Ula Adds Up Additional Series B Funding of 328 Billion Rupiah

Ula announced an additional $23.1 million (over 328 billion Rupiah) of its Series B round around one month ago. This follow-on funding was led by Tiger Global and Flipkart’s Co-founder, Binny Bansal, bringing a total $110 million for this series B.

Previously, they had announced a series B funding of $87 billion led by Prosus Ventures, Tencent, and B Capital. Also participated in this round, Bezos Expeditions, VC created by Amazon founder Jeff Bezos; along with other leading investors, Northstar Group, AC Ventures, and Citius.

This additional fund has brought a total $140 million (more than 1.99 trillion Rupiah) in accumulation since the company’s establishment.

In the company’s official statement, this fresh fund is said to be the company’s ammo to develop buy now, pay later features and utilize AI to better serve MSME consumers. In addition, the company will continue to expand to new locations and recruit more special talents.

“This follow on funding in the Series B round signifies the interest of investors and their confidence in Ula’s vision and mission. We are grateful and excited for the opportunity to build a platform that doesn’t only empower traditional retailers, but also reorganize the traditional retail industry. As we move forward, we will continue to take a customer-first approach to addressing fundamental issues with technology,” said Ula Co-founder & CEO Nipun Mehra, Tuesday (16/11).

Previously conveyed by Ula’s Co-founder & CCO, Derry Sakti, this BNPL solution was initiated since Ula already has 70 thousand stalls that transact through its platform, the database is a provision for credit scoring before disbursing loans.

It is said that the company has grown 230 times, offering more than 6 thousand products. The majority of Ula users come from tier two to four cities that still lack access to resources and logistics infrastructure.

In a general note, traditional retailers have limitations in accessing banking products, even though they are very dependent on daily income, it makes the paylater for supplier service has tremendous benefits for stalls.

“Using Ula, they no longer have to worry about purchasing goods, product availability, or even payment, which will give them more time to focus on other more important things. Seeing firsthand the impact that Ula has had on customers’ lives certainly moves our team to move forward,” he said.

The Ula app allows shop owners to order a wide variety of products and have them delivered directly to their stores. With a simple concept, Ula tries to focus on customer needs rather than adding unnecessary features, to ensure the best experience. This app is claimed to be lighter, suitable for low connection environments and the most basic devices, and ensures it doesn’t take up too much space on their phones.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Ula Umumkan Tambahan Pendanaan Seri B 328 Miliar Rupiah

Ula mengumumkan perolehan tambahan dana sebesar $23,1 juta (lebih dari 328 miliar Rupiah) untuk putaran seri B yang baru diumumkan satu bulan yang lalu. Investasi lanjutan ini dipimpin oleh Tiger Global dan Co-founder Flipkart Binny Bansal, membawa total perolehan untuk seri B ini senilai $110 juta.

Sebelumnya, mereka telah mengumumkan pendanaan seri B sebesar $87 miliar yang dipimpin oleh Prosus Ventures, Tencent, dan B Capital. Putaran ini turut diikuti oleh partisipasi Bezos Expeditions, VC besutan pendiri Amazon Jeff Bezos; beserta investor terkemuka lainnya, yakni Northstar Group, AC Ventures, dan Citius.

Tambahan dana ini, bila diakumulasi sejak perusahaan berdiri, telah memperoleh pendanaan sebanyak $140 juta (lebih dari 1,99 triliun Rupiah).

Dalam pernyataan resmi perusahaan, disebutkan dana segar ini akan menjadi amunisi perusahaan untuk mengembangkan fitur buy now, pay later dan mengutilisasi AI untuk melayani konsumen UMKM lebih baik. Selain itu, perusahaan akan melanjutkan ekspansi ke lokasi baru dan merekrut lebih banyak talenta berbakat.

“Tambahan pendanaan dalam putaran seri B ini menandakan ketertarikan investor dan kepercayaan mereka pada visi dan misi Ula. Kami bersyukur dan bersemangat atas kesempatan untuk membangun platform yang tidak hanya memberdayakan peritel tradisional, tetapi juga menata ulang industri ritel tradisional. Saat kami bergerak maju, kami akan terus mengambil pendekatan yang mengutamakan pelanggan untuk mengatasi masalah mendasar dengan teknologi,” kata Co-founder & CEO Ula Nipun Mehra, Selasa (16/11).

Sebelumnya disampaikan oleh Co-founder & CCO Ula Derry Sakti, solusi BNPL ini dihadirkan karena Ula telah memiliki 70 ribu warung yang bertransaksi melalui platform-nya, basis data tersebut menjadi bekal untuk melakukan skoring kredit sebelum menyalurkan pinjaman.

Diklaim perusahaan telah tumbuh 230 kali lipat, menawarkan lebih dari 6 ribu produk. Mayoritas pengguna Ula berasal dari kota lapis dua hingga empat yang masih kekurangan akses terhadap sumber daya dan infrastruktur logistik.

Seperti diketahui, ritel tradisional memiliki keterbatasan dalam mengakses produk perbankan, padahal mereka sangat bergantung pada pemasukan harian, hal ini membuat pilihan pembayaran paylater kepada supplier memiliki manfaat yang luar biasa bagi warung.

“Dengan Ula, mereka tidak perlu lagi khawatir tentang pembelian barang, ketersediaan produk, atau bahkan pembayaran, yang tentunya akan memberikan mereka waktu lebih banyak untuk fokus kepada hal lain yang lebih penting. Melihat secara langsung dampak yang telah Ula berikan pada kehidupan pelanggan tentunya menggerakkan tim kami untuk terus maju,” tuturnya.

Aplikasi Ula memungkinkan pemilik warung untuk memesan berbagai macam produk dan mengirimkannya langsung ke toko mereka. Dengan konsep yang sederhana, Ula mencoba fokus pada kebutuhan pelanggan daripada menambahkan fitur yang tidak perlu, untuk memastikan pengalaman terbaik. Aplikasi ini diklaim lebih ringan, cocok untuk lingkungan koneksi rendah dan perangkat paling dasar, serta memastikan tidak memakan terlalu banyak ruang di ponsel mereka.

