Grup Astra Resmi Jadi Pemilik Sah OLX

Kepemilikan saham OLX Classifieds kini resmi telah berpindah tangan 100% ke PT Astra International Tbk (IDX: ASII). Perusahaan konglomerasi ini mengumumkan telah menyelesaikan akuisisi PT Tokobagus, entitas yang mengoperasikan platform iklan baris digital OLX Classifieds.

Dalam keterangan resminya, Jumat (11/8), Grup Astra mencaplok OLX melalui dua anak usahanya PT Astra Digital Mobil yang menguasai 99,98% saham OLX dan PT Astra Digital Internasional sekitar 0,02%. Tidak diungkap berapa nilai kesepakatan akuisisi tersebut.

Direktur Astra Gidion Hasan mengatakan OLX punya basis pengguna dan ekuitas merek yang kuat. Posisinya sebagai pionir iklan baris digital dinilai akan menjadi pilihan utama masyarakat di Indonesia. “Akuisisi ini diharapkan akan melengkapi ekosistem digital Grup Astra yang sudah ada, mendorong inovasi, serta memenuhi kebutuhan pelanggan,” ujarnya dikutip dari Bareksa.com.

Sementara, CEO OLX Grup Lydia Ventura Paterson menambahkan, “kami yakin platform iklan baris digital OLX berada di tangan yang tepat, dan Astra akan membawa iklan baris digital OLX ke tingkat yang lebih tinggi.”

Perusahaan juga mengumumkan debut OLX dengan identitas barunya pasca-akuisisi di ajang GIIAS 2023. Di sana, OLX akan hadir sebagai Trade-In Partner yang berkolaborasi dengan Astra Financial.

Astra diketahui tengah menggenjot potensi jual-beli mobil bekas, salah satunya melalui anak usahanya Astra Digital Mobil yang menaungi platform mobbi (sebelumnya bernama mo88i). Aplikasi mobbi telah terintegrasi dengan ekosistem Grup Astra, termasuk ACC group, Toyota Astra Financial Services, Asuransi Astra Buana, dan AstraPay.

Mobil bekas

Hingga saat ini, penjualan mobil bekas masih banyak diminati oleh masyarakat indonesia. Angka penjualannya bahkan ditaksir lebih tinggi sekitar 1,5 juta per tahun dari penjualan unit mobil baru yang berkisar 1 juta unit.

Penyedia marketplace online mobil bekas pun telah menghadirkan showroom fisik untuk meningkatkan pengalaman pengguna, mengingat pembelian mobil tetap memerlukan pengecekan fisik.

Masuknya Astra ke dalam persaingan jual-beli mobil bekas akan menambah persaingan di sektor ini bersama sejumlah pemain existing, termasuk Carro, Carsome, Moladin, dan Broom.

Menurut laporan Industry Research, nilai pasar mobil bekas di dunia ditaksir sebesar $810,5 miliar pada 2022. Angka tersebut diestimasi naik menjadi $$1.093 miliar pada 2028 dengan tingkat pertumbuhan 5,12% per tahun.

Arnold Egg Mengungkap Segala Hal tentang Masa depan Industri Digital

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Sudah lebih dari 20 tahun berlalu sejak Arnold Sebastian Egg atau akrab disapa Arno Egg menginjakkan kaki di Indonesia. Selama itu, ia berusaha membangun bisnis di negeri ini, keluar-masuk dunia e-commerce, merambah industri travel, hingga menemukan passion-nya di dunia digital.

Liburan yang membawa Arno ke Indonesia, tapi bisnis digital yang membuatnya bertahan. Dia memulai di usia yang cukup muda bersama Tokobagus, menghabiskan lebih dari tiga tahun sampai akhirnya mencapai traksi, memutuskan untuk merger, dan akhirnya melepaskan diri untuk membangun usaha digitalnya sendiri. Pada tahun 2013, ia secara resmi memutuskan segala keterbatasan dengan menjadi warga negara Indonesia untuk tetap berkarya di pasar nusantara.

Arno adalah seorang product guy, dia membangun produk berdasarkan apa yang dibutuhkan konsumen. Namun, ia juga menyarankan agar tidak jatuh cinta dengan produk Anda dan tetap mendengarkan opini orang. Ia telah mengecap manis dan menyeka peluh dengan membangun startup dari nol. Tokobagus adalah warisan pertamanya. Ia kini fokus mengembangkan produk digital melalui Sprout Digital, dan baru-baru ini meluncurkan platform baru bernama Toco. Selain itu, selama 6 bulan terakhir, dia juga terlibat sebagai Mitra Pendiri dari sebuah Venture Builder bernama Wright Partners.

Arnold Sebastian Egg (2)

DailySocial berkesempatan untuk bertemu dengannya secara virtual dan berdiskusi tentang industri digital di negara ini, dan dia pun sangat bersemangat. Berikut kami sajikan kisah lebih lengkapnya.

Kapan Anda mulai tertarik untuk mendalami industri teknologi?

Saya merupakan salah satu dari anak-anak yang pertama kali menggunakan PC di sekolah. Semua bermula ketika saya masih berusia sangat muda, lalu mengembangkan minat di bidang komputer dan menjadi mahasiswa ilmu komputer angkatan pertama. Awalnya, saya belajar di Rotterdam kemudian pindah ke AS untuk mendalami hal-hal yang saya minati. Setelah itu, saya kembali ke Belanda.

Bagaimana kisah Anda sampai ke Indonesia? Apa yang membuat Anda bertahan di sini?

Saya pergi berlibur ke Indonesia. Saya menikmati bersantai di pantai, lalu  menemukan warnet dan mulai berdiskusi dengan orang-orang di sana. Itu adalah bagaimana saya mulai melakukan hal-hal digital di Indonesia. Menurut saya ini adalah tempat terbaik untuk produk digital.

Saya berasal dari Belanda, namun sudah lama di Indonesia. Yang saya tahu, untuk sukses, Anda membutuhkan audiens yang banyak. Di Eropa, hal ini menjadi sangat sulit karena setiap negara memiliki budayanya sendiri, membuatnya agak sulit untuk diukur. Di Indonesia, meskipun dengan banyak budaya yang berbeda, cara orang beraktivitas masih tetap sama. Itulah mengapa saya memulai perjalanan digital saya di Indonesia.

