama membuat rancangan merchandise mereka, dan konten-konten video yang menarik minat para penonton.

Manchester City FaZe Clan
Sebagai bagian dari kerja sama, Manchester City dan FaZe Clan akan membuat konten bersama.

Selain Manchester City, klub sepak bola lain yang juga tak kalah aktif di ranah esports mungkin Paris Saint-Germain. Klub asal Perancis tersebut sempat mensponsori tim Mobile Legends RRQ pada awal tahun 2019 kemarin. Terakhir kali PSG juga mensponsori tim League of Legends asal Hong Kong, yaitu Talon Esports, sebagai usaha tim sepak bola tersebut mendapat panggung di League of Legends World Championship 2020.

Melihat ini, sepertinya klub sepak bola menjadi semakin erat dengan esports. Bahkan dalam konteks lokal, ada IFeL, kolaborasi Zeus Gaming dengan klub-klub sepak bola lokal untuk membuat sebuah liga sepak bola virtual. Sepertinya, para klub sepak bola sudah semakin mempercayai esports sebagai salah satu masa depan bidang kompetisi.

Twitch Buat Kategori Khusus Olahraga Tradisional

Twitch sukses menjadi platform streaming game nomor satu. Pada Q2 2020, total hours watched di platform milik Amazon itu mencapai lima miliar jam. Sekarang, Twitch tampaknya ingin melebarkan sayapnya ke kategori olahraga tradisional. Mereka baru saja memperkenalkan kategori baru yang dinamai “Sports”.

Sesuai namanya, kategori baru di Twitch itu akan menampilkan konten olahraga tradisional, termasuk pertandingan sepak bola, talk show olahraga, video gulat, dan roller derby dari 2012. Selain itu, kategori olahraga di Twitch ini juga akan menampilkan konten basket dari NBA, hoki dari NHL, rugby dari RFL, bela diri campuran dari UFC, dan sepak bola perempuan dari NWSL.

Bersamaan dengan peluncuran kategori ini, Twitch juga mengumumkan kerja sama mereka dengan empat klub sepak bola, yaitu Real Madrid, Arsenal, Juventus, dan Paris-Saint-Germain. Seperti yang disebutkan oleh The Esports Observer, keempat klub sepak bola tersebut juga cukup aktif di scene esports. Arsenal memiliki tim esports sendiri yang berlaga di PES eFootball Pro League sementara Juventus bekerja sama dengan organisasi esports Astralis.

twitch olahraga
Arsenal punya tim esports sendiri. | Sumber: Arsenal

Sebagai bagian dari kerja sama dengan Twitch, empat klub sepak bola tersebut akan membuat konten eksklusif yang disiarkan di Twitch. Saat ini, baik Real Madrid dan Arsenal telah memiliki channnel Twitch untuk menyiarkan konten mereka. Real Madrid telah memiliki channel tersebut sejak beberapa bulan lalu, sementara Arsenal sejak pertengahan Juli kemarin. Diperkirakan, Juventus dan Paris Saint-Germain akan membuat channel mereka di Twitch dalam waktu dekat.

Keputusan Twitch untuk membuat kategori olahraga diumumkan satu bulan setelah Amazon mengungkap bahwa mereka akan menyiarkan Liga Premier di Twitch untuk pertama kalinya. Tahun lalu, Twitch juga bekerja sama dengan NBA untuk menyiarkan pertandingan basket dari USA Basketball, organisasi nirlaba untuk bola basket di Amerika, lapor The Verge.

Tak hanya organisasi olahraga, Twitch juga membuka pintu bagi atlet olahraga tradisional yang ingin melakukan streaming di platform mereka. Sekarang, telah ada beberapa atlet yang memiliki channel di Twitch, termasuk pemain Los Angeles Chargers Austin Ekeler, pembalap F1 Landor Norris, dan bintang WWE Claudio Castagnoli dan Xavier Woods. Biasanya, Norris mengunggah konten berupa persiapan atau perencanaan sebelum balapan. Dia juga membuat konten saat dia bermain PUBG dan Call of Duty: Warzone.

Liga Sepak Bola Finlandia Bakal Adakan Turnamen Esports

Veikkausliiga, liga sepak bola Finlandia, mengumumkan bahwa mereka akan menyelenggarakan liga esports resmi, yang dinamai eFutisliiga. Kompetisi esports tersebut diadakan sebagai pelengkap dari liga sepak bola utama di Finlandia.

“Salah satu hal yang kami pelajari selama pandemi virus corona adalah masa depan dari liga olahraga ternama seperti kami sekalipun tidak terjamin sepenuhnya,” kata Ville-Mikko Korkka, Commercial Development Director, Veikkausliiga, seperti dikutip dari Esports Insider. “Kami juga belajar bahwa selalu ada ruang untuk tumbuh dan berinovasi. Sejak lama, kami hanya mengikuti perkembangan esports sebagai pemerhati, tapi tidak lagi. Kami sangat senang dengan keputusan kami untuk memasuki esports sebagai ranah baru.”

Memang, sepanjang pandemi virus corona, banyak liga sepak bola yang dibatalkan. Namun, muncul berbagai kompetisi esports sebagai pengganti. Klub-klub sepak bola seperti LAFC dan Manchester City pun ikut serta dalam mengadakan turnamen esports selama pandemi.

liga finlandia esports
Semua klub yang berlaga di Vekkausliiga akan mengirimkan perwakilan untuk ikut dalam kompetisi esports. | Sumber: Soccer TImes

Veikkausliiga bukanlah satu-satunya liga sepak bola yang memutuskan untuk mengadakan kompetisi esports untuk melengkapi liga sepak bola sebenarnya. Minggu lalu, liga sepak bola Malaysia juga melakukan hal yang sama. Mereka sadar, generasi muda kini tidak hanya tertarik dengan olahraga tradisional, tapi juga dengan esports. Sementara itu, liga sepak bola Italia mengadakan turnamen esports FIFA 20 pada Februari 2020.

Sama seperti dengan liga esports yang diadakan di Malaysia, klub-klub sepak bola yang berlaga di Veikkausliiga akan mengirimkan perwakilan untuk bertanding di kompetisi esports yang diadakan oleh liga sepak bola Finlandia. Pertandingan dari eFutisliiga akan diadakan secara rutin setiap minggu dan disiarkan di MTV. Liga tersebut akan dimulai pada musim gugur pada tahun ini. Sayangnya, belum ada informasi tentang tanggal pasti penyelenggaraan liga esports tersebut atau format yang akan digunakan.

Liga eFutisliiga akan diadakan oleh Telia Esports Series, platform turnamen esports Finlandia. Telia dimiliki dan dioperasikan oleh perusahaan telekomunikasi Finlandia, Telia. Kali ini bukanlah pertama kalinya Telia masuk ke ranah esports. Sebelum ini, Telia menjalin kerja sama dengan DreamHack untuk mengadakan Northern League of Legends Championship. Tak hanya itu, perusahaan telekomunikasi tersebut juga mendapatkan hak siar atas ESL Pro Tour di Finlandia.