Google Assistant Kini Dapat Membacakan Artikel Secara Lisan

Sebagian besar pengguna smartphone pasti menghabiskan cukup banyak waktunya setiap hari untuk membaca. Entah itu artikel panjang atau pendek, ada kalanya mungkin kita terlalu malas untuk membaca. Dalam skenario seperti ini, kita rupanya bisa meminta bantuan Google Assistant.

Ya, Assistant sekarang bisa membacakan artikel di internet secara lisan. Asalkan artikelnya dibuka di aplikasi Google, Google News, atau Chrome, Assistant siap membacakannya untuk Anda. Fitur ini tersedia untuk perangkat yang menjalankan sistem operasi Android minimal versi 5 (Lollipop).

Google bilang Assistant sanggup membacakan artikel dalam 42 bahasa yang berbeda, termasuk bahasa Indonesia. Seandainya yang dibuka adalah artikel dalam bahasa asing, Assistant juga dapat menerjemahkannya lebih dulu sebelum akhirnya membacakannya dalam bahasa yang pengguna tentukan.

Juga menarik adalah bagaimana artikel akan di-scroll dengan sendirinya, mengikuti bagian yang sedang dibacakan oleh Assistant. Pengguna bebas memilih kecepatan membaca yang diinginkan, dan Google memastikan cara Assistant membacakannya akan terdengar natural, sesuai dengan intonasi dan ritme membaca manusia pada umumnya.

Bagi yang rutin mendongeng untuk anak-anaknya sebelum tidur, mungkin ini saatnya meminta Assistant melakukan hal yang sama untuk Anda. Jangan malah menyuruh Assistant yang membacakan dongeng buat mereka ya.

Sumber: Google.

Cortana Bukan Lagi Asisten Virtual Generik yang Kurang Laku Seperti Dulu

Alexa, Cortana, Google Assistant, Siri, dari keempat asisten virtual tersebut, mungkin cuma Cortana yang minim peminat. Upaya Microsoft untuk menghadirkan Cortana di semua platform juga tidak membantu meningkatkan popularitasnya.

Belakangan ini, Microsoft sepertinya mulai sadar bahwa Cortana tidak semestinya mengejar ketertinggalannya dari trio asisten populer itu tadi. Yang seharusnya mereka kejar adalah kategori yang lebih spesifik, yakni Cortana sebagai asisten untuk urusan produktivitas; membantu pengguna mengatur agenda, mengingatkan pengguna akan email penting, dan lain sebagainya.

Nama Microsoft memang lebih banyak diasosiasikan dengan produktivitas berkat eksistensi software Office selama ini, dan Cortana juga seharusnya dikaitkan dengan hal yang sama. Pertanyaannya, bukankah asisten virtual lain sebenarnya juga sudah bisa membantu di bidang produktivitas?

Cortana bakal dihapus dari aplikasi Microsoft Launcher / Google Play
Cortana bakal dihapus dari aplikasi Microsoft Launcher / Google Play

Betul, akan tetapi salah satu keunggulan Cortana adalah integrasinya dengan ekosistem Microsoft, dan ini cukup krusial bagi para pelanggan layanan Office 365 atau Microsoft 365. Mereka yang bekerja di perusahaan yang memanfaatkan layanan-layanan ini mau tidak mau harus bergantung pada Cortana, dan peralihan fokus Cortana ke aspek produktivitas tentunya bakal sangat membantu mereka lebih lagi.

Singkat cerita, jangan anggap Cortana sebagai asisten virtual generik lagi seperti sebelumnya. Cortana sudah berevolusi menjadi komponen penting dalam layanan produktivitas Microsoft, dan Microsoft pun harus merelakan kepergian Cortana dari sejumlah platform.

Mulai akhir April nanti, pengguna Microsoft Launcher untuk Android tidak bisa lagi mengakses Cortana. Aplikasi Cortana untuk Android dan iOS sendiri juga sudah diberhentikan di beberapa negara sejak tanggal 31 Januari kemarin. Di luar Windows 10, Cortana cuma bisa diakses melalui aplikasi Outlook di Android atau iOS, atau lewat smart speaker macam Harman Kardon Invoke.

