Tren Penggunaan Platform Pembayaran Digital di Kalangan Millennial

Sebelumnya kami menuliskan analisis terkait hasil riset penetrasi dan tren startup fintech yang akan semakin menggeliat di tahun ini. Di lain sisi, tren baru “cashless society” mulai menjadi perhatian masyarakat, khususnya di kalangan millenials sebagai kelompok paling produktif, konsumtif, sekaligus menjadi unjung tombak dari digital adopter. Dua hal tersebut menjadi sebuah korelasi, antara kemapanan bisnis dan terbentuknya calon konsumen layanan finansial digital.

Fintech akan membawa sebuah perubahan pola dalam transaksi keuangan, dari cara konvensional menuju cara digital. Kebiasaan masyarakat untuk menggunakan digital cash menjadi awal yang baik dalam adopsi fintech. Berbicara seputar adopsi digital cash di kalangan millennial Indonesia, hasil survei yang dilakukan JakPat terhadap 689 sampel dari seluruh wilayah Indonesia mengemukakan bahwa 63% dari responden saat ini sudah menggenggam platform pembayaran digital.

Dari beberapa platform yang digunakan, layanan e-money berada di urutan pertama, dengan persentase 44%, disusul layanan Flazz, T-Cash, Go-Pay, Rekening Ponsel dan LINE Pay. Dari peruntukannya, layanan pembayaran digital banyak digunakan untuk tujuan spesifik. Mayoritas menggunakan untuk pembayaran transportasi dan belanja online. Kebutuhan harian lain seperti untuk membayar pintu masuk tol, parkir, hingga isi ulang pulsa turut mematangkan niat para pengguna untuk memanfaatkan layanan pembayaran digital.

Layanan digital cash terpopuler di kalangan millennials / JakPat
Layanan digital cash terpopuler di kalangan millennials / JakPat

Sebelumnya dalam riset DailySocial tentang masa depan digital payment di Indonesia juga telah ditunjukkan beberapa indikasi yang meyakinkan pengguna akan beralih ke layanan modern tersebut. Sebanyak 52,49% dari 1028 responden survei menyatakan bahwa siap untuk beralih ke layanan pembayaran digital di waktu mendatang. Bagi mereka yang menjadi pertimbangan terbesar adalah kemudahan dalam penggunaan, dan keyakinan akan sistem keamanan yang kini ditawarkan oleh penyedia layanan.

Hasil tersebut tak jauh berbeda dengan temuan JakPat di awal tahun 2017 ini, persentase yang hampir mirip juga didapatkan terkait dengan keinginan masyarakat untuk memiliki layanan pembayaran digital. Alasannya pun juga sama, demi kemudahan dan banyaknya promo yang kini ditawarkan melalui sistem pembayaran digital. Dari perencanaan responden, paling banyak ingin menggunakan e-money, disusul layanan pembayaran digital ala T-Cash.

Ekspektasi masyarakat terhadap layanan pembayaran digital

Di balik kemudahan yang diberikan, ada hal lain yang menguatkan minat masyarakat untuk mengadopsi layanan pembayaran digital. Masih dari hasil survei JakPat, sebanyak 80% responden antusias dengan adanya promo yang dihadirkan oleh penyedia layanan pembayaran digital. Promo yang diharapkan berupa diskon, insentif produk, undian hadiah dan bonus top-up.

Dari sisi penggunaan pun mengharapkan akan lebih banyak lagi layanan yang menerima pembayaran digital. Sementara saat ini pembayaran masih terbatas untuk beberapa merchant dan layanan khusus, ke depan berbagai tempat seperti kantin, stasiun, toko baju, hingga toko obat menerima pembayaran digital tersebut.

Minat pengguna menggunakan lebih dari satu layanan pembayaran digital / JakPat
Minat pengguna menggunakan lebih dari satu layanan pembayaran digital / JakPat

Fakta menarik lainnya terkait dengan kepemilikan layanan pembayaran digital. Sebanyak 32% dari responden mengaku sudah cukup dengan layanan yang kini digunakan, sehingga enggan untuk mencoba layanan lain. Selain itu karena pengguna merasa masih jarang menemui tempat atau layanan yang menerima pembayaran dengan layanan digital tersebut.

Ini sekaligus menjadi PR bagi para pebisnis yang berkepentingan di dalamnya, selain mematangkan sistem yang dimiliki, juga harus segera melakukan ekspansi dari sisi jangkauan penerima pembayaran.

Tren Investasi Startup dan Prediksi Kepemimpinan Fintech di Tahun 2017

Beberapa catatan tentang iklim investasi tahun 2016 menunjukkan beberapa hal menarik. Startup di Indonesia kini telah memasuki tahap untuk mampu memberikan dampak secara signifikan kepada masyarakat, beberapa di antaranya bahkan menyita perhatian investor global. Telur “unicorn” pertama pun telah dipecahkan, tambahan investasi $500 juta membawa valuasi Go-Jek di atas $1,3 miliar.

Sementara jika berbicara investasi secara umum, sektor bisnis e-commerce masih mendominasi. Dimulai dari kabar akuisisi Lazada oleh Alibaba yang konon digunakan sebagai strategi masuknya e-commerce paling disorot sejagat dalam beberapa waktu terakhir tersebut. Disusul putaran pendanaan yang diperoleh MatahariMall, Jualo dan Tokopedia. Namun yang begitu menyita perhatian, sektor fintech pada tahun 2016 turut mengambil porsi besar, bahkan nyaris sama dengan e-commerce. Sementara layanan on-demand yang sebelumnya (2015) ramai diperbincangkan justru memiliki porsi yang tak begitu besar.

Dari laporan tahunan startup yang dirilis DailySocial, setidaknya jika ditotal ada 104 kegiatan investasi di lanskap startup Indonesia tahun 2016, baik yang dilakukan oleh investor lokal ataupun investor asing. Dan lanjut investasinya sendiri cukup meningkat antara kuartal pertama sampai kedua, setelah itu menurut cukup derastis, hingga akhir tahun 2016.

Sebaran investasi startup selama tahun 2016 / DailySocial
Sebaran investasi startup selama tahun 2016 / DailySocial

Laju investasi tahun 2017 dan kepemimpinan fintech dalam iklim investasi

Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pertumbuhan fintech di periode 2016 menunjukkan hasil yang signifikan. Setidaknya sebesar 78 persen, atau setara dengan total bisnis di bidang teknologi finansial yang mencapai 140 unit. Saat ini dominasi pemain ada di sub-sektor digital payment, umumnya fokus mereka memanfaatkan tren pembayaran digital yang didorong oleh popularitas layanan e-commerce dan cashless-society yang sedang banyak diperbincangkan.

East Ventures tercatat sebagai investor yang begitu sigap menanggapi hype startup fintech. Menurut laporan tentang kondisi startup fintech dari DailySocial, sekurangnya mengalir Rp 486,3 miliar untuk investasi startup dintech di tahun 2016. Kendati regulasi masih terus digodok, karena fintech cenderung menjadi bisnis yang riskan jika tidak diatur dengan baik, namun kepercayaan diri para pemain dan investor menunjukkan bahwa sektor ini akan cemerlang untuk beberapa tahun ke depan, termasuk prakiraan akan menjadi klimaks di tahun 2017.

Tren investasi startup di tahun 2017 / DailySocial
Tren investasi startup di tahun 2017 / DailySocial

Prakiraan survei yang dirilis oleh DailySocial menyebutkan hal yang serupa, fintech terlihat akan sangat mendominasi di tahun 2017. Sedangkan sektor e-commerce justru mulai menurun dan mulai tersalip dengan layanan SaaS (Software as a Services) dalam berbagai bidang. Tahun 2016 beragam model layanan SaaS mulai diperkenalkan, salah satunya yang menanamkan kecerdasan buatan dan berbagai teknologi pintar di dalamnya, seperti Kata.ai hasil pivot dari YessBoss, Prism hasil gabungan OneBit dan Coral, dan beberapa layanan lain.

Taksiran kebutuhan investasi di tahun 2017

Hasil analisis AMVESINDO (Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia) mengatakan bahwa setidaknya dana sebesar Rp 20 triliun diperlukan untuk mengalir di berbagai sektor startup digital tahun ini.

Disampaikan Ketua AMVESINDO Jeffri Sirait, jumlah dana triliunan tersebut idealnya dapat dioptimalkan sumbernya dari dukungan sektor publik dan swasta, dalam artian pemerintah akan turut banyak berperan dalam putaran ini. Keterlibatan pemerintah diklaim sangat penting untuk mewujudkan misinya dalam menciptakan ratusan wirausaha digital yang telah dicanangkan.

Di luar dari pemaparan di atas, ada satu hal yang juga akan menjadi perhatian di khalayak startup lokal, yakni ekspansi beberapa pemain luar yang memanfaatkan funding yang didapatkan dari investor bernaung di Asia Tenggara. Beberapa startup sudah mengukuhkan niatnya, seperti Betaout penyedia layanan pintar untuk e-commerce, Postr penyedia layanan adtech untuk bisnis telco, hingga Helpster layanan pencari pekerja kasar. Hadirnya pemain asing ini turut mengencangkan persaingan, dan (mungkin) akan membawa tren baru di kalangan bisnis digital nasional.


Unduh versi lengkap dari laporan DailySocial di sini:

Laporan DailySocial: Kondisi Industri Startup Teknologi Indonesia Tahun 2016

Dimulai tahun lalu, kami kembali merilis laporan tahunan kondisi startup teknologi Indonesia tahun 2016. Laporan ini berisi lanskap bisnis teknologi, rangkuman data dan informasi menarik, dan prediksi sektor yang bakal menarik perhatian di tahun 2017.

CEO DailySocial Rama Mamuaya mengatakan, “Report ini bertujuan untuk memberikan gambar besar mengenai posisi Indonesia dari sudut pandang ekosistem startup, dan menganalisis beberapa potensi pertumbuhan yang diharapkan bisa membantu para pelaku startup, korporasi, investor dan juga regulator.”

Beberapa hal menarik yang disampaikan dalam laporan 75 halaman ini di antaranya:

  • Go-Jek mendominasi pemberitaan tahun ini dengan perolehan pendanaan terbaru $550 juta yang mendorongnya menjadi startup unicorn pertama di Indonesia. Go-Jek juga mengakuisisi 4 startup teknologi India dan disebutkan telah mengakuisisi 1 layanan pemilik lisensi e-money lokal
  • 40% investasi startup tahun ini untuk tahap awal (seed) dan 24% untuk tahap Seri A
  • E-commerce dan Fintech bersaing ketat sebagai segmen yang paling banyak mendapatkan investasi, dengan masing-masing 21% dan 20%
  • MDI Ventures, Alpha JWC Ventures, East Ventures, dan 500 Startups adalah investor teraktif tahun 2016
  • Fintech diprediksikan menjadi sektor terpopuler, baik dari sisi investasi maupun perkembangan startup, tahun 2017
  • Kurangnya talenta dan akses ke pendanaan masih bakal jadi momok terbesar startup tahun 2017

Laporan lengkapnya dapat diakses member DailySocial (pendaftaran gratis!) di http://dly.social/startupreport2016.

