Platform “Jastip” Titipbeliin Fasilitasi Pembayaran Pajak dan Bea Cukai Produk

Sejak tahun 2017, jastip alias jasa titip beli barang dari luar negeri terpantau mulai ramai peminat. Seiring perkembangan media sosial seperti Instagram, jumlahnya pun makin bertambah hingga sekarang. Tren tersebut menjadikan beberapa founder menginisiasi platform yang mengakomodasi aktivitas tersebut.

Salah satu platform yang mencoba untuk menawarkan layanan serupa adalah Titipbeliin. Secara khusus mengakomodasi layanan jastip untuk perjalan wisata di Amerika Serikat, Tiongkok, Inggris, Korea Selatan, dan Singapura. Diluncurkan pada bulan Maret 2019 lalu, hingga kini Titipbeliin mengklaim memiliki 10 ribu pengguna aktif dan hampir 6000 transaksi. Dalam kurun waktu 9 bulan mereka mengklaim telah setorkan pajak senilai Rp600 juta.

“Titipbeliin hadir untuk mempermudah proses pembelian barang dari luar negeri secara cepat, mudah, dan legal karena selalu memasukan komponen pajak dalam biaya yang dibayarkan oleh pengguna,” kata Co-Founder Titipbeliin Bayu Sutrisno kepada DailySocial.

Secara khusus Titipbeliin bukan hanya membantu membeli produk yang diinginkan saja, namun proses pengiriman seperti pajak bea cukai, pengiriman internasional, dan hal lainya. Pemesan cukup melakukan pembayaran dan menunggu barang sampai depan rumah.

Cara pakai Titipbeliin

Untuk memanfaatkan layanan, pengguna hanya perlu menyalin tautan produk dari situs tertentu yang ingin dititipkan di beranda situs. Kemudian isi dengan detail berat dan harga, bayar dengan berbagai metode pembayaran yang disediakan. Kemudian barang akan sampai dirumah pengguna dalam waktu 3 – 10 hari untuk negara asal Singapura atau Tiongkok. Sementara pengiriman sekitar 10 – 15 hari dari Amerika dan 20 hari dari Inggris.

Untuk strategi monetisasi yang dilancarkan, setiap transaksi perusahaan mengambil profit dari jasa titip sebesar 6%, lalu selisih kurs dan diskon dari rekanan logistik lokal.

Disinggung apa perbedaan Titipbeliin dengan layanan jastip serupa lainnya, Bayu menegaskan mereka memiliki jaminan barang sampai ke rumah, karena ada pembayaran pajak. Barang titipan tidak ada yang tertahan oleh Dirjen Bea Cukai. Selain itu harga yang ditawarkan juga kompetitif dan platform serta layanan dijamin seamless memudahkan pengguna.

Tahun 2020 mendatang banyak target yang ingin dicapai oleh perusahaan. Salah satunya adalah melakukan penggalangan dana. Saat ini Titipbeliin telah mendapatkan dana segar dari angel investor. Perusahaan juga memiliki rencana untuk mengakomodir dan mengekspor produk dalam negeri yang berkualitas ke berbagai belahan dunia.

“Tahun depan kami juga ingin melakukan aktivasi awareness secara masif, agar lebih banyak konsumen mengetahui dan menggunakan Titipbeliin sebagai solusi pembelian barang dari luar negeri atau jastip agar bisa mengurangi praktik Jastip ilegal yang merugikan negara,” tutup Bayu.

Tokopedia Tambah Fitur “Penerimaan Negara”, Layani Pembayaran Pajak, Cukai dan PNBP

Tokopedia menjalin kerja sama dengan Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan Republik Indonesia mengumumkan peluncuran fitur pembayaran “Penerimaan Negara”. Fitur ini memungkinkan Tokopedia bisa digunakan untuk melakukan pembayaran lebih dari 900 jenis pernerimaan negara.

