Venture Builder “Starventure” Mengumumkan Kehadiran

Perusahaan venture builder Starventure mengumumkan kehadirannya di Indonesia. Starventure didirikan oleh pendiri Ideosource Edward Chamdani dan Jeremy Michael Sutandy.

Dalam keterangan resmi, Starventure fokus pada penciptaan dan peluncuran bisnis atau startup baru secara sistematis. Caranya melalui memberikan dukungan bagi pelaku bisnis yang baru mulai atau startup yang berada di tahap awal. Starventure menyediakan sumber daya dan keahlian untuk mereka menuju kesuksesan dan menjadi pemain global.

Co-founder Starventure Jeremia Michael Sutandy menuturkan, pihaknya ingin terlibat lebih awal karena untuk mengidentifikasi ide bisnis yang memiliki potensi untuk menghasilkan pertumbuhan yang tinggi dan dampak yang besar, sehingga memiliki peluang investasi. Perusahaan secara proaktif mengakselerasi pengembangan ide-ide bisnis yang inovatif, untuk kemudian divalidasi.

Pada tahapan ini, validasi ide bisnis merupakan langkah yang sangat penting sebelum dieksekusi menjadi produk dan jasa. Untuk melakukan analisa dan verifikasi, Starventure melibatkan pelaku bisnis yang sudah mapan dari industri yang sejenis dengan startup tersebut sebagai mentor.

“Starventure mempertemukan para pelaku bisnis, investor, dan mentor berpengalaman dalam sebuah ekosistem yang sehat dan saling mendukung. Ekosistem ini menyediakan kerangka terstruktur dan sumber daya bersama sehingga Starventure dapat mengakselerasi perkembangan ide menjadi produk atau jasa, lalu meluncurkannya ke pasar dengan lebih cepat,” terang Jeremy.

Kehadiran Starventure di Indonesia tak hanya untuk membuka jalan para pelaku bisnis bisa naik kelas dan meraih kesuksesan. Lebih dari itu, Starventure juga memiliki misi untuk mengembangkan ekosistem startup dan semangat kewirausahaan di Indonesia dengan membina talenta baru, mendorong inovasi, dan menarik lebih banyak investasi.

“Kami percaya bahwa dukungan dan bimbingan sejak awal dapat membuat bisnis menjadi lebih kuat dengan pertumbuhan yang lebih cepat, sehingga bisnis menjadi scalable dan investable,” ucapnya.

Diklaim, dengan bimbingan yang komprehensif ini, ditargetkan setidaknya bisnis atau startup dapat mengalami pertumbuhan antara 5%-20% setiap bulannya.

Pihaknya juga tidak memberi batasan hanya bisnis di bidang tertentu, karena yang diutamakan adalah skalabilitasnya. Fokus dari Starventure adalah bisnis yang dapat memberi manfaat dan memberi nilai tambah bagi bisnis lainnya. Dengan demikian akan terbentuk ekosistem yang berkelanjutan di mana para pelaku bisnis dapat saling menopang antar berbagai kepentingan bisnis.

Kehadiran Starventure meramaikan pemain venture builder yang sudah hadir di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah Ecoxyztem, UMG IdeaLab, Terratai, Antler, WGSHub, dan Wright Partners.

Venture Builder Terratai Dapat Pendanaan Rp31 Miliar dari UBS Optimus Foundation dan Swiss Re Foundation

Terratai, venture builder yang fokus pada sektor impact, mengumumkan perolehan pendanaan awal senilai $2 juta (sekitar Rp31 miliar) dari UBS Optimus Foundation dan Swiss Re Foundation. Dana akan diarahkan untuk meluncurkan program cohort pertama di Indonesia, yang berpotensi diperluas ke Asia Tenggara dalam mendatang.

Terratai akan membuat program untuk membangun usaha-usaha baru tahap awal, yang dapat menunjukkan dampak terukur terhadap alam dan keanekaragaman hayati, dan memberikan dampak di berbagai metrik yang ditetapkan secara ketat. Termasuk di antaranya: mitigasi karbon dan penghindaran emisi, perlindungan keanekaragaman hayati dan pengelolaan spesies, perlindungan dan restorasi habitat, serta peningkatan jasa ekosistem.

Dalam keterangan resmi, Founder & CEO Terratai Matt Leggett menyampaikan, kemitraan antara Terratai dengan dua investornya ini memperlihatkan komitmen bersama dalam meninjau ulang bagaimana modal dapat disalurkan untuk Solusi Berbasis Alam (nature-based solutions). Serta, langkah penting dalam menutup kesenjangan pendanaan global sebesar $800 miliar yang diperlukan untuk melindungi dan memulihkan alam setiap tahunnya.

“Kemitraan dengan UBS Optimus dan Swiss Re Foundation kini memungkinkan kami untuk mempercepat misi kami dalam mengidentifikasi model bisnis baru yang berani dan dapat melindungi lahan dan bentang laut yang paling berisiko di Indonesia, serta memberikan dukungan yang sesuai dan fasilitasi investasi tahap awal yang diperlukan untuk membawa perusahaan-perusahaan rintisan berkembang, dan membuka jalan ke aktivitas ekonomi yang memperhatikan kelestarian alam,” ujar Leggett, Rabu (22/11).

CEO UBS Optimus Foundation Maya Ziswiler menambahkan, Indonesia berada di garis depan dalam perjuangan global melawan perubahan iklim. Lebih dari separuh daratannya ditutupi oleh hutan, dan sangat penting untuk melestarikan sumber daya alamnya dengan bantuan solusi berbasis alam.

“Kemitraan baru kami dengan Terratai untuk melindungi keanekaragaman hayati dan penghidupan yang layak bagi masyarakat Indonesia, dan seiring waktu di Asia Tenggara, adalah contoh sempurna bagaimana UBS Optimus Foundation menginkubasi usaha-usaha yang berdampak, membuat mereka menjadi lebih siap untuk menerima investasi dan terukur, sambil memastikan bahwa mereka tetap dapat mencapai hasil positif dalam perjuangan melawan perubahan iklim, keanekaragaman hayati, dan komunitas lokal,” imbuh dia.

