Mengulas 3 Raksasa Industri Game dan Esports: Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan

Tidak ada orang yang suka dibandingkan dengan orang lain. Pada saat yang sama, sudah jadi sifat manusia untuk membandingkan sesuatu atau seseorang. Dan sebenarnya, membandingkan diri sendiri dengan orang lain tidak buruk. Melihat orang lain yang lebih sukses justru bisa mendorong Anda untuk menjadi seperti mereka. Hal yang sama juga berlaku untuk skala yang lebih besar, seperti skala antar negara. Karena itu, dalam artikel kali ini, saya akan membahas tentang industri game dan esports di Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan.

 

Kenapa Membandingkan Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok?

Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok punya beberapa kesamaan. Ketiganya sama-sama negara Asia dan berdekatan lokasi geografisnya. Selain itu, industri game di tiga negara itu juga sama-sama matang. Faktanya, dalam daftar negara dengan industri game terbesar, Tiongkok duduk di peringkat pertama, Jepang ketiga, dan Korea Selatan keempat. Posisi kedua diduduki oleh Amerika Serikat. Hanya saja, saya akan mengecualikan Amerika Serikat dalam artikel ini.

Lima negara dengan pasar game terbesar. | Sumber: Newzoo
Lima negara dengan pasar game terbesar. | Sumber: Newzoo

Kesamaan lain antara Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok adalah mereka punya punya perusahaan raksasa teknologi. Di Jepang, ada Sony dan Nintendo, sementara Tiongkok punya Tencent, dan Korea Selatan memiliki Samsung. Korea Selatan juga menjadi rumah dari berbagai perusahaan game ternama, termasuk Nexon, Netmarble, Krafton, dan Gravity.

Memang, baik Korea Selatan, Jepang, atau Tiongkok bukan negara yang membuat game pertama kali. Namun, ketiga negara itu berhasil menciptakan tren baru di dunia game. Misalnya, Nexon merupakan pencetus model bisnis free-to-play. Nexon merilis QuizQuiz, game free-to-play pertama mereka pada Oktober 1999. Pada awalnya, model bisnis FTP digunakan untuk game-game yang menargetkan anak-anak dan gamer kasual. Namun, sekarang, game FTP bisa meraup untung hingga miliaran dollar. Faktanya, laporan dari Super Data menunjukkan, game FTP menyumbangkan 78% dari total pemasukan industri game digital pada 2020. Secara total, game FTP memberikan kontribusi sebesar US$98,4 miliar dari total pemasukan US$126,5 miliar industri game digital.

Lalu, apa keistimewaan Jepang? Hampir semua konsol terpopuler sepanjang masa merupakan buatan perusahaan Jepang. IGN membuat daftar 15 konsol dengan penjualan terbaik sepanjang masa. Dalam daftar itu, Microsoft hanya bisa mendapatkan posisi 15 dengan Xbox One, yang punya penjualan 41 juta unit, dan posisi 8 dengan Xbox 360, dengan angka penjualan 85 juta unit. Dua belas konsol lainnya merupakan konsol buatan Nintendo dan Sony.

Berikut daftar lima konsol dengan angka penjualan terbaik sepanjang masa.

Lima konsol dengan penjualan terbanyak sepanjang masa. | Sumber: IGN
Lima konsol dengan penjualan terbanyak sepanjang masa. | Sumber: IGN

Selain membuat konsol, Jepang juga berhasil mempopulerkan game gacha pada 2010-an. Pada 2010, Konami merilis Dragon Collection, sebuah game card battle yang menawarkan banyak karakter yang bisa dikumpulkan. Sama seperti game lainnya, para gamer akan bisa menyelesaikan quest untuk mendapatkan hadiah. Hanya saja, hadiah yang para pemain dapatkan acak. Dragon Collection memang bisa dimainkan secara gratis, tapi jika para pemain ingin bisa mengumpulkan hadiah lebih banyak, mereka harus membayar.

Dragon Collection sukses. Konami berhasil mendapatkan banyak uang dari game itu. Tidak lama kemudian, para developer game, baik dari dalam maupun luar Jepang, berbondong-bondong untuk membuat game serupa. Sampai sekarang, ada banyak game gacha yang populer, seperti Azure Lane, Arknights, dan Genshin Impact.

Sementara itu, Tiongkok merupakan pasar game terbesar di dunia. Nilai industri game di negara itu diperkirakan mencapai US$40,85 miliar. Di Tiongkok, game online sangat populer. Karena itu, tidak heran jika pada 2007-2008, game media sosial mulai bermunculan. Happy Farm, game asal Tiongkok yang dirilis pada 2008, masuk dalam daftar 15 game paling berpengaruh versi WIRED. Pasalnya, game itu “menginspirasi” banyak game serupa, termasuk FarmVille dari Zynga.

Pada 2012, mobile game mulai berkembang di Tiongkok. Ketika itu, pengguna smartphone telah mencapai sekitar satu miliar orang. Tencent, yang telah mengakuisisi Riot Games pada 2012, melihat hal ini sebagai kesempatan. Mereka meminta Riot untuk membuat versi mobile dari League of Legends. Namun, Riot menolak. Akhirnya, Tenccent memutuskan untuk membuat mobile game MOBA sendiri, yaitu Honor of Kings alias Arena of Valor. Sampai sekarang, game itu berhasil menjadi salah satu game dengan penghasilan terbesar.

 

Perbedaan Industri Gaming di Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok

Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok memang punya beberapa kesamaan. Namun, pasar game dari ketiga negara itu juga punya keunikan masing-masing. Msialnya, para gamer Jepang senang dengan game buatan lokal. Sulit bagi perusahaan asing untuk menembus pasar game Jepang. Tren ini juga terlihat pada penjualan konsol. Di Jepang, Sony berhasil menjual sekitar 7,5 juta unit PlayStation 4. Sebagai perbandingan, Microsoft Xbox One hanya terjual sekitar 100 ribu unit.

Soal genre, fighting menjadi salah satu genre terpopuler di Jepang. Genre itu mulai populer sejak Capcom meluncurkan Street Fighter II pada 1991. Selain itu, para gamer Jepang juga lebih senang bermain game single-player. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa skena esports tak terlalu berkembang di Jepang.

