KitaBeli Optimis Model “Team Buying” Bisa Diterima di Tengah Kematangan Pasar E-commerce

Berdasarkan laporan yang dibuat Econsultancy bersama Magento dan Hootsuite pada bulan Oktober 2019 berjudul “The State of Social Commerce in Southeast Asia”, industri social commerce diproyeksikan akan bertumbuh signifikan. Dengan lebih dari 350 juta pengguna internet di Asia Tenggara dan 90% masyarakat terhubung ke internet menggunakan smartphone, peluang untuk bertransaksi sangatlah besar.

Pandemi juga menjadi pemancing positif kepada startup yang menyasar social commerce. Besarnya demand dilengkapi dengan penggunaan media sosial hingga model pembelian secara bersama (team buying), menjadi sangat ideal bagi startup yang menyasar social commerce untuk tumbuh secara positif. Salah satu startup yang mencoba untuk menghadirkan layanan tersebut adalah KitaBeli.

Fokus kepada konsep “team buying”

KitaBeli didirikan oleh Prateek Chaturvedi, Ivana Tjandra, Subhash Bishnoi, dan Gopal Singh Rathore pada Maret 2020. Platform tersebut memfasilitasi pembelian barang kebutuhan pokok, FMCG, dan produk kebutuhan rumah tangga lain—secara berkelompok (team buying). Pengguna aplikasi KitaBeli mengundang kenalannya untuk membentuk grup, kemudian membeli produk bersama dengan potongan harga.

“Memperhatikan bahwa platform lain tidak fokus pada berbagi dan aspek sosial pembelian, kami memutuskan untuk memulai KitaBeli dan memungkinkan pengguna Indonesia untuk melakukan hal ini dengan lebih baik secara online,” kata Co-founder KitaBeli Prateek Chaturvedi.

Pendekatan yang langsung ke pelanggan akhir (direct-to-consumer) membuat KitaBeli berbeda dengan pemain social commerce lain di Indonesia. Pengguna langsung memesan barang di aplikasi, bukan melalui agen atau reseller. Cara ini membuat KitaBeli mampu membangun loyalitas pelanggan dan model bisnis yang lebih menguntungkan. Di platform lain kebanyakan pengguna diharuskan untuk berbicara dengan pemasok, mengonfirmasi stok, dan lainnya. Proses tersebut dapat memakan waktu berjam-jam.

“Kami juga melakukan pengiriman cepat. Semua pesanan dikirim dalam 2 hari dengan biaya yang sangat rendah. Dengan konsep berbagi dan mengajak teman Anda untuk bergabung dengan aplikasi, pengguna kami mendapatkan lebih banyak diskon. Mereka juga bisa melihat apa yang dibeli temannya, dan bergabung dengan grup teman tersebut, untuk mendapatkan harga yang lebih murah,” kata Prateek.

KitaBeli kini telah beroperasi di area Jabodetabek, dengan jumlah pelanggan yang tumbuh dengan pesat. Model pembelian berkelompok mendorong pengguna untuk mengajak kenalannya untuk bergabung dan mengunduh aplikasi KitaBeli. Selain itu, nilai transaksi per pengguna di aplikasi KitaBeli terus tumbuh setiap bulan.

“Pengguna KitaBeli suka dengan fitur sosial KitaBeli. Mereka juga puas dengan kecepatan pengiriman barang, 95% dari pesanan diantar dalam 2 hari. Dari Jakarta, kami berencana untuk segera memperluas layanan ke kota-kota lain, termasuk kota tier 2-4,” kata Co-founder KitaBeli Ivana Tjandra.

Pendanaan tahapan awal

Akir bulan Agustus 2020, KitaBeli mengumumkan pendanaan tahapan awal dengan nilai yang tidak dipublikasikan. Dalam putaran yang dipimpin oleh East Ventures, AC Ventures bergabung ronde pendanaan tersebut dengan partisipasi dari beberapa angel investor. Selain memperluas area layanan ke kota tier 2-4, penerapan teknologi dengan mengembangkan produk menjadi rencana dari perusahaan selanjutnya.

“Kami berfokus untuk menciptakan pengalaman pengguna yang luar biasa, dan meningkatkan loyalitas pengguna. Pengguna kami sangat menyukai aplikasi ini. Setiap bulan mereka membeli lebih banyak dari kami, dan sangat sering membeli. Ini lebih penting bagi kami sekarang daripada jumlah pengguna,” kata Prateek.

Tim KitaBeli berbasis di India dan Indonesia, terdiri dari tim teknologi di Bengaluru serta tim operasional dan tim pemasaran di Jakarta. Sebelum mendirikan KitaBeli, Prateek adalah founder Getfocus.in, perusahaan SaaS penyedia solusi pemasaran B2B asal India yang diakuisisi Moka pada 2018. Adapun, Ivana berpengalaman mengembangkan bisnis dan vertikal baru untuk Bridestory dan Handy.

“KitaBeli memperkenalkan team buying ke salah satu pasar ecommerce dengan pertumbuhan paling pesat. Kami antusias untuk bermitra dengan Prateek dan Ivana, membawa cara berbelanja baru ini ke konsumen Indonesia,” kata Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

“Pengalaman ini mendorong pembelian barang kebutuhan pokok harian dengan frekuensi tinggi. Prateek dan Ivana adalah entrepreneur yang berpengalaman dan visioner dengan keahlian operasional di pasar lokal. Mereka ada di posisi terbaik untuk membangun cerita teknologi consumer selanjutnya di Indonesia,” kata Managing Partner AC Ventures Adrian Li.

Application Information Will Show Up Here

Geliat “Reseller” Berjualan di Media Sosial

Pekerja informal merupakan kelompok yang paling rentan terdampak pengaruh pandemi. Mereka harus putar otak mencari pekerjaan tambahan untuk melanjutkan hidup. Pilihan pertama yang biasanya diambil adalah berdagang menjual produk-produk yang sedang dicari masyarakat.

Dalam tulisan DailySocial sebelumnya, pemain social commerce saat ini sedang memanfaatkan momentum dalam menjaring reseller baru karena terjadi pergeseran konsumsi belanja ke platform digital. Dampak kenaikan tersebut tidak merata hanya dinikmati pemain e-commerce, tapi juga platform social commerce.

Platform social commerce menawarkan kesempatan menjadi reseller dengan mudah. Hanya bermodalkan smartphone dan tidak memerlukan modal awal. DailySocial mewawancarai tiga pemain reseller yang kini cukup berbahagia karena kenaikan jumlah reseller yang bergabung, yakni RateS, Woobiz, dan Evermos.

Evermos saat ini melakukan pendekatan yang berbeda dalam menjaring reseller baru. Mereka menggratiskan biaya pendaftaran dari awalnya harus membayar biaya komitmen awal sebesar Rp300 ribu. CEO Evermos Iqbal Muslimin mengatakan pandemi telah memakan lebih dari dua juta orang yang terkena PHK karena itulah kebutuhan orang menghasilkan penghasilan tambahan juga semakin besar.

“Kita membuat dalam rangka memberdayakan para pekerja informal yang terkena dampak langsung seperti driver ojek online dan agen travel umroh bekerja sama dengan PergiUmroh,” ucapnya.

“Alhamdulillah reseller baru juga bisa mulai lancar jualan karena konsumen juga menghindari aktivitas di luar dan mulai beralih ke pesan produk secara online atau lewat WA,” sambungnya.

Dia tidak menyebutkan seberapa besar kenaikan reseller sejak pandemi. Namun ia menyatakan bahwa sekarang ada lebih dari 100 ribu reseller yang bergabung dan tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.

Data Woobiz tak jauh berbeda. Co-Founder Woobiz Putri Noor Shaqina menuturkan banyak orang yang tertarik bergabung dengan Woobiz karena mereka bisa mendapatkan pendapatan tanpa perlu meninggalkan tempat tinggal atau pergi jauh.

“Mitra lama kami juga mengalami dampak positif di mana banyak tetangga-tetangga mereka yang berbelanja ke mitra kami. Kami melihat peningkatan rata-rata transaksi mitra kami hingga lebih dari 30% setiap bulannya sejak pandemi ini,” katanya.

Woobiz disebutkan memiliki 10 ribu mitra sejak pertama kali beroperasi pada Juli tahun lalu. Mayoritas mereka berasal dari Jabodetabek, lalu menyebar ke Jawa Barat, Timur, dan Tengah sejak bekerja sama dengan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPPNU).

RateS juga demikian. Startup asal Singapura ini baru masuk ke Indonesia sejak Juni tahun lalu namun pencapaiannya diklaim memuaskan. Chief Strategy Officer RateS Albert Ho menerangkan, perusahaan kini memiliki ratusan ribu reseller yang bergabung.

“Bisa dikatakan mayoritas reseller kami ada di Pulau Jawa, tapi juga ada di Medan, Makassar, Palembang, dan Balikpapan. Separuh reseller kami tidak ada yang datang dari kota lapis pertama. Kami banyak menyentuh kota lapis dua dan tiga, seperti Sukabumi, Cianjur, dan Malang,” kata Albert.

Terus melengkapi produk

Sama seperti pemain e-commerce, katalog produk semakin dilengkapi agar tetap relevan dengan permintaan yang sedang tinggi, seperti produk-produk yang berkaitan dengan kesehatan dan makanan pokok sehari-hari. Di Evermos, perusahaan menambah kemitraan dengan UKM produsen herbal untuk mengenalkan produk vitamin dan madu untuk meningkatkan daya tahan tubuh.

Evermos termasuk pemain reseller yang fokus pada produk halal seperti fesyen, makanan, kosmetik, dan kebutuhan rumah tangga.

“Ini [produk vitamin] merupakan salah satu top kategori kita. Kita selalu sesuaikan produk UKM untuk reseller agar bisa dijual dengan mudah apalagi di masa pandemi.”

Sementara itu, kategori produk yang paling laku dijual reseller di RateS adalah bahan pokok rumah tangga, alat masak, dan mainan untuk anak. Lalu alat-alat olahraga, seperti tikar yoga, juga sering dicari. Albert memperkirakan pertumbuhan transaksi di kategori tersebut setidaknya mencapai 30% sejak pandemi.

“Intinya [kenaikan] memang seperti yang kita pikirkan: selama lockdown, orang Indonesia masih ingin menghibur anak-anak mereka dengan mainan, lebih banyak memasak di rumah, lebih banyak hiburan di rumah. Tentunya, produk fesyen saat ini turun sekali,” tutur Albert.

RateS menempatkan dirinya sebagai pemain yang kuat di produk alat-alat rumah tangga dan ibu dan anak. Albert menuturkan dalam pengadaan barang ini perusahaan bekerja sama dengan produsen peralatan asli (original equipment manufacturer/OEM) di luar negeri lalu mengimpornya ke Indonesia. Ada 200 pabrikan yang sudah digaet perusahaan.

Sementara untuk pengadaan produk dari lokal, masih bisa dihitung jari baru lima brand. “Untuk penyimpanan, kami memakai inventaris kami di berbagai gudang di seluruh Indonesia. Idealnya kami ingin sedekat mungkin dengan ekonomi pedesaan, jadi pengiriman jarak jauh kami paling rendah ke pelanggan.”

Woobiz juga memperluas kerja samanya dengan brand FMCG untuk memenuhi permintaan di lapangan. Perusahaan tersebut menyediakan kurasi produk dari beragam brand dari kategori kecantikan, makanan dan minuman, fesyen muslim, aksesoris, perawatan dan kesehatan, ibu dan anak, dan produk segar.

Perlu peningkatan kapabilitas

Ketiga pemain reseller ini kompak menyatakan orang Indonesia itu sangat sosial. Masih banyak orang yang membutuhkan bantuan ketika ingin membeli produk secara online. Untuk itu dibutuhkan sosok reseller yang membantu mereka secara personal.

“Target konsumen reseller adalah mereka yang bisa di-touch langsung secara offline atau lewat aplikasi media sosial dan chat messaging mereka,” tandas Iqbal.

Kendati ketiganya membuka channel penjualan di media sosial, mereka juga membuka kesempatan untuk berjualan di platform digital lainnya, misalnya membuka toko di situs e-commerce. Iqbal menuturkan pihaknya membuka portal pribadi bernama Berikhtiar.com untuk mewadahi reseller yang terbiasa berjualan online.

Sementara itu, di RateS, semua reseller diarahkan untuk sepenuhnya berjualan di platform e-commerce. Kata Albert, pilihan tertinggi reseller untuk berjualan adalah di Shopee, disusul Tokopedia.

Di Woobiz, menurut Putri, meski fokusnya berjualan di media sosial, reseller mulai diarahkan untuk untuk berjualan di platform e-commerce agar mereka dapat menjangkau konsumen lebih luas. Reseller dapat mengikuti program kelas internal yang diberi nama Woouniversity.

Reseller kami berjualan di aplikasi media sosial seperti Facebook, WhatsApp, dan Instagram. Ketiganya jadi lebih sering digunakan. Fitur status di media sosial memudahkan mitra memasarkan barang tanpa harus menawarkan secara personal. Bahkan aktivitas berjualan melalui grup komunitas WA semakin gencar untuk meningkatkan penghasilan.”

Dampak ekonomi yang diberikan aplikasi reseller ini sebenarnya cukup jelas. Reseller bisa mendapatkan penghasilan tambahan untuk menyambung hidup. Pemberdayaan secara berkelanjutan tentunya harus dilakukan oleh para pemain tersebut agar reseller tersebut bisa naik tingkat hingga mampu memproduksi barang sendiri.

Kehadiran program pendampingan untuk membimbing mereka perlu disiapkan, seperti cara pemasaran, manajemen keuangan, hingga menyiapkan mental sebagai pengusaha.

“Kami memiliki misi agar para mitra kami dapat mandiri secara finansial, meningkatkan kemampuan ekonomi mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik,” pungkas Putri.

Pandemi Beri Momentum bagi Platform Social Commerce

Seiring penurunan jumlah pengunjung di pusat perbelanjaan dan toko retail, para pebisnis harus memutar otak untuk bisa tetap bertahan atau terkikis perlahan. Kehadiran konsep social commerce yang menyatukan aktivitas sosial dan niaga dalam beberapa tahun terakhir dinilai sebagai sebuah inovasi yang tepat guna, terlebih di tengah pandemi yang sedang melanda berbagai belahan dunia.

Berdasarkan laporan yang dibuat Econsultancy bersama Magento dan Hootsuite pada bulan Oktober 2019 berjudul “The State of Social Commerce in Southeast Asia”, industri social commerce diproyeksikan akan bertumbuh signifikan. Dengan lebih dari 350 juta pengguna internet di Asia Tenggara dan 90% masyarakat terhubung ke internet menggunakan smartphone, peluang untuk
bertransaksi sangatlah besar.

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa layanan yang mengarahkan bisnis mereka pada konsep social commerce, sebut saja Woobiz, TapTalk.io, dan layanan baru Storie.

Memanfaatkan momentum

Pandemi Covid-19 yang saat ini membatasi ruang gerak dan aktivitas di tempat publik turut mendorong pergeseran kebiasaan masyarakat dalam berbelanja. Meskipun tren belanja online sudah marak dilakukan sejak akses internet semakin mudah, pandemi ini semakin mendorong tren konsumsi online yang sudah berjalan beberapa tahun terakhir.

Co-Founder Woobiz Putri Noor Shaqina mengakui, sejak pandemi ada dampak yang cukup signifikan dalam pertumbuhan bisnis. “Kami melihat peningkatan rata-rata trannsaksi mitra lebih dari 30% setiap bulannya sejak pandemi,” ujarnya.

Menurut laporan Comscore bertajuk “COVID-19 and its impact on Digital Media Consumption in Indonesia”, beberapa fakta menarik diajukan mengenai konsumsi masyarakat atas media digital di masa pandemi.

WhatsApp, Facebook, dan Instagram merajai peringkat mobile app yang paling sering digunakan. Pembatasan interaksi sosial langsung mendorong semangat para pelaku industri untuk bisa mencari pendapatan tanpa harus melangkah ke luar rumah. Hal ini tidak lepas dari fitur-fitur di media sosial seperti “Instagram Story” yang turut membantu penjual dalam melakukan pemasaran.

Sebagai salah satu layanan yang menawarkan solusi teknologi dalam pengelolaan pesan untuk UKM, TapTalk.io, melalui representatifnya mengungkapkan, “Momentum ini telah memicu percepatan transformasi teknologi sejauh enam tahun, karena itu para pelaku industri harus bisa memanfaatkan hal ini untuk menyiapkan online presence bagi bisnisnya agar lebih mudah dijangkau oleh pelanggan.”

Saling melengkapi

Tidak dapat dipungkiri, konsep social commerce melekat erat dengan ranah e-commerce. Masih di laporan Econsultancy, pada tahun 2025, pasar e-commerce diproyeksikan akan melebihi $100 miliar per tahunnya. Hal ini turut mendongkrak popularitas social commerce.

Co-Founder Storie Rizky Kaljubi menyampaikan, “Saat ini e-commerce dan transaksi secara digital semakin familiar. Penetrasi media sosial juga semakin banyak dalam berbagai lini bisnis. Semakin banyak pelaku industri ingin memiliki penghasilan dari digital dan semakin banyak brand beralih dari tradisional menuju soft selling.

Data Comscore menunjukkan peningkatan signifikan terjadi pada industri e-commerce tanah air selama pandemi.

Mengenai peta persaingan industri social commerce dan e-commerce, pihak TapTalk.io berkomentar, “Menurut kami, social commerce tidak bersaing langsung dengan sektor e-commerce, tetapi bisa berjalan seiring dan saling melengkapi. Hal ini juga karena peran social commerce diperlukan untuk menghidupkan kembali human touch di dalam aktivitas transaksi jual beli secara digital.”

Tantangan ke depan

Meskipun banyak data yang menunjukkan tren positif, industri social commerce tidak semata-mata imun terhadap tantangan. Sebagai industri yang tergolong baru di Indonesia, masih diperlukan edukasi merata, baik ke sisi bisnis maupun konsumennya. Salah satu solusi yang ditawarkan Woobiz adalah Wooniversity, sebuah komitmen memberikan dampak nyata melalui media pelatihan dan edukasi secara langsung.

Putri menambahkan, “Banyak reseller yang masih belum nyaman memesan produk jualannya melalui platform online dan banyak juga yang tertarik tapi belum bisa berjualan [..] Kami ingin mengedukasi para mitra kami juga melatih mereka untuk dapat berjualan demi meningkatkan kemampuan ekonomi.”

TapTalk.io memiliki pandangan tersendiri. Menurut mereka, masih banyak bisnis yang mengkategorikan kanal social commerce ini sebagai third-level channel atau kanal tambahan untuk pengembangan bisnis mereka.

“Tetapi kami melihat ke depannya, channel sosial ini akan menjadi salah satu kebutuhan utama bagi bisnis untuk dapat menjangkau pelanggan, tidak hanya untuk keperluan penjualan, namun juga dukungan after sales yang lebih baik dan terintegrasi untuk para pelanggan,” ujar juru bicara TapTalk.io.

Storie App Aims to Become “Social Commerce”, Providing Honest Review of Beauty Products

The use of social media for sales has been very common in this industry. There is a term used to refer to this concept, it’s social commerce. In the past year, platforms with this concept are emerging, such as Woobiz and Chilibeli.

This is an issue that inspired several Alibaba Group UCWeb alumni consisting of Liu Feida, Rizky Maulana, and HE Yaoming to contribute to the challenges of the Indonesian beauty industry through the social commerce platform, Storie.

Regarding the potential of social commerce Rizky said, “We see that social media is driving the trend including the beauty industry. Therefore, Storie was founded by combining social media with e-commerce.”

He said that Storie’s basic idea was to invite Indonesian women to be more confident in embracing their true selves. Furthermore, a beauty app launched, offering honest reviews of makeup, skincare, and contemporary lifestyle.

In this application, users are offered honest reviews from beauty vloggers and/or the general public about makeup and skincare trends without having to fear getting “bullied” or being ridiculed by the audience. Storie wants to provide a safe place for users to express themselves and their passion in the beauty industry.

Beautytech in Indonesia

With a population of more than 130 million women, the Indonesian beauty industry is a market with many opportunities while at the same time requiring specific ways of entrance and to survive in this business. Previously, one of Indonesia’s beautytech platforms had secured new funding. This practically shows hope of technology penetration in the beauty industry.

“Indonesia is a blue ocean market for the beauty industry, we see more accessible information through digital media and channels. It’s easier for local and international products to enter the Indonesian market and form a very dynamic market where quality becomes crucial but not the only success factor for a product,” Rizky explained.

In terms of strategy, Storie intend to capture the demand and pain points in today’s society. One of them is inaccurate information and the lack of a community with a positive vibe. The company, entering one year old in May, has also launched an application for Android users with total downloads exceeding 500 thousand and around 100 thousand active users per day.

In terms of content curation, the company has dedicated two special teams, the QC (Quality Control) team and the content standardization team to set benchmarks and filter the contents on the platform. During the pandemic, there are many changes occurred in the business plan and monetization strategy, but the company tried to see this as a momentum to be able to innovate better.

Business strategy

In terms of monetization, Rizky revealed that the revenue is mostly comes from brand deals launching campaigns and products. “In the future, we will work with all brands to make their products available at Storie,” Rizky added.

In the near future, Storie will also launch a new initiative on its platform to facilitate transactions in the application and perfect its social commerce concept.

In late 2019, the company was selected as one of three Indonesian startups to participate in the second batch of Sequoia Capital’s accelerator program, Surge. Alpha JWC Ventures also participated in a seed round through this Surge program.

Entering the new normal, the company sees hope “As a dynamic company, as well as a society that is increasingly moving towards digital, the team believes there is always an opportunity to develop more.

“Covid-19 is quite inevitable and has changed how the world works also business and technology, and everything will lead to a digital platform, digitizing all lines of life. We build a company that is ready to transform to answer that challenge,” Rizky concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Modalku Is Now Available for Online Business in Social Media and Chat Messaging

Modalku developed a specific financing product targeting online entrepreneurs. Not only businesses on e-commerce platforms, but also social media and chat messaging. Previously, Modalku collaborated with e-commerce platforms such as Tokopedia, Bukalapak, Shopee, and Zilingom in channeling loans to online entrepreneurs.

As quoted from the Central Statistics Agency report “Statistics E-Commerce (2019)” last year, there are 15.08% of the total number of entrepreneurs in Indonesia were online entrepreneurs, the rest were offline entrepreneurs at 84.92%. However, during this pandemic, also stated in other reports by the Coordinating Ministry for Economic Affairs, there was an increase of over 300 thousand.

Modalku’s Co-Founder and COO Iwan Kurniawan said, in the time of pandemic more people are doing their activities through digital platforms, including buying and selling goods. The increase rate should be balanced with on-demand funding accessibility and the characteristics of online entrepreneurs.

“During this pandemic, we continue to grow [channeling financing] at more selective steps. The most commonly used digital services during Covid-19 are e-commerce, digital wallet, health, education, and transportation. We want to serve those segments that need financing,” Iwan said in an online press conference on Wednesday (29/7).

Ensuring Modalku’s strategy before introducing it to the public, the company has surveyed 200 online sellers as respondents last month. These respondents involved are 40% women and 60% men, dominated by people at the age 30-35 years (32%) and 26-29 years (27%). They are located in Jakarta, West Java, East Java and Banten.

The result shows that the online digital platform mostly used by the respondents is dominated by Shopee (77.5%) and Tokopedia (70.5%). However, in the third position is chat messaging applications such as WhatsApp and Line (62%). It is followed by Bukalapak, Facebook, Instagram, Lazada, Blibli, personal sites, JD.id, and others.

The survey also showed 70% of respondents attracted to online loans. The reason is to increase the stock of goods, try new business opportunities, do online marketing, business expansion, maintain cash flow, and other reasons.

“The result shows that every entrepreneur is at least uses three platforms for online business. It is quite difficult for this segment to get access to funding without collateral, even though they are part of the sector that drives the digital economy,” Modalku’s Digital Marketing Director, Alexander Christian said.

Modalku online pers conference today (7/29)
Modalku online pers conference today (7/29)

Loan products

In the latest product, Modalku is targeting all online entrepreneurs selling online in any channel. They can get loans without collateral up to 250 million Rupiah with a maximum tenor of 12 months. Interest charged, starting from 2% per month or 24% per year, depending on the risk profile of each seller.

In terms of submission, prospective borrowers only need a checking account for the past three months and a business owner’s ID. In addition, they are required to have been operating at least more than six months and have a business and are domiciled in Greater Jakarta, Bandung, and Surabaya.

According to Modalku’s Micro Business Project Manager Yuliana Prabandari, this method is quite effective for Modalku in ensuring all online transactions. When you join an e-commerce platform, credit scoring will be far more practical because the company can get all transaction and revenue data in the seller’s account.

“We find that even though this online seller already has a bank account, their businesses are yet to be eligible for credit from banks because they are required to have collateral. In addition, by selling stuff on many platforms, we can picture it as credit scoring,” said Yuliana.

Since three to four years ago working on online entrepreneurs, Modalku claimed to have distributed millions of loan transactions worth hundreds of billions of Rupiah. These borrowers come from various cities in Java, and outside Java, such as Medan, Batam and Makassar. This achievement is a strong foundation for the company to develop widely.

In total, from the beginning up until the first semester Modalku has disbursed loans worth more than 15 trillion Rupiah in Indonesia, Malaysia, and Singapore. The number of transactions reaches more than 2.5 million loans. The increase is quite significant compared to last December at 11 trillion Rupiah.

“We are financing a lot of sectors that grew green during the pandemic, such as health, ICT, e-commerce, and FMCG. This form of financing is divided into supply chain financing, BPJS invoice financing, and employee capital,” Iwan concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Modalku Kini Biayai Pengusaha Online di Media Sosial dan Chat Messaging

Modalku mengembangkan produk pembiayaan yang khusus menyasar pengusaha online. Tidak hanya yang berjualan di platform e-commerce saja, tapi juga media sosial dan chat messaging. Sebelumnya, Modalku bekerja sama dengan platform e-commerce seperti Tokopedia, Bukalapak, Shopee, dan Zilingom dalam menyalurkan pinjaman kepada pengusaha online yang tergabung di sana.

Mengutip dari hasil laporan Badan Pusat Statistik “Statistik E-Commerce (2019)” mengungkapkan pada tahun lalu, sebanyak 15,08% dari jumlah pengusaha di Indonesia adalah pengusaha online, sisanya adalah pengusaha offline sebanyak 84,92%. Namun akibat dari pandemi ini, mengutip dari hasil laporan lainnya yang diungkap Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, tercatat ada peningkatan hingga lebih dari 300 ribu.

Co-Founder dan COO Modalku Iwan Kurniawan mengatakan, pada kondisi pandemi semakin banyak masyarakat yang melakukan aktivitasnya melalui platform digital, termasuk transaksi jual beli barang. Kenaikan ini perlu diimbangi dengan ketersediaan akses pendanaan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik pengusaha online.

“Selama pandemi ini kami tetap tumbuh [penyaluran pembiayaan] dengan langkah yang lebih selektif. Layanan digital yang paling sering digunakan selama Covid-19 adalah e-commerce, dompet digital, kesehatan, pendidikan, dan transporasi. Kami ingin melayani segmen-segmen tersebut yang membutuhkan pembiayaan,” kata Iwan dalam konferensi pers online, Rabu (29/7).

Untuk memantapkan strategi Modalku sebelum memperkenalkan produk ini ke publik, perusahaan melakukan survei kepada 200 penjual online sebagai responden pada akhir bulan lalu. Responden ini terdiri dari perempuan 40% dan laki-laki 60%, didominasi usia 30-35 tahun (32%) dan 26-29 tahun (27%). Mereka tersebar di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Banten.

Hasilnya menunjukkan platform digital yang digunakan untuk berjualan online didominasi oleh Shopee (77,5%) dan Tokopedia (70,5%). Menariknya, posisi ketiga adalah aplikasi chat messaging seperti WhatsApp dan Line (62%). Selanjutnya disusul oleh Bukalapak, Facebook, Instagram, Lazada, Blibli, situs pribadi, JD.id, dan lainnya.

Survei tersebut juga memperlihatkan 70% responden merasa tertarik pada pinjaman online. Alasan dari mereka adalah untuk meningkatkan stok barang, mencoba peluang usaha baru, melakukan pemasaran online, ekspansi bisnis, menjaga arus kas, dan alasan lainnya.

“Setidaknya dari hasil survei ini memperlihatkan bahwa setidaknya setiap pengusaha menggunakan tiga platform saat berjualan online. Seringkali segmen ini terkendala mendapatkan akses pendanaan karena tidak punya agunan, padahal mereka adalah bagian dari sektor yang menggerakkan ekonomi digital,” ujar Digital Marketing Director Modalku Alexander Christian.

Konferensi pers online Modalku yang digelar hari ini (29/7)
Konferensi pers online Modalku yang digelar hari ini (29/7)

Produk pinjaman

Dalam produk teranyar ini, Modalku menyasar semua pengusaha online yang berjualan di semua kanal online. Mereka bisa mendapatkan pinjaman tanpa agunan hingga 250 juta Rupiah dengan tenor maksimal 12 bulan. Bunga yang dikenakan, dimulai dari 2% per bulan atau 24% per tahun, tergantung dari profil risiko masing-masing penjual.

Untuk pengajuannya, calon peminjam hanya memerlukan rekening koran tiga bulan terakhir dan KTP pemilik usaha. Selain itu, mereka diharuskan minimal sudah menjalankan usahanya lebih dari enam bulan dan memiliki bisnis dan berdomisili di Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya.

Menurut Project Manager Micro Business Modalku Yuliana Prabandari, dengan cara ini cukup efektif buat pihak Modalku dalam memastikan seluruh transaksi yang terjadi secara online. Bila sudah bergabung dengan platform e-commerce, skoring kreditnya akan jauh lebih praktis karena perusahaan bisa mendapat seluruh data transaksi dan pendapatan dalam akun penjual tersebut.

“Kami melihat meski penjual online ini sudah memiliki rekening bank, tapi usaha mereka belum layak mendapat kredit dari bank karena diharuskan memiliki agunan. Di samping itu, dengan berjualan di banyak platform, kita bisa melihat banyak gambaran untuk skoring kreditnya,” kata Yuliana.

Sejak tiga sampai empat tahun lalu menggarap pengusaha online, pihak Modalku mengaku telah menyalurkan jutaan transaksi pinjaman senilai ratusan miliar Rupiah. Para borrower ini berasal dari beragam kota di dalam Pulau Jawa, dan di luar Jawa, seperti Medan, Batam, dan Makassar. Pencapaian ini menjadi landasan kuat perusahaan untuk mengembangkan secara luas.

Secara total, dari awal berdiri hingga semester pertama Modalku telah menyalurkan pinjaman senilai lebih dari 15 triliun Rupiah di Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Jumlah transaksinya mencapai lebih dari 2,5 juta pinjaman. Kenaikan ini cukup drastis dibandingkan pada Desember tahun lalu sebesar 11 triliun Rupiah.

“Kami banyak membiayai sektor-sektor yang tumbuh hijau saat pandemi, seperti kesehatan, ICT, e-commerce, dan FMCG. Bentuk pembiayaan itu terbagi jadi pembiayaan supply chain, invoice financing BPJS, dan modal karyawan,” tutup Iwan.

Application Information Will Show Up Here

Aplikasi Storie Suguhkan Ulasan Jujur tentang Produk Kecantikan, Berambisi Jadi “Social Commerce”

Pemanfaatan media sosial untuk kepentingan penjualan sebenarnya sudah menjadi hal yang lazim. Ada istilah yang lebih sering digunakan untuk menyebut konsep ini, yakni social commerce. Dalam setahun terakhir, platform yang mengusung konsep tersebut mulai banyak bermunculan, sebut saja Woobiz dan Chilibeli.

Hal tersebut dilihat oleh beberapa alumni UCWeb Alibaba Group yang terdiri dari Liu Feida, Rizky Maulana, dan HE Yaoming sebagai sebuah kesempatan, untuk bisa berkontribusi dalam menjawab tantangan dunia kecantikan Indonesia melalui platform social commerce Storie.

Mengenai potensi social commerce Rizky menyampaikan, “Kami melihat media sosial telah menjadi alat penggerak tren termasuk dunia kecantikan. Oleh karena itu Storie kami dirikan, dengan mengombinasikan antara media sosial dengan e-commerce.”

Pihaknya mengungkapkan bahwa ide dasar Storie adalah untuk mengajak perempuan Indonesia lebih percaya diri dalam menilai diri mereka masing-masing. Dari situ, lalu diluncurkan sebuah aplikasi kecantikan yang menjunjung tinggi kejujuran membahas makeup, skincare, dan lifestyle kekinian.

Dalam aplikasi ini, pengguna ditawarkan review jujur dari para beauty vlogger dan atau masyarakat pada umumnya tentang tren makeup dan skincare tanpa harus takut mendapatkan “bully” atau cemooh oleh audiens. Storie ingin menyediakan tempat yang aman untuk pengguna mengekspresikan diri dan passionnya di dunia kecantikan.

Beautytech di Indonesia

Dengan jumlah populasi perempuan lebih dari 130 juta, industri kecantikan di Indonesia adalah sebuah market yang menjanjikan banyak kesempatan sekaligus membutuhkan cara yang tepat sasaran untuk bisa masuk serta bertahan dalam bisnis ini. Sebelumnya, salah satu platform beautytech Indonesia juga baru saja mendapatkan pendanaan. Hal ini menunjukkan adanya harapan pada penetrasi teknologi di dunia kecantikan.

“Indonesia is a blue ocean market for beauty industry, kami melihat dengan semakin mudahnya akses informasi melalui media dan kanal digital. Semakin mudahnya produk lokal dan juga internasional memasuki pasar Indonesia membentuk suatu pasar yang sangat dinamis dimana kualitas dan mutu dari sebuah produk akan sangat menentukan tapi tidak menjadi satu satunya faktor keberhasilan sebuah produk,” jelas Rizky.

Dari sisi strategi, Storie mencoba menangkap keinginan dan pain point yang di hadapi masyarakat saat ini. Salah satunya adalah informasi yang kurang akurat serta kurangnya komunitas yang membawa vibe positif. Perusahaan yang genap berusia satu tahun pada bulan Mei kemarin ini juga telah meluncurkan aplikasi untuk pengguna Android dengan total unduhan melebihi 500 ribu serta pengguna aktif sekitar 100 ribu per hari.

Dari sisi kurasi konten, pihaknya menyebutkan telah mendedikasikan dua tim khusus, yaitu tim QC (Quality Control) serta tim standardisasi konten untuk menetapkan benchmark dan menyaring konten-konten yang ada dalam platform. Selama pandemi ini, diakui ada banyak perubahan yang terjadi dalam rencana bisnis dan strategi monetisasi, namun perusahaan mencoba melihat hal ini sebagai sebuah momentum untuk bisa berinovasi lebih baik.

Rencana bisnis

Dalam monetisasi bisnis, Rizky menyimpulkan bahwa selama ini revenue datang dari brand deals yang ingin meluncurkan campaign maupun launching produk. “Ke depannya kami akan berkerja sama dengan semua brand agar produknya dapat di jual di Storie,” Rizky menambahkan.

Dalam waktu dekat, Storie juga akan meluncurkan inisiatif terbaru dalam platformnya untuk mempermudah transaksi dalam aplikasi serta menyempurnakan konsep social commerce miliknya.

Di akhir tahun 2019 lalu, perusahaan ini terpilih menjadi salah satu dari tiga startup Indonesia untuk mengikuti program akselerator Sequoia Capital, Surge batch kedua. Alpha JWC Ventures juga turut berpartisipasi dalam seed round bersama melalui program Surge ini.

Memasuki tatanan new normal perusahaan melihat adanya harapan” Sebagai perusahaan yang dinamis, serta masyarakat yang semakin bergerak ke arah digital, pihaknya meyakini adanya kesempatan untuk bisa semakin berkembang.

“Tidak dapat dimungkiri Covid-19 telah mengubah tatanan dunia dan bisnis serta teknologi, dan semua akan mengarah ke platform digital, digitalisasi semua lini kehidupan. Dan kami adalah perusahaan yang siap bertransformasi menjawab tantangan itu,” tutup Rizky.

Application Information Will Show Up Here

SYCA Official Secures Seed Funding from Salt Ventures, Working on the Direct to Consumer Strategy

Utilizing social media and beauty products that are currently increasingly popular with young women in Indonesia, SYCA Official is here to offer lip tint beauty products. SYCA Official’s Co-founder, Pamela Wirjadinata said, judging from the current trends and developments in the industry, it was the right time for her with the other co-founder, Monica Tan to present a special platform for beauty products online.

“Starting with Japan in 2019, I saw many local brands with their own independent shops, especially in the beauty section. Next, Monica and I saw many opportunities to take the business in Indonesia. We feel everyone started to gain trust in beauty brands in Indonesia,” Pamela said.

Using social media accounts and marketplace services, SYCA Official wants to give options to its target users to enjoy local beauty products with quality at affordable prices. SYCA also tries to present natural products that refer to beauty trends from South Korea.

Direct to consumer business model

With the direct-to-consumer (DTC) concept, SYCA Official claims to have around 10 thousand customers who transact using marketplace services such as Shopee, Tokopedia, Sociolla, Female Daily, and Love and Flair.

Currently, the company is preparing a website that can later be accessed by customers. In terms of approach, Pamela said the strategic step became more ideal and in accordance with their concept of selling directly to the target market (DTC). The company is also trying to focus on retail and how to get the best profit margins while at the same time gaining wider brand awareness.

“This year, we target to launch a website. In accordance with the plan, within the next 1-2 months, we will release it. In terms of application, we’ll see in the future,” Pamela said.

Although they did not experience any significant changes or impacts during the Covid-19 deployment, because what they did from the beginning was online; but in terms of production of goods, Pamela mentioned having experienced problems in the matter of production because the factory could not operate normally. The delivery of goods also briefly interrupted.

“To date, we’ve sold around 17 thousand products with an average of 2000 units per month since the launch of SYCA Official. For partners, we’ve collaborated with two partners which products we bought,” Pamela said.

Backed by Salt Ventures

As a startup that offers a “new economy” approach, SYCA Official is one of the portfolios owned by Salt Ventures, which so far has invested quite a lot in new startups that offer similar business models. After securing the seed funding, with undisclosed value, SYCA Official has several business plans.

“We raised our pre-seed funding in February 2020. Next, we want to expand our line product, which is certainly in line with this marketing and brand awareness strategy with this first funding. We really hope it will help us to grow bigger and better with Salt Ventures as our partner,” Pamela said.

There are several reasons why Salt Ventures is interested in investing in startups that target beauty products and fully utilize online channels. Salt Ventures Indonesia’s Managing Partner, Danny Sutradewa mentioned three basic things that are the focus of their investment.

“Among these are the founder’s character and ability to turn ideas into reality and to navigate businesses in a variety of circumstances. We also see the SYCA business model that uses online infrastructure to make its business scalable and focus on the right target market. SYCA currently has an online presence that “In addition, the cosmetics industry is a fast-growing industry in Indonesia,” Danny said.

In addition to SYCA Official, another portfolio owned by Salt Ventures that has run a business with a similar concept but with a different product is Sneakershoot.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kantongi Pendanaan Awal dari Salt Ventures, SYCA Official Makin Mantap Perdalam Strategi “Direct-to-Consumer”

Memanfaatkan media sosial dan produk kecantikan yang saat ini makin populer di kalangan perempuan muda di Indonesia, SYCA Official hadir menawarkan produk kecantikan yaitu lip tint. Kepada DailySocial Co-founder SYCA Official Pamela Wirjadinata mengungkapkan, dilihat dari tren dan perkembangan industri keantikan saat ini, menjadi waktu yang tepat baginya bersama dengan co-founder lainnya yaitu Monica Tan untuk menghadirkan platform khusus untuk produk kecantikan secara online.

“Berawal dari inspirasi ke Jepang tahun 2019, saya melihat di sana banyak local brand yang punya independent shop sendiri, terutama di beauty section. Selanjutnya saya bersama Monica melihat banyak kesempatan yang bisa diambil untuk mengembangkan bisnis tersebut di Indonesia. We feel everyone mulai gain trust kepada beauty brand di Indonesia,” kata Pamela.

Memanfaatkan akun media sosial dan layanan marketplace, SYCA Official ingin memberikan pilihan lebih kepada target penggunanya untuk menikmati produk kecantikan lokal dengan kualitas dan harga yang terjangkau. SYCA juga mencoba untuk menghadirkan produk yang natural mengacu kepada tren kecantikan dari Korea Selatan.

Model bisnis direct-to-consumer

Mengusung konsep direct-to-consumer (DTC) saat ini SYCA Official mengklaim telah memiliki sekitar 10 ribu pelanggan yang melakukan transaksi memanfaatkan layanan marketplace seperti Shopee, Tokopedia, Sociolla, Female Daily, dan Love and Flair.

Untuk saat ini perusahaan tengah mempersiapkan website yang nantinya bisa diakses oleh pelanggan. Disinggung mengapa pendekatan tersebut yang diambil oleh mereka, menurut Pamela langkah strategis tersebut menjadi lebih ideal dan sesuai dengan konsep mereka yaitu menjual langsung ke target pasar (DTC). Perusahaan juga mencoba untuk fokus kepada ritel dan bagaimana nantinya bisa mendapatkan profit margin yang terbaik sekaligus mendapatkan brand awareness yang lebih luas lagi.

“Tahun ini kita memiliki target untuk bisa meluncurkan website. Jika sesuai dengan rencana dalam waktu 1-2 bulan ke depan akan kita rilis. Untuk aplikasi masih melihat kondisi ke depannya,” kata Pamela.

Meskipun tidak mengalami perubahan atau dampak yang signifikan selama penyebaran Covid-19, karena yang mereka lakukan sejak awal adalah secara online; namun dari sisi produksi barang, Pamela menyebutkan sempat mengalami kendala dalam soal produksi karena pabrik tidak bisa beroperasi secara normal. Pengiriman barang juga sempat terganggu.

“Sejauh ini kita telah menjual sekitar 17 ribu produk dengan rata-rata 2000 unit per bulannya sejak diluncurkannya SYCA Official. Untuk mitra kami menjalin dengan dua mitra yang semua produknya kami beli putus dari mereka,” kata Pamela.

Didukung oleh Salt Ventures

Sebagai startup yang menawarkan pendekatan “new economy”, SYCA Official merupakan salah satu portofolio milik Salt Ventures, yang selama ini cukup banyak berinvestasi kepada startup baru yang menawarkan model bisnis serupa. Setelah mengantongi pendanaan awal nominal yang tidak disebutkan, SYCA Official memiliki beberapa rencana bisnis.

We raised our pre-seed funding bulan Februari 2020 lalu. Selanjutnya kami ingin melakukan ekspansi produk line, yang tentunya in line with marketing and brand awareness strategy dengan pendanaan pertama ini. We really hope it will help us to grow bigger and better with Salt Ventures as our partner,” kata Pamela.

Ada beberapa alasan mengapa Salt Ventures tertarik untuk berinvestasi kepada startup yang menyasar kepada produk kecantikan dan sepenuhnya memanfaatkan channel online. Menurut Managing Partner Salt Ventures Indonesia Danny Sutradewa, terdapat 3 hal mendasar yang menjadi fokus investasi mereka.

“Di antaranya adalah karakter dan kemampuan pendiri untuk menjalankan ide menjadi kenyataan dan untuk menavigasi bisnis dalam berbagai keadaan. Kami juga melihat model bisnis SYCA yang menggunakan infrastruktur online untuk membuat bisnisnya scalable dan fokus pada target pasar yang tepat. SYCA saat ini memiliki kehadiran online yang kuat. Selain itu industri kosmetik adalah industri yang berkembang pesat di Indonesia,” kata Danny.

Selain SYCA Official, portofolio milik Salt Ventures lainnya yang telah menjalankan bisnis dengan konsep serupa namun dengan produk yang berbeda adalah Sneakershoot.

Mengenal TapTalk.io, Mudahkan UKM Kelola Pesan dari Berbagai Aplikasi

TapTalk.io mulai peruntungan di industri SaaS di Indonesia dengan mengusung dua produk andalan mereka, yakni PowerTalk sebagai sebuah Chat SDK dan OneTalk sebagai platform OmniChannel Customer Engagement. Mereka secara spesifik menyasar para bisnis dan UKM yang membutuhkan sebuah alat untuk meningkatkan pengalaman pengguna, terutama dalam hal layanan pelanggan.

TapTalk.io sendiri mulai dikembangkan sejak tahun 2017 oleh Ritchie Nathaniel, salah satu developer yang sudah 10 tahun berkecimpung di dunia startup. Ia juga pernah bergabung dengan Traveloka, Weekend Inc, Moselo, dan pada akhirnya memutuskan untuk mengembangkan TapTalk.io.

Kepada DailySocial Founder & CEO TapTalk.io Ritchie Nathaniel menceritakan bahwa sejauh ini platform OneTalk sudah bisa mengintegrasikan beberapa aplikasi chat seperti WhatsApp, Telegram, LINE, Facebook Massenger, dan Twitter DM ke dalam dasbor terpusat.

Tak hanya it, dasbor OneTalk juga memiliki beberapa fitur untuk mengelola agen customer service, lengkap dengan fitur rating bagi pengguna yang ingin memberikan penilaian terhadap kinerja customer service yang melayani mereka.

“TapTalk.io berkomitmen untuk membangun platform omni-channel terbaik yang terhubung dengan berbagai kanal sosial dan memiliki fitur integrasi dengan third party seperti CRM, chatbot, dan internet automation; juga mengembangkan Inbox yang sangat powerful untuk membantu bisnis dalam melayani customer,” terang Ritchie.

Solusi chat di Indonesia dan ambisi TapTalk.io

Di Indonesia saat ini sosial media menjadi salah satu tulang punggung kanal penjualan bagi social commerce, termasuk juga aplikasi pesan instan atau chat. Tak hanya untuk media promosi layanan, pesan instan juga mulai lazim digunakan sebagai kanal pelayanan pelanggan.

Inovasinya pun sudah semakin beragam. Ada yang mengombinasikan layanan pesan instan dengan teknologi NLP dan AI sehingga hadir chatbot. Ada juga yang membangun sebuah platform integrasi sehingga memudahkan pengelolaan seperti yang dilakukan TapTalk.io dengan OneTalk. Beberapa nama yang melakukan inovasi terkait dengan layanan pesan instan antara lain Kata.ai, Vutura, Botika, Qisqus, Halosis, Balesin, TokoTalk, dan lain-lainnya.