Untuk saat ini di fitur pembayaran Penerimaan Negara terdiri dari tiga jenis kategori, yakni Pajak Online yang meliputi pembayaran pajak yang ada di bawah naungan Direktorat Jendral Pajak seperti PPh, PPh 21, PPh 22, PPh 23, PPh 25, PPh 26, PPh 29, dan PPh Final; kategori Bea Cukai yang bisa dimanfaatkan untuk pembayaran pajak di bawah naungan Dirjen Bea Cukai; dan bayar PNBP yang mencakup pembayaran di bawah Direktorat Jendral Anggaran seperti biaya perpanjangan paspor, biaya pernikahan, biaya perpanjangan SIM, dan lainnya.

“Sejak awal berdiri, Tokopedia berkomitmen mempermudah masyarakat Indonesia, baik dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari hingga mencapai lebih. Dengan adanya fitur pembayaran ‘Penerimaan Negara’ di Tokopedia, masyarakat bisa dengan lebih mudah membayar pajak dan bentuk penerimaan negara lainnya kapan pun dimana pun,” ujar Co-Founder & CEO Tokopedia William Tanuwijaya.

William menambahkan, bahwa peluncuran fitur ini merupakan upaya Tokopedia untuk membantu pemerintah dalam mempermudah proses pembayaran pajak demi meningkatkan penerimaan negara, mengingat pajak dan penerimaan negara lainnya merupakan jembatan pemerataan ekonomi.

Sementara itu Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani mengungkapkan bahwa pihaknya menyambut baik proses pembayaran pajak yang mudah dengan demikian diharapkan bisa meningkatkan partisipasi wajib pajak.

“Kami menyambut baik agar proses pembayaran pajak dapat semudah membeli pulsa. Untuk itu kami bekerja sama dengan berbagai channel pembayaran pajak yang salah satunya adalah Tokopedia sebagai salah satu cara untuk lebih mempermudah masyarakat dalam membayar pajak. Kemudahan ini diharapkan bisa mendorong partisipasi Wajib Pajak dalam melakukan pembayaran pajak sehingga berdampak pada peningkatan penerimaan negara,” jelas Sri Mulyani.

Untuk melakukan pembayaran pajak masyarakat cukup mendapatkan kode bayar atau kode billing dari portal masing-masing institusi pajak, seperti DJP Online untuk Dirjen Pajak, Simponi untuk Dirjen Anggaran, dan CEISE untuk Dirjen Bea Cukai. Setelah itu masuk ke fitur pembayaran “Penerimaan Negara” dan menyelesaikan transaksi dengan metode pembayaran yang disediakan, seperti Ovo Cash, transfer, virtual account, kartu debit dan kredit, dan beberapa lainnya.

Application Information Will Show Up Here

Platform SaaS Finata Bantu UKM Benahi Laporan Keuangan

Berdasarkan data BPS, ada sekitar 62 juta UKM di Indonesia dengan laju pertumbuhan sekitar 100 ribu usaha per tahun. Sementara data dari Ditjen Pajak, hanya terdapat kurang dari 1 juta usaha yang sudah melakukan kewajiban pajak.

Masalahnya adalah kebanyakan UKM tidak memahami cara pembuatan pembukuan atau tidak mengerti manfaat dari kerapihan laporan keuangan, bahkan cara membaca laporan keuangan yang berstandar.

Melihat persoalan tersebut Yudi Sudarmadi selaku Founder & CEO Finata kemudian membuat solusi berupa perangkat lunak keuangan berbasis SaaS yang bisa menghasilkan laporan keuangan sesuai standar akuntansi. Juga dilengkapi fitur pengelolaan pajak dan fitur untuk mendiagnosis kesehatan bisnis. Dibantu oleh Tantan Hilyatana yang berpengalaman dalam pengembangan produk digital, PT Reksa Finansial Tertata (Finata) didirikan.

