Behind the Rumors around “Chilibeli” Social Commerce

Social commerce startup Chilibeli is temporarily closing its operations, at least until the end of this month. Public’s been told that the reason is server relocation and deep cleaning of resources. The employees are getting laid off and promised that this month’s salary will be disbursed soon.

The management is said to have conveyed the employees that they had tried their best to save the company. According to reliable sources, Chilibeli is still having difficulty on securing the Series B fundraising since last year.

The company is reportedly considering to sell the business. Two unicorn startups are said to have explored potential acquisitions, however, the strongest candidate is rising. WeBuy, a similar startup from Singapore, is highly rumored to be taking over Chilibeli’s business.

WeBuy has been available in Indonesia since September 2021. This company is a portfolio of MDI Ventures, Wavemaker, KB Financial Group, and Rocket Internet.

We haven’t received a confirmation from Chilibeli’s management and its investors regarding this matter.

Chilibeli was founded by Alex Feng, Damon Yue, and Matt Li in 2019. They announced a Series A funding round of $10 million in March 2020. The round was led by Lightspeed Ventures, Golden Gate Ventures, Sequoia Surge, Kinesys Group, and Alto Partners.

The company relies on the C2M (customer to manufacturer) business concept in bridging fresh products from farmers to final consumers in a number of communities. The concept exists to encourage logistics efficiency and ensure product freshness to reach consumers’ hands.

Chilibeli was participated in Surge’s Accelerator Program batch 2.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Gonjang Ganjing Startup “Social Commerce” Chilibeli

Startup social commerce Chilibeli saat ini sedang menutup operasional secara sementara, setidaknya sampai akhir bulan ini. Alasan yang disampaikan ke publik adalah pemindahan server dan deep cleaning resource. Para pegawainya sudah mulai dirumahkan dengan janji gaji bulan ini masih bakal cair.

Disebutkan manajemen menyampaikan ke para pegawai bahwa mereka sudah berusaha maksimal untuk menyelamatkan perusahaan. Menurut sumber terpercaya, Chilibeli masih kesulitan mendapatkan pendanaan Seri B yang digalang sejak tahun lalu.

Perusahaan dikabarkan sudah menjajaki potensi menjual bisnis. Ada dua startup unicorn yang sempat menjajaki potensi akuisisi, namun kini muncul kandidat kuat WeBuy, startup sejenis asal Singapura, sebagai pihak yang dikabarkan bakal mengambil alih bisnis Chilibeli.

WeBuy sudah beroperasi di Indonesia sejak September 2021. Perusahaan ini merupakan portofolio MDI Ventures, Wavemaker, KB Financial Group, dan Rocket Internet.

Kami belum mendapatkan jawaban dari manajemen Chilibeli dan investornya terkait hal ini.

Chilibeli didirikan oleh Alex Feng, Damon Yue, dan Matt Li di tahun 2019. Mereka mengumumkan perolehan pendanaan Seri A sebesar $10 juta pada Maret 2020. Putaran tersebut dipimpin Lightspeed Ventures, Golden Gate Ventures, Sequoia Surge, Kinesys Group, dan Alto Partners.

Perusahaan mengandalkan konsep bisnis C2M (customer to manufacturer) dalam menjembatani produk segar dari petani ke konsumen akhir dalam jumlah komunitas. Konsep tersebut hadir untuk mendorong efisiensi logistik dan memastikan kesegaran produk hingga di tangan konsumen.

Chilibeli mengikuti program akselerasi Surge batch kedua.

Application Information Will Show Up Here

Grupin Social Commerce Startup Receives 42 Billion Rupiah Funding Led by Surge

The social commerce platform “Grupin” announced seed funding of $3 million or equivalent to 42 billion Rupiah. This round was led by Surge from Sequoia Capital India. Also participated in this round, Skystar Capital and East Ventures. Grupin is part of the sixth cohort of the Surge accelerator program.

Grupin was founded by Kevin Sandjaja and Ricky Christie in January 2021. Kevin himself was previously known as Pegipegi’s CEO.

As other existing social commerce applications, Grupin offers a community-based shopping experience to consumers in collective concept, aiming to get better price offers. They provide daily products, such as basic necessities, kitchen utensils, baby products, and electronics. Currently, this service is only available for the Greater Jakarta and Bandung areas.

