“Venture Builder” WGSHub Kembangkan Ekosistem Dukung Digitalisasi UMKM dan Startup

WGSHub (PT Wira Global Solusi) merupakan venture builder atau inkubator startup sebagai anak perusahaan PT Walden Global Services. Dengan ekosistem Hak Kekayaan Intelektual, pendidikan teknologi informasi, kapasitas engineering, skill teknologi mutakhir, dan jaringan bisnis dan finansial, misi WGSHub adalah untuk menghemat biaya, meningkatkan penjualan, dan mengoptimalkan valuasi mitra dan pelanggannya.

Tidak hanya platform yang berbasis teknologi, tetapi juga perusahaan konvensional yang ingin mengadopsi digital di dalam perusahaan mereka, menjadi target mitra mereka.

Kepada DailySocial, Direktur Utama WGSHub, Edwin Pramana mengungkapkan, sebagai venture builder, WGSHub ingin memberikan kontribusi berupa teknologi berupa kepada mitra yang bergabung.

“Meskipun serupa dengan venture capital pada umumnya, [..] WGSHub ingin memberikan teknologi kepada startup hingga UMKM yang ingin mengakselerasi bisnis mereka. Dalam bentuk teknologi, kami yakin bisa membantu mereka mempercepat bisnis dan tentunya memanfaatkan modal dari pendanaan yang telah dilakukan untuk kepentingan lainnya,” kata Edwin.

Terdapat tiga kategori mitra yang dilirik WGSHub. Yang pertama adalah mereka yang sebelumnya telah memiliki pengalaman dalam industri tertentu atau yang disebut dengan industrial expert atau professional hire. Yang berikutnya adalah perusahaan konvensional yang dikelola generasi kedua hingga ketiga dan masih menjalankan bisnis kebanyakan secara offline. Yang terakhir adalah startup atau UMKM yang telah mendapatkan profit namun ingin mengembangkan bisnis lebih besar lagi.

Terdapat dua revenue stream yang menjadi fokus perusahaan. Yang pertama adalah penggunaan layanan yang berada dalam naungan WGSHub atau yang masuk dalam kategori business as usual. Revenue stream yang kedua adalah dividen sebagai portofolio. Dividen inilah yang sifatnya eksponensial layaknya startup.

Untuk memperluas peluang pendanaan portofolio, WGSHub juga menjalin kerja sama strategis dengan perusahaan investasi ternama. Saat ini mereka sudah memiliki lima perusahaan portofolio. Tak hanya fokus memberikan kontribusi dalam bentuk bantuan teknologi, perusahaan juga ingin mengawal pertumbuhan bisnis mereka hingga bisa melantai di Bursa Efek Indonesia.

“Kami sangat optimis pada perkembangan WGSHub ke depannya. Saat ini pun sudah ada lebih dari 10 pipeline yang sedang kami jajaki. Di antaranya ada F&B tech, fashion tech, cybersecurity, animation studio, dan lainnya, sehingga kami yakin mendapatkan potensi revenue dan peningkatan nilai neraca secara signifikan,” kata Edwin.

Telah melantai di bursa

WGSHub telah melakukan Initial Public Offering (IPO) dengan ticker symbol atau kode WGSH di awal Desember 2021. Sesuai rencana, dana hasil IPO akan digunakan untuk modal kerja perseroan.

“Ketika hadir sebagai venture builder, selain memberikan solusi untuk mitra kita, mereka juga bisa berinvestasi di WGSHub dengan membeli saham di secondary market. Mereka juga bisa membeli saham di portofolio milik WGSHub,” kata Edwin.

Untuk menjangkau lebih banyak pelaku UMKM dari industri kerajinan hingga industri kreatif, WGSHub mulai fokus ke metaverse dan NFT. Baru-baru ini perusahaan telah mengakuisisi Wangsa Ultima Kreasi (Mythologic Studio) untuk mewujudkan rencana tersebut.

Mythologic Studio merupakan Studio Animasi 3D yang sudah lama malang-melintang di industri. Salah satu karyanya adalah produksi film animasi serial Kiko yang tayang di Netflix. Perseroan bersama Mythologic Studio akan menyempurnakan ekosistem, yaitu mendukung kebutuhan 3D modeling, game asset, Augmented Reality, sampai tren masa depan seperti Metaverse dan NFT.

“Tahun 2022 ini kami juga berencana untuk meluncurkan venture capital yang menargetkan startup yang masih berada di tahap awal pendanaan. Cara kerjanya juga serupa dengan venture capital pada umumnya,” kata Edwin.

[Video] Misi Skystar Ventures Membangun Ekosistem Startup lewat Mahasiswa

Skystar Ventures adalah inkubator startup UMN yang memiliki fokus pengembangan sumber daya manusia, startup tahap awal, dan startup tahap berkembang sehingga memberi nilai tambah.