Beberapa Insight Menarik iPrice tentang Bisnis E-Commerce Indonesia

Bisnis e-commerce di Indonesia saat ini terpantau masih terus menguat. Berbagai pihak mencoba untuk memetakan pergerakannya dengan merilis statistik dari tren e-commerce, baik dari kalangan konsumen, pola transaksi, sistem keamanan dan lain sebagainya. Salah satu yang cukup concern merilis data tersebut adalah iPrice Indonesia. Layanan perbandingan item antar toko online dan kupon belanja tersebut telah beberapa insight yang bisa dipetakan sebagai karakteristik menarik dari pergerakan sistem belanja online di Indonesia.

Transaksi online sebagai salah satu backbone layanan e-commerce

Seiring dibutuhkannya efisiensi, model pembayaran transaksi belanja online mulai bervariasi. Kendati model tradisional (bank transfer atau cash on delivery) masih tetap disematkan di hampir semua platform e-commerce, namun model yang lebih baru mulai disajikan. Salah satunya melalui e-money yang digadang-gadang akan booming di masa medatang. Transformasi sistem pun terjadi, termasuk bagaimana sistem kredit dimodifikasi sedemikian rupa sehingga tidak mewajibkan pengguna untuk memiliki kartu kredit. Seperti kita ketahui, penetrasi kartu kredit di Indonesia sendiri sangat minim.

Di luar variasi pilihan pembayaran yang makin beragam, keraguan pengguna dalam melakukan pembayaran secara online masih banyak dikeluhkan. Hal ini lantaran di antara demografi pengguna juga banyak yang berasal dari kalangan digital immigrant. Lebih mendasar dari itu, kalangan tersebut juga masih sering bertanya-tanya keabsahan sebuah platform, misalnya meragukan apakan informasi kartu kredit akan disalahgunakan, apakah toko tersebut sah di mata hukum, kualitas barang dan sebagainya.

Terkait keraguan dalam melakukan transaksi online sendiri, statistik iPrice Indonesia berikut ini menarik untuk disimak:

Data statistik e-commerce iPrice Group tentang keraguan pembarayan online
Data statistik e-commerce iPrice Group tentang keraguan pembarayan online

Layanan logistik menjadi salah satu penentu keputusan konsumen

Pengiriman barang turut menjadi salah satu target improvisasi yang kini banyak difokuskan oleh penyedia platform. Mulai membangun sistemnya sendiri, menjalin kerja sama dengan layanan transportasi berbasis aplikasi, hingga membuka gudang di berbagai wilayah menjadi strategi yang terus digencarkan. Hal ini krusial, lantaran “kasta” toko online saat ini sudah jauh menjadi lebih general, berlomba memberikan pengalaman yang sama bagi konsumen ketika mereka berbelanja langsung ke gerai atau toko.

Menurut iPrice Group, sesuai disampaikan Andrew Prasatya dari tim marketer, tahun 2017 bisnis e-commerce akan semakin fokus meningkatkan layanan ini. Akan banyak inovasi-inovasi yang dilakukan agar proses pengiriman semakin efisien. Terlebih saat ini banyak startup lain yang mencoba menjembatani kebutuhan ini, seperti Deliveree, Etobee, hingga PopBox.

Berbagai program untuk membangun traksi pengunjung

Demi meningkatkan traksi, terutama untuk loyalitas pengguna, banyak cara yang ditempuh oleh layanan e-commerce, mulai dari insentif, program loyalitas, sistem kupon dan melibatkan diri dalam beragam program tahunan belanja online. Dari sebuah data tren e-commerce, 49% pelanggan yang melakukan transaksi online mengatakan bahwa mereka rela berganti brand produk demi kupon (merujuk pada diskon). Saat ini sudah banyak kupon-kupon khusus yang dibuat oleh e-commerce untuk mendukung pengalaman belanja pelanggan.

Menurut statistik iPrice Indonesia, model kupon didominasi penggunaannya oleh kalangan produktif. Kalangan produktif ini dinilai memiliki pola konsumsi yang lebih besar dibandingkan dengan yang lainnya.

Data statistik e-commerce iPrice Group tentang demografi usia penikmat kupon belanja online
Data statistik e-commerce iPrice Group tentang demografi usia penikmat kupon belanja online

Dari analisis iPrice, di tahun 2017 layanan e-commerce akan semakin banyak membuat penawaran-penawaran seperti kupon untuk menarik lebih banyak pelanggan belanja di website mereka. Kupon eksklusif di hari-hari besar, seperti perayaan keagamaan  atau kupon khusus untuk pengguna aplikasi, akan semakin banyak bertebaran.

Survei Mastel-APJII: Pengguna Internet Butuh Campur Tangan Pemerintah Lindungi Privasi dan Data Pribadi

Mengenai perlindungan data pengguna internet, ada cerita yang saya alami sendiri beberapa hari yang lalu. Saya mencoba untuk hidup cashless, makanya di dalam ponsel saya sudah mengunduh ada beberapa aplikasi dompet elektronik. Saya pun rajin top up ketika dana sudah mau habis.

Sayangnya, saya sangat jarang sekali mengganti password untuk semua akun tersebut. Hingga akhirnya saya harus mengalami kejadian yang tidak mengenakkan, ketika saya ingin membayar sesuatu, tiba-tiba dana saya tidak cukup. Saya pun melaporkan hal tersebut ke CS dari perusahaan penyedia e-wallet tersebut, setelah diusut rupanya akun saya di-hack.

Pihak e-wallet tidak bisa berbuat banyak, boro-boro mengganti dana saya yang hilang. Mereka hanya bisa bilang, “Mohon kesediannya untuk menunggu informasi selanjutnya” dan menganjurkan saya untuk mendaftar ulang dengan alamat email yang berbeda.

Saya paham ucapan itu hanya pemberi harapan palsu. Sebagai nasabah, saya dikecewakan karena data privasi saya “bocor” dan nilai kepercayaan saya kepada perusahaan e-wallet tersebut jadi turun. Saya pun sadar dengan kesalahan saya sendiri yakni ogah update password.

Cerita saya ini menjadi cukup terwakili dengan hasil survei teranyar yang dilakukan oleh Mastel (Masyarakat Telematika Indonesia) dan APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) mengenai Konklusi Survey Ekosistem DNA (Device, Network & Apps).

Survei ini diikuti oleh 1.020 responden di seluruh Indonesia, dengan profil usia mayoritas berusia 19-36 tahun (82%), berjenis kelamin laki-laki (62%) berprofesi sebagai pelajar/mahasiswa (72%), dan besar belanja pulsa per bulan sekitar Rp50 ribu-Rp100 ribu (47%).

Ada tiga bagian yang disurvei oleh kedua lembaga ini, yakni perangkat, jaringan, dan aplikasi. Menariknya, di bagian ketiga tentang aplikasi bisa dilihat bahwa 95,1% responden mengatakan aplikasi yang diunduh di ponsel mereka adalah media sosial dikuasai oleh Instagram (82,6%), Facebook (66,5%), dan Path (49,6%).

Kemudian diikuti oleh aplikasi messenger/chatting dikuasai oleh Line (90,5%), Whatsapp (79,3%), dan BBM (33,1%). Lalu, di posisi ketiga aplikasi peta (73,7%%), e-commerce (61,1%), dan pesan tiket (43,4%).

Lebih dalam lagi dibahas bagaimana respons responden terkait kesadaran akan privasi data pribadi. Sebanyak 88% responden bilang, mereka mengetahui fitur lokasi dalam keadaan aktif maka jejak perjalanan akan terekam pada server penyedia aplikasi. Selain itu, sebanyak 87% responden mengatakan mereka menyadari konsekuensi dari pengisian data pribadi ke dalam aplikasi berpotensi mengganggu privasi.

Responden juga menyatakan, sebanyak 55% di antara mereka tidak selalu mengaktifkan fitur lokasi pada HP dan 95% bilang mereka tahu cara menonaktifkan fitur lokasi di HP.

Ditelusuri lebih jauh, sebanyak 92% responden memasukkan nama sebagai data pribadi yang pernah dimasukkan ke aplikasi, email (90%), no HP (82%), TTL (79%), alamat (65%), telepon (15%), kartu kredit (9%), dan pendapatan (8%).

Responden (85%) juga menyadari saat pertama kali menginstal aplikasi, telah dimintai izin oleh pengguna aplikasi untuk menggunakan microphone, kamera, dan data pribadi. Akibatnya, sebanyak 79% responden mengatakan sebenarnya mereka keberatan data dan informasi pribadi diperdagangkan atau dipindahtangankan kepada pihak lain tanpa sepengetahuan.

Pada akhirnya, sebanyak 98% responden mengatakan mereka menyadari perlu perlindungan atas data pribadi di internet dan di angka yang sama responden merasa sebaiknya pemerintah mengatur perlindungan atas privasi dan data pribadi di internet.

Jawaban pemerintah

Kabar teranyar, dikutip dari Indotelko, akhirnya pemerintah meresmikan aturan soal perlindungan data pribadi yang tertuang dalam bentuk Peraturan Menteri (Permen) No 20 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP) ditetapkan 7 November 2016, diundangkan dan berlaku sejak 1 Desember 2016.

Aturan ini menyatakan data pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya. Setiap penyelenggara sistem elektronik harus menyusun aturan internal perlindungan data pribadi sebagai bentuk tindakan pencegahan untuk menghindari terjadinya kegagalan dalam perlindungan data pribadi yang dikelolanya.

Dalam aturan itu juga disebutkan bahwa data harus diverifikasi keakuratannya dan disimpan dalam bentuk data terenkripsi. Selain itu, aturan tersebut juga mengatur ketentuan pusat data dan pusat pemulihan bencana wajib ditempatkan dalam wilayah Indonesia.

Permen ini adalah satu dari 21 Permen turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) No 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE) yang diundangkan dan berlaku sejak 15 Oktober 2012.

Tak sampai disini, pemerintah juga tengah menggodok Undang Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP). Kabarnya sudah ada di meja parlemen.

“Undang Undang ini bukan hanya penting, tapi maha penting karena di tingkat ASEAN hanya Indonesia, Laos, dan Kamboja yang belum mempunyai UU tersebut,” ucap Pakar Komunikasi Politik Prof Dr Tjipta Lesmana dikutip dari Antara.

Dia bilang banyak masyarakat yang menjadi obyek sasaran penawaran produk komersial atau email, padahal yang bersangkutan tidak pernah memberikan data kepada perusahaan tersebut.

“Omzet operator seluler itu dari bisnis penawaran produk itu bisa mencapai triliunan rupiah. Masyarakat sudah merasa terganggu tapi tidak bisa berbuat banyak.”

Dari aksi pemerintah yang sudah cukup peduli tentang perlindungan data pribadi, sekarang tinggal implementasi di lapangan. Pemerintah harus tegas memberi hukuman kepada perusahaan yang sengaja “membocorkan” data pengguna untuk keuntungan pribadi.

Lalu, dari sisi pengguna internet itu sendiri harus lebih bijak, lebih selektif menggunakan aplikasi, dan harus rajin update password untuk meminimalisir potensi kejahatan siber di kemudian hari.

Melihat Efektivitas Iklan Mobile dari Pola Pengguna Aplikasi di Indonesia

Bagi pengembang aplikasi mobile, salah satu kanal pendapatan yang paling umum digunakan ialah melalui iklan. Memang tak banyak pilihan untuk sebuah aplikasi yang diluncurkan secara gratis, umumnya pendapatan pengembang diambil dari konten premium, penjualan merchandise atau iklan. Tetapi metode iklan paling banyak diminati, selain bekerja otomatis, iklan juga memberikan nilai yang cukup signifikan ketika aplikasi mendapatkan jumlah unduhan dan penggunaan yang tinggi.

Namun jika melihat dari perspektif pengguna, apakah iklan sejatinya efektif? Ada dua sudut pandang jika kita membahas seputar kebermanfaatan iklan mobile ini, dari sisi pengembang dan dari sisi pengiklan. Dari sisi pengembang sudah jelas iklan menjadi income menjanjikan. Namun dilihat dari sisi pengiklan, hal ini perlu ditelisik lebih lanjut. Mobile advertising menjadi salah satu fokus survei yang dilakukan JakPat baru-baru ini. Dalam survei tersebut tersaji hasil menarik dari ratusan responden pengguna smartphone di Indonesia

(1) Melihat konten iklan tapi mengabaikan –strategi penempatan iklan untuk kenyamanan pengguna

Dari total responden survei tersebut, 88 persen mengaku ketika menggunakan aplikasi mobile yang terkoneksi dengan internet, mereka sering kali menemui iklan digital yang muncul. Kebanyakan mereka melihat secara seksama adanya iklan ketika penempatannya di atas, di bawah dan dalam bentuk pop ads. Kendati demikian, kebanyakan dari mereka (tepatnya 94 persen responden yang mengatakan menyadari adanya iklan) merasa terganggu. Sebanyak 77 persen terganggu oleh pop ads, 68 persen oleh iklan yang tidak bisa di-skip dan 24 persen dari iklan yang muncul di atas atau di bawah laman aplikasi.

Hal ini memberikan sedikit pemahaman kepada kita sebagai pengembang aplikasi untuk lebih jeli dalam menaruh tata letak iklan pada aplikasi. Dari persentase tersebut, bisa dikatakan bahwa iklan yang muncul sudut atas dan bawah aplikasi masih cukup dimaklumi, tidak membuat pengguna aplikasi merasa terganggu. Namun pada dasarnya kesabaran pengguna tersebut akan berbanding lurus dengan kualitas konten aplikasi yang dikembangkan. Jika aplikasi berbobot atau memiliki daya tarik yang tinggi, iklan pun akan dimaklumi untuk ditunggu. Namun sebagai aplikasi rilisan baru, maka hal ini perlu dipertimbangkan.

(2) Efektivitas iklan terhadap capaian pemasaran masih tergolong rendah di Indonesia

Hanya 20 persen dari total responden yang mengaku melihat iklan dengan berbagai alasan membuka tautan yang disajikan. Ada berbagai alasan mengapa pada akhirnya pengguna tersebut memilih untuk menuju ke tautan yang diberikan dalam iklan, alasan paling dominan karena iklan tersebut menyajikan informasi yang berguna atau menarik. Selain itu beberapa orang membuka tautan iklan dikarenakan penasaran dengan konten yang disajikan pada iklan tersebut. Sisanya dikarenakan “kecelakaan” (salah sentuh).

Pengalaman tersebut turut memberikan beberapa masukan terkait dengan user interface dalam aplikasi oleh pengguna. Beberapa pengguna mengaku kerap terjadi salah sentuh sehingga iklan tersebut terbuka. Sebagian besar mengaku karena tombol “close” yang susah diakses dan keterbatasan ruang gerak jari untuk menyembunyikan lagi iklan tersebut. Di sisi lain dapat disimpulkan, bagi pengiklan dua hal yang dapat dipertimbangkan ketika menyusun konten adalah buatlah informasi semenarik mungkin sehingga terlihat berguna. Atau desain sebuah konten yang menarik sehingga membuat orang penasaran untuk membuka.

Patut menjadi catatan, cara-cara yang “membohongi” pengguna cenderung merusak reputasi brand tersebut. Artinya jika konten yang benar-benar menarik, tidak bersifat “menipu” atau “clickbait“. Karena kekecewaan konsumen sasaran akan mengakibatkan stigma negatif terhadap suatu brand.

(3) Jadi, apakah mobile advertising dapat dijadikan pilihan untuk berkampanye iklan di Indonesia saat ini?

Bagan hasil survei berikut ini kami pikir cukup memberikan simpulan untuk demografi konsumen di Indonesia.

Hasil survei JakPat bertajuk "Mobile Advertising: An Effective Promotion Channel?"
Hasil survei JakPat bertajuk “Mobile Advertising: An Effective Promotion Channel?”

APJII: Lebih dari Separuh Penduduk Indonesia Telah Terhubung Internet

Hari ini Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) merilis hasil survei terkait dengan penetrasi internet di seluruh Indonesia. Survei yang dilakukan oleh seluruh pengguna internet di seluruh Indonesia dengan dua kategori, yaitu penetrasi sebanyak 1200 sampel dan pengguna sebanyak 2000 sampel. Survei ini diharapkan memberikan pemahaman tentang industri terkait, termasuk operator telekomunikasi, startup, e-commerce untuk melihat seperti apa tren pengguna internet baik itu di mobile maupun di desktop.

132,7 juta orang, atau lebih dari separuh total populasi Indonesia yang berjumlah 256,2 juta orang telah menggunakan internet. Sebanyak 86,3 juta atau 65% berasal dari pulau Jawa, 15,7% berasal dari Sumatera, 6,3% dari Sulawesi, 5,8% dari Kalimantan, 4,7% dari Bali dan Nusa Tenggara, dan yang terakhir Maluku dan Papua sebesar 2,5%.

“Saat ini kawasan Indonesia Timur telah mengalami peningkatan jumlah pengguna dari tahun-tahun sebelumnya. Tidak terlalu signifikan namun ada peningkatan sedikit,” kata Sekjen APJII Hendri Prima saat acara temu media hari ini di Jakarta.

“Dari hasil survei yang telah kami dapatkan kaum pria masih mendominasi pengguna internet terbanyak, yaitu 51,8%, sementara 65% pengguna berdomisili di pulau Jawa dan 92,8 juta pengguna memanfaatkan internet [menggunakan perangkat] mobile,” kata Hendri.

Statistik demografi pengguna internet Indonesia

Dari sisi demografi, hal menarik yang diungkapkan APJII adalah anak-anak usia 10 tahun sudah mulai terbiasa menggunakan internet. Kalangan millennial yang 25 – 29 tahun mendominasi demografi pengakses internet dengan populasi sebanyak 24 juta. Untuk kalangan senior berusia 50 tahun ke atas, hanya 3% saja yang terbiasa memanfaatkan inetrnet untuk mencari informasi dan mengakses media sosial.

Data selanjutnya dibagikan APJII adalah kebanyakan pengguna internet memanfaatkan paket data mobile untuk melakukan eksplorasi (92,8 juta), disusul internet rumahan sebanyak 17,7 juta, dan sisanya menggunakan internet di kantor, kampus, warnet, hingga cafe atau coffee shop.

Consumer behavior terhadap penggunaan internet di Indonesia

Selanjutnya APJII mengungkapkan informasi apa saja yang dilakukan oleh pengguna memanfaatkan internet di mobile dan desktop. Dari survei yang telah dilancarkan, sebanyak 31,3 juta pengguna yang memanfaatkan internet ingin mencari informasi (berita lokal hingga luar negeri), 27,6 juta orang memanfaatkan internet untuk mencari pekerjaan, hiburan sebanyak 11,7 juta orang, dan hanya 10,4 juta yang memanfaatkan internet untuk bisnis, berdagang, dan mencari barang.

“Dari sini sudah bisa terlihat kecilnya pelaku UKM yang memanfaatkan internet untuk berjualan, dan masih mengandalkan cara-cara informal dalam menjalankan bisnisnya,” kata Hendri.

Survei kemudian dilanjutkan kepada jenis perangkat atau gadget. Sebanyak 63,1 juta orang atau 47,6% memanfaatkan mobile, sementara pengguna yang masih memanfaatkan desktop untuk menggunakan internet hanya 2,2 juta orang saja atau 1,7%.

“Jika digabung antara mobile dan desktop angka survei menunjukkan 67,2 juta pengguna atau 50,7%, artinya Indonesia memang negara yang mengedepankan ‘mobile first’ di Asia Tenggara,” kata Hendri.

Hal menarik lainnya yang diungkapkan oleh APJII terkait dengan jumlah kuota internet dari operator yang banyak dipilih adalah kuota 2 GB dengan 41,2 juta pengguna, sementara sebanyak 119,6 juta orang lebih memilih berlangganan paket bulanan untuk kuota internet.

“Menjadi hal yang menarik untuk dicermati oleh operator telekomunikasi tentunya, mengapa kebanyakan orang di Indonesia lebih memilih kuota 2 GB saja untuk keperluan internet setiap hari di smartphone,” kata Hendri.

E-commerce dan pembayaran favorit pengguna internet Indonesia

APJII kemudian mengungkapkan kebiasaan orang di Indonesia memanfaatkan internet untuk belanja online. Sebanyak 98,6% orang memanfaatkan internet untuk mencari informasi produk baru di layanan e-commerce, namun hanya 84,2 juta saja yang kemudian melakukan pembelian secara online atau sekitar 63,5%.

“Namun yang menarik dari tren e-commerce di Indonesia, kebanyakan orang yang membeli produk di e-commerce hanya sekitar 9,9 juta saja yang melakukan pembayaran secara online, sementara sebanyak 48,7 juta orang atau 36,7% melakukan pembayaran melalui ATM,” kata Hendri.

Pilihan pembayaran lain yang dipilih orang Indonesia adalah melalui Cash on Delivery (COD) sebanyak 18,8 juta. Survei juga menyebutkan frekuensi orang Indonesia yang melakukan pembelian produk melalui layanan e-commerce, yaitu sebanyak 46,1 juta orang melakukan pembelian sebanyak lebih dari 1 bulan sekali, dan 30,1 juta orang melakukan pembelian produk secara online di bawah satu bulan sekali.

Selanjutnya konten komersial yang sering dikunjungi pengguna internet di Indonesia adalah,online shop sebanyak 82,2 juta orang, sementara 45,3 juta orang menggunakannya untuk keperluan bisnis dan personal.

Bicara mengenai pembayaran secara online, survei juga menyebutkan sebanyak 93,4 juta orang sudah percaya dan merasa aman terkait dengan penggunaan internet hingga pembayaran secara online. Sisanya, atau 30,3 juta orang, masih belum yakin dengan keamanan internet.

“Dalam hal ini tentunya menjadi tanggung jawab dari phak terkait untuk meyakinkan kepada pengguna yang sudah merasa aman untuk tetap loyal dan meyakinkan lebih banyak lagi pengguna yang masih ragu,” kata Hendri.

Media sosial dan browser favorit pengguna

Ternyata Gmail merupakan layanan email pilihan pertama dengan jumlah 81,6 juta orang, disusul dengan Yahoo sebanyak 43,6 juta. Hal menarik lain yang juga diungkapkan oleh APJII adalah, sebanyak 84,6 juta orang memanfaatkan mobile untuk melihat dan membalas email, sementara hanya 46,4 juta saja orang yang memanfaatkan desktop untuk melihat, membalas dan membuat email.

Data terakhir yang diungkapkan oleh APJII adalah browser yang paling banyak digunakan oleh pengguna internet di Indonesia yaitu Google Chrome sebanyak 81,8 juta orang, disusul dengan Mozilla sebanyak 43,6 juta dan terakhir adalah Internet Explorer sebanyak 5 juta orang.

Smartphone merupakan perangkat terbanyak yang digunakan pengguna internet di Indonesia untuk menjelajahi internet, disusul desktop sebanyak 19,5 juta dan terakhir laptop sebanyak 16,7 juta orang.

Terkait media sosial, Facebook masih menjadi platform media sosial favorit dengan jumlah pengguna sebanyak 71,6 juta orang, disusul Instagram sebanyak 19,9 juta dan terakhir Youtube dengan jumlah pengguna sebanyak 14,5 juta orang atau 11%.

“Dari survei yang telah kami lakukan produk asing masih merupakan platform terbanyak yang digunakan oleh orang Indonesia, apakah itu email, media sosial, pencarian informasi dan lainnya. Di sinilah peranan APJII untuk kemudian berusaha mengembalikan big data kembali Indonesia, tentunya dengan melakukan kemitraan dengan pihak terkait,” kata Ketua Umum APJII Jamalul Izza.

Survei SAP Seputar Faktor Penentu Kepuasan Pelanggan Digital

Perkembangan teknologi digital memberikan dampak signifikan bagi sektor bisnis. Banyak industri yang mulai menjalankan rencana inovasi dengan masukkan teknologi digital di dalamnya. Diakui atau tidak membawa bisnis ke ranah digital tak hanya sekedar tren semata, tapi juga untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Kebutuhan akan peningkatan pengalaman dalam berbelanja atau penggunaan layanan.

Baru-baru ini SAP, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang teknologi dan membantu organisasi dan bisnis dalam menjalankan proses digitalisasi mengeluarkan sebuah laporan mengenai pengalaman digital pengguna di Indonesia. Ada beberapa aspek yang dilaporkan, salah satunya tentang kepuasan pelanggan terhadap pelayanan digital sebuah industri.

Sudah menjadi rahasia umum jika Indonesia dikenal sebagai pasar potensial untuk bisnis digital. Dengan jumlah penduduk yang luar biasa banyak dan dengan tingkat penetrasi penggunaan internet dan perangkat smartphone yang cukup tinggi Indonesia menempati predikat sebagai pasar yang cukup seksi. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya bisnis yang menawarkan layanan atau produk digital yang ramai-ramai masuk ke Indonesia. Apa pun kategorinya.

Dalam laporan yang SAP disebutkan bahwa hampir 50% responden puas dengan pengalaman digital yang mereka dapatkan dari berbagai brand dan industri di Indonesia. Kepuasan ini merupakan representasi dari kemudahan yang mereka dapatkan setelah mencoba sebuah layanan digital. Sementara itu untuk yang berseberangan, mereka yang tidak puas dengan pengalaman digital mencapai 14%.

Ada empat industri yang mempengaruhi kepuasan pelanggan dalam pelayanan digital di Indonesia, yakni perbankan, utilitas (layanan air, listrik, gas dan lain sebagainya), ritel, dana juga telekomunikasi. Empat industri tersebut menjadi pilar yang menyumbang kepuasan tertinggi bagi konsumen di Indonesia.

SAP report

Secara lebih spesifik ada empat belas variabel yang mempengaruhi kepuasan pelanggan terhadap pelayanan digital di Indonesia. Tiga teratas dari variabel-variabel tersebut adalah keamanan, integrasi dan kemudahan dan kesesuaian (berkaitan dengan kebutuhan).

Dari laporan SAP ini secara umum bisa ditarik kesimpulan bahwa konsumen di Indonesia sekarang sudah mulai peduli dengan keamanan. Hal ini termasuk dengan keamanan pribadi yang paling sangat dikhawatirkan jika bocor. Selain itu integrasi menjadi hal penting lainnya.

Jika para startup masih kesulitan dalam menjaring pengguna ketiga variabel tersebut bisa dijadikan prioritas dalam membangun sebuah layanan. Dengan memberikan sebuah produk atau layanan yang aman, mudah, terintegrasi dan memenuhi kebutuhan.

Survei DailySocial: Pengembang Mobile Game Lokal Masih Belum Begitu Dikenal Responden

Industri game di Indonesia telah berkembang cepat dalam beberapa dekade belakangan dan di tahun 2013 saja industri game online disebutkan memperoleh pemasukan mencapai $190 juta (Rp 2,4 triliun). Dengan tingkat pertumbuhan pengguna mobile yang tinggi saat ini, melalui survei “Mobile Game Consumption in Indonesia” kami mencoba memberikan gambaran besar mengenai perilaku pemain terhadap perkembangan mobile game di Indonesia.

Survei ini merupakan hasil kerja sama DailySocial dengan Jakpat yang melibatkan 516 responden. Beberapa data menarik yang ditemukan dalam survei yaitu:

  • Tingkat awareness responden terhadap kehadiran pengembang mobile game lokal tidak begitu tinggi, tetapi juga tidak terlalu rendah. Hanya 49,61% responden yang mengaku tahu mengenai keberadaan pengembang game lokal.
  • Dengan persentase mencapai 52,91%, media sosial menjadi sumber informasi utama responden untuk mengetahui keberadaan pengembang mobile game lokal.
  • Di tahun 2016, genre mobile game Adventure, Strategy, Puzzle, Action, dan Arcade menjadi lima genre paling dipilih untuk dimainkan.
  • Kesediaan untuk membayar sebuah mobile game tidak tinggi, karena 74,03% responden menyatakan enggan untuk membayar untuk memainkan mobile game.
  • Bagi responden yang bersedia membayar, carrier billing menjadi metode pembayaran pilihan 66,42% responden

Bila ingin mengetahui lebih jauh survei “Mobile Game Consumption in Indonesia”, Anda bisa mengaksesnya secara cuma-cuma setelah menjadi member DailySocial melalui tautan ini.

Di samping survei ini, DailySocial juga telah menerbitkan beberapa survei lain dengan topik yang berbeda-beda, mulai dari perilaku terhadap layanan digital, tingkat kepuasan terhadap layanan e-commerce, penetrasi startup teknologi di sektor kesehatan, pola mendengarkan musik, hingga alat pembayaran non-tunai.

Survei DailySocial: Informasi Kesehatan Adalah Konten Paling Dicari dari Startup Teknologi Kesehatan

Salah satu sektor yang kini tengah menjadi perhatian beriringan dengan pertumbuhan startup yang makin menjamur adalah sektor kesehatan. Pun begitu, dalam survei DailySocial dengan tajuk “Indonesia’s Digital Healthcare Services Penetration Survey” kami menemukan bahwa penetrasi startup teknologi kesehatan masih rendah karena hanya 36,92 persen responden yang menyatakan tahu mengenai keberadaannya. Selain itu, kami juga menemukan bahwa di tahap awal ini informasi seputar kesehatan adalah konten yang paling dari startup teknologi kesehatan.

Konten informasi yang paling banyak dicari dalam layanan startup teknologi di sektor kesehatan / Survei DailySocial
Konten informasi yang paling banyak dicari dalam layanan startup teknologi di sektor kesehatan / Survei DailySocial

Berdasarkan data survei, ada tiga konten informasi yang paling dicari dari layanan startup teknologi di sektor kesehatan saat ini yang secara berurutan adalah Informasi Gejala Penyakit (29,38%), Tips Kesehatan (25,61%), dan Berita seputar kesehatan (17,79%). Sedangkan layanan seperti konsultasi online dan informasi obat hanya mendapat persentase sebesar 11,05 persen dan 7,01 persen. Belum begitu populer.

[Baca juga: Survei DailySocial: Layanan Streaming Belum Jadi Metode Utama Saat Mendengarkan Musik]

Hal tersebut sedikit banyak berdampak kepada popularitas startup teknologi di sektor kesehatan yang ada di Indonesia. Dokter.id, KlikDokter, dan Alokdokter pun menjadi tiga startup teknologi di sektor kesehatan paling populer yang digunakan oleh responden dalam survei. Selain memulai lebih awal, ketiganya juga memang menyajikan konten informasi seputar kesehatan yang paling dicari oleh responden survei.

Populartitas startup teknologi di sektor kesehatan / Survei DailySocial Populartitas startup teknologi di sektor kesehatan / Survei DailySocial

Data menarik lainnya yang kami temukan yaitu mengenai sumber informasi keberadaan startup teknologi kesehatan. Dari 36,92 persen yang mengetahui keberadaan startup teknologi kesehatan, 42,59 persen responden menyebutkan bahwa media sosial seperti Facebook dan Twitter adalah sumber informasi utama mereka mengetahui startup kesehatan di Indonesia. Ini adalah hal yang wajar mengingat Indonesia sendiri adalah salah satu negara dengan pengguna Facebook terbanyak di dunai.

Meski di tahap awal ini penetrasi startup teknologi di bidang kesehatan masih rendah, namun bila dilihat dari sudut pandang lain artinya ruang untuk tumbuh masih terbuka lebar. Toh pasar industri kesehatan sendiri secara umum diramalkan akan menyentuh $21 miliar (sekitar Rp273 triliun) di tahun 2019 nanti.

Hal paling esensial saat ini bagi startup teknologi di sektor kesehatan adalah keterlibatan pihak yang mengerti dan memahami bagaimana industri kesehatan bekerja agar komunikasi antara pelaku dan lembaga kesehatan yang sudah ada bisa berjalan lancar.

[Baca juga: Survei DailySocial: Mayoritas Responden Optimis Alat Pembayaran Non-Tunai Bisa Menggantikan Tunai di Masa Depan]

Laporan “Indonesia’s Digital Healthcare Services Penetration Survey” yang diterbitkan oleh DailySocial pada Agustus silam ini merupakan hasil kerja sama DailySocial dengan JakPat. Harapannya, melalui hasil survei ini para pelaku bisnis bisa mendapatkan gambaran makro mengenai penetrasi layanan startup teknologi di sektor kesehatan hingga alasan apa saja yang membuat responden menggunakan layanan tersebut.

Bila Anda tertarik untuk mengetahui lebih jauh, Anda bisa mengunduh laporan lengkapnya setelah menjadi member DailySocial melalui tautan ini.