AFPI dan PEFINDO Luncurkan “IdFintechScore” untuk Perkuat Skoring Lending

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dan PT PEFINDO Biro Kredit meluncurkan produk skoring IdFintechScore untuk memperkuat mitigasi risiko kredit konsumtif di industri fintech lending. IdFintechScore melengkapi opsi skoring kredit yang dipakai di industri, bukan menjadi standar baru bagi para pelaku fintech lending.

Ketua Umum AFPI sekaligus CEO dan Co-Founder Investree Adrian Gunadi mengatakan asosiasi memaksimalkan kolaborasi dengan sejumlah ekosistem pendukung industri fintech lending. Kali ini, pihaknya berkolaborasi dengan PEFINDO untuk memperkuat industri, khususnya mitigasi risiko terkait skoring kredit.

“Keberadaan IdFintechScore diharapkan memperkuat industri fintech lending dari kredit macet, di mana saat ini AFPI juga sudah memiliki Fintech Data Center (FDC). Kami harap ini dapat meningkatkan kualitas pinjaman, khususnya borrower yang memiliki credit scoring yang baik,” ujar Adrian saat peluncuran IdFintechScore di Yogyakarta, Selasa (13/12).

Direktur Utama PEFINDO Biro Kredit IdScore Yohanes Arts Abimanyu menuturkan, fintech lending di sektor konsumtif saat ini bisa membidik peluang penyaluran pinjaman yang lebih tinggi lagi dengan memanfaatkan skoring kredit yang didesain khusus sesuai karakteristik bisnisnya. Hasil analisis akan lebih spesifik, akurat, dan tajam guna menjaga kualitas portofolio pinjaman sekaligus membuka potensi bisnis ke depan.

Yohanes melanjutkan, keunggulan IdFintechScore terletak pada scoring model yang menggunakan parameter dan variabel spesifik untuk mendalami karakter peminjam, seperti payment behaviour, recent over-indebtedness, dan tingkat utilisasi fasilitas yang dimiliki.

“Terlebih bisnis fintech lending terutama sektor konsumtif memiliki karakteristik yang berbeda dengan pinjaman konvensional di perbankan. Perbedaan itu mencakup sisi fitur dan jenis produk, segmen dan target pasar, pengukuran risiko termasuk tingkat kolektibilitas borrower,” terangnya.

Oleh karena itu, untuk lebih mengoptimalkan pemanfaatan credit scoring di lingkungan fintech lending, perlu penyesuaian scoring model guna mempertajam akurasi. Dengan begitu, hasil analisis dapat sesuai dengan risk appetite, proses bisnis, dan segmen pasar.

Dihubungi terpisah oleh DailySocial.id, Sekretaris Jenderal AFPI Sunu Widyatmoko mengatakan IdFintechScore ditujukan untuk mendukung manajemen risiko dalam bentuk sistem scoring khusus industri P2P lending. Namun, produk ini akan menjadi opsi dari banyak pilihan penyedia jasa skoring kredit yang ada di Indonesia untuk digunakan oleh pelaku fintech lending.

“Penyedia jasa scoring kan memang ada beberapa. Ini bagus untuk industri, sehingga tersedia beberapa pilihan,” kata Sunu.

Industri skoring kredit

Potensi bisnis ini di Indonesia begitu menjanjikan, mengingat masih besarnya populasi unbankable ketimbang bankable. Berkaitan dengan itu, sejumlah pemain teknologi memanfaatkan sumber data alternatif yang mereka kumpulkan sebagai cara baru dalam menganalisis kelayakan kredit seseorang. Mereka ada yang datang dari pemain fintech, ada juga dari segmen e-commerce.

Dari ranah e-commerce, ada Tokopedia dengan anak usahanya Tokoscore. Perusahaan ini meluncurkan dua produk bernama “Income Prediction” dan “Fraud Flags”. Tokopedia merupakan salah satu pemimpin di industri e-commerce di Indonesia. Menurut data iPrice, rata-rata pengunjung bulanan laman Tokopedia mencapai 157,2 juta pada kuartal I 2022. Angka tersebut naik 5,1% dari kuartal IV 2021 yang tercatat 149,6 juta kunjungan.