Application Information Will Show Up Here

Bukalapak Meluncurkan Aplikasi Pencatatan Keuangan “BukuMitra”

PT Bukalapak Tbk (IDX: BUKA) resmi meluncurkan aplikasi BukuMitra yang ditujukan bagi pelaku UMKM. Sebelumnya, BukuMitra masih tergabung dalam aplikasi Mitra Bukalapak.

Melalui keterangan resminya, aplikasi BukuMitra menawarkan sejumlah fitur pengelolaan keuangan, seperti pembukuan dan pencatatan utang secara digital. Pemilik usaha mulai dari warung, kios pulsa, kedai makanan, jasa laundry, hingga social commerce dapat memanfaatkan fitur-fitur tersebut.

Ada pula fitur media yang memudahkan pengguna untuk membuat poster, katalog, kartu nama, dan spanduk untuk mempromosikan bisnis usaha ke teman atau kolega mereka.

President Bukalapak Teddy Oetomo mengatakan, aplikasi Mitra Bukalapak telah membantu 8,7 juta pelaku UMKM di seluruh Indonesia untuk mengembangkan skala bisnisnya. Misalnya, dari warung atau toko yang awalnya hanya menjual kebutuhan sehari-hari menjadi tempat pembelian voucher game, pembayaran tagihan, hingga menjadi agen pengiriman barang.

Namun, sering kali bisnis yang sedang bertumbuh ini masih dikelola dengan metode pembukuan tradisional dengan buku tulis atau kertas. Sementara, metode ini terbilang berisiko karena bisa tak sengaja terbuang, hilang, atau ketumpahan sesuatu.

“Hal ini yang mendasari lahirnya fitur SaaS di Mitra Bukalapak. Fitur ini telah digunakan lebih dari 300 ribu pengguna untuk melalukan pembukuan dan pencatatan utang. Dengan kesuksesan ini, Mitra Bukalapak meluncurkan aplikasi BukuMitra sehingga semakin banyak pelaku usaha berskala kecil yang mengelola bisnis secara efektif dan efisien,” tuturnya.

Disampaikan Teddy, seluruh catatan pembukuan pengguna BukuMitra akan tersimpan di cloud sehingga mengurangi risiko kehilangan data apabila perangkat pengguna rusak.

Fitur yang ditawarkan aplikasi BukuMitra
Fitur yang ditawarkan aplikasi BukuMitra

Pada kesempatan sama, Komisaris Bukalapak Bambang Brodjonegoro menambahkan bahwa kehadiran aplikasi pencatatan keuangan seperti BukuMitra dapat berkontribusi dalam merealisasikan salah satu pencapaian Sustainable Development Goals (SDG) yang dicanangkan oleh PBB, yaitu pertumbuhan ekonomi serta pengurangan ketidaksetaraan.

“Terdapat 64 juta pelaku UMKM di Indonesia yang diperkirakan berkontribusi terhadap lebih dari 60% PDB negara dan mempekerjakan 97% populasi negara. Dengan aplikasi BukuMitra, ini akan memberikan peluang kepada pelaku UMKM untuk tumbuh dan sejajar dengan pelaku bisnis ritel modern. Ini tentunya akan membawa dampak positif bagi ekonomi nasional,” ujarnya.

UMKM go digital

Digitalisasi UMKM merupakan salah satu potensi yang tengah digarap secara serius oleh pelaku startup di Indonesia. Digitalisasi ini tak hanya semata ditawarkan dalam bentuk sistem pembayaran saja, tetapi layanan-layanan turunan yang relevan dengan model bisnis mereka. Seperti halnya pencatatan atau pembukuan keuangan.

Beberapa startup Indonesia yang menawarkan produk atau aplikasi sejenis di antaranya seperti Credibook, Payfazz, dan Lababook. Misalnya, Payfazz Buku, aplikasi ini menghadirkan sejumlah fitur terintegrasi bagi para agen/mitra, mulai dari laporan penjualan, laporan stok produk, pencatatan keuangan, penagihan, hingga pembayaran.

Momentum akselerasi digital ini juga tengah dimanfaatkan Pemerintah untuk mencapai target digitalisasi 30 juta UMKM di 2023. Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, jumlah UMKM yang sudah on-boarding ke ekosistem digital mencapai 15,9 juta atau 24,9% dari total 65 juta UMKM di Indonesia. Jumlah ini naik signifikan dari 8 juta UMKM yang bergabung di platform digital pada era sebelum Covid-19.

Application Information Will Show Up Here

Xendit Targets SME Players, to Release Online Store and Business App

Xendit’s focus on empowering the MSME sector, including individual traders and social sellers, can be seen through its various innovations. The company released three solutions, two of them aimed for the MSME sector, the Xendit Business Application and the Xendit Online Store.

Xendit’s Founder & CEO, Moses Lo said, this application is here to serve Indonesian business customers who operate their businesses mostly through smartphone rather than laptops. “Through this application, everyone can now easily and securely manage digital payment transactions. In order to support mobility, Xendit customers can issue invoices and accept various payment methods,” he said.

Aside from managing and accepting online payments from buyers, Xendit Bisnis app is also powered by various features. One of them is Order Management, which allows businesses to process all transactions automatically, from ordering, arranging shipments, to recapitulating all purchases.

That way, online business operations can run smoothly and efficiently in terms of time savings. Xendit’s Product Manager, Andri Setiawan said that this application can also store customer contacts, therefore, businesses can easily send invoices.

“The invoice contains billing details along with payment links that will direct consumers to various payment methods chosen by the seller and can be chosen by consumers. The funds will be received by the seller as soon as the payment has been completed,” Andri said.

He continued, the Xendit Bisnis application will continue to add features to make it easier for merchants to transform digitally. Among other things, integrating the Xendit Online Store with applications, managing inventory, checking shipping costs, and ordering logistics services. Xendit Bisnis is now available on the Play Store and App Store.

The second business solution is the Xendit Online Store to make it easier for businesses to set up their own online stores. This feature allows businesses to have a shop with a unique URL in less than five minutes and is equipped with Xendit’s choice of payment method features.