Software keuangan UKM Finata merupakan web-based cloud computing yang bisa diakses oleh pengguna kapan saja di mana saja. Sehingga pengguna tidak perlu dipusingkan dengan proses instalasi dan penyimpanan data perusahaan. Dengan model bisnis SaaS freemium, setiap UKM bisa memilih dan membayar fitur sesuai kebutuhan.”

Sejak diluncurkan, Finata saat ini telah memiliki 280 pengguna. Berdasarkan feedback dan respons, Finata berupaya untuk melakukan perbaikan sistem agar bisa bermanfaat bagi pengguna. Dengan memiliki kemampuan dan alat yang tepat dalam pencatatan keuangan, pelaku UKM dapat meningkatkan skala bisnisnya secara komprehensif sekaligus mengetahui bagaimana cara tepat mendatangkan sumber permodalan yang terbaik bagi usahanya.

“Termasuk bila didatangi petugas pajak. Karena tidak mengerti keuangan apalagi perpajakan, akhirnya langsung menderita kesulitan keuangan, mendadak bangkrut, atau terkena pidana pajak,” ujar Yudi,

Sebagai bentuk dukungan kepada pemilik usaha, Finata bisa diakses secara gratis melalui situs yang saat  ini masih versi beta. Belum memiliki rencana untuk meluncurkan aplikasi, Finata mengklaim sebagai satu-satunya software akuntansi yang bisa menghitung setoran pajak dan dilengkapi dengan diagnosis kesehatan bisnis.

Target tahun 2019

Dengan target 200 ribu pengguna terdaftar dan 2000 pengguna aktif harian di tahun 2019, Finata berharap dapat menjadi bagian dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas kewirausahaan di masyarakat untuk mewujudkan Indonesia yang lebih mandiri. Secara khusus menyasar pelaku UKM yang berjualan secara online sebagai early adopter, dengan menggunakan Finata, diharapkan mereka dapat mendeteksi kesehatan usahanya sehingga mampu melakukan pengembangan bisnis.

Finata juga memiliki rencana untuk melakukan penggalangan dana, yang nantinya bisa digunakan untuk kegiatan pemasaran. Rencana fundraising akan dilakukan setelah Finata memiliki jumlah pengguna yang ditargetkan. Saat ini Finata juga tengah menjajaki program IPO khusus untuk startup di kategori papan akselerasi.

“Kami akan terus berkolaborasi dengan komunitas UKM dan menjadikan pemerintah sebagai mitra untuk memperluas edukasi penataan keuangan UKM saat ini,” tutup Yudi.

Chasing on OTT Company Taxes

The taxes of OTT companies, such as Google, Facebook, and Amazon has been the talk around many countries including Indonesia back then. The potential tax might help with some country’s income. Now, the tax issues have come to an end. The Financial Minister, Sri Mulyani said that in the G20 summit last week, all members decided to set a new framework.

Sri Mulyani explained, as two things have decided, about base erosion and profit shifting (BEPS) or the tendency for companies to find places with low tax and about economy digital. England and France are examples with successful with tech company taxes.

“England and France, in particular, forming unilateral to impose digital economic taxes. It’s not only for the digital economy in terms of VAT, as the simplest one, but also for income tax where the economic presence becomes a tax source as an approach. It’s not the residential place, the business might take place in Ireland with low tax, but when the activities are mostly in England, the tax will follow England’s rate. It was what happened in England and France,” Sri Mulyani said.

Currently, Indonesia has around 260 million population with 100 million internet users, but the tax revenue is yet to be reflected in it. The challenge is having no office building in Indonesia. Moreover, the redefined permanent establishment is still a priority.

“The digital activity has a different business model with the non-digital because it doesn’t require BUT (permanent establishment) in a country or jurisdiction to operate cross-countries,” the Financial Minister said as quoted by Liputan6.

She added further, “What makes it difficult is the tax based on a physical presence. However, digital companies can make it without opening branches or permanent establishment. It’s not only in Indonesia, so the physical presence can no longer count as a reference.”