Data yang besar ini dapat diolah untuk fungsi yang baik, salah satunya mempermudah perusahaan keuangan dalam menilai kelayakan seseorang sebelum menerima kredit. Data-data alternatif yang digunakan Tokoscore untuk membentuk penilaian, di antaranya nilai jual-beli barang di Tokopedia, relevansi wishlist & kategori produk yang dibeli dengan kebutuhan pinjaman, perbincangan dengan toko, jumlah perangkat, dan banyak lagi.

Data tersebut dianalisis dengan teknologi AI dan algoritma machine learning untuk memperoleh analisis profil risiko calon peminjam.

Selanjutnya, ada Amartha yang meluncurkan Ascore.ai, layanan serupa yang ditargetkan untuk pengguna individu dan institusi. Platform skoring Amartha dibangun di atas lebih dari satu juta database mitra pengusaha ultra mikro yang ada di ekosistemnya selama tujuh tahun terakhir.

Lalu, SkorLife menawarkan aplikasi untuk mengakses dan memantau nilai kredit, laporan kredit, dan data relevan lainnya dari biro kredit nasional. Selain itu, sejumlah perusahaan juga tawarkan solusi serupa, misalnya Finantier, Pefindo Biro Kredit, CredoLab, Fineoz, Advance.ai, dan lain-lain.

OJK dan AFPI Segera Miliki “Pusat Data Fintech Lending”

OJK dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) berkolaborasi untuk merilis pusat data fintech lending (Pusdafil) sebagai upaya mengurangi tingkat penipuan. Pusdafil ini bekerja seperti layaknya SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan)–dulunya bernama BI Checking.

Wakil Ketua AFPI Sunu Widyatmoko menjelaskan Pusdafil masih dalam proses pengembangan. Diprediksi prototipenya bisa segera dirilis pada tahun ini. Pada saat yang bersamaan, diharapkan seluruh perusahaan p2p lending yang sudah terdaftar di OJK dapat berpartisipasi dan memanfaatkan layanan tersebut.

“Secara konsep mirip SLIK tapi ini khusus fintech lending. Prototipe sederhana [Pusdafil] mestinya akan bisa [dirilis tahun ini]. Nanti kontrolnya ada di AFPI dan OJK,” terang Sunu kepada DailySocial.

Secara terpisah, dikutip dari Kontan, sistem kerja dari Pusdafil ini OJK akan menarik seluruh data terkait dengan transaksi dari semua penyelenggara fintech terdaftar. Kemudian, OJK akan mengolah data tersebut dan menginformasikan ke AFPI melalui sebuah wadah sistem informasi.

Lalu, anggota AFPI dapat mengakses pusat data tersebut untuk mengecek apakah calon peminjam bersangkutan terindikasi fraud, gagal bayar, atau sedang meminjam di lebih dari satu perusahaan.

Dukungan Pusdafil untuk perusahaan lending

Sunu melanjutkan, ada tiga hal utama dalam manajemen risiko penyaluran pinjaman yang bisa didukung oleh Pusdafil. Pertama, indikasi penipuan (fraud). Fraud yang dimaksud adalah transaksi pinjaman yang belum terjadi. Akan tetapi ada upaya pengajuan dengan menggunakan KTP yang terbukti tidak terdaftar di Ditjen Dukcapil.

Penyelenggara lending dapat mengecek lewat Pusdafil apakah calon peminjam tersebut pernah melakukan fraud atau tidak. Calon yang terindikasi fraud tidak akan diberi pinjaman.

“Bagaimana kita mengumpulkan informasi yang ada dari semua platform untuk menghindari adanya orang yang mencoba berhbohong dan upaya penipuan, sebab fraud menjadi masalah yang relatif tinggi,” sebut Sunu.