Di video ini, DailySocial bersama Octa Ramayana dari Skystar Ventures membahas cara dan strategi perusahaan dalam mengembangkan ekosistem startup, khususnya di kalangan mahasiswa.

Untuk video menarik lainnya seputar startup dan teknologi, kunjungi kanal YouTube DailySocialTV.

Daftar Program Inkubator dan Akselerator untuk Startup Indonesia 2021

Program inkubator atau akselerator startup dapat dipilih founder untuk membantu memaksimalkan proses peningkatan skala bisnis. Pada umumnya, program tersebut menawarkan rangkaian kegiatan pembelajaran dengan kurikulum yang spesifik — bahkan beberapa di antaranya memilih banyak fokus di vertikal bisnis tertentu saja.

Kendati dikemas dalam aktivitas yang hampir sama, inkubator dan akselerator memiliki perbedaan spesifik, terutama dalam kaitannya dengan target pesertanya. Inkubator lebih fokus kepada startup tahap awal, bahkan startup yang baru mau terbentuk. Tujuan utamanya membantu founder untuk mengembangkan ide, model bisnis, hingga mengeksekusi minimum viable product (MVP).

Sementara program akselerator fokusnya membantu startup yang sudah mencapai product-market fit [penerimaan produk di pasar] untuk melakukan eskalasi bisnis atau growth. Di tahap ini founder akan lebih banyak diajarkan tentang bagaimana melakukan ekspansi produk, growth hacking, hingga penggalangan dana ke investor untuk tahapan lebih lanjut.

Dari tahun ke tahun, program inkubator dan akselerator startup terus bermunculan dari berbagai pihak baik dari dalam maupun luar negeri. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan DailySocial, per tahun 2021 ini ada sekitar 17 program inkubator dan/atau akselerator yang masih aktif membuka batch untuk startup baru. Banyak di antaranya mengonversi kegiatan secara virtual di tengah pembatasan akibat pandemi.

Berikut daftar selengkapnya:

Inkubator Akselerator Startup Indonesia 2021

Sebagian besar, rangkaian program akselerator startup di Indonesia terdiri dari beberapa agenda. Dimulai dari seleksi ketat melalui perencanaan dan proyeksi bisnis — juga kecakapan founder. Dilanjutkan sesi mentoring dengan para pakar di berbagai bidang, mulai dari bisnis, pemasaran, hingga teknologi.

Tak sedikit pula saat sesi mentoring penyelenggara mempertemukan startup dengan berbagai kalangan, termasuk investor. Gunanya untuk memberikan validasi terhadap bisnis yang dikembangkan dari perspektif penanam modal. Sesi ini rata-rata memakan waktu yang cukup lama, berkisar antara 1 s/d 6 bulan. Dan setiap batch ada yang merekrut lima sampai puluhan startup binaan.

Acara puncaknya, startup akan diminta untuk melakukan pitching dalam sebuah “demo day”. Penyelenggara akan mengundang berbagai pihak, terutama venture capital, angel investor, hingga perusahaan yang berpotensi menjadi mitra strategis mereka.

DailySocial sendiri memiliki program inkubator yang dilakukan secara rutin setiap tahun bernama DSLaunchpad. Tahun 2021 rangkaian kegiatan akan sepenuhnya dilakukan secara online, mempertemukan founder dengan kurikulum pengembangan bisnis komprehensif, dipandu jajaran mentor berpengalaman. Pembaruan informasi tentang program tersebut dapat disimak melalui laman https://launchpad.dailysocial.id/.


Disclosure: Marsya Nabila berpartisipasi dalam penyusunan publikasi ini.
Gambar Header: Depositphotos.com

Mengoptimalkan Keikutsertaan Founder dan Startup di Program Inkubator

Program inkubator atau akselerator masih akan relevan saat ini, khususnya bagi startup tahap awal yang tengah memvalidasi bisnisnya. Faktanya banyak pertumbuhan startup dimulai dari sana. Di Indonesia, beberapa nama seperti Payfazz, Halofina, Privy, dan Storial merupakan jebolan dari program tersebut dengan penyelenggara berbeda-beda.

Banyak hal yang bisa jadi “takeaways” bagi founders – tentu ini bukan sekadar berbicara modal awal yang umumnya disalurkan melalui program ini. Untuk memberikan gambaran apa saja yang bisa didapat founder ketika bergabung di program inkubator, DailySocial mencoba mengumpulkan beberapa testimoni dari berbagai sumber.

Mematangkan ide bisnis, peluang kolaborasi awal

Cerita ini datang dari Founder & CEO PrivyID Marshall Pribadi. Program inkubator yang diikutinya adalah Indigo besutan grup Telkom. Ia mengatakan, keterlibatannya di inkubator menciptakan lingkungan yang tepat bagi pengembangan ide dan konsep bisnis startupnya.