This feature is available for free and can be directly used by individual businesses and MSMEs registered with Xendit, to increase the reach of buyers and strengthen their sales channels, without relying on other e-commerce platforms. To access this, users can navigate to the Dashboard, select “Store” and select “Online Store”

Corporate solution

The third business solution is XenSol (Xendit Solution), a collaboration with Andrew Tani & Co. (ATC). This solution is geared towards large-scale business people who are trying to conduct a comprehensive digital transformation. Companies can use consulting services from ATC and Xendit will support this digital transformation by providing a better digital payment infrastructure. Later, Xendit plans to invite relevant partners and agencies as partners to run the XenSol program in a sustainable manner.

The addition of this new solution is expected to make it easier for all business people with digital access to create an equal competitive environment, so that all businesses can grow well. This target is in line with that carried out by the government to bring more than 30 million MSMEs to go digital by 2025.

Previously, in August 2021, the company launched the Xendit Inventory Sync Tool, a multi-channel technology innovation for managing stock inventory of products sold on online marketplaces, as well as Shopify and Woocommerce sites. This feature makes it easy for business people to monitor and manage the amount of stock in each channel in one neat and integrated dashboard.

In addition to creating its own features, Xendit has also invested in majoo, a SaaS startup that develops omnichannel solutions. It is certain that the two companies will take advantage of each other’s ecosystem to develop solutions for MSMEs, although the plan has not been officially announced.

Overall, Xendit has processed more than 110 million transactions per year with a total volume of more than IDR 142 trillion. Xendit wants to simplify the payment process for all sizes of businesses in Indonesia, the Philippines and Southeast Asia. Xendit enables businesses to receive payments, cash out, disburse payroll, run marketplaces, and more.

SME Digitization

Based on data from the Ministry of Cooperatives and Small and Medium Enterprises, out of 64.2 million MSME units, only 19% of them have entered the digital ecosystem. The government itself targets 30 million MSME units to enter the digital ecosystem by 2024.

Aside from Xendit, there are many companies that provide a variety of solutions to facilitate SMEs to go digital from various business aspects, fintech, supply chain, logistics, e-commerce, marketing, and others. According to data in the 2021 MSME Empowerment Report published by DSInnovate, there are several basic problems currently experienced by MSME actors in Indonesia, including:

In order to overcome these problems, 83% of MSME players claim to use services from digital startups. From this hypothesis, the founders are passionate about presenting a variety of products with different value propositions. Currently there are dozens of startups that present various types of SaaS in this segment.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Xendit Incar Pengguna UMKM, Rilis Aplikasi Bisnis dan “Online Store”

Keseriusan Xendit untuk menggarap sektor UMKM, termasuk pedagang individu dan social seller, terlihat dari berbagai inovasi yang diluncurkan. Perusahaan merilis tiga solusi, dengan dua di antaranya dikhususkan untuk sektor UMKM, yakni Aplikasi Xendit Bisnis dan Xendit Online Store.

Founder & CEO Xendit Moses Lo menuturkan, aplikasi ini hadir untuk melayani pelanggan bisnis Indonesia yang mayoritas menggunakan smartphone untuk mengoperasikan bisnisnya, ketimbang memakai laptop. “Dengan adanya aplikasi ini, sekarang semua orang bisa mengatur transaksi pembayaran digital secara lebih mudah dan lebih aman. Untuk mendukung mobilitas, pelanggan Xendit bisa mengeluarkan invoice dan menerima berbagai metode pembayaran,” ucapnya.

Tak hanya mengatur dan menerima pembayaran online dari pembeli, aplikasi Xendit Bisnis juga ditenagai dengan berbagai fitur. Salah satunya adalah Order Management yang memungkinkan pebisnis bisa memroses keseluruhan transaksi secara otomatis, mulai dari memasukkan pesanan dari pembeli, mengatur pengiriman, hingga merekap semua pembelian.

Dengan begitu, operasional bisnis online bisa berjalan dengan lancar dan efisien dalam hal penghematan waktu. Product Manager Xendit Andri Setiawan menuturkan aplikasi ini juga dapat menyimpan kontak pelanggan agar pebisnis dapat lebih mudah mengirim invoice tagihan.

“Dalam invoice tersebut berisi detail tagihan beserta link pembayaran yang akan mengarahkan konsumen ke berbagai metode pembayaran yang dipilih oleh penjual dan dapat dipilih konsumen. Dana akan langsung diterima penjual begitu pembayaran telah diselesaikan,” kata Andri.

Dia melanjutkan, ke depannya aplikasi Xendit Bisnis akan terus menambah fitur untuk mempermudah pedagang dapat bertransformasi digital. Di antaranya, mengintegrasikan Xendit Online Store dengan aplikasi, mengelola inventori cek ongkos kirim, dan pemesanan layanan logistik. Xendit Bisnis sudah bisa diunduh di Play Store dan App Store.

Solusi bisnis kedua yang diumumkan Xendit adalah Xendit Online Store untuk permudah pebisnis untuk mendirikan toko online-nya sendiri. Fitur ini memungkinkan pebisnis untuk memiliki toko dengan URL unik dalam waktu kurang dari lima menit dan sudah dilengkapi dengan fitur pilihan metode pembayaran yang dimiliki Xendit.

Fitur ini tersedia secara gratis dan dapat langsung dimanfaatkan oleh pebisnis individu dan UMKM yang telah terdaftar di Xendit, untuk memperbesar jangkauan pembeli dan memperkuat kanal penjualannya, tanpa bergantung pada platform e-commerce lain. Untuk mengakses ini, pengguna dapat menavigasi ke Dashboard, pilih “Store/Toko” dan pilih “Online Store/Toko Online.”

Solusi untuk korporasi

Solusi bisnis ketiga adalah XenSol (Xendit Solution), hasil kerja sama dengan Andrew Tani & Co. (ATC). Solusi ini lebih diarahkan untuk pelaku bisnis skala besar yang berupaya melakukan transformasi digital secara menyeluruh. Perusahaan bisa menggunakan layanan konsultasi dari ATC dan Xendit akan mendukung transformasi digital tersebut dengan menyediakan infrastruktur pembayaran digital yang lebih baik. Nantinya, Xendit berencana mengajak partner serta agensi yang relevan sebagai mitra untuk menjalankan program XenSol secara berkelanjutan.

