Kesepian Saat PPKM? Ini Sejumlah Cara untuk Bermain Minecraft Multiplayer

Minecraft memang menjadi salah satu game sandbox singleplayer maupun multiplayer terbaik. Rilis resmi di tahun 2011, Minecraft langsung menarik minat begitu banyak orang. Bahkan sampai saat ini, Minecraft masih diminati oleh banyak pemain. Ditambah lagi update yang belum lama ini keluar, versi 1.17, memberikan beberapa tambahan konten dan perubahan di Minecraft.

Image Credit: Dream

Bermain Minecraft sendirian memang seru tetapi bagaimana pengalaman bermain Minecraft bersama teman? Mulai dari membuat satu rumah sampai satu komplek perumahan bersama, pastinya akan menciptakan pengalaman yang seru bukan? Jika Anda bingung dan kesulitan mencari cara bermain Minecraft multiplayer, jangan khawatir! Kami sudah merangkum berbagai cara untuk bermain Minecraft bareng teman.

Sebelum masuk lebih dalam, Anda harus mengetahui bahwa Minecraft dibagi menjadi 2 edisi, yaitu Java Edition dan Bedrock Edition. Java Edition merupakan edisi Minecraft yang hanya bisa dimainkan di PC, Mac, dan Linux. Lalu, Bedrock edition tersedia di berbagai platform seperti PC, PlayStation, iOS, Android, Xbox, serta Nintendo Switch. Bedrock Edition juga mendukung sistem cross-play, jadi pemain dapat bermain bersama antar platform di atas. Perlu dicatat, Minecraft edisi Java tidak bisa bermain bersama dengan Bedrock.

Tanpa basa-basi lagi, yuk simak beberapa cara ini!

 

Menggunakan LAN (Local Area Network)

LAN atau Local Area Network merupakan cara yang paling mudah untuk bermain Minecraft multiplayer. Namun, opsi ini hanya berfungsi jika para pemain berada di jaringan WIFI atau LAN yang sama.

Image Credit: MOJANG

Langkah-langkah untuk membuka server Minecraft LAN pada Java Edition:

  1. Anda harus membuat World singleplayer baru atau memasuki Worldyang sudah ada.
  2. Tekan tombol ESC di keyboard Anda, untuk membuka Game Menu
  3. Pilih tombol ‘Open to LAN’ di Game Menu dan atur pengaktifan kode Cheat serta Game Mode yang akan dimainkan bersama teman-teman Anda.
  4. Pilih ‘Start LAN World’ dan teman Anda sudah bisa bergabung dengan mencari server LAN Anda di bagian Multiplayer.

Untuk Minecraft Bedrock Edition, server LAN akan terbuat dengan sendirinya. Jadi Anda hanya perlu memasuki World dan teman Anda langsung bisa ikut serta bermain.

 

Minecraft Realms

Image Credit: MOJANG

Realms pertama kali diperkenalkan oleh Mojang pada tahun 2014. Fitur ini bertujuan untuk memudahkan para pemain Minecraft bermain bersama. Realms ini tersedia di kedua edisi, Java dan Bedrock. Kelemahannya, Anda harus membayar lagi untuk membuat Realm.

Cara Membuat Minecraft Realm

Image Credit: MOJANG

Untuk membuat Realm pada Minecraft Java Edition, Anda harus membayar US$7,99 atau sekitar Rp116 ribu per bulan untuk Realm dengan maksimal 10 pemain. Anda bisa melihat harganya lebih lengkap di website resmi Minecraft. Anda dapat mengaktifkan uji coba 30 hari gratis untuk mengetes fitur ini dan batalkan kapanpun jika tidak tertarik.

Setelah membeli Realm, Anda dapat membuka Minecraft dan pilih Minecraft Realms. Di sini, Anda akan menemukan Realm yang Anda beli tadi. Anda dapat memilih “Configure Realm” untuk mengkonfigurasi pemain-pemain yang dapat bergabung, memperpanjang langganan Realms, mengatur Game Mode, dan banyak lagi.

Namun, cara membuat Realm pada Bedrock Edition sedikit berbeda. Di edisi Bedrock, Anda dapat memilih antara membuat Realm dengan pemain maksimal 2 orang atau 10 orang. Harga Realms di Bedrock Edition sama dengan Java Edition untuk varian 10 orang. Sedangkan Realm dengan pemain maksimal 2 orang dibanderol dengan harga US$3,99 atau sekitar Rp48 ribu per bulannya.

Image Credit: MOJANG

Langkah-langkah membuat Realm di Minecraft Bedrock Edition:

  1. Buatlah World baru dengan menekan tombol “Create New World” di bagian Play.
  2. Setelah mengatur beberapa pengaturan di samping kanan, pilih “Create on Realms” dan pilih Realm dengan 2 atau 10 pemain maksimal.
  3. Untuk 2 Player Realm, Anda bisa langsung menamai Realm, membaca dan menyetujui syarat dan ketentuan, dan pilih “Create Realm” di bagian bawah.
  4. Untuk 10 Player Realm, Anda dapat memilih “Buy Now” di daftar navigasi. Lalu, namai Realm Anda, membaca dan menyetujui syarat dan ketentuan, dan pilih “Start Free Trial”.

Cara Join Minecraft Realm

Di Java Edition, jika pemain lain mengundang Anda ke Realm mereka, Anda dapat menerima undangannya dengan membuka game Minecraft dan pilih opsi Minecraft Realms.

Image Credit: Buisness Insider

Pada bagian atas layar, di samping kanan tulisan Minecraft Realms terdapat ikon amplop kecil. Amplop ini berisi undangan-undangan yang Anda terima.

Di Bedrock Edition, cara bergabung ke Realm pemain lain identik dengan Java. Anda memerlukan undangan untuk masuk ke Realm pemain lain.

Anda juga bisa masuk ke Realm pemain lain dengan meminta kode undangan. Kode ini memiliki format “realms.gg/abcdefg”, Anda hanya perlu huruf-huruf di belakang “realms.gg” untuk dimasukkan ke halaman “Join Realm” pada Minecraft.

 

Multiplayer dengan Server Third-Party

Selain metode LAN dan menggunakan server resmi Minecraft Realms, Anda juga bisa bermain bersama di server-server third party (bukan resmi dari Minecraft) seperti Hypixel, Mineplex, The Hive, dan banyak lagi.

Server Publik Third-Party

Image Credit: MOJANG

Untuk Java Edition, Anda bisa mencari ratusan bahkan ribuan server publik third party menggunakan website yang memuat daftar server seperti MinecraftServers.org.

Berikut merupakan langkah-langkah cara bergabung ke server third party,

  1. Salin alamat IP dari server yang Anda ingin masuki. Alamat IP server memiliki rupa seperti “contoh.alamatip.net”.
  2. Buka Minecraft dan pilih “Multiplayer”. Lalu, pilih “Add Server” atau “Direct Connection”.
  3. Tempel alamat IP yang tadi Anda salin ke kotak berjudul “Server Address”.
  4. Jika Anda memilih “Add Server”, server yang Anda tambahkan akan tampil di halaman “Play Multiplayer”. Anda dapat menekan tombol “Join Server” untuk masuk ke server tersebut.
Image Credit: MOJANG

Untuk Bedrock Edition, cara menambahkan server juga sama dengan edisi Java. Anda juga bisa mencari server-server untuk edisi Bedrock di Google. Bedanya, di edisi ini terdapat beberapa “Featured Server”. Server-server yang berada di daftar Featured ini merupakan beberapa server terpopular yang memiliki banyak pemain dan game mode.

Server Third-Party Pribadi

Bukan hanya server-server publik, Anda juga bisa membuat server third-party sendiri. Banyak metode untuk membuat server pribadi, beberapa caranya meliputi port-forwarding, menggunakan website hosting server seperti Aternos, atau menggunakan program seperti Hamachi.

 

Minecraft Bedrock Edition Cross-Play

Seperti yang disebut di atas, Minecraft edisi Bedrock memiliki fitur Cross-Play. Caranya, Anda tinggal login akun Xbox di halaman utama Minecraft. Lalu, mengirim permintaan pertemanan ke teman Anda. Dan saat Anda sedang di dalam WorldAnda dapat mengundang pemain di daftar pertemanan untuk bermain bersama.

 

Minecraft Split Screen di Konsol

Terakhir, Anda bisa bermain bersama teman atau saudara dengan cara berbagi layar menggunakan konsol Xbox, PlayStation, atau konsol lainnya. Namun demikian, khusus untuk Nintendo Switch, Anda butuh sepasang Joy-Con (baik kiri dan kanan) untuk setiap orang agar bisa bermain bersama di satu layar.


Nah sekarang Anda sudah mengetahui bagaimana cara bermain Minecraft multiplayer. Mudah bukan?

Jika Anda bosan bermain Minecraft yang monoton, Anda bisa mencoba menggunakan mods yang menyajikan pengalaman baru bermain Minecraft. Jika ingin mengetahui mod-mod bagus yang dapat dimainkan, Anda dapat melihatnya di sini.

The Increasing Complexity and Impact of Mobile Gaming In the Last 10 Years

Back in 1997, popular mobile games (or the only mobile games that exist) such as Snake in the Nokia phones were relatively simple in design. However, as mobile technology continues to develop, game devs continue to create more complex and interesting games. In 2002, X-Forge 3D was released. With this game engine, many games with 3D graphics or elements were created. And since then, mobile games have continued to evolve, not only in terms of visuals but also in gameplay mechanics.

The Growing Impact of the Mobile Platform in the Gaming Industry

The contribution and effects of mobile gaming on the gaming industry continue to rise every year. In 2020, almost half of the total revenue of the gaming industry came from the mobile platform. This year, mobile games contributed $90.7 billion USD — or about 52% — of the total game industry revenue, which is expected to reach $175.8 billion USD. Furthermore, when compared to the console and PC game industry, the mobile game industry also has the fastest growth rate. In the 2018-2021 period, the Compound Annual Growth Rate (CAGR) of the mobile game industry reached 13.1%, which is 5% greater than the average CAGR of the gaming industry.

The gaming industry in 2021. | Source: Newzoo

Mobile gaming is not only superior in terms of generating revenue but also in terms of player numbers. According to Newzoo, the estimated number of gamers in the world in 2021 is 3.22 billion. 94% of these gamers, surprisingly, play games on mobile. Furthermore, there are approximately only 1.4 billion PC gamers and 900 million console gamers in the entire world. Therefore, the population of the gaming community is extensively dominated by mobile gamers. 

If we observe how each region contributes to the growth of the overall gaming industry, Asia Pacific is still the region with the largest contribution. More specifically, the region contributed to 50% (or around $88.2 billion USD) of the total game industry revenue. However, China and the United States are the two countries with the biggest gaming industries as around 48% of the gaming industry income originates from these two countries. The gaming industry in China and the US is worth $45.6 billion USD and $39.1 billion USD, respectively.

Trends in Mobile Gaming

Due to the influx of people entering the world of mobile gaming, more and more developers are becoming interested in creating mobile games themselves. Even giant gaming companies that have solely focused on PC or consoles begin to dive into the mobile gaming scene. We can take Riot Games as an example. For 10 years, they put almost all of their focus on developing and perfecting League of Legends, their primary PC game franchise. Riot even had some disagreement with Tencent in the past since they didn’t want to launch League of Legends on mobile. Ironically, however, Riot decided to finally launch League of Legends: Wild Rift for mobile in 2020.

Blizzard Entertainment and Nintendo have also attempted to publish their own mobile game franchises. Electronic Arts have also acquired Glu Mobile, showing their interest in jumping into the mobile gaming genre. There are also some reports that EA will release a mobile version of Apex Legends next year. Besides Apex Legends, several popular game franchises, such as Devil May Cry and Final Fantasy, now also have their own mobile version. Currently, more and more popular PC and console games are also being released in mobile as game developers continue to find ingenious ways to accommodate the gaming experience into a smartphone.

Popular mobile game genres in the US, UK, China, India and Saudi Arabia. | Source: Newzoo

Mobile games are also highly popular in developing countries, including China and India, due to their relatively low entry barrier. Thus, developers who want to target the gaming market in these countries can do so by publishing a mobile game. However, it should be noted that mobile gamers in these developing countries usually prefer the more complex and competitive mobile games. In China, for instance, most gamers love the MOBA genre, followed by puzzle, shooter, and battle royale. Indian gamers, similarly, mostly play racing, puzzle, sports, and shooter games. In Saudi Arabia, the top popular gaming genres are puzzle, sports, racing, and adventure. 

In contrast, the favorite genres of mobile gamers in the US are puzzle, match, traditional card games, and arcade. Mobile gamers in the UK also seem to have a similar taste as that of the US. Perhaps the only popular competitive genre in the US is strategy, which is why games like Clash of Clans and Clash Royale from Supercell are quite trendy there. Furthermore, the 4X strategy games created by a handful of Chinese developers has also sold well in the US, making it into the list of the most popular mobile games in the country.

Mobile gamer personas in the US, UK, China, India, and Saudi Arabia. | Source: Newzoo

In its report, Newzoo categorizes mobile gamers into seven groups: Ultimate Gamer, All-Round Enthusiast, Subscriber, Conventional Player, Hardware Enthusiast, Popcorn Gamer, and Time Filler. The two most popular gamer personas are Time Fillers (24%) and Subscribers (23%). Time Fillers generally only play games in their spare time or at social events. Subscribers, on the other hand, love to play high-quality games, especially the free-to-play ones. They will also only purchase the necessary gaming hardware to be able to run the game.

Most mobile gamers in China fit into the Ultimate Gamer persona who spend most of their time and money on games. In Saudi Arabia, the US, and India, the Subscriber group are most prevalent, while UK mobile gamers generally fall into the Time Fillers group.

The Development of China’s Mobile Gaming Industry

Currently, China is the country with the largest number of core mobile gamers. The reason why this came to be was interestingly tied to the Chinese’s government decision to ban console games up to 2015. As a result, PCs became the primary gaming platform in the country. The popular PC games in China mostly come from the competitive genre such as FPS (Counter-Strike) or MMORPGs (World of Warcraft and Fantasy Westward).

It was only in 2010 that gamers in China were introduced to mobile games through the likes of Angry Birds and Fruit Ninja. Concurrently, local smartphone companies such as Xiaomi, OPPO, Vivo, and Huawei, began to shift their target market into lower and middle-class users. Slowly but surely, they began to dominate the smartphone market in China, and almost everyone in the country now has access to a smartphone. 

Seizing the growth of the smartphone market, several game developers begin creating games on the mobile platform. In 2012, Shenxiandao Mobile was launched. This release also inspired game developers to recreate mobile games that were based off popular browser games. One year later, Locojoy released I AM MT, a mobile game that successfully integrated PC game mechanics into mobile.

The increasing revenue share of complex mobile games in China. | Source: Newzoo

Game developers continue to optimize the mobile gaming mechanics to reach the standards of the PC gaming experience. Honor of Kings, released in 2015, was one of the games that had major breakthroughs in this regard. Fantasy Westward Journey and CrossFire Mobile are also prime examples of successful PC-adapted mobile games. These two games still holds the record of one of the best-selling games in China.