Direktur Swiss Re Foundation Stefan Huber Fux menyampaikan, misi Terratai sejalan dengan komitmennya dalam membangun dunia yang lebih tangguh. “Kami sangat bersemangat untuk meningkatkan solusi berbasis alam, yang merupakan fokus utama dalam komitmen strategis kami untuk bersama-sama membangun ekosistem yang dinamis dengan peluang investasi untuk solusi yang mempunyai dampak positif, tidak hanya terhadap tantangan lingkungan, namun juga membuka peluang ekonomi bagi masyarakat lokal.”

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sistem pangan global – cara kita menanam, memanen, memproses, dan memperdagangkan apa yang dimakan – sangat bergantung pada alam. Namun sistem pangan global juga merupakan penyebab terbesar hilangnya alam dan keanekaragaman hayati, serta bertanggung jawab atas lebih dari 30% emisi gas rumah kaca global.

Diperkiraan populasi masyarakat di Asia Tenggara akan bertambah menjadi 770 juta pada tahun 2040, sehingga memberikan tekanan lebih lanjut pada ekosistem laut dan darat untuk produksi pangan. Berdasarkan kondisi saat ini, kawasan ini bisa kehilangan 70% habitat alami dan 40% spesies, kecuali ada tindakan tegas yang diambil.

Sayangnya, solusi berbasis alam masih kekurangan dana. Dari laporan yang disusun oleh The Paulson Institute bersama Nature Conservancy memperkirakan, pendanaan untuk konservasi dan restorasi ekosistem tidak mencukupi sebanyak $711 miliar per tahun.

Kesenjangan yang kian melebar ini tidak dapat diatasi hanya dengan pendanaan filantropis dan donor saja. Satu-satunya cara berkelanjutan untuk membiayai solusi berbasis alam adalah dengan memobilisasi lebih banyak modal dari investor swasta.

Program Terratai

Mengutip dari situs Swiss Re Foundation, Terratai akan mengidentifikasi, menciptakan dan mengembangkan perusahaan berbasis alam tahap awal yang mengatasi tantangan sistemik yang menyebabkan hilangnya alam dan keanekaragaman hayati di Asia.

Tim Terratai menyediakan sumber daya, keahlian, dan investasi yang disesuaikan dengan kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan perusahaan-perusahaan ini hingga mereka dapat mencapai skala dan menarik modal institusional, biasanya dalam jangka waktu setidaknya dua tahun.

Terratai berinvestasi pada usaha melalui instrumen pembiayaan langsung, seperti pinjaman, ekuitas, dan bagi hasil dan/atau melalui “sweat equity” dan menawarkan akses ke model pengembangan usaha dan penyediaan layanan, yang disesuaikan dengan kebutuhan spesifik masing-masing usaha.

Dengan fokus di Asia Tenggara, Terratai dirancang untuk membangun peluang investasi yang dinamis, menunjukkan kelayakan model bisnis berbasis alam dan dampak positifnya terhadap tantangan lingkungan. Pendekatan yang dilakukan mencerminkan urgensi krisis lingkungan dan iklim, serta perlunya kesabaran dalam mengembangkan solusi kompleks yang diperlukan untuk mengatasinya.

Agung Bezharie Didapuk sebagai Partner Antler Indonesia

Startup builder sekaligus modal ventura tahap awal Antler mengumumkan penetapan Agung Bezharie sebagai Partner untuk Indonesia. Agung yang merupakan Co-Founder & CEO Warung Pintar ini akan memimpin strategi investasi Antler di Indonesia.

Pengumuman ini disampaikan pasca perusahaan mengumumkan rencananya untuk melanjutkan dukungan bagi startup dengan tujuan investasi di lebih dari 30 startup sepanjang tahun ini. Sejauh ini mereka telah berinvestasi ke 792 perusahaan yang tersebar di 25 kota di seluruh dunia dengan akumulasi nilai portofolio sebesar $3,7 miliar.

“Berbekal pengalaman terakhir saya sebagai startup founder, bekerja dengan para founder startup baru untuk berinovasi dan memberikan dampak yang positif pada Indonesia merupakan salah satu misi personal saya,” ujar Agung Bezharie dalam keterangan resmi, Rabu (6/7).

Agung melanjutkan, “Pendekatan investasi ‘day zero’ yang dilakukan Antler sangat sejalan dengan pandangan saya untuk dapat membantu startup founder di masa mendatang, sehingga dapat menciptakan inovasi yang lebih mutakhir di pasar. Saya berharap melalui pendekatan ini serta pengalaman saya sebelumnya, Antler Indonesia dapat memberi kontribusi positif dalam mendorong pertumbuhan.”

Sebagai catatan, Warung Pintar merupakan platform digital yang menghubungkan ritel mikro dengan pemasok (manufaktur, distributor, grosir) untuk mengatasi rantai pasokan ritel tradisional yang terfragmentasi di Indonesia. Pada 2022, Warung Pintar diakuisisi oleh SIRCLO Group.

Sebelum bergabung dengan Warung Pintar, Agung mendedikasikan waktunya untuk berkontribusi pada organisasi ternama, seperti East Ventures dan Global Entrepreneurship Program Indonesia. Di sana, ia berperan aktif dalam mendukung para founder dengan memberikan akses ke pengetahuan, tools, serta jaringan mitra sehingga mereka dapat mengembangkan perusahaannya pada lanskap bisnis Indonesia dan global yang kian kompetitif.

Co-founder & Managing Partner Asia Antler Jussi Salovaara menyampaikan, dirinya senang menyambut Agung ke dalam tim. Menurutnya, pengalaman Agung sebagai pendiri startup merupakan bukti kemampuannya untuk menavigasi lanskap kewirausahaan melalui pemahaman yang mendalam mengenai ekosistem startup, digabungkan dengan kecintaannya pada solusi berbasis teknologi, sangat selaras dengan misi Antler.

“Dengan tujuan mendukung lebih dari 30 startup luar biasa di Indonesia tahun ini, kami yakin wawasan kepemimpinan yang dimiliki Agung akan berperan penting dalam membantu para founder mewujudkan visi mereka,” ujar Salovaara.

Didirikan di Singapura pada 2018, Antler memiliki misi untuk memberi dampak baik pada dunia dengan berinvestasi pada para founder startup yang luar biasa dari seluruh dunia. Para founder startup dapat mengembangkan perusahaan mereka lebih cepat dengan program residensi dari Antler, dapat membangun tim, bergabung dengan komunitas global para founder, dan akses untuk pendanaan sehingga dapat bertumbuh lebih cepat.

Program residensi berikutnya di Indonesia akan dimulai pada Oktober 2023, yang akan berlangsung enam bulan dalam dua tahap. Tahap pertama akan berfokus mengenai membangun tim yang tepat, dengan co-founders yang memiliki keahlian yang saling melengkapi. Selama periode ini, Antler akan memberi akses pengetahuan dan ahli dari penjuru dunia untuk memungkinkan para founder startup memvalidasi ide bisnis dan membuktikan kecocokan produk dengan pasar yang ada.

Setelah tahap pertama yang akan berlangsung selama sepuluh minggu, tim terkuat akan dipilih untuk mendapatkan pendanaan dari pre-seed sampai seterusnya, serta berkembang di seluruh Indonesia dan Asia Tenggara.

Sejak dua tahun hadir di Indonesia, berdasarkan data di situsnya, Antler telah mendanai 25 startup, mayoritas berasal dari e-commerce, fintech, dan edutech serta menariknya seperempat dari startup tersebut dipimpin oleh pendiri perempuan.

Academix (edtech) Geekzwolf (web3) Refundway (fintech)
Akar (agritech) Habaku (SaaS) Secha (proptech)
Bling (e-commerce) Healthpro (healthtech) Sesama Care (healthtech)
Blink (fintech) Lister (edtech) Solutiv (fintech)
Car Clicks (e-commerce) Paireds (security) Teroka (e-commerce)
CareNow+ (healthtech) Pin’J (fintech) Truclimate (clean tech)
Eduku (edtech) Qalboo (healthtech) Ziwa (healthtech)
Envio (logistic) Rassa (e-commerce) Eten (SaaS)
Reach! Finance (fintech)

Dalam situs juga dipaparkan pendanaan untuk startup yang memiliki bisnis di Indonesia, namun tercatat di Antler Singapura. Beberapa namanya adalah Base (ritel), Brick (fintech), Cove (proptech), Sampingan (rebrand jadi Staffinc), dan Ituloh! (consumer tech).

Antler Akan Berinvestasi ke 30 Startup Indonesia Tahun Ini

Startup builder sekaligus VC tahap awal Antler mengungkapkan komitmennya untuk meningkatkan investasi di Indonesia hingga 30 perusahaan sepanjang tahun ini. Adapun sejak kehadirannya di Indonesia pada 2021, berdasarkan data di situs web mereka telah mendanai 25 startup, mayoritas berasal dari e-commerce, fintech, dan edutech, serta menariknya seperempat dari startup tersebut dipimpin oleh pendiri perempuan.

Berikut portofolio startup Indonesia yang telah didanai Antler, mengutip dari situs Antler:

Academix (edtech) Geekzwolf (web3) Refundway (fintech)
Akar (agritech) Habaku (SaaS) Secha (proptech)
Bling (e-commerce) Healthpro (healthtech) Sesama Care (healthtech)
Blink (fintech) Lister (edtech) Solutiv (fintech)
Car Clicks (e-commerce) Paireds (security) Teroka (e-commerce)
CareNow+ (healthtech) Pin’J (fintech) Truclimate (cleantech)
Eduku (edtech) Qalboo (healthtech) Ziwa (healthtech)
Envio (e-logisctic) Rassa (e-commerce) Eten (SaaS)
Reach! Finance (fintech)

Dalam situs juga dipaparkan pendanaan untuk startup yang memiliki bisnis di Indonesia, namun tercatat di Antler Singapura. Beberapa namanya adalah Base (ritel), Brick (fintech), Cove (proptech), Sampingan (rebrand jadi Staffinc), dan Ituloh! (consumer-tech).

Lebih lanjut dalam laporan tahunan global Antler berjudul “A Window into Progress”, diungkapkan bahwa Antler telah menerima lebih dari 2.910 pendiri startup yang mengajukan aplikasi pada 2022. Angka tersebut melonjak lebih dari 2.500 aplikasi pada 2021. Jumlah ini mencerminkan Indonesia sebagai pasar digital yang berkembang cepat dan tempat berkembang biaknya inovasi dan kewirausahaan.

“Sebagai investor yang mendukung para pendiri startup paling bersemangat di dunia dari hari pertama hingga sukses, kami mendukung para pendiri startup untuk meluncurkan dan menskalakan generasi berikutnya dari perusahaan yang hebat untuk menangani beberapa masalah yang paling mendesak di zaman kita. Dengan melakukan itu, kami memajukan masyarakat dan membuat kemajuan tak terelakan,” ujar Co-founder dan Managing Partner Asia Antler Jussi Salovaara dalam keterangan resmi, Rabu (24/5).

Dalam cakupan regional, Antler menerima lebih dari 9 ribu aplikasi yang dikirimkan oleh para founder ke program pendiri. Angka tersebut naik dari sebelumnya sebanyak 7 ribu aplikasi di 2021. Menurut Salovaara, pertumbuhan ini mencerminkan Asia Tenggara sebagai pasar digital yang berkembang pesat dan peluang untuk berinovasi, sekaligus menempatkan Antler sebagai tujuan pilihan bagi para founder untuk meluncurkan startup mereka.

Dari aplikasi tersebut, Antler mendanai 72 perusahaan, mulai dari e-commerce, SaaS, fintech, dan logistik, yang tersebar di Singapura, Indonesia, dan Vietnam. Startup tersebut akan mendapatkan keunggulan kompetitif untuk berkembang di kawasan ini dan sekitarnya, memanfaatkan kehadiran global Antler di 25 kota di seluruh dunia.

Sebagai platform global untuk penskalaan dan modal, Antler telah membuka akses ke putaran penggalangan dana berikutnya oleh perusahaan VC tingkat satu seperti Sequoia, Target Global, Golden Gate Ventures, Y Combinator, 500 Global, East Ventures, dan lainnya. Hasilnya, para pendiri Antler terus mengumpulkan lebih dari $400 juta setelah mendirikan startup mereka bersama Antler.

Dalam program inkubasinya, Antler membaginya menjadi dua fase. Fase 1 didedikasikan untuk menemukan co-founder, memvalidasi ide, dan mengembangkan bisnis. Fase 2 adalah jalur akselerasi, para founder akan menggunakan pendanaan Antler untuk mengeksekusi ide, memasukkan pelanggan, dan mendapatkan daya tarik untuk akhirnya meningkatkan putaran awal.