Sumber: Windows Central dan Microsoft.

Alexa Bakal Semakin Terintegrasi ke Mobil, Dimulai dari Lamborghini Huracan

Alexa sedang bersiap untuk menginvasi ranah otomotif. Per tahun 2020 ini, asisten virtual besutan Amazon itu bakal terintegrasi lebih dalam lagi ke sistem infotainment mobil. Klien pertamanya? Lamborghini.

Di CES 2020, Lamborghini mengumumkan bahwa salah satu supercar-nya, Huracan Evo, bakal mengemas integrasi Alexa yang jauh lebih komprehensif daripada yang sudah ada sekarang. Menggunakan perintah suara, pengemudi dapat menginstruksikan Alexa untuk mengontrol beragam fitur dalam mobil; mulai dari mengatur suhu kabin, mengganti channel radio, membuka bagasi, bahkan sampai mengganti mode kemudinya.

Lamborghini Huracan Evo

Memanggil Alexa di dalam dashboard Huracan tidak berbeda dari cara memanggilnya di smart speaker, atau bisa juga dengan mengklik tombol di layar infotainment-nya. Semua ini dimaksudkan supaya pengemudi bisa tetap berfokus ke jalanan selagi kedua tangannya menggenggam lingkar kemudi.

Selain Huracan Evo, ke depannya Lamborghini bakal menghadirkan integrasi Alexa yang sama pada Aventador generasi terbaru yang ditenagai mesin hybrid. Kepada CNET, Maurizio Reggiani selaku CTO Lamborghini mengatakan bahwa Alexa dapat diinstruksikan untuk mengendalikan motor elektriknya.

Rivian R1T

Di samping Lamborghini, level integrasi Alexa yang sama juga bakal hadir pada pickup elektrik Rivian R1T (plus saudara SUV-nya, R1S). Menariknya, Rivian bilang bahwa sejumlah fitur Alexa bakal tetap tersedia meski koneksi internet milik mobil sedang offline.

Kolaborasi antara Rivian dan Amazon ini sebenarnya tidak terlalu mengejutkan mengingat Amazon merupakan salah satu investor terbesarnya. Belum lama ini, Amazon bahkan telah memesan 100.000 van elektrik dari Rivian untuk dijadikan mobil pengirim barang, dan tentu saja integrasi Alexa yang sama juga bakal hadir di situ.

Sumber: CNET 1, 2, 3.

Google Assistant Kini Siap Ditugaskan Menjadi Penerjemah

Sesuai namanya, Google Assistant diciptakan untuk membantu keseharian kita. Menjelang musim liburan seperti sekarang pun, Assistant sudah siap membantu dalam hal mengecek tiket pesawat, mencari tempat-tempat menarik untuk dikunjungi setibanya di lokasi, dan yang paling baru, membantu memuluskan percakapan dengan orang asing.

Ya, Assistant kini sudah siap ditugaskan menjadi penerjemah. Cukup ucapkan instruksi seperti “Hey Google, be my German translator” atau “Hey Google, help me speak Spanish“, maka pengguna bisa langsung melihat dan mendengar hasil terjemahan percakapan di ponselnya secara real-time.

Sebagai bonus, Assistant juga menganjurkan sejumlah balasan setiap kali selesai menerjemahkan (Smart Replies), dan seandainya kita kesulitan mengucapkannya, biarkan Assistant saja yang melakukannya. Apabila percakapan lisan tidak dimungkinkan (karena lokasi terlalu ramai atau malah menuntut keheningan), ketik saja percakapannya.

Fitur terjemahan ini sebelumnya sudah hadir lebih dulu di lini perangkat Google Home. Selain membawanya ke smartphone, Google juga sudah menambahkan ragam bahasa yang didukung. Total ada 44 bahasa yang Assistant pahami sekarang, naik separuh dari jumlah sebelumnya (26 bahasa).

Selain di perangkat Android, fitur terjemahan Assistant ini juga dapat dinikmati oleh para pengguna perangkat iOS dengan mengunduh versi terbaru aplikasinya. Bagi yang hendak melancong ke negara lain, tidak ada salahnya bergantung pada fitur ini, terutama apabila tidak ada tour guide yang mendampingi.

Sumber: Google.

Sonos Akuisisi Startup AI untuk Kembangkan Voice Assistant yang Dapat Beroperasi Secara Offline

Dimulai dari Sonos One, integrasi Alexa dan Google Assistant kini sudah meluas hingga merambah ke soundbar Sonos Beam sekaligus speaker portable Sonos Move. Namun Sonos rupanya belum puas hanya menebeng ke dua platform voice assistant terpopuler itu.

Baru-baru ini, mereka mengakuisisi startup asal Perancis bernama Snips dengan mahar $37,5 juta. Sejak didirikan di tahun 2013, Snips telah sibuk mengembangkan platform voice assistant-nya sendiri. Kendati demikian, akuisisi ini bukan berarti Sonos punya rencana untuk menciptakan kompetitor Alexa dan Google Assistant, lalu mendepak keduanya di masa yang akan datang.

Yang Sonos incar justru lebih spesifik lagi, yakni voice assistant yang dapat membantu mengoperasikan fungsi-fungsi dasar perangkat, tanpa harus bergantung dengan koneksi internet setiap saat. Alexa dan Google Assistant masih akan terus eksis di perangkat-perangkat bikinan Sonos, dan voice assistant baru ini dimaksudkan untuk menjadi pelengkap.

Satu hal yang menjadi daya tarik platform bikinan Snips adalah kemampuannya mengolah data secara lokal, alias langsung di dalam perangkat. Sonos melihatnya sebagai peluang untuk memenuhi tuntutan konsumen yang sangat peduli terhadap privasinya, yang selalu merasa khawatir setiap kali perangkat harus meneruskan data ke cloud hanya untuk memahami perintah suara dari pengguna.

Bisa kita bayangkan bahwa ke depannya, speakerspeaker Sonos bakal dilengkapi tiga voice assistant yang berbeda: Alexa dan Google Assistant buat yang perlu mengakses sejumlah informasi dari internet beserta ekosistem perangkat smart home di rumahnya, lalu voice assistant bawaan perangkat untuk membantu pengoperasian secara hands-free dan offline.

Privasi merupakan topik penting yang selalu dibicarakan semenjak kasus Edward Snowden di tahun 2013, dan rupanya perusahaan seperti Sonos tidak segan berinvestasi lebih demi mengedepankan fitur-fitur seputar privasi.

Sumber: TechCrunch dan Variety.

Hardware Perdana Spotify, Sebuah Aksesori Mobil Berbekal Smart Assistant, Resmi Diuji Coba

Apa kabar hardware perdana dari Spotify? Setelah cukup lama dirumorkan, Spotify akhirnya buka-bukaan soal itu. Mereka baru saja mengumumkan rencananya untuk menguji coba hardware pertamanya, yakni sejenis aksesori mobil berbekal integrasi smart assistant yang mereka juluki Car Thing.

Perangkat ini menancap ke mobil via colokan 12 volt, sama seperti charger, sedangkan sambungan Bluetooth menjadi perantaranya dengan head unit mobil sekaligus smartphone pengguna. Dari situ pengguna dapat mengoperasikannya via perintah suara, diawali dengan mantra “Hey, Spotify”.

Selain itu, perangkat juga dilengkapi empat buah tombol yang berfungsi untuk memberikan akses cepat ke playlist masing-masing pengguna. Terakhir, di sisi kirinya ada layar membulat sebagai indikator visual. Tentu saja perangkat ini hanya bisa digunakan oleh para pelanggan Spotify Premium.

Yang mungkin tidak sesuai harapan adalah tujuan dari program uji coba hardware ini. Spotify bilang bahwa perangkat ini mereka ciptakan untuk mempelajari kebiasaan para penggunanya dalam mendengarkan musik dan podcast. Fokus mereka adalah menjadi platform audio nomor satu, bukan menggarap hardware.

Spotify juga mengingatkan bahwa mereka belum berencana mengomersialkan produk ini. Intinya, perangkat ini bisa diproduksi secara massal, bisa juga tidak, semua tergantung pada hasil pengujian dan pertimbangan-pertimbangan Spotify nantinya. Namun kalau buat saya pribadi, menyeriusi bidang hardware sebenarnya juga bisa menjadi salah satu cara Spotify mengejar titel platform audio terbesar.

Lebih lanjut, Car Thing juga bukan satu-satunya hardware yang digarap Spotify. Mereka sendiri bilang ada kemungkinan mereka menciptakan perangkat serupa, tapi untuk konteks rumahan. Jadi jangan heran apabila ke depannya mereka mengumumkan program uji coba yang sama untuk perangkat bernama Voice Thing atau Home Thing.

Untuk sekarang, fokus mereka baru buat Car Thing. Program uji cobanya sendiri bakal dilaksanakan dalam beberapa minggu ke depan di Amerika Serikat bersama sekelompok kecil pengguna Spotify Premium yang terpilih.

Sumber: The Verge dan Spotify.

Google Sempurnakan Assistant di KaiOS Serta Hadirkan Integrasinya di Android Messages

Tiga tahun lalu, Google Assistant belum eksis, dan kita baru mengenal cikal bakalnya yang kala itu masih bernama Google Now. Sekarang, Assistant sudah merambah banyak perangkat sekaligus, termasuk halnya feature phone berkat sistem operasi yang bernama KaiOS.

Google sendiri merupakan salah satu investor besar KaiOS, dan itu berarti mereka bisa mengembangkan fungsi-fungsi Assistant pada feature phone secara leluasa. Yang terbaru, mereka menghadirkan fitur Voice Typing di KaiOS sehingga Assistant dapat menerjemahkan percakapan lisan pengguna menjadi teks.

Juga menarik adalah fitur di mana pengguna dapat mengakses menu-menu ponsel dalam bahasa Inggris, akan tetapi di saat yang sama berkomunikasi dengan Assistant menggunakan bahasa ibunya masing-masing. Jadi semisal kita lebih nyaman menginstruksikan Assistant menggunakan bahasa Indonesia, kita tidak harus dibuat bingung oleh menu-menu ponsel yang terkadang terjemahan Indonesianya terdengar aneh.

Setelah Google Maps, Assistant bakal terintegrasi ke aplikasi Messages bawaan Android / Google
Setelah Google Maps, Assistant bakal terintegrasi ke aplikasi Messages bawaan Android / Google

Dalam beberapa bulan ke depan, Assistant pada KaiOS (dan Android 9 Pie Go Edition) juga akan kebagian jatah fitur Actions. Supaya lebih maksimal, Google juga telah bekerja sama dengan developer dan brand lokal untuk menciptakan deretan Actions yang lebih relevan dengan masing-masing pengguna di beragam kawasan.

Semua ini merupakan bagian dari upaya Google untuk terus mengakselerasi progress ekspansi Assistant. Di luar KaiOS, Google juga secara perlahan mengintegrasikan Assistant ke aplikasi-aplikasi bikinannya, diawali dengan Google Maps dan kini berlanjut ke aplikasi Messages bawaan Android.

Sumber: Google.

Mengapa Smart Speaker di Indonesia Belum Sepopuler di Amerika Serikat?

“Alexa, I’m leaving.” Seketika itu pula lampu apartemen dipadamkan, tirai jendela diturunkan, dan penghangat ruangan dimatikan. Pulang kerja dan setibanya di rumah, Alexa kembali dipanggil; “Alexa, cooking time,” dan dalam sekejap lampu dapur langsung menyala, disusul oleh alunan musik upbeat yang di-stream via Spotify.

Kira-kira seperti itulah gambaran keseharian manusia modern. Namun kalau Anda jeli, Anda bisa melihat saya menyebut “penghangat ruangan” ketimbang “AC”. Alasannya, skenario ini jauh lebih mudah dicapai apabila kita tinggal di Amerika Serikat daripada di Indonesia.

Apakah negara kita sebegitu tertinggalnya perihal teknologi sampai-sampai tren smart home yang berpusat pada smart speaker dan integrasi voice assistant sulit diwujudkan? Jelas bukan itu masalahnya, tapi lalu mengapa smart speaker di Indonesia belum sepopuler di AS?

Saya melihat setidaknya ada empat poin penting yang menghambat perkembangan tren smart speaker di tanah air, dan saya akan coba membahasnya satu per satu lewat artikel ini.

Soal bahasa

Google Assistant dalam bahasa Indonesia / Google
Google Assistant dalam bahasa Indonesia / Google

Seperti yang kita tahu, voice assistant macam Alexa, Siri maupun Google Assistant diciptakan untuk berinteraksi secara lisan. Dukungan bahasa Indonesia mungkin sudah tersedia – terutama pada Google Assistant – tapi pada prakteknya komunikasi dengan voice assistant masih lebih mudah dijalani menggunakan bahasa Inggris.

Kalau tidak percaya, silakan cari video review Amazon Echo atau Google Home berbahasa Indonesia di YouTube. Videonya memang dalam bahasa Indonesia, akan tetapi bisa saya pastikan hampir semuanya berinteraksi dengan voice assistant menggunakan bahasa Inggris. Untuk yang sepenuhnya menggunakan bahasa Indonesia, kebanyakan adalah mereka yang iseng mencoba keahlian Google Assistant dalam melawak.

Masalah bahasa ini menurut saya hanyalah masalah waktu. Ketika pertama diluncurkan beberapa tahun lalu, Google Assistant juga tidak langsung bisa berbahasa Indonesia, namun sekarang ia sudah fasih dan pandai membuat lelucon dalam bahasa ibu kita. Seiring waktu, dukungan bahasa voice assistant akan semakin lengkap dan sempurna, dan semoga saja di titik itu kita sebagai konsumen juga jadi makin terbiasa berinteraksi menggunakan bahasa Indonesia.

Bagi yang sudah lancar berbahasa Inggris, saya kira Anda tak akan menemukan kesulitan dalam menggunakan smart speaker. Namun mayoritas tidak demikian, sehingga wajar apabila faktor bahasa ini menjadi penghambat perkembangan tren smart speaker di tanah air – setidaknya untuk saat ini.

Soal perbedaan budaya

Google Home Hub / Google
Google Home Hub / Google

Permasalahan bahasa dalam banyak kesempatan akan selalu dikaitkan dengan masalah perbedaan budaya. Yang membedakan di sini adalah, orang Indonesia cenderung tidak verbal ketika bersentuhan dengan teknologi.

Saya pribadi merasakannya. Saya fasih berbahasa Inggris, akan tetapi Siri di iPhone tidak pernah aktif. Pernah saya mencoba mengaktifkannya dengan maksud supaya lebih mudah memasang alarm (tinggal menginstruksikan Siri secara lisan), tapi ternyata saya jauh lebih terbiasa membuka aplikasi alarm secara manual, atau malah meminta tolong istri saya menyetel alarm di ponsel saya seumpama saya sedang disibukkan dengan hal lain dan tiba-tiba teringat harus bangun lebih awal di keesokan harinya.

Oke lah ini semua hanya masalah kebiasaan, tapi kita semua tahu tidak mudah mengubah suatu kebiasaan, apalagi yang sudah terbentuk sejak kecil. Bagi saya pribadi, kebiasaan ini bisa diubah apabila poin selanjutnya juga sudah bisa teratasi.

Soal ekosistem smart home yang belum besar

Ilustrasi aplikasi untuk mengontrol perangkat smart home. Mengontrol beberapa sekaligus dengan satu frasa jelas lebih mudah lagi / Pixabay
Ilustrasi aplikasi untuk mengontrol perangkat smart home. Mengontrol beberapa sekaligus dengan satu frasa jelas lebih mudah lagi / Pixabay

Pada skenario yang saya singgung di awal, perangkat smart home tentu memegang peranan penting dalam mewujudkannya. Lampu, tirai jendela, dan penghangat ruangan di situ semuanya dapat berkomunikasi via jaringan Wi-Fi, dan voice assistant memegang peran sebagai perantara.

Di Amerika Serikat, ekosistem smart home sudah tergolong sangat maju. Contoh yang paling gampang adalah pintu garasi. Di sana, cukup umum menjumpai rumah-rumah dengan pintu garasi yang dapat membuka sendiri ketika pemiliknya terdeteksi sudah dekat. Di Indonesia, saya yakin populasi penjualnya cukup langka, sebab memang pasarnya kurang cocok.

Ketika ekosistem smart home sudah meluas dan konsumen dapat dengan mudah melengkapi kediamannya dengan perabot-perabot pintar, di titik itulah smart speaker beserta voice assistant di dalamnya bisa berperan secara maksimal. Satu frasa singkat seperti di awal tadi sudah cukup untuk mengoperasikan beberapa perangkat sekaligus.

Google Assistant pada Google Home adalah salah satu yang paling bisa berinteraksi secara alami / Google
Google Assistant pada Google Home adalah salah satu yang paling bisa berinteraksi secara alami / Google

Pabrikan biasa menyebut fitur ini dengan istilah “routines“, dan menurut saya pribadi, routines adalah kunci dari sinergi antara smart speaker dan perangkat smart home. Tanpa routines, sebagian besar perangkat smart home akan terasa gimmicky. Namun dengan routines, kita bisa langsung merasakan bedanya beserta kepraktisan yang ditawarkannya.

Tahun lalu, saya mulai melihat banyak iklan-iklan properti yang mencantumkan “gratis perangkat smart home” sebagai salah satu nilai jual utamanya. Ini bisa menjadi pertanda bahwa ekosistem smart home di negara kita tidak stagnan, meski mungkin progress-nya masih tergolong lambat jika dibandingkan dengan di negara lain.

Kesimpulannya, masih ada harapan terkait perluasan ekosistem smart home di tanah air. Lalu ketika itu sudah terwujud, barulah kita bisa melihat peran esensial smart speaker, dan pada akhirnya kebiasaan kita yang kurang verbal perlahan juga bisa diubah saat sudah merasakan faedahnya.

Soal ketersediaan smart speaker yang terbatas

Apple HomePod / Apple
Apple HomePod / Apple

Poin yang terakhir ini adalah yang paling bisa dimaklumi, sebab perangkat elektronik dari kategori lain pun masih banyak yang serba terbatas ketersediaannya di tanah air. Sebagai produk baru dari kategori yang baru pula, wajar apabila pemasaran smart speaker di Indonesia belum gencar.

Sejauh ini yang saya tahu baru JBL yang sudah memasarkan lini speaker Link-nya di Indonesia. Google Home belum tersedia via jalur resmi, demikian pula Amazon Echo. Bahkan HomePod yang semestinya mudah diboyong ke tanah air – karena iBox yang berada di bawah Erajaya Group memegang hak distribusi eksklusif atas produk Apple – juga belum kunjung tersedia.

Tebakan saya, selain karena kategorinya masih baru, alasan lainnya menyambung poin sebelumnya mengenai ekosistem smart home. Karena ekosistemnya belum luas, peran smart speaker belum bisa maksimal, sehingga pada akhirnya pabrikan maupun distributor masih enggan membawa produk smart speaker-nya ke pasar Indonesia.

Kalau kita lihat, keempat masalah ini sebenarnya dapat teratasi dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Itulah mengapa saya mencantumkan kata “belum” pada judul ketimbang “tidak”, sebab memang saatnya masih belum tiba buat smart speaker untuk bersinar di pasar Indonesia.

Saya sama sekali tidak bermaksud mencegah Anda yang tertarik membeli, atau malah menjatuhkan yang sudah terlanjur membeli smart speaker. Beli sekarang atau nanti, smart speaker tetap sangatlah bermanfaat, hanya saja manfaatnya nanti (ketika tantangan-tantangan di atas sudah terlewati) akan lebih terasa lagi daripada sekarang.

Alexa Bakal Dilengkapi Skill untuk Membantu Konsumen Merawat Bayinya

Peran voice assistant untuk membantu mengoperasikan perangkat smart home sudah merupakan hal yang biasa. Yang tidak umum adalah voice assistant untuk membantu para orang tua baru dalam memaksimalkan gadget seputar perawatan bayi yang dibelinya.

Di tangan Amazon, skenario ini berpotensi menjadi mainstream. Mereka baru saja mengumumkan Baby Activity Skill API untuk Alexa, yang memungkinkan sang asisten untuk membantu konsumen dalam memonitor aktivitas bayinya.

Contoh yang paling gampang, konsumen dapat mencatat kapan terakhir kalinya ia mengganti popok sang anak, lalu Alexa dapat mengutarakan informasi tersebut ketika ditanya oleh konsumen. Selain sesi penggantian popok, yang dapat dimonitor Alexa sejauh ini mencakup sesi menyusui (botol maupun ASI), pola tidur dan berat badan.

Sepintas kegunaannya terkesan sepele, namun sebagai seseorang yang merawat anaknya sendiri sambil bekerja, saya paham betul bagaimana informasi-informasi seperti ini bisa berguna di masa-masa yang hectic. Ketimbang harus membuka aplikasi yang digunakan untuk mencatat sesi penggantian popok dan sesi menyusui, menanyakan secara lisan ke Alexa jelas lebih mudah dilakukan.

Di samping Baby Activity Skill API, keseriusan Amazon dalam memaksimalkan peran Alexa di dunia perawatan bayi juga ditunjukkan lewat dana investasi yang dikucurkannya kepada Hatch Baby, startup di balik produk inovatif macam lampu tidur pintar dan alas ganti popok pintar.

Hatch Baby bakal menjadi salah satu dari tiga mitra developer Amazon pertama yang akan meracik skill Alexa menggunakan API baru ini. Harapannya tentu ini dapat menjadi inspirasi bagi developer maupun produsen gadget perawatan bayi lainnya.

Sumber: The Verge.

Selain Alexa, Microsoft Berharap Cortana Juga Dapat Diakses Melalui Google Assistant

Kita tidak perlu merujuk data komprehensif dari analis untuk menilai bahwa Cortana kalah pamor jauh dari Alexa maupun Google Assistant. Microsoft pun menyadari akan hal ini. Jadi ketimbang terus memaksakan agar Cortana bisa bersaing ketat dengan asisten virtual lainnya, Microsoft memilih menetapkan arahan lain buat Cortana.

Berdasarkan pernyataan CEO Microsoft, Satya Nadella, yang dikutip oleh The Verge, Microsoft tak lagi melihat Cortana sebagai kompetitor Alexa maupun Google Assistant. Sebaliknya, Cortana harus menjadi fitur yang bisa diakses dari banyak tempat, termasuk dari Alexa dan Google Assistant.

Skenario yang didambakan Microsoft pada dasarnya mirip seperti bagaimana aplikasi-aplikasi bikinannya sekarang dapat dengan mudah digunakan oleh pemilik perangkat Android maupun iOS. Sejauh ini, Cortana memang sudah bisa diakses melalui Alexa, akan tetapi tidak demikian untuk Google Assistant, dan Microsoft sepertinya perlu berusaha lebih keras lagi untuk meyakinkan Google.

Hal ini bukanlah tidak mungkin, sebab jauh sebelum ini, Cortana sudah bisa dihubungkan dengan Gmail. Lebih lanjut, rencana Microsoft untuk memisahkan Cortana dengan fitur search bawaan Windows 10 yang diumumkan baru-baru ini bisa diartikan mereka dapat berusaha lebih maksimal dalam memperluas cakupan Cortana di banyak platform sekaligus.

Di sisi lain, arahan baru untuk Cortana ini juga dapat dilihat sebagai akhir dari tren smart speaker berintegrasi Cortana. Populasinya selama ini memang tidak banyak, namun itu juga bukan berarti Cortana bakal tidak mempunyai rumahnya sendiri sama sekali, sebab perangkat seperti Surface Headphones masih eksis.

Sumber: The Verge.