Penambahan solusi baru tersebut diharapkan dapat mempermudah semua pelaku bisnis dengan akses digital demi menciptakan lingkungan persaingan yang setara, sehingga semua bisnis dapat tumbuh dengan baik. Target ini sejalan dengan yang diusung pemerintah untuk membawa lebih dari 30 juta UMKM untuk go digital pada 2025 mendatang.

Sebelumnya, pada Agustus 2021, perusahaan telah meluncurkan fitur Xendit Inventory Sync Tool, sebuah inovasi teknologi multi-channel untuk mengelola stok inventaris produk yang dijual online marketplace, maupun situs Shopify dan Woocommerce. Fitur ini memudahkan pelaku bisnis untuk memantau dan mengatur jumlah stok di masing-masing kanal dalam satu dasbor yang rapi dan terintegrasi.

Selain membuat fitur sendiri, Xendit juga turut berinvestasi untuk majoo, startup SaaS pengembang solusi omnichannel. Bisa dipastikan kedua perusahaan akan saling memanfaatkan ekosistem satu sama lain untuk mengembangkan solusi untuk UMKM, meski rencana tersebut belum diumumkan secara resmi.

Secara keseluruhan, Xendit telah memroses lebih dari 110 juta transaksi per tahun dengan total volume lebih dari Rp142 triliun. Xendit ingin menyederhanakan proses pembayaran untuk semua skala bisnis di Indonesia, Filipina, dan Asia Tenggara. Xendit memungkinkan bisnis untuk menerima pembayaran, mencairkan, pencairan payroll, menjalankan marketplace, dan lainnya.

Digitalisasi UMKM

Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, dari 64,2 juta unit UMKM, baru 19% di antaranya yang sudah masuk ke ekosistem digital. Pemerintah sendiri menargetkan 30 juta unit UMKM bisa memasuki ekosistem digital pada 2024.

Tak hanya Xendit, ada banyak perusahaan yang menyediakan ragam solusi untuk permudah jalan masuk UMKM go digital dari berbagai aspek bisnis, baik itu fintech, supply chain, logistik, e-commerce, pemasaran, dan lain-lain. Menurut data di laporan MSME Empowerment Report 2021 yang diterbitkan DSInnovate, terdapat beberapa permasalahan mendasar yang saat ini dialami oleh pelaku UMKM di Indonesia, di antaranya:

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, 83% dari pelaku UMKM mengaku menggunakan layanan dari startup digital. Dari hipotesis tersebut, para founder pun bergairah untuk menghadirkan ragam produk dengan proposisi nilai yang berbeda-beda. Saat ini ada puluhan startup yang menghadirkan berbagai jenis SaaS di segmen tersebut.

iSeller Secures 120 Billion Rupiah Funding, to Expand Business Coverage

POS developer startup iSeller announced a pre-series B funding worth of IDR 120 billion led by AppWorks and Openspace Ventures. Previous investors, Mandiri Capital Indonesia (MCI) and Indogen Capital, also participated in this round.

The fresh money will be used for business expansion to 50 cities in Indonesia, accelerate merchant acquisitions, and strengthen collaboration with important players, such as Grab. It is expected to boost the company’s performance up to 500% from the previous achievement.

iSeller‘s Founder and CEO, Jimmy Petrus said, compared to the Series A round last year, the company managed to achieve impressive growth this year, which is more than 300% year-on-year of merchant acquisitions and annual revenue.

“[..] Through the latest round, we are committed to continuously creating new innovations and updating products, technology, and infrastructure to be ready to reach millions of MSMEs in the process of accelerating digital transformation in Indonesia. We believe that the iSeller solution and ecosystem holistically will be able to take MSMEs to the next level,” Jimmy said in an official statement, Wednesday (13/10).

AppWorks’ Founder and Chairman, Jamie Lin said, “In just a few years, iSeller has been able to drastically improve MSME business efficiency and establish an excellent reputation. He assessed that iSeller has enormous potential to become the market leader for omnichannel-based business POS platforms.

Apart from iSeller, other AppWorks’ portfolios in Indonesia include HarukaEdu, Fabelio, and InfraDigital.

“[..] The dedication of iSeller’s founders make them incredibly powerful in the SaaS business, where continuous product innovation is required. We expect strong growth in the Point Of Sales sector and omnichannel-based business platform and this is already reflected in iSeller’s growth and performance,” Lin said.

Was founded in 2017, iSeller provides an easy-to-use and comprehensive POS system solution for merchants to sell on any platform – online, offline, marketplace. The company has ambitions to become a super app merchant in Indonesia, the same spirit with GoBiz, Gojek’s service unit.

“Using this funding, we are targeting 10x growth in 2022 by expanding our reach in Indonesia. As well as sharpening focus to provide solutions for retail, F&B, service, and lifestyle business lines, especially those that rely on the e-commerce market as their main source of income,” iSeller’s CCO, Kevin Ventura added.

The company recently launched a new product, iSeller Go for small-scale MSMEs to sell through online stores or combine offline sales through POS by utilizing existing technology like smartphones. Next, Marketplace Integration is a solution for business people who want to sell on various marketplace platforms without any hassle because sellers can manage all of their marketplace accounts through one iSeller web-admin.

It is said that there are hundreds of merchants have taken advantage of and implemented this feature in their business. Previously, the company was selected to be the official WhatsApp Business Partner in Indonesia to enter the social and chat commerce segment, the next generation of e-commerce services. “In the near future, iSeller will soon launch several new innovations in collaboration with Facebook,” Kevin said.

Currently, iSeller has been available in 10 cities outside Jabodetabek, such as Bandung, Bali, Medan, Surabaya, and Batam. The company claims to have proceed over a million transactions per month across all channels. The solution has been utilized by more than 60 thousand business players, including several premium businesses such as SOGO, OMNILUXE, MOI, Damn! I love Indonesia, IT Gallery, United Bike, Sinarmas Insurance, MOVI, HMNS, ASHTA, Lemonilo, and Peripera.

Omnichannel solution

This omnichannel-based solution is actually quite relevant. The research entitled “2020 Ecommerce Fulfillment Trends Report” revealed that 86% of the respondents, who are e-commerce merchants, sell their products on more than one channel. Some of them also sell through social media. In the future, 69% of merchants plan to continue to increase online sales channels.

In addition to iSeller, there have been several startups offered similar solutions, two of which are Clodeo and Jubelio.

According to a report by DSResearch with Mandiri Capital Indonesia, it was stated that there are three main problems often faced by SMEs in Indonesia related to Financial, Operational, and Expansion. SaaS service models like the one offered by iSeller have proven to contribute to business improvement, resolving these issues in an agile way.

Indonesian SaaS startups for business


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

iSeller Raih Pendanaan Pra-Seri B 120 Miliar Rupiah, Siap Ekspansif Perluas Bisnis

Startup pengembang POS iSeller mengumumkan perolehan pendanaan pra-seri B sebesar 120 miliar Rupiah yang dipimpin oleh AppWorks dan Openspace Ventures. Investor sebelumnya, Mandiri Capital Indonesia (MCI) dan Indogen Capital, turut berpartisipasi dalam putaran ini.

Suntikan dana ini akan dimanfaatkan untuk melancarkan ekspansi bisnis hingga ke 50 kota di Indonesia, akselerasi akuisisi merchant, serta perkuat kolaborasi dengan pemain penting, seperti Grab. Langkah ini diharapkan dapat mendongkrak kinerja perusahaan hingga 500% dari pencapaian sebelumnya.

Founder dan CEO iSeller Jimmy Petrus mengatakan, dibandingkan saat putaran Seri A di tahun lalu, pada tahun ini perusahaan berhasil mencapai pertumbuhan yang impresif, yakni lebih dari 300% secara year-on-year pada jumlah akuisisi merchant dan annual revenue.

“[..] Melalui seri pendanaan terbaru ini, kami berkomitmen untuk terus menciptakan inovasi baru dan memperbaharui produk, teknologi, serta infrastruktur untuk siap menjangkau jutaan UMKM dalam proses akselerasi transformasi digital di Indonesia. Kami percaya solusi dan ekosistem iSeller secara holistik akan mampu membawa UMKM naik ke level berikutnya,” ucap Jimmy dalam keterangan resmi, Rabu (13/10).

Founder dan Chairman AppWorks Jamie Lin mengatakan, hanya dalam beberapa tahun, iSeller bisa dengan drastis meningkatkan efisiensi bisnis UMKM serta membentuk reputasi yang sangat baik. Ia menilai iSeller memiliki potensi yang sangat besar untuk menjadi pemimpin pasar untuk platform POS bisnis berbasis omnichannel.

Selain iSeller, portofolio AppWorks lainnya di Indonesia meliputi HarukaEdu, Fabelio, dan InfraDigital.

“[..] Dedikasi yang diberikan membuat founder iSeller ini sangat luar biasa hebat di dunia SaaS bisnis, di mana inovasi baru berkelanjutan dalam sebuah produk sangat dibutuhkan. Kami memperkirakan akan adanya pertumbuhan yang kuat dalam sektor Point Of Sales serta platform bisnis berbasis omnichannel dan hal ini sudah tercermin dalam pertumbuhan dan kinerja iSeller,” ujar Lin.

Didirikan sejak 2017, iSeller menghadirkan solusi sistem POS yang mudah digunakan dan komprehensif untuk para merchant dapat berjualan di platform mana saja –online, offline, marketplace. Perusahaan berambisi menjadi merchant super app di Indonesia, ambisi yang sama digaungkan oleh GoBiz, unit layanan dari Gojek.

“Dengan adanya pendanaan ini, kami menargetkan pertumbuhan 10x di tahun 2022 dengan memperluas jangkauan kami di Indonesia. Serta meningkatkan fokus solusi pada lini bisnis retail, F&B, service, dan lifestyle, terutama mereka yang mengandalkan pasar e-commerce sebagai sumber pendapatan utama,” tambah Kevin Ventura selaku CCO iSeller.

Perusahaan baru-baru ini meluncurkan produk baru, yaitu iSeller Go untuk UMKM berskala kecil dapat berjualan melalui toko online atau menggabungkan penjualan offline melalui POS dengan memanfaatkan teknologi yang ada seperti smartphone. Berikutnya, Integrasi Marketplace sebagai solusi untuk para pebisnis yang ingin berjualan di berbagai platform marketplace tanpa repot karena seller bisa mengelola semua akun marketplace mereka melalui satu web-admin iSeller saja.

Diklaim ada ratusan merchant yang telah memanfaatkan dan menerapkan fitur ini pada bisnisnya. Sebelumnya, perusahaan terpilih menjadi WhatsApp Business Partner resmi di Indonesia untuk masuk ke segmen social dan chat commerce, generasi berikutnya dari layanan e-commerce. “Dalam waktu dekat, iSeller juga akan segera meluncurkan beberapa inovasi baru yang berkolaborasi dengan Facebook,” tandas Kevin.

Saat ini iSeller telah hadir di 10 kota, di luar Jabodetabek, seperti Bandung, Bali, Medan, Surabaya, dan Batam. Perusahaan mengklaim telah memroses lebih dari satu juta transaksi per bulan di semua saluran. Solusinya telah dimanfaatkan oleh lebih dari 60 ribu pelaku usaha, termasuk di antaranya beberapa bisnis premium seperti SOGO, OMNILUXE, MOI, Damn! I love Indonesia, IT Gallery, United Bike, Asuransi Sinarmas, MOVI, HMNS, ASHTA, Lemonilo, dan Peripera.

Solusi omnichannel

Solusi berbasis omnichannel ini saat ini memang cukup relevan. Riset bertajuk “2020 Ecommerce Fulfillment Trends Report” mengemukakan sebanyak 86% respondennya, yang merupakan merchant e-commerce, menjual dagangannya di lebih dari satu kanal. Tidak sedikit juga yang menjual melalui media sosial. Di waktu mendatang, 69% merchant berencana terus meningkatkan kanal-kanal penjualan online.