Dulu, saya akui memang sulit, internet sangat mahal, meskipun audiens banyak, tidak ada yang bisa online. Oleh karena itu, pada masa-masa awal, saya mulai mendirikan software house di Bali, membangun jalur untuk pasar Eropa, sebagai proyek sampingan. Itu menjadi asal muasal Tokobagus.

Jadi, Tokobagus sebelumnya adalah proyek sampingan, bagaimana kisah dibaliknya?

Sebenarnya ini cerita lucu yang telah berkali-kali saya sampaikan. Pekerjaan ini datang dari seorang klien di Belanda yang ingin mendirikan bisnis classified kemudian gagal dan menyalahkan kami karena menghabiskan banyak uang tanpa hasil yang signifikan. Dari kesulitan mendapatkan pengguna hingga akhirnya gagal sebelum bisa masuk ke pasar. Saya rasa kebanyakan orang lupa ketika memulai perusahaan digital, butuh waktu yang cukup lama untuk mendapatkan traksi.

Dengan Tokobagus, memakan waktu selama 2005-2008 sampai kita mendapatkan traksi yang nyata, kira-kira sekitar 3 tahun. Saya pikir pelajaran terbesar di sini adalah Anda harus bersabar. Ketika perusahaan mulai tumbuh, banyak yang mulai berkolaborasi di pasar, mereka bergabung dengan perusahaan lain. Kami mengakuisisi Berniaga karena jelas bahwa kami berdua berjuang untuk posisi yang sama. Hal ini menjadi masuk akal, dan kami dapat memfokuskan energi dan sumber daya kami untuk mengembangkan produk dan melayani konsumen. Hal ini juga untuk membawa perdamaian ke pasar.

Arno Egg with team Tokobagus.com at event power seller community 2011
Arno Egg bersama tim Tokobagus.com dalam acara Power Seller Community 2011

Tidak lama setelah Tokobagus, Anda memulai bisnis di ranah OTA. Bagaimana pengalaman Anda?

Ketika saya pergi, saya memiliki klausul non-kompetisi yang sangat ketat dengan Tokobagus, jadi saya tidak dapat melakukan apa pun dengan basis e-commerce. Setelah melakukan eksplorasi, satu-satunya hal yang dapat saya lakukan saat itu adalah OTA. Selama itu saya juga akhirnya resmi menjadi orang Indonesia untuk bisa tetap berkarya di pasar, keadaannya bahkan jadi jauh lebih baik. Ketika saya masih sebagai orang asing, berbisnis di Indonesia cukup menantang dengan segala keterbatasannya.

Bagi saya, industri perjalanan adalah pengalaman yang sangat luar biasa tetapi sangat sulit. Meskipun semakin digital, hal itu cenderung masih cukup konvensional dengan internet. Satu-satunya pengalaman saya di OTA hanyalah menjadi penonton di pinggir lapangan. Saya menghabiskan masa itu untuk membangun jaringan, mendapatkan konteks dengan produknya. Segera setelah limitasi saya berakhir, saya bisa kembali ke basis e-commerce. Meskipun saya menikmati perjalanannya, OTA menjadi pertempuran yang sangat sulit untuk dimenangkan, ada banyak pemain besar dengan pendanaan dan pengalaman lebih banyak. Oleh karena itu, tidak apa-apa untuk jatuh, bersiap untuk petualangan selanjutnya!

Akhirnya Anda kembali ke industri e-commerce. Bisa jelaskan secara singkat bagaimana prosesnya?

Kembali ke e-commerce, saya bekerja untuk korporat, membantu menyiapkan online channel untuk HP yang fokus pada pasar konsumen dan UKM di Indonesia. Dalam industri korporat, mereka melakukan banyak hal dengan sangat berbeda. Meskipun mereka memiliki produk yang luar biasa kuat, pergerakan digitalnya masih cukup lambat. Saya tidak terlalu lama di tempat ini, tapi saya belajar banyak hal. Pengalaman ini memberi saya wawasan tentang bagaimana bergerak di pasar dengan cara korporasi dan bagaimana eksekusi mereka berbeda dari startup digital lainnya. Setelah itu, saya diminta oleh seorang teman untuk membantu menyiapkan produk digital di Lippo.

Saya terjun ke Lippo sebenarnya untuk mendirikan bank digital, yang sekarang dikenal sebagai OVO. Karena kami banyak melakukan riset, selain itu saya juga membantu MatahariMall.com (E-Commerce Marketplace), Mbiz.co.id (e-procurement B2B No.1 di Indonesia), dan Red Carper Logistics (RCL – Perusahaan logistik yang mengkhususkan diri dalam pemenuhan last-mile). Namun, OVO menjadi kasus pertama saya di bidang fintech. Sangat menyenangkan, karena saya suka melakukan hal-hal baru. Kita belajar bagaimana melakukan core banking system, switch, dan bagaimana sistem pembayaran di Indonesia. Ini menjadi perjalanan yang luar biasa dalam mempelajari banyak hal dan memahami cara kerja perbankan dan bagaimana kami dapat melakukan disrupsi dalam hal itu.

Anda sempat menjajal industri e-commerce, OTA, lalu fintech. Apa yang sebenarnya menjadi passion Anda?

Passion saya adalah digital. Saya sangat senang saat ini digital telah menjadi cara kerja bisnis normal. Dengan begitu, Anda harus aktif di ranah digital untuk bisa bertahan. Kejadian ini sunguh cepat. Memang, hasrat awal saya adalah di e-commerce, dan sementara saya mencurahkan banyak waktu saya di sana, saya tetap menikmati melakukan hal lainnya.

Saya bahagia bersama Sprout digital, membantu orang membangun produknya, juga membangun bisnis perusahaan. Selama berada di Lippo atau Bizzy, saya memiliki banyak ide yang tidak dapat persetujuan atau pendanaan. Namun, sekarang saya bisa mengeksekusinya sendiri dan mengeluarkannya ke pasar serta siap melayani pasar Indonesia. Kapanpun ada ide muncul di benak saya dan saya punya waktu untuk mencoba mengerjakannya dan melihat apa yang terjadi, saya merasa diberkati.

Pada satu linimasa, Anda memiliki tanggung jawab di beberapa perusahaan secara paralel. Bagaimana Anda memastikan semua berjalan seiring?

Sangat penting untuk menaruh kepercayaan Anda pada orang yang tepat di sekitar Anda serta menjalin hubungan yang baik dengan semua orang yang bekerja dengan Anda. Dengan lapisan yang baik di sekitar Anda, segala hal bisa jadi lebih mudah, karena mereka dapat memberi Anda informasi yang Anda butuhkan untuk membuat keputusan. Di OVO kami belum memiliki lapisan itu, jadi semua orang melapor langsung kepada saya, dan sangat penting untuk mengenal semua orang.

Ketika Anda membangun koneksi, bukan berarti hanya di tingkat rekan kerja namun juga secara pribadi, oleh karena itu, Anda dapat memahami apa yang dialami orang lain. Saya pribadi tidak percaya semua orang bisa berfungsi 100% setiap saat. Selalu ada suka dan duka. Setiap orang memiliki masalah pribadi dan masalah pekerjaan. Jika Anda bisa memahaminya dan Anda bisa memberi ruang saat mereka membutuhkannya. Itu juga penting.

Arno Egg with Bizzy Korea
Arnold Egg bersama Bizzy Korea

Ketika pertama kali datang ke Indonesia sebagai non-native, bagaimana impresi Anda terhadap negara ini? Adakah kesulitan untuk beradaptasi?

Tentu saja, itu membutuhkan waktu. Saya berasal dari Eropa yang pergerakan masyarakatnya tidak secepat saat saya tinggal di Bali. Di Jakarta, semakin hidup. Bagi saya, karena saya masih sangat muda ketika tiba di sini, saya dapat menyesuaikan diri dengan mudah, hanya mencoba untuk berbaur. Saya selayaknya bocah biasa yang kebetulan orang asing. Sesampainya di Indonesia, saya memutuskan ingin bekerja di sini, lalu saya pelajari bahasanya secepat mungkin. Meskipun bahasa Inggrisberfungsi dengan baik, karena orang-orang berbicara dalam bahasa Inggris di mana-mana, untuk tujuan tertentu, sangat penting untuk memahami penduduk setempat. Anda akan mendapatkan banyak informasi saat Anda berbicara dalam bahasa yang sama.

Anda telah membangun beberapa perusahaan, dengan segala ups and downs, apa yang membuat Anda percaya dengan pasar Indonesia?

Menurut saya, Indonesia adalah pasar yang sempurna untuk digital. Cukup mengecewakan mengetahui beberapa investor global yang tidak pernah memasukkan Indonesia ke dalam peta. Ada begitu banyak pulau dan digital dapat membawa kesetaraan ke pasar. Masalah itu belum selesai sampai hari ini, saya sedang bekerja untuk digitalisasi rantai pasok logistik, mengerjakan beberapa proyek dengan petani untuk memastikan mereka yang berada di luar Jawa dapat tetap terlibat. Infrastruktur belum optimal dan banyak sekali proses yang masih belum efisien, negeri ini sangatlah luas. Digital akan jadi alat yang luar biasa untuk membuatnya lebih efisien dan menempatkan Indonesia pada posisi kompetitif di kawasan.

Di sekolah saya belajar banyak tentang Indonesia, ada banyak kontak di masa lalu saya. Setidaknya saya senang menyebut Indonesia sebagai rumah saya, untuk dapat mewujudkan impian saya, Indonesia adalah pasar terbaik untuk melakukannya. Tanah ini memiliki semua elemen untuk menjadi negara yang sangat kuat. Dengan semua perusahaan unicorn dan pemain besar, jika Anda membandingkan dengan pasar lain di kawasan ini. Ada banyak pemenang terlibat dalam kompetisi dan pasarnya sudah teredukasi. Saya sangat bersemangat mendengar hal itu.

Coba ceritakan tentang perusahaan Anda sekarang, Sprout Digital? Apa visi yang ingin Anda wujudkan?

Bagi saya, Sprout adalah sebuah yayasan. Ada beberapa tujuan yang ingin saya capai bersama Sprout, yaitu untuk menempatkan bakat baru ke pasar. Saya sangat senang melihat banyak orang yang sebelumnya di Tokobagus kini memiliki posisi yang baik di industri. Itu juga yang ingin saya lakukan di sini. Saya menaungi banyak anak muda yang baru memulai di industri digital. Saya ingin memberi mereka alat yang tepat untuk kemudian sukses di masa depan.

Dan tentu saja, Sprout memungkinkan saya membangun produk yang saya sukai. Kami baru saja meluncurkan Toco. Dari awal, cerita Tokobagus tidak pernah selesai. Melihat e-commerce semakin kurang bermanfaat bagi pemain kecil membuat saya berpikir bahwa inilah saatnya untuk melanjutkan bagian yang saya tinggalkan. Toco sekarang tidak jauh berbeda dengan Tokobagus di masa lalu, tetapi kami akan terus menambahkan fitur untuk memungkinkan pengguna membeli dan menjual dengan lebih nyaman tanpa menghilangkan keuntungan yang diperoleh dengan susah payah. Menjadikannya lebih transparan. Saat ini, bentuknya adalah C2C dan akan semakin banyak bergerak ke pasar campuran C2C dan B2C. Prosesnya tidak akan cepat tapi pasti.

Arnold Sebastian Egg

Di pikiranku selalu muncul hal-hal baru. Selain mendukung banyak perusahaan untuk sukses di ruang digital, Sprout memungkinkan saya untuk mengeluarkan ide-ide itu dari pikiran saya ke dalam produk yang dapat mulai digunakan orang.

Sungguh mengerikan apa yang terjadi pada dunia, sungguh menyakitkan melihat orang-orang menderita karena Covid, tidak hanya dalam dunia kesehatan tetapi juga dalam bisnis. Satu hal yang positif, yaitu hal ini mempercepat edukasi pasar. Saya pergi ke Lampung untuk proyek membantu petani. Saya melihat semua orang memiliki smartphone untuk pendidikan anak-anak mereka. Hal itu mempercepat seluruh proses digital, orang mulai memahami cara menggunakannya. Semua akan semakin mendekatkan jarak antara penduduk desa dan penduduk perkotaan. Transformasi digital membantu menyeimbangkan level dari liga permainan ini dan menggerakkan semua orang dalam fase yang sama.

Arnold Sebastian Egg with tim Sprout-Toco
Arnold Sebastian Egg bersama tim Sprout-Toco

Di era digital seperti sekarang, bagaimana Anda menggambarkan industri teknologi di masa depan?

Saya senang melihat bagaimana orang-orang menyiapkan bisnis mereka sekarang. Indonesia sendiri sudah menjadi pasar yang menarik, kita tidak perlu terlalu banyak melihat ke dunia global sejak awal. Jika Anda ingin memulai sesuatu di Indonesia, jika Anda sukses, itu adalah pasar yang besar untuk dilayani. Bukannya saya tidak melihat Indonesia bisa bersaing di pasar global, saya kira ke depan mungkin bisa. Namun menurut saya, penting juga untuk mengambil langkah demi langkah. Jangan lakukan itu karena Anda ingin, namun jika ada demand, maka lakukan. Bagi saya, sukses di Indonesia itu sudah cukup, mendunia bukanlah tujuan terbesar saya.

Pertumbuhan organik itu fundamental. Anda dapat mempercepat tetapi Anda jangan sampai meledak dengan membeli pengguna. Itu tidak akan menyisakan apa pun untuk Anda. Saya mengaku kuno, hal itu membuat saya melawan arus. Bagi saya, ini semua tentang PnL (untung dan rugi). Apakah bisnis ini masuk akal? bisakah kamu menskalakannya? Jika Anda menskalakannya, apakah masih menghasilkan atau tidak? Saya membangun produk karena saya ingin melayani pelanggan. Saya memahami pelanggan, apa yang mereka butuhkan, dan masalahnya. Saya pikir itu juga alasan mengapa perusahaan Indonesia dapat bersaing dengan pemain global ketika mereka masuk. Amazon, eBay, Rakuten tidak memahami pengguna, kami memahami pelanggan kami. Itu adalah pengalaman yang membuka mata.

Namun dalam hal investasi, hal itu adalah sesuatu yang harus dipahami orang. Perusahaan membual tentang bagaimana mereka mengumpulkan lebih banyak uang sementara yang seharusnya mereka lakukan adalah fokus pada membangun perusahaan yang tepat. Penting untuk membuat iklim investasi sehat.

Sebagai seorang serial entrepreneur, apa yang bisa Anda sampaikan pada para penggiat teknologi dan digital di luar sana yang ingin berhasil dalam industri ini?

Anda perlu mencintai apa yang Anda lakukan, oleh karena itu, setiap perjuangan akan menjadi menyenangkan karena Anda menikmatinya. Tidak ada kisah sukses yang terjadi sejak hari pertama. Semua adalah tentang perjuangan, selalu ada pertarungan. Sangat sulit untuk sukses. Saya bilang seperti ini karena saya mengalaminya sendiri, setiap startup akan menyakitkan dan memiliki banyak rintangan. Saya memulai Tokobagus dengan domain saya sendiri, membangunnya dengan semua waktu yang saya punya. Kalau boleh saya katakan, bootstrap adalah cara yang baik untuk memulai bisnis.

Jangan jatuh cinta dengan produk Anda sendiri. Jika konsumen Anda mengatakan bahwa mereka tidak menyukainya, percayalah. Tidak apa-apa gagal, lebih baik gagal tapi cepat, daripada terlanjur malangkah jauh. Buat manuver, pivot, pahami apa yang diinginkan konsumen dan lakukan lagi. Jika Anda ingin melakukan sesuatu yang benar-benar baru, bersiaplah untuk perjuangan berat karena Anda perlu edukasi pasar. Catatan untuk diri sendiri: Bekerja itu penting tetapi Anda perlu menyisihkan waktu untuk bersama keluarga dan orang yang Anda cintai. Penting untuk memiliki keseimbangan yang tepat dalam hidup.

Jika ada kesempatan, apakah Anda ingin kembali ke Belanda untuk memulai bisnis baru?

Tidak. Di Indonesia orang suka inovasi, orang suka mencoba hal baru. Setiap kali saya kembali ke kampung halaman, hal itu selalu membuat saya takut. Saya selalu melakukan hal yang sama persis dengan yang saya lakukan ketika di sana. Yang ingin saya katakan adalah, mereka jauh lebih lambat dalam berinovasi, hal itu akan sangat melelahkan bagi saya. Saya sangat diberkati karena saya pergi ke Asia. Saat ini saya berada di tengah episentrum. Asia adalah tempat inovasi atau pasar baru akan menuju masa depan. Saya percaya akan ada ups and downs. Adalah saat yang menyenangkan berada di sini. Mengapa kembali ke masa lalu?


Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Arnold Egg Passionately Speaks about the Future in Digital Industry

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

It has been over 20 years since Arnold Sebastian Egg, or familiarly known as Arno Egg, arrived in Indonesia. During that time, he has been trying to build a business in this country, working in and out of e-commerce, making its way to the travel industry, until he found his passion in digital.

The holiday is what brought Arno to Indonesia, but doing digital business is what makes him stay. He started quite young with Tokobagus, spending over three years until finally get real traction, deciding to merge, and eventually left to build his own digital venture. In 2013, he finally got rid of all the limitations and became an Indonesian citizen to stay close to the market.

Arno is a product guy, he builds products based on what consumer needs. However, he still suggests that it’s not really appropriate to fall in love with your product and to listen to the people. He had wiped up a sweat and tasted sweetness in building startup from scratch. Tokobagus was his first legacy. He is now focused on developing digital products through Sprout Digital, and recently launched a new platform named Toco. Also, for the past 6 months, he’s been involved as a Founding Partner in a Venture Builder called Wright Partners.

Arnold Sebastian Egg (2)

DailySocial had a chance to virtually met him and discussed the digital industry in this country, and he was really passionate about it. Let’s hear more of the story.

When did you start to grow an interest in the tech industry?

I was one of those kids who occupied the first and only PC at school. I started at a very young age, and developed an interest in the computer field, then become the first batch of computer science students. At first, I studied in Rotterdam then moved to the US to catch up with the stuff I’m trying to learn. After that, I went back to Holland.

How did you end up in Indonesia? What makes you stay?

I went on holiday to Indonesia. I did enjoy sitting on the beach, then I find my way to the warnet and started talking to people over there. That’s how I started doing digital stuff in Indonesia. It is the best place for digital products in my opinion.

I’m from Holland, originally, already in Indonesia for a long time. What I know is in order to be successful, you need a big audience. In Europe, it’s very difficult because every country has its own different culture, which makes it a bit difficult to scale. In Indonesia, whether there are many different cultures, the way people do stuff is still the same. That’s why I started my digital journey in Indonesia.