Sepanjang program yang berlangsung selama enam bulan ini, Antler menawarkan ruang kantor, mentor pribadi, presentasi dengan pembicara eksternal, dan koneksi ke jaringan mentor global. Jika dalam Fase 2 startup memperoleh pendanaan dari Antler, mereka akan mendapat dana mulai dari $125 ribu untuk 10% saham di perusahaan.

Apabila dalam perkembangan startup terus berkembang pesat, Antler juga membuka opsi untuk terus mendukung hingga putaran seri C. Cohort terbaru untuk Indonesia akan segera di buka pada awal Juni 2023 ini.

Venture Builder “Ecoxyztem” Peroleh Pendanaan, Siap Kembangkan Empat Startup Berdampak per Tahun

Ecoxyztem (PT Greeneration Indonesia), venture builder untuk startup yang bergerak di isu lingkungan dan perubahan iklim (climate-tech) mengumumkan perolehan pendanaan dari sejumlah investor, yakni PT TAP Applied Agri Services, PT Konservasi Hutan Indonesia, Pegasus Tech Ventures, dan angel investor Roni Pramaditia (Ketua Yayasan Medco). Tidak dipaparkan nominal investasi yang diraih.

Perusahaan akan memanfaatkan dukungan dana segar tersebut untuk modal kerja dalam mengembangkan setidaknya empat startup per tahun secara intensif, agar dapat menjangkau lebih banyak lagi pelaku usaha di bidang climate-tech yang dapat berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca di Indonesia.

Sebagai catatan, venture builder adalah startup yang membangun banyak startup baru. Pendekatannya adalah mengembangkan bisnis dan produk yang memungkinkan suatu organisasi menciptakan produk, layanan, dan proses baru dimulai dari awal. Model bisnis ini tidak mengganggu infrastruktur perusahaan yang sudah ada sejak awal pengembangannya.

Dengan menguasai berbagai macam latar belakang bisnis, seperti produk, komersial, akademis, dan konsultan, memicu suatu inovasi untuk membangun sebuah model bisnis baru yang lebih fleksibel dengan risiko yang lebih terukur dan bisa diterapkan dalam berbagai skala. Di Indonesia sendiri, venture builder semacam Ecoxyztem sudah ada beberapa, di antaranya WGSHub, Win Ventures, dan Wright Partners.

Dalam keterangan resmi yang diterima pada hari ini (4/10), Co-founder dan CEO Ecoxyztem Jonathan Davy menyampaikan proses venture building dari pihaknya membutuhkan para ecopreneur pada tahap awal pengembangan usaha mereka. Kemudian, Ecoxyztem menjadi co-founder institusional untuk startup dengan memfasilitasi pertumbuhan bisnis mereka melalui metodologi yang disesuaikan dengan konteks Indonesia.

Pihaknya menyediakan sumber daya manusia yang berkualitas, bantuan berupa venture architects untuk pemodelan bisnis, dan mendukung penetrasi pasar dengan business matchmaking, serta penggalangan modal. “Kami percaya hal ini dapat membantu para startup untuk mengurangi risiko investasi dan membantu meningkatkan kepercayaan investor yang akan berinvestasi pada startup terkait penanganan isu lingkungan, termasuk isu iklim,” katanya.

Perjalananan Ecoxyztem

Adapun, Ecoxyztem saat ini memiliki empat portofolio startup, yakni Waste4Change di bidang pengelolaan sampah, ReservoAir yang mengatasi masalah banjir, Ravelware yang menggerakkan transisi industri hijau, dan Enertec yang bekerja di sektor efisiensi energi.

Selain itu, ada juga program-program seperti Circular Jumpstart, Urban Innovation Challenge, dan Climate Innovation League yang telah menjadi media bagi Ecoxyztem untuk mengenal lebih dekat dengan setidaknya 45 startup climate-tech di Indonesia melalui program kelas pembelajaran dan mentorship.

”Ecoxyztem lahir dari keprihatinan terhadap isu kerusakan lingkungan yang tumbuh lebih cepat daripada pertumbuhan solusi mengatasi kerusakan tersebut. Melalui model pengembangan venture builder kami percaya akan dapat mendorong terciptanya solusi yang lebih inovatif untuk mengatasi masalah lingkungan di sekitar kita,” kata Presiden Direktur Ecoxyztem Bijaksana Junerosano.

Sebagai latar belakang, Ecoxyztem yang merupakan bagian dari Greeneration Group ini memutuskan ubah model bisnis menjadi venture builder pada 17 Mei 2021. Kata XYZ melambangkan pilar bisnis Ecoxyztem, X dari kata X-Seed yakni pengembangan sumber daya manusia, Y dari kata Ympact Lab untuk pengembangan climate-tech startup, dan Z dari kata Zinergy untuk mengembangkan akses ke pasar.

Pada tahun ini, Ecoxyztem telah menjadi bagian dari Climate-KIC Accelerator yang merupakan jaringan global inisiatif di isu perubahan iklim, yang awalnya diinisiasi oleh Uni Eropa. Hal ini merupakan adanya perhatian dan dukungan khusus dari dunia internasional untuk membuka lebih banyak lagi peluang bagi solusi iklim di Indonesia.

“Venture Builder” WGSHub Kembangkan Ekosistem Dukung Digitalisasi UMKM dan Startup

WGSHub (PT Wira Global Solusi) merupakan venture builder atau inkubator startup sebagai anak perusahaan PT Walden Global Services. Dengan ekosistem Hak Kekayaan Intelektual, pendidikan teknologi informasi, kapasitas engineering, skill teknologi mutakhir, dan jaringan bisnis dan finansial, misi WGSHub adalah untuk menghemat biaya, meningkatkan penjualan, dan mengoptimalkan valuasi mitra dan pelanggannya.

Tidak hanya platform yang berbasis teknologi, tetapi juga perusahaan konvensional yang ingin mengadopsi digital di dalam perusahaan mereka, menjadi target mitra mereka.

Kepada DailySocial, Direktur Utama WGSHub, Edwin Pramana mengungkapkan, sebagai venture builder, WGSHub ingin memberikan kontribusi berupa teknologi berupa kepada mitra yang bergabung.

“Meskipun serupa dengan venture capital pada umumnya, [..] WGSHub ingin memberikan teknologi kepada startup hingga UMKM yang ingin mengakselerasi bisnis mereka. Dalam bentuk teknologi, kami yakin bisa membantu mereka mempercepat bisnis dan tentunya memanfaatkan modal dari pendanaan yang telah dilakukan untuk kepentingan lainnya,” kata Edwin.

Terdapat tiga kategori mitra yang dilirik WGSHub. Yang pertama adalah mereka yang sebelumnya telah memiliki pengalaman dalam industri tertentu atau yang disebut dengan industrial expert atau professional hire. Yang berikutnya adalah perusahaan konvensional yang dikelola generasi kedua hingga ketiga dan masih menjalankan bisnis kebanyakan secara offline. Yang terakhir adalah startup atau UMKM yang telah mendapatkan profit namun ingin mengembangkan bisnis lebih besar lagi.

Terdapat dua revenue stream yang menjadi fokus perusahaan. Yang pertama adalah penggunaan layanan yang berada dalam naungan WGSHub atau yang masuk dalam kategori business as usual. Revenue stream yang kedua adalah dividen sebagai portofolio. Dividen inilah yang sifatnya eksponensial layaknya startup.

Untuk memperluas peluang pendanaan portofolio, WGSHub juga menjalin kerja sama strategis dengan perusahaan investasi ternama. Saat ini mereka sudah memiliki lima perusahaan portofolio. Tak hanya fokus memberikan kontribusi dalam bentuk bantuan teknologi, perusahaan juga ingin mengawal pertumbuhan bisnis mereka hingga bisa melantai di Bursa Efek Indonesia.

“Kami sangat optimis pada perkembangan WGSHub ke depannya. Saat ini pun sudah ada lebih dari 10 pipeline yang sedang kami jajaki. Di antaranya ada F&B tech, fashion tech, cybersecurity, animation studio, dan lainnya, sehingga kami yakin mendapatkan potensi revenue dan peningkatan nilai neraca secara signifikan,” kata Edwin.

Telah melantai di bursa

WGSHub telah melakukan Initial Public Offering (IPO) dengan ticker symbol atau kode WGSH di awal Desember 2021. Sesuai rencana, dana hasil IPO akan digunakan untuk modal kerja perseroan.

“Ketika hadir sebagai venture builder, selain memberikan solusi untuk mitra kita, mereka juga bisa berinvestasi di WGSHub dengan membeli saham di secondary market. Mereka juga bisa membeli saham di portofolio milik WGSHub,” kata Edwin.

Untuk menjangkau lebih banyak pelaku UMKM dari industri kerajinan hingga industri kreatif, WGSHub mulai fokus ke metaverse dan NFT. Baru-baru ini perusahaan telah mengakuisisi Wangsa Ultima Kreasi (Mythologic Studio) untuk mewujudkan rencana tersebut.

Mythologic Studio merupakan Studio Animasi 3D yang sudah lama malang-melintang di industri. Salah satu karyanya adalah produksi film animasi serial Kiko yang tayang di Netflix. Perseroan bersama Mythologic Studio akan menyempurnakan ekosistem, yaitu mendukung kebutuhan 3D modeling, game asset, Augmented Reality, sampai tren masa depan seperti Metaverse dan NFT.

“Tahun 2022 ini kami juga berencana untuk meluncurkan venture capital yang menargetkan startup yang masih berada di tahap awal pendanaan. Cara kerjanya juga serupa dengan venture capital pada umumnya,” kata Edwin.

Sebastian Wijaya Mendukung Startup “Next Generation” Melalui Win Ventures

Meluncurkan startup sejak tahun 2013 lalu dengan nama Seroyamart, serial entrepreneur Sebastian Wijaya, kini disibukkan dengan mengelola venture capital Win Ventures.

Kepada DailySocial, Sebastian bercerita harapannya untuk membantu next generation startup founder mengembangkan startup mereka. Win Ventures juga berupaya membantu startup daerah mendapatkan exposure dan peluang yang lebih luas.

Berbagi pengalaman

Startup yang fokus kepada online groceries Seroyamart / Seroyamart
Startup yang fokus kepada online groceries Seroyamart / Seroyamart

Setelah 10 tahun bekerja di raksasa FMCG P&G dan mendapatkan pengalaman bekerja di beberapa negara, di tahun 2013 Sebastian memutuskan kembali ke tanah air. Melihat makin agresifnya Lazada saat itu mengembangkan layanan mereka di Indonesia, Sebastian tertarik mendirikan layanan serupa, namun fokus ke produk groceries. Bernama Seroyamart, Sebastian memberikan pilihan baru cara berbelanja kebutuhan pokok bagi konsumen tanah air.

Jatuh bangun mengembangkan Seroyamart diklaim menjadi highlight startup journey buat Sebastian. Pengalaman ini menjadi pemicu bagi Sebastian  memberikan kontribusi lebih banyak bagi startup Indonesia.

“Pengalaman sebagai pendiri startup is a natural progression menurut saya untuk kemudian mendirikan venture capital. Diawali dengan membangun startup kemudian you reach a point di mana gabungan dari rasa lelah dan kemungkinan untuk melakukan lebih banyak lagi untuk membantu next generation startup,” kata Sebastian.

Di tahun 2017, Sebastian membantu Kemenristek sebagai mentor bagi startup terpilih. Dari sana ia melihat besarnya potensi startup dari berbagai pelosok daerah. Tidak hanya layanan e-commerce, ia melihat masih banyak vertikal bisnis lain yang menarik dijajaki oleh para pendiri startup.

Di sisi lain, Sebastian melihat dominasi lulusan universitas luar negeri yang mendirikan startup. Hal tersebut tidak menjadi masalah besar, namun ia ingin membuktikan bahwa banyak entrepreneur lokal yang tidak kalah dengan lulusan luar negeri.

“Di Indonesia masih banyak yang bisa dikembangkan. Bukan hanya layanan e-commerce yang banyak ditiru dari Amerika Serikat, namun juga industri pangan, defense industry, agriculture, kerajinan, kuliner dan masih banyak lagi,” kata Sebastian.

Membantu “next generation”

Venture capital yang didirikan akhir tahun 2019 Win Ventures / Win Ventures
Venture capital yang didirikan akhir tahun 2019 Win Ventures / Win Ventures

Diluncurkan akhir tahun 2019 lalu, Win Ventures ingin fokus ke startup yang bisa memberikan layanan bagi UMKM enablement dan economic inclusion.

“Saat berinvestasi kita melihat pendiri startup dan model bisnis yang masuk akal. Platform yang bisa leverage UMKM enable them to do business, adopt technology menjadi fokus kami dan lebih ke niche. Kita tidak suka startup yang sangat general,” kata Sebastian.

Saat ini Win Ventures telah memliki 6-7 portofolio. Tidak hanya startup asal Indonesia, tetapi juga yang beroperasi di Singapura dan Malaysia. Beberapa portofolio Win Ventures adalah Localio, travelcash, dan Kokikit.

Bagi Win Ventures, model bisnis dan misi yang ingin diwujudkan Kokikit, membantu semua orang memliki bisnis kuliner tanpa perlu memiliki infrastruktur berbiaya besar, menjadi premis yang menarik. Kolaborasi dijalin dengan selebritas Indonesia dalam bentuk berbagai kemitraan. Kokikit memiliki cita-cita memperkenalkan kuliner Indonesia ke mancanegara.

“Saya melihat Kokikit lebih dari sekadar meal kit. Misi mereka ingin membuat platform untuk semua bisa memiliki bisnis kuliner, tapi tidak punya infrastruktur. Fokus utama mereka selanjutnya adalah hanya kepada pemasaran saja dengan brand milik mereka sendiri. Kokikit didesain untuk memungkinkan semua proses tersebut,” kata Sebastian.

Secara khusus Win Ventures fokus ke early stage startup. Meskipun memiliki tingkat risiko yang lebih besar, ada potensi return yang tinggi jika dijalankan dengan benar.

Untuk saat ini, Win Ventures belum memiliki LP. Menurut Sebastian, semua investasi yang diberikan berasal dari dana pendirinya. Diharapkan dalam beberapa waktu ke depan ada portofolio mereka yang bisa exit, agar dana tersebut bisa diinvestasikan kembali ke startup binaan Win Ventures lainnya.

“Hal pertama yang kita lakukan adalah menambah portofolio. Fokus kita, mereka yang telah mendapatkan investasi bisa melangkah ke tahapan pendanaan lanjutan. Kita juga terus melakukan fundraising dan rencananya bisa merampungkan Fund I tahun depan,” tutup Sebastian.

Wright Partners Hadir Sebagai “Venture Builder”, Bermitra dengan Korporat yang Ingin Membangun Bisnis Digital

Setelah “lulus” dari perusahaan yang didirikannya, Tokobagus, Arnold Sebastian Egg atau yang akrab disapa Arno Egg tidak berhenti dalam berinovasi. Dalam perjalanannya mendukung pengembangan bisnis, ia bersama salah satu kolega, Ziv Ragowsky, menemukan fakta bahwa ada banyak perusahaan yang saat ini mencari cara berbeda untuk melakukan inovasi. Biasanya, inovasi untuk bisnis adalah dengan membuat bisnis baru.

Begitu sebuah perusahaan mengambil keputusan untuk membangun usaha, penting bagi perusahaan untuk mengetahui berbagai tren teknologi tetapi juga membangun aset signifikannya sendiri. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah menyelaraskan keinginan dan tren perusahaan dengan strategi jangka pendek dan menengah untuk memastikan dukungan internal menjelang momentum dibangun.

Hal ini yang kemudian dilihat sebagai peluang ketika pertama kali membentuk Wright Partners. Sebuah venture builder beranggotakan serial entrepreneurs dan experts dalam industri teknologi.

“Kami datang dengan bermacam latar belakang (produk, komersial, akademis, konsultan) dan menyadari bahwa ada model yang dapat bekerja untuk korporat [mungkin memerlukan edukasi lebih dalam] untuk membangun bisnis dengan fleksibilitas serta pengambilan risiko yang terukur yang bisa diterapkan di median global dalam berbagai skala. Hal ini, ditambah gagasan adanya masalah besar yang harus diselesaikan di kawasan ini, adalah yang kami yakini sebagai nilai dan tujuan usaha membangun membawa kami pada konsep Wright Partners,” jelas Arnold Egg dalam wawancara singkat bersama DailySocial.

Model Bisnis

Sebagai entitas yang fokus pada kegiatan venture building, model bisnis yang ditawarkan oleh Wright Partners cukup berbeda dan unik. Perusahaan bekerja sama dengan korporat untuk membantu mereka dalam menjalankan corporate innovationDua layanan yang ditawarkan mencakup Corporate Venture Building dan CVC as a Service.

Ada banyak perusahaan yang berani berinvestasi besar untuk membangun bisnis namun belum efektif dalam memanfaatkan sumber daya mereka yang cukup besar. Hal ini bisa disebabkan oleh pola pikir internal perusahaan dan terkadang kurangnya pendalaman terkait pengembangan bisnis, serta beberapa faktor eksternal yang menjadikan inisiatif ini tidak cost-effective.

Korporasi harus mencari cara untuk membuka dan memanfaatkan aset mereka untuk memungkinkan mereka berinovasi lebih baik dan meningkatkan skala lebih cepat daripada startup tradisional. Dalam menjalankan model bisnis ini, Wright Partners bekerja secara bertahap dalam membangun bisnis.

“Fase awal adalah rancangan di mana kami memiliki cukup uang/investasi dari mitra korporat untuk mencapai komitmen investasi mereka dalam waktu 4 bulan. Dalam fase ini, dua hingga tiga partner kami akan bertindak sebagai salah satu pendiri tim yang kami bentuk bersama, yang mencakup Venture Lead (yang jika berjalan lancar akan menjadi founder – tetapi dapat berubah dalam ketentuan 4 bulan) serta dua Venture Architect yang bisa menjadi full-time menggarap bisnis tersebut atau, jika terbukti bisa menjadi co-founder,” jelas Arno.

Salah satu diferensiasi bisnis yang diusung Wright Partners adalah mematok total investasi rata-rata yang dibutuhkan oleh perusahaan ke pasar sekitar $1,6-1,8 juta selama 16 bulan. Hal itu akan menjadi standar untuk memastikan bahwa 4 bulan paling efektif (dan menghasilkan investasi – jika tidak, tidak akan ada profit sama sekali).