“With the rise of e-commerce, especially since the pandemic, consumer wants a different shopping experience that still provides certain offline experience, not only competitive prices, but also social interaction. At Grupin, we offer this shopping experience, which is very attractive to customers in Indonesia, because it is related to the ‘gotong royong’ value, as we working together to achieve a common goal,” Grupin’s Co-Founder, Kevin Sandjaja said.

He continued, “Not only do we provide customers with greater value, but also enable producers, MSMEs, as well as farmers to reach new consumers. Through this funding, we plan to strengthen our team and expand our network of cooperation with producers, both local and global.”

How Groupin works

In order to use the service, user can download the app and signed up to select the items. Then, users will be asked to invite friends to join the group by sharing a special link. Once the group meets the certain number, the product can be purchased and will be sent to each member’s address.

Each offer has different conditions for group members. Grupin also provides offering features based on location, browsing behavior, purchasing preferences and purchasing power.

“In addition, customers can share the best deals and products with their friends and family within the app, providing a unique shopping that has a different social experience compared to some other e-commerce platforms,” he said

Collective buying business model

Grupin is not the first player using the e-commerce business model with the collective buying concept. Previously, other startups had similar features, including Kitabeli. KitaBeli has recently secured a series A funding worth more than $10 million supported by Go-Ventures, East Ventures, and a number of other investors.

This business model is considered to be suitable for the Indonesian market, especially targeting the tier-2 and 3 areas. This collective shopping model can also attract consumers who are yet to be familiar with online shopping. In addition, the strong community network among neighbors in the regions is considered suitable for collective purchases like this – let alone being able to get a more affordable price.

This is one of several business models that can be applied to social commerce. Another model is a partnership, allowing micro entrepreneurs [individuals] to have a selling business without having to gain large capital for stock. Some startups in this segment are Evermos and RateS.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup Social Commerce Grupin Dapat Pendanaan 42 Miliar Rupiah Dipimpin Surge

Startup pengembang platform social commerce “Grupin” mengumumkan telah mendapatkan pendanaan awal senilai $3 juta atau setara 42 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin oleh Surge dari Sequoia Capital India. Turut terlibat juga Skystar Capital dan East Ventures. Grupin merupakan bagian dari kohort keenam dari program akselerator Surge.

Grupin didirikan oleh Kevin Sandjaja dan Ricky Christie pada bulan Januari 2021. Kevin sendiri sebelumnya dikenal sebagai CEO Pegipegi.

Layaknya aplikasi social commerce yang sudah ada, Grupin menawarkan pengalaman belanja berbasis komunitas kepada konsumen secara kolektif, tujuannya untuk mendapatkan penawaran harga yang lebih baik. Barang yang disediakan seputar kebutuhan sehari-hari seperti sembako, perlengkapan dapur, produk bayi, sampai elektronik. Untuk saat ini layanan tersebut baru tersedia untuk area Jabodetabek dan Bandung.

“Dengan menjamurnya e-commerce, terutama sejak awal pandemi, konsumen menginginkan pengalaman berbelanja yang berbeda, namun juga memiliki aspek yang mereka temukan secara offline, yaitu pengalaman yang bukan hanya memberikan produk dengan harga kompetitif, namun juga memiliki interaksi sosial. Di Grupin, kami menawarkan pengalaman belanja tersebut, yang sangat menarik bagi pelanggan di Indonesia, karena memiliki keterkaitan dengan nilai-nilai gotong royong, yaitu bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan bersama,” ujar Co-Founder Grupin Kevin Sandjaja.

Ia melanjutkan, “Kami tidak hanya memberikan nilai yang lebih besar kepada pelanggan untuk uang mereka, tetapi juga memungkinkan produsen, UMKM, dan juga petani untuk menjangkau konsumen baru. Dengan pendanaan ini, kami berencana untuk memperkuat tim kami dan memperluas jaringan kerja sama dengan produsen baik di dalam maupun di luar Indonesia.”