“Ide PrivyID ini konsep awalnya berupa digital identity. Dengan platform PrivyID, pengguna tidak lagi harus isi formulir pendaftaran lagi untuk apply apapun, contohnya asuransi, kartu kredit, buka rekening bank, dan lain-lain. Biasanya, setiap kali mendaftar sesuatu, pengguna harus berulang kali mengisi data diri seperti nama, alamat, tanggal lahir, dan sebagainya. Untuk tanda tangannya dapat dilakukan secara digital. Ide seperti ini, di tahun 2015, masih asing,” ujarnya.

Marshall melanjutkan, dengan masuk program inkubator Indigo, PrivyID tidak hanya mendapatkan investasi awal, tetapi juga berhasil memperoleh klien pertama dan ide yang berharga. Saat mentoring, ia mendapatkan saran mengenai username PrivyID yang disusun dari kombinasi 2 huruf inisial nama dan 4 digit nomor telepon genggam.

“Adanya Telkom Indonesia sebagai klien pertama juga membuat PrivyID lebih dipercaya oleh perusahaan-perusahaan lain yang ingin memanfaatkan layanannya,” ungkapnya.

Kesuksesan tetap ditentukan oleh founder

Selain pembelajaran dari mentor berpengalaman, keuntungan lain yang bisa didapat dari keikutsertaan startup di program inkubator/akselerator adalah memperluas jaringan ke ekosistem. Penyelenggara program umumnya memiliki platform yang menghubungkan antara startup, investor, atau stakeholder lain yang berpeluang untuk kolaborasi, termasuk dengan sesama startup lain. Hal ini turut dirasakan Co-Founder & CEO Halofina Adjie Wicaksana.

Adjie dan startupnya tergabung di program GK-Plug and Play Indonesia. Menurutnya, manfaat sebuah program pengembangan bisnis seperti ini akan sangat tergantung pada tingkat partisipasi founder. Untuk itu, sebelum memulai program (bahkan mendaftar), pastikan founder punya target capaian yang jelas – apa yang ingin mereka optimalkan melalui program ini. Apakah mencari investor, mendapatkan mentor, mematangkan produk, atau lainnya.

Set our own target expectation. Pada akhirnya, program akselerator adalah sebuah fasilitas. Kita sendiri yang perlu melakukan berbagai upaya untuk memaksimalkan kesempatan tersebut. Melakukan goal setting di awal akan membantu kita meraih hasil optimal dari program tersebut,” ujar Adjie.

Mengoptimalkan keikutsertaan

Startup pengembang platform publikasi konten kreatif Storial juga sempat mengikuti program akselerator Skala. Co-Founder & CEO Steve Wirawan mengatakan, keikutsertaannya di program tersebut memberikan banyak pembelajaran, termasuk mengenai pengembangan produk, membangun tim yang efisien, menentukan prioritas, dan perluasan jaringan bisnis. Hadirnya mentor berpengalaman begitu dirasakan manfaatnya.

Always be hungry to learn. Unlearn what you’ve already known, drop all the assumptions that was already built in your mind and re-learn. Selalu memiliki rasa ingin tahu dan minta akses ke banyak network untuk diperkenalkan,” ujar Steve memberikan kiatnya.

Soal effort founder di program inkubator ini juga diamini Marshall. “Jika ingin optimal dalam mengikuti program inkubator, jangan berpikir bahwa dengan masuk inkubator semuanya akan diberikan dari mentor hingga investasi. Inkubator ada untuk menyediakan environment yang sesuai untuk ide bisnis yang dimiliki.”

Founder atau startup sendirilah yang harus bisa tumbuh dan berkembang melalui lingkungan yang disediakan. Selain itu, menurut Marshall, jangan pula meremehkan kebaikan-kebaikan dari orang yang ditemui.

Memilih program yang pas

Makin berkembangnya ekosistem startup di Indonesia – khususnya terkait minat anak muda untuk menjadi founder startup – ditanggapi baik para penyelenggara program inkubator. Para penyelenggara tersebut hadir dari berbagai kalangan, mulai dari korporasi, media, pemodal ventura, hingga institusi lainnya. Latar belakang tersebut kadang memberikan diferensiasi antar program.

Program IDX Incubator yang diprakarsai Bursa Efek Indonesia misalnya, mendesain programnya untuk startup yang berminat go public atau IPO. Beda lagi dengan Mandiri Digital Incubator yang digawangi perusahaan perbankan dan mendampingi startup di bidang keuangan. DSLaunchpad, yang dihadirkan DailySocial, secara khusus memfasilitasi para founder (terutama di luar Jawa) untuk bisa mengikuti program mentorship secara online. Ada juga Simona Ventures yang disajikan khusus untuk founder perempuan.

Meskipun demikian, biasanya memiliki aktivitas-aktivitas umum yang sama, seperti bimbingan dengan pakar dari industri, networking, hingga membagikan sumber daya. Spesialisasi tadi bisa menjadi tambahan pertimbangan founder untuk memilih sebuah program inkubator/akselerator. Apalagi saat ini terbuka akses bagi pelaku startup Indonesia untuk bergabung dengan program global, misalnya Y Combinator, Google Launchpad Accelerator, Surge, dan lain-lain.