Kedua, daftar hitam peminjam yang memuat orang-orang tidak membayar pinjamannya lebih dari 90 hari. Meskipun begitu, peminjam bisa keluar dari daftar tersebut apabila melunasi hutangnya.

Ketiga, memeriksa peminjam yang meminjam di lebih dari satu perusahaan fintech lending. Data tersebut bakal menjadi pertimbangan bagi suatu perusahaan untuk meloloskan pengajuan pinjaman orang tersebut. Peminjam yang meminjam di lebih dari satu perusahaan dapat meningkatkan risiko penyaluran pinjaman.

Dompet Kilat Hadirkan Layanan Fintech Lending untuk Masyarakat Kelas Bawah

Layanan digital berbasis fintech lending terus hadir di pasar Indonesia. Dompet Kilat jadi salah satu platform yang turut meramaikan. Resmi beroperasi di awal tahun ini, Dompet Kilat secara spesifik menargetkan kalangan bawah (berpenghasilan rendah) dengan nominal pinjaman kecil dan jangka waktu yang relatif singkat.

“Kami ingin menciptakan produk keuangan khusus menyasar kalangan bawah. Tapi dalam berjalannya waktu kita melihat bahwa sebetulnya kebutuhan itu tidak hanya untuk pinjaman konsumen, tetapi banyak yang terkait dengan kegiatan modal kerja,” terang founder Dompet Kilat, Sunu Widyatmoko

Di Dompet Kilat pengguna bisa mengajukan pinjaman dengan pilihan tenor mulai dari 7 hari, 15 hari, hingga 21 hari dengan kisaran pinjaman mulai dari 500 ribu Rupiah hingga 2 juta Rupiah. Bunga yang dikenakan berkisar 10% untuk setiap pinjaman.

Sementara untuk syarat pengajuan pinjaman, Dompet Kilat hanya membutuhkan KTP. Bila pengguna memiliki dan mau mengunggah slip gaji, maka akan mempercepat karena tidak akan lagi diwawancara melalui email.

Dompet Kilat sendiri baru beroperasi pada Februari 2018, meski perusahaannya sudah berdiri sejak tahun 2017 silam di bawah PT Indo Fin Tek. Saat ini layanannya sudah berizin dan diawasi oleh OJK.

Mengusung konsep p2p lending Dompet Kilat paham betul bahwa ada risiko besar yang harus ditanggung, untuk itu hingga saat ini Dompet Kilat masih belum membuka secara penuh layanannya untuk pengguna yang ingin menjadi penyedia dana. Dompet Kilat masih membatasi hanya untuk institusi dan individu dengan kriteria tertentu.

“Kerena risiko pinjaman di sektor ini relatif besar, saat ini kita masih dalam proses analisis dan risk modeling-nya. Untuk risk modeling membutuhkan data yang relatif besar, jadi kami belum membuka pintu besar-besar untuk umum. Kami  hanya berbicara di kalangan tertentu, institusi atau individu yang sangat memahami konsep risiko,” lanjut Sunu menjelaskan.

Di Indonesia Dompet Kilat akan bersaing dengan banyak pemain lain, baik yang berasal dari luar negeri maupun dalam negeri. Kendati demikian Sunu optimis dengan peluang yang dimiliki oleh Dompet Kilat. Selain potensi pasar yang besar, Dompet Kilat juga terus berusaha memberikan literasi keuangan untuk memberikan wawasan bagi masyarakat dan menghindarkan dari jeratan layanan teknologi finansial ilegal yang mulai banyak di Indonesia.

“Kita sangat optimis dengan market Indonesia bahwa banyak masyarakat yang masih belum tersentuh layanan perbankan, atau layanan pinjaman profesional, jadi menurut saya pintu untuk layanan fintech terbuka lebar, hanya tugas kita semua adalah bagaimana agar image tentang fintech ini tidak negatif karena pemain ilegal,” lanjut Sunu.

Ke depannya Sunu bercita-cita menjadikan Dompet Kilat sebuah layanan yang bisa membantu individu untuk menjadi wirausahawan dengan memudahkan mereka mendapatkan modal. Hal ini tidak terlepas dari besarnya potensi usaha mikro di Indonesia.

“Saya punya impian untuk membantu setiap individu untuk menjadi wiraswasta. Karena saya percaya kegiatan usaha mikro di Indonesia potensinya sangat besar,” tutup Sunu.

Application Information Will Show Up Here

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia Tetapkan “Pagu Biaya” untuk Perlindungan Konsumen

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) membuat standar pagu kredit pinjaman untuk melindungi konsumen. Kesepakatan ini dibuat secara mufakat oleh para anggota AFPI dan siap diterapkan. Belum ada pembicaraan lebih lanjut dengan OJK apakah pagu kredit ini akan dibuat dalam beleid resmi.

Pagu biaya yang dimaksud artinya jika pinjaman telah melewati masa penagihan maksimal 90 jari dari tenggat waktu pembayaran, biaya pinjaman dan pokok dijamin tidak akan bertambah.

Sebagai contoh apabila konsumen memiliki pinjaman senilai Rp2 juta dan ia mengalami kesulitan dalam pengembalian, maka maksimal pinjaman total beserta biaya-biaya keseluruhan berhenti di hari ke-90. Kewajiban yang harus dibayarkan adalah pokok pinjaman (Rp2 juta) + biaya dan bunga hingga maksimal hari ke-90.

Dengan adanya pagu biaya, AFPI memastikan bahwa visi untuk melakukan edukasi kredit kepada masyarakat dan pada akhirnya meningkatkan inklusi keuangan dapat tercapai.

“AFPI peduli dengan perlindungan nasabah. Untuk itu kami sepakat untuk membuat pagu biaya. Jadi total biaya yang dibayarkan tidak melebihi sampai 3-4 kali lipat dari nominal pinjaman, agar tidak tercekik,” kata Wakil Ketua Eksekutif untuk Pendanaan Multiguna AFPI Aidil Zulkifli, Selasa (6/11).

Mekanisme penerapan pagu biaya ini, sambungnya, diserahkan kepada masing-masing penyelenggara. Berdasarkan data dari AFPI, ada beberapa platform penyelenggara yang sudah lebih dahulu memberhentikan biaya-biaya setelah melewati hari ke 30, di antaranya Uang Teman dan Pendanaan.com.

“Dengan penerapan ini, konsumen jadi terlindungi dari kekhawatiran beban biaya yang memberatkan. Kehadiran kami di pasar adalah untuk memberikan solusi dan akses bagi konsumen yang tidak atau belum terlayani oleh perbankan.”

Menurut Aidil, kesepakatan ini telah dibawa ke OJK untuk dimintai persetujuannya. Regulator pun senang dengan inisiatif seperti ini, meski belum ada regulasi yang secara sah mengatur soal pagu biaya. Belum ada kemungkinan pula potensi apakah regulator akan menurunkannya dalam bentuk beleid agar lebih kuat.

Berdasarkan data OJK per bulan September 2018, data NPL untuk layanan p2p lending dan payday loan mencapai 1,2%.

Selain menetapkan pagu biaya, asosiasi juga mengagendakan agar para anggotanya memperoleh sertifikasi ISO/ICE 27001 terkait sistem manajemen penanganan informasi, peraturan Menkominfo No.4/2016. Penerapan sertifikasi ini merupakan bagian dari manajemen risiko dan menjaga keamanan data kepada konsumen.

Tak hanya itu, asosiasi juga akan menerapkan standarisasi dan sertifikasi bagi proses penagihan yang dilakukan oleh para anggota AFPI kepada konsumen. Di mana proses penagihan harus sesuai dengan kode etik penagihan yang telah disetujui oleh seluruh anggota AFPI. Agen penagihan harus memiliki sertifikasi yang dikeluarkan oleh asosiasi.

Selayaknya pemberian kredit, akan diterapkan pula mekanisme pembayaran dan konsekuensi atas kegagalan pembayaran. Asosiasi menekankan bahwa konsumen juga harus cerdas dan berhati-hati saat akan mengajukan pinjaman. Konsumen wajib mengidentifikasi apakah penyelenggara pinjaman merupakan perusahaan yang terdaftar di OJK dan mengeceknya di situs resmi OJK.

Data nasabah yang dikupulkan asosiasi akan dikumpulkan dan digunakan secara bersama dengan perbankan nasional. Sehingga dapat membantu industri keuangan secara keseluruhan. Visi untuk meningkatkan inklusi keuangan pun dapat tercapai dengan lebih cepat.

Tanggapi kabar negatif dari LBH

Inisiatif asosiasi dalam mengeluarkan beberapa pernyataan ini, menanggapi terkait isu negatif yang menimpa industri fintech p2p lending terkait aduan konsumen ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Disebutkan ada 283 korban pinjaman online sejak 2016. Untuk mengkomodasi seluruh keluhan, LBH pun membuka posko pengaduan korban.

Konsumen komplain dengan cara penagihan dari penyelenggara yang tidak etis dan melanggar ketentuan, menghubungi seluruh kontak yang tersimpan di ponsel konsumen, bunga tinggi, dan sebagainya. Buntut persoalan ini dianggap merugikan AFPI karena seluruh tindakan tersebut bukan dilakukan oleh anggota asosiasi. Pemain p2p lending yang bandel dan ilegal tersebut berinisial UC, DR, KP, VL dan RN.

“Asosiasi belum menerima komplain ada pelanggaran terkait penagihan yang dilakukan oleh anggota kami, baik dari AFPI maupun AFTECH,” ujar Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widiatmoko.

Sunu menganggap isu ini merugikan karena merusak nama baik p2p lending yang susah-susah dirintis sejak awal oleh para pemain industri. Oleh karena itu, asosiasi akan melaporkan hal ini ke pihak kepolisian untuk ditindak lanjuti. Tak hanya itu, berkunjung ke LBH untuk edukasi lebih lanjut terkait perbedaan fintech legal dan ilegal.

Dia menegaskan seluruh praktik yang dilakukan di lapangan oleh anggota diawasi penuh oleh OJK dan sesuai dengan aturan yang berlaku.

“AFPI keberatan dan merasa dirugikan. Padahal dari awal kami mau membangun tata kelola yang baik untuk industri p2p lending yang sesuai ketentuan.”

AFPI pun sudah memeriksa barang bukti dari kedua belah pihak. Disimpulkan penyelenggara yang bukan anggota dan ilegal ini tidak memiliki itikad baik untuk berbisnis secara jangka panjang di Indonesia. Bahkan AFPI menuding pemain tersebut sengaja untuk bawa kabur dana nasabah dan keluar dari Indonesia.

“Saya sudah dengar bukti rekamannya. Kata-kata yang dilontarkan benar-benar tidak etis dan tidak pantas diucapkan.”

Sunu menyebut, asosiasi menutup diri dan tidak bersedia untuk menerima pemain ilegal tersebut sebagai anggota resmi. Dia bilang, kalau pemain tersebut memiliki itikad baik, hal pertama yang harus mereka lakukan adalah mendaftarkan diri secara resmi ke OJK baru ke asosiasi.

“Semua pemain bisa mendaftar ke OJK, sekarang tinggal dari niat mereka apakah baik atau tidak karena ini hanya soal administrasi saja. Kenapa harus merangkul [sebagai anggota] kalau niat mereka mau hit and run uang nasabah dan melanggar aturan hukum.”

Sunu juga menegaskan asosiasi ini bukan sesuatu yang ekslusif, sehingga siap merangkul siapapun yang beritikad baik.

Asosiasi siap bekerja sama dan membantu pihak LBH dan berwajib dalam menyelesaikan permasalahan yang dialami konsumen. Saat ini anggota AFPI ada 73 penyelenggara dan seluruhnya telah terdaftar di OJK.