Back then, it was difficult indeed, the internet was very expensive, even if there’s a big audience, nobody was able to go online. Therefore, in the early days, I started to set up a software house in Bali, building stuff for the European market, as a side project. It was the origin of Tokobagus.

So, Tokobagus used to be a side project, what’s the story behind that?

It was a funny story I told many times. It was from a client in Holland want to set up a classified business and then failed and blamed us for spending a lot of money without significant results. It was quite difficult to acquire users and finally run out before it was able to go into the market. I think most people forget that if you start a digital company, it takes quite a long time to get traction.

For Tokobagus, it was between 2005-2008 until we get real traction, around 3 years. I think what was the biggest lesson here, is you have to be patient. As the company grows, people have been doing stuff together in the current market, they merge with other companies. We acquired Berniaga because it’s clear that we both are fighting for the same spot. It just makes sense, and we can focus our energy and sources to develop the product and serve the consumers. It was also to bring peace to the market.

Arno Egg with team Tokobagus.com at event power seller community 2011
Arno Egg with team Tokobagus.com at event power seller community 2011

Not long after Tokobagus, you’ve started a new venture in the travel industry. How was it?

When I left, I had a very tight non-compete clause with Tokobagus, so I wasn’t able to do anything in the e-commerce base. After some research, the only thing I can do at the time was OTA. During that time I was also able to become Indonesian and keep close to the market, the situation is even better for me. When I was a foreigner, doing business in Indonesia is quite a challenge with all the limitations.

The travel industry was a very amazing journey but very difficult for me. Even though it’s getting more digital, it’s still quite a conventional internet way. My only experience in OTA was being on the side of the table. I spent those days setting up a network, getting context with the stuff. As soon as my limitation expired, I was able to get back into the e-commerce base. Even though I enjoy the journey, it was a very difficult battle to win, there were lots of big players with good funds and have been in the game for much longer. Also better companies with experience, therefore, it’s ok to fall, next!

Next, you did come back to the e-commerce industry. Can you share the journey?

Went back to e-commerce, I managed to work for the corporate, I was extra help for setting up the online channel for HP which focusses on the consumer and SMB market in Indonesia. In corporate industry, they do things totally differently. Even though they have amazingly strong products, it’s still quite slow in the digital pace. It wasn’t that very long journey, but I learned many things. It gave me insights on how to move on the market in corporate’s ways and how they execute differently than other digital startups. After that, I got asked by a friend to help out to set up the digital product in Lippo.

I jumped to Lippo mainly to set up a digital bank, which is now known as OVO. Because we were doing a lot of research, in the meantime, I also helped with MatahariMall.com (E-Commerce Marketplace), Mbiz.co.id (No.1 B2B e-procurement in Indonesia), and Red Carper Logistics (RCL – Logistics company specialized in last-mile fulfillment). However, OVO was my first deployment in the fintech space. Which is fun, because I like to do new things. We need to learn how to do the core banking system, switches, and how payments are done in Indonesia. It’s a great journey to learn so many and understand how normal banking works and how we can disrupt in that sense.

You’ve been into the e-commerce, travel industry, also fintech. What is your actual passion?

My passion is digital. I’m super happy that these days digital is just how normal business works. In that way, you need to be active in the digital space to be able to survive. It’s happening at a very fast pace. Indeed, my initial passion is in e-commerce, and while I manifest my time there, I still enjoy doing a lot of other stuff.

I’m happy with Sprout digital, helping people to set up new products, also do corporate venture building. During my time in Lippo or Bizzy, I had a lot of ideas that I was unable to get approval for or funding for. However, I can now execute that on my own and get that out into the market and ready to serve the Indonesian market. Whenever things pop out in my mind and I have time and work to try out and see what happens. I feel blessed.

At a certain period, you have to work and maintain several companies in parallel. How could you manage?

It’s very important to put your trust in the right people around you and good connection with all the people you work with. If you have a good layer around you then, it can make it easier, because they can fetch you the information you need to make decisions. In OVO we didn’t have that layer yet, so everybody reported directly to me, and it’s important to know everybody.

When you build connections, it’s not only at the working level but also on the private level, therefore, you can understand what people go through. I personally don’t believe everybody can function 100% all the time. There are always ups and downs. Everybody has personal issues and work issues. If you’re able to have a sense for that and you give people space when they need space. That’s important as well.

Arno Egg with Bizzy Korea
Arno Egg with Bizzy Korea

When you first come to Indonesia as a non-native, what was your impression of this country? Do you find it difficult to adjust?

Of course, that takes some time. I came from Europe and the pace is not as fast as when I live in Bali. In Jakarta, it’s getting more alive. For me, as I was quite young when I arrived, I was able to adjust easily, just try to mix in. I was the same kid as every foreigner. Arrived in Indonesia, I want to work here, so learn the language as fast as I can. Although English is fine, because people speak in English everywhere, when it comes to specific purposes, it’s really important to understand the locals. You’ll get a lot of information when you talk in the same language.

You’ve set up several companies, what makes you believe in the Indonesian market?

I think Indonesia is the perfect market for digital. It was quite a disappointment for some global investors that never put Indonesia on the map. There are so many islands and digital can bring equality to the market. It’s not done yet until this very day, I was working to digitize the supply chain for logistics, working on some projects with farmers to make sure those outside of Java can stay in the playing field. Infrastructure is not optimized yet and there are so many processes that are still inefficient, it’s such a broad country. Digital is an amazing tool to make it more efficient and put Indonesia in a competitive position in the region.

In school I learned a lot about Indonesia, there are lots of touchpoints in my past. I’m happy to call Indonesia my home at least, to be able to live my dream, Indonesia is the best market to do so. It has all the ingredients to be a very strong country. With all the unicorns and big players, if you compare to the other market in the region. There were lots of winners in the competition and the market is already educated. I’m so energized by knowing that.

Tell me about your current venture, Sprout Digital. What is your vision?

For me, Sprout is a foundation. I have a few objectives with Sprout, it’s to place new talents into the market. I’m so happy to see many people who previously in Tokobagus are currently having good positions in the market. That’s something I want to do here as well. I have a lot of young people, who only started in the digital industry. I want to give them the right tools to make it successful in the future.

And of course, Sprout enables me to set up those products which I like to have myself. We’ve just launched Toco. From the beginning, the Tokobagus story was never finished. Seeing e-commerce getting less and less worthwhile for smaller players made me think that it was time to pick up where I left off. Toco is now the same as Tokobagus in the past, but we will continue adding features to enable users to buy and sell more conveniently without taking away their hard-earned profit. Making it more transparent. At the moment it is a C2C and that will move more and more to a mixed marketplace where you have C2C and B2C mixed. The process will be slow but sure.

Arnold Sebastian Egg

My mind always thinking about new things. Besides supporting a lot of companies to succeed in the digital space, Sprout enables me to be able to get those ideas out of my mind into products which people can start using.

It’s terrible what happened to the world, really painful to see people suffering because of Covid, not only in health but also in business. But there’s only one thing that’s positive, to speed up the education of the market. I went to Lampung for a project to help farmers. I saw everybody have smartphones for their children’s education. And that speeds up the whole digital process, people start to understand how to use it. It’ll move the distance closer between villagers and the urban population. Digital transformation is helping balance the level out of this playing field and moving everybody under the same phase.

Arnold Sebastian Egg with tim Sprout-Toco
Arnold Sebastian Egg with Sprout and Toco team

In this digital era, how do you picture our tech industry will be in the future?

I’m happy to see how people are now setting up their businesses. Indonesia on its own is already an interesting market, we don’t have to look very much into the global from the beginning. If you want to start something in Indonesia, if you’re successful it’s a big market to serve. Not that I don’t see Indonesia can compete in the global market, I think in the future we might be able to. But I think it’s also important to take it a step at a time. Don’t do it because you want to, if there’s a demand for it, please do. For me, It’s good enough to be successful in Indonesia, going global is never really my biggest objective.

Organic growth is fundamental. You can speed up things a little but you should not implode buying all your users. It’ll leave you with nothing. I admit to being old-fashioned, it makes me against the odds. For me, it’s all about PnL (profit and loss). Does this business make sense? can you scale it? If you scale it, does it still make money or not? I was doing products because I want to serve customers. I understand the customers, what they need, and the problems. I think that’s also why Indonesian companies can compete with the global players as they arrived. Amazon, eBay, Rakuten don’t understand the users as we were understanding our customers. It was an eye-opener experience.

However when it comes to investment, it’s something that people should understand. Companies are bragging about how they raise more money while what they should really do is to focus on building the proper company. It’s important to make the investment climate healthy.

You’ve started several companies, anything you want to say to those tech/digital enthusiasts trying to make it into this industry?

You need to love what you’re doing, therefore, every struggle would be fine because you enjoyed it. There’s no success story that happened from day one. It’s always a struggle, it’s always a fight. It’s very difficult to be successful. I’m saying because I experience it myself, every startup will be painful and have a lot of work. I started Tokobagus with my own domain, build it with a lot of my time. If I may say, bootstrap is a good way to start a business.

Don’t fall in love with your own product. If your consumers said they don’t like that, believe them. It’s ok to fail, it’s better to fail fast, than in the long term. Create a maneuver, pivot, understand what the consumer wants and do it again. If you want to do something totally new, be ready for an uphill battle because you need to educate the market. Note to self: Working is important but you need to find time to spend with your family and loved ones. It’s important to have the proper balance in life.

If you had the chance, would you go back to Holland and start a new venture?

Nah. In Indonesia, people like innovations, people like to try out new things. Every time I go back, it always scares me. I always do the exact same thing I’ve been doing. What I want to say is, they’re much slower in innovations, it’ll be very tiresome for me. I’m super blessed that I went to Asia. I’m now in the middle of the epicenter. Asia is where the innovation or new market is going to be for the perceivable future. I believe in things will go up and down. It’s a fun time to be here. Why go back to the past?

Mencari “Pemenang” Layanan E-Commerce di Indonesia

Tahun 90-an menjadi titik awal mulai berdirinya bisnis memanfaatkan teknologi terkini yaitu internet. Mulai dari kehadiran e-mail, mesin pencari, browser hingga layanan e-commerce yang terbilang masih baru namun menunjukkan potensi yang cukup besar.

Pertengahan tahun 90-an hingga awal tahun 2000 mulai muncul layanan e-commerce baru yang menawarkan kemudahan proses pembelian hingga pengantaran kepada masyarakat. Di antaranya adalah Amazon yang diluncurkan pada tahun 1995 oleh pendirinya Jeff Bezos. Amazon awalnya adalah toko buku yang dijual secara online. Saat ini Amazon sudah memiliki layanan yang luas, bukan lagi menjual buku secara online, namun juga produk busana, kebutuhan sehari-hari, hingga komputasi awan.

Menurut data Statista, total penjualan Amazon per kuartal saat ini sudah lebih dari $30 miliar.

Layanan e-commerce lainnya yang muncul dan terbilang sukses saat dotcom bubble di tahun 90-an adalah eBay, yang pada tahun 1995 muncul sebagai situs lelang online. Saat ini eBay telah menjadi marketplace global untuk menjual beragam produk dengan daftar barang sebanyak 103,6 juta di seluruh dunia dan penambahan daftar barang sebanyak 6,1 juta setiap hari, eBay menawarkan kesempatan kepada semua orang untuk membeli dan menjual barang.

Masing-masing layanan e-commerce ini telah melakukan ekspansi hampir di seluruh dunia. eBay sendiri sudah memiliki kantor perwakilan di Indonesia dan diperkirakan Amazon, yang bakal hadir di Singapura, juga bakal merambah ke Indonesia.

Pelajaran yang bisa diambil dari Amazon dan eBay adalah dibutuhkan waktu yang cukup lama, inovasi terkini, dan produk yang bervariasi untuk bisa menjadi nomor satu.

Prediksi layanan e-commerce unggulan di tanah air

Di Indonesia sendiri layanan e-commerce mulai menjadi bermunculan sejak akhir tahun 90-an dengan kehadiran Bhinneka yang berawal sebagai offline store kemudian mulai membangun online store dengan produk yang terbatas pada tahun 1999. Hingga kini Bhinneka masih tetap eksis dengan ragam produk elektronik terkini dan terlengkap di Indonesia.

Pada tahun 2006 Tokobagus diluncurkan dan kini telah berubah menjadi OLX. Tahun 2009 Tokopedia hadir, disusul Bukalapak pada tahun 2010 dan Blibli pada tahun 2011. Semua adalah layanan e-commerce lokal yang masih tetap eksis bahkan menunjukkan peningkatan yang cukup besar dari sisi pelanggan, produk, hingga transaksi.

“Dibanding tahun sebelumnya, perkembangan e-commerce di Indonesia bertumbuh dengan pesat pada tahun 2016. Apalagi dengan adanya akuisisi dari perusahaan Cina baru-baru ini. Kami rasa peluang investasi yang masuk ke Indonesia akan semakin maju. Pasar Indonesia juga masih memiliki banyak ruang untuk berkembang, terlebih dengan penetrasi internet saat ini yang berada di angka 35% yang masih terus meningkat,” kata Senior Manager Regional Deliveree Nattapak Atichartakarn.

Menurut Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), yang sekaligus CEO Blanja, Aulia E Marinto, menjadi nomor satu untuk bisnis e-commerce adalah impian seluruh pelaku usaha. Semua pihak pasti mengejar untuk mengarah ke arah situ. Hanya saja, saat ini masih dalam tahap proses, belum sampai tahap final.

Dia bilang, tanda-tanda yang sudah final bakal terlihat dari volume bisnisnya yang sangat besar dan digunakan oleh hampir seluruh orang Indonesia. Waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke titik itu, Aulia memperkirakan, sekitar 5-10 tahun lagi. Aulia berharap, dalam kurun waktu tersebut, yang menjadi pemain nomor satu berasal dari pemain lokal bukan dari asing.

“Saat ini peluangnya masih terbuka, jadi belum ada yang bisa bilang dia adalah pemain nomor satu atau bukan. Kami juga berharap pemenangnya berasal dari lokal, makanya mereka harus didorong untuk berlomba dan inovasi, jangan mau kalah karena ini kan bagian dari kompetisi,” ucapnya.

Joedi Wisuda, Country Director True Money Indonesia, mengatakan sebaiknya jangan hanya ada satu pemenang, sebab pada dasarnya semua pemain harus jadi pemenang di bisnisnya masing-masing. Yang terpenting adalah bagaimana memenangkan hati pelanggannya masing-masing.

“Agar industri ini tetap maju dalam melayani pelanggan sebaik-baiknya, sehingga pemenangnya adalah semua, tidak satu saja. Dengan demikian, kompetisi akan jadi lebih sehat, tidak saling menjegal. Semua harus bergandengan tangan untuk melayani lebih banyak pelanggan,” katanya.

Tokopedia, Bukalapak, dan beragam inovasi baru yang dihadirkan

Di tahun 2016 ini masih terlalu dini untuk menyimpulkan siapa layanan e-commerce yang terdepan, seperti yang telah terjadi secara alami di AS dengan Amazon dan eBay. Menurut survei yang dilakukan Google Indonesia beberapa waktu yang lalu, telah muncul lima layanan e-commerce favorit di Indonesia. Yang benar-benar lokal adalah Tokopedia di peringkat kedua dan Bukalapak di peringkat ketiga. Peringkat pertamanya adalah Lazada yang notabene sementara ini adalah layanan e-commerce terbesar di Asia Tenggara dan telah diakuisisi Alibaba.

Tokopedia dan Bukalapak saling mengejar dengan beragam pilihan produk, promo hingga channel-channel baru yang ditawarkan. Di sisi lain, untuk menekan ‘burn rate‘, mereka juga dituntut untuk bisa menghasilkan profit yang stabil dan berkelanjutan.

Dalam sebuah kesempatan terpisah DailySocial berbincang dengan CEO Tokopedia William Tanuwijaya. William menyadari sepenuhnya agar bisnis bisa berjalan dengan baik dan tahan lama, diperlukan inovasi baru yang diharapkan bisa menjadi celah baru untuk mendatangkan profit. Di antaranya adalah channel pembayaran secara digital, kampanye offline, hingga mengedepankan promo harga transparan kepada masyarakat.

“Kami akan terus menghadirkan inovasi baru, mulai dari ragam pilihan produk, strategi penjualan hingga pilihan channel pembayaran. Untuk ke depannya Tokopedia juga berencana bisa menjadi platform baru untuk pembayaran tilang lalu lintas untuk motor dan mobil untuk masyarakat yang membutuhkan,” kata William.

Tentang “posisi” Tokopedia saat ini, William cukup bangga dan memberikan apresiasi kepada pihak-pihak terkait hingga pelanggan setia yang telah memilih Tokopedia sebagai layanan e-commerce favorit di Indonesia. Untuk bisa memberikan layanan lebih kepada pengguna, Tokopedia pun berusaha untuk mengakali semua tantangan dan kendala yang ada, mulai dari infrastruktur hingga logistik.

“Fokus kami saat ini adalah memberikan pelayanan lebih kepada masyarakat yang tinggal di luar pulau Jawa dengan menerapkan strategi lokalisasi, yaitu menempatkan merchant-merchant terbaik di spot strategis yang bisa dijangkau oleh masyarakat Indonesia yang tinggal di kawasan terpencil dan memiliki akses terbatas untuk mencapai kota besar dan sulit untuk dilalui oleh logistik,” kata William.

Berbeda dengan Tokopedia, Bukalapak sendiri mengedepankan strategi growth hacking, terutama sejak kehadiran COO baru Willix Halim. Disinggung soal posisi Bukalapak saat ini yang menjadi favorit namun masih harus berbagi popularitas dengan Tokopedia, Willix mengungkapkan tidak heran ketika pada akhirnya tidak hanya Bukalapak yang unggul, tetapi juga dua bahkan tiga layanan e-commerce lainnya.

“Di Bukalapak sendiri saat ini sudah cukup ‘happy‘ dengan posisi yang ada, yaitu menjadi salah satu layanan favorit masyarakat di seluruh Indonesia. Kerja keras selama ini tentunya tidak akan berhenti dengan beragam inovasi, pilihan produk hingga strategi pemasaran yang akan terus kami berikan,” kata Willix.

Selain itu Willix juga melihat untuk ke depannya bakal muncul layanan e-commerce “niche market” yang hadir dan diperkirakan bisa tampil lebih baik di antara layanan e-commerce yang sudah ada.

“Saya melihat ke depannya akan bermunculan layanan e-commerce baru yang lebih ‘niche‘ hal tersebut tentunya bisa menjadi kompetitor yang baru dan menarik untuk diamati,” kata Willix.

Apakah Tokopedia dan Bukalapak masih mampu mempertahankan posisinya sebagai layanan e-commerce favorit di Indonesia hingga tahun 2017 mendatang? Atau akan muncul layanan e-commerce “niche market” seiring dengan tren dan demand masyarakat saat ini?.

Pada akhirnya, siapa pun pemenangnya, diharapkan layanan-layanan e-commerce lokal tersebut bisa memberikan kontribusi lebih untuk masyarakat Indonesia dan mampu bersaing secara global.


Disclosure: Marsya Nabila berkontribusi dalam pembuatan artikel ini

Layanan Marketplace C2C Jualo Rekrut Remco Lupker

Layanan marketplace C2C Jualo baru saja melakukan langkah strategis dengan merekrut Remco Lupker, yang kita kenal merupakan salah satu pendiri Tokobagus, saat ini bertransformasi menjadi pemimpin pasar marketplace C2C OLX Indonesia. Remco bakal menjadi Senior Industry Advisor dan akan terlibat dalam operasional Jualo.

Jualo, yang saja memperoleh pendanaan Seri A dari NSI Ventures dan Alpha JWC Ventures, bisa jadi adalah satu-satunya pesaing OLX (yang telah merger dengan Berniaga) di ranah C2C (atau juga sering disebut sebagai classified ads atau iklan baris). Remco, yang meninggalkan Tokobagus di tahun 2012 dan kemudian mendirikan perusahaan teknologi periklanan Ambient Digital Indonesia, diharapkan menjadi orang yang tepat membantu Jualo lebih memahami dan pada akhirnya menguasai pasar Indonesia.

Pendiri Tokobagus lainnya, Arno Egg, saat ini menjadi CTO Lippo Group yang memiliki layanan marketplace B2C MatahariMall. Remco dan Arno mendirikan Tokobagus di tahun 2007 dan meninggalkan perusahaan tahun 2012 saat menjadi pemimpin pasar.

[Baca juga: Wawancara Dengan Remco Lupker: Saya Berencana Untuk Tetap di Indonesia]

Pendiri Jualo Chaim Fetter mengatakan, “Kami mencari seseorang yang memiliki kemampuan dan pengalaman untuk mendorong Jualo ke kursi depan pasar online untuk barang-barang bekas. Remco adalah pelopor di bidang ini – jadi dia adalah pilihan yang paling tepat!”

Remco sendiri disebutkan mau bergabung dengan Jualo setelah kagum dengan perkembangan Jualo selama ini dengan budget yang relatif sedikit, jika dibandingkan para pesaingnya.

Secara traffic, memang Jualo dan OLX belum mencapai level yang sama. Untuk itu mari kita lihat apakah kehadiran Remco di jajaran pendukung Jualo bakal membantu layanan yang didirikan Chaim di tahun 2014 menjadi pesaing kuat OLX.

[Baca juga: Pencarian Hidup Bawa Chaim Fetter Dirikan Jualo]

“Dengan melihat Jualo lebih cermat, kami telah menemukan beberapa aspek yang bisa dikembangkan lebih jauh lagi, khususnya dalam teknologi dan marketing, sehingga akan membuat tim semakin kuat. Ini adalah kabar baik karena itu berarti kami dapat membuat langkah besar ke depan dalam waktu singkat. Kami sedang dalam proses menambah tim dengan beberapa orang yang terbaik dan meningkatkan produk kami di segala hal,” kata Remco.

Application Information Will Show Up Here

OLX Hadirkan Tampilan Baru dengan Pencarian Iklan yang Lebih Merinci

Setelah resmi mengakuisi Berniaga, OLX Indonesia menghadirkan langkah baru dengan merilis tampilan baru pada laman iklan barisnya. Langkah ini diambil guna memberikan pelayanan yang lebih baik kepada pelanggan, dimana tampilan baru OLX kini menjadi lebih user friendly. Continue reading OLX Hadirkan Tampilan Baru dengan Pencarian Iklan yang Lebih Merinci

Tanggapan OLX Indonesia Terhadap Ulasan DailySocial

puzzle-pieces

Berkaitan dengan ulasan kami mengenai analisa trafik OLX Indonesia yang ternyata tak selaras dengan peningkatan brand awareness yang diklaimnya sendiri, pihak OLX Indonesia, melalui surat tertulis resmi menyampaikan hak jawabnya kepada kami soal referensi tambahan data dan informasi yang menyatakan perlu adanya peninjauan ulang kembali terhadap data analisa SimilarWeb yang kami manfaatkan kala itu. Continue reading Tanggapan OLX Indonesia Terhadap Ulasan DailySocial

OLX Indonesia’s Traction Is Not In Line with Its Brand Awareness’ Positive Trend

As we reported (and questioned) earlier, OLX self-claimed that the re-branding decision that it made doesn’t affect the platform’s brand awareness at all. It relied on the data by MetrixLab, which stated that despite the platform got re-branded, its brand awareness remains high. However, the data that we found at SimilarWeb and Alexa suggested differently. In this regard, both institutions found out that the number of visits that OLX has after the re-branding keeps decreasing significantly. Continue reading OLX Indonesia’s Traction Is Not In Line with Its Brand Awareness’ Positive Trend

Trafik OLX Indonesia Tak Selaras Dengan Peningkatan Brand Awareness

chart-down

Klaim tentang awareness masyarakat terhadap OLX Indonesia yang kami beritakan beberapa waktu lalu, mungkin berhasil memberikan anggapan bahwa keputusan rebranding yang dilakukannya tidak terlalu mempengaruhi keseluruhan performa startup yang dahulu bernama Tokobagus. Kami berusaha melakukan penilaian tersendiri, apakah setelah berganti nama bulan Mei lalu performa traffic OLX Indonesia tidak terpengaruh masalah rebrandingContinue reading Trafik OLX Indonesia Tak Selaras Dengan Peningkatan Brand Awareness

OLX Claims that Re-Branding Does not Affect Its Brand Awareness

Ever since getting officially re-branded last May, OLX Indonesia (previously Tokobagus) self-claimed that it has yet encountered any significant challenges in regard to its brand awareness. At a glance, this claim, which gets backed up by a research by MetrixLab, seems to be successful in countering negative comments suggesting that the re-branding was a mistake. Continue reading OLX Claims that Re-Branding Does not Affect Its Brand Awareness