Quoted from Kontan, DDTC Tax Observer, Bawono Kristiaji said if the effort to implement tax for OTT companies like Google, Amazon, Facebook, and Apple success, Indonesia will take the advantage.

He said, there are two main issues that freed those companies of taxes, first is a permanent establishment and the profit allocation. Even though it’s a permanent establishment, profits that can be taxed in a jurisdiction should reflect the contribution of the state entity towards value creation in a multinational group.

“Unfortunately, the current international tax system does not regulate these two, the status of the permanent establishment has not been based on a significant economic presence and profit allocation has not reflected fair value creation,” he added.

Digital tax pursuits for OTT companies are indeed profitable for countries with large consumers such as Indonesia. However, with the complex digital economy, another challenge risen for government in pursuing OTT corporate tax is policy, especially in quantitative calculations related to the significant presence, and to define low or no tax jurisdiction. Including the formula and the basis of the calculation.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengejar Pajak Perusahaan OTT

Pajak perusahaan OTT seperti Google, Facebook, hingga Amazon sudah menjadi perbincangan di banyak negara termasuk Indonesia beberapa waktu lalu. Potensi pajak dari mereka diharapkan bisa memberikan sumbangsih pendapatan negara. Kini perpajakan untuk perusahaan-perusahaan tersebut menemui titik terang. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa dalam pertemuan G20 pekan kemarin para negara anggota sepakat untuk menyusun kerangka kerja baru.

Sri Mulayani menjelaskan ada dua setidaknya hal yang disepakati, pertama soal base erosion and profit shiftting (BEPS) atau kecenderungan perusahaan mencari tempat dengan tingkat pajak rendah dan juga mengenai digital ekonomi. Inggris dan Perancis merupakan dua negara yang menjadi contoh telah berhasil mengenakan pajak terhadap perusahaan teknologi.

“Terutama Inggris dan Perancis yang melakukan unilateral untuk meng-impose pajak digital ekonomi. Dia bahkan melakukannya bukan hanya untuk digital ekonomi dari sisi VAT, karena yang paling mudah, tapi juga dari sisi income tax PPh di mana mereka juga menggunakan pendekatan economic presence-nya lebih dijadikan sumber pajaknya. Jadi bukan tempat tinggalnya jadi dia bisa saja tetap di Irlandia yang tarif pajaknya sangat rendah, tapi kalau aktivitasnya lebih banyak di Inggris maka pajaknya tetap di Inggris. Itu yang dilakukan Inggris dan Perancis,” jelas Sri Mulyani.

Saat ini Indonesia kurang lebih memiliki 260 juta populasi dengan 100 juta pengguna internet, namun realisasi penerimaan perpajakan belum tercermin dari sana. Tantangannya adalah tidak ada kehadiran secara fisik perusahaan di Indonesia. Oleh karena itu redefinisi dari Bentuk Usaha Tetap menjadi prioritas.

“Kegiatan digital itu bisnis modelnya berbeda dengan non digital karena mereka tidak harus memiliki BUT (Bentuk Usaha Tetap) atau permanent establishment di suatu negara atau yurisdiction sehingga beroperasi di lintas negara,” terang Menkeu seperti dikutip dari Liputan6.

Ia lebih jauh menambahkan, “Jadi itu yang membuat kesulitan karena basis pajak adalah kehadiran perusahaan secara fisik. Tapi perusahaan digital bisa lakukan tanpa buat cabang atau permanent establisment. Jadi ini tidak hanya di Indonesia saja. Sehingga kehadiran secara fisik tidak bisa lagi dijadikan acuan.”

Dikutip dari Kontan, Pengamat Perpajakan DDTC Bawono Kristiaji menyampaikan bahwa upaya memberlakukan pajak untuk perusahaan OTT seperti Google, Amazon, Facebook, dan Apple bila direalisasikan maka akan sangat menguntungkan Indonesia.

Menurutnya saat ini ada dua hal utama yang menghindarkan perusahaan OTT tersebut terhindar dari pajak, pertama soal BUT dan yang kedua soal pengalokasian laba. Jadi meskipun sudah menjadi BUT laba yang bisa dipajaki di suatu yuridiksi seharusnya merefleksikan kontributi entitas negara tersebut terhadap pembentukan nilai dalam group multinasional.

“Sayangnya sistem pajak internasional yang saat ini berlaku tidak mengatur kedua hal tersebut yaitu status BUT belum berdasarkan significant economic presence dan alokasi laba yang belum merefleksikan pembentukan nilai secara fair,” imbuh Bawono.

Pengejaran pajak digital untuk perusahaan OTT memang menguntungkan dengan negara dengan konsumen besar seperti Indonesia. Namun dengan kompleksitas ekonomi digital tantangan lainnya yang dihadapi pemerintah dalam mengejar pajak perusahaan OTT adalah formulasi kebijakan, khususnya pada perhitungan kuantitatif terkait significant persence dan mendefinisikan low or no tax jurisdictions. Termasuk formula dan dasar perhitungannya.

OnlinePajak Secures Series B Funding, Worth of 379 Billion Rupiah

OnlinePajak just announced Series B funding worth of $25 million (around 379.6 billion Rupiah). It was led by Warburg Pincus supported by Global Innovation Fund (GIF) and Endeavor Catalyst. The previous investors, Alpha JWC Ventures, Sequoia India, and Primedge have also participated in this round.

Charles Guinot, OnlinePajak‘s Founder & CEO, said that this funding was a validation of the current business model. Funding will be used for tax compliance revolution with blockchain and artificial intelligence-based technology.

“We plan to accelerate our ability expansion to always help taxpayers. We will transform the easy business in this country by helping companies to prove their productivity, and to support the Directorate General of Taxes to manage state’s taxation,” he added.

Founded in 2015, OnlinePajak displays a web-based integrated app to be used by taxpayers to calculate, deposit, and tax report. It’s intended for personal or institutional use. Previously, OnlinePajak has received Series A funding at the end of 2017 led by Alpha JWC Ventures.

“We believe OnlinePajak has a great potential to grow, not only in helping Indonesia’s business industry to have the more efficient operation but also having an important role for realizing the vision of Indonesian government to expand state tax base,” Warburg Pincus’ Head of Southeast Asia, Jeffrey Perlman, said.

OnlinePajak became the first tax startup which already implemented blockchain technology. Since the launching in 2015, OnlinePajak has been trusted by more than 900,000 users.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

OnlinePajak Dapatkan Pendanaan Seri B Senilai 379 Miliar Rupiah

OnlinePajak mengumumkan baru saja membukukan pendanaan seri B senilai $25 juta (setara dengan 379.6 miliar Rupiah). Pendanaan tersebut dipimpin oleh Warburg Pincus, dengan dukungan Global Innovation Fund (GIF) dan Endeavor Catalyst. Investor OnlinePajak sebelumnya, Alpha JWC Ventures, Sequoia India, dan Primedge juga turut berpartisipasi dalam pendanaan lanjutan ini.

Charles Guinot selaku Founder & CEO OnlinePajak mengatakan bahwa pendanaan ini menjadi validasi model bisnis yang dijalankan. Pendanaan akan difokuskan untuk mewujudkan revolusi kepatuhan pajak dengan teknologi berbasis kecerdasan buatan dan blockchain.

“Kami berencana untuk mempercepat perluasan kemampuan kami untuk terus membantu wajib pajak. Kami akan mentransformasikan kemudahan berbisnis di negara ini, dengan membantu perusahaan dalam meningkatkan produktivitas mereka, dan juga mendukung Direktorat Jenderal Pajak mengelola pajak yang dibutuhkan negara,” ujar Charles.

Didirikan pada 2015, OnlinePajak menghadirkan aplikasi terintegrasi berbasis web yang dapat digunakan oleh wajib pajak untuk melakukan hitung, setor, dan lapor pajak. Aplikasi ditujukan untuk penggunaan pribadi maupun institusi. Sebelumnya, OnlinePajak juga telah berhasil meraih pendanaan Seri A di akhir 2017 dipimpin oleh Alpha JWC Ventures.