Setelah 4 bulan pertama, sesuai keputusan komite investasi mitra, perusahaan kembali menawarkan pilihan terkait keterlibatan yang berkelanjutan berdasarkan kebutuhan bisnis. Dengan kesepakatan bahwa bisnis itu sudah berada di jalur yang benar dan kuat, perusahaan akan mendapatkan porsi ekuitas dan kemudian mengambil peran dalam bisnis melalui investasi pengetahuan dan koneksi yang dimiliki.

“Kami percaya bahwa pendalaman konten yang digabungkan dengan aset perusahaan yang tepat serta mentalitas kewirausahaan yang kuat akan menciptakan kesuksesan, jadi model kami berfokus pada penyelarasan ketiganya untuk berkembang di seluruh industri dan sektor usaha,” ujar Arno.

CVC as a Service atau CVC sebagai layanan merupakan peluang awal bersama salah satu mitra korporat. Wright Partners telah membantu sistem sekolah swasta untuk membangun CVC dan melakukan investasi awal. Melalui upaya ini perusahaan menemukan bahwa ada berbagai jenis organisasi yang berminat untuk memahami industri investasi.

Rencana masa depan

Berbasis di Singapura, Wright Partners mengaku memiliki representasi yang setara di Indonesia. Selama kurang lebih 6 bulan beroperasi, perusahaan sudah membantu merancang inovasi di 6 perusahaan, dua di Indonesia, tiga di Malaysia, dan satu di Singapura.

Inovasi ini telah bergulir di beberapa sektor termasuk fintech, edutech dan agritech. Sektor lain yang saat ini juga sedang dijajal adalah insurtech, teknologi keberlanjutan (sustainability tech), serta analitik ritel. Timnya memiliki penasihat dan mitra usaha yang ahli dalam masing-masing bisnis dan akan memperluas jangkauan ke industri lain seperti logistik, OTA, adtech, dan banyak lagi. Pihaknya juga mengaku telah menjalankan kemitraan untuk memperluas jangkauan dan kemampuan di seluruh aspek Crypto dan Blockchain.

Sementara Wright Partners fokus membantu korporat untuk membangun moda investasi perusahaan, saat ini timnya juga tengah dalam proses untuk mengumpulkan fund mandiri.

“Kami berharap dapat segera mendukung bisnis dengan dana kami sendiri dan mendorong mereka menuju kesuksesan yang lebih baik,” tutup Arno.

Andy Zain on His Venture to Build a Sustainable Ecosystem for Tech Business

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Andy Zain used to be a big believer in the mobile industry. He follows his path to success early at 19, working for 12 years to learn from the same supervisor. Until he finally decided to go all-in and co-founded Elasitas, a provider of integrated solutions for telecommunication and information marketplace.

For almost 20 years, Andy has been a serial entrepreneur, an executive, an advisor & involved in setting up businesses for several high growth startups and work with global brand clients such as Disney Mobile, Yahoo! Mobile, Cartoon Network, EA Games, and Gameloft for their go-to-market efforts to Southeast Asia.

He is now the Managing Partner of Kejora Ventures, a growth stage venture capital firm based in Southeast Asia. Prior to launching Kejora, he held a position as Director in SkyBee Tbk, an Indonesian Stock Exchange (IDX) listed company in the technology, media & telecommunication sector.

As an ecosystem person, Andy Zain is quite active in mentoring and supporting accelerator programs. He believes our nation’s talents are capable not only to create a high-profile and profitable company but also something that can transform our country into a better future.

Recently, the DailySocial team involved in a casual-yet-thorough discussion with Andy Zain, here’s what we can share:

First, let’s talk about your passion for the tech industry. Aside from being a full-time serial entrepreneur and investor, you’re also actively involved in mentoring activities. Why are you being so eager about this?

Since the beginning, I always like to distribute my thoughts. Every knowledge I gained, I am very eager to share it with people. It’s always a pleasure to have been trusted as a mentor in a well-organized acceleration or incubation program. In fact, this is also my way to exchange insights with those in various kinds of industry, since we’ll be meeting people with diverse backgrounds.

I come from the mobile industry, which penetration has been quite strong before the tech industry boom. We did a lot of partnerships and collaborations, meet all kinds of people from various countries, involved in many projects with local and global institutions. Therefore, it is right to say I made quite an abundance of networks. In fact, my passion is always to build strong-willed and high-integrity resources.

I always believe in a quote in Stan Lee’s novel that says “with great power, comes great responsibilities.”. Indonesia is granted with over 200 million population, and we have more than enough to build a more sustainable ecosystem for digital talents and tech business that affects the nation’s acceleration.

For that purpose, it is necessary that we, as an early-believer of the industry, support those highly-motivated tech enthusiasts in achieving their goals through our experience. In this dynamic industry, sometimes the problem is not with the market or potential, but the maturity stage along with powerful networks. The last two mostly happen to early-stage startups. It is also one of the reasons I survived with the Founder’s Institute for 9 years until many accelerator programs rise with more competency and capabilities.

Andy Zain, Founder's Institute
Andy Zain, Founder’s Institute

How do you see the accelerator programs encourage the business ecosystem growth in general? Also, a bit from the investor perspective.

As I’ve mentioned, there are already so many accelerator programs nowadays, however some are not even organized by tech-driven entrepreneurs. In other words, it is only to satisfy a craving for the latest trends. I’m not saying all accelerator programs, but we have to be really selective. When the program was held by a competent organizer, I believe the results will turn out great.

I, myself, is an ecosystem person. I believe, in order to be successful, we have to deeply root in the ecosystem. I used to a big believer in the mobile industry. When I first started in the business, we have no network, however, I tried many ways to build one. First, through the community, Mobile Monday, one of the biggest tech communities in Indonesia. As I moderate people sharing their big ideas, networking is going well. From mobile to the internet and now the startup ecosystem. The industry needs these kinds of resources, a powerful ecosystem, and connections.

Many startup founders are too ambitious, to the extent they might be ruined themselves, in other ways exploited their consumers. Again, with great power comes great responsibilities. It is our responsibility to create an example for the next generation not only aims for numbers but to make something that can transform our nation. We have all the access to a mentor, also as venture capital has access to funding.

MobileMonday Launch 2007
MobileMonday Launch 2007

What kind of factors do you think that shapes great founders? Do you think Entrepreneurship was born or build?

I believe that people are born with different characters, and there are characteristics that make them more effective entrepreneurs. Excessive fear or insecurity will not help you in the process of building a venture. Also, reckless people can fall effortlessly in this industry. What I’m saying is, there are people who are born with supporting characters for entrepreneurial. Some maybe not, but they can work harder through some process.

What we are looking in great founders are integrity, maturity (some are delivered through the process), and expertise. In terms of chemistry and connection, we can work it out.

Do you think people without a background in technology science can succeed in the tech industry?

Don’t look at the tech industry as something different, that it is exclusively made only for those people who understand technology science and do coding. A startup is a new way to do business, the tech industry is a whole new journey. Just because you can’t code, doesn’t mean it’s impossible for you to build a venture. You still have much homework in order to understand the industry. Don’t be too obsessed with the technology, but also focus on the business, how to be able to run the business more efficiently through connectivity.

Before entering the investment industry, you have cofounded a company, also involved as a venture leader. What actually happens to your previous ones?

I started working since 19, for 12 years I worked with only one supervisor. I learned so much in the meantime. In my 30’s I decided to have something that can be entitled to my name. I cofounded Elasitas, a provider of integrated solutions for telecommunication and information marketplace focused on next-generation Mobile and Internet technologies combined with extensive R&D. Along the way, the mobile content which first intended as information on demand started to shift and misimplemented. After that, I leave to run another venture named SkyBee, which eventually becomes an Indonesian Stock Exchange (IDX) listed company in the technology, media & telecommunication sector.

Actually, the first Internet startup which I’m heavily involved in is eTravel8. It is an ambitious project at the time, a partnership of 8 travel agents in Indonesia to allow the first online ticket sales for the travel industry. To include live booking, ahead of everyone in the market. When e-tickets are still pretty much unknown.

Lesson learned, no matter how good is your execution, if the market is not ready, don’t force it. Fast forward 11 years later then we saw the birth of Tiket.com, followed by Traveloka.

What encourages you to start a venture capital? How is it, the early days of Kejora?

It was when I still actively mentoring and supporting launching for startups. My friend, Sebastian (another partner of Kejora), has just got back from the US. He said, why you always help others in terms of building venture, why not make one yourself?

I started Kejora in 2014. We’re started small with $2 million, a little bit more to $7 million, improved to $34 million, until we manage $200 million. It’s the process and we grow day by day. We try to make something that is not only commercial but also impactful.

When I started Kejora, we’re deeply rooted in the industry. Starting from the Founder’s Institute, ideabox [with Indosat], and many more in the long journey. Kejora might not have many portfolios, but we invest thick. We invested in a startup as early, involved as much in the growing. Yes, we are very hands-on with portfolios. We’re doing as close to a venture builder. We really believe the ecosystem will help, by working closely with the portfolio.

In terms of preference, we only invest in what we believe has great potential and where we can offer a real solution. There are two things founders must have expertise in the related sector, and some criteria that need time to build, such as network and reputation. The second is what we can use to support them. We’re trying to build an ecosystem here. It’s hard to find a great founder in one look, that is why we prefer to see the industry demand first.

Speaking of the pandemic, what was your first thought when the Covid-19 spread? Does it affect your company in a significant way? How about your portfolios?

We are quite grateful for the numbers of Kejora’s portfolios which are around 30. Our philosophy is not looking for what hype, it is to build something the market really needs. Kejora portfolios are rarely involving fancy technology or sophisticated branding. For example, we invest in fintech that helps people borrow money to run their business, logistics, and more primary necessity. A field that affects the lives of many people. That is why one-third of our portfolios are flying high. 20-30% are affected but still manageable.

It’s been over a decade you’ve been actively contributed to the tech industry, what is the biggest lesson learned during the journey?

I owe it to all my friends in the tech industry. Our consistency to treat and help each other is what keeps me survived in this dynamic industry. We’re living in an industry that always pioneering. Suppose we enter the world of the jungle, there will always be new and unexpected challenges. However, the power of networks can always help through the most difficult time.

You are quite experienced as a leader, what can you say to the founders experiencing a difficult time during this pandemic? How do you see our tech investment landscape will be after (if) the crisis end?

As people who have been granted with digital power, we should be very optimistic. Once everything recovers and research must start from scratch, there will be another world to overcome. We need to be ready when this time is coming. People are currently in a difficult situation, we are the most competent ones. We have channels to communicate, big data to analyze, we have this great power.

For people in the digital industry, use this power for good deeds. Now the burden passed, we need to create more powerful solutions to everyday problems. I am very excited to see how this will turn out. We, as Kejora, has prepared loads of funding, in order to fuel the upcoming wave of tech giants in this country.

East Ventures Raises Seed Funding for Fore Coffee

East Ventures becomes venture builder again by announcing seed funding for Fore Coffee. It has become the third project incubated by East Ventures after EV Hive (today COCOWORK) and Warung Pintar.

Fore Coffee led by Robin Boe, also a Co-Founder of Otten Coffee. Otten is an e-commerce platform for coffee-related products supported also by East Ventures. The first Fore Coffee store has opened since August 2018 and now serving 1,000 cups per week.

Fore will be positioned like Luckin Coffee, a digital-based approach coffee startup which becomes Starbucks’ competitor in China. Luckin is a prototype of modern coffee shop which capable to encourage consumers to download the app in purchasing and making payment via mobile (e-wallet).

“Using Otten’s network and expertise, Fore is equipped with high-quality technology and machine to provide the best coffee to our customers. We dreamed about a day where everyone can have access to the special coffee near them every day and we’re glad to get further steadily,” Robin Boe, Fore Coffee’s CEO, said.

Fore Coffee will run their first shop located on Otten Coffee Jakarta’s second floor in Jl. Senopati No.77, South Jakarta. The second shop will be opened in Plaza Indonesia this October followed by other branches in central shopping town and office district.

“Indonesia’s technology ecosystem has moved rapidly along with innovations to change our daily lives. Particularly the way consumers get their food, it has changed recently by food delivery services. It triggers a new hypothesis in which we think necessary to prove it quickly. Are we capable to serve new requests with bottom-up startup designs that focus on new innovations in Indonesia? In China, Luckin Coffee is the answer,” Willson Cuaca, East Ventures’ Managing Partner and Fore Coffee’s Chairman, said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian