Tekad Ghufron Mustaqim Besarkan Belanja Ritel di Daerah Melalui Evermos

Perkenalan Ghufron Mustaqim dengan Lingga Madu yang merintis Salestock pada akhir 2014, berhasil ‘menjerumuskan’ dirinya lebih jauh ke dalam dunia startup. Tertarik dengan e-commerce dan berbagai tantangan di dalamnya, Ghufron bersama tiga kawannya (Arip Tirta, Iqbal Muslimin, dan Ilham Taufiq) merintis Evermos (Everyday Need for Every Moslem) pada 2018.

Evermos adalah startup pertama yang ia pimpin sebagai CEO sejak 2020, menggantikan Iqbal Muslimin. Ia tertantang untuk berkarier sebagai wirausaha karena proses jatuh bangunnya yang ‘seru’. Membuat suatu produk yang bernilai dan bermanfaat bagi hajat hidup orang banyak menurutnya adalah puncak kenikmatan yang ia rasakan.

“Walau perjalanan sebagai entrepreneur itu enggak mudah, sangat banyak tantangan, tapi kalau kita dengar feedback positif dari user seperti puncaknya [kebahagiaan]. Saya pilih path ini karena seru,” ujarnya saat dihubungi DailySocial.id.

Selama terjun langsung di dunia ini, menurutnya ada dua aspek penting yang harus dimiliki oleh wirausaha. Pertama, buat produk yang bernilai tinggi. Pengguna dapat langsung merasakan masalahnya yang dialami dapat terselesaikan secara tuntas dan efisien, setelah menggunakan produk yang dibuat oleh tim.

“Kita buat produk bukan karena [punya keahlian] technical skill tertentu, lebih dari itu. Harus karena mengerti masalah di market, siapa target potensial penggunanya, pekerjaan mereka apa, dan apa solusi yang dibutuhkan agar pekerjaan pengguna cepat selesai.”

Kedua, membangun nilai bisnis secara berkelanjutan. Ini tak kalah penting, tapi seringnya banyak founder yang sadar belakangan. Banyak founder yang tahu bagaimana mencetak pendapatan dan monetisasi dari produknya. Tapi tidak banyak yang paham bahwa tak kalah perlu juga memiliki unit economics yang masuk akal dan mampu membuat sebuah produk bertahan lama.

“Ini sesuatu yang common sense, tapi enggak banyak dipraktikkan. Founder harus mengerti struktur suatu produk, lalu breakdown setiap detilnya, hingga mereka yakin bisa tetap deliver value dengan unit economics yang makes sense dan bakal long lasting.”

Para co-founder Evermos / Evermos

Semangatnya menggeluti dunia e-commerce sebenarnya dimulai dari pengalaman pribadi Ghufron di kampung halamannya di Sleman, Yogyakarta yang lebih banyak sawahnya daripada jumlah manusianya. Di sana mereka pintar dan pekerja keras, tapi karena pendidikannya terbatas, alternatif untuk lebih produktif menghasilkan pendapatan dari biasanya juga ikut terbatas.

Di sisi lain, ada banyak merek dari UMKM yang skala bisnisnya tidak berkembang pesat. Alasan utamanya karena kemampuan penetrasi pasarnya kurang bagus yang dipengaruhi oleh minimnya alokasi modal untuk memasarkannya. “Harus bangun distributor, kerja sama dengan toko, buat inventory di banyak tempat, jadinya modalnya besar. Banyak merek lokal yang akhirnya gitu-gitu aja.”

“Apa yang kita bantu adalah brand dapat melebarkan sayap dengan pasokan jaringan agen reseller yang bergabung di Evermos. Kita damping dan latih mereka agar jadi micro-entrepreneur yang berhasil.”

Ekonomi daerah

Seperti diketahui, industri e-commerce telah berdampak besar dan menarik perhatian dalam satu dekade terakhir. Namun, industri ini tetap menjadi bagian yang relatif kecil dari ekonomi Indonesia.

Mengutip dari laporan “Beyond the Digital Frontier” yang dirilis Evermos, dilihat dari “Survei Literasi Digital Indonesia”, dilakukan bersama Katadata Insight Center (KIC) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Evermos memperkirakan bahwa 49,6% dari penduduk Indonesia adalah non-user e-commerce pada 2022.

“Jika Occasional User (mereka yang menggunakan e-commerce sekali dalam beberapa bulan) ikut dihitung, maka sebanyak 66,6% dari penduduk Indonesia sebenarnya pengguna e-commerce nonaktif,” tulis laporan tersebut.

Lebih lanjut, laporan tersebut menyampaikan untuk setiap satu pengguna e-commerce aktif, ada dua orang yang belum menggunakan e-commerce secara aktif. Disparitas ini terlihat lebih mencolok di kota-kota tier bawah. Di Jawa, diprediksi sebanyak 58,9% penduduk merupakan pengguna e-commerce nonaktif, sementara di kota-kota tier 2 dan 3 angkanya lebih tinggi, yaitu 61,1%.

Tidak hanya penetrasi internet yang lebih rendah di kota tier 2 dan 3, tercatat juga kesenjangan dalam tingkat familiaritas dengan e-commerce, ketersediaan aplikasi e-commerce di smartphone, dan frekuensi penggunaan e-commerce. Akibatnya, jumlah pengguna nonaktif meningkat seiring dengan penurunan tier kota.

“Estimasi ini sejalan dengan studi KIC lainnya yang mengungkapkan bahwa Sebagian besar penjualan e-commerce berasal dari kota-kota tier 1 (56,8% pada 2022), meskipun populasi kota tier 1 hanya 11,5% dari total populasi Indonesia.”

Evermos menerbitkan laporan ini untuk mematahkan dua mitos: (a) saluran online yang telah mendominasi pasar dan menjadikan saluran offline tidak lagi relevan serta; (b) perilaku belanja konsumen dan bias yang kuat terhadap belanja online.

“Pertumbuhan e-commerce ini cepat tapi enggak cukup untuk majority consumer di Indonesia. Brand yang fokus online saja akan missing out [kesempatan ini]. Cita-cita kita bantu brand untuk capture 80%-90% konsumer di lower tier cities,” tambah Ghufron.

Perusahaan memberdayakan merek lokal untuk menjangkau potensi permintaan konsumen di kota-kota kecil melalui jaringan reseller Evermos dan membantu meningkatkan bisnis secara berkelanjutan dengan memanfaatkan platform. Melalui kemitraan ini, reseller Evermos akan memiliki akses terhadap produk-produk yang menawarkan lebih banyak keuntungan bagi konsumen, seperti harga diskon yang hanya tersedia di Evermos.

Evermos

Dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 yang tersebar sepanjang 5.100 km dari barat ke timur, keunikan geografis pasar Indonesia membuat ekspansi nasional menjadi mahal dan memakan waktu, terutama di kota-kota kecil.

Sejak didirikan, Evermos berkomitmen mengurangi tantangan logistik tersebut untuk memastikan pemerataan pada seluruh rakyat Indonesia, terlepas dari letak geografisnya, tingkat pendapatan atau gender. Termasuk, membina hubungan langsung dengan brand lokal agar lebih dikenal konsumen dan menawarkan solusi komprehensif untuk kebutuhan commerce setiap brand lokal.

Dengan bergabung ke dalam ekosistem Evermos, pelaku usaha lokal dapat menjangkau 500 kota di mana 165.000 reseller beroperasi tanpa modal besar.

“Kami ingin brand UMKM bisa scale up dari sisi marketing secara lebih baik. Ini long term journey, bukan sesuatu yang mudah untuk dicapai karenanya butuh komitmen dari semua pihak.”

Dia juga memaklumi kondisi tersebut. Di satu sisi, semangat kewirausahaan reseller masih naik turun karena mindset-nya yang belum mampu tahan banting terhadap risiko gagal sebelum capai titik suksesnya. Pun dari sisi pemilik merek, mereka sendiri belum memikirkan standar operasionalnya yang efisien dan scalable. “Ada juga yang stoknya sering habis karena belum punya record stock yang baik.”

Sadar dengan tantangan tersebut, perusahaan menyiapkan tim terdedikasi penuh untuk mendampingi reseller dan merek. Disebutkan timnya telah menghabiskan ribuan jam per bulan untuk program pendampingannya.

Dari progres yang terlihat sejauh ini, ada brand yang sebelumnya mulai dari nol sekarang bisa terbantu, omzetnya naik lumayan. Ada juga reseller yang berkembang dari order dalam jumlah banyak, akhirnya bisa punya brand sendiri. “Milestone pengusaha mikro itu mulainya dari reseller. Ketika sudah yakin skala bisnisnya besar, kemudian jadi stockist, sampai akhirnya buat brand sendiri. Itu sesuatu yang bisa kita bantu.”

Kinerja perusahaan

Menurutnya, banyak yang menganggap Evermos seperti startup kebanyakan yang rajin bakar duit, mengingat mereka juga merupakan startup. Anggapan tersebut langsung dibantah. Berbagai data yang ia kutip menyebutkan bahwa faktanya unit economics di daerah tumbuh jauh lebih tinggi daripada kota utama. Banyak orang yang tidak menyadari hal tersebut.

Alasannya, tak lain karena mayoritas transaksi ritel di daerah masih terjadi secara offline. Semakin pelosok maka semakin tinggi transaksi offline-nya. Diklaim selama pandemi, Evermos catatkan pertumbuhan 17 kali lipat dari top-line. Dari sisi bottom-line juga disampaikan semakin dekat dengan laba. Berdasarkan data terakhir yang diungkap perusahaan, pertumbuhan GMV mencapai 17 kali lipat dari 2020 sampai 2022.

Ghufron menuturkan, sedari awal perusahaan selalu memantapkan prinsipnya untuk menjaga pertumbuhan berkelanjutan. Jadi perbandingan antar bulan, maupun tahunan harus selalu dijaga sisi top-line-nya. Di saat yang bersamaan juga harus menjaga dampak yang senantiasa tersalurkan.

“Kita ini balance antara growth dan profit, jadi agak fleksibel tergantung timing-nya, enggak harus sekarang. Mau lama atau tidak kita capai profit, itu sudah dalam setting-an kita, bukan karena model bisnis ini enggak sukses berjalan,” pungkasnya.

Total reseller evermos disebutkan saat ini mencapai 165 ribu orang, sekitar 70% di dalamnya adalah ibu rumah tangga. Kategori produk yang paling banyak terjual di Evermos adalah perabotan rumah tangga, kecantikan, obat herbal, dan sebagainya.

Application Information Will Show Up Here

The Evolution and Regulation of Social Commerce in Indonesia: The TikTok Shop Ban

The digital revolution has reshaped the way we shop, with e-commerce and social commerce taking center stage. Indonesia, with its burgeoning online population and rapid digitalization, has emerged as a hotspot for e-commerce growth. In particular, the rise of social commerce, epitomized by platforms like TikTok Shop, has been a game-changer in the Indonesian market.

However, recent regulatory developments have cast a shadow over this thriving sector. In this article, we will delve into the growth of e-commerce and social commerce in Indonesia, the prominence of TikTok Shop, and the implications of the ban regulation on this innovative marketplace.

The explosive growth of e-commerce and social commerce

Source: We Are Social

According to We are Social (January 2023), Indonesia boasts a total population of 276.4 million, with a significant digital presence as 77% of its populace, totaling 212.9 million individuals, are internet users. Among these, a remarkable 60.4% or 167 million people are active on social media platforms. What’s striking is the level of engagement, with the average Indonesian spending an impressive 3 hours and 18 minutes per day on social media through various devices. These statistics underscore the nation’s substantial online presence and its robust social media culture, making it a key player in the digital landscape.

E-commerce in Indonesia

Indonesia’s e-commerce landscape is on a meteoric rise. According to predictions by experts, the Gross Merchandise Value (GMV) of the e-commerce industry in Indonesia is set to soar to $104 billion by 2025. This growth is fueled by a staggering 158.6 million e-commerce users, representing 57.9% of the total population, as per the Social Commerce Report 2022 by DSInnovate.

Social Commerce in Indonesia

With 60.4% of the population being active on social media platforms, this colossal user base has provided fertile ground for the emergence of social commerce, where buyers and sellers can interact freely and transact directly on social media platforms. This novel approach to shopping has attracted a massive following, with social commerce transactions contributing approximately $3 billion to Indonesia’s total of $8 billion GMV in 2020, as stated by Digitalpreneur Diatce G. Harahap , as stated by the Digitalpreneur Diatce G. Harahap on the Spire Insights article by technobusiness.id.

E-commerce vs Social Commerce

In line with a report titled “E-commerce in Southeast Asia 2023” released by Momentum, the cumulative sales value of TikTok Shop in 2022 did not achieve the top spot in Indonesia. According to this data, the GMV in Indonesia, encompassing six e-commerce platforms, reached USD 51.9 billion or IDR 803.7 trillion. The report disclosed that sales on TikTok Shop only contributed to 5 percent, which equates to approximately IDR 40.1 trillion in 2022.

TikTok Shop still trails behind Shopee, which maintains a dominant position in e-commerce revenue within Indonesia. Shopee managed to amass a total revenue of 36 percent or IDR 289.3 trillion from the sale of goods. Following closely are Tokopedia, Lazada, and Bukalapak.

Interestingly, sales on TikTok are on a steady upward trajectory despite not leading the pack. Shoplus, an analytics tool for TikTok, reported an upswing in supply and demand within the TikTok e-commerce sphere during the fourth quarter of 2022. In December 2022, the number of creators on TikTok Shop surged by 92 percent in comparison to October, and during the same timeframe, e-commerce-related videos registered an impressive increase of 127 percent.

It is worth noting that the proliferation of influencer-based e-commerce activities, as per the report, played a pivotal role in broadening TikTok Shop’s content and expanding its reach. Consequently, the proportion of e-commerce influencers in total sales revenue in Indonesia has seen a substantial surge. The count of TikTok Shop influencers reached its zenith in December 2022, which subsequently sparked fierce competition in Indonesia.

In the fourth quarter of 2022, sales generated by TikTok Shop influencers constituted 34 percent of the total sales in TikTok Shop Indonesia, making Indonesia the leader among other countries. Shoplus, in general, indicated that 8.4 percent of TikTok Shop influencers accounted for a significant 86.9 percent of the market share during the same period. In Indonesia, influencers in professional services, finance and investment, fashion, vlogs, and other niches rapidly garnered followers.

To provide context, according to CNBC Indonesia, the Gross Merchandise Value (GMV) on TikTok Shop in Indonesia over the past year tallied at US$ 2.5 billion. This figure formed the majority of the total GMV in Southeast Asia, which amounted to US$ 4.4 billion. This implies that TikTok has set its sights on transactions worth over US$ 5 billion (IDR 75 trillion) in Indonesia for 2023. This information stems from credible sources familiar with the matter. On a broader scale, the GMV of TikTok Shop for all of Southeast Asia is projected to exceed US$ 15 billion, marking a remarkable triple-fold increase from the previous year.

The emphasis on Indonesia is not without reason. Insider Intelligence’s research firm reported that by Q1 2023, active TikTok users in Southeast Asia had reached a staggering 135 million, with Indonesia contributing a significant chunk, boasting 113 million users. The potential of TikTok Shop has not escaped the attention of established e-commerce giants like Shopee, Tokopedia, and Lazada, despite TikTok Shop’s relatively recent introduction to Southeast Asia in 2021.

According to a survey by Cube Asia, users’ spending habits have shifted away from platforms like Shopee and Lazada in favor of TikTok Shop. User spending on Shopee, Lazada, and offline stores in Indonesia, Thailand, and the Philippines witnessed declines of 51 percent, 45 percent, and 38 percent, respectively. Nevertheless, it’s crucial to note that Shopee still maintains a significantly higher GMV than TikTok Shop, with Shopee’s Southeast Asia GMV reaching US$ 73.5 billion in 2022, while Lazada achieved a GMV of US$ 21 billion.

The Rise of TikTok Shop

Source: Populix

Among the array of social commerce platforms in Indonesia, TikTok Shop stands out as a frontrunner. Alongside Facebook Shops and Instagram Shopping, TikTok Shop offers a unique blend of social media engagement and direct shopping. A Populix survey conducted in 2022 revealed that TikTok Shop is the preferred platform for the majority of Indonesian respondents who have shopped via social media. This thriving marketplace caters to a diverse range of products, with clothing, beauty products, food and beverages, and cellphones and accessories topping the list of items frequently purchased.

Challenges for TikTok Shop in Indonesia

Despite its rapid growth, TikTok Shop faces formidable challenges in its quest for sustained success. According to experts at Cube Asia, TikTok must operate flawlessly to achieve its GMV target of US$ 15 billion in Southeast Asia. Recent challenges include regulatory scrutiny, such as the Vietnamese government’s investigation into TikTok for disseminating negative content, and the Indonesian Ministry of Communication and Information blocking content related to “online begging.”

Jianggang Li, CEO of Momentum Works research firm, underscores that regulatory challenges aren’t confined to TikTok in the United States and Europe. TikTok must convince governments in Southeast Asia that its service benefits the local population and SMEs.

Additionally, TikTok Shop faces challenges related to product pricing and limited logistics. Products on TikTok tend to be lower-cost, leading to impulsive purchases. For pricier items like electronic devices, TikTok has yet to gain preference. Moreover, TikTok Shop relies on third-party courier services, and Indonesia’s archipelagic nature often poses logistical challenges, particularly for deliveries to remote islands.

Roshan Raj, Head of Research at Redseer, notes that customers outside Java may feel underserved by TikTok Shop, as established e-commerce platforms possess stronger internal logistics capabilities. Consequently, TikTok’s delivery ratings still trail behind those of established players.

Looming Competition

These challenges present opportunities for established players like Shopee, Tokopedia, and Lazada to solidify their positions. The Financial Times reports that Lazada, led by Jiang Fan, has secured additional funds from Alibaba to bolster its competitive strategy. Shopee, on the other hand, is anticipated to intensify competition after two consecutive profitable quarters. The e-commerce landscape in Southeast Asia, particularly in Indonesia, is set to witness intriguing developments in the coming year.

An In-Depth Look at the Ban Regulation

In an unexpected turn of events on September 25, 2023, the Indonesian government unveiled a significant policy shift by implementing a comprehensive ban on e-commerce transactions conducted through social media platforms, as outlined in Regulation of the Minister of Trade (Permendag) No. 31 of 2023. Trade Minister Zulkifli Hasan, in a statement to the press, highlighted that the primary objectives of this regulation are to foster “fair and just” business competition while also safeguarding the data protection rights of users. This multifaceted approach aims to address a variety of pressing issues affecting Indonesia’s business landscape.

Impact on Local Business

One prominent concern that led to this ban was the adverse impact of social media-based e-commerce on the local small and medium-sized enterprises (SMEs). The rapid influx of imported goods, particularly from China, through platforms like TikTok Shop disrupted the equilibrium of the market. Traders in Tanah Abang, Southeast Asia’s largest wholesale center, voiced their grievances, reporting a staggering profit loss of over 50 percent due to their inability to compete with imported products offered at significantly lower prices on TikTok Shop.

In a recent interview with Temmy Satya Permana at tvOneNews, Assistant Deputy of Financing and Investment for Small and Medium Enterprises (SMEs) at the Ministry of Cooperatives and SMEs in Indonesia, it was revealed that Indonesia ranks as the world’s second-largest TikTok user base, with users spending an average of 3.5 hours per day on the platform. TikTok had already become a widespread habit among Indonesians even before it received official permission in May 2023. Surprisingly, he added that within just one year, TikTok’s revenue matched that of Alibaba’s 10-year earnings in China. However, concerns about pricing have emerged, as some items, such as shoes and hijabs, were sold at extremely low prices, with a majority being imports. The World Economic Forum reported that Indonesia is the largest buyer of hijabs globally, with 75% of these products being imported.

Impact on Offline Business

Moreover, the “live” feature on TikTok, enabling individuals to directly sell goods, was deemed detrimental to local MSMEs that predominantly operate offline. Iyal Suryadi, a textile seller, expressed frustration over the situation, highlighting that the prices of items sold on TikTok Shop “do not make sense.” This is because goods are sold directly to consumers at factory prices, bypassing distributors or resellers, disrupting the traditional business model.

Misuse of Personal Data

Another factor that drove the Indonesian government’s decision to prohibit e-commerce transactions via social media channels, including TikTok Shop, was the need to prevent the misuse of personal data. Trade Minister Zulkifli Hasan (often referred to as Zulhas) shed light on the necessity of this move, emphasizing the clear distinction between social media and social commerce. He asserted that social commerce should serve as a platform for promoting and directly selling goods and services, separate from the broader realm of social media.

The amalgamation of social media and social commerce raised concerns about a potential monopoly over algorithms, which could be exploited to misuse consumer personal data for business purposes. Minister Zulhas underlined the importance of segregating these realms to prevent such misuse. By implementing the ban, the Indonesian government sought to maintain a clear boundary between the two and safeguard the integrity of consumer data.

No PMSE Permit

Furthermore, another significant reason for TikTok Shop’s closure was the absence of a necessary Trading Through Electronic Systems (PMSE) license. TikTok, despite being a widely used social media platform in Indonesia, was registered as an Electronic System Provider (PSE) with the Ministry of Communication and Information Technology (Kominfo). However, it lacked the requisite PMSE license, a critical permit for conducting e-commerce transactions through electronic devices or procedures.

The distinction between PSE and PMSE licenses is essential. PSE licenses encompass the use of electronic systems for both public and non-public services by state administrators, individuals, businesses, and the general public. In contrast, PMSE licenses are specifically tailored for online trading activities carried out through electronic means, essentially enabling companies to engage in e-commerce.

Tragically, TikTok Shop’s absence of a PMSE license rendered it incapable of facilitating direct buying and selling transactions on the TikTok platform. In light of these regulatory and compliance issues, the Indonesian government’s decision to ban TikTok Shop aligns with its commitment to upholding legal and data protection standards while fostering a fair and competitive business environment within the country.

Impact on Merchants and Affiliates

Unsurprisingly, this ban has sparked mixed reactions among stakeholders. TikTok Indonesia expressed its commitment to adhering to the new regulations while highlighting concerns for the millions of local sellers and creator affiliates who rely on TikTok Shop for their livelihoods. The platform reportedly said that it has received complaints from local sellers and has sought clarification from authorities regarding the ban’s implementation.

Proponents of the TikTok Shop ban argue that it levels the playing field for traditional merchants and curtails the onslaught of online businesses that undercut prices. Market Promotion Manager Herry Supriatna from Tanah Abang Market welcomed the ban, foreseeing healthier price competition and the potential for increased turnover for traditional traders.

Similarly, textile seller Iyal Suryadi and seller Mr. Raden from Tanah Abang Market have welcomed the move, emphasizing the adverse impact of cheap online prices on their businesses. They propose restrictions on the sale of items through social media rather than an outright ban to accommodate those who have adopted TikTok Shop as a selling channel.

Conversely, some argue that TikTok Shop has been a lifeline for businesses, especially during the challenges posed by the COVID-19 pandemic. Sellers like Fahmi Ridho believe that online platforms offer a way for stores to recover and adapt in a changing landscape.

Andre Oktavianus, a children’s clothing business owner, credits TikTok Shop for a dramatic increase in income and nationwide reach. He highlights how the platform’s social media features enable improved product quality and consumer engagement.

Content creator Wenny Wijaya echoes this sentiment, stating that TikTok Shop has provided her with an opportunity to increase her income, transcending her role as a housewife.

Public Dilemma on the TikTok Shop Ban

During a recent interview with Raymond Chin at tvOneNews, a business consultant, several critical points regarding the state of TikTok Shop and its impact on the Indonesian market were discussed. Chin highlighted the remarkable strength of China’s manufacturing capabilities and supply chains, which have allowed products imported from China to flood the Indonesian market at exceptionally low prices. This phenomenon has raised concerns of predatory pricing, as local businesses in Indonesia struggle to compete with the cost-effective manufacturing power of China.

Despite TikTok Shop achieving a Gross Merchandise Value (GMV) of 2.5 billion dollars last year, it still lags far behind other e-commerce giants with GMVs of around 50 billion dollars. However, Chin predicts a significant upswing in TikTok Shop’s performance, potentially growing four to five times its current value in the coming year.

The dilemma lies in balancing the desire for consumers to access affordable and high-quality products with the need to create a fair competitive landscape for local Small and Medium-sized Enterprises (SMEs). Chin emphasized the pivotal role that SMEs play as the backbone of the Indonesian economy and suggested that policies and regulations should be put in place to support their growth and competitiveness.

On a more positive note, Chin acknowledged the positive impacts of TikTok Shop, which has emerged as a new marketing platform. This development has led to the rise of content creators and local sellers, with some indigenous brands achieving remarkable success, with up to 80-90% of their sales coming from TikTok.

In conclusion, Chin believes that social commerce, exemplified by TikTok Shop, represents an innovative frontier in the market. Rather than advocating for its closure, he suggests that the platform should be subject to proper regulation to ensure fair competition and equal opportunities for all players in the market.

In conclusion

The ban on e-commerce transactions through social media platforms, particularly affecting TikTok Shop, represents a significant regulatory shift in Indonesia. As the first Southeast Asian country to implement such a ban, Indonesia’s decision has sparked debates and discussions among stakeholders. While the ban aims to protect traditional businesses and curb predatory pricing, it also disrupts the livelihoods of millions of sellers and creator affiliates who rely on TikTok Shop.

The long-term impact of this ban remains uncertain. Some argue that it will drive businesses back to established e-commerce platforms like Shopee, Lazada, and Tokopedia, which offer more trusted options for online purchases. Meanwhile, others contend that the ban may stifle innovation and economic growth by limiting opportunities for small entrepreneurs and content creators.

In this ever-evolving landscape, Indonesia’s approach to regulating social commerce will continue to shape the future of e-commerce in the country and serve as a case study for other nations grappling with similar challenges.

How Orderfaz can help enable Social Commerce on TikTok

As TikTok continues to evolve as a platform for social commerce, with features like FYP, Live Stream, and TikTok Ads, Orderfaz emerges as a compelling solution for Tiktok Shop Merchants. Our platform offers a range of features designed to empower users and enhance their success in the realm of social commerce:

  1. Checkout Link; Every product listed by our users is equipped with a unique checkout link. This checkout link can be seamlessly integrated into livestreams or advertisements, enabling customers to complete their purchases with a single click. This technology streamlines the shopping experience, as buyers only need to fill out their information the first time they use an Orderfaz link.
  2. WhatsApp Keyboard; For sellers who prefer to finalize transactions through WhatsApp, our platform provides a smart keyboard compatible with both Android and iOS devices. This keyboard simplifies the customer service process, offering features such as AutoText, Send Checkout Link, Send Invoice, Send Shipping Rates, and Order List.
  3. Landing Page Builder; To captivate potential buyers and provide them with comprehensive information about products, Orderfaz offers a versatile landing page builder. Sellers can create customized landing pages to showcase their products, explain their unique features, usage instructions, and the positive impact their products can have on customers.
  4. Storefront; Our Storefront feature empowers users to establish their own online shops effortlessly, without the need for coding skills. Sellers can share their storefront links on their social media profiles, allowing potential customers to explore their offerings. Additionally, these links can be conveniently shared via messaging apps like WhatsApp, serving as a convenient “Catalog” for potential buyers.

With these powerful features, Orderfaz is poised to transform the social commerce landscape on TikTok, enabling sellers to provide a seamless shopping experience, streamline customer interactions, and effectively showcase their products to a wider audience. Embrace Orderfaz to thrive in the dynamic world of social commerce on TikTok.

Disclosure: This writing was entirely composed by Reynaldi Gandawidjaja with minor formatting edits. The content does not necessarily reflect the views of the DailySocial.id editorial team.

Penjual di TikTok Shop: Pindah Platform Bukan Perkara Mudah

Fefenia adalah salah satu penjual aktif di TikTok Shop sejak 9 bulan terakhir. Usahanya bernama “Adinaka Store”, menjual berbagai tas anyaman (tradisional) untuk berbagai keperluan. Melalui media sosial miliknya ia bercerita, 90% dari penjualannya datang dari TikTok Shop. Usahanya jalan dibantu puluhan penganyam, 3 live streamer, dan 1 orang bagian pengemasan.

Ia mengaku, dalam beberapa minggu ini penjualannya sedang dalam fase bertumbuh setelah sempat mengalami penurunan. Begitu mendengar kabar bahwa hari ini (04/10) TikTok Shop akan menghentikan proses transaksi, ia mengaku syok dan lemas. Pasalnya Fefenia masih punya tanggungan biaya bahan, stok barang, dan gaji karyawan.

Owner Sevine.id juga bercerita hal yang sama. Dengan 143,9K followers di Tiktok, bisnis mereka termasuk moncer. Belum lama ini mereka baru menambah 20 karyawan untuk memenuhi penjualan aneka tas dan totebag yang meningkat eksponensial.

Jelas ini bukan perkara yang mudah dan terjadi tidak hanya kepada Fefenia dan Sevine.id saja. Karena banyak pedagang lain dari kalangan UMKM yang sejatinya terbantu dengan keberadaan TikTok Shop. Di samping itu, dengan tingginya minat akan TikTok Shop sebenarnya di sini juga sudah terbentuk “ekosistem bisnis” baru yang menaungi jenis pekerjaan baru seperti live streamer, reseller, content creator, agency, dan beberapa lainnya.

Cia juga menjadi salah satu yang terdampak. Usaha sampingannya sebagai affiliator TikTok Shop, membantu para pedagang mempromosikan barangnya dengan konten-konten unik di TikTok. Kendati dilakukan untuk side-income, nilai yang dihasilkan cukup lumayan baginya karena bisa menutup kebutuhan operasional rumah. Kabar penutupan TikTok Shop tentu membuatnya sedih karena harus kehilangan sumber pendapatan.

Juru bicara iDEA (Indonesian E-Commerce Association) menuturkan, pihaknya belum bisa banyak berspekulasi. Dampaknya harus dilihat dan dikaji setelah penutupan, jadi butuh waktu.

Pindah ke platform lain

Para pelaku usaha di atas sebenarnya tidak hanya menggunakan TikTok sebagai satu-satunya kanal penjualan online. Keduanya mengaku juga membuka lapak di sejumlah platform marketplace, bahkan juga pernah mencoba memanfaatkan fitur live stream yang ditawarkan di dalamnya, namun hasilnya belum optimal.

“Sebenarnya tokonya juga buka di Oren (brand marketplace lain), cuma kalo live shopping hasilnya di TikTok tuh lebih rame penjualannya. Jadi ya bisa disimpulkan kalo toko di Oren sekarang memang lagi sepi-sepinya semenjak ada Tiktok,” ujar owner Sevine.id.

Untuk pindah ke platform lain, baik Fefenia dan Sevine.id mengatakan bukan perkara mudah. Karena harus meracik ulang strategi agar bisa bersaing dengan ratusan penjual yang ada di sana. Terlebih ada perbedaan yang signifikan antara cara kerja platform live shopping yang ada di marketplace dengan yang ada di TikTok.

“Saya pernah jaya di Shopee walaupun sekarang sepi, Tokopedia dan Lazada juga jalan tapi pelan. Buat bikin yang lain segede TikTok Shop seperti sekarang ini yang menakutkan. Semoga kami para seller dikuatkan [..] Sekarang lagi memperbaiki etalase di marketplace lain yang kami punya,” ujar seller lainnya.

Tidak dimungkiri, salah satu proposisi nilai terpenting TikTok adalah pada algoritma yang diterapkan, sehingga membawa konten yang benar-benar bisa terpersonalisasi di FYP (layar utama) pengguna aplikasi. Dengan modal live stream atau konten yang tepat, siapa saja berpotensi untuk tampil di laman tersebut, termasuk bagi mereka yang belum memiliki basis followers besar sebelumya. Hal ini yang membedakan TikTok dengan media sosial lainnya.

Dalam sebuah kesempatan, juru bicara TikTok Indonesia mengatakan bahwa pihaknya akan terus berkoordinasi dengan regulator untuk menghasilkan keputusan yang baik untuk semua. Pihaknya juga berkomitmen untuk terus mendukung perkembangan UMKM melalui program pemberdayaan yang dimiliki.

Perlu mantap di satu platform

Ada beberapa hal yang membuat sebuah brand atau pedagang memilih menetap dan mendalami satu platform saja, salah satunya keterbatasan di aturan main. Ambil contoh pada ketentuan penalti yang ada di Shopee Live, salah satu aspek yang dinilai sebagai pelanggaran “sedang” adalah turut mempromosikan platform lain atau kontak lain yang mendorong transaksi di luar Shopee.

Aturan main Shopee Live

Aturan ini jelas membuat para pedagang tidak bisa melakukan live secara paralel. Pun saat membuat konten untuk promosi di platform tertentu, penempatan brand dan akun juga harus disesuaikan dengan platform masing-masing.

Kembali beradaptasi

Namun pada akhirnya semua harus kembali beradaptasi untuk tetap bisa bertahan. Seperti saat TikTok Shop pertama kali datang, lalu para seller mencoba membiasakan diri untuk memanfaatkan platform tersebut; kini mereka harus mencoba berjuang dengan semangat yang sama, untuk mencoba keberuntungan dari kanal-kanal penjualan lain.

Apa yang dilakukan pemerintah adalah penegakan aturan untuk terciptanya harmonisasi dalam iklim bisnis. Direktur Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dan Perdagangan Jasa Kementerian Perdagangan Rifan Ardianto mengatakan revisi Permendag No. 50 (yang salah satunya jadi landasan pemberhentian aktivitas TikTok Shop) ditujukan agar ekosistem bisnis digital di Indonesia lebih fair.

“Kami berupaya tidak ada bisnis yang menguasai dari hulu ke hilir. Kami berusaha membuat definisi yang clear terkait retail online, marketplace, social-commerce,” ujarnya dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan iDEA.

8 Social Commerce Indonesia yang Bisa Jadi Bernasib Sama dengan TikTok Shop

Regulasi terkait social commerce akhirnya telah diresmikan. Zulkifli Hasan, Menteri Perdagangan (Mendag), menguraikan bahwa regulasi ini dijabarkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 31 Tahun 2023 mengenai Lisensi Usaha, Iklan, Bimbingan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Bidang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

Regulasi ini adalah penyempurnaan dari Permendag Nomor 50 Tahun 2020 yang telah berlaku sebelumnya. Permendag 31 Tahun 2023 mengatur mengenai perdagangan elektronik, seperti yang saat ini dijalankan oleh TikTok Shop. Sebagai informasi tambahan, dalam Permendag Nomor 50 Tahun 2020, belum terdapat regulasi mengenai model platform social commerce.

Apa itu Social Commerce?

Social commerce adalah aktivitas menjual produk langsung melalui jaringan media sosial. Istilah ini sedikit berbeda dengan social selling atau social media marketing. Dalam social commerce, seluruh aktivitas belanja ditawarkan secara lebih mudah bagi pelanggan. Konsep ini memungkinkan pengguna untuk melakukan pembelian tanpa harus meninggalkan platform media sosial yang mereka gunakan.

TikTok Shop menjadi platform yang paling disorot selama polemik ini berkembang. Wajar, karena memang merekalah yang memiliki angka transaksi dan perputaran uang yang paling besar. Namun, sejatinya kebijakan baru tersebut akan berdampak ke beberapa platform social commerce lainnya. Nah, inilah daftar social commerce selain TikTok Shop yang kemungkinan besar akan terkena dampak.

Evermos

Nama “Evermos” adalah akronim dari “Everyday Need for Every Moslem”. Ini adalah platform berbasis website dan aplikasi yang telah berdiri sejak tahun 2018 di Bandung, hadir dengan misi untuk menyediakan fasilitas yang mendukung Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sehingga dapat bersaing dengan bisnis-bisnis besar. Evermos tidak hanya berfokus pada aspek bisnis, tetapi juga berkomitmen untuk menciptakan dampak sosial yang positif.

Berawal dari Bandung, yang dikenal sebagai “ibukota” fashion muslim di Indonesia, dan didukung oleh pengalaman para pendirinya di bidang teknologi, Evermos bermimpi untuk memberdayakan sepuluh juta perempuan Indonesia agar menjadi lebih kreatif, independen, dan mandiri dalam berusaha, sekaligus memberikan manfaat kepada sesama.

Credimart

CrediMart muncul sebagai startup social commerce inovatif yang menyediakan layanan grosir online, menawarkan aneka kebutuhan pokok mulai dari kopi, sabun, snack, alat tulis, hingga obat-obatan, yang tersedia dari potongan ke karton. Dengan komitmen untuk mengantarkan pesanan ke lokasi bisnis dalam waktu 1 x 24 jam, CrediMart berupaya memudahkan Anda, para pelaku UMKM, dalam memperoleh barang usaha dengan lebih efisien dan praktis.

Platform ini dirancang untuk mengeliminasi kebutuhan untuk bepergian mencari supplier, berbelanja, dan mengangkut barang belanjaan Anda sendiri, menjadikannya solusi sempurna untuk pemilik warung yang ingin berbelanja kebutuhan grosir dengan mudah tanpa harus meninggalkan rumah. CrediMart berfungsi sebagai penghubung antara warung-warung kecil dan supplier di sekitarnya, memungkinkan para supplier untuk dengan mudah mendapatkan pelanggan baru melalui platform ini.

Dusdusan

Masuki Tahun Ketiga, E-Commerce Pemasok Produk Rumah Tangga Dusdusan Fokus Jaring Reseller Berkualitas / Dusdusan

Dusdusan.com diklaim sebagai komunitas reseller terbesar di Indonesia, yang membidik pasar reseller kecil seperti ibu rumah tangga. Pada awalnya, Dusdusan.com berdiri pada Desember 2014 dengan model B2B yang menyasar reseller besar dan korporasi. Namun karena respon pasar yang kurang baik, Dusdusan.com tutup sementara dan kembali hadir pada Februari 2015 dengan banyak perubahan.

Saat ini, Dusdusan.com memiliki visi yakni menumbuhkan semangat usaha bagi para stokis dan reseller skala kecil. Dusdusan.com menggunakan model bisnis yang fleksibel yaitu sistem reseller dan dropship, di mana reseller tidak diberikan target, tidak ada poin yang harus dipenuhi, dan tidak perlu untuk stok barang.

Super

Aplikasi Super Nusantara Technology
Steven Wongsoredjo (tengah) dan sejumlah tim pengembang aplikasi Super / Super

Super bertujuan mewujudkan pemerataan harga sembako dan barang pokok, khususnya bagi masyarakat pedesaan. Startup yang telah memperoleh pendanaan seri C ini berupaya untuk meningkatkan akses terhadap sembako dan barang pokok, menciptakan lapangan pekerjaan, serta mempermudah alur distribusi untuk wilayah tingkat dua, tingkat tiga, juga pedesaan di Indonesia.

Aplikasi yang telah ada sejak 2018 ini telah beroperasi pada 30 kota di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Fokus daerah yang dituju saat ini oleh Super adalah daerah dengan PDB per kapita lebih rendah atau sama dengan $5.000.

Selleri

Sumber: Selleri

Selleri merupakan platform dropship atau reseller yang memberikan fasilitas bagi siapapun yang ingin berjualan online tanpa mengeluarkan modal. Di platform ini, setiap penjual akan dibuatkan website toko online dan berbagai fitur guna memperlancar kegiatan jual beli secara gratis, lho.

Tak kalah dengan platform marketplace lainnya, Selleri menyediakan banyak pilihan produk. Mulai dari produk fashion, gaya hidup, anak-anak, hingga berbagai produk kecantikan disediakan di sini. Kualitasnya terjamin, karena sudah dicek dan difoto langsung oleh tim Selleri agar siap untuk Anda jual.

Woobiz

Platform social commerce Woobiz berusaha memberdayakan perempuan Indonesia untuk meningkatkan kualitas hidup dan mandiri secara finansial
Platform social commerce Woobiz berusaha memberdayakan perempuan Indonesia untuk meningkatkan kualitas hidup dan mandiri secara finansial

Woobiz didirikan oleh Putri Noor Shaqina, Rorian Pratyaksa, Josua Sloane, dan Hendy Wijaya pada bulan Desember 2018. Platform ini menawarkan akses teknologi bagi para perempuan Indonesia untuk bisa menjadi pengusaha mikro. Salah satunya adalah menghubungkan mitra, yang kebanyakan ibu rumah tangga, dengan brand.

Dengan menjadi mitra, pengguna akan mendapatkan akses ke berbagai macam produk yang sudah dikurasi, mulai dari skincare, make-up, hijab, hingga makanan ringan. Kebanyakan produk yang ditawarkan adalah lokal, seperti Kedaung Home, Rabbani, Dear Me Beauty, Orang Tua, Kimbo, namun ada juga beberapa brand dari luar seperti Celebon, Foccalure, dan JM solution.

Berkahi

Social Commerce Berkahi
(Ki-ka) Co-founder Berkahi Rowdy Fatha, Turina Farouk, dan Andre Makmur

Berkahi didirikan oleh Rowdy Fatha, Turina Farouk, dan Andre Raditya Makmur. Ide pengembangan Berkahi telah diinkubasi sejak November 2021. Berkahi membantu pelaku usaha di tanah air untuk meningkatkan penghasilan dengan memasarkan produk lokal dan halal lewat jaringan reseller. Target pasar Berkahi adalah UMKM, terutama yang berada di area pedesaan.

Berkahi ingin berperan dalam mendorong pemerataan inklusi keuangan dan digital di Indonesia. Adapun, Berkahi juga membentuk dewan penasihat syariah untuk memastikan kegiatan bisnis Berkahi sesuai dengan nilai-nilai syariah.

Bentuk dukungan all out yang dimaksud adalah, Berkahi mendukung kegiatan usaha lewat sejumlah fasilitas, di antaranya aktivitas promosi melalui Key Opinion Leader (KOL), operasional melalui akses fulfillment (stokis) di 15 kota, dan mitra logistik.

Permendag No. 31 Tahun 2023 Batasi Peran Media Sosial dalam Transaksi dan Pembayaran

Hiruk-pikuk pelarangan TikTok Shop di Indonesia berbuntut ketok palu Permendag No. 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), yang merupakan revisi dari Permendag No. 50 Tahun 2020.

Aturan ini sekaligus memastikan media sosial hanya diperbolehkan untuk memfasilitasi promosi barang atau jasa, bukan sebagai tempat untuk melakukan transaksi jual-beli online.

Revisi aturan ini didorong oleh sejumlah faktor antara lain (1) Barang yang diperjualbelikan di platform PMSE belum memenuhi standar, (2) ada indikasi praktik perdagangan tidak sehat oleh pelaku usaha di luar negeri yang menjual dengan harga sangat murah, (3) daya saing UMKM dan produk dalam negeri masih lemah, (4) belum terwujudnya persaingan usaha dan ekosistem PMSE yang sehat, serta (5) muncul model bisnis PMSE yang berpotensi mengganggu ekosistem PMSE dengan memanfaatkan dan/atau informasi media sosial.

“Tujuannya untuk menciptakan ekosistem e-commerce yang adil, sehat, dan bermanfaat dengan memerhatikan perkembangan teknologi yang dinamis. Mendukung pemberdayaan UMKM serta pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik dalam negeri, serta meningkatkan perlindungan konsumen,” demikian dalam pernyataan tertulis oleh Kementerian Perdagangan.

Aturan social commerce

Kementerian Perdagangan merangkum beberapa poin utama yang diatur dalam Permendag No. 31 Tahun 2023, terutama pasal yang jelas mengatur tentang social commerce.

  • Pasal 1 Ayat 17 menyatakan social commerce adalah penyelenggara media sosial yang menyediakan fitur, menu, dan/atau fasilitas tertentu yang memungkinkan pedagang (merchant) dapat memasang penawaran barang dan/atau jasa.
  • Pasal 21 Ayat 2 menyatakan Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dengan model bisnis lokapasar (marketplace) dan/atau social commerce dilarang bertindak sebagai produsen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang distribusi barang.
  • Pasal 21 Ayat 3 menyatakan PPMSE dengan model bisnis social commerce dilarang memfasilitasi transaksi pembayaran pada sistem elektroniknya.
  • Pasal 13 Ayat 3 mengatur tidak adanya keterhubungan atau interkoneksi antara sistem elektronik yang digunakan sebagai sarana PMSE dengan sistem elektronik yang digunakan di luar sarana PMSE; dan tidak terjadi penyalahgunaan penguasaan data penggunanya untuk dimanfaatkan oleh PPMSE dan/atau perusahaan yang berafiliasi dalam sistem elektroniknya.
  • Pasal 19 Ayat 2 mengatur penetapan harga minimum sebesar USD100 per unit untuk barang jadi asal luar negeri yang langsung dijual oleh pedagang ke Indonesia melalui platform e-commerce.

Selain social commerce, pemerintah juga menambahkan beberapa poin aturan bagi platform e-commerce terkait transaksi jual-beli barang dari luar negeri yang mencakup:

  • Ketentuan terkait positive list atau daftar barang asal luar negeri yang diperbolehkan langsung masuk ke Indonesia melalui platform e-commerce yang memfasilitasi perdagangan lintas negara (cross border).
  • Kewajiban bagi pedagang dan platform e-commerce untuk menayangkan dan
    memperdagangkan bukti pemenuhan standardisasi barang mencakup (a) nomor pendaftaran barang/sertifikat standar nasional Indonesia/persyaratan teknis lain bagi barang dan/atau jasa yang telah diberlakukan Standar Nasional Indonesia; (b) nomor sertifikat halal bagi barang dan/atau jasa yang wajib bersertifikat halal; (c) nomor registrasi barang keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup untuk barang yang diwajibkan; dan (d) nomor izin, nomor registrasi atau nomor sertifikat untuk produk kosmetik, obat, dan makanan.

TikTok Shop

Pelarangan media sosial untuk memfasilitasi transaksi dan pembayaran layaknya e-commerce jelas menuai pro dan kontra. Pemerintah berkilah bahwa pelarangan ini dapat melindungi pelaku usaha dalam negeri. Menyusul penerbitan Permendag No. 31 Tahun 2023, pemerintah menyatakan akan melakukan pembinaan pelaku usaha untuk mendorong daya saing, misalnya melalui pelatihan UMKM dan sinergi bagi seluruh pihak terkait.

Sementara, bagi sejumlah pihak, pelarangan TikTok Shop berpotensi menurunkan sumber penghasilan jutaan penjual di platform tersebut. TikTok memiliki basis pengguna lebih dari 100 juta di Indonesia. Di sepanjang 2022, TikTok Shop dilaporkan mengantongi transaksi GMV sebesar $4,4 miliar atau naik 4x lipat dari tahun sebelumnya.

Minat beli di platform asal Tiongkok ini disebut didorong oleh algoritma kuat TikTok yang dapat menampilkan hasil pencarian penyajian konten berdasarkan ketertarikan pengguna. Di samping itu, TikTok Shop menawarkan kemudahan bertransaksi dan promosi harga murah, memicu tingginya transaksi pembelian barang yang tinggi, terutama yang sifatnya impulsive buying.

Selain TikTok Shop, media sosial lain yang menawarkan layanan serupa adalah Instagram Shop dan Facebook Marketplace. Kehadiran layanan social commerce pada media sosial ini dianggap dapat berpotensi mengganggu ekosistem PMSE.

idEA: TikTok Shop Bukan Satu-satunya Penyebab Tanah Abang Sepi

Pemerintah resmi melarang TikTok memfasilitasi transaksi jual beli di Indonesia. Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) pun menggelar focus group discussion (FGD) bersama Kementerian Perdagangan dan asosiasi UMKM, dengan tema “Pro dan Kontra S-Commerce pada Ekonomi Digital” yang digelar pada awal pekan ini (25/9).

Wakil Ketua Umum idEA Budi Primawan menyampaikan, asosiasi berusaha memfasilitasi komunikasi dan ruang untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan lengkap dari berbagai pihak, seperti pemangku kebijakan, pelaku industri digital, pelaku usaha. “Sehingga seluruh peserta dapat mendengar dan memahami secara menyeluruh terkait isu social commerce ini,” ujarnya dalam keterangan resmi.

Ketua Bidang Business & Development idEA Mohammad Rosihan menilai sepinya penjualan di pasar offline bukan semata lantaran peralihan perilaku konsumen ke digital, melainkan menurunnya pembelian dari pelaku usaha di daerah yang menyangkut turunnya daya beli. Ini menurut pendapatnya yang juga pelaku usaha.

“Kami tidak lagi banyak yang membeli ke Tanah Abang, karena penjualan di daerah juga sepi. Mungkin ini juga menyangkut turunnya daya beli,” ujarnya.

Pendapat Rosihan didukung dengan testimoni dari salah satu pelaku usaha yang menggunakan semua kanal digital, Andre. Ia mengaku memperoleh keuntungan dengan memanfaatkan social commerce. “Dengan sistem algoritma yang diberlakukan, penjualan bisa terdongkrak,” kata dia.

Produk yang Andre jual merupakan hasil kerja sama dengan konveksi lokal. Jadi pihaknya juga membantu mendorong penjualan produk dalam negeri. Pada akhirnya, ia dapat menjualnya dengan harga dan keuntungan yang tidak terlalu besar, tapi penjualannya bisa banyak. “Memang ada insentif diskon dari platform tersebut, namun kuotanya terbatas.”

Pengumpulan dan transfer data yang diduga terjadi dinilai menjadi salah satu penyebab tingginya penjualan di social commerce. Hal tersebut disinyalir pada berseliwerannya produk impor, baik legal maupun illegal, dengan harga yang tidak masuk akal karena sangat murah.

Terkait soal itu, Peneliti industri digital Ignatius Untung menyampaikan pro-kontra sebenarnya tidak perlu. Menurutnya, transfer data ini dilakukan oleh semua platform digital untuk relevansi pencarian yang juga membantu konsumen. “Pemilik Google, e-commerce, media sosial berbeda, tapi melakukan yang sama,” kata Untung.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia Harris Sofyan juga khawatir dengan pelaku usaha besar yang mampu mengikuti perkembangan dengan ikut program afiliator. “Pemain besar mungkin bisa mendorong tayangnya produk, banting harga, dan lainnya,” kata Harris.

Di satu sisi, banyak pelaku UMKM yang mengeluh mau mencoba bertransformasi tapi kurang literasi. Misalnya sudah live di TikTok Shop, tapi secara penjualan belum maksimal. “Oleh karena itu, perlu pelatihan dan program literasi digital utamanya untuk UMKM di daerah supaya mereka mendapatkan manfaat yang optimal dari social commerce.”

Menanti aturan social commerce

Di lain pihak, revisi Peraturan Menteri perdagangan RI (Permendag) No. 50 sangat dinanti untuk kejelasan aturan operasional social commerce. Direktur Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dan Perdagangan Jasa Kementerian Perdagangan Rifan Ardianto mengatakan aturan tersebut sudah siap untuk diajukan ke Kemenkumham setelah melewati harmonisasi dan mendapat surat persetujuan dari presiden.

“Kami berupaya tidak ada bisnis yang menguasai dari hulu ke hilir. Kami berusaha membuat definisi yang clear terkait retail online, marketplace, social-commerce.”

Ia juga menjelaskan akan ada tindak lanjut revisi Permendag tersebut melalui komunikasi dengan Kemenkominfo terkait strategi mengidentifikasi platform media sosial dan lainnya. Kominfo nantinya akan berfokus pada penguatan ekosistem e-commerce-nya. Mengatur hardware, software, tata kelola, dan orang.

“Kementerian lain pada penguatan sektoralnya,” tambah Direktur Ekonomi Digital Kementerian Komunikasi dan Informatika I Nyoman Adhiarna.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum idEA Hilmi Adrianto berharap masih ada ruang diskusi terkait penerapan Revisi Permendag No. 50 tersebut. Ia menegaskan pelaku industri digital siap untuk duduk bersama pemangku kebijakan untuk mencari cara terbaik dan tepat untuk menerapkan aturan yang bisa mendorong lajunya pertumbuhan ekonomi digital Indonesia.

“Dan untuk bisa menindaklanjuti penerapannya, kami berharap untuk bisa mendapatkan peraturan ini secara lengkap. Kami akan mengkaji apa saja yang perlu dilakukan nantinya,” pungkasnya.

Ekonomi Retail Tak Bangkit Meski TikTok Shop Ditutup

Kemarin pemerintah melakukan langkah drastis membatasi langkah TikTok Shop di tanah air. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan bakal merevisi Peraturan Menteri Perdagangan No. 50 Tahun 2020, sehingga media sosial dalam hal komersil hanya diperbolehkan memfasilitasi promosi barang atau jasa atau mengiklankan.

Hal ini berdampak luas, termasuk membatasi gerak TikTok Shop yang bisa dibilang menjadi fenomena industri e-commerce tahun ini. TikTok Shop disinyalir menjadi penyebab sepinya pasar-pasar retail, termasuk Tanah Abang. Popularitas TikTok Shop meroket, seiringnya dengan semakin populernya platform media sosial ini di berbagai kalangan, khususnya anak muda. Algoritmanya dianggap lebih baik dibanding platform serupa.

Promosi besar-besaran, atau yang lazim disebut “bakar uang”, yang dilakukan TikTok Shop dianggap mengganggu bisnis UMKM dan Pemerintah melakukan langkah untuk “memproteksinya”. Proteksi di sini harus digarisbawahi mengingat penjual di TikTok Shop tentu saja bervariasi, dari UMKM hingga brand besar.

Di penutupan hari ini, saham Sea Ltd, pemilik Shopee, di Bursa Saham New York langsung menguat 11%. Sementara GoTo, induk Tokopedia, juga naik 5%. Kedua pesaing tedekat TikTok Shop ini pasarnya tergerus karena fokus mereka adalah mengejar profitabilitas.

Tentu saja pertanyaan besarnya tetap harus dijawab: Apakah penutupan TikTok Shop akan membuat kembali ekonomi bergairah di pasar rakyat?

Kelesuan ekonomi dunia

Secara global, ekonomi sedang tidak baik-baik saja. Ketika pandemi, banyak negara yang mencetak uang secara berlebihan demi mempertahankan ekonomi yang terdampak lockdown.

Efek samping kebijakan ini mulai dirasakan tahun 2022, ketika inflasi meroket dan daya beli terus menurun. Inflasi yang mencapai angka dua digit membuat pelaku kebijakan di negara ekonomi adidaya terpaksa terus menaikkan suku bunga. Praktis nilai uang yang dimiliki masyarakat tidak sebagus sebelum pandemi.

Data ekonomi dunia masih di tahap perlambatan selama 2023 / IMF
Pertumbuhan ekonomi dunia masih di tahap perlambatan selama 2023 / IMF

Di tahun 2023, kondisi sedikit membaik, terutama dengan berakhirnya pandemi dan pembatasan mobilitas, tetapi efek bola saljunya telah menghasilkan dampak sistemik. Masyarakat semakin berhati-hati membelanjakan uangnya untuk kebutuhan apapun.

Perubahan perilaku belanja

Selama pembatasan mobilitas di masa pandemi, masyarakat dimudahkan dengan pembelian berbagai barang secara online. Terjadi akselerasi masif terhadap adopsi e-commerce. Toko retail yang secara gradual selama 10 tahun terakhir mulai tergusur mendapatkan pukulan telak.

Berbagai mall menjadi lebih sepi. Tidak cuma di Indonesia, hal ini juga terjadi di Amerika Serikat dan Tiogkok. Berbagai pusat perbelanjaan, baik yang berada di sisi jalan maupun di dalam mall, kini tak lagi memiliki tenant. Yang penting adalah punya pusat distribusi untuk mengirimkan barang langsung ke konsumen.

Dimulai dari ketersediaan platform e-commerce, kenyamanan berbelanja online menjadi semakin “pintar” ketika TikTok memasuki segmen ini.

TikTok, dengan algoritma pintarnya, mencoba membaca tren di media sosial dan mengonversinya menjadi barang-barang yang disinyalir bakal disukai konsumen. Hasilnya ternyata spot on. Konsumen suka dengan rekomendasi yang disodorkan TikTok, tak hanya soal promosinya.

TikTok Shop merangsek dalam waktu singkat menjadi salah satu yang terdepan di industri e-commerce tanah air. Menurut prediksi Momentum Works, tahun ini transaksi (GMV) di TikTok Shop Asia Tenggara mencapai $15 miliar (Rp 230 triliun) atau setara pangsa pasar Tokopedia dan Lazada.

Penutupan TikTok Shop bisa menjadi “berkah” bagi para pesaingnya.

Prediksi GMV Tiktok di Asia Tenggara / Momentum Works
Prediksi GMV Tiktok di Asia Tenggara / Momentum Works

Langkah berikutnya

Kombinasi kelesuan ekonomi, prioritas alokasi dan perubahan perilaku belanja membuat Tanah Abang tak lagi ramai. Sebelum pandemi, masa-masa bulan Puasa adalah masa keemasan penjual pakaian di kawasan Tanah Abang. Macet mengular di mana-mana adalah hal biasa. Kini kondisi ini tak lagi terjadi.

Antara orang-orang mengurangi belanja di kategori pakaian (karena prioritas belanja) atau perubahan perilaku belanja menuju kemudahan online, keramaian ekonomi retail telah bergeser.

Konsumen bukan tidak butuh barangnya, melainkan mereka merasa lebih nyaman melakukan swipe sambil bersantai di kamar. Sudah usang konsep harus bepergian jauh dan berdesakan demi mendapatkan barang impian.

Sinergi antara platform online dan para pedagang retail harus terus dilakukan. Mereka saling membutuhkan. Pelatihan cara berjualan, fulfillment, dan bahkan melakukan live shopping (jika perlu) adalah cara merangkul kebiasaan baru.

Semua harus beradaptasi atau mati, karena zaman dan tren terus berubah. Penutupan TikTok Shop hanyalah kambing hitam, karena pasar akan menemukan keseimbangan baru dan itu tidak lagi terjadi di sentra rakyat.

Application Information Will Show Up Here

Startup Social Commerce KitaBeli Dikabarkan Lakukan Likuidasi

Startup social commerce Kitabeli tengah melakukan proses likuidasi. Hal ini disinyalir sebagai respons atas model bisnis yang diusung tidak berhasil mencapai product-market fit secara optimal. Kabar terkait likuidasi ini dikonfirmasi salah satu sumber terpercaya yang turut terlibat dalam proses ini.

Sejak debut di tahun 2020, KitaBeli sudah mengumumkan 3x putaran pendanaan, dimulai dari tahap awal di tahun 2020 (oleh East Ventures dan AC Ventures), dilanjutkan tahapan seri A di tahun 2021, dan pendanaan lanjutan di tahun 2022. Setidaknya dari nominal yang diumumkan ke publik, mereka telah mengumpulkan dana hingga $30 juta atau sekitar 460 miliar Rupiah.

Selain yang disebutkan, beberapa investor ternama turut mendanai startup yang digawangi Prateek Chaturvedi, Ivana Tjandra, Subhash Bishnoi, dan Gopal Singh Rathore tersebut, di antaranya Glade Brook, Argor Capital (Go-Ventures), InnoVen Capital, Kenangan Fund (Kopi Kenangan), dan beberapa lainnya.

Terkait langkah selanjutnya (apakah hanya tutup atau founder akan pivot ke bisnis lain), kami sudah mencoba menghubungi pihak terkait namun belum mendapatkan respons.

Ini bukan kali pertama startup social commerce yang beroperasi di Indonesia mengalami kesulitan bisnis. Sebelumnya pada kuartal pertama tahun ini, RateS juga tutup semua akses ke pergudangan mereka. Terpantau semua stok produk di aplikasi tidak bisa diakses. Saat ini bahkan situs dan aplikasi sudah tidak lagi tersedia untuk transaksi.

Mengusung konsep social commerce, KitaBeli fokus menjual produk FMCG di pasar tier-2 dan 3. Mereka membangun jaringan kemitraan di berbagai lokasi untuk membantu para pelanggan melakukan pembelian berkelompok (team buying) dengan harapan mendapatkan jaminan harga beli yang lebih kompetitif.

Ini mirip yang dikerjakan PinDuoDuo di Tiongkok, berharap bisa memberdayakan komunitas lokal di daerah-daerah.

Hipotesis awal KitaBeli adalah ingin menjangkau distribusi produk FMCG di kota lapis dua yang nilainya lebih dari $100 miliar — dengan lebih dari 200 juta konsumen yang terhadap 50% dari PDB. Sistem logistik dan rantai pasok yang kurang efisien dilihat sebagai peluang, sehingga pendekatan lewat teknologi coba dihadirkan.

Solusi KitaBeli salah satunya dengan menghadirkan gudang dan pusat pemenuhan di area-area operasionalnya. Mereka mengklaim bisa mereduksi harga akhir ke konsumen antara 10%-50% — termasuk memotong rantai pasok dengan mengambil produk langsung dari brand dan prinsipal.

Namun demikian, untuk masuk ke kota lapis dua memang banyak hal yang harus dihadapi. Selain investasi besar di infrastruktur, pemain seperti KitaBeli dihadapkan pada tantangan edukasi pasar. Model tradisional (beli barang dengan jumlah sedikit di warung) dan kebiasaan masyarakat (seperti kasbon di warung dan pengalaman saat pergi ke warung) menjadi aspek-aspek yang tidak terfasilitasi dengan digitalisasi tersebut.

Kendati demikian tidak semua model social commerce mengalami pasar surut. Pemain lain seperti Dagangan justru tengah ekspansif hadir di kota-kota baru. Pekan ini mereka mulai ekspansi ke Jawa Timur setelah sebelumnya banyak fokus di area Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Pendekatan Dagangan juga berbeda, mengadopsi konsep rural commerce yang dijalankan dengan sistem hub and spoke untuk last-mile delivery. Mereka banyak memasok barang ke pertokoan di wilayah lapis dua dan tiga.

Application Information Will Show Up Here

TikTok Dikabarkan Tengah Ajukan Lisensi Platform Pembayaran Digital ke Bank Indonesia

TikTok dikabarkan tengah bernegosiasi untuk mendapatkan lisensi platform pembayaran di Indonesia. Disampaikan pertama kali oleh Reuters, sumber mengatakan pihak TikTok telah berbincang dengan Bank Indonesia untuk hal ini.

Diketahui, salah satu syarat untuk mendapatkan lisensi pembayaran digital dari BI adalah sebuah perusahaan (asing) harus badan hukum di Indonesia. Hal ini tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/23/PBI/2020 tentang Sistem Pembayaran. Untuk itu, TikTok juga harus membuat PT di Indonesia untuk menjalankan operasionalnya.

Jika berhasil mendapatkan lisensi tersebut, nantinya kreator dan seller bisa melakukan transaksi langsung tanpa harus menggunakan layanan pembayaran pihak ketiga. Ini tentu menguntungkan TikTok, bisa mendapatkan keuntungan dari biaya transaksi yang dibebankan (sebelumnya dikelola oleh pihak payment gateway).

Langkah ini menjadi agenda lanjutan setelah CEO TikTok Shou Chew melakukan kunjungan ke Indonesia pada Juni 2023 lalu dan menyatakan kesiapannya untuk menggelontorkan investasi $10 miliar di Indonesia dan Asia Tenggara.

Adanya sistem pembayaran terintegrasi juga bisa memberikan dukungan lebih lanjut kepada platform e-commerce yang dimiliki TikTok. Seperti diketahui, hampir semua e-commerce populer saat ini telah memiliki layanan pembayarannya sendiri (Shopee dengan ShopeePay, Tokopedia dengan Gopay, Bukalapak dengan Dana, dan lain sebagainya).

TikTok Shop makin populer di Indonesia. Menurut survei yang dilakukan Telkomsel belum lama ini, platform tersebut menjadi top of mind layanan jual-beli di platform sosial yang digandrungi masyarakat Indonesia. Sebanyak 76,75% mengaku mendapatkan harga yang lebih murah, 65% lainnya mengatakan banyak promo di TikTok Shop, dan 52% model live shopping yang ditawarkan lebih intuitif.

Namun demikian tidak dimungkiri, sepak terjang fantastis TikTok juga mendapatkan respons yang kurang sedap di sejumlah negara.  Pemerintah Australia dan Kanada bahkan melarang penggunaan TikTok di perangkat pemerintah. Demikian juga di kalangan pemerintahan Amerika Serikat.

Gonjang-ganjing isu Project S juga belum lama ini menjadi perbincangan hangat. Rencana TikTok untuk menjual produk yang diproduksi/disuplai sendiri dari Tiongkok ke pasar TikTok Shop di Indonesia banyak mendapatkan kritik, dinilai bisa mematikan UMKM di sini. Pasalnya berbekal data yang mereka miliki, memungkinkan perusahaan mendapatkan insight berharga mengenai preferensi konsumen dan produk yang akan dijual.

Pemerintah pun lewat Kemendag bergerak cepat, dengan mulai memperbaru aturan mengenai e-commerce. Dari poin rencana beleid yang disampaikan, social commerce mendapatkan perhatian khusus —  termasuk terkait perpajakan. Poin lain yang juga disampaikan adalah larangan pengembang platform untuk menjual barang yang diproduksi sendiri (white label).

Application Information Will Show Up Here

Social Commerce akan Jadi Sorotan di Pembaruan Aturan E-commerce Kemendag

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) mengungkap empat poin utama pada revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 yang akan diterbitkan dalam waktu dekat. Beberapa di antaranya akan mengatur perihal transaksi di platform social commerce dan larangan e-commerce menjadi produsen.

Hal ini disampaikan Zulhas di Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada Selasa (1/8). “Kebijakan terbaru tersebut tengah dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) sejak 1 Agustus 2023. [Revisi] Permendag No. 50/2020 itu justru dari awal kita ambil inisiatif, tetapi pembahasannya antarkementerian,” ucapnya diberitakan oleh Bisnis.com.

Perlu diketahui, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 memuat Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Revisi ini dilakukan salah satunya untuk melindungi pelaku UMKM dalam negeri.

Berikut keempat poin utama revisinya:

    1. Larangan e-commerce jadi produsen.
      Pemerintah akan melarang Pelaku Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), baik e-commerce maupun social commerce, untuk menjual produk sendiri atau sebagai wholesaler. Zulhas menilai aturan ini akan menciptakan keadilan dan kompetisi pasar yang sehat bagi pelaku UMKM.
    2. Kebijakan social commerce.
      Tren transaksi belanja online melalui platform media sosial mendorong pemerintah untuk memasukkannya sebagai salah satu PMSE. Nantinya, aturan baru ini akan memuat definisi mengenai social commerce. Adapun, platform social commerce yang dimaksud, misalnya TikTok Shop, Instagram, dan Facebook Marketplace.
    3. Pajak transaksi social commerce.
      Selain mendefinisikan social commerce, pemerintah juga akan mengenakan pajak pada setiap transaksi di platform ini. Pemberlakuan pajak dipicu oleh banyaknya produk yang dijual sangat murah di platform seperti TikTok, dan produk-produk ini belum dikenakan pajak.
    4. Larangan jual produk impor murah.
      Terakhir, pemerintah akan melarang produk impor di bawah Rp1,5 juta per unit yang diperdagangkan dan dikirim langsung ke Indonesia oleh penjual dari luar negeri (cross border).

Perhatian pada social commerce

Menurut data yang dihimpun oleh Statista, gross merchandise value (GMV) yang dibukukan oleh bisnis social commerce di Indonesia pada 2023 akan mencapai $8,22 miliar. Diproyeksikan akan terus bertumbuh mencapai $22,13 miliar pada 2028 mendatang.

Peluang besar ini dilatarbelakangi penetrasi media sosial yang cukup besar di Indonesia. Ditambah para pengembang platform kini membubuhkan fitur jual-beli yang lebih terintegrasi (termasuk dengan sistem pembayaran dan logistik), sehingga memudahkan konsumen akhir dan merchant untuk bertransaksi.

Beleid baru ini juga hadir sesaat setelah ramai tentang Project S dari TikTok. Pada intinya, melalui proyek ini TikTok akan memaksimalkan platformnya untuk menjual barang-barang yang diproduksi (atau dikelola) sendiri kepada para penggunanya.

Alih-alih sebagai perantara, di sini TikTok akan bertindak menjual barang yang disuplai sendiri. Dianggap mengancam UMKM, karena dengan basis data yang dimiliki (dari data transaksi TikTok Shop), mereka bisa mendapatkan insight penting tentang tren dan kebutuhan pasar (untuk menunjang proses produksi). Sebagai informasi, sepanjang 2022 TikTok Shop berhasil mencatat transaksi $4,4 miliar, naik 4x lipat dari tahun sebelumnya.

Salah satu poin yang menjadi sorotan di aturan baru e-commerce adalah larangan pemilik platform untuk ikut berjualan. Pemilik platform di sini termasuk pengembang social commerce, online marketplace, dan sejenisnya.

Dalam hal ini, termasuk TikTok atau perusahaan lain yang memfasilitasi kegiatan e-commerce dan social commerce, tidak boleh menjual barang produksinya sendiri. Memang belum ada detail yang disampaikan, sehingga belum tahu batasan-batasan seperti apa yang diberikan.

Selain social commerce, saat ini juga ada tren direct-to-consumer. Model bisnis ini membawa pengembang produk konsumer menjual langsung hasil produksinya melalui kanal digital—termasuk lewat kanal e-commerce yang dikembangkan sendiri.

Meski belum disampaikan secara mendalam, empat poin utama yang sudah disampaikan Mendag menunjukkan calon aturan baru ini memang dilandaskan untuk melindungi ekosistem UMKM di Indonesia.

Tren social commerce

Masyarakat Indonesia yang sangat terhubung dengan media sosial ikut mendorong tren belanja online melalui platform social commerce. Per Januari 2023, populasi pengguna media sosial di tanah air mencapai 167 juta orang atau mewakili 78% dari total pengguna internet yang mencapai 212,9 juta.

Tren social commerce sebetulnya telah dipopulerkan lewat platform Facebook dan Instagram. Namun, TikTok dilaporkan mulai memimpin tren social commerce karena menawarkan kemudahan untuk bertransaksi dalam satu aplikasi saja.

Dalam laporan berbeda oleh Populix, TikTok Shop (45%) menjadi platform yang paling sering digunakan pengguna untuk belanja online, diikuti WhatsApp (21%), Facebook Shop (10%), dan Instagram Shop (10%).

 

*Randi Eka Yonida ikut terlibat dalam penulisan artikel ini