Sudah ada sejumlah penyelenggara program inkubator/akselerator startup di Indonesia. Beberapa yang masih aktif di antaranya adalah:

Nama Program Penyelenggara Situs Web
Digitaraya Digitaraya https://digitaraya.com/
DSLaunchpad DailySocial https://dailysocial.id/dslaunchpad
GK-Plug and Play Gan Kapital, Plug and Play Indonesia https:/plugandplaytechcenter.com/indonesia/
GnB Accelerator Pegasus Tech, Infocom Corporation https://gnb.ac/
IDX Incubator Bursa Efek Indonesia http://idxincubator.com/
Indigo Creative Nation Telkom Group http://indigo.id/
Kolaborasi Kolaborasi https://kolaborasi.co/
Mandiri Digital Incubator Mandiri Capital Indonesia https://mandiri-capital.co.id/en/mandiri-digital-incubator/
Skala Innovation Factory, Strive https://joinskala.com/
Simona Ventures Digitaraya http://simona.ventures/
Skystar Ventures Universitas Multimedia Nusantara, Kompas http:/skystarventures.com/
Synergy Bank Central Asia https://synrgy.id/
Xcelerate Gojek https://www.gojek.com/gojekxcelerate/

Pelajaran Berharga Selama 4 Minggu Menjalankan Inkubator Teknologi Full-Online Pertama di Indonesia

Batch pertama dari inkubator startup teknologi online 4-minggu penuh kami, #DSLaunchpad, secara resmi selesai! Hasilnya sangat memuaskan, dan kami merasa bangga bisa ikut serta menebarkan pola pikir startup di seluruh Indonesia. Di akhir program ini, ada 93 startup yang berhasil diluncurkan serta melakukan pitching ke VC.

Inilah pembelajaran kami dari program intensif selama 4 minggu penuh:

Bias antar Pendiri dari Jakarta vs Non-Jakarta

Para pendiri dari luar Jakarta tidak kalah mengagumkan dengan mereka yang ada di Jakarta. Sejujurnya ini adalah masalah yang kami coba selesaikan dari awal. Salah satu alasan dibalik inisiatif kami melakukan program ini. Ternyata, hipotesis kami terbukti benar.

Selama program, kami mengetahui bahwa para pendiri dari luar Jakarta tidak kalah aktif dengan para pendiri di Jakarta. Energi yang mereka salurkan setara. Kesenjangan mungkin terlihat pada tingkat pengetahuan dunia startup, namun masalah itu segera teratasi begitu program dan pendampingan dimulai.

Kami merasa sangat senang dengan kualitas produk yang diluncurkan oleh para pendiri dari program ini, termasuk dari mereka di luar Jakarta yang selalu dianggap inferior di mata investor. Salah satu pendiri dari luar Jakarta bahkan sudah mendapatkan seed funding dari investor hanya dalam beberapa minggu setelah program diluncurkan, menggunakan teknik pitch yang dikembangkan oleh mentornya selama program. Luar biasa bukan!

Tidak semua orang bisa menjadi Founder

Jangan salah paham: semua orang bisa mendirikan startup/perusahaan. Namun, menjadi seorang pendiri/founder adalah isu tersendiri. Perbedaannya? Mereka yang mencari alasan vs mereka yang memberi hasil.

Hal ini bukan sesuatu yang bisa dipaksakan, dan saya menentang persepsi di masyarakat bahwa pengusaha lebih baik daripada karyawan/profesional. Itu tidak benar. Kita semua memiliki tujuan, dan menjadi pendiri/karyawan/profesional adalah cara untuk meraih tujuan itu. Satu hal tidak lebih baik dari yang lain.

Namun, JIKA Anda memutuskan untuk menjadi seorang pendiri, apa yang Anda capai/selesaikan menjadi hal yang paling penting. Terutama di fase awal ketika Anda tidak memiliki selusin tim melakukan segala sesuatunya untuk Anda. Lalu, selama program, kami sebisa mungkin menyampaikan pada para pendiri bahwa menyalurkan energi untuk memberikan hasil adalah usaha terbaik, daripada mencari alasan. Pelanggan menyukai produk Anda, atau tidak. Mereka tidak mau mendengar alasan.

Riset pasar menentukan hidup dan mati

Pembunuh startup nomor 1: tidak ada product market fit. Tidak ada kejutan di sana. Mengapa? Khususnya dalam kasus kami, hal ini disebabkan oleh kurangnya penelitian. Bisa jadi pendiri tahu bagaimana melakukannya namun memilih untuk tidak, atau mereka memang tidak tahu bagaimana caranya. Beruntungnya, hal ini menjadi topik utama untuk minggu pertama program. Lebih dari setengahnya melakukan penyesuaian yang signifikan, beberapa pivot, bahkan ada yang memulai dari awal setelah melakukan riset pasar yang tepat.

Sekali lagi, ada banyak ide bagus yang dikembangkan di awal program, tetapi setelah melakukan penelitian lebih lanjut, mereka menemukan bahwa pasar tidak sebesar itu, tidak tumbuh, tidak ada uang, beberapa pendiri bahkan menemukan bahwa tidak ada pasar sama sekali . Jadi mereka beradaptasi.

Inovasi dapat ditingkatkan

Berhasil dengan tingkat penyelesaian program di 98%, skor Net-promoter di 68%, 93 startup diluncurkan setelah program berakhir (angka ini bertambah dari 42 startup di awal program). Ada banyak sekali ide dan inovasi yang dihasilkan oleh program ini, dalam waktu yang sangat singkat (4 minggu). Juga, dengan biaya yang sangat minim, membuktikan bahwa dengan pengetahuan dan alat yang tepat, Anda dapat menghasilkan produk inovatif dalam skala besar.

Hal ini akan sangat berguna untuk Modal Ventura dan korporasi/enterprise. Daripada menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mencari startup yang ideal untuk berinvestasi/bermitra, mengapa tidak berpartisipasi dan berkolaborasi sejak awal?

Sebagai buah pemikiran.

What We Learned from Running Indonesia’s First Fully Online 4-Week Tech Incubator!

Our first batch of 4-week fully online tech startup incubator, #DSLaunchpad, is officially done! We’re very happy with the results, and so glad we could help spread the startup mindset across Indonesia At the end of the program, 93 startups were launched and pitched to VCs.

Here’s our learnings from those intensive 4 weeks program:

Jakarta vs Non-Jakarta founders bias.

Founders outside of Jakarta is just as awesome as the ones in Jakarta. Seriously. This is the very problem that we’re trying to solve from the beginning. This is one of the reason why we even do this program. And our hypothesis was proven to be right.

During the program, we learned that founders from outside of Jakarta is just as active, as the ones in Jakarta. They’re just as energetic. There might be a gap in the level of knowledge of startup world, that that problem immediately dissipate once the program and mentoring starts.

We’re very happy with the quality of the products launched by the founders from the program, including the ones from outside of Jakarta which was always a black sheep in the eyes of investors. One of the founders from outside of Jakarta actually got seed-funded by an investor just a few week after the program using the pitch technique developed by his mentor during the program. It’s amazing.

Being a founder is not for everyone.

Don’t get me wrong: everyone can be a founder. But being a founder is not for everyone. The difference? Those giving out excuses vs those giving out results.

This is not something that can be forced, and I hated the perception in society that entrepreneurs are better than employees/professionals. That is simply not true. We all have our goals, and being a founder/employee/professional is a way to reach for that goal. One thing is not better than the other.

But, IF you do decide to become a founder, what you achieve/get done matters the most. Especially in the early days when you don’t have a team of a dozen people doing things for you. And during the course of the program, we did our best to communicate to the founders that it’s best to channel the energy in delivering results, instead of looking for excuses. Customers either love your products, or they don’t. They don’t care about your excuses.

Lack of market research is deadly.

The number 1 startup killer: no product market fit. No surprises there. Why? In our particular case, it’s because of the lack of research. Either founders know how to do it but didn’t, or they didn’t know how to do it. Lucky for them, this specific topic is the main topic for the first week of the program. More than half made significant adjustments, some pivot, and some even start from scratch after doing the proper market research.

Again, there were lots of great ideas developed in the early days of the program, but after doing further research, they found out that the market is not that big, not growing, no money, some founders even found that there’s no market at all. So they adapt.

Innovation can be scalable.

With the program completion rate is at 98%, Net-promoter score at 68%,  93 startups went live after the program ends (up from 42 at the start of the program). Lots of ideas and innovation produced by this program, in such short time (4 weeks). And the cost of this program is very minimal, proving that with a proper know-how and the correct tools, you can produce innovative products at scale.

This will particularly useful for Venture Capital and corporate/enterprise. Instead of spending months on end to look for ideal startups to invest/partner with, why not participate and collaborate from the start?

Food for thought.

Inilah 107 Peserta Batch Pertama DSLaunchpad 2020

Sebenarnya kami masih agak kaget melihat hampir 600 founders yang mendaftarkan diri di program DSLaunchpad perdana ini, dan bahkan setelah registrasi-nya ditutup masih banyak founders yang mengirimkan email dan WhatsApp ke tim kami karena mereka terlambat. Memilih 100 startup dari 600 bukan merupakan hal yang mudah, dan bahkan kamipun akhirnya memfasilitasi 106 107 startup dan bukan 100. Karena memang sangat sulit kalau harus memilih 100.

Tapi, antusiasme teman-teman founders yang mendaftarkan diri merupakan dorongan energi untuk kami di DailySocial untuk membuat program ini menjadi berguna untuk para partisipannya. 20 mentor dan 21 rekanan VC juga telah terkonfirmasi partisipasinya dalam program ini.

Dari 106 107 peserta yang lolos, 75% berasal dari luar Jakarta dan total 20% dari luar Pulau Jawa. Kategori terbanyak ada di Edukasi, E-commerce & Retail dan Social Tech. Startup yang terpilih 75% sudah live, dan 25% masih berupa ide dan mayoritas memiliki 3 founder atau lebih.

Sudah tidak sabar melihat 106 107 tim yang masuk ke batch pertama DSLaunchpad 2020? Silahkan simak di daftar berikut.

DSLaunchpad Batch 1 - 2020

Selamat untuk para peserta yang lolos, dan selanjutnya akan kami email untuk proses selanjutnya. Dan untuk para pendaftar DSLaunchpad baik yang lolos maupun tidak, kami juga ada kejutan dari teman-teman di Kartunama, Hacktiv8, FlowerAdvisor dan GoPlay. Cek email kamu ya!

Mendalami Peran Kemenristek Cetak Startup Baru dari Sisi Hulu

Di kabinet yang baru diumumkan beberapa waktu lalu, Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek)/Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) menegaskan perannya dalam mencetak lebih banyak startup baru di sisi hulu. Menteri Bambang Brodjonegoro mempromosikan berbagai program terkait hal tersebut saat berbicara di NextICorn 2019, pekan lalu.

Sebagai catatan, pengembangan ekosistem startup pada Kabinet Kerja, sebelumnya ditempatkan di Kemenkominfo dan Bekraf, yang sekarang dilebur ke Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Indonesia pernah memiliki Kemenparekraf saat pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono.

Tugas tersebut kini dibagi ke Kemenkominfo dan Kemenristek pada Kabinet Indonesia Maju. Menteri Bambang menegaskan pihaknya telah berdiskusi secara matang dengan Menteri Kemenkominfo Johnny G. Plate terkait pembagian kerja.

Bambang memastikan pengembangan startup berbasis teknologi yang tengah digalakkan tidak tumpang tindih dengan program Kemenkominfo, lantaran Kemenristek lebih fokus dalam pembangunan di sisi hulu.

Kemenristek punya direktorat khusus bernama Direktorat Perusahaan Perintis Berbasis Teknologi, bertugas untuk melahirkan sebanyak mungkin startup. Direktorat ini sebenarnya sudah ada sejak Mohamad Nasir (menteri sebelumnya) dan menjalankan program pengembangan startup.

Sayangnya, gaungnya kurang terdengar. Malah punya kesan bersaing dengan Kemenkominfo dengan program 1000 Startup Digital, sebab kurang lebih mirip antara satu sama lain. Bambang menegaskan bahwa ini tidak akan tumpang tindih.

“Kami lebih ke hulu, bertanggung jawab menciptakan sebanyak mungkin startup dan memastikan kontinuitas dari startup tersebut. Sementara Kemenkominfo akan lebih bertugas di hilir, bertanggung jawab untuk infrastrukturnya,” kata Bambang.

Dia menjelaskan direktorat tersebut telah memiliki program PPBT (Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi), startup terpilih akan menerima sejumlah insentif dan pembinaan. Program ini sudah dirintis sejak 2015.

Selain itu, Kemenristek/BRIN juga memiliki beberapa ‘Science Techno Park (STP)’ potensial yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Agar inovasi yang dihasilkan dapat dikomersialisasikan menjadi produk massal, startup binaan didukung dengan ketersediaan inkubasi bisnis yang terdapat di berbagai STP tersebut.

“Artinya startup yang sudah kita bina, kita jaga track record-nya agar menjadi ‘the next unicorn’, walaupun mungkin butuh waktu lama,” imbuhnya.

Program PBBT terbagi jadi tiga tahap. Pertama, CPPBT (Calon Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi) atau lebih dikenal pre-startup bertugas mencari startup berbasis teknologi yang siap untuk dikomersialkan.

Kedua, PBBT (Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi) atau startup yang merupakan program inkubasi. Terakhir, PLBT (Perusahaan Lanjutan Berbasis Teknologi) atau post-startup bertugas untuk pasca inkubasi dan pendanaan eksternal.

Tiga tahapan tersebut dimaksudkan untuk tetap menjaga seluruh startup binaan tetap on the track dan mature sebelum mereka bisa dibawa ke acara besar seperti Nexticorn.

“Kebanyakan pre-startup itu mahasiswa aktif, mereka adalah peserta potensial karena bibit-bibit entrepreneur.”

Pendanaan yang diberikan Kemenristek untuk startup binaan tergantung di mana tahapan mereka. Sumber dananya berasal dari APBN. Menurutnya, APBN Kemenristek untuk tahun 2020 sudah ditetapkan. Akan tetapi harus disisir kembali karena masih bercampur dengan Dikti.

Perlu diketahui, kini direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) kembali dipisah dari Kemenristek dan dilebur ke Kemendikbud yang pimpinan oleh Nadiem Makarim.

“Yang punya dana untuk pembinaan startup itu kami. Nanti kita rapikan lagi [APBN 2020], agar saya tahu persis berapa totalnya [pendanaan untuk startup].”

Fokus startup yang diincar adalah foodtech, transportasi, healthtech dan medtech, energi, ketahanan dan keamanan, material, advanced material, dan TIK. Tidak hanya fokus ke digital saja, tapi juga ke startup teknologi.

“Yang kita dorong jangan cuma [startup] digital saja, tapi teknologi lain juga berkembang, kita butuh dua hal itu. Karena kalau digital saja dan e-commerce-nya kuat, tapi nanti apa yang mau dijual di e-commerce?”

“Hal ini yang dikhawatirkan presiden, e-commerce akan membawa terlalu banyak impor di barang konsumsi. Kita harus isi barang konsumsi dengan startup di bidang industri yang berbasis teknologi,” sambung Bambang.

Dia menyebut, sejak 2015 hingga saat ini program PBBT telah membina 1.307 startup dan pre-startup, dengan rincian 558 pre startup dan 749 startup. Dari keseluruhannya, sebanyak 13 startup telah mencetak pendapatan Rp102 miliar dalam setahun dan mengantongi pendanaan Rp4,5 miliar.

Tantangan global pada tahun depan

Di satu sisi, upaya pemerintah dalam mencetak lebih banyak startup berbasis teknologi adalah salah satu bagian antisipasi dari perlambatan ekonomi global yang bakal menghantui pada tahun depan.

Negara maju seperti Amerika Serikat dan Tiongkok diramalkan akan menghadapi masa sulit untuk jangka waktu yang sedikit panjang. Awalnya ekonomi Tiongkok bisa tumbuh lebih dari 10%, tapi tidak untuk tahun depan.

Perlambatan global di Amerika Serikat dan Tiongkok akan menghantui negara lain karena punya pengaruh yang kuat dalam perekonomian. “Jadi prospeknya tidak bagus buat negara maju, tapi tidak buat negara berkembang, India dan Indonesia.”

“Indonesia punya pengalaman yang bagus dalam menghadapi resesi global. Kita berhasil mempertahankan pertumbuhan ekonomi di angka 4% pada krisis di 2008.”

Kuncinya untuk bisa bertahan dari perlambatan global adalah memperkuat ekonomi dalam negeri, dengan menambah jumlah techpreneur. Selama ini, menurut Bambang, Indonesia kekurangan techpreneur dan tidak bisa bergantung pada pemain existing.

“Jika ini tidak dilakukan, kita akan jadi negara yang ketinggalan untuk menjadi produser. Makanya saya sangat apresiasi program yang mendukung munculnya bisnis baru.”

Munculnya banyak bisnis baru di bidang teknologi, menurutnya, tidak akan membuat terjadinya pengangguran, melainkan pekerjaan yang hilang yang berganti ke pekerjaan baru. Hanya saja, orang yang kehilangan pekerjaan, sebelum berganti pekerjaan baru harus meningkatkan keahliannya.

Bagian ini akan diidentifikasi lebih lanjut oleh Kemenristek, pekerjaan apa saja yang berpotensi akan hilang dan muncul. “Nanti Kementerian Tenaga Kerja dan Kemendikbud harus menyiapkan pendidikan dan pelatihannya agar bisa langsung diganti pekerjaannya.”

Bambang berambisi pada lima tahun mendatang, Kemenristek secara umum dapat berpartisipasi dalam transformasi ekonomi. Ekonomi Indonesia harus mulai bergeser dari yang tadinya eficiency based and resources, menjadi innovation based economy.

Inovasi nantinya difokuskan pada tiga hal dalam transformasi ekonomi, yaitu teknologi tepat guna yang menolong banyak masyarakat, inovasi untuk hilirisasi dan nilai tambah, dan inovasi dalam konteks substitusi impor dengan meningkatkan TKDN.

Shinhan Financial Group Siapkan Program Inkubator untuk Startup Indonesia

Sebagai salah satu bank komersial Korea Selatan, Shinhan Financial Group memulai kehadirannya di Indonesia melalui kerja sama dengan Indomobil di bisnis pembiayaan. Awal tahun ini perusahaan berencana memperluas bisnis di sektor multifinance. Tak hanya itu, mereka berencana meluncurkan inkubator startup di Indonesia, dengan nama Shinhan Future’s Lab, pada kuartal ketiga tahun 2019. Program serupa sudah diterapkan di Vietnam sebagai inkubator pertama di luar Korea Selatan pada tahun 2016.

Belum ada detail tentang program inkubator ini dan startup seperti apa yang bisa menjadi pesertanya. Layanan fintech, khususnya berhubungan dengan sektor perbankan, broker dan pembiayaan sekuritas, dan manajemen aset, menjadi incaran program inkubator tersebut.

Kemitraan dengan hub inovasi

Selain Indonesia, Shinhan Future’s Lab rencananya juga akan dihadirkan di Amerika Serikat dan Inggris Raya tahun 2020 mendatang. Untuk melancarkan rencana tersebut, Shinhan Financial Group sedang menjajaki kolaborasi dengan Plug and Play Tech Center di Silicon Valley dan Level39 di London.

“Bagi para alumni nantinya tidak hanya mendapatkan tambahan modal, namun juga bisa memanfaatkan dukungan dalam bentuk riset dan pengembangan bisnis agar bisa melakukan scale-up ke pasar global,” kata Kepala Tim Strategi Digital Shinhan Financial Cho Young-su.

Sejak diresmikan pada tahun 2015 lalu, Shinhan Future’s Lab telah merekrut sekitar 72 startup Korea Selatan dalam empat batch dengan total alokasi pendanaan sekitar 12 miliar won (sekitar 143 miliar Rupiah) hingga tahun lalu.

Kolaborasi Innovation Factory dan GREE Ventures Hadirkan Program Akselerasi “SKALA”

Innovation Factory, sebuah inisiatif berbasis komunitas yang memiliki BLOCK71 Jakarta sebagai ecosystem builder bagi startup di Indonesia, meluncurkan program akselerasi untuk startup SKALA yang menggandeng perusahaan modal ventura GREE Ventures. GREE Ventures selama ini telah berinvestasi kepada di berbagai perusahaan teknologi Indonesia, seperti Bukalapak, Kudo, BerryBenka, Luxola, dan Pie. Nantinya program akselerasi ini akan fokus kepada startup yang sudah mendapatkan traksi pasar dan melewati proses minimum viable product (MVP).

Kepada DailySocial, Program Manager SKALA Agustiadi Lee mengungkapkan, dukungan komunitas Innovation Factory dan keahlian GREE Ventures yang dibungkus program BLOCK71 diharapkan bisa menjadi program akselerasi yang dapat membantu startup berkembang.

“Kedua organisasi ini dapat melengkapi satu sama lain. Kami memiliki pandangan yang sama bahwa ada celah di program akselerasi yang ada di Indonesia sehingga masuk akal bagi kami untuk bekerja sama membangun program kami sendiri, yaitu program yang berfokus pada metrik bisnis dan mentorship,” kata Agustiadi.

Berikan modal awal Rp437 juta

Terinspirasi fokus dan pendekatan Y Combinator, secara khusus program akselerasi ini tidak hanya melirik startup Indonesia, namun startup asing yang dinilai memiliki potensi dan model bisnis yang menarik, bisa mendaftarkan diri untuk menjadi peserta program. Bagi startup yang berhasil masuk, SKALA akan langsung menanamkan modal awal sebesar USD30.000 (Rp437 juta) untuk 5% ekuitas.

Di akhir program, Demo Day akan dilaksanakan agar startup bisa memberikan presentasi di hadapan investor terpilih. GREE Ventures juga bisa memilih untuk menanamkan modal dalam startup yang telah menunjukkan potensi besar selama program dan menaati tesis investasi GREE Ventures.

“Agenda kedua pihak melalui SKALA adalah untuk pengembangan ekosistem startup di tanah air. Kami ingin mencari dan membimbing pendiri startup berkualitas yang memiliki produk yang hebat namun memiliki kesulitan dalam pengembangan bisnis,” kata Agustiadi.

Kategori binaan

Terkait kategori startup yang menjadi incaran SKALA, Agustiadi menegaskan program ini terbuka untuk semua startup. Meskipun demikian, saat ini SKALA fokus ke startup yang menyasar di bidang agritech, logistik, healthtech, edtech, O2O, media, dan fintech.

“Kami juga terbuka untuk startup internasional selama mereka memiliki solusi untuk memecahkan permasalahan mendasar di Indonesia. Idealnya yaitu startup yang memiliki pemahaman mendalam tentang permasalahan di Indonesia dan memiliki tim yang solid,” kata Agustiadi.

Partner lainnya yang terlibat dalam program ini adalah Direktur Innovation Factory dan CEO PopBox Adrian Lim, Head of Startup Ecosystem AWS Indonesia Budiman Wikarsa, Investment Manager GREE Ventures Samir Chaibi, dan Principal GREE Ventures Nikhil Kapur.

“Kebanyakan akselerator berfokus mengumpulkan startup, lalu hanya membantu mereka mencari modal usaha. Kami percaya bahwa jika membangun perusahaan dengan cara yang tepat di pasar yang cukup besar, modal akan datang dengan sendirinya. Kami juga memperhatikan sekeliling kami dan melihat tidak adanya program lain yang melakukan ini di Indonesia, jadi kami memutuskan untuk berkolaborasi untuk proyek kami sendiri,” kata Nikhil.