Di Jepang, fighting game sangat populer. | Sumber: Variety
Di Jepang, fighting game sangat populer. | Sumber: Variety

Game MOBA tidak terlalu populer di Jepang,” kata Paolo Gianti, Business Development Manager di industri gaming Jepang, lapor The Esports Observer. “Faktanya, game yang mengharuskan pemainnya untuk bermain dengan pemain lain tidak terlalu populer di Jepang. Gamer Jepang senang melawan komputer, karena mereka ingin menghindari interaksi dengan pemain lain. Mereka tidak ingin diganggu ketika sedang latihan.”

Sebaliknya, para gamer Tiongkok menganggap bermain game sebagai kegiatan sosial. Salah satu alasan mengapa mobile game sangat populer di Tiongkok karena banyak mobile game yang terhubung dengan WeChat. Hal ini memudahkan para gamer untuk bermain bersama teman-teman mereka. Jiwa kompetitif gamer Tiongkok juga cukup kuat. Buktinya, keinginan untuk bisa menorehkan nama di leaderboard merupakan salah satu motivasi bagi para gamer Tiongkok untuk terus bermain. Motivasi lain mereka adalah untuk mengalahkan teman-teman mereka. Jika gamer Jepang lebih senang untuk melawan AI/bot, gamer Tiongkok justru merasa lebih puas saat mereka berhasil mengalahkan pemain lain, lapor CGTN.

Namun, para gamer Tiongkok tidak melulu haus akan kemenangan dari teman-temannya. Mereka juga senang bermain game multiplayer yang memungkinkan mereka untuk bekerja sama dengan para pemain lain. Hal inilah alasan mengapa di Tiongkok, MMORPG juga cukup populer.

Satu kesamaan antara gamer Jepang dan Tiongkok adalah mereka sama-sama senang bermain mobile game dalam perjalanan. Memang, jaringan internet Jepang sudah begitu mumpuni sehingga para gamer bisa bermain di perjalanan tanpa harus khawatir akan terputus dari jaringan. Sementara di Tiongkok, alasan banyak gamer yang bermain ketika dalam perjalanan adalah karena banyak pekerja yang menghabiskan waktu hingga berjam-jam dalam perjalanan dari rumah ke kantor dan sebaliknya.

Banyak warga Tiongkok yang bermain game saat dalam perjalanan. | Sumber: Pandaily
Banyak warga Tiongkok yang bermain game saat dalam perjalanan. | Sumber: AFP via Pandaily

Berbagai studi menunjukkan, waktu rata-rata yang dihabiskan oleh warga Beijing di perjalanan adalah dua jam. Tren ini juga muncul di kota-kota besar lain di Tiongkok, seperti Shanghai, menurut laporan Pandaily. Sementara di kota-kota yang lebih kecil, seperti Jinan, waktu yang dihabiskan pekerja untuk pulang-pergi justru lebih lama. Para pekerja bisa menghabiskan waktu selama enam jam di bus setiap hari untuk pulang-pergi kantor. Alasannya klasik: macet.

Sama seperti di Tiongkok, di Korea Selatan, bermain game juga dianggap sebagai kegiatan sosial. Faktanya, semua game dalam daftar 10 game terpopuler di Korea Selatan pada 2020 merupakan game online, walau genre dari game-game itu berbeda-beda. Kegemaran gamer Korea Selatan untuk bermain game online menjadi salah satu alasan mengapa ada banyak gamer profesional berasal dari negara itu. Namun, sebenarnya, ada alasan lain mengapa banyak orang Korea Selatan yang berakhir menjadi gamer profesional.

Warga Korea Selatan dikenal dengan edukasinya yang tinggi. Sekitar 70% dari murid SMA di sana memutuskan untuk kuliah. Hanya saja, persaingan untuk masuk ke universitas bergengsi di Korea Selatan juga sangat ketat. Ikut bimbingan belajar atau menyewa tutor privat menjadi hal yang lumrah bagi para murid di Korea Selatan. Sayangnya, tidak semua orang punya uang untuk ikut bimbel atau meyewa tutor privat. Biasanya, orang-orang itu menghabiskan waktunya di PC bang alias warnet. Karena itu, jangan heran jika banyak gamer profesional Korea Selatan yang berasal dari keluarga buruh.

Namun, keuangan keluarga yang kurang memadai bukan satu-satunya alasan banyak remaja Korea Selatan memutuskan untuk menjadi gamer profesional. Tidak sedikit anak dan remaja yang menghabiskan waktunya di PC bang karena ingin menghindari masalah keluarga di rumah. Salah satu contohnya adalah Kim “WizardHyeong” Hyeong-seok, mantan pelatih tim Overwatch Seoul Dynasty. Memang, dia berhasil masuk ke sekolah elit Daewon Foreing Language High School. Namun, dia mengaku, masa kecilnya cukup bermasalah karena ibunya merupakan penyandang disabilitas sementara ayahnya keluar-masuk penjara. Bagi WizardHyeong, bermain game merupakan cara untuk melarikan diri dari masalah di kehidupan nyata, lapor WIRED.

 

Peran Pemerintah

Budaya gaming dari Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok memang tidak selalu sama. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa industri gaming di ketiga negara tersebut berkembang pesat. Hal ini bisa terlihat dari banyaknya jumlah gamer di negara-negara itu.

Seperti yang bisa Anda lihat pada tabel di atas, jumlah atlet esports di Jepang jauh lebih sedikit daripada di Tiongkok atau Korea Selatan. Hal ini jadi salah satu bukti bahwa esports di Jepang memang tidak semaju seperti Tiongkok dan Korea Selatan. Selain para gamer Jepang yang memang lebih suka bermain game single-player, ada alasan lain mengapa ekosistem esports di Jepang tak terlalu berkembang, yaitu pemerintah.

Di Jepang, pachinko sangat populer. | Sumber: Wikipedia
Di Jepang, pachinko sangat populer. | Sumber: Wikipedia

Di Jepang, regulasi terkait perjudian telah ada sejak tahun 1500-an. Dan sayangnya, game sering dikaitkan dengan judi. Alasannya, karena Yakuza pernah mendulang uang dengan membuat mesin poker. Karena game sering diidentikkan dengan judi, hal ini menyulitkan para penyelenggara turnamen esports karena mereka jadi tidak bisa menyediakan hadiah berupa uang. Memang, mereka bisa menyatakan bahwa uang hadiah dari turnamen yang mereka selenggarakan merupakan bagian dari dana marketing. Hanya saja, hal itu membatasi besar total hadiah yang bisa diberikan dalam turnamen esports, yaitu 100 ribu yen, lapor ESPN.

Kabar baiknya, pandangan pemerintah Jepang akan esports mulai berubah pada 2018. Alasannya adalah karena ketika itu, muncul wacana untuk memasukkan esports ke dalam Olimpiade 2024. Dan jika pemerintah bersikukuh untuk mengekang perkembangan esports, hal itu akan merugikan Jepang. Mereka lalu mengubah regulasi yang ada. Sejak saat itu, kompetisi esports bisa menawarkan hadiah yang lebih besar. Pada Maret 2020, pemerintah Jepang bahkan mengungumumkan, mereka ingin mengembangkan industri esports.

Berbanding terbalik dengan pemerintah Jepang, pemerintah Korea Selatan justru sudah mendukung industri esports sepenuhnya dari 2 dasawarsa lalu. Mereka telah menyokong industri competitive gaming selama 20 tahun. Pada 1999, Korea Pro Gaming Association (KPGA) didirikan. Satu tahun kemudian, Kementerian Budaya, Olahraga, dan Pariwisata (KBOP) mengubah KPGA menjadi Korea Esports Association (KeSPA). Dengan ini, Korea Selatan menjadi salah satu negara pertama yang punya badan esports yang diakui oleh pemerintah. KeSPA bahkan menjadi anggota dari Komite Olimpiade Nasional di Korea Selatan.

Tahun lalu, pemerintah Korea Selatan masih mendukung industri esports, lapor Niko Partners. Pada Mei 2020, KBOP mengumumkan rencana mereka untuk mempromosikan industri game dalam lima tahun ke depan. Rencana ini terdiri dari empat pilar. Pertama, membuat regulasi yang mendorong pertumbuhan industri game. Kedua, menyokong para startup yang menyasar pasar asing. Ketiga, mengedukasi masyarakat akan keuntungan game dan memperkuat ekosistem esports. Terakhir, memperkuat pondasi dari industri game.

Korea Selatan juga memperkenalkan Esports Fair Trade Committee (Esports FTC) pada Juni 2020. Tujuan dari Esports FTC adalah untuk menyelesaikan pertengkaran yang terjadi di industri esports. Selain menciptakan regulasi dan badan otoritas baru, pemerintah Korea Selatan juga menyetop Esports Promotion Advisory Committee. Harapannya, proses administrasi di dunia esports bisa menjadi lebih efektif.

Pemerintah Tiongkok akui gamer pro sebagai pekerjaan resmi. | Sumber: Sportskeeda
Pemerintah Tiongkok akui gamer pro sebagai pekerjaan resmi. | Sumber: Sportskeeda

Pemerintah Tiongkok cukup mendukung perkembangan industri esports. Misalnya dengan mengakui pemain profesional sebagai pekerjaan resmi. Selain itu, ada beberapa pemerintah kota yang ingin menjadikan kotanya sebagai pusat esports, seperti Shanghai. Namun, di industri game, pemerintah Tiongkok cukup ketat. Perusahaan asing yang ingin meluncurkan game-nya di Tiongkok harus bekerja sama dengan publisher lokal. Karena itulah, perusahaan game besar sekalipun, seperti Activision Blizzard atau PUBG Corp., harus bekerja sama dengan Tencent untuk meluncurkan game mereka di Tiongkok, seperti yang disebutkan oleh Niko Partners.

Pada 2018-2019, pemerintah Tiongkok juga memperketat regulasi terkait game. Selama sembilan bulan pada 2018, peluncuran game baru di sana sempat terhenti. Alasan pemerintah Tiongkok memperketat regulasi terkait game adalah untuk meminimalisir risiko kecanduan bermain game pada anak-anak dan remaja. Memang, salah satu regulasi baru yang pemerintah Tiongkok buat adalah regulasi anti-candu untuk mobile. Regulasi itu sebenarnya bukan barang baru. Pemerintah Tiongkok telah memperkenalkannya untuk game PC pada 2007. Hanya saja, mereka lalu menetapkan regulasi serupa untuk mobile game.

Industri game dan esports tidak berdiri sendiri. Infrastruktur internet punya peran penting dalam perkembangan industri game atau esports di sebuah negara. Di Jepang, salah satu alasan mengapa industri game bisa tumbuh pesat adalah karena keberadaan jaringan internet yang mumpuni. Jaringan internet di Jepang merupakan salah satu jaringan terbaik di dunia. Bahkan jika dibandingkan dengan negara maju seperti Amerika Serikat pun, keccepatan internet Jepang masih lebih tinggi, seperti yang disebutkan oleh Mahana Corp.

Salah satu alasan mengapa Jepang bisa punya jaringan internet yang sangat baik adalah karena pemerintah mengharuskan perusahaan telekomunikasi besar untuk memberikan akses internet ke perusahaan-perusahaan yang lebih kecil. Tujuannya adalah agar para perusahaan penyedia internet akan terus bersaing dengan satu sama lain sehingga kualitas internet naik dan harga tidak melonjak.

Pemerintah Jepang dan Korea Selatan mendorong para ISP untuk saling berkompetisi demi meningkatkan kualitas internet. | Sumber; Deposit Photos
Pemerintah Jepang dan Korea Selatan mendorong para ISP untuk saling berkompetisi demi meningkatkan kualitas internet. | Sumber: Deposit Photos

Soal internet, Korea Selatan juga tidak kalah dari Jepang. Dan sama seperti Jepang, pemerintah punya peran penting dalam mengembangkan internet di sana, menurut laporan IDG Connect. Pemerintah Korea Selatan memutuskan untuk tidak meregulasi sektor internet dengan ketat. Mereka hanya memastikan bahwa syarat untuk menjadi Internet Service Provider (ISP) tidak sulit. Tujuannya adalah untuk mendorong kompetisi. Dan cara yang digunakan pemerintah Korea Selatan bekerja dengan baik. Meskipun para ISP merupakan perusahaan swasta, mereka bisa membangun jaringan internet ke seluruh Korea Selatan. Dengan begitu, internet bisa diadopsi dengan cepat.

Pada 1995, jumlah pengguna internet di Korea Selatan hanya mencapai 1% dari total populasi. Di tahun yang sama, pemerintah memulai proyek Korean Information Infrastruktur, yang akan berjalan selama 10 tahun ke depan. Pada 2000, jumlah pengguna internet Korea Selatan naik menjadi 20 juta orang dari total populasi 45 juta orang.

Berbeda dengan Jepang dan Korea Selatan, Tiongkok membatasi jumlah ISP. Di sana, tiga ISP utama yang beroperasi adalah China Telecom, China Mobile, dan China Unicom. Ketiganya merupakan perusahaan milik negara. Dan masing-masing perusahaan itu punya wilayah masing-masing. Menurut China Briefing, China Telecom menguasai bagian selatan Tiongkok, sementara China Unicom menguasai daerah Utara, dan China Mobile bertanggung jawab atas kawasan pusat/timur.

 

Penutup

Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan memang negara maju. Namun Indonesia adalah negara berkembang. Dari segi kecepatan internet, Korea Selatan merupakan negara dengan kecepatan rata-rata internet nomor dua, berdasarkan Opensignal, per Mei 2020. Kecepatan rata-rata internet Korea Selatan adalah 59 Mbit/s. Sementara Jepang ada di posisi ke-4 dengan kecepatan rata-rata 49,3 Mbit/s. Di Indonesia ada di posisi ke-80 dengan kecepatan rata-rata 9,9 Mbit/s.

Kabar baiknya, pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, berusaha untuk melakukan pemerataan jaringan internet. Salah satunya adalah dengan membangun kabel serat optik Palapa Ring. Kabar buruknya, pemerintah tampaknya juga lebih peduli dengan internet “bersih” daripada internet cepat.

Anda pasti tahu bahwa beberapa tahun lalu, Menteri Kominfo Indonesia sempat mempertanyakan apa guna internet cepat, yang kemudian menjadi meme. Pada 2017, Kemenkominfo mengeluarkan Rp194 miliar untuk membeli mesin pengais (crawling) konten negatif. Ironisnya, ketika saya mencari “internet bersih Indonesia” di Google, hasil pencarian pertama yang muncul adalah cara untuk memblokir “internet positif”.

Meskipun begitu, pemerintah Indonesia menyatakan bahwa mereka akan mendukung industri game dan esports. Buktinya, di esports menjadi cabang eksibisi di Asian Games 2018. Pada 2020, Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) menyatakan esports sebagai cabang olahraga berprestasi. Selain itu, KONI juga mengungkap, mobile game MOBA buatan Indonesia, Lokapala, juga akan menjadi cabang olahraga eksibisi di PON 2021.

Meski begitu, seperti yang sebelumnya kami tuliskan saat membahas soal industri cloud gamingmasih ada banyak PR berat yang harus diselesaikan pemerintah soal infrastruktur dan kebijakan terkait jaringan internet di Indonesia — yang akan jauh lebih relevan dan berpengaruh pada kemajuan esports tanah air ketimbang sekadar gestur atau retorika belaka.

So, the outlook in Indonesia might not look so good, but it could have been worse. 

Pemasukan Game Esports di Tiongkok Naik 55 Persen

Sepanjang semester pertama 2020, pemasukan industri game esports di Tiongkok mencapai 71,9 miliar yuan (sekitar Rp152 triliun), menurut laporan China Game Industry Research Institute. Jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu, pemasukan di industri game esports Tiongkok mengalami kenaikan 55 persen. Sementara itu, jumlah pemain game esports di negara tersebut mencapai 484 juta orang, naik 9,94 persen.

China Game Industry Research Institute mengumumkan laporannya dalam China Digital Entertainment Expo & Conference yang diadakan di Shanghai. Kepada Pandaily, Yibo Zhang, anggota dari Asosiasi Manajemen Budaya Tiongkok dan Direktur dari media esports People Esports mengatakan bahwa data ini didukung oleh People’s Daily, media pemerintah terbesar di Tiongkok.

pemasukan industri esports Tiongkok
Game mobile esports masih mendominasi di Tiongkok. | Sumber: The Esports Observer

Sementara itu, industri gaming di Tiongkok bahkan lebih besar lagi. Pemasukan industri gaming di Tiongkok sepanjang semester pertama 2020 mencapai 139 miliar yuan (sekitar Rp294 triliun), naik 22 persen dari semester pertama 2019 . Mobile game masih mendominasi pasar gaming Tiongkok dengan pemasukan sebesar 104,6 miliar yuan (sekitar Rp221 triliun). Hal itu berarti, mobile game memberikan kontribusi sebesar 75.04 persen dari total pendapatan di industri gaming di Tiongkok.

Segmen game PC menjadi segmen terbesar kedua dengan kontribusi sebesar 20,18 persen pada total pendapatan industri gaming. Terakhir, sekitar 2,87 persen dari total pendapatan industri gaming Tiongkok berasal dari web games. COVID-19 mewabah pada enam bulan pertama dari 2020. Meskipun pandemi tersebut menyebabkan masalah bagi banyak bidang bisnis, industri game justru diuntungkan. Pasalnya, ketika pemerintah melakukan lockdown, banyak orang yang memutuskan untuk bermain game. Faktanya, pada Q1 2020, pendapatan industri game di Tiongkok justru mengalami kenaikan 30 persen.

Ke depan, Tiongkok berusaha untuk mengembangkan cloud gaming. Memang, mereka tengah menggenjot investasi di bidang big data, artificial intelligence dan 5G. Dari Januari sampai Juni 2020, pemasukan pasar cloud gaming di Tiongkok mencapai 400 juta yuan, naik 79 persen dari tahun lalu. Salah satu perusahaan Tiongkok yang tertarik dengan cloud gaming adalah Tencent. Pada akhir 2019, mereka mengumumkan bahwa mereka akan bekreja sama dengan NVIDIA untuk menyediakan cloud gaming.