Cara kerja Grupin

Untuk menggunakan layanan ini, setelah mengunduh aplikasi dan mendaftarkan diri di dalamnya, pengguna dapat memilih barang yang dibutuhkan. Kemudian, pengguna diminta untuk mengajak teman untuk bergabung di grup dengan cara membagikan tautan khusus. Setelah grup tersebut memenuhi syarat minimal jumlah orang, produk tersebut dapat dibeli dan akan dikirim ke alamat rumah masing-masing anggota.

Setiap penawaran barang memiliki ketentuan jumlah anggota grup yang berbeda-beda. Grupin juga menyediakan fitur penawaran yang selalu disesuaikan berdasarkan lokasi, perilaku penelusuran, preferensi pembelian, dan daya beli.

“Selain itu, pelanggan dapat berbagi penawaran dan produk terbaik dengan teman dan keluarga mereka di dalam aplikasi itu sendiri, memberikan pengalaman berbelanja yang unik yang memiliki nuansa aspek sosial yang berbeda dari apa ditawarkan oleh beberapa platform e-commerce lainnya,” imbuhnya.

Model bisnis pembelian kolektif

Grupin bukan yang pertama memainkan model bisnis e-commerce dengan konsep pembelian kolektif. Sebelumnya startup lainnya juga sudah memiliki fitur serupa, sebut saja Kitabeli. Terakhir KitaBeli sudah merampungkan pendanaan seri A senilai lebih dari $10 juta didukung Go-Ventures, East Ventures, dan sejumlah investor lainnya.

Model bisnis ini diyakini cocok dengan pasar Indonesia, khususnya untuk menyasar pengguna di daerah tier-2 dan 3. Model belanja kolektif ini turut dapat menjaring kalangan konsumen yang belum familiar untuk melakukan belanja secara online. Selain itu, kuatnya jaringan komunitas antartetangga di daerah-daerah dinilai cocok untuk pembelian kolektif seperti ini – apalagi bisa mendapatkan harga yang lebih terjangkau.

Ini adalah satu dari beberapa model bisnis yang dapat diaplikasikan social commerce. Model lain adalah kemitraan, memungkinkan pengusaha mikro [individual] untuk memiliki usaha jualan tanpa harus memiliki modal besar untuk stok barang. Beberapa startup yang bermain di ranah ini adalah Evermos dan RateS.

Application Information Will Show Up Here

RateS Secures 85.8 Billion Rupiah of Equity and Debt Funding

A social commerce startup, RateS, has received a total $6 million or equivalent to 85.8 billion Rupiah. This follow-up round is divided in two forms, around $4.5 million of equity funding and $1.5 million of debt funding.

KVision from Kasikon Bank joined as a new investor. Meanwhile, also participated the previous investors, including Vertex Ventures, Insignia Ventures Partners, and Genesis Ventures.

RateS’ Co-Founder & CSO, Albert Ho said to DailySocial that this fresh money will be followed up with series B fundraising targeted to be closed this year. With the participation of Kasikorn Bank, RateS is also exploring new financing products for their reseller partners and end users.

“We are to expand to other tier-2 and 3 cities, strengthen our product development team, and invest more in our private label businesses, Hozu and Kidzu,” Albert said.

Previously, RateS announced their series A funding in February 2021 with an undisclosed amount. Vertex Ventures and Genesis Ventures are leading this round. The company has secured a seed funding from Alpha JWC Ventures and Insignia Ventures Partners in 2018.

“2021 was a tremendous year of growth for us, with a 4x increase since 2020. Today, we also have offline teams present in 25 cities, while making deliveries to over 300 cities. This round [funding] is a testimony of investors’ trust in our growth,” Albert added.

The growth of social commerce in Indonesia

Through the RateS app, anyone can sell (become a reseller) without having to buy stock beforehand. Users can create an online store containing various products according to the RateS catalog, then promote it through their online and offline channels. As partners, resellers will get special purchase and selling rates to consumers in return for bigger profits.

According to McKinsey’s projection, the Indonesian e-commerce industry is to generate $65 billion GMV by 2022. Social commerce alone is projected to contribute up to $25 billion.

In the ecosystem, local social commerce players are rising with unique approaches. However, for one similar thing that all platforms been doing, is targeting users in small cities. While people in big cities are already familiar with e-commerce or online marketplaces, there is still a lot of potential in suburban areas for these two services.

One certain thing that social commerce does, is to bridge the gap between people’s needs to shop online with limited access [for example to a payment system]. Resellers have a role to assist the process.

Several players have implemented the social commerce business model, including Evermos, Raena, Dagangan, Kitabeli, and others.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

RateS Tutup Investasi 85,8 Miliar Rupiah, Terdiri dari Pendanaan Ekuitas dan Debt

Startup pengembang platform social commerce RateS telah mendapatkan pendanaan segar dengan total nilai $6 juta atau setara 85,8 miliar Rupiah. Putaran lanjutan ini terbagi ke dalam dua bentuk, yakni $4,5 juta untuk pendanaan ekuitas dan $1,5 juta untuk pendanaan debt.

KVision dari Kasikon Bank bergabung menjadi investor baru. Sementara pendana sebelumnya yakni Vertex Ventures, Insignia Ventures Partners, dan Genesis Ventures juga terlibat di dalamnya.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CSO RateS Albert Ho mengatakan, dana segar ini akan dilanjutkan dengan penggalangan dana seri B yang ditargetkan bisa ditutup tahun ini. Dengan bergabungnya Kasikorn Bank, RateS juga tertarik untuk menjajaki produk pembiayaan baru untuk mitra reseller dan pengguna akhir mereka.

“Kami akan memperluas kehadiran di kota tier-2 dan 3 lainnya, memperkuat tim pengembangan produk, dan investasi lebih besar ke bisnis private label kami, yakni Hozu dan Kidzu,” ujar Albert.

Sebelumnya RateS mengumumkan pendanaan seri A mereka pada Februari 2021 dengan nominal yang tidak disebutkan. Vertex Ventures dan Genesis Ventures memimpin pendanaan ini. Mereka membukukan pendanaan awal dari Alpha JWC Ventures dan Insignia Ventures Partners sejak tahun 2018 lalu.

“2021 adalah tahun pertumbuhan yang luar biasa bagi kami, dengan peningkatan 4x lipat sejak tahun 2020. Saat ini, kami juga memiliki tim offline yang hadir di 25 kota, sambil melakukan pengiriman ke lebih dari 300 kota. Putaran [dana] perpanjangan ini merupakan bukti keyakinan investor atas pertumbuhan kami,” imbuh Albert.

Pertumbuhan social commerce di Indonesia

Lewat aplikasi RateS, siapa saja bisa berjualan (menjadi reseller) tanpa harus membeli stok barang terlebih dulu. Pengguna bisa membuat sebuah lapak online berisi berbagai produk sesuai yang ada di katalog RateS, selanjutnya mempromosikannya melalui kanal online dan offline yang dimiliki. Sebagai mitra, reseller akan mendapatkan harga beli khusus dan harga jual ke konsumen sehingga mendapatkan keuntungan.

Menurut proyeksi dari McKinsey, nilai GMV yang akan dihasilkan industri e-commerce di Indonesia akan mencapai $65 miliar pada 2022 mendatang. Social commerce sendiri memiliki dapat menyumbang sampai $25 miliar pada capaian tersebut.

Secara ekosistem, pemain social commerce lokal juga terus berdatangan dengan pendekatan yang unik. Namun satu hal yang nyaris sama, dilakukan semua platform, adalah menyasar kalangan pengguna di kota-kota kecil. Sementara pengguna di kota besar sudah terbiasa dengan e-commerce atau online marketplace, di daerah pinggiran masih banyak potensi yang belum terakomodasi dari dua layanan tersebut.

Salah satu hal yang dilakukan social commerce adalah menjembatani antara kebutuhan masyarakat untuk berbelanja online namun belum memiliki kemampuan atau akses [misalnya ke sistem pembayaran] untuk melakukannya sendiri. Peran reseller untuk membantu proses tersebut.

Sejumlah pemain yang mengaplikasikan model bisnis social commerce adalah Evermos, Raena, Dagangan, Kitabeli, dan lain-lain.

Application Information Will Show Up Here

A Platform for Beauty Product Reseller Raena Is Said to Secure 140 Billion Rupiah Follow on Funding

After a $9 million (Rp126 billion) Series A funding in early last year, a platform for beauty product reseller, Raena, is reportedly securing follow on funding. Led by Alpha Wave Incubation and AC Ventures, the company is said to have received funding of $10 million (Rp140 billion).

It is said that there are other investors participated in the funding, including PT Sumber Alfaria Trijaya TBK (Alfamart) and Alto Partners. To date, Raena has secured a total $21 million (nearly 300 billion Rupiah) from investors.

The company is yet to release an official statement.

In a previous article, Raena’s Founder and CEO, Sreejita Deb revealed, in 2020, Raena’s new business experienced massive growth due to the increasing online transactions during the pandemic.

Raena offers a new concept as a social commerce, managing all the needs and processes that sellers usually do online. From stock management, suppliers, brand selection, and logistics. Those who want to join Raena and have interest to become sellers can focus more on gaining followers on social media, WhatsApp, marketplace channels such as Shopee, Lazada, Tokopedia and others.

“Previously, we  use one-to-one model which connects one supplier to one influencer. The concept has shifted to many-to-many model, which connects various brands and various suppliers to various influencers,” Sreejita said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Platform Reseller Produk Kecantikan Raena Dikabarkan Rampungkan Pendanaan Lanjutan 140 Miliar Rupiah

Merampungkan pendanaan Seri A senilai $9 juta (Rp126 miliar) di awal tahun lalu, platform reseller produk kecantikan Raena dikabarkan kembali mengantongi pendanaan lanjutan. Dipimpin Alpha Wave Incubation dan AC Ventures, perusahaan disebutkan mendapatkan pendanaan senilai $10 juta (Rp140 miliar).

Investor lain yang turut terlibat dalam pendanaan kali ini adalah PT Sumber Alfaria Trijaya TBK (Alfamart) dan Alto Partners. Secara total Raena telah memperoleh dana investor senilai $21 juta (hampir 300 miliar Rupiah).

Belum ada keterangan resmi yang kami peroleh dari perusahaan.

Di artikel terdahulu, Founder dan CEO Raena Sreejita Deb mengungkapkan, di tahun 2020, bisnis baru yang dikembangkan Raena mengalami pertumbuhan yang masif, karena makin besarnya masyarakat yang melakukan transaksi secara online selama pandemi.

Konsep baru yang ditawarkan Raena adalah social commerce, mengelola semua kebutuhan dan proses yang biasanya dilakukan penjual secara online. Mulai dari pengelolaan stok barang, supplier, pemilihan brand, hingga logistik. Mereka yang ingin bergabung dengan Raena dan ingin menjadi penjual bisa lebih fokus mengembangkan jumlah pengikut mereka di media sosial, WhatsApp, kanal marketplace seperti Shopee, Lazada, Tokopedia dan lainnya.

“Sebelumnya model kita adalah one-to-one yang menghubungkan satu supplier ke satu influencer saja. Sekarang konsep yang kita tawarkan adalah many-to-many model, yang menghubungkan berbagai brand dan berbagai supplier kepada berbagai influencer,” kata Sreejita.

Application Information Will Show Up Here

Atur Toko Bantu UMKM Kelola Usaha di Marketplace, Sediakan Teknologi dan Layanan Menyeluruh

Bertujuan untuk meminimalisir biaya saat memasarkan dan menjual produk mereka, platform e-commerce enabler Atur Toko, hadir menawarkan teknologi dan layanan kepada UMKM. Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO Atur Toko Bagus Dewantara mengungkapkan, berawal dari sebuah proyek lalu muncul ide untuk kemudian mengembangkan teknologi yang relevan kepada UMKM guna memperluas kanal penjualan mereka.

Berangkat dari hipotesis tersebut bersama dengan pendiri lainnya yaitu Christiono Hendrawan, Asfar, dan Ricky Erri Thoiffur dibuat software sendiri agar bisa digunakan untuk merchant lebih banyak lagi.

Atur Toko resmi meluncur tahun 2019 lalu. Saat ini mereka telah memiliki sekitar 5 ribu merchant dan 200 brand yang tersebar di seluruh Indonesia. Secara khusus Atur Toko membantu optimalisasi penjualan brand dengan Team Brand Manager dari platform untuk mengelola strategi penjualan produk di marketplace.

Selain menyediakan teknologi Atur Toko juga menyediakan layanan pendukung. Di antaranya adalah tim fulfillment, store management, hingga gudang yang dikelola sendiri.

“Bisa dibilang platform kami sangat komprehensif secara end-to-end membantu mereka yang baru mulai berjualan hingga brand besar untuk mendorong pertumbuhan bisnis,” kata Bagus.

Produk unggulan Atur Toko

Saat ini teknologi Atur Toko telah terintegrasi dengan enam marketplace besar di Indonesia. Sistem yang terintegrasi memungkinkan UMKM untuk memonitor tokonya di berbagai platform marketplace hanya dengan satu dashboard; termasuk mendapatkan data penjualan, stok produk, layanan branding, pinjaman modal, hingga chatboard.

Terdapat tiga produk unggulan yang bisa dipilih oleh pengguna. Di antaranya adalah AturToko+, omnipos dan Buat Toko+. Masing-masing memiliki layanan yang bisa dimanfaatkan oleh penjual baru hingga brand besar.

Untuk saat ini produk yang paling banyak dipilih oleh pengguna adalah AturToko+. Salah satu alasan mengapa makin banyak pengguna memilih produk yang bisa membantu pengguna memasarkan produk mereka dengan bantuan dari tim Atur Toko adalah, agar mereka bisa lebih fokus kepada produksi dan memastikan barang berkualitas.

“Selain itu kami melihat makin banyak di antara mereka yang ingin memiliki kanal penjualan lebih luas lagi dengan biaya yang rendah. Sementara saat ini kebanyakan di marketplace biayanya cukup tinggi dengan besarnya potongan yang dibebankan kepada mereka. Jika ada kanal penjualan lain dengan biaya yang rendah tentunya akan lebih membantu mereka,” kata Bagus.

Bagi mereka penjual baru yang belum memiliki produk bisa bergabung bersama dengan Atur Toko menjadi Drop Ship. Hanya dengan memasarkan semua katalog yang berasal dari brand UMKM yang bergabung dengan Atur Toko, mereka bisa mendapatkan penghasilan tambahan sebagai penjual.

Untuk memudahkan pengguna melakukan pembayaran disediakan pilihan yang bisa dikustomisasi. Meskipun sebagai platform Atur Toko mengedepankan komputasi awan (cloud) namun disediakan pilihan lain untuk mempermudah mereka mengelola bisnis. Ke depannya Atur Toko juga akan mengenakan biaya tahunan untuk pengguna.

“Saya melihat layanan ini bukan one model fit for all ada beberapa variasi model yang kami hadirkan meskipun hanya sedikit pilihannya. Fokus utama kami ke depannya adalah komputasi awan,” kata Bagus.

Gudang e-commerce dan rencana penggalangan dana

Tim dan manajemen Atur Toko / Atur Toko

Bekerja sama dengan pemerintah daerah, Atur Toko mendirikan gudang e-commerce untuk pengembangan UMKM. Gudang e-commerce memungkinkan pelaku UMKM untuk berfokus pada produksi saja sementara Atur Toko akan mengelola keseluruhan proses dan meningkatkan penjualan UMKM. Mulai dari foto produk, manajemen media sosial, kebijakan harga, media pengemasan produk, hingga proses pengiriman kepada pembeli.

Sepanjang tahun 2021, Atur Toko telah berhasil melakukan inisiasi dengan beberapa Pemda untuk menggagas kerja sama pendirian gudang e-commerce bagi UMKM Binaan Pemda. Di antaranya di daerah Garut, Gorontalo, Bekasi, Kalimantan Barat, dan Mojokerto. Di tahun 2022, Atur Toko menargetkan untuk melakukan penetrasi ke 20 Pemerintahan Daerah.

“Selain dapat menyimpan semua produk dari UMKM, Gudang E-commerce Atur Toko juga berfungsi sebagai tempat pelatihan bagi pelaku UMKM yang ingin mengembangkan bisnis. Harapannya kami bisa mengawal usaha mereka, setelah mereka selesai melakukan pelatihan dengan Atur Toko,” kata Bagus.

Setelah menjalankan bisnis secara bootstrap, saat ini Atur Toko telah mengantongi pendanaan awal yang diperoleh dari angel investor. Rencananya pada kuartal pertama tahun 2022 ini, perusahaan akan melakukan penggalangan dana tahapan lanjutan.

Sebelumnya perusahaan mengklaim sempat dilirik oleh dua perusahaan teknologi Indonesia untuk kemudian diakuisisi. Namun demikian karena tidak adanya kesepakatan di antara kedua belah pihak, proses akuisisi tersebut tidak dilanjutkan.

“Tujuan kami sejak awal adalah bisa menciptakan supply chain dengan biaya yang rendah untuk supplier. Yang menarik dari social commerce adalah, semua biaya bisa sangat rendah karena memanfaatkan kanal seperti media sosial untuk berjualan, sehingga mereka bisa fokus kepada penyediaan produk yang bagus dan dari sisi logistik bisa memuaskan untuk pelanggan,” tutup Bagus.

Strategi Borzo Perkuat Layanan Pengiriman Instan di Indonesia

Persaingan industri logistik last-mile di Indonesia begitu ketat, terlihat dari melimpahnya para pemain yang bermain di segmen ini. Sebut saja ada JNE, Tiki, SiCepat, J&T, Ninja Express, AnterAja, GoSend, GrabExpress, Pos Indonesia, pemain e-commerce juga memiliki armada last-mile sendiri, seperti Blibli, Lazada, Zalora, dan Shopee, dan masih banyak lagi. MrSpeedy termasuk ke dalam bagian ini.

Startup yang beroperasi di Indonesia sejak September 2017 ini, kini resmi rebranding menjadi “Borzo Indonesia” setelah perusahaan induknya Dostavista mengantongi pendanaan seri C senilai $35 juta pada Agustus 2021. Borzo menjadi merek tunggal yang digunakan untuk menyeragamkan bisnis induk yang tersebar di 10 negara.

Sebelumnya, perusahaan tersebut menggunakan merek yang berbeda di masing-masing negara, misalnya, Dostavista (Mexico dan Rusia), Click Entregas (Brazil), WeFast (India), Quickers (Korea Selatan), dan Tanzhida (Tiongkok).

Saat dihubungi DailySocial.id, Country Manager Borzo Indonesia Devi Siska menuturkan dengan perubahan merek dagang baru, memberi amunisi baru bagi perusahaan untuk memperkuat fokusnya di pengiriman same day ke lebih banyak kota dengan estimasi pengiriman empat jam. “Sebelumnya, Borzo bergerak di instant delivery yaitu satu jam sampai [tujuan]. Selebihnya, setelah rebranding tidak terlalu banyak yang berubah, hanya segi nama saja yang dibuat lebih global,” tutur dia.

Target pengguna Borzo adalah pemilik bisnis baik itu skala individu, UMKM, dan social commerce yang membutuhkan pengiriman dengan harga mulai dari Rp8 ribu untuk pengiriman instan di 4 km pertama di Jabodetabek dan Rp6 ribu untuk pengiriman same day. Perusahaan juga terhubung secara API dengan Shopify, WooCommerce, dan Openchart.

Cakupan areanya tersebar di lebih dari 45 kota, tidak hanya di kota utama, tapi juga sudah merambah ke kota lapis dua dan tiga di sekitar Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan-Sulawesi.

“Perluasan layanan Borzo di Pulau Jawa sangat pesat karena hampir semua kota-kota besar sudah ter-cover layanan Borzo. Bali dan Madura pada pertengahan tahun ini sudah dibuka dan mengalami perkembangan yang bagus. Sumatera menjadi pulau kedua yang memiliki persebaran terbesar Borzo. Di pulau sekitar Sumatera, juga menjadi target pengiriman Borzo, seperti Batam dan Pekanbaru.”

Devi melanjutkan, pada tahun depan perusahaan akan lebih gencar masuk ke lebih dari 40 kota baru agar semakin banyak pemilik usaha yang dapat menggunakan solusi pengiriman instan dan same day.

Sayangnya dia enggan memaparkan lebih lanjut terkait pertumbuhan bisnis secara keseluruhan perusahaan, termasuk jumlah armada yang kini telah bergabung dengan Borzo. Hanya dijelaskan, bahwa armada aktif Borzo yang terus mengambil pesanan konsumen berada di kisaran 10 ribu kurir. Perusahaan sendiri mengandalkan armada roda dua dan roda empat dalam mengirim pesanan ke konsumen, dan beroperasi 24 jam dalam seminggu.

Sebagai perusahaan teknologi, diklaim Borzo menyediakan aplikasi untuk pengguna bisnis yang sudah ditenagai dengan algoritma pemilihan kurir dengan rating tertinggi, dan terdekat dari posisi konsumen, sehingga durasi pengiriman akan jauh lebih cepat. “Nilai yang kami tawarkan dengan harga yang kompetitif dan bisa dengan integrasi API untuk proses pengiriman yang lebih mudah.”

Pemesanan layanan Borzo sejauh ini tersedia dengan tiga metode, melalui situs, aplikasi, dan langsung menghubungi customer service. Konsumen juga dapat memilih jadwal pengiriman sesuai kebutuhan dan ke berbagai alamat dalam sekali pemesanan untuk menghemat ongkos kirim. Setelah kurir mengambil pesanan, konsumen juga dapat melacak proses pengiriman melalui situs dan aplikasi. Pun begitu pesanan terkirim, akan ada notifikasi SMS yang otomatis dikirimkan.

Dalam perluasan layanan pengiriman instan, baru-baru ini perusahaan merilis fitur Buyout yang memungkinkan konsumen untuk membeli barang dengan jasa kirim instan di Borzo. Mekanismenya, kurir akan membelikan di toko/mal/warung barang sesuai dengan alamat, nama barang, dan harga yang dicantumkan di pesanan.

Maksimal pesanan untuk memanfaatkan fitur ini adalah Rp300 ribu, harga yang dibayarkan sesuai dengan struk pembelanjaan, dan pembayaran dilakukan dalam bentuk tunai (untuk barang yang dibeli), sementara untuk ongkos kirim dengan pembayaran top up. Layanan ini bisa diakses melalui aplikasi dan situs.

Demand pengiriman dari service Buyout terus meningkat, terutama di region selain Jabodetabek yang memerlukan dana talangan terlebih dulu dari kurir untuk membeli kebutuhan pengguna Borzo.”

Tantangan di logistik last-mile

Meski pemain last-mile di Indonesia terkesan sudah sesak, namun sejatinya segmen ini masih memiliki pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan karena ini merupakan satu indikator penting dalam memastikan loyalitas pelanggan. Dalam sebuah riset disebutkan, sebanyak 56% pembeli tidak akan membeli dari suatu merek lagi jika mereka tidak puas dengan layanan pengiriman.

Beberapa permasalahannya adalah tingginya biaya pengiriman, disebutkan pengiriman last-mile itu menyumbang lebih dari 53% dari total biaya pengiriman. Selain itu, last mile delivery juga memakan biaya hingga 41% dari total biaya supply chain. Belum lagi, jika dikenakan dengan biaya tak terduga seperti biaya untuk pengembalian barang (return shipping) atau keterlambatan pengiriman barang karena salah alamat dan barang rusak.

Salah satu alasan utamanya adalah kurangnya infrastruktur untuk mengirimkan produk tepat waktu; penentuan rute yang tidak efisien; visibilitas yang kurang transparan; status gagal dan keterlambatan pengiriman; dan, kejadian tak terduga.

Oleh karenanya, dibutuhkan solusi-solusi dalam memecahkan permasalahan tersebut, yakni optimasi rute; pelacakan barang dan kurir secara real-time; alokasi kiriman secara otomatis ke kendaraan yang tepat; dan bukti pengiriman secara digital.

Kesempatan tersebut menjadi ranah yang digarap para pemain startup logistik yang fokus menyediakan solusi SaaS berbentuk integrasi API, tidak hanya untuk last mile tapi juga mencakup first mile. Beberapa pemainnya, ada MileApp, Kargo, Luwjistik, Waresix, McEasy, dan masih banyak lagi.