Mengoptimalkan Keikutsertaan Founder dan Startup di Program Inkubator

Program inkubator atau akselerator masih akan relevan saat ini, khususnya bagi startup tahap awal yang tengah memvalidasi bisnisnya. Faktanya banyak pertumbuhan startup dimulai dari sana. Di Indonesia, beberapa nama seperti Payfazz, Halofina, Privy, dan Storial merupakan jebolan dari program tersebut dengan penyelenggara berbeda-beda.

Banyak hal yang bisa jadi “takeaways” bagi founders – tentu ini bukan sekadar berbicara modal awal yang umumnya disalurkan melalui program ini. Untuk memberikan gambaran apa saja yang bisa didapat founder ketika bergabung di program inkubator, DailySocial mencoba mengumpulkan beberapa testimoni dari berbagai sumber.

Mematangkan ide bisnis, peluang kolaborasi awal

Cerita ini datang dari Founder & CEO PrivyID Marshall Pribadi. Program inkubator yang diikutinya adalah Indigo besutan grup Telkom. Ia mengatakan, keterlibatannya di inkubator menciptakan lingkungan yang tepat bagi pengembangan ide dan konsep bisnis startupnya.

“Ide PrivyID ini konsep awalnya berupa digital identity. Dengan platform PrivyID, pengguna tidak lagi harus isi formulir pendaftaran lagi untuk apply apapun, contohnya asuransi, kartu kredit, buka rekening bank, dan lain-lain. Biasanya, setiap kali mendaftar sesuatu, pengguna harus berulang kali mengisi data diri seperti nama, alamat, tanggal lahir, dan sebagainya. Untuk tanda tangannya dapat dilakukan secara digital. Ide seperti ini, di tahun 2015, masih asing,” ujarnya.

Marshall melanjutkan, dengan masuk program inkubator Indigo, PrivyID tidak hanya mendapatkan investasi awal, tetapi juga berhasil memperoleh klien pertama dan ide yang berharga. Saat mentoring, ia mendapatkan saran mengenai username PrivyID yang disusun dari kombinasi 2 huruf inisial nama dan 4 digit nomor telepon genggam.

“Adanya Telkom Indonesia sebagai klien pertama juga membuat PrivyID lebih dipercaya oleh perusahaan-perusahaan lain yang ingin memanfaatkan layanannya,” ungkapnya.

Kesuksesan tetap ditentukan oleh founder

Selain pembelajaran dari mentor berpengalaman, keuntungan lain yang bisa didapat dari keikutsertaan startup di program inkubator/akselerator adalah memperluas jaringan ke ekosistem. Penyelenggara program umumnya memiliki platform yang menghubungkan antara startup, investor, atau stakeholder lain yang berpeluang untuk kolaborasi, termasuk dengan sesama startup lain. Hal ini turut dirasakan Co-Founder & CEO Halofina Adjie Wicaksana.

Adjie dan startupnya tergabung di program GK-Plug and Play Indonesia. Menurutnya, manfaat sebuah program pengembangan bisnis seperti ini akan sangat tergantung pada tingkat partisipasi founder. Untuk itu, sebelum memulai program (bahkan mendaftar), pastikan founder punya target capaian yang jelas – apa yang ingin mereka optimalkan melalui program ini. Apakah mencari investor, mendapatkan mentor, mematangkan produk, atau lainnya.

Set our own target expectation. Pada akhirnya, program akselerator adalah sebuah fasilitas. Kita sendiri yang perlu melakukan berbagai upaya untuk memaksimalkan kesempatan tersebut. Melakukan goal setting di awal akan membantu kita meraih hasil optimal dari program tersebut,” ujar Adjie.

Mengoptimalkan keikutsertaan

Startup pengembang platform publikasi konten kreatif Storial juga sempat mengikuti program akselerator Skala. Co-Founder & CEO Steve Wirawan mengatakan, keikutsertaannya di program tersebut memberikan banyak pembelajaran, termasuk mengenai pengembangan produk, membangun tim yang efisien, menentukan prioritas, dan perluasan jaringan bisnis. Hadirnya mentor berpengalaman begitu dirasakan manfaatnya.

Always be hungry to learn. Unlearn what you’ve already known, drop all the assumptions that was already built in your mind and re-learn. Selalu memiliki rasa ingin tahu dan minta akses ke banyak network untuk diperkenalkan,” ujar Steve memberikan kiatnya.

Soal effort founder di program inkubator ini juga diamini Marshall. “Jika ingin optimal dalam mengikuti program inkubator, jangan berpikir bahwa dengan masuk inkubator semuanya akan diberikan dari mentor hingga investasi. Inkubator ada untuk menyediakan environment yang sesuai untuk ide bisnis yang dimiliki.”

Founder atau startup sendirilah yang harus bisa tumbuh dan berkembang melalui lingkungan yang disediakan. Selain itu, menurut Marshall, jangan pula meremehkan kebaikan-kebaikan dari orang yang ditemui.

Memilih program yang pas

Makin berkembangnya ekosistem startup di Indonesia – khususnya terkait minat anak muda untuk menjadi founder startup – ditanggapi baik para penyelenggara program inkubator. Para penyelenggara tersebut hadir dari berbagai kalangan, mulai dari korporasi, media, pemodal ventura, hingga institusi lainnya. Latar belakang tersebut kadang memberikan diferensiasi antar program.

Program IDX Incubator yang diprakarsai Bursa Efek Indonesia misalnya, mendesain programnya untuk startup yang berminat go public atau IPO. Beda lagi dengan Mandiri Digital Incubator yang digawangi perusahaan perbankan dan mendampingi startup di bidang keuangan. DSLaunchpad, yang dihadirkan DailySocial, secara khusus memfasilitasi para founder (terutama di luar Jawa) untuk bisa mengikuti program mentorship secara online. Ada juga Simona Ventures yang disajikan khusus untuk founder perempuan.

Meskipun demikian, biasanya memiliki aktivitas-aktivitas umum yang sama, seperti bimbingan dengan pakar dari industri, networking, hingga membagikan sumber daya. Spesialisasi tadi bisa menjadi tambahan pertimbangan founder untuk memilih sebuah program inkubator/akselerator. Apalagi saat ini terbuka akses bagi pelaku startup Indonesia untuk bergabung dengan program global, misalnya Y Combinator, Google Launchpad Accelerator, Surge, dan lain-lain.

Sudah ada sejumlah penyelenggara program inkubator/akselerator startup di Indonesia. Beberapa yang masih aktif di antaranya adalah:

Nama Program Penyelenggara Situs Web
Digitaraya Digitaraya https://digitaraya.com/
DSLaunchpad DailySocial https://dailysocial.id/dslaunchpad
GK-Plug and Play Gan Kapital, Plug and Play Indonesia https:/plugandplaytechcenter.com/indonesia/
GnB Accelerator Pegasus Tech, Infocom Corporation https://gnb.ac/
IDX Incubator Bursa Efek Indonesia http://idxincubator.com/
Indigo Creative Nation Telkom Group http://indigo.id/
Kolaborasi Kolaborasi https://kolaborasi.co/
Mandiri Digital Incubator Mandiri Capital Indonesia https://mandiri-capital.co.id/en/mandiri-digital-incubator/
Skala Innovation Factory, Strive https://joinskala.com/
Simona Ventures Digitaraya http://simona.ventures/
Skystar Ventures Universitas Multimedia Nusantara, Kompas http:/skystarventures.com/
Synergy Bank Central Asia https://synrgy.id/
Xcelerate Gojek https://www.gojek.com/gojekxcelerate/

Konsumsi Digital, Antara Pembajakan dan Konten Berbayar

Pembajakan karya masih terus menghantui kreator di Indonesia. Meski teknologi digital mulai berkembang, pertempuran dengan pembajak masih terus berlanjut hingga sekarang. Beberapa platform mulai muncul dengan beragam solusi mengatasi hal ini. Tidak menghabiskan tenaga melawan pembajakan, tetapi memudahkan mekanisme agar kreator bisa dihargai lebih layak.

Penyelesaian kasus pembajakan di Indonesia layaknya benang kusut yang tak ada ujungnya. Kasus terbaru yang ramai jadi perbincangan adalah kasus penutupan situs ilegal streaming film. Kejadian ini membagi masyarakat internet menjadi dua kubu, mereka yang menyayangkan dan mereka yang menyambut positif. Saya pribadi cukup yakin situs streaming film ilegal menjadi salah satu penyebab berdarah-darahnya kelangsungan platform video on demand (legal) di Indonesia.

Internet berkembang di Indonesia bersama dengan pemikiran bahwa semua yang ada di dalamnya adalah gratis, termasuk foto, video, gambar, teks, dan lainnya. Masih banyak orang beranggapan bahwa semua yang diletakkan di internet adalah menjadi milik umum. Dengan kata lain bisa dimanfaatkan siapa saja dan untuk apa saja.

Pandangan keliru ini sayangnya masih dipercaya banyak orang, bahkan para pengguna internet baru. Hal ini mengakibatkan tugas mengedukasi perihal lisensi dan hak cipta semakin berat.

Pokok permasalahannya adalah keengganan membayar konten digital. Tembok penghalang bernama sistem pembayaran sudah mulai runtuh berkat adanya platform uang elektronik dan integrasi dengan banyak sistem. Permasalahan “malas ke ATM untuk transfer” atau “tidak punya kartu kredit” perlahan-lahan menghilang.

Akhirnya kita kembali ke pertanyaan klasik “kalau ada yang gratis ngapain bayar”. Padahal di dalam sebuah konten digital terdapat usaha keras sang pembuat karya yang harus tetap hidup dan menghidupi keluarganya.

Founder Karyakarsa Ario Tamat mengungkapkan, kecenderungan masyarakat membajak atau enggan membayar untuk sebuah karya disebabkan karena kurangnya pemahaman terhadap dampak.

“Menurut saya, kesadaran soal hak cipta itu belum ada seiring dengan persepsi dampak. Misalnya, mungkin kebanyakan dari kita ringan saja men-torrent sebuah film seri yang memang tidak tersedia di Indonesia, karena tidak terlihat dampaknya untuk pembuat konten. Malah ‘Ah, kan Disney udah kaya, salah sendiri nggak rilis di Indonesia’ misalnya atau ‘nggak papalah Taylor Swift duitnya udah banyak’. Konsekuensi untuk pembajak pun tidak jelas,” terang Ario.

Membayar untuk konten digital sebenarnya sudah berjalan jika konteks yang dibahas adalah game. Mobile Legends, PUBG Mobile, dan game mobile populer lainnya telah menjadi pengalaman pertama bagi banyak pemain game untuk membayar item pertama mereka. Bentuk pembayaran Google Play yang semakin luwes membuat para pemain game tak ragu menukarkan uang miliknya dengan diamonds atau coins dalam permainan.

Pendekatan yang berbeda

Saat ini, untuk menjangkau pengguna, kebanyakan platform mengusung pendekatan freemium dengan konsep berlangganan. Pengguna ditawari banyak konten gratis, namun beberapa konten dikunci dan hanya bisa diakses bila pengguna membayar.

Strategi ini cukup banyak digunakan berbagai jenis konten digital. Tak hanya platform streaming musik atau film, Berlangganan seperti ini juga bisa dijumpai untuk konten komik, foto, dan lainnya.

Pada dasarnya cara ini menarik minat pengguna terlebih dahulu dengan koleksi konten yang ada. Selanjutnya, ketika keterikatan dengan pengguna sudah terjalin, akan ada konten-konten khusus atau konten lanjutan yang dijajakan secara berbayar. Jika pengguna menikmati pengalamannya dalam menggunakan konten secara gratis, biasanya tidak susah mengubahnya menjadi pengguna berbayar. Sebaliknya, jika pengalaman yang dihadirkan buruk, mereka akan lari.

Platform Storial.co yang menyediakan konten fiksi dalam bentuk buku digital sudah menerapkan strategi ini. Dengan total 50.000 judul buku dan 15.000 penulis, Storial mengkaim menggaet jutaan pembaca. Konten fiksi di dalamnya banyak yang naik cetak bahkan diadaptasi dalam bentuk lain, seperti film dan web series.

CEO StorialSteve Wirawan kepada DailySocial menceritakan bahwa sebelum pandemi ini ada pengguna mereka bisa membaca sekitar 30 bab per minggu. Angka ini naik dua kali lipat di masa pandemi seperti sekarang. Waktu luang disinyalir menjadi salah satu penyebabnya.

“Menurut saya, kaum milenial di Indonesia ini kebanyakan bucin [budak/butuh cinta -Red], pasti banyak kan yang nonton drama korea di masa pandemi ini. Begitu juga dengan konten fiksi yang sukses bikin pembaca baper itu sangat digemari oleh pengguna kami yang kebanyakan perempuan berusia di bawah 20 tahun,” terang Steve.

Menurut Steve, kunci untuk bisa membuat orang membayar untuk konten digital ada pada konten itu sendiri. Selama konten dekat dan diterima pengguna, tingkat konversi dari pembaca gratis ke pembaca berbayar cukup tinggi.

“Konten yang menarik adalah kuncinya. Saya kira selama kontennya engage dengan pembaca, karakter dalam ceritanya kuat dan nyata yang membuat orang bisa relate dengan diri mereka, jalan cerita yang membuat mereka baper dan penasaran untuk tahu kelanjutannya, pasti membuat mereka mau bayar,” lanjut Steve.

Ario menambahkan, setidaknya ada dua hal yang bisa dimanfaatkan untuk mengurangi atau menekan angka pembajakan karya. Dengan memanfaatkan teknologi atau memanfaatkan pendekatan yang baru, dukungan langsung penikmat karya ke pembuat karya.

“Pertama dengan menciptakan teknologi hiburan yang perlindungan HKI-nya sudah jadi satu, seperti Spotify atau Netflix yang kontennya tidak bisa dinikmati di luar aplikasi masing-masing. Yang kedua menawarkan konten dengan model bisnis yang tidak terlalu tergantung ke proteksi, tapi ke partisipasi penikmat karya, seperti KaryaKarsa,” jelas Ario.

Semua bisa berkarya, semua berhak didukung

Platform yang menjembatani konten kreator dengan para penikmat karyanya akan menjadi masa depan bagi pembuat  dan penikmat konten digital. Kehadiran platform ini selain memangkas jarak idola dengan para penggemarnya juga menghapus bias, mana penikmat karya dan mana yang orang penikmat konten gratis.

Kecanggihan teknologi dan perangkat lunak telah melahirkan banyak bentuk turunan konten digital yang baru. Tak hanya buku, film, dan musik tetapi juga streaming game, pelatihan olahraga online, webinar, stand up comedy, podcast, dan ragam bentuk lainnya. Kendati bukan barang yang berbentuk, karya digital sudah selayaknya dihargai.

Metode pembayaran kini semakin murah. Akses ke konten digital pun semakin mudah. Platform yang menjembatani sudah banyak bentuknya, tergantung konten seperti apa yang diminati, dan permasalahan kini tinggal pada kesadaran masing-masing. Yang paling ditunggu adalah regulasi dan sanksi pasti bagi setiap pelanggaran yang ada.

Storial Luncurkan Aplikasi Mobile Di Perhelatan Social Media Week Jakarta 2016

Storial, platform berbagi tulisan dari Nulisbuku, meluncurkan aplikasi untuk gawai ber-platform Android. Peluncuran aplikasi tersebut dilakukan di sela-sela acara Social Media Week Jakarta 2016 yang dihelat pada tanggal 25 Februari silam. Melalui aplikasi tersebut diharapkan para pengguna bisa lebih produktif dan mudah dalam mengakses dan berkarya melalui platform Storial.

Storial yang turut andil dalam hajatan Social Media Week Jakarta 2016 dengan mengadakan mini workshop bertema “How to be A Productive Content Maker in Mobile Era”.  Acara tersebut menghadirkan Moammar Emka dan Aulia Halimatussadiah (Ollie) sebagai pembicara. Keduanya sama-sama dikenal sebagai penulis yang produktif menerbitkan buku.

Di sela-sela workshop pihak Storial secara resmi merilis aplikasi mobile Storial untuk Android. CEO Storial Steve Wirawan bersama seluruh peserta workshop melakukan countdown dalam seremoni peluncuran aplikasi Storial.

[Baca juga: NulisBuku Luncurkan Platform Berbagi Cerita Storial]

“Dengan adanya aplikasi ini, pengguna Storial kini dapat mengunggah ceritanya di mana saja dan kapan saja dengan mudah, serta aplikasi ini bisa menjadi surga bagi para pembaca,” ujar Steve.

Steve lebih lanjut menambahkan meski sementara ini baru tersedia untuk gawai ber-platform Andorid namun tim Storial akan mengupayakan untuk segera meluncurkan aplikasi untuk gawai ber-platform iOS.

Secara konsep, Storial merupakan platform yang sedikit mirip dengan blog pribadi, seperti Medium, Blogspot atau WordPress, yang juga berfungsi menghubungkan penulis satu dengan penulis lainnya serta para pembaca.

Terobosan yang dilakukan Storial ini bisa dikatakan strategi untuk menggaet lebih banyak pengguna. Storial pada dasarnya hadir untuk membantu proses kreatif penggunanya dalam menulis buku dengan memberikan fitur komunikasi dan interaksi dengan pengguna lain. Hadirnya aplikasi ini bisa menjadi cara lain yang lebih sederhana dan lebih mobile untuk mengakses fitur-fitur platform Storial.

Application Information Will Show Up Here