Tren Konsumen OTT di Indonesia

Belum lama ini, The Trade Desk dan Kantar merilis laporan bertajuk “Future of TV“. Di dalamnya meramu temuan hasil survei yang dilakukan kepada 6700 konsumen (16 tahun+) di Indonesia, Filipina, Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand terkait kebiasaan konsumsi media pada November 2021. Salah satu simpulannya, popularitas OTT meningkat di tahun ketiga pandemi.

Khusus di Indonesia, survei tersebut mengemukakan bahwa 1 dari 3 orang Indonesia menonton konten OTT, totalnya saat ini ada 83 juta konsumen. Secara total mereka menonton 3,5 miliar jam setiap bulannya — atau rata-rata 41,4 jam per bulan tiap penonton. Pertumbuhan bisnisnya sendiri mencapai 40% yoy, menjadikan Indonesia memimpin konsumsi sekaligus pasar OTT di Asia Tenggara.

Demografi penikmat OTT

Di Indonesia, konsumen OTT lebih banyak dari kalangan perempuan dengan rata-rata konsumsinya melebihi 4 jam per hari. Sementara itu dikaitkan dengan usia, gen Z dan milenial [rentang usia 16-34 tahun] menjadi yang paling signifikan, jika ditotal persentasenya sampai 52%.

Demografi pengguna OTT di Indonesia / The Trade Desk, Kantar

Survei juga menyoroti preferensi pengguna dalam memilih layanan media hiburan. Responden dari Indonesia 62% memilih OTT; dan 40% televisi tradisional. Dari tahun ke tahun, gap antara penikmat OTT dan televisi tradisional terus meningkat, di tahun 2020 mencapai 13%, kemudian meningkat 22% di tahun 2021. Khusus untuk Gen Z sendiri, mencapai 27%. Bahkan 27% dari penikmat OTT mengaku sudah tidak menonton TV tradisional selama minimal 3 bulan.

“OTT memainkan peran penting bagi orang Indonesia karena membantu menghilangkan stres dari pekerjaan atau belajar dan melewati masa lockdown tersulit yang pernah ada. Saya pikir itu akan terus memainkan peran penting dalam kehidupan kita karena menawarkan hiburan yang terjangkau di mana orang dapat mengaksesnya di seluruh perangkat kapan saja, di mana saja,” ungkap periset di laporannya.

Preferensi memilih OTT

Dengan berbagai platform OTT yang ada, konten Drama Korea menjadi yang paling favorit, disusul konten Film Barat. 74% penonton perempuan di Indonesia menjadikan Drama Korea menjadi tontonan favorit, sementara 61% penonton laki-laki lebih memilih konten berbau olahraga.

Tren lain yang turut ditangkap dalam laporan, pengguna di Indonesia memanfaatkan OTT untuk “me time”. Sebanyak 6% dari total pengguna OTT tinggal sendiri di rumah/apartemen/indekosnya. Sementara 54% hampir selalu menonton sendiri dan 94% terkadang menonton sendiri.

Menariknya, untuk medium menonton opsi smart TV mulai dilirik, kendati smartphone masih menjadi perangkat utama. 27% dari responden berencana untuk membeli smart TV di 6 bulan mendatang, 55% di 18 bulan mendatang.

Preferensi pengguna OTT di Indonesia / The Trade Desk, Kantar

Model berlangganan ataupun iklan masih memiliki hati di kalangan pengguna OTT. Hal ini mengingat 90% dari pengguna di Indonesia menggunakan lebih dari 1 aplikasi.

Preferensi Penikmat Layanan OTT: Gratis dengan Iklan vs Berlangganan

Layanan over the top (OTT) digadang-gadang menjadi salah satu varian bisnis paling signifikan dalam industri teknologi. Pada dasarnya layanan OTT didefinisikan sebagai aplikasi online yang menyuguhkan tayangan video, memberikan kebebasan kepada pengguna untuk menonton konten sesuai seleranya — disebut juga sebagai platform video on-demand.

Menurut hasil riset yang dilakukan The Trade Desk dan Kantar, penetrasi layanan OTT di Asia Tenggara saat ini sudah melampaui 31%, merangkul sekitar 180 juta pengguna. Indonesia sendiri diproyeksikan telah memiliki 66 juta penikmat layanan OTT, dengan tingkat penetrasi mencapai 24%.

Sepanjang pandemi, pasar OTT di Indonesia juga mengalami kenaikan hingga 43%. Bahkan dari hasil survei yang dilakukan, pengguna di Indonesia sebagian besar (54%) menghabiskan waktu 1-4 jam per hari di layanan OTT.

Konten gratis dengan iklan

Secara mendasar, model bisnis utama layanan OTT umumnya dengan berlangganan fitur premium. Namun demikian, para pemain juga menyadari, bahwa saat ini konsumen mayoritas hadir dari penonton TV. Mereka terbiasa mengakses konten-konten secara gratis, kendati harus turut mendapatkan konten iklan.

Lantas model tersebut juga diaplikasikan di OTT. Banyak aplikasi yang menyuguhkan layanan secara gratis dengan mengikutsertakan iklan. Dari survei sendiri, 89% cenderung tidak mempermasalahkan iklan tersebut selama bisa menikmati konten secara gratis. Dan rata-rata masyarakat Indonesia yang disurvei (52%) masih mentoleransi adanya 2-3 iklan dalam sebuah tayangan video.

Namun demikian jika ditelusuri lebih mendalam sebenarnya persentase penggunaannya masih tetap banyak yang berbasis berlangganan. Di Indonesia, 40% responden mengatakan menggunakan tayangan berlangganan, dan hanya 12% yang hanya mengandalkan tayangan gratisan dengan iklan. Artinya, ada penerimaan yang baik dengan monetisasi berlangganan tersebut.

Preferensi konsumen terhadap layanan OTT berbayar atau beriklan / The Trade Desk dan Kantar

Ditinjau dari sisi pemilik platform, mereka juga memiliki proposisi yang cukup mengesankan untuk pelanggan berbayar. Misanya WeTV, pada dasarnya pengguna bisa mengakses semua konten yang ada di dalamnya secara gratis dan berimplikasi adanya iklan. Namun demikian 42% basis penggunaannya masih tetap membayar untuk paket premium.

Layanan OTT yang sajikan konten gratis dengan iklan / The Trade Desk dan Kantar

Dalam sebuah wawancara dengan perwakilan Tencent, kami mendapatkan strategi mereka untuk mengonversi pengguna gratis ke berbayar. Salah satunya konten eksklusif, misalnya di sebuah seri pengguna premium bisa menonton tayangan episode selanjutnya beberapa hari/minggu lebih cepat ketimbang yang gratis.

Selain pemain yang disebutkan di atas, beberapa platform termasuk yang dari lokal akhirnya juga mengadopsi model yang sama – menggratiskan akses dengan iklan. Sebut saja yang dilakukan oleh Vidio atau Goplay. Pendekatan ini dirasa bagus untuk mendapatkan minat kalangan pengguna baru yang sebelumnya tidak terbiasa dengan platform video on-demand.

Bagi bisnis, konsep ini juga mendukung strategi B2B mereka untuk mendapatkan keuntungan dari para pemilik brand yang membutuhkan awareness, disisipkan ke konten yang lebih relevan atau target pengguna yang lebih sesuai terkait demografinya.

Konten lokal jadi pendorong

Dari hasil survei mengenai varian konten, 54% responden mengatakan suka konten film/serial dari Barat. Kemudian 43% lebih menyukai konten lokal. Dilanjutkan konten Korea (39%), Tiongkok (23%), dan Jepang (15%). Menjadi menarik karena tayangan lokal memiliki proposisi yang cukup tinggi. Maka ini menjadi kesempatan bagi pemilik platform untuk merangkul lebih banyak karya dari sineas lokal.

Di sisi lain, harusnya ini juga menjadi kesempatan apik kepada rumah produksi lokal untuk memanfaatkan kehadiran OTT untuk menayangkan karya mereka. Terlebih karena pembatasan fisik akibat pandemi juga mengakibatkan bioskop harus kembali ditutup.

Gambar Header: Depositphotos.com

The Trade Desk Umumkan Kemitraan Strategis dengan RCTI+ dan IndiHome

The Trade Desk (TTD) mengumumkan kemitraan strategis dengan dua platform OTT lokal, yakni RCTI+ dan IndiHome. Melalui kemitraan ini, pihaknya berupaya untuk mendorong pengembangan ekosistem OTT lokal di Indonesia melalui layanan programmatic advertising.

Sekadar informasi, The Trade Desk merupakan perusahaan teknologi berbasis di Amerika Serika yang menawarkan layanan inventory iklan untuk berbagai situs web, aplikasi, podcast, dan platform streaming Over The Top (OTT). Selain menjangkau cakupan audiens lebih luas, layanan ini juga memungkinkan marketer untuk mendapatkan laporan dan insight dari campaign yang dilakukan.

Country Manager The Trade Desk Indonesia Florencia Eka mengatakan, saat ini belum banyak layanan yang menawarkan layanan serupa di Indonesia. Dapat dikatakan, The Trade Desk menjadi pionir dengan model ini. “Kami ingin mengedukasi pentingnya [pemasaran melalui] Connected TV (CTV) bagi marketer,” ujarnya dalam konferensi pers virtual.

Florence mengakui perkembangan teknologi telah mengubah cara masyarakat berperilaku digital. Perubahan ini juga berdampak pada cara masyarakat mengonsumsi konten dari offline ke online. Dengan terjadinya shifting ini, pihaknya melihat peluang bagi pengiklan untuk menjangkau audiens melalui perangkat dan terhubung dengan journey mereka di platform digital.

Menurutnya, pemasaran dengan model linear TV, dinilai memiliki kelemahan dalam menentukan target pasar yang presisi. Linear TV merupakan konsep tradisional beriklan di mana audiens menonton program TV terjadwal saat disiarkan dan disalurkan lewat channel aslinya.

Sementara, pemasaran melalui Connected TV (CTV) dapat menjangkau penonton berdasarkan preferensi konten, profil audiens, dan tidak hanya ketika acara disiarkan. Pemasaran via CTV dinilai lebih presisi karena ditunjang dengan kekuatan data.

Selain itu, ia juga menilai tren pemasaran global mulai mengarah ke OTT dan VTC di mana adopsinya tumbuh secara signifikan saat pandemi Covid-19. Mengadopsi model ini akan mempercepat akselerasi pemasaran dari TV tradisional ke TV internet.

“Kemitraan ini menawarkan akurasi dan presisi sehingga marketer bisa menghindari pemborosan budget. Layanan ini juga lebih efisien karena mereka tidak perlu menghubungi, melakukan negosiasi, atau mendapatkan invoice satu per satu. Marketer dapat melewatkan peluang baru jika hanya fokus pada model lama dan terpaku pada media sosial saja,” ujarnya.

Seperti diketahui, RCTI+ merupakan platform OTT milik MNC Group, yang memiliki jaringan televisi free-to-air MNC, RCTI, Global TV, dan iNews. Sementara, IndiHome merupakan penyedia IPTV milik operator telekomunikasi pelat merah, Telkom Group.

“Layanan kami dapat membantu pengiklan untuk menjangkau 3,6 juta pengguna IndiHome dan 14 juta pemirsa potensial di lebih dari 300 kota di Indonesia, serta lebih dari 30,5 juta pengguna aktif bulanan RCTI+.” Tambahnya.

Indonesia gemar streaming

Dalam kesempatan ini, The Trade Desk sekaligus memaparkan hasil riset yang dilakukan bersama Kantar. Laporan ini menyebutkan, masyarakat Indonesia streaming konten OTT hampir tiga miliar jam per bulan. Temuan ini menjadikan Indonesia sebagai negara terbanyak menonton OTT di kawasan Asia Tenggara.

Tak hanya itu, laporan ini mengungkap bahwa konsumen Indonesia paling toleran terhadap iklan. Sebanyak 95% responden pemirsa menonton iklan untuk dapat menikmati konten gratis, dan 66% mengaku mengingat merek, produk, dan iklan yang mereka lihat.

Hal ini juga turut diperkuat temuan Integral AD Science (IAS), pionir penyedia verifikasi iklan digital, yang mengungkap bahwa mayoritas konsumen Indonesia pengguna CTV menunjukkan perilaku baru, yaitu terbiasa menonton konten gratis diselingi iklan.

Ini menandakan adanya peluang besar pada OTT/CTV bagi marketer. Pasalnya, laporan ini mengungkap, peluang untuk menjangkau audiens secara lebih cepat justru terjadi di platform open internet (62%). Contoh platform open internet antara lain CTV/OTT (Viu, Vidio, Iflix), Video (dailymotion), Audio (Spotify, JOOX), Display (detiknetworl. KLY), Native (triplelift). Sedangkan, 38% dari platform sosial, seperti Facebook, YouTube, dan Instagram.

Rangkul The Trade Desk, Gojek Ingin Beri “Insight” Mendalam untuk Pengiklan

Gojek mengumumkan kemitraan dengan perusahaan iklan asal Amerika Serikat “The Trade Desk” untuk membuat tautan antara iklan programmatic dan transaksi nyata yang terjadi secara offline. Tujuannya untuk memahami dampak terdalam dari iklan digital terhadap penjualan offline. Selama ini sebenarnya sudah ada banyak metodologi yang diterapkan, tapi masih menyisakan pertanyaan yang tidak terjawab.

VP Merchant Research & Analytics Gojek Pulkit Khanna menjelaskan, pemahaman ini dinilai dapat meningkatkan efisiensi pengambilan keputusan pemasaran untuk mendorong pertumbuhan bisnis yang pesat. Sejalan dengan misi perusahaan mengatasi friksi (hambatan) di kehidupan sehari-hari dengan menghubungkan konsumen kepada penyedia barang dan jasa terbaik di pasar.

“Melalui kerja sama ini, pengiklan di platform TTD (The Trade Desk) bisa memanfaatkan pemahaman yang didapat dari platform Gojek untuk mengukur dan meningkatkan efektivitas kampanye pemasarannya,” ujarnya dalam keterangan resmi.

Lebih jauh dijelaskan, Gojek akan mengukur dampak iklan online menggunakan transaksi aktual di dalam gerai, bukan data berbasis cookie. Lalu mengaitkan transaksi online maupun offline dalam aplikasi Gojek dengan solusi iklan yang disediakan TTD.

Dampak yang dilihat dari solusi ini adalah pembelian di dalam aplikasi Gojek, seperti layanan pesan-antar makanan GoFood, dan transaksi di merchant yang menerima pembayaran GoPay.

Dari situ, pemasar dapat menghubungkan korelasi antara penjualan dengan kampanye iklan yang bersangkutan. Kemudian memanfaatkan atribusi offline untuk mendapatkan analisis terkait efektivitas kampanye tersebut.

Kemitraan ini diklaim sebagai solusi yang revolusioner karena belum pernah dipakai oleh pihak manapun dalam pengukuran O2O di Asia Tenggara.

SVP South East Asia, Australia and New Zealand The Trade Desk Mitch Waters menambahkan, dampak dari solusi pengukuran O2O ini sangat luas karena mengisi kekosongan antara iklan online dan offline.

“Menganalisis atribusi offline telah menjadi aspirasi bagi pemasar di mana pun. Dengan cara pandang Gojek yang inovatif, kami sekarang dapat mewujudkan tujuan tersebut.”

Mengutip dari The Drum, Waters memberikan contoh terdekat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam restoran cepat saji, pemilik usaha menggunakan GoFood untuk pengiriman makanan dan menerima GoPay untuk pembelian di toko. Dengan kesepakatan ini, brand dapat menautkan pesanan yang benar-benar terjadi ini dengan kampanye iklan mereka secara anonim.

“Kami percaya restoran dan brand konsumer dapat menangkap peluang itu karena fungsi ini meningkatkan utilitas dan nilai iklan online. Kami percaya ini akan menginspirasi lebih banyak pemain untuk berinvestasi data, yang terpenting menciptakan riak gelombang yang mengangkat semua kapal,” ujarnya.

Waters melanjutkan, masa depan didorong oleh pentingnya peranan data dalam mengukur iklan digital yang dibaur dengan strategi pemasaran. Dia pun berharap perusahaan lain yang kaya dengan data dapat meniru apa yang saat ini kita lakukan di Indonesia dengan Gojek, terutama kemampuan dalam mengukur dan mengoptimalkan anggaran dengan cara ini.

“Niat kami dengan Gojek adalah untuk pergi ke luar Indonesia pada waktunya tiba,” pungkasnya.

Indonesia akan jadi negara pertama yang mengikuti uji coba, sebelum paralel didistribusikan ke negara lain pada tahun ini.

Kiprah The Trade Desk

Kemitraan dengan Gojek, menandakan dimulainya ekspansi The Trade Desk ke kawasan Asia Tenggara. Sejak tahun lalu, TTD kencang menggaet berbagai mitra. Di Tiongkok misalnya, perusahaan bekerja sama dengan Baidu, iQiyi, Tencent untuk meluncurkan iklan untuk meluncurkan platform pembelian iklan programmatic di negara tersebut.

Mengutip dari Nasdaq, CAGR dari pasar iklan di ASEAN naik 13,9% antara 2019 sampai 2026. Terlebih itu, Indonesia dianggap pasar terpenting buat TTD karena negara ini menjadi pasar periklanan paling dinamis di Asia Tenggara karena tingkat penetrasi smartphone yang tinggi.

Kondisi ini menjadi pertanda baik bagi perusahaan untuk memperoleh pelanggan baru di wilayah ini, yang pada akhirnya, mendorong pertumbuhan top-line. Secara global, TTD menghadapi persaingan yang ketat dengan Google dan Facebook yang mengontrol pasar iklan global hingga 51% sepanjang tahun lalu.

Akan tetapi, kedua perusahaan ini tidak menyediakan insight untuk pengiklan bagaimana performa iklan mereka. Mereka juga berada di bawah pengawasan aturan karena penggunaan data konsumen yang tidak etis.

Strategi TTD dalam menghadapi isu tersebut adalah menjaga transparansi diharapkan membantunya dalam melawan persaingan di pasar iklan digital.

Application Information Will Show Up Here