“Kami percaya bahwa OnlinePajak memiliki potensi pertumbuhan yang luar biasa, tidak hanya dalam membantu dunia bisnis di Indonesia agar dapat  beroperasi lebih efisien, tetapi juga dalam memainkan peran penting demi mewujudkan visi pemerintah Indonesia untuk memperluas basis pajak negara,” kata Head of Southeast Asia dari Warburg Pincus, Jeffrey Perlman.

OnlinePajak menjadi startup perpajakan pertama yang telah mengimplementasikan teknologi blockchain. Sejak diluncurkan pada 2015, OnlinePajak telah dipercaya lebih dari 900 ribu pengguna.

SaaS Startup Jurnal.id Now Has Over 80 Thousand Users

Many SMEs are optimizing business processes with a digital approach as technology productivity services are increasingly in demand for the Indonesian market. It includes technology products made by the local startup, one of them is Jurnal.id. In Yogyakarta’s media gathering, Anthony Kosasih, Jurnal.id‘s COO, explained that the current SaaS service carries more than 80 thousand users, with over 60 thousand business registered from various regions in Indonesia.

Jurnal.id presents a variety of digital accounting products designed to simplify administrative and business operational process. With such applications, businesses (especially SMEs) can easily make the financial record, list of items, reports, and issuing invoice. User’s higher interest demands Jurnal.id to innovate more on products. The latest ones are “Tax Center Journal” and “Budgeting” services.

Jurnal Tax Center was released to simplify tax calculation and preparation process integrated with Jurnal. Therefore, SMEs with recorded cash flows and employee expenses can directly use the service to automate the tax calculation. Budgeting feature has released as a financial controller for entrepreneurs to manage the cash flow turnover occurred in business.

“With the shifting of SME’s tax regulation to 0.5%, the focus is to help entrepreneurs fulfill their tax obligations with an easy solution,” Kosasih said.

In 2018, Kosasih mentioned that Jurnal.id will strengthen the expansion process to all major cities in Indonesia. One of the approaches is to conduct free business training and seminar, introducing SMEs with the technology-based business system.

Previously, Jurnal.id has released the Jurnal Pay feature in collaboration with Xendit, a payment portal for business transactions through a virtual account. The feature allows SMEs to do two things at once, withdraw funds from customers via bank transfer or credit card, and help SMEs to make scheduled payments.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup SaaS Jurnal.id Telah Rangkul Lebih dari 80 Ribu Pengguna

Seiring makin banyak UKM yang mengoptimalkan proses bisnis dengan pendekatan digital, layanan produktivitas teknologi semakin diminati di pasar Indonesia. Tak terkecuali produk teknologi besutan startup lokal, salah satunya Jurnal.id. Dalam sebuah kesempatan temu media di Yogyakarta, COO Jurnal.id Anthony Kosasih menyampaikan bahwa layanan SaaS yang diusung saat ini sudah memiliki lebih dari 80 ribu pengguna, dengan total bisnis yang terdaftar melebihi 60 ribu unit dari berbagai wilayah di Indonesia.

Jurnal.id menyajikan ragam produk akuntansi digital yang didesain untuk menyederhanakan proses administrasi dan operasional bisnis. Dengan aplikasi tersebut bisnis (khususnya UKM) dapat dengan mudah mencatat pembiayaan, stok barang, membuat laporan, hingga menerbitkan faktur. Minat pengguna yang semakin tinggi juga membuat Jurnal.id terus melakukan inovasi produk. Dua yang terbaru ialah layanan “Jurnal Tax Center” dan “Budgeting”.

Jurnal Tax Center dirilis untuk mempermudah proses perhitungan dan persiapan pajak yang terintegrasi dengan Jurnal. Sehingga para UKM yang sudah mencatat alur kas dan pengeluaran biaya pegawai, dapat langsung memanfaatkan layanan tersebut untuk mengotomasi perhitungan pajak. Sedangkan fitur Budgeting dirilis sebagai financial control bagi para pengusaha, untuk mengelola perputaran arus kas yang terjadi pada bisnis.

“Dengan adanya perubahan peraturan pajak UMKM menjadi 0,5%, fokus membantu para pengusaha memenuhi kewajiban perpajakannya dengan solusi yang sangat mudah,” ujar Anthony.

Untuk tahun 2018, Anthony menyampaikan bahwa Jurnal.id akan menguatkan proses ekspansi ke seluruh kota besar di Indonesia. Salah satu pendekatan yang dilakukan ialah mengadakan pelatihan dan seminar bisnis secara gratis, memperkenalkan UKM dengan sistem bisnis berbasis teknologi.

Sebelumnya Jurnal.id juga merilis fitur Jurnal Pay bekerja sama dengan Xendit, yakni sebuah portal pembayaran yang dapat dimanfaatkan bisnis untuk transaksi melalui akun virtual. Fitur tersebut memungkinkan UKM melakukan dua hal sekaligus, menarik dana dari konsumen melalui mekanisme transfer bank dan kartu kredit, serta membantu UKM melakukan proses pembayaran secara terjadwal.

Application Information Will Show Up Here

OnlinePajak Applies Blockchain for Tax Transparency

Not many people are aware of OnlinePajak app that helps people for online accounting, reporting, and tax deposit. It’s a third-party application or an alternative for tax solution.

OnlinePajak finds a new solution for its mission to simplify the complicated administration process. By adopting blockchain technology to increase transparency in Indonesia’s tax system.

The blockchain implementation is announced on Friday (4/27). Also joining the ceremony were Minister of Communication and Information (Menkominfo) Rudiantara, General Secretary of Indonesia’s Blockchain Association (ABI) Steven Suhadi, and tax observer Yustinus Prastowo.

Charles Guinot, Founder & Director of Online Pajak, said in his speech that blockchain technology can ensure transparency not only for the public, but also for the government’s system.

“The main issue in the tax system is trust. They always questioning whether the tax they’ve paid is recorded or not. It happens too when purchasing a property, they didn’t know whether its tax has been paid by the previous owner,” he said.

Tax payment involves some parties, from DJP (Directorate General of Tax), DJP (Directorate General of Treasury), Bank Indonesia (BI), Perception Bank, and other third parties.

In this case, the involved parties will have notes on every tax transaction and capable to check the tax agreement. However, the taxpayer’s information remains safe.

Furthermore, Rudiantara expects blockchain to be widely adopted, not only for the government but also corporates. For him, it’ll trigger the other sectors to join.

“However, the public isn’t really aware of the technology, it’s complicated for them. The most important thing is to highlight the benefit. I hope this technology can be adopted for other corporate stuff, whether it (OnlinePajak) succeed, others will too,” Rudiantara said.

The support also coming from the newborn ABI (Indonesia’s Blockchain Association). It has a proactive vision to boost the blockchain implementation that still growing.

Potential new taxpayers

Rudiantara also said the positive impact of blockchain in tax payment system. For example, to push the OTT (over-the-top) entrepreneur to pay taxes, including potential SMEs for new taxpayers.

“In Go-Jek, how many drivers? Sellers in Tokopedia? It’s also SME. They’re taxpayers, not the object. Blockchain becomes the solution for an easy process [to pay taxes],” he added.

Yustinus Prastowo, a tax observer said that blockchain is now become a solution to make the complicated tax system easier.

“The current challenge is tax ratio, many taxpayers but the cake’s small. We have 50 million potential taxpayers, only 30 million registered. There’s still 20 million potential taxpayers. Why is that? It is about trust,” Prastowo said.

He also added, blockchain implementation is expected to increase transparency to raise public’s trust with the current system. In other words, the government can get more taxpayers.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian