Aplikasi Lionsgate Play Resmi Meluncur di Indonesia, Tawarkan Konten Premium Hollywood dan Bollywood

Setelah sebelumnya mengumumkan kemitraan strategis, aplikasi video streaming Lionsgate Play hari ini (21/4) meresmikan kehadirannya di Indonesia. Mereka menawarkan beragam konten khas Hollywood yang dimiliki oleh Lionsgate Studio dan Starz, juga konten Bollywood ternama dan sajian orisinal mereka. Sebelum di Indonesia, akhir tahun 2020 lalu Lionsngate Play telah resmi meluncur di India.

Dalam acara temu media, President & Chief Executive Officer STARZ Jeffrey A. Hirsch menyebutkan, besarnya jumlah populasi di Indonesia, koneksi teknologi, dan penetrasi internet yang sudah cukup baik, menjadi alasan ideal bagi mereka sehingga memutuskan untuk menjajakan produknya di sini. Ia juga menegaskan, di Indonesia saat ini hanya ada sekitar 2-4 platform yang juga menawarkan layanan serupa [ditinjau dari konten salah satunya], sehingga masih banyak ruang untuk tumbuh di Indonesia.

Di fase awalnya, mereka masih fokus pada konten Hollywood dan Bollywood saja. Namun ke depannya Lionsgate Play juga berencana untuk menambah konten asal Indonesia. Menurut Managing Director SEA & Networks Rohit Jain, saat pandemi menjadi waktu yang tepat bagi Lionsgate Play untuk berinvestasi kepada konten dan fokus kepada pengalaman pengguna. Untuk itu ke depannya akan ditambah lagi konten menarik untuk pengguna premium Lionsgate Play.

“Sebelumnya kami telah meluncurkan layanan ini di India dan mendapatkan respons yang baik dari pasar. Kami juga telah menemukan blue print atau model bisnis yang tepat saat muncul pertama kali di India. Terutama untuk emerging market di Asia, dengan demikian model tersebut bisa direplikasi di pasar lainnya,” kata Rohit.

Untuk mendukung teknologi yang diterapkan di platform, Lionsgate saat ini telah memiliki Tech Developement Center di dua negara yaitu di Denver Amerika Serikat dan di Timur Tengah. Dengan demikian diharapkan mereka bisa memberikan pengalaman pengguna yang terbaik, didukung dengan tampilan UI/UX yang seasmless dan kemudahan mengakses aplikasi.

Menjalin kemitraan strategis

Dalam acara peluncuran Lionsgate Play Indonesia, turut dihadirkan juga tim lokal yang nantinya bertanggung jawab untuk mengelola Lionsgate Play di Indonesia. Mereka di antaranya adalah Guntur Siboro (Country Manager Indonesia), Karina Mahadi (Content Manager), dan Gene Tamesis Jr (SVP Bizdev & Partnerships).

Untuk mendukung pertumbuhan pengguna Lionsgate Play di Indonesia, telah dijalin kemitraan strategis. Mulai dari dengan operator telekomunikasi seperti Telkomsel hingga Indihome. Untuk memudahkan pilihan pembayaran, Lionsgate Play Indonesia juga telah bermitra dengan Gopay, ShopeePay, hingga Doku.

“Tentunya kami juga menawarkan pilihan pembayaran umum lainnya seperti kartu kredit, kartu debit hingga pembayaran melalui billing carrier (potong pulsa). Sesuai dengan esensi perusahaan, kami akan terus menambah kemitraan dengan pihak yang relevan,” kata Guntur.

Meskipun saat ini paket bundling hingga promosi masih tersedia untuk pengguna Telkomsel, namun ke depannya Lionsgate Play juga akan menambah kemitraan dengan operator telekomunikasi lainnya di Indonesia.

Layanan Lionsgate Play menyediakan dua model berlangganan untuk mengakses aplikasi yaitu Rp35.000 per bulan dan Rp179.000 selama setahun. Pilihan harga ini diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada konsumen Indonesia untuk menikmati hiburan global terbaik dengan harga terjangkau dan kenyamanan mereka.

“Tujuan dari kemitraan ini tentunya adalah berguna bagi kedua belah pihak. Bagi mitra mereka bisa mendapatkan konten beragam dari kami dan tentunya pilihan yang ideal bagi pelanggan mereka,” imbuh Guntur.

Peluang Lionsgate Play di Indonesia

Berbeda dengan pemain lainnya yang lebih dulu telah hadir di Indonesia seperti Disney+Hotstar, pendekatan yang dilakukan oleh mereka adalah secara langsung menawarkan konten orisinal yang beragam asal sineas Indonesia. Netflix sendiri makin agresif menjalin kemitraan strategis dengan sineas lokal, yang tujuannya untuk menambah konten orisinal asal Indonesia.

Namun bagi Lionsgate Play yang selama ini sudah dikenal memiliki konten film asal Hollywood berkualitas yang telah berhasil mendapatkan berbagai penghargaan piala Oscar hingga Golden Globes, diyakini bisa menjadi pemancing bagi pengguna di Indonesia untuk menjadi pelanggan Lionsgate Play.

Selain konten dari perpustakaan milik Lionsgate Studio dan Starz, Lionsgate Play juga telah mengakuisisi konten dari beberapa perusahaan entertainment di mancanegara, seperti dari BBC, Studio Canal dan Summit. Lionsgate Play di Indonesia menargetkan bisa menjangkau jutaan pengguna baru yang mendaftarkan diri menjadi pengguna Lionsgate Play.

“Saat ini Lionsgate telah memiliki sekitar 28 juta pengguna di lebih dari 56 negara. Dengan konten terkurasi tersebut kami berharap bisa memberikan pilihan baru kepada pengguna yang ingin menikmati konten premium,” kata Jeffrey.

Application Information Will Show Up Here

Kemitraan Telko Jadi Strategi Khas Debut OTT Asing, Lionsgate Play Gandeng Telkomsel

Layanan video streaming Lionsgate Play makin memantapkan penetrasinya di Indonesia. Dari rencana awalnya, platform asal Ameria Serika tersebut memang hendak mulai mengudara di Indonesia di penghujung kuartal pertama tahun ini. Guna mendapatkan traksi awal yang baik, mereka mengumumkan telah bekerja sama dengan Telkomsel.

Seperti diketahui, operator seluler pelat merah tersebut mengoperasikan aplikasi MAXstream. Di dalamnya berisi konten agregasi dari berbagai perusahaan video on-demand, baik lokal maupun mancanegara. Kerja sama non-eksklusif di atas juga akan memungkinkan pengguna MAXstream mengakses konten film dan serial yang disuguhkan Lionsgate.

Kepada DailySocial, General Manager Lionsgate Play Indonesia Guntur S. Siboro mengatakan, kerja sama ini diharapkan bisa memperkenalkan layanan video streaming tersebut ke basis pengguna Telkomsel. Terlebih saat ini mereka juga memiliki paket langganan internet khusus yang memberikan layanan tambahan berupa akses ke MAXstream.

“Kolaborasi ini baru permulaan, dengan perkembangan yang lebih menarik lagi dengan Telkomsel yang direncanakan untuk beberapa bulan mendatang,” kata Guntur.

Disney+ Hotstar dalam debut awalnya juga pakai strategi serupa, menggandeng Telkomsel sebagai mitra awal untuk penetrasinya di Indonesia. Saat ini pengguna Telkomsel mendapatkan akses khusus (bahkan gratis) ke aplikasi VOD tersebut. Strategi tersebut tampak berjalan baik, menurut data terbaru Media Partners Asia (MPA), hingga awal tahun ini Disney+ Hotstar sudah memiliki 2,5 juta pelanggan di Indonesia.

Terlepas dari itu, pasar VOD di Indonesia makin menarik. Di tengah gempuran pemain asing, layanan lokal juga terus mempertajam cengkeramannya. Apalagi konglomerasi media MNC Group mulai memboyong unit OTT-nya untuk melantai di bursa Amerika Serikat, artinya terbuka kesempatan yang lebih besar bagi investor global untuk mulai ikut menggarap pasar VOD di Indonesia.

Selain Vision+ dari MNC, ada pemain lokal lainnya yang juga sudah punya basis pengguna cukup signifikan. Salah satunya Vidio, yang merupakan bagian dari konglomerasi media lainnya, EMTEK. Laporan MPA juga mengatakan di awal tahun ini Vidio sudah memiliki sekitar 1,1 juta pelanggan berbayar.

Decacorn Gojek juga mantap dengan bisnis OTT-nya lewat Goplay. Bahkan mereka sudah mulai menggalang pendanaan secara independen untuk mengakselerasi bisnisnya.

Diyakini pasar VOD masih terbuka lebar untuk persaingannya. Menurut hasil riset Brightcove dalam laporan bertajuk “The Future of OTT in Asia”, konten menjadi salah satu penentu ketertarikan pengguna terhadap layanan VOD. Sehingga dengan strategi pendekatan konten yang tepat, suatu layanan bisa saja memenangkan pasar di kemudian hari.

Di luar Asia, nama Lionsgate Play dikenal dengan nama STARZPLAY, demikian pula di negara asalnya Amerika Serikat. Nama Lionsgate Play dipilih untuk negara di Asia, karena nama “Star” sebelumnya telah dimiliki terlebih dulu oleh perusahaan ternama di Asia yang juga merupakan perusahaan media terkemuka.

Application Information Will Show Up Here

Diversifikasi Konten dan Model Bisnis Jadi Strategi Tencent Matangkan Bisnis “Video Streaming”

Di tengah aktivitas pembatasan sosial akibat pandemi, konten digital menjadi alternatif hiburan yang banyak dipilih masyarakat. Survei yang dilakukan McKinsey pada Maret s/d April 2020 mengatakan bahwa 45% responden mengaku mengeluarkan lebih banyak uang untuk hiburan di rumah dan berdampak pada pertumbuhan konsumsi konten video sebesar 53% dari sebelumnya.

Kondisi ini jelas menjadi kesempatan tersendiri bagi pemain industri di bidang tersebut. Untuk melihat sejauh mana penyedia layanan streaming memupuk pertumbuhan di tengah pandemi, DailySocial berkesempatan untuk mewawancara Country Manager WeTV dan iflix Indonesia Lesley Simpson. Kedua aplikasi tersebut kini dikelola Tencent, perusahaan teknologi raksasa asal Tiongkok yang memfokuskan pada segmen hiburan.

Country Manager WeTV dan iflix Indonesia Lesley Simpson / Tencent
Country Manager WeTV dan iflix Indonesia Lesley Simpson / Tencent

Tencent sendiri juga sudah memiliki basis perusahaan di Indonesia melalui PT Tencent Indonesia untuk memaksimalkan penetrasi penggunaan produk dan potensi bisnis. Sejak tahun 2018 lalu, Tencent mantapkan diri menjalankan operasional di Indonesia secara mandiri.

WeTV dan iflix

Mengawali perbincangan, Lesley mencoba menjelaskan tentang nilai unik yang dibawa oleh WeTV dan iflix. “Sejak beberapa aset perusahaan diakuisisi, saat ini WeTV dan iflix sama-sama dioperasikan Tencent secara terpisah. Dari segi brand, iflix sudah tidak asing dengan pengguna di Indonesia, sedangkan WeTV masih baru. Di WeTV ini salah satu varian konten yang cukup kuat adalah film dan seri Mandarin, Thailand, dan juga Korea,” ujarnya.

Ia menyampaikan, WeTV kini juga fokus untuk memproduksi seri orisinal. Dalam eksekusinya, mereka turut menggandeng studio produksi lokal dan juga menggarap judul seri dari intelektual properti lokal yang sebelumnya sudah sukses dalam film, misalnya dari Indonesia ada Yowis Ben The Series dan Imperfect Series.

“Kami juga produksi konten sendiri untuk tetap menjaga kualitas tontonan [..] Saat ini bioskop juga belum kondusif, harapannya seri-seri dari IP dan judul yang dikenal tersebut bisa menjadi alternatif hiburan bagi masyarakat,” imbuh Lesley.

Imperfect Series sebagai salah satu film yang diadopsi menjadi serial drama / Tencent
Imperfect Series sebagai salah satu film yang diadopsi menjadi serial drama / Tencent

Diversifikasi konten

Ketika ditanya soal jumlah pengguna saat ini, Lesley tidak menyebutkan angka secara eksplisit. Namun demikian ia menekankan, salah satu strategi yang ingin dihadirkan adalah diversifikasi konten. Tidak dimungkiri bahwa konten Korea Selatan saat ini menjadi yang paling favorit di Indonesia, padahal menurutnya banyak opsi hiburan lain yang juga bisa dijadikan pilihan, salah satunya film atau seri Tiongkok.

“Selama ini karena adanya ‘Korean wave’ kesannya pilihan tontonnya itu terbatas. Padahal masih ada banyak seri atau film dari berbagai negara di Asia. Misalnya dari Tiongkok, hiburan di sana selalu disuguhkan dengan kualitas yang bagus. Mereka sangat serius dalam pembuatan kostum dan proses produksi. Dan ternyata benar, ketika kami suguhkan di WeTV peminatnya sangat banyak,” ungkap Lesley.

Agar mudah diadaptasi, WeTV dan iflix juga mengupayakan setiap konten impor yang dihadirkan juga di-dubbing dengan pengisi suara berbahasa Indonesia. Menurut Lesley, banyak pengguna di sini yang lebih nyaman mendengar ketimbang membaca (subtitle) — kendati masih ada opsi untuk menggunakan subtitle di setiap konten.

“Di sisi lain, ini juga jadi industri yang ingin kita gandeng. Kami bekerja sama dengan dubber profesional dan berbakat untuk membuat kualitas konten terbaik,” jelasnya.

Model bisnis

Untuk menonton sajikan di WeTV, pengguna cukup mengunjungi situs atau membuka aplikasi. Tidak diwajibkan registrasi atau login untuk melihat film atau seri yang ada. Bahkan Lesley mengatakan, lebih dari setengah dari total tontonan yang mereka miliki bisa diakses secara gratis. Tak mengherankan dalam beberapa bulan di tahun 2020, aplikasi WeTV selalu bertanggar di urutan atas dalam peringkat Google Play kategori hiburan di Indonesia.

Meskipun demikian, model bisnis tetap harus dimiliki untuk memastikan perusahaan menuai profit. Saat ini, versi premium juga bisa dipilih pengguna untuk mendapatkan hak akses eksklusif, seperti menonton episode lebih awal, bebas iklan, dan mendapatkan konten premium eksklusif.

Kerja sama dengan mitra strategis juga dilakukan di Indonesia. Misalnya dengan penyedia jasa telekomunikasi. Saat ini mereka juga bekerja sama dengan Indihome untuk menyuguhkan kontennya ke pengguna USeeTV. Tak hanya itu, mereka juga bekerja sama dengan platform e-commerce lokal untuk berjualan voucher akses ke layanan premium. Lesley mengatakan, mereka masih terus mengeksplorasi kerja sama dengan banyak pihak, termasuk rumah produksi lokal.

“Yang menjadi unique selling point, Tencent telah menjadi raja konten di Tiongkok. Seperti diketahui, bahwa tidak mudah untuk menguasai pasar tersebut. Kompetensi tersebut yang akan dibawa di Indonesia. Yang jelas, pendekatan lokal harus diutamakan, termasuk dukungan tim lokal dan melokalkan konten,” kata Lesley.

Di tengah pandemi, beberapa modul baru turut diluncurkan. “Orang Indonesia biasanya senang nobar, karena bioskop tutup dan social distancing maka hal itu susah dilakukan. Dari situ kami merilis function sosial, memungkinkan orang bisa menonton ramai-ramai sambil memberikan komentar secara live dan berinteraksi dengan penonton lain. Pengguna dari Indonesia cukup antusias berpartisipasi di sini.”

Persaingan di Indonesia

Peta persaingan layanan video streaming di Indonesia / DSResearch
Peta persaingan layanan video streaming di Indonesia / DSResearch

Sebelumnya kami sudah membuat ulasan tentang ekosistem layanan video streaming di Indonesia, di dalamnya juga memetakan beberapa pemain yang sudah beroperasi: Lanskap Platform Video On-Demand di Indonesia. Posisi WeTV dan iflix bersaing langsung dengan beberapa pemain seperti Viu, GoPlay, Vidio, Netflix, dan lain-lain. Tahun ini juga bakal ada pendatang baru, salah satunya Lionsgate Play.

Menurut data terbaru Media Partners Asia, hingga awal tahun ini Disney+ Hotstar sudah memiliki 2,5 juta pelanggan di Indonesia, Viu memiliki 1,5 juta pelanggan, dan Vidio 1,1 juta pelanggan. Sementara Netflix memiliki 800 ribu. Disney+ Hotstar gencar memberikan paket akses premium gratis, di-bundling dengan paket internet dari Telkomsel (mitra peluncurannya di Indonesia).

Terkait persaingan ini, Lesley cukup percaya diri. Tencent dianggap telah membentuk ekosistem di Indonesia dan juga memiliki basis utama sebagai perusahaan teknologi. Seperti diketahui, perusahaan juga mengoperasikan layanan Joox (musik), permainan (PUBG, AOV), WeChat (pesan instan), dan sebagainya. “Tahun 2021 bakal ada sinergi antarplatform Tencent. Tapi pandemi memang membuat limitasi, karena saat ini kami masih butuh banyak sekali dukungan talenta lokal, namun di sisi lain masih harus mengutamakan kesehatan dan protokol yang menyertainya,” ujarnya.


Gambar Header: Depositphotos.com

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here

Laporan Akamai: Pandemi Memunculkan Tantangan Monetisasi Bagi Platform Konten

Pandemi Covid-19 berdampak terhadap industri konten Indonesia dalam beberapa bulan terakhir. Laporan ini berdasarkan hasil wawancara dengan para pemimpin media senior di Indonesia sepanjang Maret-Mei 2020, seperti MediaCorp, MNC Media, Vidio.com, Foxtel, Telin, dan Kayo Sports.

Menurut laporan terbaru Akamai bertajuk “Indonesia: The Challenge of Monetizing in a Fast-Growing Market“, industri konten tanah air mengalami pertumbuhan signifikan, baik dari sisi trafik maupun pendapatan.

Pertumbuhan ini tercermin dari kenaikan trafik internet di 2020. Secara tahunan (YoY), pertumbuhan trafik di kuartal pertama 2020 mencapai 73 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang berkisar 139 persen. Sementara, secara kuartalan (QoQ), trafik dari Q1 ke Q2 2020 naik 46 persen dibandingkan periode sama 2019 yang hanya sekitar 5 persen.

Sumber: Akamai / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: Akamai / Diolah kembali oleh DailySocial

Regional Sales Director South Asia Akamai Matthew Lynn mengungkapkan bahwa peningkatan signifikan pada platform konten dan layanan berbasis internet lainnya memang tidak disangka oleh pelaku bisnis di bidang ini. Apalagi, penetrasi internet dan layanan konten belum sepenuhnya merata.

Sebagaimana diketahui, Indonesia mencapai milestone luar biasa selama dua dekade ini dari sisi jumlah pengguna internet. APJII sebagaimana dikutip Akamai dalam laporannya mencatat jumlah pengguna internet di Indonesia meningkat dari 2 juta di tahun 2000 menjadi 152 juta pengguna di 2019.

“Responden melihat pandemi menjadi faktor pendorong bagi kuntuk berlangganan konten dari sumber yang berkualitas dan kredibel. Karena situasi ini, persaingan untuk membuat konten eksklusif atau konten agregator serta upaya untuk memonetisasinya menjadi semakin ketat,” ungkap laporan ini.

Alasan konsumen tertarik untuk berlangganan antara lain dikarenakan oleh variasi konten banyak (51%), ketersediaan konten original (45%), ketersediaan konten existing yang sulit dicari di platform lain (27%), opsi free trial (24%), menonton tanpa iklan (17%), konten layak ditonton untuk anak-anak (16%), dan bundle dengan layanan lain (15%).

Ditambah lagi, secara umum industri media/konten di Indonesia dinilai terbilang masih berada di fase awal. Tak heran, kondisi ini memicu ruang pertumbuhan terhadap pemain baru jika melihat besarnya potensi pasar Indonesia.

Tekanan untuk monetisasi konten, model langganan atau iklan?

Pandemi mendatangkan trafik luar biasa terhadap bisnis konten. Akamai juga mencatat peningkatan pendapatan, terutama pada layanan video on-demand dengan CAGR 9,7% atau sebesar $306 miliar.

Akan tetapi, situasi ini justru memunculkan tantangan baru untuk tahapan selanjutnya: bagaimana melakukan scale up dan monetisasi layanan? Belum lagi, pandemi justru membuat konsumen lebih berhati-hati mengeluarkan budget untuk membeli konten.

Sumber: Statista / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: Statista / Diolah kembali oleh DailySocial

Masih dikutip di laporan Akamai, APJII melaporkan penurunan pendapatan pada 500 anggotanya, di mana hampir 45 persen dari bisnis mereka turun hingga 30 persen. Adapun, sebanyak 6 persen terpaksa menutup bisnisnya karena tidak sanggup untuk mengeluarkan biaya lebih banyak lagi.

Sejak awal, responden memang memprediksi terjadinya market correction, tetapi mereka tidak menduga situasi tersebut bakal terjadi secepat ini. Pasalnya, pelaku bisnis saat ini masih berupaya mencari cara lain untuk memonetisasi kontennya.

“Ini menjadi pressure buat para pelaku bisnis konten, terutama demi memenuhi permintaan konsumen yang mulai shifting pada kebiasaan baru selama masa pandemi, yakni menonton konten secara online,” papar Lynn.

Saat ini sebagian besar model bisnis konten mengandalkan langganan (subscription) dan iklan (ads). Kedua model ini cukup banyak diadopsi demi menaikkan viewership dan mudah dimonetisasi. Sebanyak 70 persen responden menilai subscription menjadi model yang sustainaible untuk monetisasi.

“Khususnya pada layanan streaming, bisnis konten ini terbilang kompetitif karena ditunjang oleh model free trial. Konsumen dimanjakan dengan berbagai opsi berlangganan. Pada akhirnya, platform ini fokus terhadap akuisisi dan retensi pelanggan,” jelasnya.

Beberapa responden memilih untuk menggunakan pendekatan hybrid sebagai model yang tepat. Caranya dimulai dengan menawarkan konten gratis dengan kualitas dan experience terbatas. Model ini dapat membuka peluang lebih lanjut bagi konsumen untuk menikmati experience lebih baik dengan berlangganan.

Bagi responden, strategi ini dinilai menarik karena konsumen dapat menikmati konten selagi mempertimbangkan untuk berlangganan, dan di saat yang sama penyedia platform dapat memonetisasinya melalui iklan dari opsi free trial.

“Ini berarti budget iklan harus bisa menghasilkan return yang lebih baik melalui penayangan iklan berkinerja tinggi yang dapat menunjukkan peningkatan addressability pada one-to-one advertising,” ungkap laporan ini.

 

Mola TV Stories: English Premier League and Its Mission with Local Content

Mola TV has been established since mid-2019, is a subsidiary of the Djarum Group which operates under the Polytron electronic device factory. Its business model is quite unique, combining cable television, IPTV, and video-on-demand. At the beginning, it’s quite captivating due to the exclusive airing of the Premier League.

DailySocial had the opportunity to have a discussion with Mola TV representative, Mirwan Suwarso, to explore the company’s vision and strategy. It is interesting because Mola rises in the middle of a competitive streaming service industry.

Mirwan Suwarso
Mirwan Suwarso, Mola TV’s representative is having a discussion with DailySocial / Mola TV

To begin with, Mirwan said, “We see the ball as a spear to introduce Mola and his long-term mission. Let people know first. And as time goes by, Mola is quite different after the pandemic. More new content is being displayed.”

When starting the Mola application, on a cellphone, website, or a smart television device, it is true that the content served is quite diverse. At first, other videos seemed to be complementary, but now it’s getting increased by time.

“Before the pandemic, the team focused on the soccer promotion, because the interest is high. There has not been any thought to extend content options. During the pandemic, we immediately reversed our mindset, especially when the football match was stopped, previously other content was only complementary, then it was designed to be the main show,” Mirwan explained.

Actually, what Mola has right now is plans for the next three to four years. The business model is executed faster than the timeline previously prepared. Since the pandemic, Mola “forced” all of its viewers to subscribe to access its content. Interestingly, Mirwan said, his customer statistics actually increased by 3 times, although he did not provide details on the exact number.

Local content

It was further explained, although football broadcasts had stopped, the increase in subscribers was mostly driven by local content, especially those targeting housewives and children. The Mola team is quite observant, because when the PSBB was implemented in various regions, people at home needed alternative content – both entertainment and education.

“From the beginning, the selection of content for children was more of an activity. For example, learning science together, making crafts, making experiments. It turns out positive for most people, therefore, we enrich the content. Then, we see that some Indonesians are in line with our mission to empower the nation,” he continued.

Many contents are self-produced, such as the one entitled “Sofa Kuning” which is included in the Mola Kids category. It is a family event featuring Indonesian children’s songs rearranged according to today’s musical tastes. The content is packaged in the form of karaoke and educational quizzes with prizes to be present through the Mola application. Also, we collaborate with NET TV for broadcasting. Here, the objective is quite noble, Mola wants to make Indonesian children more familiar with their nationality – “How many children now know the song Baby Shark better than Burung Kutilang ?,” Mirwan mentioned.

Sofa Kuning
Sofa Kuning, a tv program for children produced by Mola / Mola

In its production, Mola collaborates with vocational schools owned by Djarum. For example, SMK in Kudus has a concentration in animation and design.

“Mola wants to connect all of that into something that moves society. Mola was born to deliver that. However, if Mola starts from there, people won’t be interested. Therefore, we have to make people interested first, get to know first, that’s why the Premier League is in.”

Regarding football, he also emphasized that Mola did not stop there, they positioned the channel different from beIN Sport, FOX, or ESPN. The company feels required to contribute for Indonesia, then, it is realized through the “Dream Chasers Garuda Select” event. The company selected 24 young players from various regions in Indonesia (under 20 years) to be brought to Europe and coached for 8 months, therefore, they can start a more serious career in football. The show at Mola takes the form of a documentary of their journey.

“In the first year we found a player from Sorong named Braif Fatari, he did not belong to any PSSI club. We brought him to Europe [..] he is now playing for Persija and for the U-20 national team. That means we have involved in the fate of a person, the question is, can we did that to more people? This is still homework to work on. Hopefully one day, in the international leagues there will be players from Indonesia who contribute to the big clubs,” Mirwan said.

Mola’s program categories

Apart from content on Mola Kids, there are several other categories. One that is being developed is Mola Living. It contains exclusive content for families. Again, Mola emphasizes the “education” element in his series. For example, the program “Blusukan Butet Kertaradjasa”, which airs inspirational stories from people with great life experiences – one of them in the episode entitled “Farmers of the City”, there is a story of a former bankrupt gambler who is now successfully cultivating a kale plantation in Tangerang.

“If other people create infotainment in order to explore celebrities’ romance, we try to take another side. For example, in the ‘Musafir Malam’ program, Iwa K tries to explore the other side of characters who have interacted with the dark world, such as having been in prison, to gain lessons from the experience,” Mirwan explained. “There is also a ‘Cooking Impossible’ program, for the first time Farah Quinn comes out of her comfort zone, she cooks with her 2-year-old child. However, her cooking fails, you’ll get messed up by a 2-year-old child. But mothers experience situations like that. Funny, entertaining, and relate to the lives of many people. ”

In addition, Mola also airs Movies, News, Sports content, and most recently they also provide shows from HBO GO. The collaboration with HBO GO was only announced in early September 2020.

“HBO is proven to produce quality content. In addition, we also want to have the highest benchmark (for content). One of our conditions for the collaboration is that we will work together to produce joint content [..] Therefore, we want to bring the concept of our (local) program to the world through the channels owned by HBO,” he said.

Believe in local content

Analyzing Mola’s mission above, it is quite visible with Mola’s ambition towards local content. They have also started to collaborate with creators in Indonesia. It’s just the beginning, one of them with Lifelike Pictures in the middle of making two series comedy and drama genre; and it’s open for more local studios.

His optimism for local content is also quite “brave” amid the strike of many foreign films and series presented through various platforms. Mirwan does not deny this fact.

“Those who like soap operas will watch soap operas, those who enjoy Korean drama will always be happy with it. We never force it, but what we are trying to do is that the quality of our content must be as good as them (from the outside). I have never forgotten the movie Berbagi Suami, Sherina’s Adventure, AADC that can make people like Indonesian films when everyone is talking about foreign films. We should make something like that,” Mirwan emphasized.

With the 3 time increase in customers during the pandemic, Mola expects his strategy is well validated and the company is in the right direction.

Related to Polytron

Perangkat streaming ke televisi yang diproduksi bersama Polytron / Blibli
Streaming device for television produced with Polytron / Blibli

Another unique fact is that Mola also sells streaming devices made by Polytron. It allows the television to broadcast on-demand and live shows on Mola TV. Regarding this, Mirwan emphasized the Mola TV company is under Polytron. This platform is actually designed to make local electronic device manufacturers can compete in the smart TV market.

“All smart TVs were making effort to have Netflix, Disney+; it is our idea to present a difference. Therefore, a Mola Streaming Device was made to be complementary and expected to become a joint force in order to become a superior local product. It is one of the strategies,” Mirwan concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Cerita Mola TV, Liga Inggris dan Misinya dengan Konten Cita Rasa Lokal

Mola TV hadir sejak pertengahan tahun 2019, merupakan anak usaha milik Djarum Group yang beroperasi di bawah pabrik perangkat elektronik Polytron. Model bisnisnya cukup unik, menggabungkan kapabilitas televisi kabel, IPTV, dan video on-demand. Di awal kehadirannya cukup menggebrak, karena menjadi mitra eksklusif penyiar Liga Inggris.

DailySocial berkesempatan untuk berbincang dengan perwakilan Mola TV, Mirwan Suwarso, mendalami visi dan strategi perusahaan. Menarik untuk disingkap, karena Mola hadir di tengah industri layanan streaming yang bersaing ketat.

Mirwan Suwarso
Mirwan Suwarso, Perwakilan dari Mola TV yang berbincang dengan DailySocial / Mola TV

Mengawali perbincangannya Mirwan mengatakan, “(Acara) Bola kami lihat sebagai unjung tombak untuk memperkenalkan Mola dan misi jangka panjangnya. Biar orang kenal dulu. Dan kalau dilihat, Mola yang sekarang sudah berbeda dengan sebelum pandemi. Semakin banyak konten-konten baru yang disuguhkan.”

Ketika membuka aplikasi Mola, baik di ponsel, situs web, maupun via perangkat televisi pintar, benar saja saat ini varian tontonan yang disuguhkan lebih beragam. Jika di awal kemunculannya, video lain terkesan sebagai pelengkap, sekarang justru disuguhkan dengan lebih serius.

“Sebelum pandemi tim fokusnya memikirkan promosi pertandingan sepak bola, karena memang memiliki minat yang tinggi. Belum terpikirkan untuk mendorong konten di luar itu. Pas pandemi kita langsung membalik pola pikirnya, apalagi saat pertandingan bola dihentikan, tadinya konten lain hanya sebagai pelengkap, lalu didesain untuk menjadi suguhkan utama,” terang Mirwan.

Sebenarnya apa yang ada di Mola saat ini adalah rencana mereka di tiga sampai empat tahun mendatang. Model bisnis pun dieksekusi lebih cepat dari timeline yang sebelumnya dipersiapkan. Sejak masa pandemi Mola “memaksa” semua pemirsanya untuk berlangganan, agar bisa mengakses konten-kontennya. Menariknya Mirwan menyebut, justru statistik pelanggannya malah naik sampai 3x lipat dibanding sebelumnya, kendati ia tidak memaparkan detail jumlah pastinya.

Sofa Kuning dan cita rasa konten lokal

Lebih lanjut dijelaskan, kendati tayangan bola sempat terhenti, peningkatan pelanggan banyak didorong oleh konten lokal, khususnya yang menyasar kalangan ibu rumah tangga dan anak-anak. Tim Mola cukup jeli di sini, karena di saat PSBB diberlakukan di berbagai daerah, orang-orang di rumah butuh konten alternatif – baik yang bersifat hiburan maupun pendidikan.

“Dari awal pemilihan konten-konten untuk anak lebih banyak yang sifatnya aktivitas. Misalnya belajar sains bersama, membuat prakarya, buat eksperimen. Ternyata banyak yang suka, maka kita perkaya konten itu. Dari sana kita melihat sebagian masyarakat Indonesia selaras dengan misi kami untuk memajukan bangsa,” lanjut Mirwan.

Banyak konten yang diproduksi sendiri, seperti salah satunya berjudul “Sofa Kuning” yang masuk dalam kategori Mola Kids. Yakni sebuah acara keluarga yang menampilkan lagu-lagu anak Indonesia yang diaransemen ulang sesuai selera musik jaman sekarang. Hal ini ditengarai, lagu anak-anak lokal yang beredar saat ini memiliki nuansa musik yang membosankan, padahal jika ditinjau secara lirik dan pesan cakupannya cukup bagus. “Jadi kalau kita dengar lagu Tik Tik Bunyi Hujan di Mola, harapannya nggak kalah seru sama ketika mendengar lagu Raisa,” terang Mirwan.

Acara Sofa Kuning juga dikemas secara interaktif, menghadirkan karaoke dan kuis berhadiah. Di NET TV, acara tayang setiap hari Sabtu pukul 18.30 WIB, pengguna juga bisa mengakses lewat aplikasi Mola sekaligus untuk menjawab kuis edukatif yang disampaikan saat acara live. Ada hadiah sampai 200 juta Rupiah untuk 45 pemenang setiap minggunya, berbentuk tabungan hingga barang menarik seperti iPad. Uniknya, yang membawakan acara ini juga sebuah keluarga kecil, yakni pasangan Aqi Singgih dan Audrey Meirina serta kedua buah hati mereka, membuat suasana acara semakin hangat.

Untuk ikut kuis interaktif, pengguna bisa masuk ke aplikasi Mola, lalu memilih fitur Games dan pilih opsi Sofa Kuning untuk menjawab. Soal akan diberikan saat penayangan acara di NET TV. “Pertanyaannya mendasar seputar ke-Indonesia-an; misalnya menanyakan Bandung itu dipimpin wali kota atau gubernur, sebelum jadi Papua nama pulau di Indonesia timur itu namanya apa, dll. Kita mengemas ulang pelajaran IPS, IPA dalam bentuk hiburan yang seru, dengan tujuan anak Indonesia tidak lupa kalau dia anak Indonesia,” imbuh Mirwan.

Di sini tujuannya cukup mulia, Mola ingin membuat anak Indonesia lebih kenal dengan Indonesia – “Berapa banyak anak sekarang yang lebih kenal lagu Baby Shark ketimbang Burung Kutilang?,” ujar Mirwan.

Sofa Kuning
Sofa Kuning, acara untuk anak-anak yang diproduksi Mola / Mola

Dalam produksinya, Mola turut menggandeng sekolah kejuruan untuk menghadirkan konten menarik di setiap tayangan acara Sofa Kuning. Misalnya dengan SMK Raden Umar Said di Kudus yang memiliki konsentrasi di bidang animasi dan desain. Jadi ketika lagu dimainkan, akan ada animasi yang mengiringi, dengan harapan makin menambah minat anak-anak untuk menonton. Konten Sofa Kuning bisa dilanggan dengan biaya yang cukup terjangkau, yakni melalui paket “Movie & Kids” di Mola seharga Rp12.500,- per bulan.

“Mola ingin mengawinkan semua itu menjadi sesuatu yang menggerakkan masyarakat. Mola dilahirkan buat itu. Tapi kalau Mola mulainya dari situ orang tidak akan tertarik. Maka kita harus membuat orang tertarik dulu, kenal dulu, makanya Liga Inggris masuk.”

Terkait bola, ia pun menegaskan bahwa Mola tidak berhenti di situ, mereka menegaskan posisinya berbeda dengan beIN Sport, FOX, atau ESPN. Perusahaan merasa harus memiliki andil untuk Indonesia, maka direalisasikan melalui acara “Dream Chasers Garuda Select”. Perusahaan memilih 24 pemain muda dari berbagai daerah di Indonesia (di bawah 20 tahun) untuk dibawa ke Eropa dan dibina selama 8 bulan, agar bisa mulai meniti karier bersepak bola secara lebih serius. Tayangan di Mola berbentuk dokumenter perjalanan mereka.

“Di tahun pertama kita menemukan pemain dari Sorong namanya Braif Fatari, dia tidak tergabung di klub PSSI mana pun. Kita bawa dia ke Eropa [..] dia kini bermain buat Persija, dan buat Timnas U-20. Berarti kita sudah menyentuh nasib satu orang, pertanyaannya bisa tidak kita menyentuh lebih banyak orang lagi? Ini menjadi PR yang masih akan kita kerjakan. Harapannya suatu saat, di liga-liga internasional ada pemain-pemain dari Indonesia yang mengisi klub-klub besar di sana,” kata Mirwan.

Kategori tayangan di Mola

Selain konten di Mola Kids, ada beberapa kategori lainnya. Satu yang tengah dikembangkan adalah Mola Living. Di dalamnya berisi konten-konten eksklusif untuk keluarga. Lagi-lagi Mola menekankan unsur “pendidikan” di dalam seri-serinya. Sebut saja acara “Blusukan Butet Kertaradjasa” yang mengangkat kisah inspirasi dari orang-orang dengan pengalaman hidup hebat — salah satunya di episode berjudul “Petani Kota”, ada kisah mantan penjudi bangkrut yang kini sukses mengolah perkebunan kangkung di Tangerang.

“Kalau orang lain bikin infotainment mengulik asmara selebriti, kita coba ambil sisi lain. Misalnya di acara ‘Musafir Malam’, di sana Iwa K mencoba mengulik sisi lain tokoh-tokoh yang pernah berserempetan dengan dunia gelap, seperti pernah masuk penjara, untuk diambil pelajaran dan hikmahnya,” terang Mirwan. “Ada juga acara ‘Cooking Imipossible’, untuk pertama kalinya Farah Quinn keluar dari zona nyamannya, dia masaknya bareng anaknya yang berumur 2 tahun. Lebih sering masakannya gagal, lha masak direcokin anak 2 tahun. Tapi kan ibu-ibu mengalami situasi seperti itu. Lucu, menghibur, dan relate dengan kehidupan banyak orang.”

Selain itu Mola juga memiliki konten Movies, News, Sport, dan yang paling baru mereka turut suguhkan tayangan dari HBO GO. Kerja samanya dengan HBO GO baru diresmikan awal September 2020 ini.

“HBO terbukti menghasilkan konten berkualitas. Selain itu kita juga ingin memiliki tolok ukur yang paling tinggi (untuk konten). Salah satu syarat kerja sama kita dengan mereka, kita akan bekerja sama untuk produksi konten bersama [..] Jadi kita mau bawa konsep acara (lokal) kita mendunia lewat kanal-kanal yang dimiliki HBO,” jelas Mirwan.

Keyakinan terhadap konten lokal

Membaca misi Mola yang disampaikan di atas, cukup terasa ambisi Mola terhadap konten lokal. Mereka juga mulai membuka kerja sama dengan kreator di Indonesia. Baru dimulai, salah satunya dengan Lifelike Pictures tengah membuat dua serial bergenre komedi dan drama; dan tidak menutup kemungkinan dengan lebih banyak studio lokal.

Optimismenya terhadap konten lokal juga cukup “berani” di tengah gempuran banyak film dan serial dari luar yang disuguhkan lewat berbagai platform. Mirwan tidak menampik fakta tersebut.

“Yang suka sinetron akan nonton sinetron, yang senang drakor akan tetap selalu senang drakor. Kita tidak pernah memaksakan, tapi yang kita upayakan kualitas konten kita harus sebagus mereka (dari luar). Saya tidak pernah lupa film Berbagi Suami, Petualangan Sherina, AADC mereka bisa membuat orang suka dengan film Indonesia di saat semua orang ngomongin film asing. Dan kami harus bikin yang seperti itu,” tegas Mirwan.

Dengan peningkatan pelanggan 3x lipat saat pandemi, Mola merasa strateginya tersebut tervalidasi baik dan perusahaan sedang berada di arah yang benar.

Hubungan dengan Polytron

Perangkat streaming ke televisi yang diproduksi bersama Polytron / Blibli
Perangkat streaming ke televisi yang diproduksi bersama Polytron / Blibli

Keunikan lain, Mola juga menjual perangkat streaming pabrikan Polytron. Memungkinkan televisi untuk menyiarkan tayangan on-demand maupun live yang ada di Mola TV. Terkait ini, Mirwan menegaskan bahwa perusahaan Mola TV berada di bawah Polytron. Platform ini sebenarnya juga didesain agar produsen perangkat elektronik lokal tersebut mampu bersaing di pasar smart TV.

“Semua smart TV berebut ada Netflix, Disney+; lalu muncul ide untuk menghadirkan pembeda. Maka dibuatlah Mola Streaming Device untuk menjadi komplementer, agar bisa menjadi kekuatan bersama untuk menjadi produk lokal unggulan. Jadi memang itu menjadi salah satu strateginya,” jelas Mirwan.

Application Information Will Show Up Here

TrueID Memilih Optimalkan Iklan, Gratiskan Konten Video di Platformnya

Sengitnya kompetisi layanan video on-demand tak menyurutkan minat TrueID menawarkan layanannya di Indonesia. TrueID hadir ke Indonesia dengan semangat diversifikasi konten yang cukup drastis dari layanan sejenisnya.

TrueID hadir di sini sejak 18 Agustus kemarin, diluncurkan oleh True Digital Group dan berada di bawah naungan True Digital Indonesia. True Digital Group sendiri adalah anak perusahaan dari True Corp, bagian dari Charoen Popkhand konglomerasi raksasa asal Thailand.

TrueID mengandalkan konten asal Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand sebagai senjata utama merebut pasar. Bedanya, mereka berani menawarkan jenis konten yang tergolong tak umum ditemukan di platform lain. Country Head Armand Siahaan memberi contoh, pihaknya turut menawarkan drama berdurasi pendek tiap episodenya.

“Contoh lainnya kita akan perbanyak konten dari Thailand mulai dari film, drama serial lakorn yang tidak banyak ditawarkan di platform lain,” ujar Armando.

Armando juga menyadari bahwa keberadaan konten orisinal sebagai syarat mutlak untuk merebut hati penonton lokal. Itu sebabnya ia dan tim sedang menggandeng rumah produksi dan kreator konten. Konten orisinal yang dipersiapkan itu diperkirakan bisa rilis pada akhir tahun ini atau awal tahun depan

Jenis video yang mereka akan tawarkan pun akan beragam seperti dokumenter, fesyen, kuliner, hingga anime. Ini tak lepas dari pihak-pihak yang bekerja sama dengan TrueID untuk membesarkan jumlah tayangan mereka. Sebut saja perusahaan televisi, studio digital, hingga distributor internasional. Bahkan TrueID juga akan menyuguhkan konten berbasis teks kepada audiens, sesuatu yang jarang ditemukan dari layanan video on demand sejenis.

Tak berbayar

TrueID tidak mengenakan biaya berlangganan bagi penggunanya. Pasalnya mereka memilih model bisnis berbasis iklan. Mereka juga membuka kesempatan bagi sponsor bergabung ke dalam platformnya.

Opsi itu diambil karena dari riset yang mereka lakukan masih banyak penonton Indonesia yang belum bersedia mengeluarkan biaya berlangganan untuk menonton tayangan dari platform digital. Namun mereka juga sadar ada konten-konten tertentu yang sanggup membuat penonton rela merogoh koceknya.

“Dari sisi model bisnis ini masih memungkinkan,” imbuh Armando.

Armando tak menyebut jumlah pasti koleksi judul TrueID. Namun ia menegaskan saat ini mereka sudah menyediakan sekitar ratusan hingga ribuan judul tayangan di platform mereka.

Armando juga belum bisa menyebut kisaran jumlah penonton mereka. Hanya saja menurut keterangannya komposisi penikmat layanan TrueID didominasi oleh audiens generasi Z dan milenial, perempuan, dan mereka yang bermukim di Jakarta dan Surabaya.

Aplikasi mobile di tahun depan

Armando mengakui pihaknya masih mencari formula terbaik dalam memenuhi keinginan pasar. Salah satu yang sudah mereka sepakati adalah tidak hanya menyediakan konten tayangan berdurasi panjang seperti di layanan video on-demand lain.

“Kami yakin selera orang berbeda-beda dan kami ingin memenuhi minat mereka tersebut,” pungkas Armando.

Meski semua konten did TrueID bisa dinikmati secara gratis, saat ini layanan mereka baru bisa diakses melalui situs web saja. Mereka menargetkan tahun depan aplikasi untuk mengakses konten TrueID sudah tersedia tahun depan.

Selain mengembangkan fitur dan layanan, TrueID saat ini masih terus fokus menambah jumlah tayangan mereka, baik dengan akuisisi maupun memproduksi sendiri.

Loket Live Studio Diluncurkan, Aplikasi “Video Conferencing” Terintegrasi untuk Penyelenggaraan Acara Online

Loket hari ini (22/9) secara resmi merilis produk teranyarnya berjuluk “Loket Live Studio”. Sederhananya, layanan ini memfasilitasi siapa saja yang ingin mengadakan acara secara online. Di dalamnya sudah termasuk fitur untuk mempublikasikan acara, monetisasi, hingga menayangkan acara secara langsung.

Secara konsep mirip dengan aplikasi Zoom atau Google Meet yang sebelumnya banyak dipakai untuk menggelar acara live online. Bedanya, Loket mengintegrasikan fitur tersebut dengan berbagai layanan yang sudah ada di ekosistem miliknya, sehingga tidak perlu lagi memasang aplikasi untuk melakukan video conferencing atau live streaming. Dengan ini bisa dikatakan kini Loket mengakomodasi penyelenggaraan acara online secara end-to-end.

Dalam jumpa pers virtual yang diadakan siang ini, VP Loket Mohamad Ario Adimas mendemokan Loket Live Studio. Beberapa fitur broadcasting/live streaming diintegrasikan ke layanan Loket yang bisa diakses melalui situs web. Menunya cukup standar dan tergolong simpel, mulai dari audio/video call, pesan, hingga berbagi layar. Nilai unik yang coba dihadirkan, Live Studio juga dilengkapi konfigurasi kamera/audio tambahan, memungkinkan penyelenggara acara untuk menambahkan perangkat input lebih banyak.

Sementara untuk distribusi akses di sisi pengguna, Loket Live Studio juga memiliki fitur yang tergolong baru. Biasanya acara online menggunakan tautan video streaming tunggal untuk semua peserta, sementara di Live Studio setiap peserta akan mendapatkan tautan unik untuk masuk ke dalam acara. Hal ini menurut Adimas lebih efektif untuk digunakan dalam acara online berbayar — mengurangi risiko tautan tunggal tadi tersebar secara publik.

Untuk dapat memanfaatkan layanan LOKET Live Studio, cukup membuka halaman Loket dan memilih fitur buat event, untuk selanjutnya mengikuti langkah-langkah yang disediakan, dan mengaktifkan layanan Live Studio.

Sebelumnya, bulan Mei 2020 lalu Loket sudah lebih dulu merilis layanan Loket Live. Memungkinkan pengelolaan acara virtual. Di dalamnya mencakup beberapa layanan, mengintegrasikan sistem manajemen tiket dan streaming video dengan dukungan teknologi GoPlay.

Head of Loket Tubagus Utama menyampaikan, selama masa pandemi lebih dari 97% acara yang terselenggara menggunakan Loket digelar secara virtual. Inovasi yang dihadirkan telah berhasil membantu penyelenggaraan lebih dari 7200 acara oleh 2800 penyelenggara, dengan penjualan tiket mencapai hampir 500 ribu semenjak pandemi melanda di Maret hingga Agustus 2020.

“Sebagai bentuk dukungan bagi industri, kehadiran LOKET Live Studio dapat dimanfaatkan oleh para content creator atau siapa pun yang mempunyai keahlian tertentu dan tertarik untuk mencoba mengadakan online event sebagai platform kunci untuk menjadi sumber penghasilan baru,” imbuh Tubagus.

Sebelumnya, DailySocial bekerja sama dengan Populix sempat melakukan survei terkait produktivitas online selama era “work from home”. Aplikasi produktivitas (68%) menempati porsi tertinggi yang paling sering dipakai selama periode tersebut, selisih tipis dengan aplikasi hiburan (66%).

Survei Aktivitas Selama Pandemi

Untuk alat komunikasi, paling banyak menggunakan WhatsApp (68%), lalu Zoom (16%) dan Google Meet (4%). Sebanyak 42% responden mengaku menggunakan aplikasi-aplikasi tersebut lebih dari 5 jam. Menariknya aplikasi pendidikan juga mendapatkan porsi yang cukup besar, yakni 32%. Selama di rumah ada tren di kalangan masyarakat untuk menambah pengetahuan dengan mengikuti berbagai kelas-kelas yang diajarkan secara online.

Application Information Will Show Up Here

Migo Develops Business Maturity in Indonesia, Partnering with Small Shops to Distribute Videos

Migo.tv (Migo) announced the closing of the Series B2 funding round. Participated also some well-known names in the Southeast Asian technology industry, such as Gojek and Lippo Karawaci’s Commissioner Ray Zage, YouTube’s Co-founder & ex-CTO Steve Chen, Agaeti Ventures’ Founder Pandu Sjahrir. One of their plans is to further develop their plans in Indonesia.

Migo’s representative said that its main objective in this round is to gather teams in supporting Migo to develop their plans in Indonesia.

“We are pleased with the quality of Indonesian investors who have joined us in this round, and they have provided strategic advantages for Migo,” one of Migo’s representatives told DailySocial.

Migo will bring their expertise in providing their flagship service in  Indonesia through online to offline (O2O) videos-to-go which allows users to watch offline without buffering.

First developed by Barrett Comiskey, Migo allows app users to download movies and TV shows from Wargo (Warung Migo). In simple terms, users only need to go to the location of the grocery store that works with Migo to download movies or TV shows on the spot, and so they can enjoy the content offline.

“We just started this service in mid-June, we’re still quite an unknown brand [..] Our average customer visits Wargos to download 2 times per week. Average downloads per download day are nearly 800 MB, which is more of 4x the amount of data transmitted by the average mobile operator,” Migo’s representative said.

In particular, Migo’s target market is the mass market segment having issues with data and does not have adequate connectivity at home. Migo is here to solve this problem with global player partners such as Disney +, Netflix, and HBO.

“We are excited to find new investors with experience and expertise in the field when we launch it in Indonesia. With their capital and support, they have allowed us to focus on our core mission of giving everyone smartphone access to premium digital content at affordable prices. reduce the risk of our launch, and take advantage of this favorable environment,” Migo’s Founder and CEO Barret Comiskey said.

Migo’s business

Migo started his journey in Indonesia in March, and finally established in June with a subscription model. Since then, Migo claims to have experienced a quite high increase, especially in the current pandemic condition.

Migo explained that their first product was O2O video-to-go, also included in their plan to present exclusive technology for one-way digital experiences for learning materials, O2O e-commerce, services, finance, and others.

“In 2021 we will expand our network to more than 5000 locations and our active customer base to millions. Based on our current results, we also hope to achieve operating profitability by 2021,” Migo’s representative said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Migo Matangkan Bisnis di Indonesia, Bermitra dengan Warung untuk Distribusi Video

Migo.tv (Migo) mengumumkan penutupan putaran pendanaan seri B2. Beberapa nama tersohor di industri teknologi Asia Tenggara turut serta di dalamnya seperti Komisioner Gojek dan Lippo Karawaci Ray Zage, Co-founder & ex-CTO Youtube Steve Chen, Founder Agaeti Ventures Pandu Sjahrir. Salah satu rencana mereka adalah mengukuhkan rencananya di Indonesia.

Juru bicara Migo menyebutkan, bahwa tujuan utama mereka dalam putaran ini adalah membantu tim yang bisa mendukung Migo dalam mengembangkan upaya-upaya mereka di Indonesia.

“Kami senang dengan kualitas investor Indonesia yang bergabung dengan kami dalam putaran ini, dan mereka telah memberikan keuntungan strategis bagi Migo,” terang salah satu juru bicara Migo kepada DailySocial.

Migo di Indonesia akan membawa keahlian mereka dalam menyediakan layanan andalan mereka berupa online to offline (O2O) videos-to-go yang memungkinkan pengguna menonton secara offline tanpa buffering.

Dikembangkan oleh Barrett Comiskey, Migo memungkinkan pengguna aplikasi untuk mengunduh film dan acara TV dari Wargo (Warung Migo). Secara sederhana pengguna hanya perlu menuju lokasi warung kelontong yang bekerja sama dengan Migo untuk mengunduh film atau acara TV di tempatnya, dan seterusnya bisa menikmati konten secara offline.

“Kami baru saja memulai layanan ini pada pertengahan Juni, jadi kami merek yang relatif belum dikenal luas [..] Rata-rata pelanggan kami mengunjungi Wargos untuk mengunduh 2 kali per minggu. Pengunduhan rata-rata per hari pengunduhan hampir 800 MB, yang lebih dari 4x jumlah data yang dikirimkan oleh operator seluler rata-rata,” jelas juru bicara Migo.

Secara khusus target pasar Migo adalah segmen pasar masal yang memiliki isu  dengan data dan tidak memiliki konektivitas memadai di rumah. Migo hadir untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan mitra pemain global seperti Disney+, Netflix, dan HBO.

“Kami sangat senang bisa mendapatkan investor baru dengan pengalaman dan keahlian di lapangan saat kami meluncurkannya di Indonesia. Dengan modal dan dukungan mereka, mereka mengizinkan kami untuk fokus pada misi inti kami yaitu memberi semua orang akses ponsel cerdas ke konten digital premium di harga terjangkau, kurangi risiko peluncuran kami, dan manfaatkan lingkungan yang menguntungkan ini,” terang Founder dan CEO Migo Barret Comiskey.

Rencana bisnis Migo

Migo mulai menapaki perjalanan di Indonesia sejak Maret, sebelum kemudian meluncur penuh di dunia Juni dengan model berbayar. Sejak saat itu Migo mengklaim mengalami lonjakan cukup tinggi, terlebih di kondisi pandemi seperti sekarang ini.

Pihak Migo menjelaskan, produk pertama mereka adalah O2O video-to-go, kemudian masuk dalam rencana mereka untuk menghadirkan teknologi eksklusif untuk pengalaman digital satu arah untuk materi pembelajaran, O2O e-commerce, layanan, keuangan, dan lainnya.

“Di 2021 kami akan mengembangkan jaringan kami ke lebih dari 5000 lokasi dan basis pelanggan aktif kami menjadi jutaan. Berdasarkan hasil kami saat ini, kami juga berharap dapat mencapai profitabilitas operasi pada tahun 2021,” ujar salah satu juru bicara Migo.

Application Information Will Show Up Here