Selain iSeller, di Indonesia sejauh ini sudah ada beberapa startup yang coba jajakan solusi serupa, dua di antaranya Clodeo dan Jubelio.

Menurut laporan yang dilakukan DSResearch bersama Mandiri Capital Indonesia, disampaikan ada tiga permasalahan utama yang kerap dihadapi UKM di Indonesia, yakni terkait Financial, Operational, dan Expansion. Model layanan SaaS seperti yang dirilis iSeller telah terbukti memberikan sumbangsih pada peningkatan bisnis, menyelesaikan isu-isu tersebut secara gesit.

Layanan SaaS Startup Indonesia untuk Bisnis

Esensi Solusi Buana Peroleh Tambahan Dana Seri A+ 110 Miliar Rupiah, Perluas Solusi SaaS untuk F&B

Esensi Solusi Buana (ESB) hari ini (12/10) mengumumkan perolehan pendanaan seri A+ senilai $7,6 juta (senilai 110 miliar Rupiah). Putaran ini dipimpin oleh Alpha JWC Ventures, dengan partisipasi dari Beenext, Vulcan Capital, AC Ventures, dan Skystar Capital. Beberapa investor tersebut merupakan investor sebelumnya di putaran seri A pada Maret 2021.

Dana yang didapat akan difokuskan untuk memperluas produknya, termasuk dengan fitur upselling, peningkatan intelegensi bisnis (BI), solusi pengiriman, pembiayaan, finansial, dan sistem informasi sumber daya manusia (HRIS). Perluasan ini dalam rangka mewujudkan misi ESB menjadi penyedia operasional bisnis end-to-end di industri F&B yang terdepan.

Partner Alpha JWC Ventures Eko Kurniadi mengatakan, F&B adalah industri yang terus berkembang dengan hadirnya pendatang baru secara terus menerus setiap bulannya. Namun selama pandemi, sebagian besar mengalami titik kesulitan yang sama dalam beradaptasi dengan perilaku konsumen masa kini dan perubahan struktur operasional restoran.

Menurutnya, pemain industri F&B saat ini perlu menawarkan pengalaman pemesanan touchless, mengelola inventaris mereka dengan lebih baik, dan mengurangi biaya operasional secara signifikan, demi menjaga bisnis mereka tetap utuh. ESB ingin menyelesaikan semua masalah tersebut dengan solusi secara keseluruhan, terlepas dari seberapa rumitnya operasional.

“Banyaknya merek F&B terkemuka yang menggunakan produk ESB membuktikan manfaat nyata ESB bagi para pebisnis F&B. Sebagai mitra, kami yakin bahwa ESB dapat memainkan peran penting dalam transformasi digital,” ucap Eko dalam keterangan resmi.

Co-founder & CEO ESB Gunawan Woen menambahkan, “Kami bangga menyambut Alpha JWC Ventures dan Vulcan Capital sebagai pendukung kami dan berterima kasih atas kepercayaan investor yang terus berlanjut.”

ESB adalah penyedia software sistem operasional bisnis kuliner all-in-one yang menghubungkan front-end, back-end, konsumen, dan mitra rantai pasokan untuk restoran. Startup ini didirikan pada 2014 dengan misi membantu bisnis F&B untuk meningkatkan keuntungan dengan menggunakan teknologi, guna memperbaiki hasil penjualan dan efisiensi operasional.

Awalnya, ESB memulai usaha dengan menciptakan solusi cloud perencanaan sumber daya perusahaan (ERP) yang dapat disesuaikan untuk mengganti sistem hardware-based yang tradisional dan kurang terjangkau. ESB kemudian memperluas produknya dengan sistem operasional restoran all-in-one yang mencakup sistem Point-of-Sale (POS) dan teknologi Mobile Ordering (ESB Order).

Dengan pendekatan all-in-one, para pendiri ESB bercita-cita untuk memudahkan dan memperpendek proses operasional, terutama bagi pengusaha bisnis F&B yang memiliki banyak cabang dan yang berhubungan langsung dengan konsumen. ESB bercita-cita untuk mengikuti kesuksesan Toast di Amerika Serikat yang baru-baru ini sukses dalam Initial Public Offering (IPO).

ESB telah melayani lebih dari 500 merek F&B, termasuk group besar seperti MAP Boga Adiperkasa, Boga Group, Ismaya Group, Sour Sally Group, dan Marugame Udon, dalam memroses lebih dari 40 juta pesanan tiap tahun.

Dampak pandemi

Gunawan melanjutkan, selama pandemi “berhasil” memaksa bisnis F&B untuk semakin mengoptimalkan operasional, baik dengan membuatnya jadi lebih ramping atau menemukan cara baru untuk meningkatkan penjualan. Hal tersebut terlihat dari upaya digitalisasi besar-besaran di semua stakeholder di industri F&B, mulai dari restoran hingga pemasok, dalam menggunakan teknologi restoran.

Diklaim ESB tumbuh tiga kali lipat dari tahun sebelumnya selama pandemi karena permintaan pemesanan dengan sistem touchless yang disediakan oleh ESB melalui layanan ESB Order. Saat ini, ESB telah memroses Nilai Transaksi Bruto dengan total lebih dari $500 juta dan diperkirakan akan tumbuh 10 kali dalam dua tahun ke depan. Ia pun meyakini bahwa bisnis kuliner akan kembali bangkit setelah terkena dampak pandemi.

Selain memungkinkan pemesanan melalui ponsel, produk ERP dan POS ESB terbukti menjadi penyelamat bagi banyak bisnis F&B dengan meminimalisir terjadinya kebocoran maupun human error. Lebih dari 95% pengguna ESB menggunakan seluruh sistem software front-end dan back-end, membuktikan adanya kebutuhan untuk optimalisasi secara holistik.

“Bisnis restoran merupakan perpaduan antara manufaktur, perdagangan, dan ritel. Kami berusaha meringankan beban dan mengatasi masalah pelaku bisnis restoran yang menggunakan platform terpisah untuk memenuhi aspek yang berbeda. Pada saat yang sama, ESB juga membantu bisnis F&B dalam mengoptimalkan consumer engagement, sistem operasional, dan pada akhirnya untuk meningkatkan keuntungan mereka.”

Co-founder dan COO ESB Eka Prasetya menambahkan, selain keunggulan produk, misi perusahaan lainnya adalah menyediakan akses. Perusahaan percaya bahwa semua skala bisnis layak mendapatkan dukungan yang baik.

“Itulah sebabnya kami memperluas layanan agar tidak hanya diperuntukkan bagi industri F&B yang sudah memiliki nama besar, tetapi juga bisnis kecil dan menengah dengan biaya yang dapat disesuaikan dengan anggaran mereka. Kami ingin tumbuh bersama dengan seluruh industri bisnis dan meraih kesuksesan bersama-sama,” tutup Eka.

Selain ESB, ada beberapa platform digital lain yang juga melayani pangsa pasar serupa. Misalnya DigiResto yang dikembangkan MCAS, yang juga telah menerima investasi dari perusahaan logistik SiCepat. Dengan konsep yang lebih terintegrasi dengan cloud kitchen, decacorn Gojek dan Grab juga memiliki layanan khusus untuk mendemokratisasi proses bisnis merchant kuliner, yakni lewat aplikasi GoBiz dan GrabMerchant.

Application Information Will Show Up Here

Ula Snags 1.24 Trillion Rupiah Series B Funding, to Release Paylater Product for Warung

Ula snags $87 million in series B funding (approximately 1.24 trillion Rupiah) led by Prosus Ventures, Tencent, and B-Capital. Participated also in this round, the Bezos Expeditions, a VC created by Amazon founder Jeff Bezos; along with other leading investors, Northstar Group, AC Ventures, and Citius.

Ula‘s previous investors, including Lightspeed India, Sequoia Capital India, Quona Capital and Alter Global cut another check in this round. On this occasion, Ula also announced that AC Ventures Founding Partner, Pandu Sjahrir was appointed as the company’s advisor.

This funding was announced eight months after the series A funding in January. Collectively, the company has raised a total $117.5 million in funding within 20 months since its founding.

The company will use the funding to expand its geographic and team coverage area, to realize its vision of empowering the traditional retail industry in Indonesia. These include releasing new categories, developing paylater feature, developing new technologies, logistics infrastructure, and local supply chains.

Ula’s Co-founder & Chief Commercial Officer, Derry Sakti said that this BNPL solution was presented because Ula already has 70 thousand stalls that transact through its platform, the database is a provision for credit scoring before disbursing loans.

The company is said to grow 230 times, offering more than 6 thousand products. The majority of Ula users come from tier two to four cities that still lack access to resources and logistics infrastructure.

As is known, traditional retailers have limitations in accessing banking products, even though they are very dependent on daily income, this makes the paylater option to suppliers will have tremendous benefits for warung.

“Using Ula, they no longer have to worry about purchasing goods, product availability, or even payment, which will give them more time to focus on other more important things. Seeing the impact firsthand that Ula has given to customers’ lives certainly moves our team to move forward,” he said in an official statement, Monday (4/10).

Ula’s Co-founder & Chief Operating Officer, Riky Tenggara added, “Solving the complexities of supply chain problems in Indonesia is a very challenging and impactful endeavor. As a company built on a community, we cannot underestimate the importance of providing services that our customers can always rely on, especially services that can make a real difference to their lives.”

Ula investors, AC Ventures and Northstar, also put on some statement. They stated that they have the same mission regarding the importance of empowering Indonesian MSMEs through technology. This is because MSMEs contribute more than 60% of Indonesia’s GDP and become the backbone of the country’s economy.

“Ula provides a more efficient procurement and operational system, and ultimately opens access to credit that is needed to expand the MSME business scale,” AC Ventures’ Managing Partner, Adrian Li said.

The Ula app allows shop owners to order a wide variety of products and have them delivered directly to their stores. With a simple concept, Ula tries to focus on customer needs rather than adding unnecessary features, to ensure the best experience. The app is said to be lighter, suitable for low connection environments and the most basic devices, and ensures it doesn’t take up too much space on their phones.

Potential warung digitization

The service solution solves a very fundamental issue. Based on the results of a research entitled The Future of Southeast Asia’s Digital Financial Services, at least 92 million adults in Indonesia are yet to have access to banking financial services (unbankable) – making it difficult for them to access transactional digital services directly. This is quite a big number, even greater than the total population of countries in Southeast Asia except the Philippines.

Warung is the most outreaching business system – the place where micro-economy across Indonesia revolves. According to 2016 Economic Census data released by BPS, of the 26.4 million units of Micro, Small and Medium Enterprises (UMK), 46.38% fall into the category of “Wholesale and Retail Trade, Repair and Maintenance of Cars and Motorcycles. “ – warung is in it. This number is also the largest among other types of businesses in Indonesia.

In an interview with DailySocial.id, Ula’s Co-Founder Nipun Mehra explained his analysis of why his startup is steadily expanding into this sector. He said, traditional retail like warung is the main pillar of the Indonesian economy. “This is the backbone of the consumption economy, while employing millions of people. Traditional retailers are cost-effective and have deep knowledge of the local market. However, this sector is the most vulnerable part of the value chain because they usually work individually on a small scale,” he added.

The diversification they trying to make is the efficiency of resources and capital by presenting a doorstep system (direct product delivery) that is cost-effective. In addition to connecting retailers with stock providers of FMCG products, they will also expand product coverage in the fashion category.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Ula Raih Pendanaan Seri B 1,24 Triliun Rupiah, Segera Rilis Produk Paylater untuk Warung

Ula berhasil mengumpulkan pendanaan seri B sebesar $87 juta (sekitar 1,24 triliun Rupiah) yang dipimpin oleh Prosus Ventures, Tencent, dan B-Capital. Putaran ini turut diikuti oleh partisipasi Bezos Expeditions, VC besutan pendiri Amazon Jeff Bezos; beserta investor terkemuka lainnya, yakni Northstar Group, AC Ventures, dan Citius.

Investor Ula terdahulu, seperti Lighstpeed India, Sequoia Capital India, Quona Capital, dan Alter Global, turut berpartisipasi kembali pada putaran kali ini. Dalam kesempatan ini, Ula sekaligus mengumumkan Founding Partner AC Ventures Pandu Sjahrir diangkat menjadi penasihat perusahaan.

Pendanaan ini diumumkan berselang delapan bulan setelah pendanaan seri A di awal Januari ini. Bila diakumulasi, perusahaan telah memperoleh pendanaan sebanyak $117,5 juta dalam 20 bulan sejak pendiriannya.

Perusahaan akan memanfaatkan pendanaan untuk memperbesar cakupan area geografi dan tim, untuk mewujudkan visinya dalam pemberdayaan industri ritel tradisional di Indonesia. Di antaranya merilis kategori baru, pengembangan layanan paylater, pembangunan teknologi baru, infrastruktur logistik, dan rantai pasokan lokal.

Co-founder & Chief Commercial Officer Ula Derry Sakti menyampaikan solusi BNPL ini dihadirkan karena Ula telah memiliki 70 ribu warung yang bertransaksi melalui platform-nya, basis data tersebut menjadi bekal untuk melakukan skoring kredit sebelum menyalurkan pinjaman.

Diklaim perusahaan telah tumbuh 230 kali lipat, menawarkan lebih dari 6 ribu produk. Mayoritas pengguna Ula berasal dari kota lapis dua hingga empat yang masih kekurangan akses terhadap sumber daya dan infrastruktur logistik.

Seperti diketahui, ritel tradisional memiliki keterbatasan dalam mengakses produk perbankan, padahal mereka sangat bergantung pada pemasukan harian, hal ini membuat pilihan pembayaran paylater kepada supplier memiliki manfaat yang luar biasa bagi warung.

“Dengan Ula, mereka tidak perlu lagi khawatir tentang pembelian barang, ketersediaan produk, atau bahkan pembayaran, yang tentunya akan memberikan mereka waktu lebih banyak untuk fokus kepada hal lain yang lebih penting. Melihat secara langsung dampak yang telah Ula berikan pada kehidupan pelanggan tentunya menggerakkan tim kami untuk terus maju,” tuturnya dalam keterangan resmi, Senin (4/10).

Co-founder & Chief Operating Officer Ula Riky Tenggara menambahkan, “Memecahkan kompleksitas masalah rantai pasokan di Indonesia merupakan sebuah upaya yang sangat menantang dan berdampak. Sebagai perusahaan yang dibangun dari sebuah komunitas, kami tidak dapat meremehkan pentingnya memberikan layanan yang selalu dapat diandalkan oleh pelanggan kami, khususnya layanan yang dapat memberikan perbedaan yang nyata bagi kehidupan mereka.”

Investor Ula, AC Ventures dan Northstar, turut memberikan pernyataannya. Mereka menyatakan bahwa mereka memiliki kesamaan misi mengenai pentingnya pemberdayaan UMKM Indonesia melalui teknologi. Pasalnya, UMKM berkontribusi lebih dari 60% terhadap PDB Indonesia dan menjadi tulang punggung ekonomi negara.

“Ula menyediakan pengadaan dan sistem operasional yang lebih efisien, dan pada akhirnya membuka akses akan pemenuhan kredit yang sangat dibutuhkan untuk memperluas skala bisnis UMKM,” ujar Managing Partner AC Ventures Adrian Li.

Aplikasi Ula memungkinkan pemilik warung untuk memesan berbagai macam produk dan mengirimkannya langsung ke toko mereka. Dengan konsep yang sederhana, Ula mencoba fokus pada kebutuhan pelanggan daripada menambahkan fitur yang tidak perlu, untuk memastikan pengalaman terbaik. Aplikasi ini diklaim lebih ringan, cocok untuk lingkungan koneksi rendah dan perangkat paling dasar, serta memastikan tidak memakan terlalu banyak ruang di ponsel mereka.

Potensi digitalisasi warung

Solusi layanan tersebut menyelesaikan isu yang sangat fundamental. Berdasarkan hasil riset bertajuk The Future of Southeast Asia’s Digital Financial Services, sekurangnya 92 juta penduduk berusia dewasa di Indonesia belum tersentuh layanan finansial perbankan (unbankable) – sehingga sulit bagi mereka untuk mengakses layanan digital transaksional secara langsung. Jumlah tersebut sangat besar, bahkan lebih besar dari total penduduk negara-negara di Asia Tenggara kecuali Filipina.

Warung adalah sistem bisnis yang paling menjangkau – tempat ekonomi mikro di berbagai penjuru Indonesia berputar. Menurut data Sensus Ekonomi 2016 yang dirilis BPS, dari 26,4 juta unit Usaha Mikro Kecil (UMK) & Usaha Menengah Besar (UMB), sebanyak 46,38% masuk dalam kategori “Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi dan Perawatan Mobil dan Sepeda Motor” – warung masuk di sana. Jumlah ini sekaligus menjadi yang paling besar di antara jenis usaha lain yang ada di Indonesia.

Dalam wawancara dengan DailySocial.id, Co-Founder Ula Nipun Mehra menjelaskan analisisnya mengapa startupnya mantap merambah sektor ini. Menurutnya, ritel tradisional seperti warung adalah pilar utama ekonomi Indonesia. “Ini adalah backbone dari ekonomi konsumsi, sekaligus mempekerjakan jutaan orang. Peritel tradisional tergolong cost-effective dan memiliki pengetahuan mendalam mengenai pasar lokal. Namun, sektor ini adalah bagian paling rentan dari value chain karena mereka biasanya bekerja secara individual dengan skala kecil,” ujarnya.

Diversifikasi yang coba dihadirkan adalah efisiensi sumber daya dan permodalan dengan menghadirkan sistem doorstep (pengiriman produk secara langsung) yang hemat biaya. Selain menghubungkan peritel dengan penyedia stok produk FMCG, mereka juga akan memperluas cakupan produk di kategori busana.

Application Information Will Show Up Here