Trends in the PC gaming world are also often copied in mobile gaming. For instance, when the Battle Royale genre was becoming a craze in the PC gaming community, Tencent soon released PUBG Mobile, which was later re-released under the name Peacekeeper Elite.

The boom of mobile gaming in China has undoubtedly driven the emergence of mobile esports. The first-ever global mobile esports tournament was held in China back in 2019. Today, many Chinese game developers are experimenting and trending toward cross-platform games. Not so recently, miHoYo launched one of the hottest and most successful games in 2020 called Genshin Impact. And after the release of Revelation Mobile in January, it is safe to say that the trend of cross-platform games will continue for the near future. 

Featured Image: Freepik. Translated by: Ananto Joyoadikusumo

Jatuh Bangun Industri Konsol Handheld: Dulu, Sekarang, dan Nanti

Mobile gaming dianggap sebagai salah satu alasan mengapa PlayStation Vita gagal ketika Sony meluncurkan handheld tersebut pada akhir 2011/awal 2012. Sejak saat itu, muncul diskusi bahwa mobile gaming akan mematikan industri konsol, khususnya handheld. Meskipun begitu, Nintendo Switch, yang dirilis pada 2017, sukses besar. Perusahaan Jepang itu bahkan berencana untuk meluncurkan versi baru dari Switch, bernama Switch OLED, pada Oktober 2021. Tak hanya Nintendo, Valve juga akan merilis handheld, yang dinamai Steam Deck, pada Desember 2021. Dua hal ini menunjukkan, industri konsol handheld masih belum mati.

Awal Mula Konsol Handheld

Tak bisa dipungkiri, Nintendo punya peran besar dalam industri konsol handheld. Empat dari lima konsol handheld terpopuler sepanjang masa merupakan konsol buatan perusahaan Jepang tersebut. Baca sejarah Nintendo di tautan ini.

Selain itu, Nintendo juga dianggap sebagai perusahaan yang berhasil mempopulerkan konsol handheld. Meskipun begitu, Nintendo bukan perusahaan pertama yang membuat konsol handheld. Perusahaan pertama yang membuat handheld adalah Mattel, yang meluncurkan Auto Race pada 1976. Walau disebut “konsol”, Auto Race hanya bisa digunakan untuk memainkan satu game balapan.

Setelah peluncuran Auto Race, ada beberapa perusahaan yang mencoba untuk mengikuti jejak Mattel, seperti Coleco dan Milton Bradley. Sama seperti Mattel, dua perusahaan itu juga membuat handheld yang hanya bisa memainkan satu game saja. Salah satu konsol handheld generasi pertama yang laku keras adalah Merlin. Konsol yang dirilis pada 1978 itu berhasil terjual sebanyak lebih dari empat juta unit.

Microvision mengawali era kedua dari konsol handheld. Konsol buatan Milton Bradley itu juga menjadi handheld pertama yang menggunakan cartridge. Dengan begitu, Microvision bisa memainkan lebih dari satu game. Namun, sejak diluncurkan, Microvision punya banyak masalah, seperti yang disebutkan oleh Engadget. Salah satunya, jumlah game yang terbatas. Selain itu, layar LCD pada Microvision juga sering mengalami masalah “screen rot” karena proses manufaktur yang primitif. Keypad pada Microvision juga mudah rusak.

Microvision dari Milton Bradley. | Sumber: Wikimedia

Konsol handheld pertama buatan Nintendo adalah Game & Watch, yang dirilis pada 1980. Sejak 1980 sampai 1991, Nintendo akan merilis beberapa versi dari Game & Watch. Pada awalnya, desain Game & Watch sangat sederhana. Di konsol ini, Anda hanya akan menemukan d-pad dan sebuah tombol. Daya tarik utama dari handheld ini adalah karena ia bisa memainkan sejumlah game yang populer ketika itu, seperti Donkey Kong, Mario Bros, dan Balloon Fight.

Pada 1984, Epoch meluncurkan handheld yang dinamai Game Pocket Computer. Konsol handheld tersebut memiliki layar LCD berukuran 75×64 pixels. Jika dibandingkan dengan Microvision, Game Pocket Computer memiliki kualitas yang jauh lebih baik. Hanya saja, konsol yang hanya bisa memainkan lima game itu tetap tidak populer.

Nintendo meluncurkan Game Boy pada 1989. Game Boy bisa dibilang sebagai salah satu konsol paling sukses sepanjang sejarah. Harga yang terjangkau menjadi salah satu alasan mengapa Game Boy bisa sukses. Faktor lain di balik kesuksesan Game Boy adalah game-game yang bisa dimainkan di handheld tersebut. Ketika diluncurkan, Game Boy sudah dilengkapi dengan Tetris, yang dianggap sebagai salah satu game terbaik dari konsol ini.

Pada tahun yang sama Nintendo meluncurkan Game Boy, Atari merilis Lynx. Handheld tersebut dikembangkan oleh Atari bersama dengan Epyx. Jika dibandingkan dengan Game Boy, Lynx punya grafik yang lebih baik. Hanya saja,  Lynx juga punya harga yang lebih mahal. Atari merombak desain Lynx pada 1991. Sayangnya, hal itu tidak membuat Lynx menjadi lebih populer dan Nintendo tetap menguasai pasar konsol handheld.

Atari Lynx. | Sumber: Engadget

Selain Atari, NEC juga mencoba untuk bersaing dengan Nintendo di pasar handheld dengan meluncurkan Turbo Express dari NEC. Dari segi ukuran, Turbo Express tidak jauh berbeda dengan Game Boy. Tak hanya itu, konsol ini juga sudah punya layar warna. Anda bahkan bisa menggunakannya sebagai TV. Namun, harganya yang lebih mahal — Game Boy dihargai US$109 dan Turbo Express US$300 — membuatnya tak populer.

Pada 1990, Sega merilis Game Gear. Konsol handheld itu terbilang cukup sukses pada eranya. Sama seperti Lynx dan Turbo Express, Game Gear juga sudah dilengkapi dengan layar berwarna. Sega juga berhasil menekan harga dari Game Gear, menjadi US$149. Jika dibandingkan dengan Lynx dari Atari, Game Gear juga punya pilihan game yang lebih beragam. Namun, kesuksesan Sega dengan Game Gear tetap tak bisa menggoyahkan Nintendo sebagai penguasa pasar konsol handheld.

Sega kembali menantang dominasi Nintendo dengan merilis Nomad pada 1995. Pada dasarnya, Nomad merupakan versi portable dari Genesis, home console buatan Sega. Genesis sendiri cukup populer, dengan total penjualan mencapai 30,75 juta unit. Sayangnya, baterai Nomad tidak dapat bertahan lama. Selain itu, ukuran Nomad juga cukup besar. Alhasil, handheld tersebut pun gagal.

Game.com jadi handheld pertama yang bisa terhubung ke internet. | Sumber: Wikipedia

Game.com dari Tiger Electronics menjadi konsol handheld pertama yang dilengkapi dengan internet. Handheld tersebut juga dilengkapi dengan fitur Personal Digital Assistant (PDA). Sayangnya, jumlah game yang bisa dimainkan di konsol itu tidak banyak. Selain itu, fungsi internet di konsol tersebut juga sangat terbatas. Anda hanya bisa menggunakan internet untuk membuka email atau menjelajah internet dalam bentuk teks.

Neo-Geo, yang dikenal berkat game arcade mereka, meluncurkan konsol handheld bernama Neo-Geo Pocket pada 1998. Ketika itu, Pocket masih menggunakan layar hitam putih. Sejak awal peluncuran, Pocket memang sudah menemui masalah. Satu tahun setelah Pocket diluncurkan, Neo-Geo merilis Pocket Color. Mereka juga berhasil membawa beberapa game yang menjanjikan ke konsol tersebut. Sayangnya, mereka gagal mendapatkan dukungan dari developer pihak ketiga.

Nintendo merilis Game Boy Color pada 1998. Sesuai namanya, handheld tersebut sudah dilengkapi dengan layar berwarna. Selain itu, ia juga dilengkapi dengan fitur backward compatibility. Artinya, konsol itu bisa memainkan game-game di Game Boy. Hanya saja, grafik Game Boy Color lebih baik dari pendahulunya. Pada 1999, Bandai merilis WonderSwan, yang digantikan oleh WonderSwan Color satu tahun kemudian. Salah satu daya jual dari konsol buatan Bandai tersebut adalah karena ia merupakan satu-satunya handheld yang bisa memainkan game-game Final Fantasy. Hal ini membuat konsol itu cukup sukses di Jepang. Namun, hubungan Nintendo dan Squaresoft — developer dari Final Fantasy — membaik. Dengan begitu, pemilik Game Boy Advance dapat memainkan game Final Fantasy, yang merupakan kabar buruk untuk Bandai.

Game Boy Advance, yang Nintendo rilis pada 2001, juga punya dampak besar pada industri konsol handheld. Sama seperti pendahulunya, salah satu keunggulan GBA adalah pilihan game yang beragam. Di GBA, Anda bisa memainkan game-game yang di-porting dari home console Super Nintendo. Selain itu, GBA juga punya beberapa game orisinal, seperti Advance Wars. Pada 2003, Nintendo merilis versi baru dari GBA yang disebut GBA SP. Versi terbaru tersebut sudah dilengkapi dengan frontlit display.

Game Boy Advance. | Sumber: Wikipedia

Nokia mencoba untuk menarik perhatian gamers ketika mereka meluncurkan N-Gage pada 2003. Dari segi komputasi, N-Gage memang cukup mumpuni. Hanya saja, ketika itu, mobile gaming masih belum booming seperti sekarang. Orang-orang belum terbiasa dengan ide memainkan game di ponsel. Alhasil, Nokia hanya menjual 3 juta unit N-Gage. Masih pada 2003, Nintendo memperkenalkan Nintendo DS. Ketika desain DS diunggah ke internet, banyak gamers yang mereka skeptis. Namun, perlahan tapi pasti, Nintendo berhasil memenangkan hati para gamers dengan meluncurkan game-game berkualitas untuk DS.

PlayStation Portable, yang diluncurkan pada 2004, menjadi konsol handheld pertama dari Sony. Ketika diluncurkan, PSP merupakan handheld dengan daya komputasi terbaik. Selain itu, PSP juga bisa dihubungkan ke PlayStation 2 dan 3, PC, PSP lain, dan bahkan internet. Tak hanya untuk bermain game, PSP juga bisa digunakan untuk menonton film. PSP adalah satu-satunya handheld yang menggunakan Universal Media Disc (UMD) sebagai storage. Konsol handheld Sony ini cukup sukses. Buktinya, total penjualan PSP mencapai lebih dari 80 juta unit.

Tiger Telematics merilis Gizmondo pada 2005. Handheld ini punya daya komputasi yang cukup mumpuni dan punya berbagai fitur unik, seperti GPS dan kamera. Sayangnya, harga yang mahal dan kurangnya game yang menarik membuat handheld itu menjadi tidak populer. Handheld ini hanya terjual sebanyak kurang dari 25 ribu unit, menjadikannya sebagai salah satu konsol handheld terburuk. Sejak peluncuran Gizmondo, ada sejumlah handheld yang diluncurkan, seperti GP2X — yang memungkinkan untuk memainkan game dari banyak konsol lain dengan bantuan simulator — digiBlast, V.Smile Pocket, VideoNow XP, Didj, Pandora, iXL, dan lain sebagainya. Hanya saja, tidak ada handheld yang berhasil meraih sukses layaknya konsol buatan Nintendo.

Gizmondo dianggap sebagai salah satu handheld dengan penjualan terburuk. | Sumber: CNET

Pada 2011, Nintendo merilis 3DS. Sama seperti pendahulunya, 3DS punya dua layar. Handheld tersebut juga punya toko digital sendiri dan bisa digunakan untuk memainkan game-game DS. Sayangnya, 3DS tidak sesukses DS. Menurut GeekWire, salah satu alasan mengapa 3DS kurang populer adalah harganya yang cukup mahal, yaitu US$250 saat diluncurkan. Untuk mengatasi masalah ini, Nintendo memotong harga 3DS US$170. Sayangnya, strategi ini gagal untuk mendorong penjualan 3DS.

Di tahun yang sama, untuk lebih tepatnya pada Desember 2011, Sony juga meluncurkan handheld baru, yaitu PlayStation Vita. Walau Nintendo gagal untuk mendominasi pasar dengan 3DS, Sony juga tak bisa menggantikan posisi Nintendo dengan Vita. Sama seperti 3DS, Vita juga dianggap sebagai proyek gagal Sony. Kegagalan Vita dan 3DS bukan akhir dari indusstri konsol handheld. Masih ada sejumlah konsol handheld yang diluncurkan, seperti Kids Pad dari LG, Neo Geo X, GWC Zero, Shield Portable dari NVIDIA, GPD XD dan GPD Win, serta Arduboy. Namun, pasar konsol handheld baru kembali bergairah setelah Nintendo meluncurkan Switch, yang merupakan konsol hibrida.

Kegagalan PS Vita dan Kesuksesan Nintendo Switch

Apa yang membuat PS Vita gagal? Dan kenapa Nintendo bisa sukses dengan Switch? Sebelum membahas jawaban dari dua pertanyaan itu, coba Anda perhatikan daftar konsol handheld terpopuler di bawah ini. Daftar ini dibuat berdasarkan total penjualan dari masing-masing konsol:

1. Nintendo DS, terjual sebanyak 154 juta unit
2. Game Boy & Game Boy Color, terjual sebanyak 118,69 juta unit
3. Nintendo Switch, terjual sebanyak 84,59 juta unit
4. Game Boy Advance, terjual sebanyak 81,51 juta unit
5. PlayStation Portable, terjual sekitar 80-82 juta unit

Seperti yang bisa lihat pada daftar di atas, empat dari lima konsol handheld terlaris merupakan buatan Nintendo. Faktanya, Nintendo DS merupakan konsol paling laku nomor dua, hanya kalah dari PlayStation 2, yang merupakan konsol terpopuler sepanjang masa.

Jika dibandingkan dengan home console — seperti PlayStation dan Xbox — konsol handheld punya kelebihan sendiri. Salah satunya adalah mobilitas. Handheld tak hanya punya desain yang lebih ringkas dari home console, ia juga bisa dimainkan tanpa TV. Dengan begitu, Anda bisa membawa handheld ketika Anda sedang berpergian. Selain itu, dari segi harga, handheld juga cenderung lebih murah. Saat diluncurkan pada Maret 2017, Nintendo Switch dihargai US$300. Sebagai perbandingan, PlayStation 4 dihargai US$399 ia diluncurkan. Padahal, PS4 diluncurkan pada 2013. Tentu saja, handheld juga punya kekurangan, seperti daya komputasi yang kurang mumpuni dari home console.

Oke, sekarang, mari kita membahas tentang alasan mengapa PS Vita gagal dan Nintendo Switch sukses.

Sony meluncurkan PlayStation Vita pada Desember 2011, pada tahun yang sama ketika Nintendo merilis 3DS. Namun, seperti yang sudah dibahas di atas, 3DS tidak sesukses pendahulunya. Sayangnya, 3DS bukanlah satu-satunya pesaing yang harus PS Vita hadapi. Ketika itu, PS Vita juga harus bersaing dengan Android dan iPhone. Memang, jika dibandingkan dengan 3DS atau Vita, daya komputasi smartphone masih lebih cupu. Meskipun begitu, smartphone punya keunggulan sendiri, yaitu ia bisa digunakan untuk hal lain selain bermain game, seperti mengakses email, menonton video, dan lain sebagainya.

PS Vita punya beberapa fitur unik. | Sumber: The Verge

Untuk memenangkan hati para gamers, Sony merilis sejumlah game eksklusif untuk PS Vita, seperti Uncharted: Golden Abyss. Game itu mendapatkan skor 80% di Metacritic dan 8,5/10 di IGN, yang berarti, game itu tidak buruk sama sekali. Hanya saja, Golden Abyss — atau game-game eksklusif untuk Vita lainnya, seperti Persona 4 Golden — kurang menarik di mata gamers kasual. Pasalnya, kebanyakan game eksklusif Vita punya cerita yang berbobot. Artinya, game-game itu tidak bisa dimainkan dalam waktu sebentar, tidak cocok untuk dimainkan di sela-sela waktu luang. Sementara itu, di smartphone, Anda akan bisa menemukan banyak game kasual, seperti Candy Crush.

Hal lain yang menjadi alasan mengapa Vita gagal adalah ketiadaan dukungan dari developer pihak ketiga. Game-game dari franchise populer — seperti Monster Hunter, Kingdom Hearts, Metal Gear Solid, dan Tekken — tak pernah diluncurkan untuk Vita, seperti yang disebutkan oleh The Gamer. Harga juga punya peran di balik kegagalan PS Vita. Saat diluncurkan, harga Vita cukup mahal, yaitu US$249. Bersamaan dengan Vita, Anda juga harus membeli memory cards untuk menyimpan game. Ketika itu, harga memory card belum semurah sekarang. Memory card dengan kapasitas 4GB saja dihargai US$20, sementara memory card dengan kapasitas 32GB dihargai US$100. Sekarang, Anda bisa menemukan memory card 32GB dengan harga di bawah Rp100 ribu.

Walau dianggap gagal, Vita sebenarnya punya beberapa fitur menarik, seperti cross-play. Ketika Anda memainkan game yang sama di PS3 dan Vita, Anda bisa melanjutkan game Anda dari save point yang sama. Hanya saja, fitur cross-play ini cukup merepotkan, tidak semudah fitur cross-platform di game-game modern. Untuk menggunakan fitur cross-play, Anda harus mengunggah data dari PS3 ke cloud dan mengunduhnya di PS Vita. Pada akhirnya, Sony diperkirakan hanya dapat menjual 16 juta unit PS Vita.

Switch merupakan konsol hibrida.

Nintendo meluncurkan Switch pada Maret 2017. Ketika itu, mobile game sudah menjadi industri dengan nilai US$46,1 miliar. Menurut perkiraan Newzoo, industri game pada 2017 bernilai US$108,9 miliar. Hal itu berarti, mobile game memberikan kontribusi sekitar 42% dari total pemasukan industri game. Namun, Nintendo Switch tetap dapat bertahan dan justru menjadi salah satu konsol handheld terpopuler. Gamasutra menyebutkan, salah satu daya tarik Switch adalah game-game eksklusif dari Nintendo, seperti Legend of Zelda: Breath of the Wild dan Mario Odyssey. Selain membuat game sendiri, Nintendo juga menggandeng developer pihak ketiga untuk membuat game di Switch. Berkat usaha Nintendo ini, para pemilik Switch bisa memainkan game dari berbagai franchise populer, termasuk Monster Hunter, BioShock, dan Dark Souls.

Game berbobot layaknya hukuman mati bagi Vita. Namun, hal ini justru menjadi daya jual Switch. Mengapa begitu? Alasannya sederhana: karena pada 2017, mobile gamers sudah mulai tertarik dengan game-game “serius”. Vainglory, yang merupakan game MOBA, dirilis pada November 2014. Pada 2015, Tencent merilis Honor of Kings, alias Arena of Valor. Setelah itu, Tencent juga mengembangkan ekosistem esports dari Honor of Kings. Alhasil, mobile game pun mulai dianggap serius. Pada 2016, Vulkan API dirilis. API tersebut memungkinkan smartphone untuk menampilkan grafik game yang lebih baik dan menghemat daya baterai smartphone. Dan pada 2017, Razer merilis smartphone khusus gaming, yang menjadi bukti keberadaan hardcore mobile gamers.

Selain jajaran game yang menarik, keunggulan lain dari Switch adalah desainnya yang eye-catching. Walau Switch bisa masuk dalam kategori konsol handheld, tapi ia juga bisa dianggap sebagai home console. Ketika terpasang pada dock, Switch bisa dimainkan layaknya home console biasa. Dan keunikan ini menjadi salah satu daya jual Switch.

Steam Deck: Dapatkah Membuat Industri Handheld Kembali Bergairah?

Kesuksesan Nintendo dengan Switch menjadi bukti bahwa industri handheld belum mati. Dan Nintendo bukan satu-satunya perusahaan yang tertarik untuk membuat konsol handheld. Pada akhir 2020, GPD, perusahaan asal Tiongkok memperkenalkan konsol handheld yang bisa digunakan untuk memainkan game PC, dinamai GPD Win 3. Sementara pada Maret 2021, Aya Neo, perusahaan asal Tiongkok lainnya, mengadakan kampanye crowdfunding di Indiegogo untuk membuat konsol handheld berbasis Windows yang bisa digunakan untuk bermain game PC.

Belum lama ini, Valve juga mengumumkan bahwa mereka akan meluncurkan Steam Deck pada Desember 2021. Sama seperti GPD Win 3 dan Aya Neo, Steam Deck juga merupakan konsol handheld yang bisa memainkan game PC. Pengumuman akan Steam Deck disambut dengan hangat. Buktinya, hanya dalam sehari, daftar pre-order dari konsol itu langsung penuh. Keberadaan konsol-konsol handheld gaming PC ini menunjukkan bahwa masih ada tempat untuk konsol handheld di masa depan. Memang, jika dibandingkan dengan smartphone, konsol handheld sebenarnya punya kelebihan tersendiri.

Salah satu keunggulan konsol handheld adalah pilihan game yang lebih menarik. Game eksklusif merupakan strategi yang biasa digunakan oleh perusahaan  pembuat konsol seperti Sony dan Nintendo untuk mendorong penjualan konsol mereka. Sementara dalam kasus Steam Deck, konsol itu bahkan bisa mengakses ribuan game yang tersedia di Steam. Selain itu, keberadaan konsol handheld juga bisa membantu Anda untuk menghemat baterai smartphone. Pasalnya, bermain game di ponsel — apalagi game yang berat — bisa menghabiskan baterai dengan cepat. Padahal, sekarang ini, kita semakin tergantung pada smartphone. Jadi, walau smartphone bisa digunakan untuk bermain game, sebagian gamers mungkin lebih memilih untuk bermain di konsol handheld, apalagi ketika mereka sedang berpergian dan jauh dari colokan.

Steam Deck merupakan handheld yang bisa memainkan game PC. | Sumber: PC Mag

Seperti yang disebutkan oleh Daniel Ahmad, Senior Analyst, Niko Partners, konsep handheld gaming PC bukanlah sesuatu yang baru. Hanya saja, untuk mempopulerkan konsol handheld yang bisa memainkan game PC, konsol itu harus bisa memenuhi dua persyaratan. Pertama, konsol itu punya daya komputasi yang cukup mumpuni untuk memainkan game-game PC. Kedua, harga konsol tersebut cukup terjangkau bagi kebanyakan orang.

Steam Deck menggunakan AMD Zen 2. PC Gamer menyebutkan, APU yang digunakan pada Steam Deck didasarkan pada arsitektur Zen 2 — yang juga digunakan pada prosesor Ryzen 3000 — dan RDNA 2, yang bertanggung jawab atas pemprosesan grafik. Dari segi jumlah Compute Unit, Steam Deck memang masih kalah dari Xbox Series X — Steam Deck punya 8 Compute Unit dan Xbox Series X punya 20. Meskipun begitu, Valve mengklaim bahwa Steam Deck cukup kuat untuk memainkan semua game yang ada di Steam.

“Kami ingin agar Steam Deck bisa memainkan semua game yang ada di Steam,” kata Pierre-Loup Griffais, developer Valve, dikutip dari PC Gamer. “Dan kami belum menemukan game yang tidak bisa dimainkan oleh konsol ini.”

Masalah kedua yang harus bisa diselesaikan oleh Steam Deck dan konsol handheld untuk game PC lainnya adalah harga. Kepada IGN, Gabe Newell mengaku, harga yang Valve tetapkan untuk Steam Deck itu “menyakitkan”.  Namun, dia sadar, jika Valve ingin Steam Deck sukses, mereka harus rela memasang harga yang terjangkau. Berikut daftar harga Steam Deck, berdasarkan besar memori:

  • Versi 64GB, seharga US$399
  • Versi 256GB, seharga US$529
  • Versi 512GB, seharga US$649

Sebagai perbandingan, Aya Neo dihargai sekitar US$700-900, sementara GPD Win 3 dihargai US$1.60 di Amazon. Valve berani untuk menekan harga Steam Deck karena mereka masih bisa mendapatkan untung dari penjualan game di Steam. Jadi, secara teori, Steam Deck berpotensi untuk menjadi handheld yang populer. Dan hal ini bisa mendorong pertumbuhan pasar konsol handheld. Sekalipun penjualan Steam Deck tidak terlalu sukses, keberadaannya akan tetap menarik bagi sebagian gamers, khususnya fans Valve.

Penutup

Setelah mempopulerkan konsep handheld, Nintendo menguasari pasari konsol handheld selama beberapa dekade. Walau sempat gagal dengan 3DS, Nintendo kembali mendulang sukses ketika mereka merilis Switch. Kesuksesan Nintendo dengan konsol handheld mendorong banyak perusahaan lain untuk membuat handheld. Namun, tidak ada konsol yang dapat menggoyahkan posisi Nintendo. Dalam daftar konsol handheld terlaris sepanjang masa, PSP jadi satu-satunya konsol yang tidak dibuat oleh Nintendo.

Meskipun begitu, saat ini, muncul beberapa perusahaan yang mencoba untuk merealisasikan konsep handheld gaming PC, seperti Valve, GPD dan Aya Neo. Dari ketiga perusahaan itu, Valve menjadi satu-satunya perusahaan yang berani menekan harga dari konsol mereka. Tidak heran, mengingat Valve memang lebih besar dari GPD dan Aya Neo. Selain itu, walau Valve hanya mendapatkan untung kecil dari penjualan Steam Deck — atau justru tidak mengambil untung sama sekali — mereka masih bisa mendapatkan untung dari Steam.

Terlepas dari itu, jika konsep handheld gaming PC berhasil direalisasikan, hal itu akan mengubah lanskap industri gaming, membuat konsol handheld kembali relevan dalam industri game saat ini.

Sumber header: Tom’s Guide

Industri Mobile Game Tumbuh Pesat, Amerika Latin Menarik Perhatian Publisher

Pada akhir Juni 2021, Moonton mengungkap bahwa mereka bakal menggelar Mobile Legends Professional League (MPL) di Brazil, yang merupakan MPL pertama di luar Asia tenggara. Tak lama kemudian, Riot Games juga mengumumkan rencana mereka untuk mengadakan kompetisi Wild Rift di Brazil. Hal ini sebenarnya tidak aneh, mengingat Brazil dan negara-negara Amerika Latin lainnya memang memiliki industri mobile game yang cukup besar. Berikut data terbaru tentang industri mobile game di Amerika Latin.

Industri Mobile Game Amerika Latin

Sama seperti Asia Tenggara, di Amerika Latin, mobile game merupakan segmen industri game yang paling besar. Sebanyak 273,4 juta orang (sekitar 58% dari total populasi Amerika Latin) bermain mobile game. Dari segi pemasukan, pendapatan industri mobile game di Amerika Latin diperkirakan akan mencapai US$3,5 miliar pada 2021, menurut data dari Newzoo. Angka itu diduga akan naik menjadi US$5,1 miliar pada 2024.

Brazil merupakan negara dengan industri mobile game terbesar di kawasan Amerika Latin, baik dari segi jumlah gamers maupun total belanja para gamers. Pada 2021, 88,4 juta mobile gamers yang ada di Brazil menghabiskan lebih dari US$1 miliar. Sementara itu, negara dengan industri mobile game terbesar kedua di Amerika Latin adalah Meksiko. Industri mobile game di Meksiko bernilai hampir US$900 juta.

Pengelompokan gamers di Amerika Latin berdasarkan umur. | Sumber: Newzoo

Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di atas, sebagian besar mobile gamers di Amerika Latin ada di rentang umur 21-35 tahun. Dari segi gender, jumlah mobile gamers perempuan hampir sama dengan jumlah gamers laki-laki. Karena kebanyakan mobile gamers di Amerika Latin berumur di atas 20 tahun, mereka sudah punya pekerjaan. Faktanya, sebagian besar mobile gamers di Amerika Latin punya pemasukan yang cukup besar. Karena itu, mereka tidak keberatan untuk menghabiskan sebagian uangnya untuk game.

Karakteristik Pemain Mobile Game di Amerika Latin

Kebanyakan mobile game bisa dimainkan dengan gratis. Jadi, tidak semua mobile gamers rela menghabiskan uang untuk membeli item dalam game. Di Asia Tenggara, total spending para gamers dipengaruhi oleh pendapatan per kapita dari negara tempat gamers tinggal. Semakin tinggi pendapatan per kapita sebuah negara, semakin besar pula besar spending dari para gamers. Singapura, Malaysia, dan Thailand adalah tiga negara dengan Average Revenue Per User (ARPU) terbesar di Asia Tenggara, mencapai sekitar US$25-60.

Di Amerika Latin, total belanja rata-rata dari seorang gamer di 2021 adalah US$27,3, naik dari US$26,1 pada 2020. Sementara itu, dari 273,4 juta pemain di Amerika Latin, sebanyak 128,5 juta orang — atau sekitar 47% — merupakan pemain berbayar. Jumlah pemain berbayar di kawasan Amerika Latin juga menunjukkan tren naik. Pada 2020, jumlah pemain berbayar hanya mencapai 46% dari total mobile gamers di kawasan tersebut.

Jumlah mobile gamers dan spenders di Amerika Latin. | Sumber: Newzoo

Google Play Store memberikan kontribusi terbesar pada total pemasukan mobile game di Amerika Latin. Faktanya, 68% dari total pemasukan toko aplikasi berasal dari Google Play. Sementara App Store hanya berkontribusi 29,9% dan toko aplikasi lain 1,5%. Google Play menjadi platform favorit para mobile gamers di Amerika Latin untuk berbelanja karena jumlah pengguna Android di Amerika Latin memang lebih banyak dari jumlah pengguna iPhone. Pasalnya, dengan spesifikasi serupa, harga Android cenderung lebih murah dari iPhone. Tak hanya itu, Android juga menawarkan lebih banyak pilihan untuk smartphone kelas menengah dan bawah.

Faktor Pendorong Pertumbuhan Industri Mobile Game di Amerika Latin 

Salah satu hal yang membuat industri mobile game di Amerika Latin tumbuh pesat adalah entry barrier mobile game yang cenderung rendah. Negara-negara Amerika Latin punya peraturan yang ketat terkait impor. Alhasil, harga konsol dan PC gaming di sana melambung. Jika dibandingkan dengan konsol atau PC gaming, smartphone memiliki harga yang jauh lebih terjangkau. Hal ini membuat penetrasi smartphone di kawasan Amerika Latin cukup tinggi. Pada akhir 2021, diperkirakan, 53% dari total populasi Amerika Latin (sekitar 351,9 juta orang) memiliki smartphone. Dan pada 2023, jumlah pengguna smartphone di Amerika Latin diduga akan naik hingga lebih dari 400 juta orang.

Faktor lain yang mendorong pertumbuhan industri mobile game di Amerika Latin adalah pesatnya pembangunan infrastruktur internet di kawasan tersebut. Seiring dengan semakin luasnya jangkauan internet di Amerika Latin, industri mobile game pun akan semakin berkembang. Ke depan, penggelaran jaringan 5G juga akan mendorong pertumbuhan pengguna internet. Pada akhir 2021, jumlah smartphone yang sudah dapat menggunakan jaringan 5G diduga akan mencapai 20 juta unit. Angka itu diperkirakan akan naik 5 kali lipat pada akhir 2023. Sayangnya, perkembangan jaringan internet di negara-negara Amerika Latin tidak merata. Tingkat penetrasi internet di negara Amerika Latin tergantung pada beberapa faktor, yaitu politik, keuangan, regulasi, dan topologi dari masing-masing negara.

Tema favorit para mobile gamers di Amerika Latin. | Sumber: Newzoo

Pembangunan jaringan internet memang akan membuat industri mobile game menjadi semakin maju. Hanya saja, dampak pembangunan infrastruktur internet pada industri mobile game tidak selalu sama untuk setiap negara. Di negara-negara dengan industri mobile game yang tidak terlalu besar — seperti Chili, Kolombia, dan Peru — jaringan internet yang lebih baik akan menguntungkan developer indie, karena jumlah pengguna smartphone dan internet akan meningkat.

Sementara di negara-negara dengan industri mobile game besar — seperti Argentina, Brazil, dan Meksiko — keberadaan jaringan 5G justru akan mendorong kemunculan mobile game dengan grafik yang lebih baik dan gameplay yang lebih kompleks. Tak hanya itu, jaringan internet yang lebih stabil dengan kecepatan lebih tinggi juga akan membuat pengalaman bermain multiplayer mobile game menjadi lebih baik. Dan hal ini akan mendorong pertumbuhan industri mobile esports di negara-negara tersebut.

Skena Mobile Esports di Amerika Latin

Sama seperti di Asia Tenggara, mobile esports juga tumbuh pesat di Amerika Latin. Beberapa mobile esports yang populer di sana antara lain Free Fire, Arena of Valor, dan Mobile Legends: Bang Bang. Mobile esports khususnya populer di kalangan gamers muda karena harga smartphone yang lebih murah dari konsol atau PC gaming. Para gamers muda yang tidak bisa membeli PC atau konsol bisa menjajaki dunia esports melalui mobile esports.

Karakteristik mobile gamers di Amerika Latin menjadi salah satu alasan mengapa skena mobile esports di sana bisa tumbuh. Mengingat mobile merupakan platform gaming utama bagi sebagian besar gamers di Amerika Latin, banyak mobile gamers di sana yang menyukai game-game kompetitif. Tren ini berbeda dengan tren di Amerika Utara, yang kebanyakan mobile gamers-nya lebih senang memainkan game kasual. Di Amerika Latin, sebanyak 35% gamers mengaku bahwa strategi menjadi genre favorit mereka. Genre favorit kedua bagi mobile gamers Amerika Latin adalah shooter (32%), diikuti oleh racing (30%). Sementara itu, dari segi pemasukan, battle royale menjadi genre dengan pemasukan terbesar, diikuti oleh strategi, puzzle, shooter, dan adventure.

Soal tema, sebanyak 47% mobile gamers di Amerika Latin mengaku paling suka dengan game bertema science fiction, sementara 43% lainnya sangat menyukai game bertema fantasi. Bagi 30% mobile gamers di Amerika Latin, open world merupakan fitur yang paling menarik dari sebuah game. Sementara 29% mobile gamers memprioritaskan aspek naratif dari sebuah game. Sekali lagi, dua hal ini menunjukkan bahwa mobile gamers di Amerika Latin memang merupakan core gamers.

Sumber header: TechRadar

Review Razer Hammerhead True Wireless X: Seri Hammerhead Paling Terjangkau

Razer memang memiliki sejumlah perangkat dengan seri Hammerhead mulai dari yang menggunakan kabel, Razer Hammerhead Duo dengan berbagai variannya, ataupun yang nirkabel, Hammerhead True Wireless (TWS).

Untuk yang nirkabel, Hammerhead juga punya beberapa varian yang diposisikan sebagai berikut:

  1. Razer Hammerhead True Wireless Pro
  2. Razer Hammerhead True Wireless
  3. Razer Hammerhead True Wireless X

Jadi, sama dengan berbagai perangkat Razer lainnya, akhiran “X” memang diberikan untuk seri terbawah dengan harga paling terjangkau.

Kali ini, saya kedatangan Razer Hammerhead True Wireless X untuk direview. Sebelum kita masuk ke ulasannya, ada beberapa hal yang perlu saya jelaskan terlebih dulu.

Pertama, Razer Indonesia yang meminjamkan produk ini ke saya untuk direview. Namun demikian, hal ini tidak akan memengaruhi penilaian saya — setidaknya saya berharap seperti itu… Kedua, seperti yang selalu saya katakan di setiap review gaming peripheral, penilaiannya akan selalu subjektif — tergantung siapakah reviewernya. Pasalnya, pengalaman, bentuk atau ukuran bagian tubuh, dan ekspektasi setiap orang itu berbeda-beda.

Image credit: Razer

Untuk audio peripheral seperti kali ini, kepekaan sang pengguna ataupun reviewer atas suara itu berbeda-beda. Perangkat yang biasa digunakan sehari-hari juga kemungkinan besar berbeda setiap orang. Kedua pertimbangan tadi akan saya gunakan saat membahas lebih detail di masing-masing bagian.

Pada review kali ini, saya menggunakan ponsel saya, Redmi Note 9 Pro, untuk mencobanya. Pasalnya, bagi saya, produk TWS memang lebih cocok buat ponsel ketimbang PC (laptop ataupun desktop). Razer sendiri juga memasukkan Hammerhead di kategori Mobile, bukan PC atau Console, di website resmi mereka. Perangkat audio yang masuk di kategori PC di website resmi mereka misalnya adalah seri Razer Barracuda, Blackshark, ataupun Kraken.

Oh iya, Razer Hammerhead TWS X ini dibanderol dengan harga Rp1,2 juta.

Jadi, tanpa basa-basi lagi, inilah review Razer Hammerhead Truewireless X.

 

Desain dan Kenyamanan

Jika berbicara soal tampilan, saya kira perangkat besutan Razer tak perlu lagi diperdebatkan — meski memang selera setiap orang juga bisa sangat berbeda-beda. Namun saya pribadi selalu menyukai penampilan yang diusung di setiap produk Razer — apapun itu bentuk ataupun serinya. Tak terkecuali tampilan dari Hammerhead TWS X yang satu ini.

Produk ini memiliki tampilan yang elegan di semua aspek. Earbuds-nya terlihat keren dan tidak norak dengan lampu berlogo Razer. Case-nya juga dibalut dengan lapisan dof yang membuatnya sangat nyaman digenggam. Dari tampilannya, saat Anda membawanya bepergian, orang-orang di sekitar Anda harusnya tahu bahwa produk ini bukan produk murahan.

Saya kira faktor tampilan ini jadi krusial karena TWS memang umumnya dibawa ke mana-mana. Jadi, Anda tidak mau mengenakan produk yang desainnya memalukan atau terlalu norak.

Dokumentasi: Hybrid

Sayangnya, TWS X ini belum menggunakan desain in-ear seperti yang ditawarkan oleh Hammerhead TWS Pro. Karena desainnya seperti itu, saya tidak bisa berlama-lama menggunakan TWS ini. Mungkin karena memang saya lebih terbiasa menggunakan headset dengan desain over ear (yang menutup semua bagian, termasuk daun telinga), telinga saya sakit saat cukup lama menggunakan TWS X. 1,5 jam adalah durasi terlama saya betah menggunakannya. Sebagai perbandingan, saya bisa menggunakan headset HyperX CloudX Flight (yang biasa saya gunakan sehari-hari) bahkan sampai 6 jam lebih.

Untuk urusan kenyamanan, TWS X memang jadinya sedikit disayangkan karena saya tahu ada banyak produk alternatif yang sudah menawarkan desain in-ear meski dibanderol dengan kisaran harga yang sama.

 

Kualitas Suara

Jika desainnya sudah sesuai dengan ekpektasi saya sebelumnya, kualitas audio yang ditawarkannya justru di atas ekspektasi saya. Meski memang kedengarannya hiperbolis, namun suara yang ditawarkan oleh Hammerhead TWS X bahkan bisa mendekati CloudX Flight saya — terlepas dari ukurannya yang jauh lebih mungil.

Hammerhead yang satu ini dapat menghantarkan suara bass yang tebal dengan detail-detail suara yang masih terdengar dengan jelas. Saya sangat suka dengan warna suara semacam itu. Saya mencobanya dengan memutar sejumlah lagu di YouTube. Sebelum Anda mencibir, saya memang punya alasan sendiri kenapa menggunakan YouTube meski memang tidak bisa menawarkan kualitas audio dengan resolusi tertinggi seperti file looseless.

Dokumentasi: Hybrid

Hasil mixing audio di berbagai video di YouTube itu memang berbeda-beda. Ada yang memang kualitas suaranya jeleknya minta ampun tapi ada yang sangat berguna (setidaknya bagi saya) untuk menguji kualitas perangkat audio. Salah satu yang sering saya gunakan adalah video bass cover dari Valter Kabas. Saya juga memutar lagu dari berbagai channel seperti milik James Adam, Denny Caknan, Scary Pockets, ataupun yang lainnya untuk mencoba berbagai kualitas mixing audio.

Selain itu, saya realistis saja. Lebih banyak pengguna yang menggunakan YouTube untuk berbagai kebutuhan ketimbang menggunakan file looseless baik di video ataupun audio.

Saat saya mendengarkan lagu, berhubung kebetulan juga saya bermain beberapa alat musik, saya mencoba mencari suara-suara alat musik yang spesifik dan mendengarkannya dengan seksama. Misalnya, saya mencari suara drum di satu lagu dan saya harus bisa membayangkan apa saja yang diketuk dari suara yang saya dengar. Jika saya tidak bisa menemukan suara-suara instrumen tertentu lewat sebuah perangkat audio, bagi saya, produk tersebut tidak layak dipuji.

Dengan TWS X ini, seperti yang saya tuliskan sebelumnya, suara yang saya dengarkan sungguh layak diacungi jempol karena ia mampu menyuguhkan detail yang kaya dan bass yang empuk.

 

Performa

Sayangnya, jika TWS X ini memiliki kualitas audio yang layak dibanggakan, saya tidak bisa mengatakan hal yang sama untuk urusan performa.

Pertama, jika berbicara soal urusan performa, saya mengalami delay audio saat menggunakan TWS ini untuk bermain game. Saya bahkan sudah mengaktifkan mode Game Mode-nya yang diklaim dapat mempersingkat latency. Saya mencoba beberapa game di Android dan memang ada beberapa game yang delay-nya terobati dengan mengaktifkan Game Mode. Namun, ada juga gamegame lainnya yang tetap delay suaranya meski sudah menggunakan Game Mode. Lucunya, memang tidak semua game yang saya coba mengalami delay audionya. Meski begitu, jika kebetulan game yang delay audionya adalah game yang sedang asyik Anda mainkan, Anda harus merelakan untuk tidak menggunakan TWS ini.

Dokumentasi: Hybrid

Hal ini sungguh sangat disayangkan karena Razer adalah brand yang identik dengan gaming. Meski saya tidak mengalami delay saat mendengarkan lagu ataupun menonton video, tetap saja ekspektasi orang ketika membeli produk Razer adalah kebutuhan gaming.

Selain soal gaming yang kurang memuaskan, saya juga mengalami kendala saat menggunakan produk ini untuk meeting menggunakan Zoom. Namun, berbeda kendala dengan gaming, saya tidak merasakan delay namun audionya kerap terdengar patah-patah di beberapa kesempatan.

Untuk kasus ini, saya tidak tahu apakah memang kendalanya ada di Zoom nya atau bukan karena saya tidak pernah merasakan audionya patah-patah saat telepon menggunakan Whatsapp ataupun jaringan seluler. Namun saya juga tidak pernah mengalami audio yang patah-patah di Zoom saat menggunakan headset lainnya.

Dokumentasi: Hybrid

Meski begitu, sebagai catatan, Redmi Note 9 Pro memang hanya dibekali dengan Bluetooth 5.0. Sedangkan Hammerhead TWS X ini sudah menggunakan Bluetooth 5.2. Jadi, mungkin Anda perlu menggunakan ponsel yang sudah mendukung Bluetooth 5.2 untuk memaksimalkan TWS ini.

 

Aplikasi dan Daya Tahan Baterai

Di bagian terakhir, saya ingin membahas soal aplikasi yang disertakan. Berhubung saya menggunakan Razer Basilisk V2 setiap hari sebagai mouse kesayangan, saya sudah tidak asing dengan Razer Synapse. Namun saya terkejut dengan aplikasi Razer Audio untuk Android yang bisa digunakan untuk menemani TWS X ini.

Screenshot Razer Audio

Aplikasinya sangat berguna karena selain dapat menunjukkan sisa kapasitas baterai, ada beberapa setting seperti Equalizer dan Gesture remapping yang bisa Anda ganti-ganti sesuai selera dan kebutuhan. Sayangnya, starting up aplikasinya cukup lama setiap kali Anda membukanya.

Sedangkan untuk daya tahan baterainya, TWS X ini diklaim mampu bertahan selama 24 jam (6 jam untuk earbuds + 18 jam untuk casenya) dengan lampu menyala dan 28 jam (7+21) tanpa lampu. Saat saya mencobanya sendiri, daya tahan baterainya memang mampu bertahan dengan durasi yang mendekati klaim Razer tadi.

 

Penutup

Razer Hammerhead True Wireless X ini sebenarnya memang sangat layak diacungi jempol untuk urusan kualitas audio yang ditawarkan. Tampilannya pun elegan dan tidak memalukan. Ia juga dilengkapi dengan aplikasi yang cukup baik untuk mengatur banyak konfigurasi. Sayangnya, produk ini juga memiliki kekurangan yang juga layak jadi catatan.

Dokumentasi: Hybrid

Kekurangan terbesarnya, bagi saya, adalah soal kenyamanannya yang tidak maksimal. Andaikan Razer juga sudah menggunakan desain in-ear di TWS X ini, saya kira produk ini akan jauh lebih menggoda untuk lebih banyak orang. Di sisi lain, soal urusan performa, sayangnya memang kebanyakan ponsel juga masih menggunakan Bluetooth 5.0. Jadi, Anda mungkin harus rela jika salah satu game yang Anda mainkan ternyata masih delay audionya dengan TWS X ini.

Lalu, untuk siapakah Hammerhead TWS X ini ditujukan? Menurut saya, jika Anda lebih suka mendengarkan musik dan mencari TWS dengan kualitas audio jauh di atas rata-rata namun tidak bermasalah dengan desain earbuds, TWS X ini cukup layak untuk dijadikan salah satu pertimbangan untuk Anda bawa pulang.

Sejarah Panjang Dota 2 dan The International: Berawal dari Mod Sampai Jadi Langganan Rekor Hadiah Turnamen Esports Terbesar Dunia

Di Indonesia, skena esports dari Dota 2 mungkin sudah dianggap hidup segan mati tak mau. Pasalnya, di Tanah Air, game esports yang populer memang mobile game. Karena itu, jangan heran jika tidak banyak organisasi esports yang punya tim Dota 2 atau game PC lainnya saat ini. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri bahwa Dota 2 tetap merupakan salah satu game esports yang sukses di dunia. Buktinya, The International selalu memecahkan rekor jumlah hadiah terbesar di dunia setiap tahunnya. Tak hanya itu, walau diluncurkan resmi delapan tahun lalu, Dota 2 tetap punya pemain aktif bulanan hingga ratusan ribu orang.

Berikut sejarah mengenai Dota 2 dan bagaimana The International bisa menjadi turnamen global yang diadakan setiap tahun.

Sejarah Dota 2

Semua berawal dari Aeon of Strife, yang dianggap sebagai “game” MOBA pertama. Aeon of Strife merupakan mod buatan fans untuk StarCraft: Brood War. Mod itu menjadi sangat populer sehingga Blizzard pun memasukkannya ke Warcraft 3. Pengalaman bermain Aeon of Strife memang tidak persis sama dengan game-game MOBA yang ada saat ini. Namun, game tersebut tetap punya gameplay dasar yang sama seperti kebanyakan MOBA. Misalnya, tujuan pemain dalam Aeon of Strife tetaplah menghancurkan markas musuh. Selain itu, peta dalam game itu juga punya tiga lini, sama seperti peta dalam game MOBA lainnya. Hanya saja, di Aeon of Strife, satu tim berisi empat orang dan bukannya lima orang. Selain itu, musuh yang harus dihadapi oleh para pemain adalah AI dan bukannya pemain lain, seperti yang disebutkan oleh RedBull.

Aeon of Strife dianggap sebagai game MOBA pertama. | Sumber: Hive Workship

Jika Aeon of Strife menjadi cikal bakal dari genre MOBA, Defense of the Ancients (DotA) merupakan awal dari Dota 2. Sama seperti Aeon of Strife, DotA juga merupakan mod. DotA dibuat modder Kyle “Eul” Sommer untuk Warcraft 3. Mod DotA sudah sangat mirip dengan game Dota 2 yang ada sekarang. Di DotA, lima pemain akan melawan lima pemain lainnya. Tim yang menang adalah tim yang bisa menghancurkan markas musuh lebih dulu. Walau mod DotA populer, Eul memutuskan untuk meninggalkannya. Dia justru mencoba untuk membuat sekuel dari DotA. Namun, proyek tersebut gagal. Pada akhirnya, Eul akan menyerahkan kepemilikannya atas DotA pada Valve.

Kesuksesan mod DotA menginspirasi banyak orang untuk membuat game serupa. Dari semua game yang muncul, hanya DotA: Allstars yang sukses. DotA: Allstars juga dibuat oleh seorang modder, yaitu Steve “Guinsoo” Feak. Nantinya, game inilah yang menjadi dasar dari Dota 2 yang kita kenal sekarang. Faktanya, Allstars juga sering dianggap sebagai DotA orisinal. Alasannya, game itu tidak hanya menjadi dasar dari Dota 2, tapi juga digunakan dalam pertandingan profesional.

Setelah sukses dengan Allstars, Guinsoo dan Steve “Pendragon” Mescon — yang membuat pusat komunitas DotA — memutuskan untuk masuk ke Riot Games dan membantu mereka mengembangkan League of Legends. Mereka meninggalkan DotA: Allstars di tangan IceFrog. Dalam sejarah Dota 2, IceFrog punya peran penting. Memang, dia tidak membuat Allstars dari nol atau merombak game tersebut, tapi, dialah yang membuat konten baru untuk Allstars setelah Guinsoo dan Mescon pergi. Tak hanya itu, dia juga memastikan bahwa gameplay Allstars tetap seimbang dan tidak ada karakter yang terlalu overpowered.

Saat itu, kesuksesan DotA murni berkat fans. Game tersebut dibuat oleh fans dan menjadi besar karena fans. Namun, keadaan berubah ketika League of Legends diluncurkan pada 2009 dan Heroes of Newerth pada 2010. Peluncuran kedua game itu menunjukkan bahwa genre MOBA punya potensi besar. Jika DotA ingin tetap eksis dan bisa bersaing dengan game-game MOBA lainnya, game itu memerlukan bantuan dari perusahaan game besar.

Perusahaan itu adalah Valve.

Valve menggandeng IceFrog untuk membuat Dota 2.

Pada 2009, IceFrog bergabung dengan Valve untuk membuat sebuah game. Ketika itu, semua orang tahu bahwa Valve menggandeng IceFrog untuk membuat game MOBA. Namun, Valve beru mengungkap bahwa game MOBA yang mereka kembangkan adalah Dota 2 pada 2010. Satu tahun kemudian, pada 2011, Valve merilis versi beta dari Dota 2. Sebelum itu, mereka juga memberikan akses pada beberapa media. Versi beta dari Dota 2 mendapatkan sambutan positif dari para beta testers.

Masalah muncul ketika Valve mendaftarkan kata “DOTA” sebagai trademark pada 2012. Keputusan itu menjadi awal dari pertarungan legal Valve dengan Blizzard dalam beberapa bulan ke depan. Blizzard memang tidak mencoba untuk mendaftarkan kata “DOTA” sebagai trademark. Namun, menurut mereka, DotA, Dota: DOTA, dan Defense of the Ancients merupakan bagian dari Warcraft.  Blizzard beragumen, kata DOTA selalu diasosiasikan dengan Warcraft. Mereka juga menyebutkan, sebagai mod dari Warcraft 3, DOTA dibuat berdasarkan mekanisme pada game buatan Blizzard tersebut. Tak hanya itu, karakter dalam DOTA juga merupakan karakter di Warcraft 3, dengan tampilan desain yang sama, menurut laporan PC GAMER.

Walau membutuhkan beberapa bulan, pertarungan legal antara Valve dan Blizzard akhirnya bisa diselesaikan. Keduanya memutuskan bahwa mereka sama-sama bisa menggunakan varian dari nama “Defense of the Ancients” sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing. Valve akan menggunakan nama Dota untuk produk komersil mereka, termasuk game Dota 2 yang sedang mereka kembangkan. Sementara itu, ketika Blizzard menggunakan kata Dota, nama itu mengacu pada peta yang pemain buat untuk Warcraft 3 dan Starcraft 2, lapor Gamasutra. Setelah masalah itu selesai, proses pengembangan game Dota 2 berjalan dengan lancar.

Lahirnya The International: Berawal Sebagai Alat Marketing

Valve menggelar The International pertama pada 2011, bersamaan dengan Gamescom. Menariknya, ketika itu, Dota 2 belum resmi diluncurkan dan masih dalam tahap beta. Jadi, untuk apa Valve mengadakan The International? Sebagai alat marketing. Valve menyediakan total hadiah sebesar US$1,6 juta, menjadikan TI sebagai turnamen esports dengan hadiah terbesar pada masanya. Dengan  ini, Valve berharap mereka bisa mengenalkan Dota 2 ke masyarakat luas.

Dalam TI pertama, ada delapan tim yang diundang untuk ikut serta. Pertandingan TI pertama bisa ditonton secara langsung oleh orang-orang yang menghadiri Gamescom, yang digelar di Cologne, Jerman. Selain itu, Valve juga menyiarkan pertandingan TI agar bisa ditonton oleh seluruh gamers di dunia. Keputusan Valve untuk menjadikan TI sebagai alat marketing berbuah manis. Berkat TI, ribuan gamers menjadi tahu akan Dota 2 dan ingin segera mencoba game tersebut.

NaVi jadi juara The International pertama. | Sumber: Navi.gg

Dalam beberapa bulan ke depan, Valve juga terus menyebar undangan bagi gamers untuk menguji versi beta dari Dota 2. Seiring dengan bertambahnya pemain Dota 2, skena esports dari game itu pun mulai terbentuk. Sama seperti dengan Dota 2 yang berawal dari mod, ekosistem esports Dota 2 juga diprakarsi oleh para fans. Karena itu, pada awalnya, turnamen Dota 2 yang muncul hanyalah turnamen skala kecil. Kebanyakan turnamen itu menawarkan total hadiah kurang dari US$25 ribu. Meskipun begitu, ekosistem grassroot itulah yang menjadi awal dari ekosistem esports Dota 2 yang kita kenal sekarang.

Pada 2012, Valve kembali menggelar The International. Total hadiah dari TI2 masih sama seperti TI sebelumnya, yaitu US$1,6 juta. Hanya saja, kali ini, TI digelar di Seattle, Amerika Serikat. Saat itu, versi beta Dota 2 sudah dibuka untuk umum. Jumlah hero yang bisa dimainkan pun sudah semakin banyak. Alhasil, komunitas Dota 2 terus tumbuh.

Valve meluncurkan Dota 2 di Steam pada Juli 2013. Hal ini membuat jumlah pemain Dota 2 meroket. Pada Juni 2013, jumlah pemain rata-rata Dota 2 hanya mencapai 210 ribu orang. Angka ini naik menjadi 237 ribu orang pada Juli 2013 dan menjadi 330,7 ribu orang pada Agustus 2013. Di tahun ini, Valve juga mulai melakukan crowdfunding untuk menaikkan total hadiah dari The Internationnal. Taktik Valve sukses. Total hadiah dari The International 2013 mencapai US$2,8 juta, US$1,2 juta lebih banyak dari dua turnamen sebelumnya.

Sejak sukses dengan crowdfunding di TI3, Valve terus menggalang dana dari fans Dota 2 untuk menambah total hadiah dari TI. Alhasil, dari tahun ke tahun, total hadiah dari TI selalu naik. Tahun lalu, seorang pangeran Arab bahkan membeli battle pass untuk The International 10 — yang ditunda karena pandemi COVID-19 — seharga Rp588 juta. Sejauh ini, total hadiah dari TI10 telah melebihi US$40 juta, mengalahkan rekor tahun lalu. Dan angka ini masih terus naik.

Dari tahun ke tahun, pertumbuhan total hadiah TI memang cukup besar. Pada The International 2014, total hadiah telah menembus US$10 juta. Dua tahun kemudian, pada TI6, total hadiah yang ditawarkan mencapai lebih dari US$20 juta. Dan The International 9 menjadi TI pertama dengan total hadiah lebih dari US$30 juta. Untuk lebih lengkapnya, Anda bisa melihat data tentang total hadiah TI dari tahun ke tahun.

Hadiah The International dari tahun ke tahun. | Sumber data: Esports Earnings

Seperti yang bisa Anda lihat pada tabel di atas, terjadi lonjakan besar pada total hadiah The International beberapa kali. Kenaikan total hadiah paling besar terjadi pada The International 9, dengan kenaikan total hadiah hampir mencapai US$8,8 juta. Kenaikan total hadiah pada TI4 dan TI5 juga cukup signifikan. Terus naiknya total hadiah dari The International memang bisa dianggap sebagai tanda bahwa komunitas Dota 2 masih ingin terus mendukung skena esports profesional. Meskipun begitu, total hadiah The International yang sangat besar ini juga menimbulkan masalah sendiri.

Setelah membahas tentang jumlah hadiah dari The International, mari bicara soal tim-tim yang pernah memenangkan kompetisi bergengsi tersebut. Sejak The International digelar pada 2011, hanya ada satu tim yang berhasil menjadi juara dua kali, yaitu tim OG. Tim asal Eropa tersebut berhasil memenangkan TI8 dan TI9.  Menariknya, ketika memenangkan TI selama dua tahun berturut-turut, tim OG memiliki roster yang sama.

Berikut roster dari tim OG ketika memenangkan TI8 dan TI9:

Anathan “ana” Pham
Topias “Topson” Taavitsainen
Sebastien “Ceb” Debs
Jesse “JerAx” Vainikka
Johan “N0tail” Sundstein – kapten

Dan berikut adalah daftar tim yang pernah memenangkan The International:

2011 – Natus Vincere
2012 – Invictus Gaming
2013 – Alliance
2014 – Newbee
2015 – Evil Geniuses
2016 – Wings Gaming
2017 – Team Liquid
2018 – OG
2019 – OG

Total hadiah bukanlah satu-satunya tolok ukur untuk mengetahui sukses atau tidaknya sebuah turnamen. Dua faktor lain yang bisa menjadi pertimbangan adalah jumlah penonton rata-rata dan hours watched. Menurut data dari Esports Charts, baik jumlah penonton rata-rata maupun hours watched dari The International menunjukkan tren naik dalam empat tahun terakhir. Pada The International 7, jumlah penonton rata-rata hanya mencapai 418 ribu orang. Angka ini naik menjadi 537,7 ribu orang pada TI8 dan menjadi 738,9 ribu orang pada TI9. Sementara dari segi hours watched, total hours watched dari The International 7 hanya mencapai 44,3 juta jam. Pada TI8, total hours watched mencapai 63,9 juta jam dan pada TI9, angka itu naik menjadi 88,4 juta jam.

Jumlah hours watched dari TI7 sampai TI9. | Sumber: Esports Charts
Jumlah peak viewers dari TI7 sampai TI9. | Sumber data: Esports Charts

Sayangnya, walau jumlah penonton dari The International menunjukkan tren naik, lain halnya dengan jumlah pemain Dota 2. Sejak diluncurkan pada 2013, jumlah pemain Dota 2 menunjukkan tren naik-turun. Anda bisa melihatnya pada grafik di bawah, yang didasarkan pada data dari Steam Charts.

Jumlah pemain rata-rata dan peak players Dota 2 dari tahun ke tahun. | Sumber data: Steam Charts

Sejak Juli 2012 sampai Juli 2014, jumlah pemain rata-rata Dota 2 setiap bulannya menunjukkan tren naik. Pada September 2014, jumlah pemain rata-rata sempat turun menjadi 478 ribu orang, sebelum kembali naik menjadi 629 ribu orang pada Februari 2015. Sepanjang sejarah Dota 2, rekor jumlah pemain rata-rata paling banyak adalah 709 ribu orang. Hal ini terjadi pada Februari 2016.

Sejak saat itu, jumlah pemain rata-rata Dota 2 cenderung menurun. Jumlah pemain Dota 2 mencapai titik terendah pada April 2018, dengan total pemain hanya mencapai 430 ribu orang. Namun, jumlah gamers Dota 2 kembali naik sejak Januari 2019, mencapai 476 ribu orang. Pada Februari-Juni 2019, jumlah rata-rata pemain Dota 2 terus ada di atas 500 ribu orang. Angka itu turun menjadi 465 ribu orang pada Juli 2019. Sejak itu, jumlah pemain Dota 2 menunjukkan tren naik-turun.

Jumlah pemain rata-rata Dota 2 sempat kembali memuncak pada April 2020, mencapai 430 ribu orang. Pandemi COVID-19 menjadi salah satu alasan mengapa jumlah pemain Dota 2 mengalami kenaikan pada kuartal pertama 2020. Sementara itu, sepanjang sejarah, tren jumlah peak players dari Dota 2 juga sama seperti tren dari jumlah pemain rata-rata. Rekor peak players terbanyak tercatat pada Maret 2016. Ketika itu, jumlah peak players mencapai 1,29 juta orang.

Bagaimana dengan Skena Esports Dota 2 di Indonesia?

“Komunitas Dota 2 di Indonesia saat ini memang berbeda jika dibandingkan dengan pada tahun 2014-2017,” kata Yudi Anggi, shoutcaster Dota 2 yang dikenal dengan nama “Justincase”. Namun, dia meyakinkan, perbedaan itu tidak dalam konotasi negatif. “Perbedaannya, dulu, ada banyak turnamen-turnamen Dota 2 lokal. Dan sekarang, hampir tidak ada turnamen lokal yang diadakan,” ujarnya ketika dihubungi oleh Hybrid.co.id melalui pesan singkat.

“Tapi, dulu, livestreamer dan kreator konten Dota 2 Indonesia tidak seramai sekarang. Jadi, walau berbeda, tapi tidak buruk juga,” ujar Yudi. Dia mengungkap, saat ini, ada banyak pemain profesional yang aktif melakukan siaran, seperti Rusman, inYourDream, dan lain sebagainya. “Sehingga, para penggemar Dota 2 di Indonesia dimanjakan dengan banyaknya konten livestreaming yang tersedia,” katanya. “Dengan begitu, komunitas Dota 2 pun semakin tumbuh dan terawat, sehingga menjadi ramai kembali.”

Yudi “Justincase” Anggi. | Sumber: Facebook

Yudi menjelaskan, Saweria menjadi salah satu alasan mengapa semakin banyak orang yang tertarik untuk melakukan siaran dan membuat konten. Melalui Saweria, para kreator konten atau streamer bisa mendapatkan donasi dari para penonton. “Para donatur benar-benar dermawan dalam memberikan dukungan pada streamer favorit mereka,” kata Yudi. “Dengan begitu, para streamer pun menjadi semangat untuk membuat konten. Pada akhirnya, pihak yang diuntungkan adalah komunitas Dota 2 itu sendiri.”

Dalam wawancara dengan Hybrid.co.id, Co-founder Saweria, Natalia menyebutkan bahwa 10 penerima dana dukungan terbesar di Saweria merupakan gamers. Sementara itu, orang dengan pemasukan terbesar di Saweria bisa mendapatkan sekitar Rp44 juta per bulan.

Gary Ongko Putera, pendiri dan CEO BOOM Esports punya perspektif yang berbeda dari Yudi terkait komunitas Dota 2 di Tanah Air. Menurut Gary, komunitas Dota 2 di Indonesia cukup toxic. Hal inilah yang membuatnya enggan untuk terlau memerhatikan komunitas lokal dari Dota 2. Contoh perilaku toxic yang dimaksud Gary adalah mendukung tim musuh walau ada tim Indonesia yang berlaga di sebuah turnamen esports. Dia menambahkan, “Sudah tipis, tapi masih suka ‘kanibal’, bunuh tim sendiri. Kadang-kadang, mendukung tim negara sendiri juga jadi malas.”

Meskipun begitu, Gary masih optimistis bahwa ekosistem esports Dota 2 di Indonesia akan bisa bertahan. “Masih ada kita sama AG (Army Geniuses-red), jadi harusnya aman. Selama masih ada yang mau ‘invest‘, pasti bisa hidup. Karena, skill pemain-pemain Dota d Indonesia tinggi,” ungkap Gary. “Tinggal dibantu coaching dan dikasih fasilitas serta standar, supaya bisa hidup dari Dota 2.” Dengan begitu, diharapkan, para pemain berbakat masih akan bersedia untuk serius berkarir sebagai pemain profesional.

Soal masa depan ekosistem esports, Yudi setuju dengan Gary. Dia juga merasa, ekosistem esports Dota 2 di masa depan masih cukup menjanjikan. Hanya saja, jika seseorang ingin bisa menjadi pemain Dota 2 profesional, dia harus siap dalam menghadapi semua tantangan yang ada. “Karena turnamen lokal tidak ada, jadi para pemain yang ingin menjadi profesional harus menunjukkan bakatnya langsung ke kancah internasional,” ungkap Yudi. “Tapi, bila mereka berhasil bersaing di Asia Tenggara, akan terbuka banyak sekali jalan untuk suksesnya. Di luar negeri, masih banyak organisasi esports yang mau menaungi mereka.”

Karena itulah, Yudi menyarankan, bagi orang-orang yang ingin menjadi pemain profesional atau manajer tim Dota 2, dia harus bisa berbahasa Inggris. “Karena lapangan kerja sebagai pemain atau manajer Dota 2 lebih banyak terbuka di luar nergeri daripada di dalam negeri,” katanya. “Kalau menjadi caster Dota 2, lebih baik jangan. Nonton saya saja siaran ya,” selorohnya.

Tim Dota 2 BOOM saat menjuarai ESL Indonesia Championship Season 2. | Sumber: Twitter

Gary bercerita, bagi organisasi esports, ketiadaan turnamen lokal juga mempersulit mereka untuk mencari talenta baru. “Lumayan susah,” jawabnya ketika ditanya apakah mencari pemain baru di Indonesia sulit atau tidak. “But, we did well for ourselves. Kita bisa menarik talenta-talenta dari luar Indonesia. Dan reputasi kita lumayan oke secara global, berkat prestasi dari tim Dota 2 dan Counter-Strike: Global Offensive kita.”

Gary juga menyebutkan, gaji pokok yang ditawarkan oleh organisasi esports di Indonesia termasuk salah satu yang terbesar. Dan hal ini bisa menjadi daya tarik bagi para gamers yang memang ingin berkarir sebagai pemain Dota 2 profesional. “Jadi, sebenarnya, kalau bisa jadi pemain top, ya pasti menguntungkan. Sejujurnya, di semua game, kalau bisa jadi pemain-pemain terbaik pasti bisa lukratif. Tapi, kalau levelnya standar, ya susah. Karena, sekarang, organisasi esports yang fokus di Dota 2 juga tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan game lain. Apalagi, skill ceiling-nya juga jauh lebih tinggi dari game MOBA lain.”

Sebelum ini, Editor-in-Chief Hybrid.co.id, Yabes Elia, pernah membahas bagaimana passion tak lagi cukup untuk menjajaki dunia esports. Namun, tak bisa dipungkiri, tetap ada orang-orang yang bertahan di dunia esports karena passion. Gary dan Yudi adalah contohnya. Walau punya karir yang berbeda, keduanya memutuskan untuk bertahan di ekosistem esports Dota 2 karena memang suka dengan game MOBA tersebut. Padahal, di Indonesia, ekosistem mobile esports jauh lebih ramai. Gary mengaku, akan sulit baginya untuk tetap menjalankan BOOM jika dia hanya fokus sepenuhnya pada bisnis.

“Buat saya sih, lebih ke prinsip saja, tanpa Dota 2/CS:GO, nggak akan ada BOOM,” kata Gary, menjelaskan alasannya mengapa dia tetap mempertahankan tim Dota 2. “Karena, saya sukanya memang Dota 2 dan CS:GO. Dan akan susah untuk terus running BOOM kalau passion-nya sudah nggak ada dan jadi pure bisnis.” Dia mengaku, dia memang senang dengan game-game yang kompleks. Dan menurutnya, Dota 2 merupakan game tersusah di dunia. “No offense ke game lain, tapi saya main SMP sudah main Dota. Dan game ini memang kompleks banget. Bisa ada mekanik stacking, pulling creep, support jadi carry, itemization, dan lain-lain. Jadi, mungkin buat orang ‘tua’ yang biasa nonton game kompleks, disuruh nonton game lain, jadi kurang excited gitu.”

Hanya karena Dota 2 memang merupakan game yang disukai, bukan berarti Gary tak mempertimbangkan sisi bisnis. Ketika ditanya apakah mempertahankan tim Dota 2 di BOOM memang menguntungkan dari segi bisnis, Gary menjawab, “Dari segi bisnis, tentunya menguntungkan. Karena kami kan juga bermain di ‘dunia’. Walau, ya tidak sampai untung-untung banget; cukup untuk membayar cost tim sendirilah, kurang lebih.”

Sementara itu, Yudi mengungkap, alasannya untuk setia menjadi shoutcaster dari Dota 2 adalah karena masalah preferensi. “Saya tidak begitu suka mobile game. Jadi, saya tidak bisa maksimal dalam melakukan shoutcasting mobile games,” ujarnya. “Saya harus benar-benar menyukai sebuah game agar bisa memberikan performa terbaik saat siaran. Dengan saya menyukai sebuah game, saya akan antusias untuk menggali informasi, baik tentang game itu maupun esports scene dari game tersebut. Dua hal itu akan menjadi bahan pembicaraan ketika saya melakukan shoutcasting.”

Pada akhirnya, Yudi menutup, apakah seseorang memutuskan untuk bertahan di ekosistem esports Dota 2 atau banting setir ke mobile esports yang lebih ramai, hal itu bukan masalah. “Kembali lagi ke masing-masing orang. Kalau ada yang bilang, bekerja itu untuk uang, ya… tidak ada salahnya. Dan itu hak mereka untuk memilih,” katanya. “Tapi, bagi saya pribadi, sepertinya berkarir di Dota 2 saja sudah cukup untuk membuat perut kenyang. Walau memang uangnya masih tidak cukup untuk membeli franchise McDonald’s.”

Penutup

Delapan tahun sejak diluncurkan, Dota 2 masih dimainkan oleh ratusan ribu orang. Hal ini membuktikan kesuksesan Valve dalam membuat Dota 2 tetap digemari. Mengembangkan ekosistem esports jadi salah satu cara mereka untuk merealisasikan hal itu. Walau jumlah penonton The International masih kalah dari League of Legends World Championship, jumlah hadiah TI yang besar tak pernah gagal untuk menarik perhatian masyarakat dan media. Sementara itu, di Indonesia, ekosistem esports Dota 2 memang sudah berubah dari beberapa tahun lalu. Kabar buruknya, tidak banyak turnamen Dota 2 yang diselenggarakan. Kabar baiknya, masih ada organisasi esports lokal yang punya tim Dota 2. Karena itulah, para pemain Dota 2 yang ingin menjadi profesional harus langsung siap bertanding di, setidaknya, tingkat regional.

10 Game PC yang Bisa Dimainkan Crossplay di Android

Kemajuan teknologi yang telah dicapai oleh smartphone memang sangat menakjubkan. Bagaimana tidak, handphone awalnya dulu hanya dapat digunakan untuk mengirim pesan ataupun telepon, kini dapat melakukan banyak hal termasuk bermain game.

Game untuk smartphone atau yang sering dikenal sebagai game mobile ini juga mengalami perkembangan pesat dalam 10 tahun terakhir. Sekarang, mobile merupakan pasar game paling besar di seluruh dunia.

Image credit: Shutterstock

Perkembangan kedua hal di atas membawa para gamer dapat memainkan beberapa game PC maupun konsol di smartphone mereka melalui fitur crossplay. Jumlah game crossplay ini juga terus meningkat dengan kemudahan yang dapat diakses para pengembang dan penerbit untuk merilis game mereka di berbagai platform.

Berikut adalah 10 game crossplay yang memungkinkan untuk memainkan game-nya di PC/konsol maupun lewat smartphone:

Among us

PC: 250Mb  |Android: 125 Mb | iOS: 391.3MB

Dengan grafik yang simpel dan juga sistem permainan yang tidak rumit, Among Us menjadi salah satu game crossplay yang mampu dimainkan di berbagai platform tanpa masalah berarti. Karena, inti utama permainan ini berada di intrik para pemainnya untuk dapat menemukan siapa ‘impostor’ yang ada di antara mereka.

Vainglory

PC: 3,3GB |Android: 2,6 GB | iOS: 2,4 GB

League of Legends memang memiliki Wild Rift untuk mobile namun keduanya merupakan game yang berbeda. Satu-satunya game MOBA yang dapat dimainkan secara crossplay di PC maupun di mobile adalah Vainglory. MOBA yang satu ini dapat dimainkan di PC, konsol, bahkan mobile dengan akun yang sama.

Hearthstone

PC: 4GB |Android: 4 GB | iOS: 3,1 GB

Inilah salah satu game kartu paling populer karena mudah untuk dimainkan meski sebenarnya susah untuk dikuasai. Game yang akan menyuruh para pemain untuk memerintah hero-hero dari game Warcraft ini dapat dimainkan di banyak platform termasuk bermain bersama di PC maupun di mobile.

Brawlhalla

PC: 350 MB |Android: 642 Mb |iOS: 791 Mb

Bagi para gamer yang menyukai game fighting bergaya platformer seperti Super Smash Bros., Brawlhalla merupakan salah satu alternatifnya. Meskipun menggunakan gaya 2D, game ini tetap menyediakan pertarungan yang cepat dan intens. Apalagi Anda bisa memainkan game ini di hampir semua platform termasuk mobile.

Yu-Gi-Oh! Duel Links

PC:  16GB |Android: 3 GB |iOS: 3,5 GB

Menjadi salah satu permainan kartu duel paling populer saat ini, tidak mengejutkan bila akhirnya Konami berusaha untuk membuat game miliknya ini dapat dimainkan oleh banyak platform dan saling tersambung. Duel Links hadir bagi para pecinta Yu-Gi-Oh! dari platform PC maupun mobile untuk saling berduel.

Albion Online

PC: 8 GB |Android: 4,1 GB |iOS: 2,2 GB

Bagi para pecinta MMORPG, salah satu opsi yang bisa diambil adalah Albion Online. Game ini memungkinkan pemainnya bermain dari PC maupun mobile. Dengan beragam aktivitas yang bisa dilakukan dan bahkan berduel untuk melawan pemain lain, Albion Online menyediakan kemudahan untuk bermain lintas platform.

Fortnite Battle Royale

PC: 26 GB |Android: 2,9 GB |iOS: 9 GB

Keberhasilan Fortnite menjadi salah satu raja game battle-royale di PC membuat Epic Games merilis game mereka di platform mobile. Meskipun permintaan hardware-nya pada mobile cukup berat dibandingkan rivalnya PUBGM, Fortnite membuktikan bahwa mereka tetap dapat menjaga kesuksesannya ketika masuk ke mobile.

Roblox

PC: 123 MB |Android: 121 MB |iOS: 254,3 MB

Membuat game dengan segala kebebasan untuk membuat mode gameplay apa saja memang menjadi nilai jual kuat bagi game ini. Apalagi banyak para pemainnya menjadikan game-nya sebagai media untuk berinteraksi dengan teman-temannya secara virtual. Maka tidak heran bahwa Roblox juga menyediakan versi mobile yang terintegrasi dengan versi PC-nya.

Genshin Impact

PC: 11,97 GB |Android: 8,78 GB |iOS: 9,45 GB

Game action RPG bertabur waifu dan husbando ini tentu masuk ke dalam daftar ini. Pengembang MiHoyo memastikan bahwa para pemain dapat melanjutkan petualangan mereka dari PC ke dalam mobile. Kebutuhan hardware untuk memainkannya di smartphone memang terhitung tinggi yang bahkan membuat game ini menjadi salah satu benchmark game untuk smartphone.

Minecraft

PC: 525 MB |Android: 250 MB |iOS: 340 MB

Game yang merupakan rival dari Roblox ini tentu sudah tidak asing lagi di telinga banyak orang. Style balok-baloknya yang unik memang membuat game ini digemari, apalagi dengan kebebasan untuk memainkan berbagai mode atau bahkan hanya membangun bangunan ataupun benda yang diinginkan sesuka hati menjadikan Minecraft disukai semua umur.

Bonus: Warframe

PC: 40 GB |Android: – |iOS: –

Baru saja diumumkan ketika tulisan ini dikerjakan, pengembang Digital Extreme baru saja mengumumkan bahwa game free-to-play shooter mereka yaitu Warframe akan mendapatkan crossplay, cross save, dan bahkan versi mobile yang akan segera hadir. Bahkan nantinya pemain di mobile juga dapat bermain bersama-sama dengan pemain PC ataupun konsol.

Penutup

Image credit: Android Central

Itulah tadi 10+1 game PC yang dimainkan secara crossplay di mobile. Pastinya ada beberapa game crossplay lain yang belum kami masukkan ke dalam daftar ini. Namun setidaknya 10 game di atas bisa menjadi pilihan Anda yang mungkin menginginkan sebuah game yang dapat dimainkan di lebih dari satu platform. Atau mungkin Anda ingin bermain bersama teman yang hanya memiliki PC saja atau smartphone Android saja.

Ke depannya, kemungkinan besar akan lebih banyak lagi game-game berkualitas yang mendukung crossplay karena hardware yang lebih kuat dan juga implementasi teknologi yang lebih optimal. Mungkin, suatu saat nanti video game benar-benar tidak akan memiliki batasan, dengan para gamer bebas memilih platform apapun yang mereka inginkan atau miliki dan bermain bersama pemain lainnya dari platform yang berbeda-beda.

Review ROG Keris dan Keris Wireless: Gaming Mouse Juara di Harga Terjangkau?

Jika sebelumnya saya kedatangan ROG Chakram Core, kali ini saya kedatangan ROG Keris dan ROG Keris Wireless. Seri ROG Keris dibanderol dengan harga yang sangat murah jika melihat brand ASUS ROG di belakangnya. Namun, apakah harganya yang terjangkau akan menjadi daya tarik utamanya? Atau justru karena harganya yang terjangkau, ROG jadi mengorbankan banyak hal di produk ini?

Sebelum kita masuk ke pembahasan, seperti biasa, ada beberapa hal yang harus saya jelaskan. Pertama, ASUS Indonesia meminjamkan dua mouse yang saya review kali ini. Namun demikian, sebisa mungkin saya tetap memberikan penilaian yang lebih jujur. Kedua, seperti semua review peripheral, review kali ini juga sangat subjektif yang sangat bergantung pada pengalaman dan pengetahuan sang reviewernya.

Dengan penjelasan tadi, mari kita langsung masuk ke pembahasan.

Build Quality

Membawa nama besar ASUS ROG, ROG Keris dan Keris Wireless menyuguhkan build quality yang sesuai ekspektasi. Tidak ada yang bisa saya keluhkan jika berbicara build quality yang ditawarkan kedua mouse ini. Tidak ada juga perbedaan kualitas bahan dan finishing antara versi wireless dan yang berkabel.

Seperti yang saya tuliskan tadi, seri ROG Keris adalah seri yang diposisikan di kelas low-end karena harganya yang terjangkau. ROG Keris dibanderol dengan harga Rp860 ribuan. Sedangkan ROG Keris Wireless dibanderol dengan harga Rp1,4 jutaan. Bandingkan saja dengan harga ROG Chakram yang sebelumnya saya bahas. ROG Chakram Core, yang wired, dibanderol dengan harga yang sama dengan ROG Keris yang wireless. Sedangkan ROG Chakram, yang wireless, dibanderol di harga Rp2,5 jutaan.

Meski begitu, saya tidak merasa ada kompromi yang terlalu jauh jika kita berbicara soal build quality-nya.

Bodi kedua mouse ini menggunakan bahan plastik yang cukup baik. Namun, lebih hebatnya lagi, ASUS ROG menggunakan bahan PBT di bagian klik kiri dan kanannya. Alhasil, dengan bahan PBT, selain membuatnya lebih awet, permukaannya juga bertekstur sehingga tidak akan jadi masalah bagi Anda yang kerap berkeringat saat menggunakan mouse.

Sayangnya, mungkin karena dibanderol dengan harga yang terjangkau, ASUS ROG jadi tidak menggunakan bahan PBT di keseluruhan bodinya. Saya rasa jika mouse ini menggunakan bahan PBT di semua bagian, ia akan terasa lebih solid dan nyaman digunakan.

Jika kita berbicara soal mouse gaming, salah satu momok yang biasanya menghantui adalah masalah dobel klik. Untungnya, kebanyakan, jika tidak semua, mouse ROG harusnya tidak akan lagi berurusan dengan masalah menyebalkan tadi. Jika berbicara soal durabilitas, Anda tak perlu lagi membeli mouse baru jika mouse ROG Anda (seperti Keris dan Chakram) bermasalah dengan switch klik kanan ataupun kirinya. Hal ini akan saya bahas nanti di bagian fitur uniknya.

Satu hal yang pasti, jika berbicara soal build quality, ROG Keris dan Keris Wireless memang layak menyandang nama besar ASUS ROG.

 

Performa dan Kenyamanan

Jika Anda melihat bodi seri ROG Keris, bentuknya memang lebih sederhana. Karena itu, mouse ini harusnya lebih mudah untuk adaptasi berbagai orang dengan berbagai ukuran tangan yang berbeda-beda. Namun begitu, buat saya pribadi, seri ROG Keris terlalu pendek atau kurang lebar; mengingat saya tipe pengguna yang menggunakan gaya palm dalam menggenggam mouse dengan ukuran telapak tangan sedang (tak terlalu besar, namun tidak kecil juga).

Jujur saja, saya lebih cocok dengan ukuran ROG Chakram Core ataupun Razer Basilisk V2 (yang saya gunakan sehari-hari). Selain lebih besar ukurannya, kedua mouse tadi juga lebih berat dibanding ROG Keris ataupun Keris Wireless. Razer Basilisk berbobot 92g dan ROG Chakram Core berbobot 111g. Sedangkan ROG Keris memiliki berat sebesar 62g dan ROG Keris Wireless sebesar 79g.

Di bagian inilah kenapa saya mengatakan review mouse akan sepenuhnya subjektif. Saya kebetulan saja lebih suka mouse gaming yang lebih besar dan lebih berat. Namun, saya tahu ada banyak pengguna lain yang justru lebih suka mouse yang lebih ringan dan lebih kecil ukurannya.

Image Credit: Hybrid

Selain soal kenyamanan, tolak ukur performa tentunya berbeda-beda juga setiap orang karena akan tergantung dengan skill aiming sang reviewer misalnya. Dengan ROG Keris dan Keris Wireless saya tidak menemukan masalah apapun dengan akurasi dan akselerasinya saat menggunakan kabel. Sayangnya, saat saya mencoba dengan mode wireless-nya, saya merasakan ada sedikit delay baik saat menggunakan Bluetooth ataupun 2.4GHz.

Meski begitu, jika Anda bukan pemain esports profesional, Anda mungkin tidak akan terlalu terganggu dengan delay-nya. Lagipula, menurut saya, bagaimanapun juga koneksi wireless memang lebih cenderung delay karena rentan dengan interferensi.

Untuk ROG Keris Wireless, ASUS mengklaim jika daya tahan baterainya bisa bertahan hingga 78 jam tanpa lampu dan 52 jam dengan lampu mode breathing. Saat saya mencobanya sendiri, mouse ini memang bisa bertahan hingga sekitar 3 hari tanpa lighting — tidak jauh dari yang diklaim.

 

Fitur

Jika berbicara soal fitur, mungkin di bagian inilah ROG Keris sedikit ketinggalan dibanding ROG Chakram. Pasalnya, seri Chakram memiliki joystik yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan Anda. Sedangkan di seri Keris, Anda hanya akan mendapatkan 2 tombol di bagian kiri seperti kebanyakan mouse gaming lainnya.

Selain itu, sama seperti seri Chakram, mouse ini juga dapat dengan mudah dibersihkan. Namun, ia sedikit lebih merepotkan untuk dibuka karena Anda tetap butuh obeng untuk membuka sekrup yang ada di bagian bawah mouse. Untuk seri Chakram, Anda bahkan tidak butuh alat apapun untuk membuka mouse tersebut. Untungnya, sekrupnya tidak disembunyikan di bawah mouse feet seperti kebanyakan gaming mouse lainnya. Hal tersebut berarti Anda tak perlu khawatir mouse feetnya akan rusak atau tidak terpasang dengan sempurna saat membuka dan memasangkannya kembali.

Image Credit: Hybrid

Seperti yang saya sempat sebutkan tadi, Anda tak perlu khawatir dengan masalah doble klik karena switch klik kanan dan kirinya menggunakan sistem hotswap. Jadinya, Anda tak perlu menyolder switch jika ingin mengganti atau malah membuang mouse saat sudah doble klik. Saya pun mencoba menghitung sendiri waktu yang dibutuhkan untuk mengganti switch di Keris Wireless. Karena saya harus menggunakan obeng, saya butuh waktu sekitar 7 menitan untuk membuka, mengganti switch, dan memasang kembali. Di ROG Chakram, waktunya bisa 2x lebih cepat karena saya tak perlu berurusan dengan obeng dan sekrup.

 

Software dan Kelengkapan

Selain koneksi nirkabel, Keris Wireless juga memberikan kelengkapan tambahan ketimbang versi kabelnya. Anda akan mendapatkan 2 pasang side button tambahan dengan warna berbeda. Jadi, totalnya, Anda akan mendapatkan 3 pasang side button yang bisa Anda ganti-ganti sesuka hati.

Untungnya, memang perbedaan kelengkapan yang berarti antara versi Wireless dan kabelnya hanya di situ tadi. Anda tetap bisa mendapatkan 2 Omron switch dan mouse feet tambahan untuk cadangan di versi kabelnya.

Screenshot: Armoury Crate

Sayangnya, ada satu hal yang membuat saya sangat tidak suka dengan peripheral gaming dari ASUS ROG, yaitu softwarenya. Saya sangat tidak suka dengan Armoury Crate karena ada beberapa alasan. Pertama, saya sempat bermasalah dengan instalasinya saat pertama kali menginstallnya saat mengulas ROG Chakram, bahkan sampai harus reset Windows alias install ulang. Untungnya, hal tersebut tak terjadi lagi di kemudian hari.

Kedua, ada terlalu banyak hal yang dijejalkan ke dalam Armoury Crate seperti berita gamegame launcher, dan juga toko yang menawarkan berbagai deals. Saya tidak butuh itu semua dari sebuah software peripheral gaming dan jadinya malah mengganggu juga saat digunakan.

Ketiga, fitur makro yang justru lebih penting sebagai sebuah software gaming peripheral malah tidak berjalan mulus dan lengkap di sini. Bagi saya yang sangat membutuhkan software buat perlengkapan gaming saya (mouse dan keyboard), kekurangan ini jadi deal breaker.

 

Kesimpulan

Jujur saja, saya sebenarnya suka dengan ROG Keris ataupun Keris Wireless karena menawarkan fitur-fitur menarik dengan harga yang sangat terjangkau. Fitur hotswap, dapat dibongkar pasang dengan mudah, bahan dan finishing yang berkualitas adalah hal-hal yang membuat saya menyukai seri Keris.

Saya hanya berharap ASUS lebih memahami bagaimana baiknya membuat software gaming peripheral dan bukannya menjejalkan terlalu banyak fitur tidak penting ke dalamnya. Namun tetap saja, jika Anda tidak butuh software tapi butuh mouse gaming berkualitas dengan fitur-fitur menarik tadi dan harga yang sangat ramah di kantong, seri Keris cukup layak dipertimbangkan untuk dipinang.

Tren Esports Sponsorship di Asia Tenggara

Industri game di kawasan Asia Tenggara dan Taiwan (GSEA) diperkirakan bernilai US$5 miliar pada 2019. Menurut Niko Partners, pada 2019, jumlah mobile gamers di GSEA mencapai 227 juta orang dan jumlah pemain PC mencapai 154,3 juta orang. Berkembangnya industri game di GSEA juga akan mendorong pertumbuhan industri esports. Alasannya, gamers di GSEA tidak hanya senang bermain game, tapi juga aktif di dunia esports.

Berdasarkan data dari Niko Partners, jumlah penonton di Asia Tenggara mencapai 100 juta orang. Audiens esports di masing-masing negara biasanya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu populasi dan konektivitas internet. Semakin besar populasi sebuah negara, semakin besar pula jumlah penonton esports di negara itu. Sementara itu, infrastruktur internet yang baik akan mendorong pertumbuhan ekosistem esports di sebuah negara.

Banyaknya jumlah penonton memang bisa menumbuhkan ekosistem competitive gaming. Karena, biasanya, semakin besar jumlah penonton, semakin banyak pula perusahaan yang tertarik untuk menjadi sponsor. Memang, saat ini, sponsorship masih menjadi sumber pemasukan utama di dunia esports. Lalu, bagaimana tren sponsorship di Asia Tenggara?

Industri Endemik Masih Mendominasi Sponsorship untuk Esports

“Perusahaan yang paling sering menjadi sponsor esports adalah perusahaan-perusahaan endemik industri game, seperti produsen komputer, gaming peripherals, maupun ponsel,” kata Darang S. Candra, Director for Southeast Asia Research, Niko Partners ketika ditanya tentang tren esports sponsorship di kawasan Asia Tenggara. Meskipun begitu, perusahaan-perusahaan non-endemik  alias perusahaan yang tidak ada kaitannya dengan dunia game dan esports pun mulai tertarik untuk mendukung pelaku esports. “Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan-perusahaan non-endemik juga mulai masuk ke sponsorship esports di ASEAN,” ujar Darang. Lebih lanjut dia menjelaskan, perusahaan non-endemik tersebut biasanya merupakan perusahaan yang bergerak di bidang makanan/minuman, perbankan, dan transportasi.

Yamaha jadi salah satu perusahaan otomotif yang mendukung esports.

Di Indonesia, beberapa perusahaan endemik yang menjadi sponsor esports antara lain Acer Predator, ASUS ROG, Logitech, dan Razer. Mengingat di Indonesia mobile esports sangat populer, beberapa perusahaan smartphone juga aktif menjadi sponsor, seperti Xiaomi dan Samsung. Sementara itu, beberapa perusahaan non-endemik yang ikut aktif di kancah esports lokal adalah Red Bull yang menjadi sponsor dari Bigetron Esports dan ONIC Esports serta Sukro yang mendukung RRQ dan EVOS Esports.

BCA menjadi salah satu bank yang aktif mendukung pelaku esports di Indonesia. Salah satu turnamen esports yang BCA dukung adalah Piala Presiden. Mereka menyebutkan, alasan mengapa mereka tertarik untuk masuk ke komunitas esports adalah karena mereka ingin menggaet hati anak-anak muda, yang memang senang dengan competitive gaming. Contoh bank lain yang mendukung esports adalah BNI, yang belum lama ini menjadi sponsor dari Ladies Series MLBB 2021.

Dari segi nilai sponsorship, perusahaan endemik juga masih unggul. Meskipun begitu, Darang menyebutkan, semakin banyak perusahaan non-endemik yang menjadi sponsor esports. Pandemi COVID-19 menjadi salah satu alasan di balik tren tersebut. Pasalnya, kompetisi esports masih bisa diselenggarakan secara online walau pemerintah melakukan lockdown dan masyarakat disarankan untuk melakukan social distancing. Memang, pada awal tahun 2020, ketika pandemi COVID-19 baru dimulai, konten esports bahkan dianggap bisa menjadi pengganti dari siaran olahraga. Karena, ada banyak kompetisi olahraga yang harus ditunda atau bahkan dibatalkan.

Vici Gaming yang memenangkan ONE Esports Singapore Major. | Sumber: Talk Esports

Sementara itu, jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, Singapura menjadi negara yang menarik esports sponsorship dengan nilai yang paling besar. Menurut Darang, alasannya sederhana, yaitu karena Singapura sering menjadi tuan rumah dari turnamen esports dengan hadiah besar. Salah satu turnamen esports yang diadakan di Singapura belum lama ini adalah ONE Esports Singapore Major 2021, yang menawarkan hadiah sebesar US$500 ribu. Dan pada Mei 2021, Free Fire World Series 2021 Singapore digelar di Marina Bay Sands. Total hadiah dari kompetisi Free Fire itu mencapai US$2 juta.

Apa yang Membuat Ekosistem Esports Asia Tenggara Unik?

Hampir semua negara-negara di Asia Tenggara merupakan negara mobile first. Karena itu, tidak heran jika industri mobile game berkembang pesat di kawasan ASEAN. Alhasil, ekosistem esports yang berkembang pun merupakan ekosistem mobile game. Darang menyebutkan, hal ini juga terlihat pada kontrak esports sponsorship di kawasan Asia Tenggara. Di ASEAN, mobile esports menjadi minat utama para sponsor. Meskipun begitu, Darang menyebutkan, di Asia Tenggara, tidak ada satu game yang mendominasi kontrak sponsorship.

Mobile game tetap menjadi yang paling diminati oleh para sponsor. Beberapa game yang paling banyak mendapatkan sponsor dalam pergelaran turnamen di seantero Asia Tenggara antara lain Free Fire, Arena of Valor, PUBG Mobile, dan Mobile Legends,” ungkap Darang. Ketika ditanya mengapa mobile game populer, dia menjawab, “Pengguna dan penonton mobile esports merupakan segmen terbesar esports di Asia Tenggara. Game ponsel juga mudah diakses, tidak memerlukan spec dan perlengkapan mahal seperti PC dan konsol, serta keberlanjutan turnamen-turnamennya mampu bertahan di kala pandemi. Hal-hal tersebut menjadikan mobile esports sebagai segmen paling populer di Asia Tenggara.”

 

Esports jadi salah satu cabang olahraga bermedali di SEA Games 2019. | Sumber: Esports Observer

Selain populernya mobile game, satu keunikan lain dari ekosistem esports di Asia Tenggara adalah aktifnya pemerintah dalam mengembangkan industri competitive gaming. Buktinya, esports telah dimasukkan dalam beberapa ajang olahraga bergengsi. Misalnya, di Asian Games 2018, esports dinobatkan sebagai cabang olahraga eksibisi. Sementara di SEA Games 2019, esports bahkan menjdi cabang olahraga bermedali. Esports juga akan kembali menjadi bagian dari SEA Games 2021 dan Asian Games 2022. Di Indonesia, esports juga akan menjadi cabang olahraga eksibisi Pekan Olahraga Nasional (PON) 2021. Pemerintah bahkan memilih Lokapala, mobile MOBA buatan developer lokal, menjadi salah satu game yang diadu.

“Satu hal yang unik dan membedakan Asia Tenggara dengan kawasan lain adalah keterlibatan pemerintah sebagai sponsor atau penyelenggara acara esports,” kata Darang. “Sebagai contoh, pemerintah Indonesia melalui PB Esports dan Kemenparekraf, pemerintah Malaysia melalui MDEC, dan pemerintah Singapura melalui SGGA tercatat cukup terlibat dalam penyelenggaraan turnamen esports di negara masing-masing.”

Sumber header: Dot Esports

Turnamen Esports Terpopuler Bulan Juni 2021

Daftar turnamen esports pada Juni 2021 terdiri dari kompetisi untuk berbagai game, mulai dari kompetisi mobile game untuk regional sampai kompetisi game PC di tingkat global. Tren ini sama seperti pada Mei 2021. Ketika itu, daftar turnamen esports terpopuler juga berisi kompetisi dari beragam game. Selain kompetisi esports, bulan lalu juga diramaikan oleh E3 2021. Beberapa event dalam E3 2021 — seperti Nintendo Direct 2021 dan Xbox & Bethesda Games Showcase 2021 — berhasil menarik perhatian banyak penonton.

Berikut daftar turnamen esports paling populer pada Juni 2021, menurut data dari Esports Charts.

5. Twitch Rivals x Call of Duty World Series of Warzone NA #1

Berbeda dengan kebanyakan turnamen esports, Twitch Rivals hanya mempertemukan para streamers. Kali ini, Twitch menggelar kompetisi Call of Duty untuk kawasan Amerika Utara. Twitch Rivals x Call of Duty World Series of Warzone NA #1 digelar pada 23-24 Juni 2021, dengan total hadiah sebesar US$300 ribu. Turnamen tersebut disiarkan selama 6 jam dan mendapatkan jumlah penonton rata-rata sebanyak 349 ribu. Secara keseluruhan, hours watched dari turnamen tersebut mencapai 1,9 juta jam. Sementara jumlah peak viewers dari Twitch Rivals kali ini mencapai 441 ribu orang.

Data penonton dari turnamen Twitch Rivals. | Sumber: Esports Charts

Karena digelar oleh Twitch, turnamen Twitch Rivals hanya disiarkan di platform tersebut. Secara total, ada 89 channels yang menyiarkan kompetisi tersebut dengan total views mencapai 2,5 juta views dan total follows mencapai 103,7 ribu follows. Turnamen Twitch Rivals disiarkan dalam lebih dari enam bahasa, termasuk Inggris, Prancis, Italia, Spanyol, Jerman, dan Rusia. Siaran berbahasa Inggris menjadi siaran yang paling populer, dengan total view mencapai 407,6 ribu views. Sementara bahasa terpopuler kedua adalah Prancis dengan 16 ribu views, diikuti oleh Italia, dengan 11 ribu views.

4. Arena of Valor World Cup 2021

Arena of Valor World Cup menjadi turnamen esports terpopuler ke-4 pada Juni 2021, dengan jumlah peak viewers sebanyak 550 ribu orang. Pertandingan yang berhasil menarik perhatian paling banyak penonton adalah babak yang mempertemukan MAD Team asal Taiwan dengan Team Flash asal Filipina. Kedua tim tersebut bertemu pada hari ketiga dari Arena of Valor World Cup.

Turnamen Arena of Valor World Cup disiarkan selama 118 jam dan berhasil mendapatkan 17,3 juta hours watched dengan jumlah penonton rata-rata sebanyak 147 ribu orang. Team Flash dari Filipina merupakan tim yang paling populer. Total hours watched dari tim esports tersebut mencapai 2,29 juta jam dengan jumlah penonton rata-rata sebanyak 247,1 ribu orang. Tim terpopuler kedua adalah Buriram United Esports dari Thailand. Tim itu memiliki jumlah penonton rata-rata sebanyak 191,3 ribu orang dan total hours watched sebanyak 3,48 juta jam.

Tim dan pertandingan terpopuler di Arena of Valor World Cup. | Sumber: Esports Charts

Di YouTube, siaran Arena of Valor World Cup berhasil mendapatkan 64,1 juta views dan 405 ribu likes. Siaran dari turnamen tersebut disiarkan dalam enam bahasa, yaitu bahasa Inggris, Indonesia, Spanyol, Mandarin, Thailand, dan Vietnam. Dari keenam bahasa tersebut, siaran dengan bahasa Vietnam menjadi yang paling populer, dengan peak viewers mencapai 412,8 ribu orang. Bahasa paling populer kedua adalah Thailand — dengan 149,5 ribu peak viewers — diikuti dengan Mandarin, dengan 52,3 ribu peak viewers.

3. WePlay AniMajor

Dengan jumlah peak viewers mencapai 645 ribu orang, WePlay AniMajor duduk di peringkat tiga dalam daftar turnamen esports paling populer pada Juni 2021. AniMajor juga merupakan turnamen Major Dota 2 terakhir sebelum The International. Dan turnamen tersebut berhasil menjadi turnamen non-TI terpopuler, dengan jumlah hours watched sebanyak 37,3 juta jam. Lama siaran dari WePlay AniMajor adalah 127 jam dan jumlah penonton rata-rata dari kompetisi itu mencapai 272,8 ribu orang.

Tim dan pertandingan yang populer di WePlay AniMajor. | Sumber: Esports Charts

Babak semifinal antara Evil Geniuses dan T1 menjadi pertandingan dengan jumlah penonton terbanyak. Sementara pertandingan terpopuler kedua adalah pertandingan yang mempertemukan EG dengan TNC Predator pada hari ke-3  dari babak playoff. Pertandingan final antara EG dengan PSG.LGD justru hanya menjadi pertandingan terpopuler ke-5, dengan jumlah peak viewers mencapai 445,8 ribu orang.

Di WePlay AniMajor, tim yang mendapatkan penonton paling banyak adalah Virtus.Pro, dengan jumlah penonton rata-rata sebanyak 318,06 ribu orang. Sementara tim terpopuler kedua adalah Alliance — yang mendapatkan jumlah penonton rata-rata sebanyak 309,62 ribu orang — diikuti oleh T1, dengan jumlah penonton rata-rata sebanyak 293,56 ribu orang.

2. LCK Summer 2021

Turnamen dari League of Legends kembali masuk dalam daftar turnamen esports terpopuler pada Juni 2021. Pada Mei 2021, League of Legends Champions Korea (LCK) Spring 2021 menjadi turnamen esports terpopuler ke-3. Pada Juni 2021, LCK Summer 2021 duduk di peringkat dua. Menawarkan total hadiah sebesar US$336 ribu, LCK Summer 2021 dimulai pada 9 Juni dan akan berakhir pada 15 Agustus 2021.

Saat ini, jumlah peak viewers dari LCK Summer 2021 mencapai 720 ribu orang. Pertandingan terpopuler dari LCK Summer 2021 adalah pertandingan yang mempertemukan T1 dengan Damwon KIA. Tidak aneh jika pertandingan tersebut menarik banyak penonton, mengingat T1 dan Damwon KIA merupakan dua tim terpopuler di LCK Summer 2021. Dengan jumlah penonton rata-rata sebanyak 298,87 ribu orang, T1 menjadi tim terpopuler di liga LOL Korea. Sementara Damwon KIA menjadi tim terpopuler kedua, dengan jumlah penonton rata-rata sebanyak 237,71 ribu orang.

Data penonton dari LCK Summer 2021 di Twitch dan YouTube. } Sumber: Esports Charts

Sejauh ini, total air time dari LCK mencapai 154 jam, dengan jumlah hours watched sebanyak 28,5 juta jam dan jumlah penonton rata-rata sebanyak 185,4 ribu orang. Di YoutTube, siaran LCK Summer 2021 mendapatkan 7,7 juta views dengan 75,7 ribu likes. Siaran dalam bahasa Korea menjadi siaran yang paling populer, dengan jumlah peak viewers sebanyak 405,4 ribu orang, diikuti dengan siaran dalam bahasa Inggris dan Vietnam.

1. MLBB Southeast Asia Cup 2021

Gelar turnamen esports terpopuler pada Juni 2021 jatuh pada kompetisi Mobile Legends: Bang Bang. Dengan jumlah peak viewers mencapai 2,3 juta orang, MLBB Southeast Asia Cup 2021 berhasil menjadi turnamen esports terpopuler pada Juni 2021. Grand final menjadi babak yang paling populer. Dalam pertandingan tersebut, EVOS Esports bertemu dengan tim Execration dari Filipina. Tampaknya, pertandingan antara kedua tim itu memang selalu menarik perhatian. massa. Pasalnya, pertandingan terpopuler kedua juga merupakan pertandingan antara EVOS dan Execration, yaitu ketika mereka bertemu di babak playoff pada hari pertama. Pada pertandingan itu, jumlah peak viewers mencapai 1,9 juta orang.

Pertandingan dan tim terpopuler di MLBB Southeast Asia Cup. | Sumber: Esports Charts

Dari segi jumlah penonton rata-rata, EVOS unggul dari Execration dengan jumlah penonton rata-rata sebanyak 986,3 ribu orang. Namun, dari segi hours watched, Execration justru lebih unggul, dengan jumlah hours watched sebanyak 14,32 juta jam. Moonton menyiarkan Southeast Asia Cup 2021 di empat platform streaming, yaitu YouTube, Facebook, TikTok, dan NimoTV. YouTube menjadi platform paling populer, dengan jumlah peak viewers mencapai 1,2 juta orang. Namun, Facebook dan NimoTV juga berhasil menarik banyak penonton. Jumlah peak viewers di Facebook mencapai 710 ribu orang dan NimoTV 699 ribu orang.

*Disclosure: Esports Charts adalah Partner dari Hybrid.co.id.