Sumber header: Business of Esports

Gara-Gara Corona, Pemasukan Industri Game di Tiongkok Naik 30 Persen

Waktu yang dihabiskan gamer Tiongkok untuk bermain game meningkat di tengah pandemi virus corona. Untuk mengetahui dampak virus corona pada industri gaming di Tiongkok, Niko Partners melakukan survei pada 1.057 gamer di negara tersebut. Berdasarkan laporan The Impact of COVID-19 on China’s Video Game Market dari Niko Partners, diketahui bahwa 97 persen responden kini menghabiskan lebih banyak waktunya untuk bermain mobile game daripada sebelum pandemi. Sementara itu, 95 persen responden mengatakan,  mereka bermain game PC lebih lama dan 95 persen juga mengaku mereka menghabiskan waktu lebih lama untuk bermain game konsol.

Kebanyakan gamer (89 persen) mengatakan bahwa mereka memilih untuk memainkan game yang biasa mereka mainkan dan 61 persen responden mengaku mereka memliih untuk kembali memainkan game yang sempat mereka tinggalkan. Namun, 75 persen responden berkata, mereka mencoba untuk memainkan game di platform yang sama sekali baru, baik PC, konsol, ataupun mobile.

Industri game tiongkok corona
Kebanyakan gamer Tiongkok kembali memainkan game yang familier. | Sumber: Ubergizmo

Gamer Tiongkok tidak hanya menghabiskan waktu lebih lama untuk bermain game. Mereka juga mengaku, mereka mengeluarkan uang lebih banyak saat bermain game selama pandemi jika dibandingkan dengan waktu sebelum terjadi wabah. Sebanyak 82 persen responden mengatakan, total uang yang mereka habiskan untuk game sepanjang Q1 2020 lebih banyak dari sebelumnya. Karena itu, tidak heran jika total pemasukan industri gaming di Tiongkok juga naik. Menurut laporan Niko Partners, pemasukan industri gaming di Tiongkok pada Q1 2020 naik hingga 30 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.

Selain bermain game, masyarakat Tiongkok juga lebih sering menonton konten gaming. Sekitar 62 persen responden berkata, mereka kini menghabiskan lebih banyak waktunya untuk menonton konten esports, 65 persen menonton live-streaming, dan 40 persen responden berkata, mereka mencoba untuk melakukan live-streaming sendiri untuk pertama kalinya. Memang, kenaikan viewership esports tidak hanya terjadi di Tiongkok, tapi juga di seluruh dunia. Mengingat banyak kompetisi olahraga yang dibatalkan dan digantikan dengan esports, ini tidak aneh.

Sayangnya, pandemik COVID-19 juga membawa dampak buruk, khususnya para pemilik internet cafe atau warnet. Games Industry menyebutkan, lebih dari 130 ribu warnet di Tiongkok tutup karena keputusan pemerintah untuk memberlakukan karantina. Meskipun begitu, berdasarkan survei Niko Partners, sebanyak 57 persen responden mengatakan bahwa mereka tidak berencana untuk bermain ke warnet bahkan setelah karantina berakhir. Pandemi corona berdampak buruk tidak hanya pada bisnis warnet, tapi juga bisnis lain. Karena itu, pemasukan dari iklan justru mengalami penurunan. Begitu juga dengan ad view. Selain itu, slot iklan juga lebih banyak yang kosong.

Sumber header: Digital Trends

Tencent Jadi Pemegang Saham Mayoritas Platform Streaming Game Huya

Tencent membeli 16,5 juta saham Class B di Huya, platform streaming game serupa Twitch di Tiongkok, pada awal bulan ini. Untuk membeli saham tersebut dari JOYY, perusahaan media sosial yang menjadi induk Huya, Tencent mengeluarkan US$262,6 juta (sekitar Rp4,1 triliun). Dengan ini, Tencent menjadi pemegang saham mayoritas dari Huya. Secara keseluruhan, total saham yang dimiliki oleh Tencent mencapai setidaknya 50,1 persen. Meskipun begitu, Huya tetap akan beroperasi mandiri.

Dua tahun lalu, Tencent menanamkan investasi sebesar US$461,6 juta (sekitar Rp7,2 triliun) di Huya. Menariknya, mereka melakukan hal ini kurang dari 24 jam setelah mereka mengucurkan modal sebesar US$632 juta (sekitar Rp9,8 triliun) ke Douyu, platform streaming game yang merupakan pesaing Huya, menurut laporan Games Industry. Sekarang, Tencent menjadi pemegang saham mayoritas di Douyu dan Huya. Namun, mereka juga memiliki platform streaming game sendiri, yaitu eGame. Strategi Tencent untuk menguasai industri platform streaming game di Tiongkok serupa dengan strategi mereka dalam industri game. Tencent memang sangat aktif dalma membeli saham atau mengakuisisi developer game. Pada Januari 2020, Tencent dikabarkan akan mengakuisisi Funcom, developer dari Conan Exiles.

Sebagai bagian dari perjanjian antara Tencent dan Huya, Lingdon Huang, yang menjabat sebagai General Manager for Interactive Entertainment di Tencent, akan menjadi Director dan Chairman dari dewan direktur Huya. Tak hanya itu, tiga manager Tencent lainnya — yaitu Zhi Cheng, Hai Tao Pu, dan Guang Xu — juga akan menjabat sebagai direktur di Huya.

Tencent huya
Daftar game terpopuler di layanan streaming Douyu. | Sumber: Niko Partners

 

Pada awal bulan April 2020, Niko Partners, perusahaan analis yang fokus pada negara-negara Asia, meluncurkan streaming tracker untuk game-game di Tiongkok. Tracker itu mengumpulkan data tentang game-game terpopuler di platform streaming game di negeri Tirai Bambu tersebut, seperti Huya, Bilibili, dan Douyu. Berdasarkan data Niko Partners, Honor of Kings — yang juga dikenal dengan nama Arena of Valor — menjadi game yang paling banyak ditonton. Sepanjang Maret 2020, total durasi konten ditonton dari Arena of Valor mencapai lebih dari 469 ribu jam. Di posisi kedua duduk Player Unknown’s Battleground, diikuti oleh League of Legends, lapor Game Daily.

Menariknya, dari 20 game terpopuler di platform streaming game, sebanyak 14 di antaranya merupakan game dari Tencent atau NetEase. Memang, dua perusahaan ini menguasai pasar game di Tiongkok. Pada 2019, NetEase mendapatkan pemasukan sebesar US$6,5 miliar (sekitar Rp100,8 triliun). Sementara Tencent mendapakan pemasukan 377,8 miliar yuan atau sekitar Rp856 triliun. Selain itu, data dari Niko Partners menunjukkan bahwa mobile game adalah segmen dengan pertumbuhan paling cepat di Tiongkok. Salah satu pendorongnya adalah mobile esports.

Sumber header: The Esports Observer

Sony Tanamkan Investasi Rp6,3 Triliun ke Platform Streaming Asal Tiongkok, BiliBili

Sony menanamkan investasi sebesar US$400 juta (sekitar Rp6,3 triliun) ke BiliBili, platform hiburan asal Tiongkok yang fokus pada livestreaming, esports, musik, dan game mobile. Dengan ini, Sony menguasai 4,98 persen saham dari BiliBili, menjadikan perusahaan asal Jepang itu sebagai pemegang saham terbesar keempat setelah Alibaba Group, Tencent Holding, dan Loyal Valley Capital.

Pada tahun 2019, BiliBili masiih mengalami kerugian sebesar SU$973,5 juta (sekitar Rp15,4 triliun). Meskipun begitu, pemasukan mereka pada tahun lalu naik 74 persen menjadi US$288 juta (sekitar Rp4,6 triliun). Tidak hanya itu, BiliBili juga mengklaim, mereka memiliki jumlah pengguna aktif bulanan sebanyak 130 juta orang. Sekitar 80 persen dari total jumlah pengguna aktif BiliBili merupakan generasi muda yang terlahir pada periode 1990-2009. Keputusan Sony untuk berinivestasi di BiliBili menunjukkan rencana mereka untuk menargetkan generasi muda dan fokus pada industri hiburan di Tiongkok.

“Sony percaya bahwa Tiongkok adalah salah satu kawasan penting dalam bisnis hiburan. Menanamkan modal di BiliBili sesuai dengan strategi Sony,” kata Sony dalam pernyataan resmi, seperti dikutip dari Nikkei Asian Review. “Selain itu, Sony dan BiliBili telah membuat Business Collaboration Agreement. Dalam perjanjian ini, kedua perusahaan setuju untuk mengejar kesempatan berkolaborasi dalam industri hiburan di Tiongkok, termasuk animasi dan game mobile.”

BiliBili bisa memperkuat posisi mereka di dunia esports dengan investasi dari Sony. | Sumber: The Esports Observer
BiliBili bisa memperkuat posisi mereka di dunia esports dengan investasi dari Sony. | Sumber: The Esports Observer

Sementara itu, bagi BiliBili, investasi dari Sony ini dapat mereka gunakan untuk memperkuat posisi mereka di dunia esports. BiliBili merupakan pemilik dari salah satu tim liga League of Legends Tiongkok, yaitu Bilibili Gaming, serta tim di Overwatch League, Hangzhou Spark. Selain itu, pada tahun lalu, mereka berhasil mendapatkan hak siar atas liga League of Legends World Championship, mengalahkan para pesaingnya.

CEO dan Chairman BiliBili, Chen Rui berkata bahwa melalui kerja sama dengan Sony, BiliBili akan berusaha untuk meningkatkan pangsa pasar mereka dalam bisnis animasi dan game mobile di Tiongkok. Dia berkata, “Kami tidak sabar bekerja sama dengan Sony untuk memenuhi kebutuhan akan hiburan yang terus naik di Tiongkok.”

Menurut Niko Partners, grup analis industri game yang fokus pada pasar Asia, investasi Sony pada BiliBili akan memperkuat hubungan antara kedua perusahaan. “Investasi ini adalah kerja sama berikutnya setelah Sony Music menggandeng BiliBilli untuk menyediakan video dan musik di Tiongkok,” ujar Lisa Hanson, analis di Niko, pada GameDaily.

Lebih lanjut Hanson berkata, “BiliBili juga merupakan publisher dari Fate/Grand Order di Tiongkok, game RPG populer yang dikembangkan oleh Aniplex, anak perusahaan Sony. Sony juga memiliki beberapa perusahaan animasi seperti Funimation, yang bisa menyediakan konten sesuai selera audiens BiliBili. Pengguna BiliBili adalah generasi Z, mereka merupakan fans dari anime, komik, dan game. Dari investasi ini, Sony bisa mendapatkan banyak keuntungan.”

Sumber header: China Daily

Ada 300 Juta Gamer Perempuan di Tiongkok

Sebagai negara dengan populasi terbanyak, Tiongkok selalu menjadi pasar yang diperhatikan banyak industri, termasuk gaming dan esports. Tahun ini, Tiongkok memiliki 640 juta gamer, menurut laporan China Gaming Industry Report 2019 yang dirilis oleh China Audio-video and Digital Publishing Association. Sebesar 46,2 persen dari total pemain game merupakan perempuan. Itu berarti, jumlah gamer perempuan di Tiongkok mencapai 300 juta orang, naik 3,5 persen dari tahun lalu, menurut laporan Xinhua.

Dari segi pendapatan, industri gaming di Tiongkok mencapai 231 miliar yuan (sekitar Rp461 triliun). Dari total pendapatan industri, gamer perempuan memberikan kontribusi sebesar 52,7 miliar yuan (sekitar Rp105 triliun) atau 22,8 persen dari total nilai industri. Menariknya, saat ini, kebanyakan game yang tersedia untuk perempuan adalah game kasual yang tidak menghabiskan banyak uang. Dalam laporan industri game Tiongkok, disebutkan bahwa para developer game sebaiknya mulai memerhatikan gamer perempuan. Selama ini game memang selalu diidentikkan dengan pria. Namun, sekarang, semakin banyak gamer perempuan yang bermunculan. Dan ini tidak hanya terjadi di Tiongkok.

Sumber: Google Play
Sumber: Google Play

Menurut survei Google Play bersama dengan Newzoo, 49 persen mobile gamer adalah perempuan. Padahal, saat ini, tidak banyak game yang dibuat khusus untuk para gamer perempuan. Mobile gamer perempuan ini juga cukup aktif dalam bermain. Sebesar 43 persen dari mobile gamer perempuan mengaku bahwa mereka bermain game mobile setidaknya lima kali dalam seminggu. Touchten, salah satu developer asal Indonesia, melihat hal ini sebagai kesempatan. Pada Oktober 2019, mereka mendapatkan kucuran dana segar. Dengan dana investasi ini, mereka berencana untuk membuat game yang memang ditujukan untuk gamer perempuan.

Di Tiongkok, salah satu hal yang mendorong pertumbuhan industri game adalah esports, menurut Xinhua. Diperkirakan, total pendapatan dari game esports mencapai 94,7 miliar yuan (sekitar Rp189 triliun), naik 13,5 persen dari tahun lalu. Dengan regulasi yang tepat dari pemerintah, ekosistem esports akan bisa berkembang. Ini akan memudahkan para pelaku esports untuk mencari talenta baru. Tak hanya itu, jika esports berhasil berkembang sebagai industri, ini juga akan membuka lowongan pekerjaan baru.

Selain esports, hal lain yang mendorong pertumbuhan industri game di Tiongkok adalah popularitas game virtual reality dan augmented reality yang mulai naik. Pendapatan dari game VR di Tiongkok mencapai 2,67 miliar yuan (sekitar Rp5,3 triliun), naik 49,3 persen dari tahun lalu.

Sumber header: BBC/Danny Vincent

7.5 Degree Media Startup Expands to Indonesia, Focus on Bridging China-based Business Players

After receiving seed funding from East Ventures in May 2019, the Chinese-language media based on Singapore, 7.5 Degree, plans to expand to Indonesia. It started from opening a branch office and placing team for media coverage in Indonesia. They’re focused on the startup industry, such as e-commerce, fintech, SaaS, and gaming in Indonesia for their users in China.

7.5 Degree’s CEO, Li Yufu said to DailySocial that the expansion to Indonesia is expected to bring relevant information while bridging business owners and investors from China to expand their business in Indonesia.

“We create opportunities through media focused on presenting relevant information for China’s readers. It’s for them to gain information on the startup and related industries in Indonesia.”

Officially launched in 2017, the 7.5 Degree has distributed articles through various channels. Currently, they’ve produced 350 articles in Chinese, discussing all things related to the internet economy in Southeast Asia.

“In accordance with our mission of implementing ‘One Belt One Road’, we want to make Indonesia one of the countries to explore in terms of expanding relations and opening networks with China,” he added.

Focused on helping China-based business players and investors

7.5 Degree has another consulting service for business players from China who want to expand their business in Indonesia. Especially for Chinese speakers.

Through this service, 7.5 Degree intends to bring more Chinese investors to Indonesia. Currently, they claim to have had several clients from China to Thailand using their consulting services.

“In terms of media, we’re not using too much advertising for monetizing. The strategy is fully on consulting services,” Yufu said.

They have also launched Invmall, a new service that aims to encourage interaction between technology businesses in Southeast Asia and China. The platform presents a “bridging” service that allows startup founders to directly connect with investors from China (or vice versa) via email or WhatsApp.

There are very few service providers capable to support the local startups in early-stage to get funding. If we can help entrepreneurs to get seed funding from investors, both from China and Southeast Asia, this will be huge opportunities for them to grow and develop.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup Media 7.5 Degree Siap Ekspansi ke Indonesia, Fokus Jembatani Pebisnis Tiongkok

Setelah mendapatkan pendanaan tahap awal dari East Ventures bulan Mei 2019 lalu, 7.5 Degree media teknologi berbahasa Mandarin yang berbasis di Singapura berencana untuk melakukan ekspansi ke Indonesia. Inisiatif tersebut akan diawali dengan membuka kantor dan menempatkan tim mereka untuk melakukan peliputan. Fokusnya pada berita industri startup, e-commerce, fintech, SaaS hingga gaming di Indonesia untuk pembaca mereka di Tiongkok.

Kepada DailySocial CEO 7.5 Degree Li Yufu menegaskan, kehadiran bisnisnya di Indonesia diharapkan bisa menghadirkan informasi yang relevan sekaligus menjembatani pemilik bisnis dan investor asal Tiongkok untuk melebarkan bisnis mereka di Indonesia.

“Kami membuka peluang tersebut melalui media yang fokus menghadirkan informasi yang relevan untuk pembaca di Tiongkok. Harapannya mereka bisa mengenal lebih jauh industri startup dan terkait di Indonesia.”

Resmi meluncur tahun 2017 lalu, 7.5 Degree telah mendistribusikan artikel mereka melalui berbagai kanal, seperti. Sejauh ini telah memproduksi 350 artikel berbahasa Mandarin, membahas segala hal terkait ekonomi internet di Asia Tenggara.

“Sesuai dengan misi kami yaitu menerapkan ‘One Belt One Road’, kami ingin menjadikan Indonesia salah satu negara yang bisa kami jajaki dalam hal memperluas relasi dan membuka jaringan dengan Tiongkok,” kata Yufu.

Fokus bantu pemilik bisnis dan investor asal Tiongkok

7.5 Degree juga memiliki layanan lainnya berupa konsultasi untuk pemilik bisnis asal Tiongkok yang ingin melebarkan bisnis di Indonesia. Khususnya bagi mereka yang selama ini menggunakan bahasa Mandarin.

Melalui layanan konsultasi ini, 7.5 Degree berharap bisa membawa lebih banyak lagi investor asal Tiongkok ke Indonesia. Saat ini mereka mengklaim telah memiliki beberapa klien dari Tiongkok hingga Thailand yang telah memanfaatkan jasa konsultasinya.

“Untuk media sendiri kami tidak terlalu berat memanfaatkan iklan untuk monetisasi. Namun sepenuhnya strategi monetisasi kami adalah dari layanan konsultasi,” kata Yufu.

Mereka juga telah meluncurkan Invmall, sebuah layanan baru yang bertujuan untuk mendorong interaksi antara pelaku bisnis teknologi di Asia Tenggara dan Tiongkok. Platform tersebut menghadirkan layanan “penghubung” yang memungkinkan para founder startup untuk langsung berhubungan dengan investor dari Tiongkok (atau sebaliknya) lewat email atau WhatsApp.

“Hanya ada sedikit sekali penyedia layanan yang bisa memenuhi kebutuhan startup tahap awal lokal untuk mendapatkan pendanaan. Jika kami bisa membantu para entrepreneur untuk mendapatkan pendanaan tahap awal dari investor, baik dari Tiongkok maupun Asia Tenggara, hal ini akan membuka kesempatan yang besar bagi mereka untuk tumbuh dan berkembang,” kata Yufu.

Melihat Pengembangan Teknologi Drone di Markas JD.com

Sebagai salah satu peritel terbesar asal Tiongkok yang fokus kepada inovasi teknologi, JD.com telah menciptakan tiga generasi drone buatan sendiri. Saat ini sudah dimanfaatkan untuk pengiriman barang dan telah digunakan oleh perusahaan sebagai kegiatan CSR.

Drone Center JD.com

Saat ini mereka telah memiliki 10 unit “Drone Center” yang tersebar di Tiongkok. Teknologi tersebut dikembangkan secara khusus oleh para engineer JD.com yang tergabung dalam “X-Department JD.com”.

Mereka telah mengembangkan drone generasi ketiga atau yang disebut Y3-Generation. Inovasi tersebut didesain untuk mampu mengirimkan produk dengan berat 10kg dan jarak tempuh 10km.

Selain Y3-Generation, JD.com juga telah mengembangkan teknologi drone dengan bahan bakar dan memiliki kemampuan untuk mengantarkan barang dalam radius 100km. Perangkat tersebut didesain serupa dengan pesawat ukuran kecil. Selama ini kerap digunakan perusahaan untuk keperluan kemanusiaan, termasuk di dalamnya bantuan bencana alam dan keperluan terkait lainnya.

Meskipun masih memiliki keterbatasan regulasi terkait wilayah terbang, namun saat ini pengiriman barang menggunakan drone sudah mulai banyak diterapkan oleh JD.com. Fokus mereka ke daerah terpencil atau yang sulit dijangkau dengan menggunakan transportasi darat.

Salah satu kegiatan yang dihadirkan oleh JD.com saat kunjungan media asal Indonesia ke kantor pusatnya di Tiongkok beberapa waktu lalu adalah mengunjungi Drone Center JD.com yang terletak di Suqian, Tiongkok. Perjalan yang menempuh sekitar 5 jam dari Beijing, mengantarkan awak media untuk meninjau langsung Drone Center yang dilengkapi dengan kawasan lepas landas, ruangan monitoring, hingga ruangan pelatihan untuk masyarakat umum yang ingin mempelajari cara tepat menerbangkan drone.

JD.com juga mengundang awak media untuk melihat proses pengantaran drone. Mulai dari Drone Center hingga lokasi khusus yang digunakan oleh JD.com untuk menampung barang sebelum mengirimkan ke alamat pembeli.

Uji coba drone di Indonesia

Drone generasi ketiga saat uji coba di Indonesia / DailySocial
Drone generasi ketiga saat uji coba di Indonesia / DailySocial

Di Indonesia sendiri teknologi drone generasi ketiga milik JD.com sudah sempat diterapkan di kawasan Parung, Jawa Barat awal tahun 2019 lalu. Dihadiri oleh pejabat dan perwakilan pemerintah Indonesia, proses uji coba drone memiliki rute terbang dari desa Jagabita, Parung Panjang, Bogor ke Sekolah Dasar MIS Nurul Falah Leles dengan tujuan mengirimkan tas ransel dan buku-buku kepada para siswa.

Inisiatif untuk memulai penerapan teknologi drone sendiri muncul pada akhir tahun 2017 lalu. JD.com dan JD.id bersama-sama mulai berdiskusi dengan Direktorat Navigasi Penerbangan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia dan AirNav mengadakan penerbangan uji coba teknologi drone untuk layanan logistik yang lebih maju.

Disinggung apakah saat ini JD.com masih fokus untuk menerapkan teknologi drone di Indonesia, perwakilan JD.com mengatakan perusahaan bersama dengan pihak terkait masih berupaya untuk meloloskan peraturan yang relevan. Setelah beres, nantinya bisa diaplikasikan oleh JD.com di Indonesia.

“Sejak tiga tahun terakhir fokus kami adalah bagaimana teknologi yang sudah diterapkan di Tiongkok, bisa diaplikasikan secara global termasuk Indonesia. Uji coba yang telah dilakukan awal tahun 2019 lalu merupakan percobaan pertama kami di Indonesia,” kata Group Strategy & Investment JD.com Xiao Yao.

Application Information Will Show Up Here

ATM Capital Plans to Pour $200 Million for Startup Investment in Southeast Asia

ATM Capital, a Venture Capital from Beijing, China kicks off the year by closing an investment worth of $200 million. It is to be used for Southeast Asia startups, including the ones in Indonesia. Some investors involved in ATM Capital are include Alibaba eWTP Technology Innovation Fund, 58 Group, Wang Xiaochuan, and several Chinese businessman.

Starting from the expertise in China’s internet industry, ATM Capital considers that Southeast Asia has similar characteristic. It was proven from the Chinese investors involvement in supporting unicorn in Southeast Asia, such as Gojek, Grab, Lazada, and others. ATM Capital, to ensure the smooth maneuver, has acquired local partners in Southeast Asia – a related source said some are based in Jakarta.

To date, ATM Capital has invested in several companies in Indonesia, Gojek and ReWork are in the portfolio. In Indonesia, they’re focus to invest in logistics, retail, and insurtech. This venture capital, supported by Qu Tian, has a vision to develop strategic local partners and create long-term vision, including to connect it with resources through its network in China.

His debut in Indonesia has been started since last year. In September 2018, Tsinghua University and ATM Capital successfully held the “Southeast Asia Unicorn Growth Program” in Jakarta. It was expected to improve communication among potential startups to find opportunities for collaboration with partners from Southeast Asia and China


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian